• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hak-hak dan kewajiban-kewajiban pengungsi A Menurut Syariat Islam

MENURUT SYARIAT ISLAM DAN HUKUM INTERNASIONAL

1. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban pengungsi A Menurut Syariat Islam

Dalam Islam, pengungsi mendapatkan status hukum, yang tidak kurang dari yang ditetapkan dalam hukum internasional. Bahkan, Islam tidak memperbolehkan pelanggaran hak-hak pengungsi atau pencari suaka lantaran alasan perbedaan agama. Ini sesuai dengan kalam Allah:

Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk

148

mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (Q.S. al- Mumtahanah/60:8-9)

Hak-hak terpenting pengungsi menurut Syariat Islam tergambarkan sebagai berikut. Pertama adalah pemenuhan kebutuhan pokok yang bersifat fisik dan materiil bagi pengungsi. Beberapa kebutuhan pokok yang termasuk diantaranya adalah makanan, minuman dan pakaian. Hal ini sesuai dengan ayat berikut:

Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, Kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.

(Q.S. al-Insân/76:8-9)

Tetapi dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar.

Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (yaitu) Melepaskan budak dari perbudakan, atau memberi makan pada hari kelaparan, (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat, atau kepada orang miskin yang sangat fakir. (Q.S. al-Balad/90:11-16)

Ada seseorang yang bertanya kepada Nabi SAW: “Hal apakah yang paling baik dilakukan menurut agama Islam?” Beliau menjawab: “Kamu memberikan bantuan makanan, dan memberikan salam (menebarkan ajaran kasih sayang) kepada orang yang kamu kenal dan kepada orang yang tidak kamu

149

kenal.”183 Dalam Hadis lain, Nabi SAW bersabda: “Sembahlah Allah yang Maha Pengasih, berikanlah makanan, sebarkan perdamaian, pasti kamu akan masuk surga dengan penuh kedamaian.”184

Kaum Muslimin telah melakukan penerapan yang cemerlang terhadap ayat berikut:

Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. (QS: al- Insan/76:8).185

Mereka tidak hanya membatasi bantuan dalam hal makanan saja, melainkan meliputi berbagai kebutuhan pokok lain bagi para pengungsi atau tawanan perang, yang sangat dibutuhkan untuk menjaga fisik dan kesehatan serta menjaga keamanan moral dan integritas mereka. Jika ayat itu bisa diamalkan untuk menyantuni para tawanan perang, maka anjuran untuk menyantuni para pengungsi jauh lebih diutamakan, sebab pengungsi tidak menjalankan peperangan terhadap orang-orang Islam.

Contoh untuk masalah yang seperti ini sangat banyak. Diantaranya pada saat terjadi penawanan atas kaum kafir pada perang Badar, Rasulullah SAW membagi mereka dan

183 Muhammad ibn Ismâ’îl al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî,Hadis No. 12, Jilid I, h. 13; Muslim, Sâhîh

Muslim, No. 39, Jilid I, h.65.

184

al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, Hadis No. 1855, Jilid IV, h. 253; dan al-Tirmidzi mengatakan bahwa Hadis ini sahîh.

185

Muttafaq ‘alaih, Muhammad ibn Ismâ’îl al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, HNo. 12; Muslim, Sâhîh Muslim, No. 39; al-Nasâ`i, Sunan al-Nasâ`i, Hadis No. 12, dan Abû Dâwud, Hadis No. 5194.

150

menyerahkan mereka kepada sahabatnya seraya berpesan agar para sahabat memperlakukan para tawanan perang itu dengan baik. Abu Aziz, salah seorang tawanan yang dibawa dari Badar oleh rombongan kaum Ansar (penduduk asli Madinah) bercerita: “Para sahabat Nabi, setiap kali menghidangkan makanan baik untuk makan siang maupun makan malam, mereka selalu membiarkan aku memakan roti, padahal mereka hanya memakan kurma.” Hal ini, menurut Abu Aziz, dilakukan karena wasiat Rasulullah SAW. “Sekalipun sepotong roti jatuh ke tangan mereka, mereka akan mengembalikannya kepada kami. Hingga saya merasa malu, ingin mengembalikannya lagi kepada mereka, tetapi mereka mendorong tanganku kembali tanpa menyentuh roti itu.”186

Kedua adalah perlindungan dan bantuan terhadap pengungsi (musafir yang kehabisan biaya atau Ibn al-Sabîl). Diantara jenis – jenis pengungsi, terdapat diantaranya yang tergolong sebagai ibn al-sabîl187 yaitu orang yang menjadi pengungsi karena kehabisan biaya ditengah perjalanannya. Dan jumlahnya pun

186

Ibn Hisyâm, al-Sîrah al-Nabawiyyah, Jilid I, h. 645; dan al-Kandahlâwî, Hayât al-Sahâbah, Jilid II, h. 337. Lihat contoh lain dalam Ahmad Abû al-Wafâ’, Kitâb al-I’lâm bi Qawâ`îd al-Qânûn al-Duwaliy wa al- ‘Alâqât al-Duwaliyyah fî Syarî’at al-Islâm, Jilid X, h. 208-210.

187

Pengertian ibn al-sabîl adalah seorang musafir yang kehabisan bekal sehingga tidak bisa sampai ke tempat tujuan. Lihat Mu’jam Alfâz al-Qur`ân al-Karîm, (Kairo: Majma’ al-Lugah al-‘Arabiyyah, 1409 H/1989 M), Jilid I, h . 553. Pengertian ibn al-sabîl juga didefinisikan sebagai seorang musafir yang jauh dari rumah, dinisbatkan kepada kata jalan karena ia sedang mencari jejak atau jalan itu sendiri. Lihat al-Râgib al-Isfahâni,

151

banyak. Beberapa kaidah mendasar tentang ibn al-sabîl terdapat dalam al-Qur’an:

a.Bantuan materiil kepada ibn al-sabîl harus secara rela dan lapang hati diberikan sesuai dengan kalam Allah :

…dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan). ( ◌Q.S.al-Baqarah/2:177). b.Infaq yang paling utama adalah yang diberikan antara lain

untuk ibn al-sabîl sesuai dengan kalam Allah:

. Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang- orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan. (Q.S.al-Baqarah/2:215).

Ibn al-sabîl adalah pihak yang selalu memiliki hak atas harta kaum Muslimin, baik berupa rampasan perang, fa’i maupun zakat, sesuai dengan ayat berikut:

Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibn al-sabîl. (Q.S. al- Anfâl/8:41).

Allah juga berkalam:

Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai

152

suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS: al-Taubah/9:60).188 Apa saja harta rampasan (fa’i) yang diberikan Allah kepada

RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang- orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. (Q.S.al-Hasyr/59:7).

Dengan demikian, mencukupi kebutuhan ibn al-sabîl hukumnya menjadi wajib sesuai dengan kalam Allah berikut: Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan. (Q.S.al-Isrâ’/17:26).

Maka berikanlah kepada kerabat yang terdekat akan haknya, demikian (pula) kepada fakir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. (Q.S. al-Rûm/30:38).

188

Seorang ahli berpendapat bahwa atas dasar ketentuan ayat ini, mestinya persoalan para pengungsi ini tidak akan menjadi problem. Menurutnya, sesungguhnya di bawah perlindungan aturan ajaran Islam, masalah rumit dalam hal pengungsi atau orang tanpa kewarganegaraan seharusnya tidak ada sebab mereka itu bisa dianggap sebagai kaum dzimmiy, yaitu komunitas orang tidak memiliki wilayah selain Negara Islam. Mereka bisa hidup cukup dengan hak – hak yang dijaminkan kepada mereka sesuai dengan al-Qur’an surat ke-9 ayat 60 selama status mereka belum memiliki wilayah atau wewenang kongkrit yang menjamin hak – hak mereka bisa dipenuhi, maka mereka mendapat perlindungan dalam Negara Islam. Tata aturan pensiun dan asuransi bisa dinikmati oleh semua orang baik orang Muslim maupun orang dzimmiy yang lemah dan tidak bermatapencaharian, sebab kekuasaan Negara Islam tidak dijalankan atas kepentingan golongan, agama atau bangsa tertentu, melainkan dijalankan atas pertimbangan kemanusiaan secara menyeluruh Ibn al-sabîl adalah mereka yang terhalang dan tidak mungkin untuk bisa kembali lagi kepada keluarga besarnya atau rumahnya. Dalam hal ini, negara-negara Islam wajib melindungi mereka, sesuai dengan prinsip mendasar syariat agama Islam, bahkan secara tekstual ibnu sabil ibn al-sabîl disebutkan dalam QS9 ayat 60 sebagai pihak yang berhak menerima jatah dari zakat. Ibn al-sabîl mencakup pengungsi, orang-orang yang eksodus dari satu tempat ke tempat lain, dan pengembara yang tidak memiliki tempat kembali, kehilangan tempat tinggal, rumah bahkan sanak saudara mereka karena berbagai persoalan yang menimpa mereka, siapapun mereka, apapun suku dan agama mereka. Ayat al-Qur’an di atas bersifat umum tidak membeda-bedakan. Lihat Muhammad Kâmil Yâqût, al-Syakhsiyyah al-Dauliyyah fî al-Qânûn al-Duwalî al-‘Âm, Disertasi Doktor, (Kairo: Kulliyyat al-Huqûq, Jâmiah al-Qâhirah, t.th.), h. 441. Terdapat sebuah pendapat lain bahwa salah satu sebab kekacauan di negera- negara Islam adalah karena keberadaan para pengungsi. Karena dengan adanya mereka, menjadi ada upaya untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Lihat Ibrahim Ali Tharkhan, al-Nuzum al-Iqtâ’iyyah fi al-Syarq al- Ausat fi al-‘Usûr al-Wusta, (Kairo: Dâr al-Kutub al-‘Arabiy, 1388 H/1968M, h. 6.

153

Dalam ayat al-Qur’an ditegaskan bahwa konteks membantu ibn al-sabîl dapat dilihat sebagai hak yang tidak boleh dihalangi atau kewajiban, yang tidak boleh ditinggalkan. Bahkan, tidak ada kewenangan dalam negara Islam yang dapat melanggar ketentuan tersebut.189

Yûsuf al-Qaradawi mengemukakan bahwa Allah SWT menetapkan bagi ibn al-sabîl hak menerima harta zakat, hak menerima fa’i (harta rampasan perang) yang merupakan penghasilan negara, serta hak menerima harta dari kewajiban lain di luar zakat. 190

Berdekatan dengan hal tersebut ialah konsep “keramah- tamahan” atau “penghormatan” terhadap tamu.191

Dalam sebuah Hadis sahîh, Abu Syuraih al-Ka’bi menyatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka ia harus menerima dan menjamu tamunya. Para sahabat bertanya: “Berapa lamakah ia harus menjamu tamunya?” Beliau menjawab: “Sehari semalam.

189

Oleh sebab itu ditegaskan dalam sebuah pendapat bahwa kemanusiaan adalah salah satu prinsip yang sangat fundamental dalam ajaran agama Islam (menurut J. Krafess). Tindakan memberikan sumbangan uang atau menolong seseorang yang sedang mengalami kesusahan hidup tidak bisa dikesampingkan, melainkan harus dipandang sebagai kewajiban layaknya berdoa. Dinyatakan pula bahwa memberikan bantuan kepada pengungsi adalah wajib sesuai ayat: …dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan. (Q.S.al-Isrâ’/17:26). J. Krafess, the Influence of Muslim Religion in Humanitarian Aid, IRRC, vol 87, Juni 2005, h. 327 dan 334.

190

Yusuf al-Qardhawi, Ushul al-‘Amal al-Khairi fi al-Islam fi Dhau`I al-Nushus wa al-Maqasid al- Syar’iyyah, al-Hilal al-Ahmar al-Qathri, 1428 H/2007 M, h. 35.

191

Tamu adalah seorang asing yang berada di sebuah tempat, dimana ia tidak memiliki keluarga dan juga tidak mempunyai rumah. Oleh sebab itu ajaran Islam sangat menekankan agar memuliakan dan menjamunya, baik hukumnya wajib atau sekedar anjuran, terlebih lagi bila sang tamu tidak memiliki tempat berteduh, seperti yang sering terjadi pada zaman dahulu di berbagai pelosok kampung dan di beberapa daerah. Dan apabila sang tamu tersebut memiliki tempat untuk singgah sementara seperti di wisma atau hotel, tetapi tidak memiliki bekal yang cukup untuk membayarnya, maka jangan biarkan ia terlantar tanpa tempat berteduh. ibid, h. 44.

154

Waktu maksimal bertamu itu adalah tiga hari, bila lebih dari tiga hari, maka itu akan terhitung sebagai sedekah.” 192 Adanya perintah untuk memuliakan tamu menunjukkan bahwa hal itu hukumnya wajib, terlebih lagi jamuan terhadap tamu ini dikaitkan dengan masalah iman dan keyakinan dan dimaktubkan bahwa waktu jamuan yang lebih lama diangap sebagai sedekah.193

Hal yang demikian dikuatkan juga oleh sebuah Hadis Rasulullah SAW kepada Abdullah bin Amr: “Sesunguhnya pada jasad kamu ada hak yang wajib kamu berikan, ada hak yang wajib kau berikan pada mata kamu, pada para tamumu, dan pada istrimu.”194

B. Menurut Hukum Internasional

Tentang kewajiban dan hak pengungsi ini disebutkan dalam Konvensi 1951 sebagai berikut:

1. Kewajiban pengungsi. Secara khusus seorang pengungsi harus mentaati peraturan perundang-undangan. Demikian halnya mengenai berbagai prosedur yang ditetapkan untuk memelihara kepentingan umum di negara tempat keberadaan pengungsi/pencari suaka. (Pasal 2).

192

Muhammad ibn Ismâ’îl al-Bukhâri, Sahîh al-Bukhâri, Hadis No. 5673, Jilid V, h. 2240; dan Muslim, SahîhMuslim, Hadis No. 48, Jilid I, h. 69.

193

Yûsuf al-Qaradâwi, Usûl al-‘Amal al-Khairiy fi al-Islâm, h. 44.

194

Muhammad ibn Ismâ’îl al-Bukhâri, Sahîh al-Bukhâri, Hadis No. 1874, Jilid II, h. 697; dan Muslim,

155

2. Hak – hak pengungsi meliputi hak untuk tidak diperlakukan secara diskriminatif (Pasal 3), hak akan kebebasan beragama/berkeyakinan (Pasal 4), hak akan pembebasan dari resiprositas (Pasal 7), hak akan pembebasan dari tindakan luar biasa (Pasal 8), hak atas status pribadi (Pasal 12), hak atas karya seni perindustrian (Pasal 14), hak untuk berserikat (Pasal 15), hak atas akses ke pengadilan (Pasal 16), hak atas pekerjaan yang menghasilkan upah (Pasal 17), hak atas swakarya (Pasal 18), hak untuk menjalankan profesinya (Pasal 19), hak atas pengaturan distribusi produk-produk yang kurang persediaannya (Pasal 20), hak memperoleh tempat tinggal (Pasal 21), hak memperoleh pendidikan umum (Pasal 22), hak memperoleh bantuan publik (Pasal 23), hak akan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan dan jaminan sosial (Pasal 24), hak atas bantuan administratif (Pasal 25), hak akan kebebasan berpindah tempat (Pasal 26), hak atas surat identitas (Pasal 27), hak atas dokumen-dokumen perjalanan (Pasal 28), hak atas pembebasan dari pungutan fiskal (Pasal 29), hak atas pemindahan aset atau harta kekayaan (Pasal 30), hak akan pembebasan dari sanksi hukum bagi pengungsi yang masuk dengan cara yang illegal (Pasal 31), hak untuk tidak diusir (Pasal 32), dan hak untuk tidak dipulangkan (Pasal 33).195

195

156 2. Penyatuan keluarga

A. Menurut Syariat Islam

Memelihara dan menjaga hak – hak kekerabatan dan anjuran untuk menyatukan keluarga dalam satu tempat sangat ditekankan dalam ajaran Sunnah Nabi SAW dan dalam praktek – praktek dalam Negara Islam. Beberapa contoh dalam hal ini adalah:

Abu Ayyub berkata, saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang memisah – misahkan antara seorang ibu dengan anaknya, maka Allah akan memisahkan antara dia dengan orang-orang yang dicintainya di hari kiamat.” (Diriwayatkan oleh al-Tirmidzi).196

Imam al-San’ani mengatakan bahwa Hadis ini merupakan dalil tegas yang mengharamkan tindakan mencerai-beraikan antara seorang ibu dengan anak kandungnya; dan larangan ini diperluas, dengan analogi, yang juga berlaku dalam konteks kehidupan keluarga/ karib kerabat berdasarkan hubungan persaudaraan.197

mencegah suatu Negara Pihak, dalam waktu perang atau keadaan – keadaan gawat atau luar biasa lainnya, untuk mengambil tindakan-tindakan sementara yang dianggapnya esensial bagi keamanan nasional dalam kasus seseorang tertentu, sementara menunggu penentuan oleh Negara Pihak itu bahwa orang tersebut sebenarnya adalah seorang pengungsi dan bahwa kelanjutan tindakan – tindakan demikian adalah perlu dalam kasus orang tersebut demi kepentingan keamanan nasional. Lihat pula Guidelines on the Reception of Asylum Seekers,

(Geneva: International Federation of Red Cross and Red Cresent Societies, 2001), h. 34.

196

al-Tirmidizi, Sunan al-Tirmidzi, tahqîq Muhammad Fuâd ‘Abd al-Bâqî, Hadis No. 1238, Jilid III, h. 580. Menurut al-Tirmidzi, Hadis ini merupakan Hadis hasan garîb. Lihat pula Musnad al-Imâm Ahmad,tahqîq

Syuaib al-Arnote, Hadis No. 23499, Jilid 38, h. 485-486.

197

al-San’âni, Subul al-Salâm, ibid., Jilid II, h. 494-495, Jilid tentang Persyaratan Jual-Beli dan Jual- Beli yang Dilarang, Hadis No. 30.

157 Ali bin Abi Thalib ra. berkata,

“Rasulullah SAW memerintahkan aku agar menjual dua budak yang bersaudara, maka aku membeli keduanya, lalu aku memisahkannya.” “Kemudian aku bercerita kepada Nabi SAW, maka beliau bersabda, dapatkan lagi kedua budak itu, kembalikan agar keduanya bersatu dan jangan sampai kamu

jual lagi kecuali keduanya bersatu.198 (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan dianggap sahih oleh Ibnu Huzaimah ).199

Abu Musa berkata, Rasulullah SAW melaknat orang yang memisahkan antara seorang ibu dan anak kandungnya dan antara dua saudara kandung. (Diriwayatkan oleh Ibn Mâjah dan al- Dâruqutni).200

Diriwayatkan pula dari Rasulullah SAW pernah bahwa beliau disodorkan beberapa tawanan perang. Beliau berdiri dan melihat seorang wanita di antara mereka yang sedang menangis, maka beliau bertanya, “Mengapa kamu menangis?” Ia menjawab, “Puteraku dijual kepada suku Bani Abbas.” Kemudian Rasulullah bersabda kepada sahabatnya yang menjual anak laki-laki wanita tersebut: “Kamu benar telah memisahkan antara keduanya? Maka kembalikan dan datangkan anak laki-

198

Ahmad ibn Hanbal, Musnad al-Imâm Ahmad ibn Hanbal,Hadis No. 760, Jilid II, h. 551.

199

al-San’âni berkata: “Hadis itu menunjukkan batalnya jual-beli tersebut dan menunjukkan keharaman memisahkan seorang ibu dengan anaknya sebagaimana ditunjukkan oleh Hadis yang disebut pertama. Sementara Hadis yang disebut pertama menunjukkan keharaman tindakan memisahkan seorang ibu dengan anaknya dengan cara apapun, Hadis yang terakhir ini menegaskan keharaman tindakan pemisahan tersebut dengan cara menjual-belikan sang anak. Mereka (para ulama fikih) menganalogikan, dengan kasus ini, keharaman tindakan memisahkan tersebut dengan cara perbuatan hukum yang lain, seperti hibah dan nadzar; dan hal demikian dilakukan dengan kemauan orang yang melakukan tindakan memisahkan. Adapun tindakan pemisahan dengan cara melakukan pembagian melalui pewarisan, orang yang memisahkan tersebut tidak memiliki pilihan karena kepemilikan itu bersifat “memaksa”. Lihat al-San’âni, Subul al-Salâm, Jilid 4, h. 486, Hadis No. 31.

200

158

lakinya agar tetap bisa bersamanya!” Maka sahabat tersebut melakukannya.

Diriwayatkan dari Umar, bahwa beliau menulis sebuah surat yang berisi agar jangan sampai ada seseorang yang memisahkan antara dua saudara kandung, antara seorang ibu dengan anaknya, baik jika keduanya masih kecil, maupun jika salah satunya masih kecil dan yang lainnya sudah besar.201

Dikemukakan dalam sebuah riwayat bahwa Nabi SAW melihat seorang budak yang terpisah dari anaknya, di antara sekian banyak jenis harta rampasan perang. Beliau bertanya, “Apa yang terjadi pada budak wanita itu?” Ketika itu dijawab oleh seseorang bahwa budak wanita itu menangis karena anaknya dijual, maka Beliau bersabda: “Jangan kamu pisahkan seorang ibu dengan anak kandungnya!”202

Dari uraian di atas, bisa dikemukakan beberapa hal penting sebagai berikut:

1. Beberapa tradisi Nabi yang sahih di atas secara tegas melarang untuk memisahkan antara seorang ibu dangan anak kandungnya, juga antara sanak kerabat yang masih kecil-kecil. Keberlakuan tradisi ini dalam Muslim, mencakup konteks yang lebih luas lagi. Menurut Imam al-Sayibani apabila pemindahan seorang ibu dengan anaknya atau seorang budak dengan saudara kandungnya

201

al-Sarkhasî, Syarh al-Siyar al-Kabîr li al-Imâm al-Syaibânî, Jilid V, h. 2073.

202

159

tidak dapat dihindarkan, maka pilihan yang ada adalah antara meninggalkan mereka bersama atau memindahkannya bersama.

203

2. Dampak dari pelanggaran atas larangan memisahkan antara kedua ibu dan anaknya atau antara dua saudara yang masih kecil ini terlihat sangat jelas dalam tradisi Nabi Muhammad SAW, dan pentingnya menyatukan mereka terlihat jelas didalamnya. 3. Pelarangan untuk memisahkan antara dua saudara kandung yang

masih kecil sebagaimana dinyatakan dalam Hadis, tampaknya tidak banyak terbatas pada anak kecil saja. Menurut kami pemisahan anggota keluarga yang sudah dewasa sekalipun tetap akan membawa pengaruh buruk. Hal ini bisa dilihat dalam 2 (dua) kejadian dalam masa kehidupan Nabi:

(i) Apa yang terjadi pada saat terjadi pengiriman pasukan Zaid bin Haritsah, ketika itu ditangkaplah seorang wanita bernama Halimah, yang memberikan petunjuk kepada seluruh pasukan tentang dimana Bani Sulaim tinggal. Maka mereka mendapat kemenangan dan mengambil rampasan perang seperti ternak,

203

Demikian pula disebutkan di dalam kitab Syarh al-Siyar al-Kabîr: Jika mereka mampu membawa kedua budak bersaudara itu, maka saya tidak suka mereka meninggalkan salah seorang dari keduanya karena hal itu berarti tidak mendatangkan kemaslahatan kepada orang-orang Muslim padahal mampu berbuat demikian. Dalam hal tindakan pemisahan antara ibu dengan anak kandungnya, ini tidak diperbolehkan. Sebab hal tersebut merugikan untuk keduanya sehingga tidak boleh dilakukan kecuali tidak ada kemungkinan untuk memindahkan keduanya. Berbeda halnya, jika mereka mendapati ibu dan anaknya itu sudah berada di suatu tempat maka mereka boleh mengambil salah seorang dari keduanya, apabila mereka menyetujuinya. Hal ini adalah pemisahan yang diperbolehkan. Dalam hal terjadi pemisahan dan seorang anak diambil atau dipindahkan, dan orang yang mengambilnya yakin bahwa ia dapat menghidupi anak tersebut, maka hal itu boleh dilakukan. Tetapi apabila tidak seperti demikian, pemisahan tidak diperbolehkan sehingga pilihan yang ada adalah, mengambil ibu dan anaknya itu jika mereka mampu, atau meninggalkan keduanya. Sebab, tindakan mengambil anaknya saja merupakan tindakan pemisahan antara ibu dan anaknya, yang tidak membawa manfaat apapun. Lihat al-