• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rancang ulang Sistem Distribusi Air Bersih Pada Perumahan Turi Mansion Kota Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Rancang ulang Sistem Distribusi Air Bersih Pada Perumahan Turi Mansion Kota Medan"

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

Lampiran 1. Format uji organoleptik

UJI ORGANOLEPTIK TEPUNG UBI JALAR UNGU Nama Panelis :

Tanggal :

Berikan penilaian secara hedonik terhadap warna dan aroma dengan mengisi kolom berikut dengan angka berdasarkan keterangan tabel di bawah ini!

(2)

69

Lampiran2. Kurva standar glukosa untuk penentuan total gula dan kurva Standar glukosa untuk pengujian gula reduksi dan pati.

Kurva standar glukosa untuk penentuan total gula

Kurva Standar glukosa untuk pengujian gula reduksi dan pati.

(3)

Lampiran 3. Kurva standar asam askorbat untuk penentuan kadar vitamin C

`

ǔ = 0,072A - 0,017 r = 0,991

0 0.004 0.008 0.012 0.016 0.02 0.024

0.028

0.032

0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8

K

ons

ent

ra

si

a

sa

m

a

skorba

t

(m

g

/m

l)

Absorbansi

(4)

69

Lampiran 4. Data pengamatan dan daftar sidik ragam warna (°Hue) tepung ubi jalar ungu

Data pengamatan warna (°Hue) tepung ubi jalar ungu

Perlakuan ulangan Total Rataan

(5)

Lampiran 5. Uji LSR pengaruh perlakuan awal terhadap warna (°Hue) tepung ubi jalar ungu

Jarak LSR

Perlakuan

Awal (P) Rataan Notasi

0,05 0,01 0,05 0,01

- - - P1 15,34 a A

2 1,324 1,779 P2 15,44 ab AB

3 1,391 1,856 P3 16,68 ab AB

4 1,435 1,907 P4 16,82 b B

(6)

69

Lampiran 6. Data pengamatan dan daftar sidik ragam densitas kamba tepung ubi jalar ungu

Data pengamatan densitas kamba tepung ubi jalar ungu

(7)

Lampiran 7.Uji LSR pengaruh suhu pengeringan terhadap densitas kamba tepung ubi jalar ungu

Jarak LSR Suhu

pengeringan (T) Rataan

Notasi

0,05 0,01 0,05 0,01

- - - T1 0,660 a A

2 0,041 0,055 T2 0,625 b AB

3 0,043 0,057 T3 0,582 bc B

4 0,044 0,059 T4 0,570 c B

(8)

69

Daftar sidik ragam organoleptik tepung ubi jalar ungu

(9)

Lampiran 9. Uji LSR pengaruh suhu pengeringan terhadap nilai organoleptik aroma terhadap tepung ubi jalar ungu

Jarak

LSR suhu

pengeringan (T)

Rataan

Notasi

0,05 0,01 0,05 0,01

- - - T1 4,183 B B

2 0,315 0,423 T2 4,289 B B

3 0,331 0,442 T3 4,558 Ab AB

4 0,341 0,454 T4 4,847 A A

(10)

69

Lampiran 10. Data pengamatan dan daftar sidik ragam terhadap nilai organoleptik warna pada tepung ubi jalar ungu

Data pengamatan nilai organoleptik warna pada tepung ubi jalar ungu

(11)

Lampiran 11. Uji LSR pengaruh suhu pengeringan terhadap nilai organoleptik warna terhadap tepung ubi jalar ungu

Jarak

LSR Suhu

pengeringan (T)

Rataan

Notasi

0,050 0,010 0,050 0,010

- - - T1 3,967 b B

2 0,290 0,390 T2 3,961 b B

3 0,305 0,407 T3 4,286 ab AB

4 0,315 0,418 T4 4,531 a A

(12)

69

Lampiran 12. Data pengamatan dan daftar sidik ragam indeks pencoklatan tepung ubi jalar ungu

Data pengamatan indeks pencoklatan tepung ubi jalar ungu

Perlakuan Ulangan Total Rataan

Daftar sidik ragam indeks pencoklatan tepung ubi jalar ungu

(13)

Lampiran 13. Data pengamatan dan daftar sidik ragam terhadap kadar air tepung ubi jalar ungu

Data pengamatan kadar air tepung ubi jalar ungu

Perlakuan Ulangan Total

Daftar sidik ragam kadar air tepung ubi jalar ungu

(14)

69

Lampiran 14. Uji LSR pengaruh metode perlakuan awal dan suhu pengeringan serta interaksi metode perlakuan awal dan suhu pengeringan terhadap kadar air tepung ubi jalar ungu.

Uji LSR pengaruh metode perlakuan awal terhadap kadar air tepung ubi jalar

Uji LSR pengaruh suhu pengeringan terhadap kadar air tepung ubi jalar ungu.

Jarak LSR Suhu

Uji LSR Interaksi metode perlakuan awal dan suhu pengeringan.

(15)

Lampiran 15. Data pengamatan dan daftar sidik ragam terhadap kadar antosianin tepung ubi jalar ungu

Data pengamatan kadar antosianin tepung ubi jalar ungu

Perlakuan Ulangan

Daftar sidik ragam antosianin tepung ubi jalar ungu

(16)

69

Lampiran 16. Uji LSR pengaruh metode perlakuan awal terhadap antosianin tepung ubi jalar ungu

Jarak LSR Perlakuan

awal (P) Rataan

Notasi

0,050 0,010 0,050 0,010

- - - P1 196,212 a A

2 16,937 22,769 P2 199,548 b B

3 17,802 23,745 P3 246,639 c C

4 18,360 24,398 P4 278,316 c C

(17)

Lampiran 17. Data pengamatan dan daftar sidik ragam daya serap air tepung ubi jalar ungu

Data pengamatan daya serap air tepung ubi jalar ungu

Perlakuan Ulangan

Daftar sidik ragam daya serap air tepung ubi jalar ungu

(18)

69

Lampiran 18. Data pengamatan dan daftar sidik ragam daya serap minyak tepung ubi jalar ungu

Data pengamatan daya serap minyak tepung ubi jalar ungu

Perlakuan Ulangan

Daftar sidik ragam daya serap minyak tepung ubi jalar ungu

(19)

Lampiran 19. Daftar pengamatan dan daftar sidik ragam swelling power tepung ubi jalar ungu

Data pengamatan swelling power tepung ubi jalar ungu

Perlakuan Ulangan

Daftar sidik ragam daya swelling power tepung ubi jalar ungu

(20)

69

Lampiran 20. Data pengamatan dan daftar sidik ragam kelarutan tepung ubi jalar ungu

Data pengamatan kelarutan tepung ubi jalar ungu

Perlakuan Ulangan

Daftar sidik ragam kelarutan tepung ubi jalar ungu

(21)

Lampiran 21. Data pengamatan dan daftar sidik ragam baking expansion tepung ubi jalar ungu

Data pengamatan baking expansion tepung ubi jalar ungu

Perlakuan Ulangan

Daftar sidik ragam baking expansion tepung ubi jalar ungu

(22)

69

Lampiran 22. Penentuan perlakuan terbaik dengan metode deGarmo

(23)
(24)
(25)

baking BV BN

(26)

69

DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, M., Aktar, S. Mst, Eum, JB. 2010. Peeling, drying temperatures, and sulphits-treatment affect physicochemical properties and nutritional quality of sweet potato flour. Food Chemistry 121 : 112-118.

Alsuhendra, 1995. Studi Karakteristik Fisikokimia dan Fungsional Serta Daya Terima Pati Biji Alpukat (Persea americana Mill), departemen Teknologi Pertanian, IPB. Bogor.

Ambarsari, I., Sarjana, dan Choliq, A. 2009. Rekomendasi dalam penetapan standar mutu tepung ubi jalar. Jurnal Standarisasi, 11 (3) : 212-219. Anderson, R. A. 1982. Water absorption and solubility and amylograph

characteristics on roll-cooked small grain products. Cereal Chemistry. 59: 265-269.

Anonima. 2008. Ubi Jalar Kaya Zat Gizi dan Serat. http://www.dinkesjatim.go.id. Diakses tanggal 8 Februari 2016.

Anonimb. 2008. TepungTerigu. http://www.dapurdeddyrustandy.com Diakses tanggal 15 Maret 2016.

Antarlina, S. S. 1998. Teknologi pengolahan tepung komposit terigu-ubi jalar sebagai bahan baku industri pangan. Kumpulan Hasil Penelitian Terbaik Bogasari Nugraha. 105-118.

Antarlina, S. S. dan Utomo, J. S. 1997. Proses pembuatan dan penggunaan tepung ubi jalar untuk produk pangan. Dalam Edisi Khusus Balitkabi 15-1999. AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of The Association of Official

Analytical Chemists. Washington : AOAC.

Apriliyanti, T. 2010. Kajian sifat fisiko kimia dan sensori tepung ubi jalar ungu (Ipomea batatas blackie) dengan variasi proses pengeringan. Skripsi.USM. Surakarta.

Apriyantono, A., Fardiaz, D. Puspitasari, N. L. Sedarnawati, dan Budiyanto, S. 1989. Analisi Pangan. Bogor : PAU Pangan dan Gizi. IPB, Bogor.

Badan Pusat Statistik. 2011. Produksi Sayuran di Indonesia. http://www.bps.go.id Diakses tanggal 29 februari 2016.

(27)

Damayanthi, E. 2011. Pengaruh penggunaan tepung ubi jalar (Ipomea batatas L.) terhadap mutu fisokimia dan organoleptik nugget keong tutut sebagai makanan sumber protein dan tinggi kalsium. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

DeGarmo, E. D., Sullivan, W. G., dan Canada, J. R. 1984. Engineering Economics. Mc Millan Publishing Company, New York.

Demiate, I. M., Dupuy, N. Huvenne, J. P. Cereda, M. P. Dn Wosiacki, G. 2000. Relationship between baking behavior or modified cassava starches and strach chemical structure determined by FITR spectroscopy. Carbohydrate Polymer. 42 : 149-158.

Desrosier, N. W. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Edisi Ketiga. Penerjemah : Muchji Muljohardjo. UI-Press, Jakarta.

Dhuique-Mate., Caris-Veyrot, C., Ollitroult, C., Curk, P, dan Amiot, M. J. 2005. Varietal and interspecific influences on micronutrient content in citrus from the Medditeranean area. J. Agr. Food. Chem. 53 : 2140-2145. Erawati, C. M. 2006. Kendali stabilitas beta karoten selama proses produksi tepug

ubi jalar (Ipomoea batatas L.). Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Fenema, O. R. 1996. Food Chemistry. NewYork, Marcel Dekker Inc.

Heriyanto dan Winarto, A. 1999. Prospek Pemberdayaan Tepung Ubi Jalar Sebagai Bahan Baku Industri Pangan. Balitkabi No. 15-1999. Hal 17-29. Hoover dan Senanayake. 1996. Physicochemical Properties of Canadian Oat

Starches. Department of Biochemistry. Canada.

Kumalaningsih, S. 2006. Antioksidan Alami-Penangkal Radikal Bebas, Sumber, Manfaat, Cara dan Penyediaan dan Pengolahan. Surabaya : Trubus Agrisarana.

(28)

71

Kusumawati, D. D., Amanto, B. S., dan Muhammad, D. R. A. 2012. Pengaruh perlakuan pendahuluan dan suhu pengeringan terhadap sifat fisik, kimia, dan sensori tepung biji nangka. Jurnal Teknosains Pangan. 1 (1) : 41-48 Kusmawati., Ujang, H, dan Evi, E. 2000. Dasar-dasar Pengolahan Hasil Pertanian

I. Central Grafika. Jakarta.

Leach, H. W., McCowan,L. D dan Schoch, T. J. 1959. Structure of the starch granules. In : Swelling power and solubility patterns of different starches. Cereal chemistry 36 : 534-544.

Lidiasari, E., S Yafutri, M. I., dan Syaiful, F. 2016. Pengaruh Perbedaan Suhu Pengeringan Tepung Tapai Ubi Kayu Terhadap Mutu Fisik dan Kimia yang dihasilkan. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian Indonesia. 8 (2) : 141-146. Muchtadi, T. R. Dan Sugiyono. 1997. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Pusat

Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB. Bogor.

Murni, R, Suparjo dan Akmal, 2008. Buku Ajar Teknologi Pemanfaatan Limbah untuk Pakan. Laboratorium Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Jambi.

Murtiningsih dan Suyanti. 2011. Membuat Tepung Umbi dan Variasi Olahannya. AgroMedia Pustaka, Jakarta.

Nida, E. H., Novita, M, dan Rohaya, S. 2013. Kandungan Antosianin dan Aktivitas Antioksidan Ubi Jalar Ungu Segar dn Produk Olahannya. Agritech vol. 33. No 3. Hal 296-297.

Nollet, L. M. L. 1996. Physical Characterization and Nutrient Analysis. Marcel dekker, Inc., Hogeschool Gent, Ghent.3 (2) : 39-46.

Nurfitasari, L., Sumarlan, S. H., dan Yulianingsih, R. 2015. Pengaruh waktu blanching dan konsentrasi larutan metabisulfit terhadap karakter fisik dan kimia stik ubi putih (Dioscorea alata). Jurnal Bioproses Komoditas Tropis.

Okaka, J. C. dan N. N. Potter. 1977. Functional and storage properties of cospea-wheat flour blends in bread in making. J. Food Science 42 : 828-833. Oloruda, A. O., dan Kitson, J. A. 1977. Controlling storage and processing

condition help produce light colored chips from sweet potatoes. Food Product Development. 11 : 44-45.

(29)

Ovrisadinita, A. R., Ishartini, D., dan Kawiji, 2016. Pengaruh pengupasan umbi terhadap sifat fisik, kimia, dan fungsional tepung ubi jalar oranye (Ipomea batatas L. Lam) veriety beta 1. Jurnal Teknosains Pangan. ISSN : 2302-0733.

Pangastuti, H. A., Affandi, D. R., dan Ishartani, D..2013. Karakterisasi sifat fisik dan kimia tepung kacang merah (Phaseolus vulgaris L.) dengan beberapa perlakuan pendahuluan. Jurnal Teknosains Pangan. 2 (1) : 20-29.

Patria, A., Husna, T. S., Lubis, Y. M., dan Novita, M. 2013. Physically modified of sweet potato flour (Ipomea batatas) by variation of steaming time and drying method. Proceedings of The 3rd Annual International Conference Syiah Kuala University (AIC Unsyiah) 2013 In conjunction with The 2nd International Conference on Multidisciplinary Research (ICMR) 2013.October 2-4, 2013, Banda Aceh, Indonesia

Prabowo, B. 2010. Kajian sifak fisikokimia tepung millet kuning dan tepung millet merah. Program Studi Teknologi Hasil Petanian Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Praja, D. I. 2015. Zat Aditif Makanan : Manfaat dan Bahayanya. Garudhawaca, Yogyakarta.

Purwanto, C. C., D. Ishartani, dan D. Rahadian. 2013. Kajian sifat fisik dan kimia tepung labu kuning (cucurbita maxima) dengan perlakuan blansing dan perendaman natrium metabisulfit (Na2S2O5). Jurnal Teknosains Pangan.

2 : 2. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Rahman, S. M. 2007. Handbook of Food Preservation. Second Edition. CRC Press, Boca Raton.

Santoso, U . dan Murdijati, G. 1999. Hand out teknologi pengolahan buah-buahan dan sayuran. Yogyakarta : Jurusan Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian UGM.

Sarwono, B. 2005. Ubi Jalar. Penebar Swadaya. Jakarta.

Sathe, S. K. dan Salunke, D. K. 1981. Isolation, partial characterization and modification of the great nothern bean (Phaseolus vulgaricus L.). Journal Food Sci. 46:617-621.

Soekarto, E. 1985. Penilaian Organoleptik untuk Pangan dan Hasil Pertanian . Bharatara Karya Aksara, Jakarta.

Sriwahyuni, B. 1986. Mempelajari Pengaruh Penggunaan Natrium Metabisulfit dan Sendawa Terhadap Mutu Dendeng Sapi Selama Penyimpanan. Skripsi, Fakultas Teknik Pertanian, IPB.

(30)

73

Standar Nasional Indonesia (SNI-01-3451-1994). 1994. Kadar Abu.

Standar Nasional Indonesia (SNI-06-6989.21-200). 2004. Cara uji kadar fenol secara Spektrofotometri.

Standar Nasional Indonesia (SNI-3751-2009). 2009. Tepung terigu sebagai bahan makanan

Suardi, D. 2005. Potensi beras merah untuk peningkatan mutu pangan. Jurnal Litbang Pertanian 24(3). Bogor.

Suarni, H. T., Upe, A., dan Patong, R. 2007. Pengaruh modifikasi enzimatik (α-amilase) terhadap viskositas dan komposisi karbohidrat tepung jagung. Indo. J. Chem. 7 (1) : 218-222.

Sudarmadji, S. B. Haryono, dan Suhardi. 1989. Prosedur Analisa Untuk Makanan dan Pertanian. Liberty, Yogyakarta.

Suda, I., Oki, T. Masuda, M. Kobayashi, M. Nishiba, Y. Dn S. Furuta. 2003. Physiological Functionality of Purple-Fleshed Sweet Potatoes Containing Anthocyanins and Their Utilization in Foods. JARQ 37(3) : 167-173. Suismono. 2001. Teknologi Pembuatan Tepung dan Pati Ubi-Ubian untuk

Menunjang Ketahanan Pangan. Majalah Pangan nomor : 37/x/juli/2001. Hal 37-49.

Suprapti, M. L. 2003. Tepung ubi jalar : Pembuatan dan Pemanfaatannya. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Suprapto, 2004. Pengaruh Lama Blanching Terhadap Kualitas Stik Ubi Jalar (Ipomea Batatas L) Dari Tiga Varietas. Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Malang.

Susanto, T. dan Saneto, B. 1994. Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian. Bina Ilmu, Surabaya.

Swain, T dan Hills, W. E. 1959. The phenolic constituents of Prunus domestica. J. Sci. Food Agri. 10, 63–68

Syarief, R. dan Irawati, A. 1988. Pengetahuan Bahan untuk Industri Pertanian. Medytama Sarana Perkasa. Jakarta.

Ticoalu, G. D., Yunianta, dan Maligan, J. M. 2016. Pemanfaatan ubi ungu (Ipomea batatas) sebagai minuman berantosianin dengan proses hidrolisis enzimatis. Jurnal Pangan dan Agroindustri. 4 (1) : 46-55. Totok, P., Kamaruddin, A, I. Made. K. D, Armansyah, H. T, dan Leopold, N.

2008. Jurnal Ilmiah Senesta Teknika. Vol 1. No 1. 29-37.

(31)

Utomo, J. S., Cheman, Y. B., Rahman, R. A., dan Saad, M. S. 2005. The effect of shape, blanching methods and flour on characteritics of restructured sweet potato stick. International Journal of Food Science and Technology, 43 : 1896-1900.

Widowati, S. 2005. Buah roti, pangan alternatif pendamping beras. http://www.pikiran-rakyat.com. Diakses tanggal 8 februari 2016.

Widowati, S. 2009. Tepung Aneka Umbi Sebuah Solusi Ketahanan Pangan. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Dimuat dalam Tabloid Sinar Tani, Jakarta.

Widjanarko, S. 2008. Efek Pengolahan Terhadap Komposisi Kimia & Fisik Ubi Jalar Ungu dn Kuning. http://simonbwidjanarko.wordpress.com. Diakses tanggal 8 februari 2016.

Wijaya, L. S., dkk. 2001. Ekstraksi dan karakterisasi pigmen dari kulit buah rambutan (Nephelium lappaceum). Var Binjai. Biosain. Vol II No 2. Winarno, F. G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Yu, Z., Johnston, K.P., dan William, R.O. 2006. Spray freezinginto liquid versus

sprayfreeze drying : influence of atomization on protein aggregation and biological activity. Eur J. of Pharm Sci. 27 : 9-18.

Youn, K. S., dan Choi, Y. H. 1996. Drying characteristics of osmotically

pre-treated carrot. Korean Journal of Food Science and Technology. 28 : 11-28.

(32)

19

BAHAN DAN METODA

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2016 – Oktober 2016 di Laboratorium Analisa Kimia Bahan Pangan dan Laboratorium Mikrobiologi Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

Bahan Penelitian

Bahan penelitian yang digunakan adalah ubi jalar ungu dengan tingkat kematangan yang optimal dengan ciri berwarna ungu pekat. Bahan lain yang digunakan adalah air. Bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini adalah sodium metabisulfit (Na2S2O5) 0,5 %, heksan, H2SO4, NaOH, K2SO4, etanol 95 %,

akuades, petroleum eter, aseton, kloroform, KOH, Na2SO4, alkohol, DNS

(Dinitrosalisilat), indikator fenolftalein, eter, asam asetat, CuSO4, glukosa standar,

dan phenol.

Alat Penelitian

Alat penelitian yang digunakan untuk pembuatan tepung ubi jalar adalah baskom, pisau stainless steel, slicer, peniris, oven pengering, loyang, timbangan, blender, ayakan 60 mesh, dan plastik. Peralatan yang digunakan untuk analisa tepung ubi jalar oranye meliputi timbangan analitik Sartorius, gelas ukur, corong, buret, pH meter, pipet tetes, erlemenyer, labu ukur, vortex tab dancer, corong, kapas, cawan porselen, tabung reaksi, rak tabung, buret, sentrifuse, waterbath, pipet skala, labu pisah, penangas air, pemanas listrik Maspion, desikator, Whatman no. 1,

(33)

no. 2, dan no. 41, kromameter Konica Minolta (tipe CR-400, Jepang), spektrofotometer UV (Genesys 20), tanur Carbolite Furnaces (tipe EML 11/2), dan oven Memmert (tipe BMV 30).

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari dua faktor, yaitu :

Faktor I : Metode perlakuan awal (pre-treatment) (P). terdiri dari 4 taraf, yaitu :

P1 = Ubi utuh yang tidak dikupas dan diiris

P2 = Ubi utuh yang dikupas dan diiris

P3 = Ubi utuh yang tidak dikupas, diiris + perendaman sodium

metabisulfit 0,5 % selama 30 menit

P4 = Ubi utuh yang dikupas, diiris + perendaman sodium

metabisulfit 0,5% selama 30 menit

Faktor II : Suhu pengeringan (T), terdiri dari 4 taraf, yaitu : T1 = 50˚ C

T2 = 55˚ C

T3 = 60˚ C

T4 = 65˚ C

Banyaknya kombinasi perlakuan atau Treatment Combination (Tc) adalah 4 x 4 = 16, dan setiap perlakuan dibuat dalam 3 ulangan, sehingga jumlah keseluruhan sampel = 48 sampel.

(34)

21

Model Rancangan

Penelitian ini dilakukan dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dengan model :

ijk= µ + αi+ βj + (αβ)ij + εijk

Dimana :

ijk : Hasil pengamatan dari faktor P pada taraf ke-i dan faktor T pada taraf ke-j

dengan ulangan ke-k µ : Efek nilai tengah

αi : Efek dari faktor P pada taraf ke-i

βj : Efek dari faktor T pada taraf ke-j

(αβ)ij : Efek interaksi faktor P pada taraf ke-i dan faktor T pada taraf ke-j

εijk : Efek galat dari faktor P pada taraf ke-i dan faktor T pada taraf ke-j dalam

ulangan ke-k

Apabila diperoleh hasil yang berbeda nyata dan sangat nyata maka uji dilanjutkan dengan uji beda rataan, menggunakan uji Least Significant Range (LSR).

Pembuatan Tepung Ubi Jalar Ungu

Umbi ubi jalar disortasi berdasarkan ada tidaknya cacat, warna, ukuran, dan keadaan kulit umbi. Umbi yang digunakan adalah umbi utuh yang tidak cacat, ukuran seragam dengan berat antara 100-200 g, warna ungu cerah dan kulit tidak keriput. Umbi yang sudah disortasi dibagi menjadi 4 bagian. Pada bagian I umbi langsung diiris dengan ukuran 2 mm tanpa dikupas. Bagian ke II umbi terlebih dahulu dikupas lalu diiris dengan ketebalan 2 mm. Bagian ke III umbi diiris tanpa dikupas kemudian diiris dengan ketebalan 2 mm dan direndam dalam larutan

(35)

sodium metabisulfit 0,5% selama 30 menit, setelah itu ditiriskan dan dicuci dengan air. Bagian ke IV umbi dikupas, diiris dengan ketebalan 2 mm, direndam dalam larutan sodium metabisulfit 0,5% selama 30 menit kemudian ditiriskan dan dicuci dengan air.

Masing-masing kelompok umbi jalar dibagi lagi menjadi 4 bagian dan disusun di atas loyang, untuk selanjutnya dikeringkan dengan suhu pengeringan sesuai perlakuan yaitu suhu 50˚C, 55˚C, 60˚C dan 65˚C selama 24 jam. Setelah irisan ubi jalar ungu kering dikeluarkan dari oven dan didinginkan pada suhu ruang. Setelah dingin dilakukan penggilingan ubi jalar ungu sampai halus, diayak dengan ayakan 80 mesh, sehingga diperoleh tepung ubi jalar dan dikemas di dalam plastik dalam keadaan tertutup rapat. Tahap pembuatan tepung ubi jalar ungu dapat dilihat pada Gambar 3.

Pengamatan dan Metode Pengukuran Data

Pengamatan dan pengukuran data dilakukan dengan cara analisis terhadap mutu fisik, kimia, dan fungsional tepung ubi jalar oranye. Mutu fisik tepung ubi jalar oranye yang diamati yaitu pengujian warna (Hutchings, 1999), densitas kamba (Okaka dan Potter, 1977), uji organoleptik warna dan aroma (Soekarto, 1985), serta indeks pencoklatan (Youn dan Choi, 1996). Mutu kimia tepung ubi jalar oranye yang diamati, yaitu kadar air (AOAC, 1995). Pengujian sifat fungsional tepung meliputi daya serap air dan minyak (Sathe dan Salunkhe, 1981), swelling power (Leach, dkk., 1959), kelarutan atau solubility (Anderson, 1982), dan baking expansion (Demiate, dkk., 2000).

Data yang dihasilkan selanjutnya dianalisis dengan analysis of variant (ANOVA). Perlakuan yang memberikan pengaruh berbeda nyata atau sangat nyata

(36)

23

dilanjutkan dengan uji LSR. Pemilihan perlakuan terbaik didapatkan dengan mempertimbangkan nilai organoleptik aroma, organoleptik warna, indeks pencoklatan, swelling power, dan baking expansion dengan menggunakan metode indeks efektivitas (deGarmo, dkk., 1984).

Masing -masing parameter diberikan bobot variabel (BV) dengan angka 0 – 1. Besar bobot ditentukan berdasarkan tingkat kepentingan parameter. Semakin tinggi tingkat kepentingan maka semakin tinggi nilai bobot variabel yang diberikan. Bobot normal (BN) setiap parameter ditentukan dengan cara membagi BV dengan jumlah semua bobot variabel. Nilai efektivitas (Ne) diperoleh dengan rumus:

Ne =

Nilai Perlakuan (NP) - Nilai Terburuk (NBr)

Nilai Terbaik (NBk) - Nilai Teburuk (NBr)

Nilai hasil dari masing-masing parameter ditentukan dari hasil perkalian antara nilai efektivitas (Ne) dengan bobot normal (BN). Nilai hasil dari tiap parameter dijumlahkan untuk mengetahui total nilai hasil. Total Nh yang tertinggi

menunjukkan hasil perlakuan terbaik.

Tepung ubi jalar dengan mutu terbaik selanjutnya dianalisis kadar

β-karoten (Apriyantono, dkk., 1989), kadar abu (Sudarmadji, dkk., 1989), kadar protein (metode Kjedahl, AOAC, 2005), kadar lemak (AOAC, 1995), kadar serat kasar (AOAC, 1995), kadar pati dengan metode hidrolisis asam (Apriyantono, dkk., 1989), amilosa dan amilopektin (SNI-6128-2008), gula reduksi (Apriyantono, dkk., 1989), total gula (Apriyantono, dkk., 1989), derajat

polimerisasi (DP), dextrose equivalent (DE), dan Kadar Vitamin C (Metode Kolorimetri, Apriyantono, dkk., 1989).

(37)

Gambar 3. Skema pembuatan tepung ubi jalar ungu Analisis

Didinginkan pada suhu ruang

(38)

69

Mutu Fisik

Warna

Warna diukur menggunakan alat chromameter Minolta (tipe CR 200, Jepang). Sampel diletakkan pada wadah yang telah tersedia, kemudian ditekan tombol start dan akan diperoleh nilai L, a, dan b dari sampel dengan kisaran 0 (hitam) sampai ± 100 (putih). Notasi “a “ menyatakan warna kromatik campuran merah-hijau dengan nilai “+a” (positif) dari 0 sampai + 100 untuk warna merah dan nilai “–a “ (negatif) dari 0 sampai – 80 untuk warna hijau. Notasi “b”

menyatakan warna kromatik campuran biru-kuning dengan nilai nilai “+b” (positif) dari 0 sampai + 70 untuk warna kuning dan nilai “–b “ (negatif) dari 0 sampai – 80 untuk warna biru. Sedangkan L menyatakan ketajaman warna. Semakin tinggi ketajaman warna, semakin tinggi nilai L. Selanjutnya dari nilai a dan b dapat dihitung oHue menggunakan rumus Hutchings (1999), sebagai berikut:

o

Hue = tan-1 . Jika hasil yang diperoleh: 18o– 54o maka produk berwarna red (R)

54o– 90o maka produk berwarna yellow red (YR) 90o– 126o maka produk berwarna yellow (Y)

126o– 162o maka produk berwarna yellow green (YG) 162o– 198o maka produk berwarna green (G)

198o– 234o maka produk berwarna blue green (BG) 234o– 270o maka produk berwarna blue (B)

270o– 306o maka produk berwarna blue purple (BP) 306o– 342o maka produk berwarna purple (P)

(39)

342 – 18 maka produk berwarna red purple (RP)

Densitas kamba

Densitas kamba ditentukan dengan menggunakan metode seperti yang dilakukan Okaka dan Potter (1977). Sampel sebanyak 20 g dimasukkan ke dalam gelas ukur 100 ml sambil ditepuk-tepuk 20-30 kali dengan menggunakan jari agar memadat, kemudian volume sampel dicatat. Densitas kamba dihitung sebagai berikut :

Densitas Kamba (g/ml) = Volume sampel (ml)Berat sampel (g)

Uji Organoleptik Warna dan Aroma

Penentuan uji organoleptik warna dengan uji hedonik Soekarto (1985). Sampel tepung ubi jalar yang telah diberi kode secara acak, diuji oleh 20 panelis. Skala hedonik disajikan pada Tabel 4. Format uji organoleptik di sajik pada Lampiran 1.

Tabel 4. Skala nilai hedonik warna dan aroma

Skala hedonik Keterangan

9 Sangat suka sekali

8 Sangat suka

7 Lebih suka

6 Suka

5 Netral

4 Agak suka

3 Tidak suka

2 Sangat tidak suka

1 Sangat tidak suka sekali

(40)

69

Indeks pencoklatan

Indeks pencoklatan ditentukan dengan menggunakan metode seperti yang dilakukan Youn dan Chai (1996). 1 g tepung ubi jalar diekstraksi dengan air 40 ml air distilata dan 10 ml larutan asam trikloroasetat 10% dalam sebuah beaker glass. Ekstrak disaring dengan corong Buchner menggunakan kertas Whatman No.2, kemudian filtrat dibiarkan selama 2 jam pada suhu ruang. Kemudian diukur larutan indeks pencoklatan dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 420 nm.

Mutu Kimia

Kadar Air

Kadar air ditentukan dengan menggunakan metode seperti yang dilakukan AOAC (1995). Sampel sebanyak 5,5 g dimasukkan ke dalam cawan alumunium yang telah dikeringkan selama satu jam pada suhu 105°C dan telah diketahaui beratnya. Sampel tersebut dipanaskan pada suhu 105°C selama tiga jam, kemudian didinginkan dalam desikator sampai dingin kemudian ditimbang. Pemanasan dan pendinginan dilakukan berulang sampai diperoleh berat sampel konstan.

Kadar Air ( ) = Berat sampel awal - berat sampel akhirBerat sampel awal x 100

Penentuan Analisis Kadar Antosianin Metode pH Diferensial

Penentuan analisis kadar antosianin metode pH diferensial dengan menggunakan metode seperti yang dilakukan Ticoalu dkk (2016).

 Pembuatan Buffer pH 1

(41)

Untuk membuat buffer pH 1 digunakam KCl sebanyak 1.86 g dicampur dengan 980 mL aquades dan diatur hingga mencapai pH 1 dengan menggunakan HCl pekat. Selanjutnya larutan dipindahkan ke dalam labu ukur 1 L dan ditambahkan akuades sampai tanda batas.

 Pembuatan Buffer pH 4.50

Untuk buffer pH 4.50 digunakan CH3CO2Na.3H2O sebanyak 54.43 g

dicampur dengan 950 mL aquades. Kemudian pH diukur dan diatur dengan HCl pekat hingga diperoleh larutan dengan pH 4.50. Selanjutnya larutan dipindahkan ke dalam labu ukur 1 L dan diencerkan dengan akuades sampai volume 1 L.

 Pengukuran dan Perhitungan Konsentrasi Antosianin Total

Faktor pengenceran yang tepat untuk sampel harus ditentukan terlebih dahulu dengan cara melarutkan sampel dengan larutan penyangga KCl pH 1 hingga diperoleh absorbansi kurang dari 1.20 pada panjang gelombang 530 nm. Selanjutnya diukur absorbansi akuades pada panjang gelombang yang akan digunakan (530 dan 700 nm) untuk mencari titik nol. Panjang gelombang 530 adalah panjang gelombang maksimum untuk sianidin-3-glukosida, sedangkan panjang gelombang 700 nm untuk mengoreksi endapan yang masih terdapat pada sampel. Jika sampel benar-benar jernih maka absorbansi pada panjang gelombang 700 nm adalah 0.

Dua larutan sampel disiapkan, pada sampel pertama digunakan buffer KCl dengan pH 1 dan untuk sampel kedua digunakan buffer Na-asetat dengan pH 4.50. Masing-masing sampel dilarutkan dengan buffer berdasarkan FP (faktor pengenceran) yang sudah ditentukan sebelumnya. Sampel dibiarkan selama 15

(42)

69

menit sebelum diukur. Absorbansi dari setiap larutan pada panjang gelombang 530 dan 700 nm diukur dengan akuades sebagai blanko.

Absorbansi (A) dari sampel yang telah di larutkan ditentukan dengan rumus

Kandungan pigmen antosianin pada sampel dihitung dengan rumus : A = [(A530-A700) Ph 1,0 – (A530-A700)Ph 4,5].

Kandungan pigmen antosianin pada sampel dihitung dengan rumus: Kadar antosianin ( ) = A x Faktor Pengencer x BM x 1000 x berat sampel

Keterangan :

A = pH 1(OD Panjang gelombang maks.- OD panjang gelombang 700 nm) – pH 4,5 (OD Panjang gelombang maks.- OD panjang gelombang 700 nm) BM = Berat molekul Antosianin yang dinyatakan dalam cyanidin 3 glukosidase

(449,2 gr/mol)

= Koefisien absorbsivitas ( 26900 L/mol ) yang dinyatakan sebagai cyanidin 3 glukoside

Panjang gelombang maks= serapan warna paling tinggi pada sampel ( 520 nm ) Panjang gelombang 700 nm = serapan warna antosianin yg dinyatakan sebagai

cyanidin 3 glukoside

Mutu Fungsional

Daya serap air dan minyak

Daya serap air dan minyak ditentukan dengan menggunakan metode seperti yang dilakukan Sathe dan Salunkhe (1981). 1 g pati dilarutkan dalam 10 ml air selama 30 detik dan dibiarkan pada suhu kamar (21°C). setelah itu dilakukan sentrifugasi pada 3000 RPM selama 30 menit. Volume dari supernatan

(43)

dicatat dan volume air dapat dihitung dengan asumsi berat jenis air 1 g/ml sedangkan minyak 0,8888 g/ml.

Sampel+Air/Minyak (g) DSA/DSM (g/g) =

Berat sampel (g) Keterangan : DSA : daya serap air

DSM : daya serap minyak

Swelling power

Swelling power ditentukan dengan menggunakan metode seperti yang

dilakukan Leach dkk (1959). Ditimbang sampel sebanyak 1 g lalu ditambahkan 10 ml akuades dan dipanaskan pada suhu 90 oC selama 30 menit sambil diaduk. Selanjutnya campuran disentrifugasiselama 30 menit dengan kecepatan 2200 rpm untuk memisahkan antara padatan dengan cairannya. Selanjutnya dibuang airnya lalu ditimbang berat supernatan. Swelling power dihitung dengan rumus :

( ) = Berat sampel keringBerat pasta

Kelarutan (Solubility)

Kelarutan air ditentukan dengan menggunakan metode seperti yang dilakukan Anderson (1982). 1 g tepung ubi jalar dimasukkan ke dalam tabung sentrifus dan ditambahkan 10 ml akuadest, kemudian dikocok hingga tercampur merata. Campuran dipanaskan dalam waterbath suhu 90 °C selama 30 menit dan disentrifus dengan kecepatan 2200 rpm selama 30 menit. Supernatan dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam cawan porselen yang telah diketahui beratnya,

(44)

69

kemudian dikeringkn pada oven suhu 105 °C hingga beratnya konstan lalu berat padatan supernatan kering ditimbang.

Kelarutan air( ) = Berat padatan supernatan keringBerat sampel awal

Baking expansion

Pengujian baking expansionmengacu pada prosedur Demiate, dkk., (2000). Sebanyak 8 g pati ditambah 13,3 ml aquades, lalu digelatinisasikan. Adonan lalu dioven pada suhu 200 °C selama 25 menit. Hasil panggangan kemudian didinginkan, ditimbang, kemudian dilapisi permukaannya dengan pencelupan dalam parafin. Volume hasil panggangan ditentukan dengan mencelupkan sampel dalam gelas ukur 250 ml yang berisi air, hingga seluruh bagian terendam dan peningkatan volume tercatat.

(ml/g) = massa hasil pangganganPeningkatan volume

Pengujian Perlakuan Terbaik

Kadar protein

Pengujian kadar protein dengan menggunakan metode KjeIdahl mengacu pada prosedur AOAC, (2005). Sampel sebanyak 0,1-0,5 g yang telah yang telah dihaluskan dimasukkan ke dalam labu kjedhal selanjutnya ditambahkan dengan 2 ml H2SO4 pekat, 40 mg HgO dan 1,9 mg K2SO4sample dididihkan selama 1-1,5

jam atau hingga cairan berubah warna menjadi jernih. Labu beserta isinya didinginkan dan diencerkan dengan 20 ml aquades secara perlahan kemudian isinya dipindahkan ke dalam alat destilasi dan ditambahkan 10 ml larutan NaOH-Na2S2O3 (natrium tiosulfat). labu erlenmeyer berisi HBO3 diletakan di bawah

(45)

kondensor , sebelumnya ditambahkan ke dalamnya 2-4 tetes indikator (campuran metil merah 0,02% dalam alkohol dan metil biru 0,02% dalam alkohol dengan perbandingan 2:1). Ujung tabung kondensor harus terendam dalam labu larutan HBO3, kemudian dilakukan destilasi hingga sekitar 125 ml destilat dalam labu

erlenmeyer . ujung kondensor kemudian dibilas dengan sedikit air destilat dan ditampung dalam erlenmeyer lalu dititrasi dengan HCl 0,02 N hingga terjadi perubahan warna. Penetapan blanko dilakukan dengan cara yang sama.

Kadar Protein ( ) = (A - B) x N Cl x 14 x 6,25Berat sampel x 100

A = ml titrasi sampel B = ml titrasi blanko N = Normalitas

14 = Berat atom nitrogen 6,25 = Faktor konversi

Kadar Lemak (AOAC, 1995)

Pengujian kadar lemak mengacu pada prosedur AOAC, (1995). Analisis lemak dilakukan dengan metode Soxhlet. Sampel sebanyak 5 g dibungkus dengan kertas saring, kemudian diletakan dalam alat ekstraksi Soxhlet. Alat kondensor dipasang di atasnya dan labu lemak yang telah diketahui beratnya di bawahnya. Pelarut lemak heksan dimasukkan ke dalam labu lemak, kemudian dilakukan reflux selama ± 6 jam sampai pelarut turun kembali ke labu lemak dan berwarna jernih. Pelarut yang ada dalam labu lemak didestilasi dan ditampung kembali. Kemudian labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 70°C hingga mencapai berat yang tetap, kemudian didinginkan dalam

(46)

69

desikator. Labu beserta lemaknya ditimbang dengan berat labu yang telah diketahui sebelumnya.

Kadar Lemak ( ) = Berat sampelBerat lemak x 100

Kadar Abu

Pengujian kadar abu mengacu pada prosedur Sudarmadji, dkk., (1989). Sampel yang telah dikeringkan hingga berat konstan selanjutnya sampel ditimbang sebanyak 5 g. Sampel dimasukkan kedalam cawan porselen yang telah diketahui berat awalnya dan dibakar selama 1 jam dalam tanur dengan suhu 100 °C, 2 jam dengan suhu 300 °C kemudian dengan suhu 500 °C selama 2 jam. Cawan porselen didinginkan kemudian dikeluarkan dari tanur dan dimasukkan ke dalam desikator selama 15 menit kemudian ditimbang. Dihitung cawan dengan sample yang telah diabukan. Kadar abu diperoleh dengan rumus sebagai berikut.

Kadar Abu ( ) = Bobot sampel awal (g)Bobot abu (g) x 100

Kadar Serat Kasar

Kadar serat ditentukan dengan menggunakan metode AOAC (1995). Sampel sebanyak 2 g dimasukan ke dalam labu erlenmeyer 300 ml kemudian ditambahkan 50 ml H2SO4 0,325 N, dihidrolisis selama 30 menit pada suhu

100oC. Setelah itu didinginkan dan ditambahkan kembali NaOH 1,25 N sebanyak 50 ml dan dihidrolisis kembali selama 30 menit. Sampel disaring menggunakan kertas saring Whatman No. 41 yang telah dikeringkan dan diketahui beratnya. Kertas saring tersebut dicuci berturut-turut dengan akuades mendidih, 25 ml

(47)

H2SO4 0,325 N, kemudian akuades mendidih dan yang terakhir dicuci dengan

alkohol 95%. Kertas saring yang telah dicuci selanjutnya dikeringkan dalam oven bersuhu 105 oC selama satu jam, pengeringan dilakukan hingga berat konstan.

Berat kertas saring akhir (g) – berat kertas awal (g) Kadar serat kasar (%) = x100

berat sampel awal (g)

Kadar Pati

Pengujian kadar pati dengan menggunakan metode hidrolisis asam yang mengacu pada prosedur Apriyantono, dkk., (1989). Pereaksi DNS dibuat dengan cara melarutkan 10,6 g asam 3,5-dinitrosalisilat dan 19,8 g NaOH ke dalam 1416 ml air dan ditambahkan ke dalam larutan tersebut 106 g NaK-tartarat, 7,6 ml fenol (cairkan pada suhu 50°C) dan 8,3 g Na-metabisulfit, dicampur merata. Pereaksi DNS distandarisasi dengan cara dititrasi 3 ml pereaksi DNS dengan HCl 0,1 N dan indikator fenolftalein. HCl 0,1 N yang dibutuhkan 5-6 ml, jika kurang dari itu ditambahkan 2 g NaOH untuk setiap kekurangan 0,1 ml HCL 0,1 N.

Setelah itu dilakukan persiapan sampel dengan cara ditimbang pati sebanyak 2 g yang telah dihaluskan dimasukkan ke dalam beaker glass 250 ml, selanjutnya ditambahkan 50 ml alkohol 80 % dan diaduk selama 1 jam. Suspensi tersebut disaring dengan kertas saring dan dicuci dengan air sampai volume filtrat 250 ml. Filtrat ini mengandung karbohidrat yang terlarut dan dibuang.

Residu pati yang terdapat pada kertas saring dicuci sebanyak 5 kali dengan 10 ml ether. Ether dibiarkan menguap dari residu, kemudian cuci kembali dengan 150 ml alkohol 10% untuk membebaskan lebih lanjut karbohidrat yang terlarut. Residu dipindahkan secara kuantitatif dari kertas saring ke dalam erlenmeyer dengan cara pencucian dengan 200 ml air dan ditambahkan 20 ml HCl 25%.

(48)

69

Kemudian erlenmeyer ditutup dengan penangas balik dan dipanaskan di atas penangas air sampai mendidih selama 2,5 jam pada suhu 100°C. Residu dibiarkan dingin dan dinetralkan dengan larutan NaOH 45% hingga ± pH 7 dan diencerkan sampai volume 500 ml. Campuran disaring kembali dengan kertas saring, setelah itu ditentukan kadar gula yang dinyatakan sebagai glukosa dari filtrat yang diperoleh.

Penetapan kurva standar menggunakan larutan glukosa standar dengan konsentrasi 0,05-0,25 mg/ml dilakukan dengan cara menimbang 0,05 g glukosa, kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml dan ditambahkan akuades sampai tanda tera lalu diaduk menggunakan magnetik stirer selma 15 menit. Selanjutnya larutan induk glukosa dibuat dengan konsentrasi 0,05 mg, 0,1 mg, 0,15 mg, 0,2 mg dan 0,25 mg. Lalu dibaca absorbansinya di spektrofotometer pada panjang gelombang 550. Kurva standar glukosa di sajik pada Lampiran 2.

Setelah itu campuran tersebut dikocok atau dihomogenkan. Masing-masing dari campuran tersebut diambil 1 ml dan ditambahkan 3 ml DNS kemudian dikocok dan dipanaskan selama 5 menit dan didiamkan selama 30 menit. Selanjutnya intensitas warna yang terbentuk diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 550 nm. Kurva standar dibuat dengan memplot konsentrasi glukosa terhadap absorbansinya. Kadar pati dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut.

Kadar Pati ( ) = FP x Kadar gula reduksi (mg/ml) x 100 Berat sampel (g)

(49)

Kadar Amilosa dan Amilopektin

Kadar amilosa dan amilopektin ditentukan dengan menggunakan metode seperti yang dilakukan Apriyantono dkk (1989). Sampel ditimbang sebanyak 0,1 g lalu dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Selanjutnya sampel ditambahkan 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N. Campuran tersebut dipanaskan dalam air mendidih selama 10 menit hingga semua terlarut kemudian didinginkan. Selanjutnya campuran tersebut dipindahkan ke dalam labu takar 100 ml dan ditambahkan akuades sampai tanda tera.

Kemudian campuran tersebut dipipet 5 ml larutan ke dalam labu takar 100 ml dan tambahkan 1 ml asam asetat 1 N, 2 ml larutan iod dan akuades hingga tanda tera. Lalu dikocok dan didiamkan selama 20 menit. Kemudian diukur absorbansinya dengan menggunakan panjang gelombang 625 nm. Konsentrasi kandungan amilosa ditentukan dengan menggunakan kurva standar, melalui persamaan linier yang diperoleh.

Penetapan kurva standar amilosa dilakukan dengan cara menimbang 40 mg amilosa murni (amilosa kentang), kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi lalu ditambahkan 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N. Campuran tersebut dipanaskan ke dalam air mendidih selama 10 menit sampai semua bahan terlarut, kemudian didinginkan.

Campuran tersebut dipindahkan ke dalam labu takar 100 ml dan ditambahkan akuades hingga tanda tera. Larutan campuran dipipet dalam labu takar 100 ml masing-masing 1 ml, 2 ml, 3 ml, 4 ml, dan 5 ml. Lalu ke dalam labu takar tersebut ditambahkan asam asetat 1 N berturut-turut 0,2 ml, 0,4 ml, 0,6 ml,

(50)

69

0,8 ml, 1 ml serta masing-masing 2 ml larutan iod. Kemudian ditambahkan akuades sampai tanda tera.

Larutan campuran dihomogenkan dengan menggunakan magnetik stirer lalu dibiarkan selama 20 menit, diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm yaitu hubungan panjang gelombang yang memberikan absorbansi maksimum untuk warna biru.

Kadar amilosa ( ) = Konsentrasi amilosa (mg/ml) x FP x 0,001 Berat sampel (g) x 100 Kadar amilopektin ( ) = 100 - Kadar amilosa

Total gula

Pengujian total gula mengacu pada prosedur Apriyantono, dkk., (1989). Terlebih dahulu dilakukan persiapan sampel dengan cara bahan ditimbang sebanyak 5 g, ditambahkan 20 ml alkohol 80% dan aduk 1 jam. Larutan disaring dengan kertas saring dan dicuci dengan aquades sampai volume filtrat 200 ml. Larutan dipanaskan di waterbath hingga tidak berbau etanol lagi (volume air berkurang ±50 ml). Larutan dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml dan ditambahkan akuades hingga tanda tera. Selanjutnya dilakukan pengenceran dengan mengambil 1 ml sampel lalu diencerkan dengan 9 ml akuades lalu diambil lagi 1 ml dan diencerkan kembali dengan 14 ml akuades kemudian diaduk.

Penetapan kurva standar menggunakan larutan glukosa standar dengan konsentrasi 10-60 mg/ml dilakukan dengan cara menimbang 0,1 g glukosa, kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml dan ditambahkan akuades sampai tanda tera lalu diaduk menggunakan magnetik stirer selma 15 menit. Selanjutnya larutan induk glukosa dibuat dengan konsentrasi 10 mg, 20 mg, 30

(51)

mg, 40 mg, 50 mg dan 60 mg. Lalu dibaca absorbansinya di spektrofotometer pada panjang gelombang 490. Kurva satndar glukosa di sajik pada Lampiran 2.

Setelah persiapan sampel selesai, diukur total gula dengan cara diambil 1 ml sampel, ditambahkan 0,5 ml larutan fenol 5 %, dikocok kemudian ditambahkan dengan cepat 2,5 ml larutan asam sulfat pekat dengan cara menuangkan secara tegak lurus ke permukaan larutan. Dibiarkan selama 10 menit, dikocok. Diukur absorbansinya pada 490 nm. Dibuat kurva standar. Kemudian ditentukan total gula sampel (dinyatakan sebagai % glukosa) dengan perhitungan sebagai berikut :

Total ula ( ) = Konsentrasi sampel x FP Berat sampel (g) x 1000 100

Gula pereduksi

Pengujian gula pereduksi mengacu pada prosedurApriyantono, dkk., (1989). Terlebih dahulu pereaksi DNS dibuat dengan cara melarutkan 10,6 g asam 3,5-dinitrosalisilat dan 19,8 g NaOH ke dalam 1416 ml air. Selanjutnya ke dalam larutan tersebut ditambahkan 106 g NaK-tartarat. 7,6 ml fenol (cairkan pada suhu 50 °C) dan 8,3 g Na-metabisulfit, dicampur merata. Larutan distandarisasi dengan cara dititrasi 3 ml pereaksi DNS dengan HCL 0,1 N dan indikator fenolftalein. Dibutuhkan 5-6 ml HCL 0,1 N, jika kurang dari itu ditambahkan 2 g NaOH untuk setiap kekurangan 0,1 ml HCL 0,1 N.

Setelah itu dilakukan persiapan sampel dengan cara ditimbang pati 20 g, ditambahkan 40 ml alkohol 80% dan diaduk 1 jam. Disaring dengan kertas saring dan dicuci dengan akuades sampai volume filtrat 100 ml. Dipanaskan di waterbath hingga tidak berbau etanol lagi (volume air berkurang ±50 ml).

(52)

69

Dimasukkan ke dalam labu ukur 50 ml dan ditambahkan akuades hingga tanda tera. Setelah persiapan sampel selesai diukur gula pereduksi dengan cara diambil 1 ml sampel dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi bertutup, ditambahkan 3 ml pereaksi DNS. Ditempatkan dalam air mendidih selama 5 menit. Dibiarkan dingin sampai suhu ruang. Diencerkan sampel bila perlu sampai dapat terukur pada kisaran 20- 80% pada panjang gelombang 550 nm. Digunakan air sebagai blanko. Dibuat kurva standar.

Penetapan kurva standar menggunakan larutan glukosa standar dengan konsentrasi 0,01-0,25 mg/ml dilakukan dengan cara menimbang 0,05 g glukosa, kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml. Ditambahkan akuades sampai tanda tera dan diaduk dengan menggunakan magnetik stirer. Selanjutnya masing-masing dibuat konsentasi sampel 10 µg, 20 µg, 30 µg, 40 µ g, 50 µg dan 60 µgke dalam tabung reaksi. Setelah itu campuran tersebut dikocok atau dihomogenkan. Masing-masing dari campuran tersebut diambil 1 ml dan ditambahkan 3 ml DNS kemudian dikocok dan dipanaskan selama 5 menit. Didiamkan selama 30 menit. Selanjutnya intensitas warna yang terbentuk diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 550 nm. Kurva standar dibuat dengan memplot konsentrasi glukosa terhadap absorbansinya.

ula reduksi( ) = Konsentrasi sampel x FP Berat sampel (g) x 1000

Kadar vitamin C

Pengujian derajat polimerisasi menggunakan metode kolorimetri yang mengacu pada prosedurApriyantono, dkk., (1989).

Pembuatan larutan Dye

(53)

Larutan Dye dibuat dengan menimbang 100 mg 2,6-diklorofenol indofenol dan84 mg Sodium Bikarbonat, dilarutkan dalam aquadesdan diterakan hingga 100 ml. Larutan dipipet 25 ml dan ditera pada labu ukur 500 ml.

Pembuatan kurva standar vitamin C

Vitamin C ditimbang 100 mg dan ditambahkan dengan H2C2O4 6% hingga

tera pada labu 100 ml lalu diencerkan 4 ml larutan tersebut hingga volume 100 ml dengan H2C2O4 6%. Dipipet masing-masing 1 ml, 2 ml, 2,5 ml, 3ml, dan 4 ml

lalu larutan standar ditera dengan H2C2O4 6% hingga 5 ml. Larutan dye

ditambahkan dengan cepat sebanyak 10 ml ke dalam larutan standar, dikocok lebih kurang 10 detik lalu dibaca absorbansinya pada λ = 518 nm. Data konsentrasi standar diinterpretasikan dengan absorbansi dan diperoleh persamaan dengan nilai regresi 0,9≤R2≤1. Kurva standar asam askorbat untuk penetuan

vitamin C dapat dilihat pada Lampiran 3.

Penentuan kadar vitamin C tepung ubi jalar ungu

Sampel sebanyak 5 g, ditambahakan H2C2O4 6% dan disaring hingga

volume 100 ml. Filtrat diambil 5 ml, dimasukan dalam tabung reaksi, ditambahkan 10 ml larutan dye dengan cepat, dikocok sekitar 10 detik dan dibaca absorbansinya pada λ = 518 nm menggunakan spektrofotometer. Nilai absorbansi

dimasukan ke dalam persamaan kurva standar sehingga diperoleh konsentrasi asam askorbat yang kemudian dihitung melalui persamaan sebagai berikut.

Vitamin C ( ) = Konsentrasi asam askorbat x volume ekstrak total x 100

(54)

67

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Metode Perlakuan Awal dan Suhu Pengeringan Terhadap Karakteristik Fisik Tepung Ubi Jalar Ungu

Karakteristik fisik tepung ubi ungu yang diamati meliputi pengujian warna (°Hue), densitas kamba, organoleptik warna, aroma dan indeks pencoklatan. Pengaruh metode perlakuan awal dan suhu pengeringan terhadap mutu fisik dapat dilihat pada Tabel 5 dan Tabel 6.

Tabel 5. Pengaruh metode perlakuan awal terhadap karakteristik fisik tepung ubi jalar ungu yang diamati Warna (°Hue) 15,34±0,84b,B 15,44±0,96ab,B 16,68±01,93b,AB 16,82±0,73a,A Densitas Keterangan : Angka dalam tabel merupakan rataan dari 3 ulangan, ± standar deviasi. Angka yang

diikuti dengan huruf yang berbeda dalam satu baris menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) (huruf kecil) dan berbeda sangat nyata (P<0,01) (huruf besar) dengan uji LSR

(55)

Tabel 6. Pengaruh suhu pengeringan terhadap karakteristik fisik tepung ubi jalar ungu yang diamati

Prameter

Perlakuan awal

T1=50°C T2=55°C T3=60°C T4=65°C

Warna (°Hue) 15,53±0,44 15,43±0,93 16,76±2,25 16,54±0,59 Densitas

pencoklatan 1,12±0,02 1,06±0,06 1,04±0,02 1,03±0,02 Keterangan : Angka dalam tabel merupakan rataan dari 3 ulangan, ± standar deviasi. Angka yang

diikuti dengan huruf yang berbeda dalam satu baris menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) (huruf kecil) dan berbeda sangat nyata (P<0,01) (huruf besar) dengan uji LSR

Warna (°Hue)

Tabel 5 menunjukkan metode perlakuan awal memberikan pengaruh berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap warna (°Hue). Tabel 6 menunjukkan suhu pengeringan memberikan pengaruh berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap warna tepung. Hasil sidik ragam pada Lampiran 4 menunjukkan bahwa interaksi antara metode perlakuan awal dan suhu pengeringan memberikan pengaruh yang berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap warna tepung. Hubungan metode perlakuan awal dengan nilai warna tepung ubi ungu dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 menunjukkan bahwa metode perlakuan awal memberikan pengaruh terhadap nilai °Hue tepung ubi ungu, di mana perlakuan ubi yang dikupas dan direndam sodium metabisulfit menghasilkan warna paling cerah. Hal ini disebabkan oleh fungsi sulfit yang dapat menghambat reaksi pencoklatan yang dikatalis enzim fenolase dan dapat memblokir reaksi pembentukan senyawa 5

hidroksil metal fulfural dari D-glukosa penyebab warna coklat

(56)

68

(Fenema, 1996). Tepung dengan umbi yang diberi perlakuan dikupas dan direndam sodium metabisulfit memiliki warna cenderung lebih ungu dibandingkan dengan ubi yang dikupas dan tidak direndam oleh sodium metabisulfit tepung umbi yang memiliki warna ungu kemerahan. Perendaman dalam sodium metabisulfit pada ubi ungu sebelum proses pengeringan dapat mencegah pencoklatan (Widowati, 2005). Gugus sulfit pada natrium metabisulfit dapat menghambat sistem enzim fenolase secara langsung atau mereduksi hasil oksidasi menjadi bentuk fenolat sebelumnya, sehingga dapat mengurangi pencoklatan (Purwanto, dkk., 2013). Menurut Purwanto, dkk., (2013) penggunaan sodium metabisulfit pada proses pengeringan pada dasarnya mempertahankan warna, cita rasa dan stabilitas bahan pada penyimpanan.

(57)

Densitas kamba

Tabel 5 menunjukkan metode perlakuan awal memberikan pengaruh yang berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap densitas kamba tepung. Tabel 6 menunjukkan bahwa suhu pengeringan memberikan pengaruh berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap densitas kamba tepung. Hasil sidik ragam pada Lampiran 6 menunjukkan interaksi antara metode perlakuan awal dan suhu pengeringan memberikan pengaruh yang berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap densitas kamba tepung. Hubungan suhu pengeringan dengan nilai densitas kamba tepung ubi ungu dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Hubungan suhu pengeringan dengan nilai densitas kamba tepung ubi ungu.

Gambar 5 menunjukkan bahwa densitas kamba tertinggi diperoleh pada suhu 50°C dan terendah pada suhu 65°C. Hal ini dikarenakan kadar air pada perlakuan 50°C lebih tinggi dibandingkan perlakuan 65°C. Menurut Prabowo (2010), bahan dengan kadar air yang tinggi menyebabkan berat dari bahan yang diukur lebih besar dalam volume wadah yang sama. Tingginya kadar air menyebabkan partikel tepung menjadi lebih berat sehingga volume pada rongga

(58)

70

partikel menjadi lebih kecil karena partikel yang terbentuk semakin besar dan menyebabkan nilai densitas kamba semakin meningkat.

Nilai organoleptik aroma

Tabel 5 menunjukkan bahwa metode perlakuan awal memberikan pengaruh berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap nilai organoleptik aroma tepung. Tabel 6 menunjukkan bahwa suhu pengeringan memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap nilai organoleptik aroma tepung. Hasil analisis ragam pada Lampiran 8 menunjukkan bahwa interaksi antara metode perlakuan awal dan suhu pengeringan memberikan pengaruh yang berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap nilai organoleptik aroma tepung ubi ungu. Hubungan suhu pengeringan dengan nilai organoleptik aroma tepung ubi ungu dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Hubungan suhu pengeringan dengan nilai organoleptik aroma tepung ubi ungu

Gambar 6 menunjukkan bahwa peningkatan suhu pengeringan memberikan pengaruh terhadap nilai organoleptik aroma tepung ubi ungu, di

(59)

mana suhu yang paling tinggi memberikan nilai paling disukai dibandingkan suhu yang paling rendah. Muchtadi (1997) menyatakan selama proses pengeringan juga dapat terjadi perubahan warna, tekstur, aroma, dan lain-lain. Meskipun perubahan-perubahan tersebut dapat dibatasi seminimal mungkin dengan cara memberikan perlakuan pendahuluan terhadap bahan yang akan dikeringkan.

Nilai organoleptik warna

Tabel 5 menunjukkan bahwa metode perlakuan awal memberikan pengaruh berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap nilai organoleptik warna tepung. Tabel 6 menunjukkan bahwa suhu pengeringan memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap nilai organoleptik warna tepung. Hasil analisis ragam pada Lampiran 10 menunjukkan bahwa interaksi antara metode perlakuan awal dan suhu pengeringan memberikan pengaruh yang berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap nilai organoleptik aroma tepung. Hubungan suhu pengeringan dengan nilai organoleptik warna tepung ubi ungu dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 menunjukkan bahwa peningkatan suhu pengeringan memberikan pengaruh terhadap nilai organoleptik warna tepung ubi ungu, di mana suhu yang paling tinggi memberikan nilai yang paling tinggi. Pada proses pembuatan ubi jalar ini, suhu pengeringan dan perlakuan awal berpengaruh pada warna tepung yang dihasilkan. Tepung yang menggunakan suhu paling rendah menghasilkan tepung warna merah keunguan, sedangkan tepung yang menggunakan suhu tinggi menghasilkan warna ungu. Hal ini karena ekstrak zat warna merah yang diperoleh dari ubi jalar ungu bersifat tidak stabil terhadap pemanasan. Menurut Wijaya dkk (2001), menurunnya stabilitas warna karena

(60)

72

suhu yang tinggi disebabkan terjadinya dekomposisi antosianin dari bentuk aglikon menjadi kalkon (tidak berwarna).

Gambar 7. Hubungan suhu pengeringan dengan nilai organoleptik warna tepung ubi ungu

Indeks pencoklatan

Tabel 5 dan Tabel 6 menunjukkan bahwa metode perlakuan awal dan suhu pengeringan memberikan pengaruh yang berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap tepung. Hasil analisis ragam pada Lampiran 12 menunjukkan interaksi antara metode perlakuan awal dan suhu pengeringan memberikan pengaruh yang berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap indeks pencoklatan tepung ubi jalar ungu.

Pengaruh Metode Perlakuan Awal dan Suhu Pengeringan Terhadap Karakteristik Kimia Tepung Ubi Jalar Ungu

Karakteristik kimia tepung ubi ungu yang diamati meliputi kadar air (%), dan antosianin. Pengaruh metode perlakuan awal dan suhu pengeringan terhadap karateristik kimia tepung ubi ungu dapat dilihat pada Tabel 7 dan Tabel 8.

(61)

Tabel 7. Pengaruh metode perlakuan awal terhadap karakteristik kimia tepung ubi

10,24±2,09a,A 9,68±1,52ab,AB 9,66±1,49ab,B 8,68±1,97b,B Antosianin

(ppm)

196,21±18,84c,C 199,54±12,86c,C 246,63±10,15b,B 278,31±10,15a,A Keterangan : Angka dalam tabel merupakan rataan dari 3 ulangan, ± standar deviasi. Angka yang

diikuti dengan huruf yang berbeda dalam satu baris menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) (huruf kecil) dan berbeda sangat nyata (P<0,01) (huruf besar) dengan uji LSR

Tabel 8. Pengaruh suhu pengeringan terhadap karakteristik kimia tepung ubi jalar ungu yang diamati Keterangan : Angka dalam tabel merupakan rataan dari 3 ulangan, ± standar deviasi. Angka yang

diikuti dengan huruf yang berbeda dalam satu baris menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) (huruf kecil) dan berbeda sangat nyata (P<0,01) (huruf besar) dengan uji LSR

Kadar air

Tabel 7 menunjukkan bahwa metode perlakuan awal memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap nilai kadar air pada tepung ubi ungu. Tabel 8 menunjukkan bahwa suhu pengeringan memberikan pengaruh berbeda yang sangat nyata (P<0,01) terhadap nilai kadar air tepung ubi ungu. Hasil analisis ragam pada Lampiran 13 menunjukkan bahwa interaksi antara metode perlakuan dan suhu pengeringan memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P<0,05) terhadap nilai kadar air tepung. Pengaruh interaksi metode

(62)

74

perlakuan awal dan suhu pengeringan dengan nilai kadar air tepung ubi ungu dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Hubungan interaksi metode perlakuan awal dan suhu pengeringan dengan kadar air tepung ubi jalar

Gambar 8 menunjukkan bahwa ubi yang dikupas dan direndam sodium metabisulft memberikan hasil kadar air paling rendah. Adanya penambahan sodium metabisulfit yang digunakan maka semakin rendah kadar air tepung ubi ungu. Menurut Rahman (2007) proses sulfitasi dapat menyebabkan jaringan pada bahan menjadi berlubang-lubang sehingga akan mempercepat proses pengeringan dan dengan pengeringan yang cepat tersebut maka kadar air pada bahan pun akan cepat teruapkan. Menurut standar SNI 3751-2009, kadar air untuk tepung terigu maksimal 14,5% (b/b), tepung singkong maksimal 12% (b/b), tepung beras 13% (b/b), dan tepung jagung 10% (b/b). Apabila dibandingkan dengan standar kadar air tepung-tepung tersebut, kadar air pada tepung ubi ungu ini masih berada dalam kisaran standar SNI.

P3: Umbi yang tidak dikupas , diiris + sodium metabisulfit 0,5%

P4 : Umbi yang dikupas, diiris + sodium metabisulfit 0,5% P2

P1 P3 P4

(63)

Proses pengeringan pada pembuatan tepung ubi ungu bertujuan untuk menurunkan jumlah air yang terkandung di dalamnya. Kadar air merupakan salah satu parameter yang cukup penting pada produk tepung karena berkaitan dengan mutu. Semakin rendah kadar airnya maka produk tepung tersebut semakin baik mutunya karena dapat memperkecil media untuk timbulnya mikroba yang dapat menurunkan mutu produk tepung. Suhu pengeringan dan perendaman sodium metabisulfit berpengaruh pada proses penepungan ubi ungu. Semakin besar suhu yang digunakan maka kadar air yang dihasilkan semakin kecil. Nilai kadar air yang tinggi disebabkan oleh suhu pengeringan yang rendah karena proses penguapan yang relatif rendah. Hal ini sesuai dengan pendapat Desrosier (1988), bahwa semakin tinggi suhu udara pengeringan, semakin besar panas yang dibawa udara sehingga semakin banyak jumlah air yang diuapkan dari permukaan bahan yang dikeringkan.

Kadar antosianin

Tabel 9 menunjukkan metode perlakuan awal memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap antosianin tepung. Tabel 10 menunjukkan bahwa suhu pengeringan memberikan pengaruh berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap antosianin tepung. Hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 15 menujukkan bahwa reaksi antara metode perlakuan awal dengan suhu pengeringan memberikan pengaruh berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap antosianin tepung. Hubungan metode perlakuan awal dengan antosianin tepung dapat dilihat pada Gambar 9.

(64)

76

Gambar 9. Hubungan metode perlakuan awal dengan nilai kadar antosianin tepung

(65)

Pengaruh Metode Perlakuan Awal dan Suhu Pengeringan Terhadap Karakteristik Fungsional Tepung Ubi Jalar Ungu

Karakteristik fungsional tepung ubi ungu yang diamati meliputi pengujian daya serap air, daya serap minyak, swelling power, kelarutan, dan baking expansion. Pengaruh metode perlakuan awal dan suhu pengeringan terhadap fungsional dapat dilihat pada Tabel 9 dan Tabel 10.

Tabel 9. Pengaruh metode perlakuan awal terhadap mutu fungsional tepung ubi jalar ungu yang diamati Keterangan : Angka dalam tabel merupakan rataan dari 3 ulangan, ± standar deviasi.

Tabel 10. Pengaruh suhu pengeringan terhadap karakteristik fungsional tepung ubi jalar ungu yang diamati Keterangan : Angka dalam tabel merupakan rataan dari 3 ulangan, ± standar deviasi.

Daya serap air

Nilai daya serap air tepung ubi ungu dengan metode perlakuan awal dan jenis suhu pengeringan dapat dilihat pada Tabel 9 dan 10. Hasil analisis ragam

(66)

78

menunjukkan bahwa metode perlakuan awal dan suhu pengeringan memberikan pengaruh yang berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap tepung ubi ungu. Hasil analisis ragam pada Lampiran 17 menunjukkan interaksi antara metode perlakuan awal dan suhu pengeringan memberikan pengaruh yang berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap daya serap air tepung.

Daya serap minyak

Nilai daya serap minyak tepung ubi ungu dengan metode perlakuan awal dan jenis suhu pengeringan dapat dilihat pada Tabel 9 dan 10. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa metode perlakuan awal dan suhu pengeringan memberikan pengaruh yang berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap tepung ubi ungu. Hasil analisis ragam pada Lampiran 18 menunjukkan interaksi antara metode perlakuan awal dan suhu pengeringan memberikan pengaruh yang berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap daya serap minyak tepung.

Swelling power

Nilai swelling power tepung ubi ungu dengan metode perlakuan awal dan jenis suhu pengeringan dapat dilihat pada Tabel 9 dan 10. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa metode perlakuan awal dan suhu pengeringan memberikan pengaruh yang berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap tepung ubi ungu. Hasil analisis ragam pada Lampiran 19 menunjukkan interaksi antara metode perlakuan awal dan suhu pengeringan memberikan pengaruh yang berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap swelling power tepung.

(67)

Kelarutan

Nilai kelarutan tepung ubi ungu dengan metode perlakuan awal dan suhu pengeringan dapat dilihat pada Tabel 9 dan 10. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa metode perlakuan awal dan suhu pengeringan memberikan pengaruh yang berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap tepung ubi ungu. Hasil analisis ragam pada Lampiran 20 menunjukkan interaksi antara metode perlakuan awal dan suhu pengeringan memberikan pengaruh yang berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap kelarutan tepung.

Baking expansion

Nilai baking expansion dengan metode perlakuan awal dan suhu pengeringan dapat dilihat pada Tabel 9 dan 10. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa metode perlakuan awal dan suhu pengeringan memberikan pengaruh berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap nilai baking expansion tepung. Hasil analisis ragam pada Lampiran 21 menunjukkan bahwa interaksi antara metode perlakuan awal dan suhu pengeringan memberikan pengaruh yang berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap nilai baking expansion tepung.

Pemilihan Perlakuan Awal (Pre-treatment) dan Suhu Pengeringan yang Menghasilkan Tepung Ubi Jalar Ungu dengan Mutu Fisik, Kimia, dan Fungsional Terbaik

Berdasarkan hasil pengujian mutu fisik, kimia, dan fungsional tepung ubi jalar ungu dengan perlakuan awal (pre-treatment) dan suhu pengeringan yang berbeda, maka pengambilan tepung terbaik dilihat dari parameter organoleptik aroma, organoleptik warna, indeks pencoklatan, swelling power, dan baking expansion. Perlakuan terbaik diambil menggunakan metode indeks efektivitas

(68)

80

(deGarmo, dkk., 1984) yang dapat dilihat pada Lampiran 22. Perhitungan menggunakan metode deGarmo memberikan hasil nilai rata hubungan nilai bobot dan nilai perlakuan terbesar yang merupakan perlakuan terbaik. Hasil analisis perlakuan terbaik dengan metode deGarmo dipilih berdasarkan nilai hasil paling tinggi.

Dari parameter yang telah disebutkan di atas diperoleh perlakuan terbaik yaitu tepung ubi jalar ungu dengan perlakuan awal dikupas dan perendaman sodium metabisulfit (Na2S2O5) 0,5 % pada suhu pengeringan 65°C. Selanjutnya

dilakukan pengujian perlakuan terbaik, meliputi kadar protein, kadar lemak, kadar abu, kadar serat, kadar pati, kadar amilosa, kadar amilopektin, total gula, gula pereduksi, total fenolik, dan kadar vitamin C. Mutu kimia tepung ubi jalar ungu dari hasil perlakuan terbaik dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Karakteristik kimia tepung ubi jalar dari hasil perlakuan terbaik

Komposisi Perlakuan terbaik

Kadar protein (%) 4,71±0,36

Kadar lemak (%) 0,43±0,01

Kadar abu (%) 2,07±0,40

Kadar serat kasar (%) 3,60±0,88

Kadar pati (%) 61,57±3,40

Kadar amilosa (%) 21,7±2,41

Kadar amilopektin (%) 39,8±2,41

Total gula (%) 7,86±0,17

Gula pereduksi (%) 1,72±0,02

Kadar vitamin C (mg/100 g) 53,20±3,85

Pada Tabel 11 dapat dilihat bahwa kandungan kadar protein tepung ubi jalar ungu dari perlakuan terbaik, yaitu 4,71 %. Sriwahyuni (1986) menyatakan bahwa adanya perendaman sodium metabisulfit pada irisan ubi ungu dapat mempertahankan kadar protein dalam tepung ubi jalar yang dihasilkan. Yu, dkk., (2006) menyatakan bahwa proses pengeringan akan mempengaruhi kerusakan protein seperti denaturasi.

Gambar

Tabel 4. Skala nilai hedonik warna dan aroma
Tabel 5. Pengaruh metode perlakuan awal terhadap karakteristik fisik tepung ubi jalar ungu yang diamati
Tabel 6. Pengaruh suhu pengeringan terhadap karakteristik fisik tepung ubi jalar ungu yang diamati
Gambar 4. Hubungan metode perlakuan awal dengan nilai warna (°Hue) tepung ubi ungu
+7

Referensi

Dokumen terkait

Adapun permasalahan yang akan dibahas adalah mengenai analisa distribusi aliran pada tiap pipa antara lain kapasitas aliran fluida, kecepatan aliran fluida, kerugian head yang

Dalam pemilihan suatu pompa, yang perlu diperhatikan adalah mengetahui fungsi dan instalasi pompa, jenis fluida yang akan dipompakan, kapasitas aliran, serta head yang

Dalam merencanakan suatu jaringan pipa untuk penditribusian air bersih hal yang penting dilakukan terlebih dahulu adalah menentukan besarnya kapasitas aliran fluida yang mengalir

Pada node ini memiliki tekanan rendah karena mempunyai jarak yang jauh dari sumber meter induk dan memiliki elevasi yang tinggi yaitu +15 m serta headloss yang

Hasil simulasi yang diperoleh menunjukkan bahwa semakin besar kecepatan awal dan diameter pipa, semakin besar pula iterasi yang dihasilkan di titik – titik aliran

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “ANALISIS KADAR FORMALIN BERDASARKAN PERBEDAAN SUHU AIR DALAM PROSES PENCUCIAN SERTA SESUDAH PENGUPASAN PADA

Pada perlakuan suhu air awal 50 o C dengan lama perendaman 60 menit juga menghasilkan persentase kecambah yang tinggi, hal ini dikarenakan waktu perendaman yang cukup

Visual Jaringan Pipa Distribusi Komplek PT Arun Area Balik Papan Hasil analisa jaringan perpipaan menggunakan program EPANET 2.0 ditunjukkan pada tabel 6 berikut ini :..