• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penghormatan suaka oleh pihak ketiga kepada negara yang memiliki perjanjian dengan Muslim

DALAM SYARIAT ISLAM DAN HUKUM INTERNASIONAL

11. Penghormatan suaka oleh pihak ketiga kepada negara yang memiliki perjanjian dengan Muslim

Terkait masalah ini dapat dilihat dalam Q.S. al-Nisâ’/4:88- 90:

Maka mengapa kamu (terpecah) menjadi dua golongan dalam (menghadapi) orang-orang munafik, padahal Allah telah membalikkan mereka kepada kekafiran, disebabkan usaha mereka sendiri? Apakah kamu bermaksud memberi petunjuk kepada orang-orang yang telah disesatkan Allah? Barang siapa yang disesatkan Allah, sekali-kali kamu tidak mendapatkan jalan (untuk memberi petunjuk) kepadanya. (Q.S. al-Nisâ’/4:88)

Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka janganlah kamu jadikan di antara mereka penolong-penolong(mu), hingga mereka berhijrah pada jalan Allah. Maka jika mereka berpaling, tawan dan

124

bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya, dan janganlah kamu ambil seorangpun di antara mereka menjadi pelindung, dan jangan (pula) menjadi penolong,.. (Q.S. al- Nisâ’/4:89).

… kecuali orang-orang yang meminta perlindungan kepada sesuatu kaum, yang antara kamu dan kaum itu telah ada perjanjian (damai) atau orang-orang yang datang kepada kamu sedang hati mereka merasa keberatan untuk memerangi kamu dan memerangi kaumnya. Kalau Allah menghendaki, tentu Dia memberi kekuasaan kepada mereka terhadap kamu, lalu pastilah mereka memerangimu. tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk menawan dan membunuh) mereka.(Q.S. al-Nisâ’/4:90).

Hal mendasar yang kami perhatikan dalam kajian ini ialah kalam Allah yang berbunyi …kecuali orang-orang yang meminta perlindungan kepada sesuatu kaum, yang antara kamu dan kaum itu telah ada perjanjian (damai).(Q.S.al- Nisâ’/4:90)

Dalam hal ini, Al-Farrâ’ mengatakan:

Jika Nabi SAW membuat perjanjian dengan beberapa orang yang tidak memerangi atau membantu yang lain untuk memerangi Beliau, dan mereka membuat kesepakatan damai maka dilarang untuk melawan orang-orang tersebut atau orang-orang yang menyertai mereka. Maka pendapat beliau dalam masalah memerangi Rasulullah SAW sama dengan pendapat mereka, sehingga sepakat tidak boleh memerangi

125

Rasulullah SAW, itulah maksud dari kalam Allah “

نﻮﻠﺼﻳ

”, menghubungkan, artinya adalah “

نﻮﻠﺼﺘﻳ

”, orang-orang yang meminta perlindungan kepada suatu kaum.163

Kami berpendapat bahwa pengecualian yang terdapat dalam ayat yang berbunyi:

Kecuali orang-orang yang meminta perlindungan kepada sesuatu kaum, yang antara kamu dan kaum itu telah ada perjanjian (damai). (Q.S. al-Nisâ’/4:90).

benar-benar mengandung prinsip dan kaidah-kaidah hukum Internasional yang wajib diikuti. Ayat tersebut bahkan melahirkan tiga aturan dasar yakni 1. adanya perluasan dampak perjanjian terhadap pengungsi yang terhubung dengan pihak ketiga, 2. penghormatan atas hak suaka, dan 3. tidak melakukan intervensi dan tidak ikut serta dalam tindakan permusuhan terhadap pengungsi. Hal ini bisa dijelaskan dengan uraian di bawah ini :

a. Memperluas pengaruh atau dampak perjanjian internasional terhadap pengungsi yang terhubung dengan pihak ketiga. Ayat-ayat suci al-Qur’an di atas menyebutkan bahwa sesungguhnya terdapat pengecualian dari pernyataan dalam ayat sebelumnya mengenai “penawanan dan pembunuhan”,

163

Abû Zakariyâ Yahya bin Ziyâd al-Farrâ’, Ma’âni al-Qur’ân, (Beirut: ‘Âlam al-Kutub,1980), Jilid I, h 281-282 . Ibn al-‘Arabi menyatakan, Q.S. al-Nisâ’/4:90 mengandung arti bahwa siapa saja yang bergabung dengan suatu kelompok yang memiliki perjanjian dengan Muslim maka Muslim tidak boleh menangkap orang itu karena dia telah terikat perjanjian tersebut. Ibn al-‘Arabi, Ahkâm al-Qur’ân, op.cit., jilid I, h. 469-470.

126

dan ayat–ayat tersebut berlaku bagi kaum yang memiliki perjanjian damai dengan Muslim. Dalam uraian ayat-ayat ini terdapat batas-batas pengecualian yang sangat jelas. Pengecualian berlaku walaupun tidak secara tegas disepakati dalam sebuah perjanjian, dan dapat berlaku hanya dengan bergabung dengan suatu kaum yang telah memiliki perjanjian damai dengan kaum Muslimin. Dengan kata lain, berlaku secara de facto. Sebab kalau telah ada perjanjian dengan kaum yang telah ada kesepakatan damai dengan kaum Muslimin, berarti mereka sudah tidak berpaling, sehingga tidak perlu lagi ditawan dan diperangi. Hal ini juga berlaku bahkan ketika seseorang tidak menunjukkan keinginan atau persetujuan terhadap perjanjian macam itu (seperti yang tertuang dalam konvensi Vienna tahun 1969, khususnya tentang adanya pengaruh perjanjian terhadap pihak lain). Tentu saja jika nyata-nyata terdapat unsur permusuhan yang membahayakan kekuasan pemerintahan Islam atau ada suatu gejala yang mengganggu keamanan pemerintah, maka tidak berlaku ketentuan mendasar sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas. Sebab dalan konteks ini tidak diragukan lagi bahwa ada unsur permusuhan atas kedaulatan Islam dan bukannya ada unsur hubungan sehat dan damai dengan kaum Islam.

127

b. Penghormatan atas hak suaka teritorial: Beberapa ayat di atas mengisyaratakan tentang adanya perlindungan bagi pencari suaka teritorial, terutama dalam menunjuk orang-orang yang bergabung dan meminta perlindungan kepada sesuatu kaum yang memiliki perjanjian damai dengan kaum Muslim, maka orang tersebut dapat menikmati keuntungan dari perjanian tersebut dan kepadanya hak suaka harus ditepati.164 Dengan demikian, perjanjian ini bisa disebut sebagai semacam sebuah kontrak pemberian rasa aman yang memang wajib diprioritaskan oleh orang-orang Islam,165 dari pihak dan arah manapun para pencari suaka ini berasal, baik mereka itu ada hubungan kekerabatan dengan pihak pemberi suaka maupun tidak166 dan bahkan jika orang tersebut tidak menjadi bagian dari perjanjian dengan kaum Muslim, namun mereka hanya berada dalam kedaulatan negara yang telah memiliki kesepakatan damai dengan kaum Muslimin. Menurut pendapat kami, perluasan dampak hukum terhadap pihak

164

Al-Khâzin mengatakan bahwa makna “yasilûn” dalam ayat ini ialah dimiliki oleh, atau terhubung atau memasuki perjanjian untuk perlindungan. Ibn ‘Abbâs mengatakan bahwa seseorang yang mencari perlindungan kepada kaum yang telah terlebih dahulu mempunyai perjanjian damai dengan Islam adalah sama saja seperti telah terikat dengan perjanjian yang sama. Lihat al-Khâzin, Lubâb al-Ta’wîl fi Ma’âni al-Tanzîl,

(Kairo: Maktabah Mustafa al-Bâb al-Halabi, 1370 H/1955 M), Jilid I, h. 571

165

Artinya, menurut sebagian ulama fikih, dilarang membunuh orang yang punya hubungan dengan sekelompok pihak ketiga yang menjalin perjanjian damai dengan Muslim karena “bagi mereka hak-hak perlindungan berlaku sebagaimana hak-hak yang melekat pada pihak ketiga”, bahkan baginya berlaku hak-hak

dzimmiy. (Ibn Jarîr al-Tabari, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Jilid IX, h. 19).

166 al-Tabari mengkritik pembatasan dalam ayat ini yang hanya membahas sebatas orang-orang yang

meminta perlindungan kepada sesuatu kaum yang telah memiliki perjanjian damai dengan kaum Muslim. Lihat Ibn Jarîr al-Tabari, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Jilid IX, h. 20. Lihat pula al-Zamakhsyari, al- Kasysyâf ‘an Haqâ’iq al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwil fi Wujûh al-Ta’wîl (Kairo: Maktabah Mustafa al-Bâb al- Halabi, 1392 H/1972 M), Jilid I tahqîq Muhammad al-Sâdiq Qamhawi, h. 551; al-Syaukâni, Fath al-Qadîr, al- Nâsyir Mahfuz al-‘Ali, (Beirut:), Jilid I, h. 495-496; dan al-Jassâs, Ahkâm al-Qur’ân, Jilid II, h. 220.

128

ketiga bergantung juga pada batasan fisik dan ruang, yakni kehadiran dan kedudukan pengungsi dalam teritori negara yang bersangkutan.

Dengan demikian, jika mereka tidak berada di atau telah meninggalkan teritori, secara langsung mereka tidak dapat menikmati perlindungan sebagai perluasan perjanjian tersebut, kecuali terdapat perjanjian atau kesepakatan dalam bentuk lain.

c. Tidak adanya intervensi dan ketidakikutsertaan dalam perlawanan, serta pada saat yang sama menciptakan perdamaian. Tidak diragukan lagi bahwa dengan adanya pengecualian dalam ayat Q.S. al-Nisâ’/4:90 konsekuensi yang muncul adalah tidak boleh adanya kekerasan atau perlawanan terhadap kaum yang telah memiliki perjanjian damai dengan dengan kaum Muslimin, karena mereka telah dianggap sebagai pengungsi bagi kaum Muslim.

12. Migrasi akibat pendudukan musuh atas wilayah Islam Para ahli fikih dari kalangan mazhab Maliki berpendapat bahwa berpindah dari kawasan yang dikuasai pihak musuh dan berupaya untuk tidak berlama-lama berada di satu tempat dengan para musuh merupakan suatu keharusan. Masalah ini dapat dijelaskan sebagai berikut, dengan adanya suatu pertanyaan.

129

Bagaimana bila terdapat sebuah negara Islam yang dikuasai, dijajah bahkan ditindas oleh pihak musuh non- Muslim? Warga Muslim dan negara Islam yang dijajah dan dikuasai pihak musuh ini hidup dalam keadaan terkekang, dikuasai bahkan dieksploitasi. Dipinggiran daerah negara tersebut, terdapatlah gunung yang tidak dapat dimasuki musuh karena dijaga oleh penduduk setempat. Sebagian diantara warga negara yang dijajah itu berpindah dengan seluruh anggota keluarga, anak dan harta bendanya ke gunung tersebut. Ada juga warga Muslim yang tetap bertahan di tempatnya masing-masing dan berada di bawah kekuasaan hukum orang kafir, dan mereka diwajibkan untuk membayar pajak seperti jizyah. Diantara orang-orang ini, baik yang telah berpindah maupun yang masih menetap, terdapat para ulama. Dengan kata lain, ulama terbagi menjadi dua golongan. Ulama yang telah menyingkir dari kawasan penguasa zalim menuju ke pinggiran kota bahkan di gunung-gunung bersama beberapa warga Muslim lain berpendapat bahwa bermigrasi atau menyingkir dari penguasa zalim hukumnya adalah wajib. Mereka bahkan memberikan fatwa yang mengharamkan hidup, kekayaan, keluarga dan budak wanita dari para Muslim tersebut, yang tetap tinggal bersama para penguasa zalim, padahal sebetulnya mereka mampu untuk menyingkir. Bahkan keluarga, anak dan cucu-cucunya bisa dianggap

130

sebagai tawanan perang. Fatwa ini didasarkan atas pendapat yang mengatakan bahwa siapapun yang tetap bertahan tinggal bersama dengan penguasa zalim, padahal mampu untuk hijrah ke tempat lain, berarti sama saja ia membantu pihak musuh untuk memerangi kaum Muslimin, bahkan sama saja ia telah merampas harta kaum Muslimin dan sama halnya telah membantu kemengangan pihak musuh. Argumentasi atau dalil lain tentu saja masih ada. Sedangkan ulama yang tetap bertahan bersama beberapa orang pihak musuh yang non Muslim dan berada pada hukum penguasa kafir ini berpendapat bahwa hijrah, eksodus atau menyingkir dari kawasan tersebut hukumnya tidak wajib. Dasar argumentasinya merujuk kepada sejumlah dalil hukum, antara lain kalam Allah:

…kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu). (Q.S. Ali ‘Imrân/3:28).

dan Hadis Nabi:

Tidak ada kewajiban hijrah setelah fathu Mekkah, tetapi jihad dan niat, jika kalian diperintahkan untuk berperang, maka berangkatlah. (Hadis Muttafaq ‘alaih).167

dan juga dalil-dalil yang lain.168

167

Lihat halaman 108.

168

Abû ‘Abdillah al-Syaikh Muhammad Ahmad ‘Ilyasy, Fath al-‘Aliy al-Mâlik fi al-Fatwâ ‘ala Madzhab al-Imam Mâlik, (Kairo: Maktabah Mustafa al-Bâb al-Halabi, 1378 H/1958 M), h. 375-385.

131

Pertanyaan di atas dijawab dengan uraian sebagai berikut: Sesungguhnya hijrah dari negara kafir menuju negara Islam hukumnya wajib hingga kelak hari kiamat, demikian halnya hijrah dari kawasan yang haram, zalim dan penuh dosa atau godaan. Rasulullah SAW bersabda, “Suatu saat akan terjadi anggapan bahwa harta seorang Muslim yang paling baik adalah sekedar seekor kambing yang akan terus diikuti oleh pemiliknya hingga ke bukit-bukit dan tempat-tempat turunnya hujan, ia lari dengan agamanya karena takut terjadi malapetaka menimpa”. 169 Diriwayatkan pula oleh Asyhab dari Mâlik, bahwa hendaknya tidak ada orang yang menetap di suatu tempat dimana berlaku aturan dan perbuatan yang tidak baik. Apabila tidak ada negara yang lebih baik (semua negara sama buruknya) maka orang tersebut harus memilih di antara dua tempat yang paling sedikit resiko keburukannya. Negara dimana kejahatan dan ketidakadilan berada, tetap lebih baik daripada negara yang kafir. Negara yang didalamnya terdapat kejahatan atau ketidakadilan namun halal, tetap lebih baik daripada negara yang adil namun penuh keharaman. Negara dimana terdapat kemaksiatan terkait hak-hak Allah SWT, tetap lebih baik dari negara dimana terdapat kemaksiatan-

169

132

kemaksiatan yang berakibat kepada perlakuan zalim terhadap warga masyarakat.

Fatwa di atas sampailah pada pernyataan bahwa “Jika orang-orang Islam yang tinggal di negara kafir menyerang kita beserta para pemimpin mereka, maka nyawa mereka halal untuk diambil dan apabila mereka membantu memerangi kita dengan menggunakan harta mereka, maka harta itu halal untuk dirampas.

Fatwa di atas ditutup dengan kesimpulan bahwa jika hal-hal yang telah disebut di atas terjadi, maka tidak ada seseorang tidak boleh kembali ke negara tersebut atau menahan diri dari kegiatan bermigrasi, namun wajib meninggalkan negara yang dikuasai oleh kaum musyrik dan kaum yang merugi menuju ke sebuah negara yang aman dan penuh dengan keimanan. Oleh sebab itu kepada mereka yang tidak bermigrasi, Allah SWT berkalam:

Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu? (Q.s al-Nisâ’/4:97).170

Dari uraian fatwa di atas, bisa kami simpulkan sebagai berikut. Pertama, dari sisi redaksional, yakni pelarian dari negara yang dikuasai oleh pihak musuh menjadi sesuatu yang wajib dilakukan oleh setiap warganegara Muslim yang mampu

170

Lihat kembali Abû ‘Abdillah al-Syaikh Muhammad Ahmad ‘Ilyisy, Ibid, h. 375-385;.Lihat juga h. 385-387

133

melakukannya. Hanya orang-orang yang lemah yang dapat dibebaskan dari kewajiban tersebut. Kedua, dari sisi makna dan substansinya, bermigrasi adalah wajib hukumnya apabila seorang Muslim khawatir akan terjadi penganiayaan dalam melaksanakan ajaran agamanya dan terhalangi mengekspresikan syi’ar agamanya secara bebas. Jika hal-hal buruk ini tidak ada (penganiayaan dan pelanggaran kebebasan beragama), maka tidak ada kewajiban untuk meninggalkan negeri tersebut.

B. Menurut Hukum Internasional

Suaka teritorial diartikan sebagai ketika seseorang berpindah dari suatu tempat (asalnya) yang tidak nyaman bagi dirinya menuju tempat lain yang dirasa lebih nyaman. Negara yang menerima kedatangan orang tersebut akan memberikan suaka yang diminta sebagai tanda kekuasaan negara dalam teritori itu (yang didatangi).171