• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembelajaran konstruktivisme melaui komputer (computer based instruction ) untuk mengakomodasi keragaman kemampuan siswa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pembelajaran konstruktivisme melaui komputer (computer based instruction ) untuk mengakomodasi keragaman kemampuan siswa"

Copied!
318
0
0

Teks penuh

(1)

Prof. Ahmed Abou-El-Wafa

Riyadh - 2009 (1430 H.)

Produced and Printed by Printing Press of Naif Arab University for Security Sciences

The Right to Asylum

between Islamic Shari’ah and

International Refugee Law

A Comparative Study

HAK – HAK PENCARIAN SUAKA

DALAM SYARIAT ISLAM DAN

HUKUM INTERNASIONAL

(SUATU KAJIAN PERBANDINGAN)

Produksi buku ini didanai oleh UNHCR

Produced and Printed by Printing Press ofNaif Arab University for Security Sciences

Cy

a

n

M

agen

ta

Y

ello

w

(2)

i

HAK – HAK PENCARIAN SUAKA

DALAM SYARIAT ISLAM DAN HUKUM

INTERNASIONAL

(SUATU KAJIAN PERBANDINGAN)

Prof. Dr. Ahmad Abû al-Wafâ’

(3)

ii

HAK – HAK PENCARIAN SUAKA

DALAM SYARIAT ISLAM DAN HUKUM INTERNASIONAL (SUATU KAJIAN PERBANDINGAN)

Judul Asli:

Haqq al-Lujû′ bain al-Syarî’ah al-Islâmiyyah wa al-Qânûnal-Dauliy li al-Lâji’în, Dirâsah Muqâranah

Penulis:

Prof. Dr. Ahmad Abû al-Wafa’

Konsultan:

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H, M.A, M.M

Penerjemah:

Dr. Asmawi, M.Ag

Dr. H. Abdurrahman Dahlan, M.A Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, M.A

Afwan Faizin, M.A

Pembaca Ahli:

Dr. H.Ahmad Mukri Aji, M.A Harry Alexander, S.H, L.LM

Editor dan Penyelaras Bahasa:

Dr. Asmawi, M.Ag

Sekretariat:

Nurhabibi Ihya, S.H.I, M.H

Diterbitkan atas kerjasama:

Kantor Perwakilan UNHCR di Indonesia

dan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Indonesia

Cetakan I, Oktober 2011

Kantor Perwakilan UNHCR di Indonesia

http://www.unhcr.or.id

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah

Jl. Ir.H.Djuanda No. 95 Ciputat Jakarta 15412, Indonesia http://www.fsh-uinjkt.net

(4)

iii

Nurhabibi Ihya, S.H.I, M.H

Diterbitkan atas kerjasama: Kanto

(5)

iv Allah SWT berfirman:

Dan orang-orang yang beriman, yang hijrah dan yang jihad di jalan Allah, serta orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang yang hijrah), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman; mereka memperoleh ampunan dan rezeki (nikmat) yang mulia. (Q.s. al-Anfâl/8:74)

“Setiap orang berhak mencari dan menikmati suaka di negara lain untuk melindungi dirinya dari penganiayaan/penyiksaan.“ (Pasal 14 Piagam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia).

(6)

v

United Nations High Commissioner for Refugees

Kantor Regional Republik Arab Mesir

Kantor Regional Negara-Negara Teluk

e-mail: areca@unhcr.org email: sauri@unhcr.org Website Berbahasa Arab:

www.unhcr.org.eg

Website Berbahasa Inggris: www.unhcr.org

Cetakan Pertama 2009

Buku ini ditulis atas nama UNHCR Prof. Dr. Ahmad Abû al-Wafa’, Ketua Jurusan Hukum Publik Internasional, Fakultas Hukum, Universitas Kairo, Mesir.

Kandungan isi buku ini sepenuhnya merupakan opini penulis, bukan opini UNHCR.

Pengutipan, perujukan dan penyalinan isi buku ini, baik untuk tujuan akademis, tujuan pendidikan, ataupun tujuan non-komersial lainnya dapat diperkenankan tanpa perlu ada izin formal dari UNHCR, dengan catatan menyebutkannya sebagai referensi.

Buku ini tersedia dalam Bahasa Arab, yang dapat diunduh pada situs: www.unhcr.org.eg dan Bahasa Inggris pada:

www.unhcr.org

(7)

vi DAFTAR ISI

Daftar Isi... vi

Sambutan Komisioner Tinggi UNHCR... x

Sambutan Sekretaris Jenderal Organisasi Konferensi Islam...

xvii

Sambutan Rektor Universitas Ilmu Keamanan Naif Arab...

xxiv

Sambutan Rektor Universitas Al-Azhar………... xxvi

Persembahan………... xxxvi

Pengantar Umum……….... 1

Bab I: Persyaratan pemberian suaka menurut Syariat Islam dan Hukum Internasional ...

18

A. Menurut Syariat Islam……….... 18 B. Menurut Hukum

Internasional………...

25

Bab II: Prinsip - prinsip hukum tentang suaka

menurut Syariat Islam dan Hukum Internasional...

27

A. Perbedaan antara tujuan dan prinsip yang mengatur pemberian suaka……….

27

B. Prinsip - prinsip utama yang mengatur hak – hak suaka………...

29

B.1. Prinsip Larangan Pemulangan (non-refoulement) 29 B.2. Asas larangan menghukum pengungsi yang masuk

atau hadir secara ilegal di wilayah suatu negara………

47

B.3. Asas non-diskriminasi... 56 B.4. Prinsip karakter manusiawi dalam hak suaka... 62 Bab III: Macam - Macam Suaka dalam Syariat Islam

dan Hukum Internasional...

65

(8)

vii

2. Suaka Teritorial………... 79

3. Suaka Diplomatik……….... 133

Bab IV: Status Hukum Pengungsi Menurut Syariat Islam dan Hukum Internasional... 147 1. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban pengungsi……... 147

2. Penyatuan keluarga……….. 156

3. Harta kekayaaan pengungsi………... 166

4. Perlindungan diplomatik ………... 171

5. Hak – hak pengungsi anak………... 174

6. Hak atas harta kekayaan……….. 179

7. Muamalah atau interaksi dengan orang non-Muslim 180 8. Aturan umum dalam Syariat Islam, bahwa pengungsi, meskipun non-Muslim, dihormati………. 180 9. Larangan pemaksaan perpindahan agama terhadap orang non-Muslim……….... 181 10. Peradilan Islam menghormati hak-hak pengungsi non-Muslim………... 186 11. Perlindungan atas hidup non-Muslim………... 188

12. Hak pengungsi dalam mendapatkan perlakuan yang adil………... 189 Bab V: Faktor yang Menghalangi Pencarian Suaka Menurut Syariat Islam dan Hukum Internasional... 191

I. Faktor penghalang pada masa kemunculan hak suaka: orang yang tidak berhak mendapatkan status pengungsi... 191 II. Faktor yang menghalangi keberlangsungan suaka: perlindungan sementara………... 214 III. Faktor penghalang di penghujung suaka: Solusi jangka panjang dan penyebab berakhirnya suaka…. 219 III.1. Solusi Jangka Panjang (Durable Solutions)…….. 219

III.2. Berakhirnya suaka……….. 239 Bab VI: Perbandingan antara Syariat Islam dan

Hukum Internasional dalam Konteks Hak Suaka ...

(9)

viii

A. Segi persamaan antara pandangan Syariat Islam dan Hukum Internasional tentang hak suaka……...

250

B. Perbedaan pandangan Syariat Islam dan Hukum Internasional tentang hak suaka………....

251

Penutup……… 271

(10)
(11)

x

SAMBUTAN

KOMISIONER TINGGI BADAN PERSERIKATAN

BANGSA – BANGSA UNTUK URUSAN

PENGUNGSI (UNHCR)

Tradisi dan budaya bangsa Arab merupakan fondasi yang

kokoh bagi upaya perlindungan manusia dan penghormatan

harkat-martabat mereka. Penggunaan beberapa istilah seperti

al-ijârah (perlindungan), al-istal-ijârah (meminta perlindungan) dan

al-îwâ’ (perlindungan), tiada lain, menunjukkan gambaran yang

terang benderang tentang ide perlindungan kemanusiaan, yang

kemudian pada era sekarang ini menjadi tugas pokok UNHCR.

Syariat Islam hadir untuk mengukuhkan prinsip-prinsip

kemanusiaan, seperti persaudaraan, persamaan dan toleransi.

Pemberian bantuan, jaminan keamanan dan perlindungan kepada

orang yang membutuhkan, hingga kepada musuh sekalipun,

merupakan ajaran mulia Syariat Islam, yang nota bene hadir

mendahului kelahiran sejumlah instrumen hukum internasional

modern tentang hak asasi manusia dan pengungsi, yang mengatur,

antara lain, hak suaka dan larangan ekstradisi pengungsi. Itu

semua dalam rangka melindungi keselamatan jiwa orang

bersangkutan dan menghindarkannya dari penganiayaan atau

(12)

xi

Syariat Islam mengatur masalah suaka dengan jelas dan

rinci. Syariat Islam juga menjamin secara penuh perlindungan,

penghormatan, dan pemeliharaan bagi setiap pencari suaka. Ia

juga menggariskan aturan, bagi masyarakat Islam, yang wajib

dijalani dalam rangka memenuhi permintaan-permintaan suaka.

Oleh karena itu, tindakan menolak permintaan pencari suaka

adalah dilarang secara tegas. Yang kini dikenal dengan “asas

larangan pengusiran/pengembalian pencari suaka ke negara

asalnya (Prinsip non-refoulement)”, yang menjadi dasar dari

Hukum Pengungsi Intenasional, beranjak dari prinsip dalam

Syariat Islam tersebut.

Tradisi panjang pemberian perlindungan dalam sejarah

kemanusiaan menuntut adanya pemberian perlindungan bagi

pencari suaka, baik yang Muslim maupun non-Muslim. Hal ini

ditegaskan oleh Q.s. al-Taubah/9:6, yakni: “ dan jika seorang

diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan

kepadamu, maka lindungilah ia supaya sempat mendengar firman

Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya;

yang demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak

mengetahui.” Makna terdalam “permintaan perlindungan”

(istijârah) tersebut ialah kebutuhan akan adanya payung

perlindungan komprehensif bagi pencari suaka, keluarganya dan

harta kekayaannya, terutama yang terkait dengan “tempat-tempat

(13)

xii

Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat. dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: "Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i'tikaf, yang ruku' dan yang sujud". (Q.s. al-Baqarah/2:125). Begitu pula dalam Hadis:

Siapa saja yang masuk ke dalam Masjidilharam, ia dijamin aman; siapa saja yang masuk ke dalam rumah Abu Sufyan, ia dijamin aman; siapa saja yang melempar senjatanya, ia dijamin aman; dan siapa saja yang menutup pintu rumahnya, ia dijamin aman. (Diriwayatkan oleh Muslim)1

Sebagaimana ditegaskan sejumlah sarjana Islam, migrasi

(hijrah) dan pengungsian orang-orang Muslim ke Ethiopia

(Abessinia/ Habsy) dan migrasinya Nabi SAW ke Madinah untuk

menghindari penganiayaan kaum kafir Quraisy merupakan

perwujudan dari rasa kasih sayang. Hal tersebut juga merupakan

preseden penting bagi adanya hubungan yang erat antara pencari

suaka dan pemberi suaka yang membentuk ikatan hak bagi

pencari suaka dan kewajiban bagi pemberi suaka.

Al-Qur’an dan Hadis merupakan sumber hukum yang telah

memberikan fondasi yuridis bagi hukum suaka kontemporer

dengan lebih memadai dibandingkan dengan yang diberikan

sumber-sumber hukum bersejarah lainnya. Meskipun banyak dari

1

(14)

xiii

nilai hukum itu merupakan bagian dari budaya dan tradisi bangsa

Arab pra-Islam, tetapi realitas ini tidak selamanya diakui ,

termasuk di dunia Arab. Kalangan masyarakat internasional perlu

mengapresiasi tradisi murah hati dan ramah tamah terhadap tamu

ini yang praktiknya telah berlangsung selama 14 abad. Begitu

juga, mereka perlu mengakui kontribusi tradisi tersebut bagi

terbentuknya hukum modern.

Di dalam studi yang intensif ini, penulis mendeskripsikan

secara detil Syariat Islam dan tradisi bangsa Arab, termasuk

standar dan norma yang menjadi rujukan hukum, yang mendasari

aktivitas - aktivitas UNHCR.

Prof. Dr. Ahmad Abû al-Wafâ’ menunjukkan betapa Islam

memberikan penghargaan dan penghormatan terhadap pengungsi,

meskipun non-Muslim; juga menunjukkan betapa Islam melarang

tindakan pemaksaan perubahan agama mereka; dan juga

menunjukkan betapa Islam memerintahkan berbuat adil terhadap

mereka, tidak mengurangi hak-hak mereka, melindungi diri dan

harta kekayaan mereka, dan menyatukan mereka dengan keluarga

mereka. Prof. Dr. Ahmad Abû al-Wafâ’ juga menghimpun

teks-teks ayat al-Qur’an dan syair bangsa Arab pra-Islam dan

pasca-Islam, yang disertai dengan penjelasan mendalam dan

sumber-sumber teks tersebut. Dari sisi inilah nampak jelas kelebihan dan

keutamaan karya ini dalam menyingkap nilai yang dikandung

(15)

xiv

yang memberi perlindungan kepada orang yang bermigrasi ke

lingkungannya, itulah orang Mukmin yang sejati; juga

memandang hak suaka sebagai salah satu hak asasi manusia yang

mendasar dan sakral, bahkan bagi pendatang non-Muslim.

Dewasa ini, mayoritas pengungsi di berbagai belahan dunia

adalah Muslim. Ini merupakan realitas yang sangat kentara pada

era di mana fanatisme dengan berbagai bentuknya, baik yang

bersifat etnik maupun keagamaan, tumbuh subur di belahan dunia

manapun, bahkan di kawasan negara-negara maju sekalipun. Kita

dapat melihat fenomena rasisme dan kebencian terhadap segala

sesuatu yang berbau asing (xenophobia), yang bertujuan

memprovokasi dan memanipulasi opini publik, dengan cara

mengaburkan pengertian antara pengungsi (pencari suaka),

imigran, dan bahkan teroris. Sikap dan perilaku ini berakibat

terhadap menjamurnya mispersepsi terhadap Islam; dan ini harus

dibayar mahal oleh para pengungsi Muslim. Marilah kita

klarifikasi bahwa pengungsi itu bukanlah teroris, mereka justru

menjadi korban pertama dan utama terorisme. Melalui buku ini

kita dapat memahami kewajiban kita untuk menghadapi,

menangani serta memberantas sikap dan perilaku tersebut.

Perlu diakui bahwa buku ini menawarkan kajian yang sangat

berharga, suatu kajian perbandingan antara Syariat Islam dan

hukum internasional, terutama yang berkaitan dengan urusan

(16)

xv

terpaksa. Buku ini lahir sebagai produk kerjasama yang erat dan

berkesinambungan antara UNHCR dan Organisasi Konferensi

Islam (OKI).

Hal yang penting sesungguhnya bukanlah semata

penyematan “pengungsi” kepada seseorang, melainkan upaya

pemberian perlindungan terhadap orang tersebut. Pemberian

perlindungan itu merupakan tradisi sekaligus praktik yang terus

dijalankan oleh negara-negara OKI. Hasil kerjasama antara

UNHCR dan OKI ini dapat dilihat dari lahirnya Deklarasi

Universal Hak Asasi Manusia dalam Islam, yang disahkan pada

tahun 1990 dalam Konferensi OKI di Kairo, Mesir, yang

menyatakan bahwa setiap orang yang dianiaya oleh

pemerintahnya berhak untuk meminta perlindungan/suaka kepada

negara lain; dan negara yang bersangkutan wajib memberikan

perlindungan/suaka hingga ia merasa aman.

Buku ini merupakan referensi yang sangat penting untuk

dipelajari dan dikaji, yang dilengkapi dengan contoh-contoh

historis-faktual dan teks-teks ayat al-Qur’an. Buku ini juga sangat

penting untuk dibaca oleh orang yang memiliki ketertarikan

terhadap isu - isu hak asasi manusia (HAM), urusan pengungsi

dan migrasi. Sebab, buku ini merupakan buah studi yang sangat

relevan dengan upaya sosialisasi dan promosi nilai-nilai luhur

(17)

xvi

sebagai rujukan, baik secara langsung maupun tak langsung,

dalam pembentukan hukum dan perjanjian internasional.

Kerjasama strategis antara UNHCR dan Dunia Islam ini

merupakan hal yang sangat penting bagi kontinuitas komitmen

terhadap tradisi murah hati, penerimaan ramah tamah, dan

pemberian perlindungan tanpa diskriminasi yang telah ada sejak

14 abad yang lalu. Prinsip – prinsip ini, dan prinsip – prinsip

dasar hak asasi manusia dijelaskan secara rinci di dalam buku ini;

dan sekaligus juga dibuktikan betapa prinsip-prinsip tersebut

menjadi sumbu/poros bagi kehadiran hukum internasional yang

mengatur kerja-kerja kemanusiaan internasional. Kami akan

selalu mengingat prinsip Islam bahwa semua manusia adalah

setara dihadapan manusia lainnya.

António Guterres

(18)

xvii

SAMBUTAN

SEKRETARIS JENDERAL

ORGANISASI KONFERENSI ISLAM (OKI)

Segala puji tertuju kepada Allah, Tuhan di alam dan

semesta. Salawat dan salam tertuju kepada Rasulullah yang mulia,

keluarganya yang diberkahi dan sahabat – sahabatnya yang baik.

Sungguh suatu kebahagian tersendiri bagi saya, dapat

menyampaikan kata pengantar bagi hasil kerja ilmiah yang besar

ini, dibawah arahan UNHCR - badan kemanusiaan internasional

yang memberikan penanganan dan perlindungan yang baik bagi

pengungsi di berbagai negara di dunia. Apa yang dilakukan

UNHCR merupakan kerja dan aktivitas yang patut dihargai dan

sungguh mendatangkan manfaat kemanusiaan. Saya juga patut

menyampaikan ucapan terima kasih kepada UNHCR atas

perhatian dan kepeduliannya terhadap isu pengungsi demi

tercapainya tujuan-tujuan kemanusiaan, lebih lagi karena

persentase terbesar pengungsi di berbagai kawasan dunia

merupakan orang-orang Muslim.

Adanya penugasan UNHCR terhadap Prof. Ahmad Abu

al-Wafâ’ untuk mengadakan riset/kajian tentang hak suaka dalam

pandangan Syariat Islam sungguh merupakan indikator gamblang

(19)

xviii

kemanusiaan. Hal demikian dipertegas oleh pernyataan

Komisioner UNHCR, Mr. António Guterres, dalam kata

sambutannya atas hasil kerja ilmiah yang istimewa ini, yang

mengatakan: “Syariat Islam hadir dalam rangka mengukuhkan

prinsip-prinsip kemanusiaan: persaudaraan, persamaan dan

toleransi sesama manusia. Upaya memberikan bantuan,

perlindungan, tempat tinggal, dan jaminan keamanan, bahkan

terhadap musuh sekalipun, sungguh merupakan ajaran Syariat

Islam yang integral dan hadir lebih awal berabad-abad,

mendahului kemunculan hukum dan konvensi internasional

tentang hak asasi manusia di era modern, termasuk hak suaka dan

larangan pemulangan pengungsi (prinsip non-refoulement), yang

dimaksudkan dalam rangka memelihara keselamatan jiwa

pengungsi dan memastikan mereka terhindar dari penganiayaan

dan pembunuhan.”

“Syariat Islam telah menggambarkan masalah suaka secara

jelas dan rinci, dan menjamin dengan penuh perlindungan,

kehormatan, dan pemeliharaan bagi para pencari suaka. Syariat

Islam juga menggariskan prinsip-prinsip yang wajib ditaati oleh

masyarakat Islam dalam rangka memenuhi berbagai permintaan

suaka. Tindakan pemulangan pencari suaka hukumnya tentu

haram berdasarkan Syariat Islam. Apa yang dikenal sekarang ini

(20)

non-xix

refoulement) yang menjadi fondasi hukum suaka internasional

sesungguhnya merupakan manifestasi dari prinsip tersebut.”

Beliau juga mengatakan: “Al-Qur’an dan Hadis merupakan

sumber hukum yang telah memberikan fondasi bagi hukum suaka

kontemporer dengan lebih memadai dibandingkan dengan yang

diberikan sumber-sumber hukum bersejarah lainnya. Nilai-nilai

hukum itu merupakan bagian dari budaya dan tradisi bangsa Arab

pra-Islam, meskipun kenyataan ini belum diakui sepenuhnya,

termasuk di dunia Arab. Kalangan masyarakat internasional perlu

mengapresiasi tradisi bermurah-hati dan beramah tamah terhadap

tamu ini yang praktiknya telah berlangsung selama 14 abad.

Begitu juga, mereka perlu mengakui kontribusi tradisi tersebut

bagi terbentuknya hukum internasional kontemporer. ”

Studi tentang hak suaka dalam perspektif Syariat Islam

merupakan hasil kerja genius yang diteliti secara mendalam oleh

Prof. Ahmad Abu al-Wafâ’, Ketua Jurusan dan Guru Besar

Hukum Publik Internasional, Fakultas Hukum, Universitas Kairo,

Mesir. Di dalam buku ini, penulis menyajikan bahasan sejumlah

isu, yakni pengertian “pengungsi”, suaka menurut hukum

internasional dan Syariat Islam, persyaratan pemberian suaka,

prinsip-prinsip yang mengatur hak suaka, dengan fokus pada

karakter kemanusiaan dari prinsip – prinsip tersebut. Penulis juga

menjelaskan secara terperinci klasifikasi suaka yang meliputi

(21)

xx

menjabarkan mengenai hak-hak pengungsi menurut Syariat Islam

dan hukum internasional.

Studi ini juga mempunyai bobot istimewa lantaran adanya

paparan prinsip-prinsip yang adil dan toleran yang dipratikkan

Syariat Islam terhadap para pengungsi serta adanya perhatian

terhadap kesejahteraan dan kepentingan pengungsi, dengan

menjunjung tinggi integritas manusia dan hak – hak manusia

untuk hidup dengan bebas dan layak. Penulis telah mencatat

sedemikian banyak bukti historis tentang keterdepanan Islam

dalam bidang ini dan keunggulan prinsip-prinsip dan

hukum-Syariat Islam terkait isu ini. Penulis menegaskan: “ Boleh jadi apa

yang kami ungkapkan memperjelas bukti keunggulan sistem

Islam atas sistem-sistem yang lain, yang menjadikan ras dan etnis

sebagai parameter dan dasar diskriminasi (sebagaimana muncul di

Amerika Serikat dan negara lain seperti Afrika Selatan) terhadap

umat manusia, padahal manusia sendiri tidak punya peran sama

sekali dalam menentukan ras dan etnis yang inheren dalam

dirinya. Hal ini diperkuat oleh pengakuan sejumlah pakar Barat

bahwa Islam hadir membawa ajaran pemberantasan diskriminasi

rasial. Bahkan, mereka (para pakar Barat) menganggap misi

pemberantasan diskriminasi rasial yang diserukan Islam inilah

yang merupakan faktor penyebab agama ini tersebar meluas di

(22)

xxi

bagi terbentuknya hubungan antarnegara (internasional), antara

umat Islam dan umat non-Islam.

Penulis juga memperkuat pembahasan dan uraiannya dengan

berbagai keputusan hasil sejumlah muktamar Organisasi

Konferensi Islam (OKI) tentang hak asasi manusia serta berupaya

memperkenalkannya kepada pembaca.

Studi ini ditandai dengan adanya perhatian yang intens

terhadap teks – teks sumber Syariat Islam, baik al-Qur’an maupun

Hadis, yang mendasari prinsip-prinsip dan garis-garis besar

pikiran terkait isu hak suaka. Tidak hanya itu, studi ini juga

menilik pandangan-pandangan yurisprudensial terkait isu hak

suaka dan aspek-aspek yang sehubungan dengannya. Ketertarikan

penulis tidak hanya terbatas pada aspek – aspek diatas, namun

juga mencakup kejadian–kejadian bersejarah yang berhubungan.

Pada level kontemporer, penulis memaparkan keberlakuan

berbagai resolusi dan perjanjian yang dibuat oleh OKI dan

organisasi internasional lainnya yang terkait, di mana sisi ini

menjadikan buku ini memiliki keunggulan teoritis dan perhatian

atas praktik kontemporer isu suaka. Karena itu, di bagian awal

bab kesimpulan, penulis menyatakan: “Syariat Islam telah

benar-benar menetapkan prinsip-prinsip dan aturan-aturan pokok terkait

hukum suaka, baik secara eksplisit maupun implisit; secara

(23)

xxii

ditekankan oleh Syariat Islam itu sendiri, sehingga menjadi

kewajiban bagi setiap Muslim.”2

Penulis juga bersikap kredibel dan obyektif dalam studinya,

terutama cermat dalam mengutip dokumen dan pendapat para

pakar. Isu-isu terkait penyikapan Syariat Islam tentang topik ini

dibahas secara obyektif dan independen, dengan pendekatan

perbandingan hukum, tanpa memaksakan adanya kesamaan dan

keserupaan antara sistem Syariat Islam dan sistem hukum

internasional. Hal ini memberi nilai tambah ilmu pengetahuan

tersendiri bagi studi apabila dibandingkan dengan studi

komparatif lainnya, terutama karena studi ini berhasil

menunjukkan kontribusi Syariat Islam dalam perjalanan sejarah

kemanusiaan, terutama menyangkut hukum internasional pada

umumnya dan dalam perlindungan dan hak pengungsi pada

khususnya.

Saya memohon kepada Allah, semoga buku ini bermanfaat

besar dan semoga penulisnya dianugerahi Allah dengan lebih

banyak pencapaian kedepannya. Sekali lagi, saya menyampaikan

ucapan terima kasih dan apresiasi kepada UNHCR dan Yang

Mulia Komisioner Tinggi, atas keberhasilan ini, yang

memperkaya dinamisasi studi perbandingan hukum internasional.

2

(24)

xxiii

Dengan penuh hormat dan kebanggaan, saya sampaikan

semua ini dengan tulus kepada penulis, Prof. Ahmad Abû

al-Wafâ’, semoga beliau senantiasa dalam lindungan Allah SWT.

Prof. Akmal al-Dîn Ikhsan Ogouli

(25)

xxiv

SAMBUTAN

REKTOR UNIVERSITAS NAIF ARAB UNTUK

ILMU KEAMANAN

Salah satu keistimewaaan Syariat Islam adalah adanya

prinsip-prinsip yang komprehensif, ketentuan - ketentuannya, dan

pendekatannya ke berbagai aspek yang mampu memberikan

keselamatan bagi umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat.

Syariat Islam hadir untuk memproteksi hak asasi manusia (HAM)

secara umum, termasuk diantaranya adalah hak atas keamanan,

dalam arti menyeluruh. Hak-hak suaka adalah salah satu hak

mendasar yang paling penting yang dijamin oleh Syariat Islam

dan diberikan olehnya perangkat untuk mendukung

implementasinya. Syariat Islam memberikan proteksi atas hak ini,

sejalan dengan nilai-nilai budaya, tradisi dan peradaban bangsa

Arab yang baik.

Meskipun masyarakat internasional telah mengatur hak-hak

suaka melalui penerbitan dan pengesahan sejumlah deklarasi dan

perjanjian internasional, tetapi efektivitas aturan-aturan tersebut

menuntut adanya tanggung jawab moral para pihak yang

melaksanakan penerapannya. Dari sinilah muncul signifikansi

(26)

xxv

studi ini, yaitu bahwa ajaran ini dicirikan dengan luasnya cakupan

perlindungan dan hakikat kemanusiaan dari hak suaka.

Tema yang diangkat dalam buku ini menjadi semakin

signifikan kehadirannya di tengah-tengah kondisi kian bertambah

pesatnya jumlah pengungsi di negara Arab dan

negara-negara Islam pada beberapa tahun terakhir ini sebagai akibat

berbagai peristiwa internasional dan regional yang terjadi. Hal

demikian tentu menuntut adanya kerjasama internasional dan

implementasi Hukum Shari’ah dan ketentuan hukum yang

berkaitan dengan hak suaka.

Pada kesempatan ini, saya ingin menggarisbawahi ikatan

kerjasama bilateral antara Universitas Naif Arab untuk Ilmu

Keamanan dan UNHCR. Ikatan ini diharapkan dapat mendorong

bertambahnya program-program dan kajian-kajian yang dapat

menekankan pentingnya isu ini dan menekankan pentingnya

peran dunia internasional yang beradab dalam menangani

masalah suaka dan pengungsi.

Hanya Allah yang berada di balik segala keinginan dan

tujuan ini.

Prof. Dr. ‘Abd al-‘Azîz Saqr al-Gâmidi

Rektor Universitas Naif Arab untuk

(27)

xxvi

SAMBUTAN

REKTOR UNIVERSITAS AL-AZHAR-MESIR

Atas nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha

Pengampun, Islam mungkin merupakan satu-satunya agama yang

bersikap terbuka terhadap agama-agama lain dan terbuka terhadap

sistem budaya dan nilai lain, baik menyangkut moral maupun

hukum. Islam mengambil semua nilai kebajikan itu dan

memasukkannya ke dalam sistemnya (Islam), baik dalam hal

intelektual maupun spiritual. Di dalam mengambil dan

memasukkan nilai tersebut, Islam menyeleksi dengan satu

parameter, yakni unsur yang diambil dan dimasukkan itu, selain

sejalan dengan norma - norma akhlak yang baik, juga mampu

mewujudkan kemaslahatan yang otentik, yang bersama-sama

dengan norma akhlak itu, menuju pada satu tujuan yang sama.

Dalam hal ini, kita merujuk kepada Hadis Nabi yang bersumber

dari Abu Hurairah:

Aku [Nabi Muhammad]diutus untuk menyempurnakan akhlak

yang baik.3

3

Hadis diriwayatkan oleh al-Hâkim, Abû ‘Abdillah Muhammad ibn ‘Abdillah, dalam kitab al-Mustadrak‘ala al-Sahîhain, tahqîq Mustafa ‘Abd al-Qâdir ‘Atiyyah, (Beirut: Dâr Kutub al-‘Ilmiyyah, 1411 H/1990 M), dan al-Hâkim berkata: “Hadis ini sahîh menurut persyaratan Imam Muslim.” Ini disetujui oleh Imam al-Dzahabiy dalam Kitab al-Talkhîs, Hadis No. 4221, Jilid II, h. 67. Hadis ini diriwayatkan pula oleh al-Bukhâri, Abû ‘Abdillah Muhammad ibn Ismâ’il, dalam kitab al-Adab al-Mufrad,

takhrîj Muhammad Fu’âd ‘Abd al-Bâqi, (Beirut: Dâr al-Basyâ’ir al-Islâmiyyah, 1417 H/1997 M), Hadis No. 273, h. 104; juga oleh al-Baihaqi, Abû Bakr Ahmad ibn Husain, dalam kitab al-Jâmi’ li Syu’b al-Îmân, tahqîq

(28)

xxvii

Hadis ini menunjukkan bahwa akhlak yang mulia merupakan

tujuan luhur pesan-pesan Islam dan bahwa akhlak mulia yang

merupakan nilai-nilai kebaikan kemanusiaan yang hampir punah

dan lenyap pengaruhnya di tengah-tengah kehidupan masyarakat

pra-Islam dibangkitkan lagi di dalam agama Islam. Bahkan lebih

lagi, melalui agama ini, dibangkitkanlah bersamanya khazanah

ilahiah yang hampir punah ditelan zaman sekiranya agama Islam

tidak tampil di muka bumi.

Orang yang merenungi kandungan isi al-Qur’an tidak akan

tergelincir ke dalam faham pluralisme agama atau diversifikasi

agama samawi karena al-Qur’an dengan tegas menyatakan bahwa

agama ilahi itu hanya satu, yakni agama yang tampil pada

sepanjang zaman di pentas sejarah dunia, dimulai sejak Nabi

Adam a.s. hingga Nabi Muhammad SAW melalui masa-masa

Nabi Nuh a.s., Nabi Ibrahim a.s, Nabi Musa a.s, Nabi ‘Isa a.s, dan

para nabi/rasul lainnya. Al-Qur’an juga mengindikasikan bahwa

agama ilahi tidak pernah putus hubungan dengan kehidupan

manusia sepanjang zaman dan bahwa cahaya hikmah yang

dikandung risalah para Nabi dan Rasul Allah tetap terus berkilau

memancarkan sinar panduan dan pedoman bagi kehidupan umat

manusia sepanjang zaman.

(29)

xxviii

Dari sisi inilah risalah Islam dan risalah ilahi pra-Islam

secara bersama-sama membentuk satu “kesatuan entitas” yang

melahirkan persaudaraan sejati yang mengikat erat tali hubungan

antara Nabi Muhammad SAW dan para rasul sebelumnya tanpa

diskriminasi apapun. Diantara mutiara hikmah Nabi SAW yang

diwartakan melalui Abu Hurairah, ia berkata: “Saya mendengar

Rasulullah SAW bersabda:

Saya adalah manusia yang paling dekat dengan Nabi ‘Isa a.s di dunia dan akhirat kelak. Para nabi itu saudara sebapak, ibu mereka berbeda tetapi agama mereka satu/sama.4

Demikian pula halnya, kita mengetahui hal senada dari

sejumlah ayat al-Qur’an yang menegaskan bahwa seseorang tidak

diakui sebagai orang Mukmin kecuali dia mengimani semua Nabi

dan Rasul seperti halnya dia mengimani Nabi Muhammad SAW.

Seperti halnya bahwa iman kepada al-Qur’an tidak dianggap sah

pada hati seorang Muslim kecuali jika dia mengimani kitab-kitab

Allah yang telah diturunkan kepada para Nabi dan Rasul-Nya.

Al-Qur’an itu adalah saudara kandung Taurat yang diturunkan

kepada Nabi Musa a.s, saudara kandung Injil yang diturunkan

kepada Nabi ‘Isa a.s. Al-Qur’an menggambarkan kedua kitab

tersebut sebagai “petunjuk“ (hudan) dan “cahaya” (nûr). Penting

4

(30)

xxix

diketahui pembaca, satu kesatuan entitas itu tidak hanya ditandai

oleh kesamaan dimensi persaudaraan kenabian dan persaudaraan

kitab suci saja, tetapi berarti kita memahami dengan sangat jelas

dalam kandungan ajaran Islam itu sendiri, legislasinya dan

hukum-hukumnya. Terkait ini, Q.s. al-Syûra/42:13 menyatakan:

Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yakni tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya). (Q.s. al-Syûra/42:13).

Hal ini adalah kebalikan dari kaidah Syariat Islam:

Syariat umat sebelum kita merupakan syariat kita juga, selama

tidak ada yang menggantikan5.

Hal ini menunjukkan bahwa Islam merupakan agama yang

menjamin kontinuitas kebajikan dari generasi ke generasi; dan

bahwa ia merupakan agama yang membuka pintu terhadap siapa

saja, meskipun sang manusia itu datang dari zaman kebodohan

dan kegelapan. Diriwayatkan dari Abû Hurairah, dari Rasulullah

5

(31)

xxx

SAW, ketika ditanya mengenai tokoh-tokoh bangsa Arab, Nabi

Muhammad SAW menjawab: “Yang terbaik di antara mereka

pada zaman Jahiliah adalah yang terbaik pula pada zaman Islam

bilamana mereka faham (agama).”6

Dari sini nampak jelas kedudukan penting masalah

“perlindungan” atau “suaka” yang menjadi fokus studi buku ini

dengan pendekatan komparatif antara Syariat Islam dan sejumlah

piagam/dokumen hukum internasional dan berbagai perjanjian

internasional. Studi buku ini mengeksplorasi pengertian

“perlindungan” atau “suaka”, dimensi moral dan etis menurut

Syariat Islam dan yang tidak terungkap atau hampir tidak terlihat

dalam hubungan internasional kontemporer. Studi buku ini juga

mengungkapkan kepioniran Islam dalam mengakui hak

perlindungan atau “suaka”. Meskipun demikian, saya berpendapat

bahwa semata-mata penjelasan mengenai kepioniran Islam

tersebut tidaklah cukup untuk menguraikan dimensi moral dan

etis yang merupakan pijakan dasar di balik legislasi hak asasi

manusia menurut pandangan filsafat Islam.

Studi buku ini menunjukkan asal muasal metodologi konsep

yang telah disebutkan penulis. Prof. Dr. Ahmad Abû al-Wafâ’

telah mengidentifikasi segi-segi perbedaan dan persamaan antara

pandangan filsafat Syariat Islam dan filsafat hukum internasional

6

(32)

xxxi

kontemporer tentang hak perlindungan/suaka. Seperti yang

diindikasikan penulis, konsep “perlindungan” atau “suaka

merupakan dasar fundamental hukum kontemporer, dan bahkan

telah dipraktikkan di kalangan masyarakat Arab pra-Islam.

Prinsip ini disebarkan melalui Syariat Islam, karena merupakan

bentuk tradisi dan budaya yang baik, yang mencakup perilaku dan

nilai etis yang luhur seperti sikap melindungi dan menolong

terhadap orang yang sangat membutuhkan dan yang tengah

dizalimi. Karena itu, Islam sangat menganjurkan dan menuntut

kaum Muslimin mempraktikkan ajaran tolong-menolong

(ta’âwun) ini dalam realitas kehidupan di segala tempat dan

waktu, oleh dan terhadap siapapun, laki-laki maupun perempuan,

orang dewasa maupun kanak-kanak7, orang merdeka maupun

hamba sahaya. Kita memahami berdasarkan sejarah bahwa Abû

Sufyân meminta sebelum ia memeluk Islam melalui Fatimah,

7

Anak pra-mumayyiz tidak sah perjanjian perlindungannya; berdasarkan konsensus ulama fikih . Mengenai anak mumayyiz (para puber), para ulama fikih berbeda pendapat tentang keabsahan perjanjian perlindungannya. Kalangan ulama mazhab Hanafi dan ulama mazhab Syafi’i berpandangan bahwa perjanjian perlindungan yang dilakukan anak mumayyiz tidak sah secara hukum Islam karena ia terbebas dari taklîf

(tuntutan hukum) dan perkataannya tidak mengikat secara hukum. Pandangan ini diikuti juga oleh kalangan ulama mazhab Hanbali menurut satu riwayat. Sedangkan Malik, Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani dan satu riwayat dari kalangan ulama mazhab Hanbali berpendapat bahwa perjanjian perlindungan yang dilakukan anak

mumayyiz adalah sah secara hukum Islam karena didasarkan kepada keumuman makna sabda Nabi SAW: “perlindungan (dzimmah) orang-orang Muslim itu satu, dengannya berjalan orang yang lebih rendah dari mereka.” ( مھان أ اھب عسي حاو ني س لا م ). Pendapat yang terkuat ialah yang menyatakan ketidakabsahan perjanjian perlindungan yang dilakukan anak mumayyiz. Ibn Qudâmah berkata: “ Barangsiapa diantara kita memberikan janji perlindungan kepada mereka, baik laki-laki, perempuan, maupun hamba sahaya maka dibolehkan/dinilai sah janji perlindungannya; dan dinilai sah janji perlindungan dari orang Muslim yang dewasa, berakal sehat, dan tidak terpaksa, baik laki-laki maupun perempuan, baik yang merdeka maupun hamba sahaya; dan dinilai tidak sah janji perlindungan dari anak kecil. Lihat Ibn Qudâmah, al-Mugni, tahqîq ‘Abdullah ibn ‘Abd al-Muhsin al-Turkiy dan ‘Abd al-Fattâh Muhammad al-Halwa, (Kairo: Dâr Hajar, 1413 H/1992 M), Jilid XIII, h. 75. Lihat pula al-Fatâwâ al-Hindiyyah, Jilid II, h. 155; dan Mugni al-Muhtâj, Jilid IV, h. 237; dan

(33)

xxxii

puteri Nabi SAW, agar Nabi SAW memberikannya hak suaka di

tengah-tengah kehidupan masyarakat Madinah. Permintaan Abû

Sufyân ini tidak dipenuhi oleh Nabi SAW lantaran ia telah

melanggar perjanjian yang ditandatangani Nabi SAW dan kaum

musyrikin, yang dikenal dengan “Perjanjian Hudaibiyah”.8

Pembaca Muslim patut berbangga dengan buah karya riset

ini yang telah mengemukakan bahwa Islam mencari segala cara

untuk memenuhi hak suaka kepada orang non-Muslim. Disini

kita mengetahui bahwa Nabi SAW telah memberikan hak suaka

kepada orang-orang musyrik, semata-mata dengan alasan

memberikan suaka bagi mereka yang mendekati Masjidil Haram

atau tindakan mereka memasuki rumahnya masing-masing atau

tindakan mereka memasuki rumah Abû Sufyân. Ketentuan hukum

ini berlaku dalam setiap situasi dan kondisi yang memenuhi

persyaratan yang telah ditentukan. Penulis mengungkapkan

perkataan ‘Umar ibn al-Khattâb bahwa kata metras merupakan

kata bahasa Persia yang bermakna “perlindungan”; apabila

seorang Muslim mengatakannya kepada seorang non-Muslim

harbiy (Orang non-Muslim harbiy adalah orang non-Muslim yang

melakukan tindakan penyerangan/agresi secara fisik terhadap

orang Muslim) yang tidak memahami bahasa Arab maka ia harus

memberikan kepada orang tersebut jaminan perlindungan/suaka.

8

(34)

xxxiii

Hal ini menunjukkan bahwa dalam yurisprudensi Islam, seorang

non-Muslim harbiy yang berada dibawah perjanjian perlindungan

tidak boleh dibunuh dan harta kekayaannya akan diamankan.

Kalau ada seorang Muslim berkata kepada seorang non-Muslim

harbiy: “Berhenti dan letakkan senjatamu!” Ibn Qudâmah

mengemukakan bahwa ‘Umar ibn al-Khattâb pernah berkata

kepada Hormuzan: “Bicaralah dan jangan takut!”; ketika

Hormuzan telah berbicara, ‘Umar ibn al-Khattâb

menginstruksikan agar ia dibunuh. Lalu, Anas menyelak dan

langsung berkata kepada Umar: “Engkau tidak punya alasan

untuk hal demikian, sebab engkau telah menjanjikan perlindungan

terhadapnya.” ‘Umar ibn al-Khattâb menjawab: “Tidak sama

sekali.” Lalu, Zubair berkata: “ Sungguh engkau telah

mengatakan kepadanya: “ Bicaralah dan jangan takut!“. Lalu,

‘Umar menarik kembali instruksinya tersebut. Sejauh yang

penulis ketahui, ini semua tidak diperdebatkan lagi oleh para

ulama.9

Perlu waktu yang panjang apabila kita mau melakukan

perbandingan yang relevan tentang konsep suaka menurut Hukun

Syari’ah yang banyak sekali dijumpai buku ini. Akan tetapi, kita

cukup mengapresiasi artikulasi penyajian dan kedalaman

pembandingan yang ditunjukkan penulis, Prof. Dr. Ahmad Abû

al-Wafâ’. Beliau cukup berhasil dalam kajian ilmu pengetahuan

9

(35)

xxxiv

ini, terutama karena atribusi konsep hak perlindungan/suaka

dalam perspektif Islam dengan landasan teori maslahah. Beliau

memang memiliki pengetahuan mendalam dan wawasan luas

tentang hal-ihwal teori ini dan dimensi-dimensi penerapannya

serta aturan fundamental yurisprudensi teori ini. Lebih dari itu,

beliau kaya akan pengetahuan yang mendalam tentang qawâ’id

usûliyyah dan qawâ’id fiqhiyyah sehingga mampu menyajikan

pembahasan dan pandangan yang kokoh di dalam karya riset

beliau yang istimewa ini, yang dengan mantap menginspirasi

pembaca bahwa Syariat Islam bukanlah teks-teks Tuhan yang

dibacakan atau peta hukum yang dihapal, tetapi ia merupakan

sistem kehidupan yang terus bergerak dinamis di dalam

kehidupan manusia di dunia.

Saya mengakhiri kata sambutan ini dengan mengutip

pernyataan Prof. Dr. Ahmad Abû al-Wafâ’ sendiri yang dijadikan

oleh beliau sebagai kalimat penutup pembahasan dan uraiannya,

suatu pernyataan yang sesungguhnya telah dikemukaan oleh Ibn

al-Nabulsi al-Hanafi, yakni: “ Adapun memaksa seseorang untuk

tinggal menetap di suatu tempat dan mewajibkan mereka dengan

hal demikian melalui cara pemaksaan dan otoriter merupakan

tindakan zalim dan melanggar hukum, yang wajib dihindari dan

(36)

xxxv

Adalah wajib bagi kaum Muslimin untuk mencegah dan

menahan tindakan yang tidak adil ini.”

Prof. Dr. Ahmad At-Tayyib

(37)

xxxvi

PERSEMBAHAN

Kepada Almarhumah Ibuku Tercinta

Kepada Almarhum Ayahku Tercinta

Dariku dengan kesetiaan, rasa syukur dan dalam

kenanganku

(38)

1

PENGANTAR UMUM

Ajaran Islam tidak hanya berkaitan dengan persoalan keagamaan,

tetapi juga dengan persoalan hari-hari keduniaan, termasuk

persoalan hubungan antar individu, antar masyarakat, antar

bangsa dan antar negara.10 Karena itu tidaklah aneh apabila Islam

hadir untuk menjelaskan segala sesuatu: urusan keagamaan dan

urusan muamalah (keduniaan). Ini ditegaskan oleh kalam Allah

SWT :

Dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (al-Qur’an) untuk

menjelaskan segala sesuatu. (Q.s. al-Nahl/16:89).

Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. (Q.s. al-Nahl/16:44).

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agama bagimu. (Q.s. al-Mâ’idah/5:3 ).

Pengungsi dikualifikasi sebagai kelompok orang yang rentan

(vulnerable persons). 11 Seseorang dapat dikualifikasi sebagai

pengungsi manakala:

10

Ahmad Abû al-Wafâ’, Kitâb al-I’lâm bi Qawâ’id al-Qânûn al-Dauliy wa al-‘Alâqât al-Dauliyyah fi Syarî’at al-Islâm, (Kairo: Dâr al-Nahdah al-‘Arabiyyah, 1428 H/2007 M), Jilid I, h. 5-6.

11

(39)

2

1. Dalam konteks pertimbangan personal-individual, yakni

seseorang yang lari mengungsi baik sendirian atau beserta

keluarganya dari negaranya dimana ia dapat mengalami

penindasan/penyiksaan ke negara tujuan tempat ia mencari

suaka.

2. Sebagai bagian dari kelompok yang terusir/terasingkan

akibat situasi dan kondisi politik, keagamaan, militer, atau

lainnya, dimana ia menghadapi ancaman

penindasan/penyiksaan.

Pengungsi berbeda dari orang yang bermigrasi di wilayah

negaranya dan orang yang bermigrasi dengan motif ekonomi

(migran ekonomi), atas dasar perbedaan sebagai berikut:

1. Pengungsi adalah orang yang menyeberangi batas teritorial

negara lain dengan maksud mencari perlindungan, rasa

aman, dan suaka.

2. Pengungsi dalam negeri (internally displaced person),

tujuan mereka terkadang sama dengan tujuan pengungsi.

Akan tetapi, mereka berbeda dari pengungsi luar negeri,

terutama dari segi bahwa mereka tetap tinggal di wilayah

negaranya sendiri dan memperoleh perlindungan yang harus

diberikan kepada mereka sesuai dengan aturan hukum yang

(40)

3

3. Migran ekonomi adalah orang yang meninggalkan

negaranya secara sukarela dan bukan lantaran rasa takut

akan penindasan/penyiksaan; melainkan lebih didasarkan

pada motif ekonomi, demi peningkatan kesejahteraan

hidupnya. Oleh karena itu, Deklarasi Negara - negara Arab

tentang Tenaga Buruh Migran Internasional yang diadopsi

oleh Liga Arab pada tahun 2006 menghimbau pemerintah

negara-negara Arab untuk membedakan secara intrinsik

antara orang yang migrasi dan pengungsi yang

masing-masing memiliki motivasi hak dan kebutuhan yang berbeda.

Konsep pengungsi dan suaka menurut Syariat Islam dan hukum internasional

Kami akan memaparkan konsep pengungsi dan suaka

menurut pandangan Syariat Islam, dan kemudian menurut

pandangan hukum internasional.

Menurut Syariat Islam

Di dalam bahasa Arab, kata al-malja’ memiliki lebih dari satu

arti. Di antaranya sebagai kata kerja, kata tersebut berarti

“berlindung” seperti dalam ungkapan: “seseorang berlindung di

benteng itu“. Maksudnya, ia berlindung dari hal yang

membahayakan dengan tinggal/berada di dalam benteng itu.

Sedangkan al-malja’ sebagai kata benda adalah tempat atau

(41)

4

membahayakan, seperti benteng, gunung/bukit, dan goa. Arti ini

muncul pada Q.s. Taubah[9]:57 dan 118, dan Q.s.

al-Syûra[42]:47, yakni :12

Jikalau mereka memperoleh tempat perlindunganmu atau gua-gua atau lobang-lobang (dalam tanah) niscaya mereka segera pergi kepadanya dengan secepat-cepatnya. (Q.s. al-Taubah [9]:57).

Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, Padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, kecuali kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (Q.s. al-Taubah [9]:118)

Patuhilah (seruan) Tuhanmu sebelum datang dari Allah suatu hari yang tidak dapat ditolak kedatangannya. Kamu tidak memperoleh tempat berlindung pada hari itu dan tidak (pula) dapat mengingkari (dosa-dosamu). (Q.s. al-Syûra[42]:47).

Di dalam pokok bahasan masdar (kata benda), terdapat lebih

dari satu bentuk masdar dari asal satu kata kerja. Ibn Qutaibah

mengatakan: “ âwaitu lahu ma’wiyah wa ‘iyah, yang berarti

12

(42)

5

menyayangi; serta âwaitu ila bani fulân âwan auyan; dan âwaitu

fulân-an îwâ-an, yang berarti melindungi.13

Tak diragukan lagi, semua arti tersebut dapat diterapkan

dalam hal pencarian dan pemberian suaka atas dasar

pertimbangan bahwa sekiranya yang tampak itu makna

“melindungi” maka makna ini pada intinya perluasan dari makna

“menyayangi” pengungsi, dengan memperhatikan situasi dan

kondisi yang mengitarinya. Perlu dicatat bahwa bangsa Arab

menggunakan kata “awaituhu” (saya memberikan suaka

kepadanya) dengan pola kata kerja fa’altu (saya sudah

memberikan perlindungan) dan af’altu (saya sudah memberikan

perlindungan) untuk makna yang sama, tetapi terkadang mereka

menggunakan ungkapan “ âwaitu ila fulan “ (aku memberi

perlindungan kepada seseorang).14

Hak perlindungan diakui merupakan jiwa tradisi masyarakat

Arab yang telah mengakar kuat, yang dilarang keras untuk

dilanggar. Pemberian bantuan perlindungan kepada orang yang

sangat membutuhkan merupakan perilaku mulia bangsa Arab dan

umat Muslim. Oleh karena itu, para pujangga Arab

menyebut-nyebut nilai-nilai kebaikan itu dalam syair-syair mereka dalam

rangka mengabadikannya dan untuk memotivasi para

13

Ibn Qutaibah, Adab al-Kâtib, tahqîq oleh Muhammad Muhyi Dîn ‘Abd Hamîd, (Kairo: Dâr al-Fikr, 1382 H/1962 M), h. 257.

14

(43)

6

pembacanya agar tetap memegang teguh nilai-nilai tersebut. Salah

seorang pujangga Arab menggubah syairnya:15

Kapan saja aku menyeru kaumku

Para ksatria perang bangsawan pasti menjawab seruanku

Engkau lihat orang yang tersuaka merasa aman di tengah- tengah mereka

Hidup di bawah perjanjian yang sangat kokoh

Apabila kami telah memberinya perjanjian perlindungan Maka, kami memegangnya dengan teguh

Melalui syairnya pula, pujangga Arab yang lain menyuarakan:16

Pengungsi datang kepada kami mencari perlindungan dari rasa takut

Berharap dan kami menawarkan kepadanya suaka Dia hidup di bawah suaka yang bermartabat

Semua itu sepanjang musim panas hingga berakhirnya musim dingin

Kami menjamin harta mereka, maka esok akan selamat Kami harus menjamin kekurangan dan kelebihannya

Dan saya tidak melihat orang ditawan sebagai yang dikorbankan Dan saya tidak melihat tetangga rumah yang diusir

Tetangga rumah dan lelaki yang menyerunya Perjanjian keduanya sama dihadapan kehidupan

Pemberian perlindungan/suaka dan penerimaan atas

permintaan perlindungan/suaka memperoleh porsi perhatian

tersendiri dalam syair-syair para pencari perlindungan/suaka

15

Hamd ibn Tsaur al-Hilâliy, Dîwân Hamd ibn Tsaur, tahqîq oleh ‘Abd al-‘Azîz al-Maimaniy, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Misriyyah, 1371 H/ 1951 M), h. 46.

16

(44)

7

mustajirin).17 Di sisi lain, siapa saja yang tidak mengabulkan

permintaan mencari suaka akan merasakan betapa pahitnya rasa

bahasa yang diekspresikan para pujangga melalui syair-syair

mereka18, disamping mendapatkan tatapan yang mencerminkan

celaan dan ejekan.

Telah nyata bahwa pemberian suaka itu bertujuan

mewujudkan rasa aman dan kenyamanan secara penuh kepada

pengungsi. Hal demikian nampak jelas dengan adanya Sumpah

‘Aqabah kedua tentang kesetiaan (bay’ah) yang mendahului

peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW ke Madinah. Ketika

warga Yatsrib menerima migrasi (hijrah)-nya Rasulullah ke

daerah mereka maka Nabi Muhammad SAW berkata: “ Saya akan

17

Tufail al-Ganawi telah menggubah syairnya, yakni:

Semoga Allah memberi pahala keluarga Ja’far atas kemurahan hati mereka kepada kami Ketika kaki kami melangkah g kami menuju jalan mereka

Mereka membiarkan kami bergaul dengan orang – orang mereka Mereka menempatkan kami di kamar yang hangat dan menyenangkan Mereka tidak pernah bosan dan kesal terhadap kami

Mereka sangat peduli, ibu kami tak pernah memperbuat seperti yang mereka perbuat Mereka menerima kami dengan hangat di rumah mereka, melihat apa adanya Kami akan membalas uluran tangan mereka yang telah dibentangkan kepada kami Kami mengucapkan selamat kepada mereka dengan memuji Allah

Lihat Tufail al-Ganawi, Dîwân Tufail al-Ganawi, tahqîq Muhammad ‘Abd al-Qâdir Ahmad, (Kairo: Dâr al-Kitâb al-Jadîd, 1968) , h. 98.

Ketika memuji Ma’n ibn Zâ’idah dan menggambarkan perilaku kebaikan Bani Syaibân dan upaya mereka memberikan /perlindungan/suaka kepada pencari perlindungan/suaka, Marwân ibn Abî Hafsah menggubah syairnya, yakni:

Mereka adalah kaum, yang ketika berbicara, berkata benar,

Ketika diajak, memperkenankan ajakan Ketika memberi, memberi dengan yang terbaik, dan memberi dengan melimpah

Mereka memberikan perlindungan/suaka kepada pencari perlindungan/suaka Orang yang tersuaka oleh mereka itu laksana garis edar planet-planet

Pujangga lain juga menggubah syairnya, yakni:

Mereka memberikan perlindungan/suaka kepada pencari perlindungan/suaka

Orang yang tersuaka oleh merekaitu laksana kantong air di dada tengah burung rajawali Lihat Ibn ‘Abd Rabbih, al-‘Aqd al-Farîd, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1404 H/1983 M), Jilid I, h. 121-122.

18

(45)

8

memberikan sumpah untuk melindungi, asalkan kamu semua juga

melindungi dan membela saya sebagaimana kamu sekalian

membela isteri dan anak kalian.”19

Bangsa Arab (pra-Islam) dan bangsa Muslim dalam hal ini

memiliki kepioniran dalam beberapa hal. Abd al-Malik ibn

Marwân berkata kepada Ju’ail ibn ‘Alqamah: “Seberapa jauh

perlindungan yang Engkau tawarkan untuk orang lain?” . Ia

menjawab: “Siapapun di antara kami akan membela orang yang

telah memberi kepadanya perlindungan dari ancaman kaum lain,

sebagaimana ia membela dirinya sendiri.“Abd al-Malik berkata: “

Seperti halnya kamu pula ketika orang mensifati kaumnya.”20

Telah jelas bahwa ada kebiasaan bahasa Arab, sebagai bahasa

al-Qur’an, untuk menggunakan sejumlah kata untuk

mengungkapkan satu konsep/gagasan dan satu sistem mengenai

hak untuk suaka. Terkadang digunakan pula kata al-îwâ’ (ءاويإا

yang berarti perlindungan)21 sebagaimana terdapat dalam

19

Hadis ini di-takhrîj oleh Imam Ahmad di dalam kitab Musnad-nya, bersumber dari Ka’b ibn Mâlik, Hadis No. 15798, Jilid XXV, h. 92 dan 95. Kitab ini di-tahqîq oleh Syu’aib al-Arnaut, dkk, (Beirut: Mu’assasat al-Risâlah, 1420 H/1999 M). Para ulama ahli tahqîq mengatakan: “ Ini Hadis yang kuat dan sanad-nya hasan.”

20

Ibn ‘Abd Rabbih, al-‘Aqd al-Farîd, Jilid I, h. 531; dan Jilid II, h. 7-8.

21

Diucapkan: ي وأ, dengan cara baca memendekkan huruf hamzah (bi al-qasr) bila ia dijadikan sebagai kata kerja intransitif ( ا لعف). Juga diucapkan: ي وأ , dengan cara baca memanjangkan huruf hamzah (bi al-madd) bila ia dijadikan sebagai kata kerja transitif ( عتملعف). al-Qur’an menggunakan kedua bentuk kata ini, yakni di dalam Q.s. al-Kahf/18:63, Q.s. al-Kahf/18:10, Q.s. al-Kahf/18:50, Q.s. al-Kahf/18:6. Lihat al-Nawawi, Tahdzib al-Asmâ’ wa al-Lugât, al-Qism al-Tsâni, Jilid I, (Mesir: Idârat Tibâ’ah al-Munîriyyah, t.th.), h. 16.

Para ahli bahasa Arab menghimpun antara ءا يإا ( اف لإ تيوأو هتيوأو هتيوأ) dan فيضتلا ( تفض

(46)

9

Anfâl/8:26, Q.s.Anfâl/8:72, Q.s.Anfâl/8:74, dan Q.s.

al-Duha/93:6, yakni :

Dan ingatlah (hai orang-orang yang hijrah) ketika kamu masih berjumlah sedikit, lagi tertindas di muka bumi (Mekkah), kamu takut orang-orang (Mekkah) akan menculik kamu. Maka, Allah memberi kamu tempat menetap (Madinah) dan dijadikan-Nya kamu kuat dengan pertolongan-Nya dan diberi-Nya kamu rezeki dari yang baik-baik agar kamu bersyukur. (Q.s.al-Anfâl [8]:26).

Lafaz اووأ muncul dalam al-Qur’an dengan dua makna, yaitu berhimpun (ا ض) dan berhenti (ا ھتنا), lihat Muqâtil ibn Sulaimân al-Balkhi, al-Asybâh wa al-Nazâ’ir fi al-Qur’ân al-Karîm, (Kairo: Hai’ah al-Misriyyah al-‘Âmmah li al-Kitâb, 1414 H/1994 M), h. 289.

Di dalam kitab Tafsîr al-Tabariy-ketika sampai pada penafsiran firman Allah, Q.s. an-Nisâ’/4:100, yang berbunyi: ً جاھمهتْيب ْنمْ ْ ي ْنموً عسواً ي كاً غا مضْر ْأايفْ جي ﱠﷲلي سيف ْ جاھي ْنمو و ﱠﷲ لإا ْ ْلاهْكرْ يﱠمثهل سر اً يحراًر فغ ﱠﷲ اكو ﱠﷲ عه ْجأعقو ْ قف

disebutkan bahwa para ulama membagi hijrah itu menjadi 2 (dua) jenis, yaitu hijrah hurûb dan hijrah talab. Adapun hijrah hurûb meliputi 6 (enam) macam, yaitu (1) hijrah dari dâr al-harb ke dâr al-Islâm, (2) migrasi dari daerah/wilayah yang dipenuhi bid’ah, (3) migrasi dari daerah/wilayah yang dipenuhi perkara haram, (4) migrasi dari suatu daerah/wilayah untuk menghindari bahaya yang mengancam keselamatan jiwa, seperti yang dilakukan Nabi Ibrahim a.s, dimana ketika takut terhadap kaumnya, beliau berkata: “Sesungguhnya aku pergi menuju Tuhanku, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepadaku,” (5) migrasi dari suatu daerah/wilayah untuk menghindari penyakit endemik/penyakit menular, dan (6) migrasi dari suatu daerah/wilayah untuk menghindari tindakan gangguan terhadap harta kekayaan yang dimiliki. Sedangkan hijrah talab (migrasi karena tuntutan tertentu) itu terbagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu talabdunyâ dan talabdîn. Adapun hijrah talabdîn meliputi bepergian untuk haji, bepergian untuk merenungkan kebesaran Tuhan, bepergian untuk berjuang, bepergian untuk pekerjaan, bepergian untuk bisnis/usaha, bepergian untuk studi/belajar ilmu pengetahuan, bepergian untuk kunjungan ke situs-situs simbol kebaikan, dan bepergian untuk mengunjungi sanak famili/handai taulan.

Di dalam bâb al-malja’ wa al-wazr, Qudâmah ibn Ja’far berkata: “ Yaitu hisn (perlindungan), amn

(keamanan), hirz (pemeliharaan), ‘izz (kemuliaan), mau’il (perlindungan), malâdz (perlindungan), wazr

(pemeliharaan), kahf (perlindungan), kanf (perlindungan), malja’ (perlindungan), manjâ (penyelamatan), ma’âl

(perlindungan), ma’âdz (perlindungan), mu’tasam (pemeliharaan), mu’tasar (perlindungan), mahîd

(pemeliharaan), manâs (pemeliharaan), mu’tamad (penyandaran), multahad (perlindungan), siyâs

(pemeliharaan), dan atam (perlindungan). Lihat Qudâmah ibn Ja’far, Jawâhir al-Alfâz, (Beirut: Maktabah al-‘Ilmiyyah, t.th.), h. 223-224.

Di kalangan bangsa Arab, ada ungkapan: افب ف ت (saya menjadikan si fulan sebagai pembela diri saya), apabila kamu mengupahi orang itu dan meminta kepadanya sebagai pembela dirimu. Lihat Abû Mansûr al-Azhari, al-Zâhir fi Garîb Alfâz al-Syâfi’i, tahqîq Muhammad Jabr Alfiy, (Kuwait: Wizârat Auqâf wa al-Syu’ûn al-Islâmiyyah, 1399 H/1979 M), h. 392. Untuk itu, sebagai contoh surat tentang “perlindungan” sebagaimana berikut ini:

(47)

10

Sesungguhnya orang-orang beriman, hijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada orang-orang yang hijrah ), mereka itu satu sama lain saling melindungi, dan (terhadap) orang-orang beriman, tetapi belum hijrah, maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka ber-hijrah. (Akan tetapi) Jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (Q.s.al-Anfâl [8]:72)

Dan orang-orang beriman, hijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang yang hijrah), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezki (nikmat) yang mulia. (Q.s.al-Anfâl [8]:74).

Bukankah Dia mendapati-Mu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungi-Mu?(Q.s. al-Duha[3]:6).

Terkadang digunakan pula kata al-hijrah ( جھلا) untuk

menunjuk makna hak untuk mengungsi, seperti dalam

Q.s.al-Hasyr [59]:9 :

(48)

11

kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung. (Q.s.al-Hasyr [59]:9)

Demikian pula halnya penggunaan kata al-malja’ untuk

menunjuk konsep/gagasan ini. Al-Qur’an menggunakan kata

al-malja’ lebih dari satu tempat, di antaranya ialah:

Dan mereka (orang-orang munafik) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa sesungguhnya mereka termasuk golongan kamu, padahal mereka bukanlah dari golonganmu, tetapi mereka adalah orang-orang yang sangat takut (kepadamu). (Q.s. al-Taubah/9:56)

Jikalau mereka memperoleh tempat perlindunganmu atau gua-gua atau lobang-lobang (dalam tanah) niscaya mereka pergi kepadanya dengan secepat-cepatnya. (Q.s. al-Taubah [9]::57)

Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit pula( terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (Q.s. al-Taubah/9:118).

(49)

12

tempat berlindung pada hari itu dan tidak (pula) dapat mengingkari (dosa-dosamu). (Q.s. al-Syûra/42:47).

Kata al-malja’ dalam bahasa Arab, semakna dengan kata adzm yang artinya “menaungi” dan “melindungi”, sedang kata dzamm mengandung arti “mencela” âba.22 Di dalam bahasa Arab

terdapat ungkapan hishni (pemeliharaanku), maljaî (perlindunganku), malâdzi, (perlindunganku), maw’ilî (perlindunganku), ma’qilî (pemeliharaanku), ma’âdz

ȋ

(perlindunganku), wizr

ȋ

(bebanku), kahf

ȋ

(perlindunganku), maqsad

ȋ

(tujuanku), mu’tamad

ȋ

(sandaranku), mu’tadad

ȋ

(sandaranku), hirdz

ȋ

(pemeliharaanku), mu’tasam

ȋ

(pemeliharaanku), manjaya (penyelamatanku), mah

ȋ

s

ȋ

(perlindunganku), ma’al

ȋ

(perlindunganku) ,kanaf

ȋ

(pemeliharaanku). 23 istajârahu (meminta perlindungan), istasrakhahu (meminta pertolongan), istinjadahu (meminta pertolongan), istinsyârahu (meminta nasehat), istijâsyahu

(meminta perlindungan), lahifa ilaihi (mengadu kepadanya),

jaza’a ilaihi (berkeluh kesah kepadanya), istizara bihi (meminta pertolongan kepadanya), isytawhasya ilaihi (menjadi senang kepadanya).24

Dari kata-kata tersebut pula terbentuk kata al-isti’adzah yang

bermakna sama secara etimologis, yakni melindungi, memelihara,

menaungi. Secara spesifik kata ةذاعتسإا muncul dalam Q.s.

al-Nahl/16:98 :

22 Majma’ al-Lugah al-‘Arabiyyah, al-Mu’jam al-Wasît, Ibrahim Mustafa, et. all. (eds.), (Turki:

al-Maktabah al-Islâmiyyah, 1392 H/1972 M), Jilid I, h. 345.

23

Ibn Mâlik al-Tâ’iy, Kitâb al-Alfâz al-Mukhtalifah fi al-Ma’âni al-Mu’talifah, tahqîq oleh Najah Nauli, (Mekkah: Universitas Umm al-Qurâ, 1411 H/1991 M), h. 34-35.

24

(50)

13

Apabila kamu membaca al-Qur’an hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. (Q.s. al-Nahl/16:98).

Menurut Hukum Internasional

Pengungsi adalah setiap orang yang mengalami rasa takut

akan kemungkinan adanya penindasan/penyiksaan terhadap

dirinya lantaran rasnya, agamanya, kebangsaannya atau

keanggotaannya (afiliasinya) kepada kelompok sosial tertentu

atau pandangan politiknya, di luar negara yang menaungi

kebangsaannya, dan ia tidak mampu atau tidak ingin memperoleh

perlindungan dari negara itu lantaran rasa takut tersebut, atau

setiap orang yang tidak memiliki kebangsaan dan berada di luar

negara tempat ia sebelumnya tinggal sehingga ia tidak mampu

atau tidak ingin, lantaran rasa takut itu, pulang kembali ke

negaranya. 25 Pengertian “pengungsi” yang tercantum dalam

Konvensi 1951 tersebut, kemudian diperluas sebagai berikut.26

a. Konvensi Organisasi Persatuan Afrika tentang

Aspek-Aspek Khusus Problem Pengungsi di Afrika (1969) 27

25

Pasal 1 (A-2) Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi, sebagaimana diamandemen oleh Protokol 1967. Begitu pula, Resolusi Majelis Umum PBB 50/152 (1995) menyatakan bahwa Konvensi 1951 dan Protokol 1967 merupakan batu pijakan rezim perlindungan pengungsi internasional.

26

Lihat dalam konteks yang sama: Pasal 1 Konvensi Arab tentang Pengaturan Status Pengungsi di Negara-negara Arab (1994), yang dimuat di dalam Collection of International Instruments and Legal Texts Concerning Refugees and Others of Concern to the UNHCR, (Geneva: UNHCR, Juni 2007), Vol. 3, h. 1130

27

(51)

14

memberi tambahan atas definisi “pengungsi” yang

tercantum dalam Konvensi 1951 sebagai berikut:

“Bahwa kata “pengungsi” juga berlaku bagi setiap orang

yang terpaksa harus meninggalkan negaranya dan mencari

suaka di luar negaranya atau tempat tinggal asalnya

lantaran adanya agresi asing, pendudukan asing,

penguasaan asing, atau peristiwa yang mengganggu

kepentingan umum di suatu bagian atau seluruh wilayah

negara orang tersebut. Dengan demikian, sesuai dengan

Konvensi ini, seseorang dapat disebut sebagai pengungsi

apabila mengalami keadaan seperti di atas, meskipun ia

tidak mengalami ketakutan terhadap

penyiksaan/penindasan. Konvensi ini bersandarkan pada

prinsip bahwa perlindungan internasional harus diberikan

kepada pengungsi ketika tidak ada perlindungan negara

asal mereka lantaran negara mereka itu tidak mampu atau

tidak mau memberikan jaminan perlindungan kepada

warga negaranya. Hal ini biasanya terjadi di tengah situasi

peperangan atau pendudukan militer.

b. Deklarasi Cartagena tentang Pengungsi (1984) memberi

tambahan atas definisi “pengungsi” yang tercantum dalam

Konvensi 1951, yakni bahwa kata atau konsep

(52)

15

negaranya lantaran kehidupannya, keselamatannya atau

kebebasannya terancam oleh kekerasan yang meluas,

agresi asing, konflik di dalam negeri, pelanggaran hak

asasi manusia secara luas, atau situasi apapun yang

membahayakan ketertiban umum. Meskipun Deklarasi ini

tidak mengikat karena hanya deklarasi semata, bukan

perjanjian internasional yang mengikat, sehingga tidak

berlaku terhadapnya “pacta sunt servanda” (perjanjian

mengikat para pihak yang membuatnya) atau prinsip “ex

consensus advenit vinculum” (kesepakatan bersifat

mengikat); akan tetapi, prinsip ini diimplementasikan

dalam praktik hukum dan legislasi nasional di sebagian

negara-negara Amerika Tengah.

Lebih lagi, Pasal 14 Deklarasi Universal tentang Hak Asas

Manusia menyatakan bahwa :

(1) setiap orang berhak mencari dan menikmati suaka untuk

memperoleh perlindungan dari negara pemberi suaka dan untuk

menghindari penyiksaan/penindasan;

(2) hak ini tidak dapat diperoleh apabila keadaan itu lahir atas

dasar tindak pidana/kejahatan non-politik atau lantaran perbuatan

yang melanggar tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip PBB.28

28

(53)

16

Lebih jauh lagi, hak suaka diartikan diperolehnya

perlindungan yang diberikan oleh suatu negara, di wilayah negara

tersebut atau di wilayah lain yang tunduk kepada pemerintah

negara tersebut, kepada seseorang yang meminta

suaka/perlindungan.29

Komponen – komponen hak suaka

Hak suaka mengandung 3 (tiga) komponen, yaitu:

1. Masuknya seseorang kedalam suatu teritori tertentu, dengan

asumsi ia mencari suaka (dalam bahasa hukum, ini disebut

1. Semua negara wajib menghormati suaka yang diberikan negara lain, dalam rangka melaksanakan

kedaulatannya, kepada setiap orang yang berhak untuk meminta diberlakukannya Pasal 14 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, termasuk orang-orang yang berjuang melawan kolonialisme.

2. Hak mencari dan menikmati suaka boleh tidak diberikan kepada siapa saja diduga kuat melakukan tindak kejahatan terhadap perdamaian atau tindak kejahatan perang atau tindak kejahatan terhadap kemanusiaan, sesuai dengan yang diatur dalam instrumen hukum internasional.

3. Negara pemberi suaka berhak mengevaluasi alasan-alasan pemberian suaka.

Perlu dikemukakan bahwa seseorang dimungkinkan menjadi pengungsi dalam negeri (refugee sur place in situ). Misalnya, pejabat diplomatik, utusan/delegasi negara, tawanan perang, mahasiswa, dan pekerja migrant; mereka adalah orang-orang yang tinggal di luar negara asal mereka tanpa berkeinginan sama sekali mencari suaka; namun, akibat situasi dan kondisi yang terjadi, mereka merasa takut akan kemungkinan terjadinya penganiayaan terhadap mereka atas dasar alasan ras, agama, kebangsaan, afiliasi kepada kelompok sosial tertentu, atau pendapat/pandangan politik tertentu, atau kemarahan mereka atas peristiwa yang terjadi di negara mereka, atau keterkaitan mereka dengan tokoh-tokoh politik yang ada di luar negeri dan kelompok oposisi. Mereka ini, sesudah memenuhi persyaratan, dapat dikualifikasi sebagai pengungsi

Telah diketahui bahwa seseorang dapat dikualifikasi sebagai pengungsi lantaran keadaannya yang demikian; dan karena itu, pengakuan terhadapnya sebagai pengungsi oleh pihak negara pemberi suaka membawa efek deklaratif, bukan konstitutif. Terdapat perbedaan penting antara efek deklaratif dan efek konstitutif. Sebab, status “pengungsi” merupakan status yang empirik sifatnya manakala telah terpenuhi persyaratannya dan unsur-unsurnya tanpa tergantung kepada unsur-unsur eksternal. Oleh karena itu, seseorang tidak dapat dianggap sebagai pengungsi hanya dengan pengakuan terhadap dirinya, tetapi pengakuan tersebut menjadi sempurna tatkala dia berstatus sebag

Referensi

Dokumen terkait