• Tidak ada hasil yang ditemukan

Suaka ke Masjid al-Haram (tempat perlindungan yang suci di Mekkah)

DALAM SYARIAT ISLAM DAN HUKUM INTERNASIONAL

2. Suaka ke Masjid al-Haram (tempat perlindungan yang suci di Mekkah)

Pencarian suaka ke kawasan al-Haram juga dianggap sebagai suaka teritorial,97 jika pengungsi berasal dari luar wilayah negara Islam. Allah SWT menetapkan, dalam rangka menjaga kemuliaan dan kesucian kawasan al-Haram, bahwa siapapun yang mengungsi ke kawasan al-Haram akan

97

Beberapa ahli fikih menganggap suaka ke al-Haram sebagai semacam “suaka agama dalam Hukum Syari’ah”. Burhan Amrullah, al-Nazariyyah al-‘Âmmah li Haqq al-Malja` fi al-Qânun al-Duwaliy al-Mu’âsir, Disertasi Doktor, (Kairo: Kulliyyat al-Huqûq, Jâmi’at al-Qâhirah, 1983), h. 40-41.

67

mendapat jaminan perlindungan. Hal ini berdasarkan kalam Allah SWT:

Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam (tempat berdiri) Ibrahim; Barangsiapa memasukinya (Baitullah) maka amanlah dia. (Q.S. Ali ‘Imrân/3:96-97).

dan kalam Allah SWT:

Dan apakah mereka tidak memperhatikan, bahwa sesungguhnya Kami telah menjadikan (negeri mereka) tanah suci yang aman, sedang manusia di sekitarnya rampok- merampok. (Q.S. al-‘Ankabût/29:67).

dan kalam Allah SWT :

Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka'bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan. (Q.S. Quraisy/106: 3-4).

Demikian juga kalam Allah SWT :

Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman.. (Q.S. al-Baqarah/2:125).98

98

Dalam penafsiran kata “tempat yang aman” pada frasa kalam Allah SWT (Kami jadikan Baitullah tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman), dalam ayat di atas, Imam Abu al-Sa'ûd menjelaskan bahwa “tempat yang aman”, sebagaimana kalam Allah (kawasan al-Haram yang aman), dengan menggunakan kata dasar (al-masdar) menempati posisi ism fâ’il, dalam bentuk mubâlagah (penekanan yang kuat); atau dipandang sebagai gabungan kata yang bermakna “yang memiliki rasa aman”; atau dalam bentuk frasa majaz, yang mengandung makna “orang yang aman dari siksa Allah di akhirat karena melaksanakan ibadah haji”, mengingat bahwa ibadah haji menghapuskan dosa-dosa yang sebelumnya; atau mengandung makna, sebagaiamana pendapat Abu Hanifah, yakni pelaku kejahatan yang memasuki kawasan al-Haram, aman dari ancaman hukuman, sampai dia keluar dari kawasan itu. Kata “aman” dapat juga dipandang sebagai analogi terhadap keamanan yang mencakup semua hal, termasuk keamanan bagi orang yang masuk lebih dahulu. Lihat

68

Nabi Muhammad SAW, pada peristiwa pengambilalihan otoritas kota Mekkah, bersabda:

Siapa saja yang memasuki Masjid al-Haram, maka dia akan aman, barangsiapa yang masuk ke rumah Abû Sufyân, maka dia akan aman, dan barangsiapa yang meletakkan senjatanya, maka dia akan aman, dan barangsiapa yang tetap berada di rumahnya, maka dia akan aman.99

Seorang ulama fikih terkenal, al-Kâsani berpendapat bahwa ada 3 (tiga) dasar alasan yang melandasi larangan tindakan pertumpahan darah di kawasan al-Haram (Mekkah dan Medinah), yaitu keimanan, permintaan perlindungan, dan pencarian suaka ke kawasan al-Haram.

Berkaitan dengan kawasan al-Haram sebagai tempat berlindung, al-Kasani menegaskan: mengenai berlindung ke kawasan al-Haram, apabila orang non-Muslim harby berlindung ke kawasan al-Haram, ia tidak boleh dibunuh, tetapi ia tidak perlu diberikan makanan, minuman, tempat penampungan, dan diambil sumpah setianya, hingga ia keluar meninggalkan kawasan al-Haram. Sedangkan menurut al- Syafi’i, orang itu boleh dibunuh di kawasan al-Haram. Namun, ahli fikih (mazhab Hanafi) secara internal berbeda pendapat; Abu Hanifah dan Muhammad berpendapat bahwa

Abu Sa'ûd, Irsyâd al-‘Aql al-Salîm ila Mazâya al-Qur`an al-Karîm, Bab I, (Kairo: Dâr al-Mushaf), h. 157. Lihat juga Ibn al-'Arabi, Ahkâm al-Qur`an, Bab I, h. 37-39.

99

Hadis diriwayatkan oleh Muslim, Bab:Fath Mekkah dari Kitab al-Jihâd wa al-Siyar, Sahîh Muslim, Bab III, h. 1408, Hadis No.1780. Lihat juga Ibn Syaibah, Kitâb al-Magâzî, h. 318-319.

69

orang itu tidak boleh dibunuh atau dikeluarkan dari kawasan al-Haram, Abu Yusuf berpendapat bahwa orang itu tidak boleh dibunuh, tetapi boleh dikeluarkan/diusir dari kawasan al-Haram.”100

Para ulama fikih sepakat bahwa jika seseorang melakukan kejahatan terhadap tubuh yang diancam dengan hukuman qisas, lalu ia berlindung ke kawasan al-Haram maka hukuman qisas diberlakukan kepada dirinya. Demikian juga, orang yang melakukan kejahatan terhadap nyawa atau tubuh di kawasan al-Haram hukuman qisas diberlakukan kepada dirinya. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat mengenai apakah orang yang melakukan kejahatan di luar kawasan al-Haram, yang kemudian berlindung masuk ke kawasan al-Haram dapat langsung dikenakan dengan hukuman tersebut.

Ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa orang tersebut tidak boleh langsung dikenakan hukumannya di kawasan al- Haram, tetapi harus dipaksa keluar dari kawasan al-Haram, dengan cara tidak diberikan makanan, minuman atau izin berinteraksi. Jika orang itu keluar, barulah ia dieksekusi. Pendapat ini berdasarkan makna umum ayat al-Qur’an:

100

al-Kâsânî, Badâ`i’ al-Sanâ`i’ fî Tartîb al-Syarâ`i’, (Beirut:Dâr al-Kitâb al-‘Arabî, 1402 H/ 1982 M), Bab VII, h.114.

70

Dan barangsiapa yang masuk ke dalamnya, maka ia akan aman. (Q.S. Âli ‘Imrân/3:97).

Dalam pada itu, mayoritas ulama fikih, termasuk al- Syâfi'i dan Mâlik, berpendapat bahwa apabila orang yang melakukan kejahatan terhadap nyawa secara sengaja di luar kawasan al-Haram, kemudian berlindung masuk ke kawasan al-Haram maka ia boleh langsung dikenakan hukumannya. Mereka menganalogikan kasus tersebut dengan kasus orang yang melakukan kejahatan di kawasan al-Haram,101 yakni apabila ia menghilangkan nyawa orang lain secara sengaja atau melakukan salah satu kejahatan hudûd (hukuman yang telah ditentukan sanksinya oleh Syariat Islam) di kawasan al- Haram maka ia akan dijatuhi hukuman yang sesuai.102

Terdapat perbedaaan pendapat para ulama perihal apakah jika seorang non-Muslim harbiy masuk ke kawasan al- Haram, maka hal itu tidak mencegah seorang Muslim dalam memberikan perlindungan kepada orang non-Muslim itu. Dalam hal ini, Abu Hanifah berpendapat bahwa jika orang Muslim memberikan perlindungan kepada orang non- Muslim harbiy yang berada di kawasan al-Haram atau

101

Tafsîr al-Qurtubî, Bab IV, h. 140; Tafsîr al-Tabarî, Jilid VII, h. 29-34; Mustafa Sa’îd al-Khinn,

Atsar al-Ikhtilâf fî al-Qawâ’id al-Usuliyyah fî Ikhtilâf al-Fuqahâ`, Disertasi Doktor, (Kairo: Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas al-Azhar, t.th.), h. 165-166. Al-Qurtubî berkata: “Pendapat Abu Hanifah yang mengatakan bahwa kebebasan pelaku dipersempit sampai ia keluar dari al-Haram atau mati, mengandung arti bahwa kita menghukumnya dengan pedang, sedang Abu Hanifah menghukumnya dengan kelaparan; maka, pembunuhan manakah yang lebih sadis dari ini? Lihat al-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`ân, Jilis II, h. 111.

102

71

setelah orang itu keluar dari kawasan al-Haram, atau sebelum ia ditangkap, maka ia ditolak permintaan suakanya. Sedangkan Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan al- Syaibânȋ menyatakan bahwa jaminan suakannya itu sah, dan

orang non-Muslim harbiy tersebut diberikan tempat yang aman.103

Sementara itu, al-Syaibânȋ berpendapat bahwa orang

yang jiwanya tidak dilindungi di luar kawasan al-Haram, dia dapat memperoleh perlindungan jika masuk ke kawasan al- Haram, dengan syarat orang tersebut meminta perlindungan bukan karena alasan peperangan. Berbeda halnya apabila orang tersebut masuk ke kawasan al-Haram karena alasan peperangan, maka ia tidak mendapat jaminan perlindungan. Lebih dari itu, al-Syaibânȋ berpendapat bahwa meskipun

orang tersebut termasuk orang yang dibolehkan untuk diperlakukan dibawah tekanan dan tidak perlu diberikan perlakuan yang baik, tapi ia tidak boleh terhalang dalam mendapatkan makanan, dan minuman lantaran ini semua merupakan hak orang tersebut. Sebab, Rasulullah SAW telah menetapkan bahwa setiap orang memiliki hak kolektif atas padang rumput, air, dan api (diasosiasikan dengan sumber daya energi) berdasarkan dalil berikut:

103

72

Ada 3 (tiga) hal yang tidak boleh dihalangi, yaitu air, lahan berumput dan api.104

Kami (penulis) berpendapat bahwa pada dasarnya, apabila pengungsi yang datang dengan alasan melarikan diri dari tindakan penganiayaan terhadap dirinya, maka ia dapat menikmati jaminan perlindungan yang dianugerahkan Allah kepada kawasan al-Haram, bahkan meskipun ia adalah seorang petarung non-Muslim harbiy. Hal ini didukung oleh Hakim Ibn al-‘Arabi yang menginformasikan: “Saya datang ke kawasan Bait al-Maqdis (semoga Allah mensucikannya), di Madrasah Abi ‘Uqbah al-Hanafi, di mana Hakim al- Raihâni sedang memberikan materi pengajian pada hari Jumat. Tiba-tiba datang seorang laki-laki tampan mengenakan pakaian gembala yang lusuh lalu ia mengucap salam kepada kami dengan gaya salam ulama dan langsung mengambil posisi di hadapan majelis pengajian. Lalu, al-Raihâni bertanya kepadanya, “Siapakah Tuan ?” Ia menjawab: “Saya adalah orang yang kemarin dilucuti oleh perampok, dan tujuan saya adalah kawasan al-Haram yang suci ini. Saya adalah seorang pencari ilmu pengetahuan dari Sâgân.” Lalu, al-Raihâni segera berkata: “Tanyai dia! Sudah menjadi kebiasan mereka, menghormati ulama dengan mengajukan pertanyaan

104

Abu ‘Abdillah Muhammad Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, tahqîqMuhammad Fuad ‘Abd al-Bâqî, (Kairo: Dâr al-Hadîts, t.th.), Hadis No. 2473. Di dalam kitab al-Zawâ`id,beliau menyatakan bahwa sanad Hadis ini sahîh dan para periwayatnya dapat dipercaya, Bab II, h. 826.

73

kepadanya. Banyak pertanyaan yang keluar melalui undian (karena demikian banyaknya pertanyaan) ialah perihal orang kafir yang mencari perlindungan di kawasan al-Haram; mengenai apakah ia boleh diperangi (dibunuh) ataukah tidak. Lalu, tokoh ulama Sâgân itu berpendapat bahwa orang itu tidak boleh dibunuh. Lalu, sang tokoh ulama ini ditanya tentang dalil/alasan pendapatnya maka ia menjawab dengan Kalam Allah SWT :

Dan janganlah memerangi mereka di Masjid al-Haram sampai mereka memerangi kamu di situ. (Q.S. al- Baqarah/2:191)

“Ada yang membaca ayat ini dengan bunyi: jangan membunuh mereka dan ada yang membacanya dengan bunyi: jangan memerangi mereka. Jika dibaca Dan janganlah memerangi mereka maka ini merupakan suatu pernyataan yang tegas maknanya (nass). Akan tetapi, jika dibaca Dan janganlah memerangi mereka, maka ini merupakan suatu ungkapan bermakna peringatan karena larangan memerangi yang merupakan awal penyebab terjadinya pembunuhan, itu juga merupakan petunjuk yang gamblang akan adanya larangan membunuh.”

Kemudian, Hakim al-Raihâni menyanggah pendapat sang tokoh ini sekaligus mendukung pendapat al-Syâfi’i dan

74

Mâlik, meskipun biasanya al-Raihâni tidak setuju dengan pendapat kedua tokoh ulama pendiri mazhab ini. Lalu, al- Raihâni berkata: “Ayat ini mansûkh (digantikan atau diperbarui) oleh kalam Allah dalam Q.S.al-Taubah/9:5 (maka bunuhlah orang-orang kafir di mana saja mereka berada). Tokoh ulama al-Sâgânî itu kemudian berkata kepada al- Raihâni: “(Sanggahan) ini tidak pantas diutarakan hanya karena tingginya martabat dan intelektualitas seorang hakim. Ayat yang Anda kemukakan untuk menyanggah pendapat saya merupakan ayat yang bernada umum (‘âmm), berlaku untuk semua tempat dan keadaan, sedang ayat yang saya kemukakan merupakan ayat yang bernada spesifik (khâss). Tidak seorangpun dibolehkan mengklaim ayat yang bernada umum (‘âmm) membatalkan atau menggantikan atau memperbarui ayat yang bernada spesifik (khâss). Seketika al- Raihâni diam tertegun. Ini merupakan salah satu pernyataan yang terbaik. 105 Oleh karena itu, kawasan al-Haram senantiasa merupakan tempat berkumpul dan tempat berlindung semua orang.106

Demikianlah, kaum ulama fikih membedakan 2 (dua) macam perlindungan di kawasan al-Haram. Pertama, memberikan jaminan perlindungan kepada pengungsi yang

105

Ibn al-‘Arabi, Ahkâm al-Qur`ân, Bab I, h. 106-107.

106

75

masuk ke kawasan al-Haram untuk meminta perlindungan dari penganiayaan dan sebagainya. Tidak diragukan lagi, hal ini sesuai dengan esensi konsep dan sistem suaka dalam hukum internasional modern, yakni memberi jaminan keamanan dan perlindungan bagi setiap pencari suaka. Kedua, tidak memberikan jaminan perlindungan kepada pengungsi apabila ia masuk ke kawasan al-Haram untuk berperang atau menimbulkan kekacauan. Dalam kondisi demikian, pengungsi tersebut memang tidak mencari keselamatan, tetapi mencari yang sebaliknya. Karena itu, sangat logis jika tidak memberikan jaminan perlindungan apapun kepada dirinya. Konsekuensinya, ia tidak mendapat perlindungan dan keselamatan seperti yang termasuk dalam hak suaka.

Nabi SAW menegaskan perlunya menghormati setiap orang mengungsi ke kawasan al-Haram, melalui Hadis:

Sesungguhnya Mekkah telah dimuliakan oleh Allah, ketika orang belum memuliakannya; Tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat untuk menumpahkan darah di kawasan al-Haram. (H.R. al-Bukhâri).107

Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah mengatakan bahwa hal demikian merupakan pengharaman dalam Syariat Islam yang

107

al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Hadis No. 4044, Jilid IV, h. 1563; Muslim, Sahîh Muslim, Hadis No. 1354, Jilid II, h. 987.

76

bersifat tetap. Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah membedakan antara pengungsi dan orang yang terlibat tindak pidana di al- Haram, dengan mengatakan bahwa Allah SWT berfirman: Dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjid al- Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu; jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. (Q.S. al-Baqarah/2:191).

Perbedaan antara pengungsi dan pelaku kejahatan di kawasan al-Haram dapat dilihat dari beberapa segi. Pertama, pengungsi yang melakukan kejahatan di dalam kawasan al- Haram berarti menistakan kemuliaan dan kesuciannya. Hal ini berbeda dengan penjahat yang melakukan kejahatan di luar kawasan al-Haram, lalu mencari perlindungan dengan masuk ke kawasan al-Haram. Dengan meminta perlindungan, berarti ia mengagungkan dan menghormati kemuliaan atau kesucian kawasan al-Haram. Analogi salah satu dari kedua tipe orang itu dengan tipe yang lain tentu merupakan analogi yang tidak valid. Kedua, pelaku kejahatan di kawasan al- Haram serupa dengan orang yang melakukan kejahatan di istana raja. Sedangkan pelaku yang melakukan kejahatan di luar kawasan al-Haram, lalu ia masuk ke dalam kawasan al- Haram, adalah sama seperti seorang pelaku kejahatan di luar istana raja, kemudian masuk ke istana raja untuk mencari perlindungan. Ketiga, pelaku kejahatan di kawasan al-Haram

77

telah menistakan kesucian Allah dan Masjid al-Haram yang dimuliakan-Nya sehingga ia telah menistakan dua macam kesucian; dan berbeda halnya pelaku kejahatan di luar kawasan al-Haram. Keempat, jika hukuman hadd tidak diberlakukan terhadap pelaku kejahatan di kawasan al- Haram, tentu kerusakan, korupsi dan keburukan akan merajalela di kawasan itu, padahal penduduk kawasan al- Haram itu sama dengan penduduk di wilayah lainnya yang nota bene membutuhkan perlindungan atas jiwa, harta dan kehormatan mereka. Jika hukuman hadd tidak diberlakukan kepada pelaku kejahatan di kawasan al-Haram maka hukum- hukum Allah akan terabaikan sia-sia, dan kemudaratan akan menimpa kawasan al-Haram dan penduduknya. Kelima, orang yang berlindung masuk ke kawasan al-Haram serupa dengan pelaku kejahatan yang bertaubat dan menyesal, mengharapkan perlindungan ke rumah Allah SWT, sehingga ia tidak boleh dilecehkan atas nama kemuliaan al-Haram, berbeda halnya dengan orang yang menistakan kesuciannya. Jadi, jelas sekali perbedaannya.

Ibn Qayyim menambahkan, dalam kehidupan bangsa Arab masa Jahiliah, biasanya ketika seseorang melihat pembunuh ayahnya atau anaknya di kawasan al-Haram, maka ia tidak boleh melawannya. Kebiasaan itu dipraktikkan

78

pada masa sebelum Islam dan kemudian agama Islam datang dan mengukuhkannya.108

Oleh karena itu, menghormati orang yang berlindung/mengungsi ke kawasan al-Haram, dalam batas- batas yang tertentu seperti diatas, merupakan hal yang valid dalam Syariat Islam.

B. Menurut Hukum Internasional109

Pemberian suaka agama dalam rangka menyediakan perlindungan kepada siapa pun yang memasuki tempat-tempat keagamaan atau sakral merupakan salah satu bentuk tertua pencarian suaka. Sejak zaman dahulu, sebagian besar agama- agama, bangsa dan masyarakat telah membenarkan tindakan tersebut. Sebagaimana diketahui, hak untuk mendapat suaka memiliki makna sakral, ketika pengungsi mencari suaka dari tempat-tempat keagamaan atau suci menjadi tempat berlindung (Sanctuaire).

108

Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Zâd al-Ma’âd fi Hady Khair al-‘Ibâd, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi), Jilid II, h. 177.

109

Patut dicatat bahwa hukum internasional modern tidak menjadikan agama-agama sebagai dasar landasan aturan dan sistemnya. Hal ini bertolak belakang dengan Hukum Syari’ah yang menjadikan Islam sebagai fokus perhatiannya, bahkan pada tingkat global dan dalam hubungan dengan negara-negara lain. Pernyataan ini, khususnya yang berkaitan dengan hukum internasional, didukung oleh kutipan berikut: “ Cuius region eius religio (wilayah hukum adalah wilayah agama) adalah formula substantif untuk perdamaian yang memuaskan semua pihak.“ Zartman dan Berman, The Practical Negotiator, (Yale University Press, 1982), h. 103. Pendapat lain mengatakan bahwa hukum positif internasional mengabaikan seluk-beluk seperti paralegal yang mengabaikan hukum agama dengan berpura-pura secara halus. R. Yakemtchouk, Les Frontieres Africaines, RGDIP, 1970, h. 58.

79 2. Suaka Teritorial

A. Menurut Syariat Islam

Syariah Islam tidak mengabaikan suaka teritorial karena hal ini pada dasarnya sudah dikenal sejak era pra-Islam. Memberi perlindungan dan memuliakan pengungsi merupakan salah satu sifat luar biasa dari bangsa Arab. Mereka menyebut jenis suaka ini dengan istilah dikhalah (intervensi) atau najdah (menolong). Konsep Islam telah mengadopsi pendekatan yang sama dengan mengakui pemberian suaka kepada Muslim dan non-Muslim.”110

Ada beberapa bentuk suaka teritorial menurut

pandangan Syariah Islam. Dalam pandangan penulis, yang paling penting adalah sebagai berikut:

1. Pemberian suaka teritorial oleh otoritas negara

Sebagaimana diketahui, para pemegang otoritas di setiap negara, termasuk negara-negara Islam, memiliki wewenang untuk memberi suaka di wilayah mereka sendiri. Dalam sejarah negara-negara Islam, contoh seperti itu sangat banyak.

Salah satu contohnya ialah bahwa pada masa pemerintahan Khalifah ‘Umar ibn al-Khattâb, terjadi peristiwa di mana Rauzabah ibn Barzag, orang Persia, meminta suaka

110

Lihat Muhammad Tal’at al-Gunaimi, al-Ahkâm al-‘Âmmah fî Qânûn al-Umam, (Alexandria: Mansya`at al-Ma'arif, 1970), h. 720. Al-Tahtawi mengatakan bahwa manusia bersikap sebagai warga negara secara alami dan akrab sesuai dengan lingkungan. Lihat Rifâ'ah Râfi' al-Tahtawi, al-Daulah al-Islâmiyyah Nizâmuhâ wa 'Amâlâtuhâ, yang merupakan buku suplemen atas buku Nihâyat al-`Îjâz fî Sîrah Sâkin al-Hijâz, (Kairo: Maktabat al-Adab, 1410-1991), h. 47.

80

kepada Sa’ad ibn Abi Waqqâs. 111 Menurut para penulis biografinya, ia adalah seorang gubernur di suatu wilayah Romawi yang diinstruksikan oleh Raja Persia untuk membawa senjata ke wilayah itu. Hal ini menimbulkan kecemasan bagi kalangan bangsawan Persia sehingga Rauzabah merasa tidak aman. Kemudian ia datang ke Kufah menemui Sa’ad. Rauzabah membangun istana dan masjid agung untuk Sa’ad. Sa’ad menulis surat kepada Khalifah ‘Umar ibn al-Khattâb tentang status Rauzabah. Ketika Rauzabah memeluk Islam, Khalifah ‘Umar memberinya uang dan mengirimkannya melalui Sa’ad. Contoh lainnya ialah pembelotan ke negara Islam, yang dilakukan oleh Ward pada masa pemerintahan Khalifah ‘Adud al-Daulah. Raja Romawi meminta kepada Khalifah ‘Adud al-Daulah untuk mengekstradisi Ward.112

111

Muhammad Hamidullah, Majmû’ah al-Watsâ`iq al-Siyâsiyyah li al- ‘Ahd al-Nabawî wa al-Khilâfah al-Râsyidah, (Beirut: Dâr al-Nafâ`is, 1403 H/1983 M), h. 417.

112

Lihat Menteri Abu Suja’ (yang juga dikenal sebagai Zahr al-Dîn al-Rûzrâwi), Dzail Kitâb Tajârub al-Umam, (Mesir: Maktabah al-Mutsanna, , 1334 H/1916 M), h 28-39 dan h. 111 dan sesudahnya.

Contoh lain ialah, ketika Pangeran Don Sanchez memberontak kepada ayahnya, Alfonso X, untuk menggulingkan kekuasaannya. Alfonso X kemudian meminta perlindungan kepada Sultan Abû- Yûsuf al- Mansûr. (Lihat ‘Abd al-Hâdî al-Tâzî, al-Târîkh al-Diblûmâsî li al-Magrib min Aqdam al-‘Usûr ila al-Yaum, (Matba’ah Fadâlah al-Muhamadiyyah, 1407H-1987M, Jilid VII, h. 63). Demikian juga, ketika Sultan Abû Yûsuf menyambut pengungsi politik Kastilia, di mana bersama mereka turut serta para pemimpin dan komandan militer (h. 65). Demikian juga dua pangeran Maroko membelot ke ke Portugal pada tahun 986 H/1578M ( 8, h.146). Contoh lainnya, pengungsian Ferdnande, asal Tergale dan saudara iparnya, Advonce, pada tahun 563 H, ke Seville, kemudian ke Marrakesh dan berlindung di sana selama lima bulan. Lihat Ibn Sahib al-Salah, al- Mann bi al-Imâmah, tahqîq ‘Abd al-Hâdî al-Tâzî, (Beirut: Dâr al-Garb al-Islâmî, 1987), h. 284-295.

Adisicia, seorang penulis kesohor, menerangkan bahwa toleransi yang diterima di tanah Muslim oleh para ilmuwan Yunani yang melarikan diri dari tanah air mereka untuk mengindari penganiayaan oleh gereja, telah mendorong lebih banyak orang untuk bermigrasi, di mana mereka bisa bekerja dengan damai. Sebaliknya, dewasa ini migrasi terbalik meningkat dari wilayah Muslim ke negara non-Muslim karena alasan politik, ekonomi, sosial, akademik, pendidikan atau lainnya. Lebih jauh, lihat Muhammad ‘Abd al-‘Alîm Mursî, Hijrat al-‘Ulamâ` min al-‘Âlam al-Islâmîy, (Riyadh: Markaz al-Buhûts Jâmi’at al-Imâm Muhammad Ibnu Sa'ûd al- Islâmiyyah, 1404 H/1984 H), h. 134-245.

81

Contoh pemberian wilayah suaka oleh otoritas negara ialah pesan yang dikirim oleh Sultan Barquq kepada Timur Lenk tentang seorang pria yang meminta suaka, di mana Sultan Barquq memberi perlindungan, sedang Timur Lenk menuntut ekstradisi. Pesan itu berbunyi: