• Tidak ada hasil yang ditemukan

DALAM SYARIAT ISLAM DAN HUKUM INTERNASIONAL

A.2. Suaka teritoral bagi anggota misi diplomatik

Terkadang terjadi pimpinan atau anggota misi diplomatik yang sedang bertugas meminta suaka teritorial ke negara Islam. Masalahnya, apakah hal ini diperbolehkan? Memang terkadang, Islam bisa saja tidak menerima permintaan suaka dari seorang duta besar atau utusan, sebab duta atau utusan teresbut memiliki misi menyampaikan pesan yang harus dijawab dan disampaikan dahulu kepada sumber/ pengirim pesan, melalui dirinya (utusan yang bersangkutan). Landasan hal ini adalah kejadian yang terjadi pada Abu Râfi’, budak yang dimerdekakan oleh Rasulullah SAW; ia (Abu Râfi’)berkata: “Orang-orang Quraisy mengutus aku untuk menemui Nabi SAW. Tetapi begitu saya bertemu Nabi, dalam benak saya justru terbersit sebuah semangat untuk masuk dan memeluk agama Islam. Maka pada saat itu saya langsung berkata kepada Rasulullah SAW, ‘Wahai Rasulullah, saya tidak akan kembali lagi kepada mereka (kaum Quraisy).’ Tapi Rasulullah bersabda, saya tidak akan berbuat curang dan membatalkan janji, saya tidak akan menahan seorang utusan atau duta. Kembalilah dulu kepada mereka, jika apa yang terbersit dalam hati kamu saat

139

ini nanti masih ada juga dalam hati kamu ketika kau sudah dirumah, maka kembalilah ke sini! “175.

Dari Hadis ini bisa diketahui bahwa Rasulullah SAW memerintahkan kepada utusan kaum Quraisy itu agar kembali terlebih dahulu kepada masyarakat yang mengutusnya (kaum Quraisy), untuk menyampaikan jawaban dari pesan yang dikirimkan. Baru setelah ia melakukan hal tersebut, jika memang niatannya untuk masuk Islam itu masih kokoh dan mantap seperti semula, seperti pada saat ia bertemu Nabi, maka segeralah datang kembali untuk membuktikan keseriusan niat masuk Islam ini.

Terkait dengan Hadis ini, secara khusus al-Khattâbi mengatakan, Hadis yang berbunyi: “Saya tidak akan menahan utusan.”, mengandung makna bahwa suatu misi (yang dibawa oleh utusan) pasti menuntut jawaban, dan jawaban harus disampaikan oleh utusan yang sama tersebut. Jadi pada hakekatnya seorang utusan adalah seseorang yang memiliki janji prasetia kepada pihak yang mengutus, sejak ia pergi menunaikan tugasnya hingga ia kembali.176

175

Abû Dâwud, Sunan Abî Dâwud, Hadis No. 2758, Jilid III, h. 129 , Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad ibn Hanbal, Hadis No. 23857, Jilid XXXIX, h. 282; dan al-Nasâ’i, al-Sunan al-Kubrâ, , Hadis No. 8621, Jilid VIII, h 52.

176

al-Khattâbi, Ma’âlim al-Sunan, yakni Syarh Sunan al-Imâm Abî Dâwûd, Jilid 2 al-Maktabah al- ’Ilmiyyah, Beirut 1401 H/1981 M), h 317. Al-San’ânî mengatakan, dalam Hadis ini terdapat dalil tentang kewajiban memelihara janji dan memenuhi janji, walaupun terkait dengan orang kafir. Melalui Hadis ini pula diketahui bahwa seorang utusan tidak boleh ditahan, melainkan harus dilepas untuk menyampaikan berita yang ia peroleh dan sangat ditunggu-tunggu oleh pihak yang mengutusnya.( Al-San’ânî, Subul al-Salâm Jâmia’h al-

140

Demikian, kalimat Rasulullah SAW kepada Abu Râfi’ dalam Hadis yang berbunyi “دربلا سبحأ او”, kata al-burud yang berarti utusan adalah bentuk jamak dari kata al-barid, yakni utusan harus kembali kepada pihak yang mengutusnya, tidak boleh ditahan, sebab seorang utusan memiliki dua misi, pertama untuk menyampaikan pesan, kedua untuk menyampaikan jawaban atas pesan yang ia bawa. Apabila sang utusan tidak mengindahi salah satu bagian dari misinya tersebut (misalnya tidak kembali ke pengutus) maka berarti ia telah mengkhianati misi dan tugasnya, dan hal ini adalah statu sifat yang tidak dapat diterima oleh Nabi SAW.177

Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa dalam contoh di atas, praktek tersebut diberlakukan dalam kondisi diplomatik yang berlaku secara ad hoc/sementara, bukan karena adanya misi diplomatik permanen. Oleh sebab itu bisa ditegaskan bahwa hukum dan ketentuan dalam kasus di atas sebagai sebuah pengecualian (sebab pada dasarnya tidak diperbolehkan mengembalikan seorang utusan yang telah menyatakan diri masuk Islam kepada komunitasnya yang

Imâm ibnu Su’ud al-Islâmiyyah, Riyâd, 1408H/, Jilid 4, h 133, Ahmad Hasan al-Dahlâwî : Hâsyiyah al- Dahlawi, ‘alâ Bulûg al-Marâm min Adillat al-Ahkâm, (Damaskus: al-Maktabah al-Islâmî, 1392 H/1972 M), Jilid II, h 292-293; ‘Abdurrahmân ibn Qâsim al-Hanbali al-Najdi, Ahkâm Syarh Usûl al-Ahkâm, (Damaskus: Matba’ah al-Tarqî, 1375 H/1957 M), Jilid II, h. 403.

177

Lihat Ahmad ‘Abd al-Rahmân al-Bannâ, al-Fath al-Rabbâniy Tartîb Musnad al-Imâm Ahmad ibn Hanbal al-Syaibâni berikut syarah-nya Bulûg al-Amâni min Asrâr al-Fath al-Rabbâniy, (Kairo: Dâr al-Syihâb, Jilid XIV, h 118.

141

masih kafir). Jadi, menurut hemat kami, contoh ini tampaknya tidak sesuai dengan apa yang diterapkan bagi anggota misi diplomatik permanen yang ditempatkan di negara Islam. Kasus dalam Hadis di atas hanya bisa dijadikan dasar hukum bagi pengiriman delegasi atau duta sementara yang memiliki kewajiban untuk menyampaikan suatu hal penting yang sifatnya khusus dan wajib membawa kembali hasilnya.178

Di samping argumen yang telah dikemukakan diatas (yaitu bahwa kasus ini terbatas pada masalah misi diplomasi yang bersifat khusus dan terbatas/sementara), kami perlu menegaskan sebuah pendapat lain yang membenarkan bahwa Hadis di atas tidak terlalu sesuai untuk dijadikan pegangan dalam misi diplomatik yang bersifat permanen. Alasan lain yang dimaksud tersebut adalah penuturan kaum ulama fikih modern yang menyatakan bahwa Hadis tersebut menekankan pentingnya penyampaian jawaban kembali kepada pihak yang bertanya atau mengirim. Dengan demikian, tidak diragukan lagi, di masa modern ini misi

178

Abû Dâwud mengatakan bahwa hal ini terjadi di masa lalu, sedang untuk kondisi saat ini sudah tidak sesuai. Atas dasar ini, jika ada seorang utusan orang kafir yang mendatangi seorang pemimpin kaum Muslimin dan ia menyatakan diri ingin masuk Islam dan ia tidak berkeinginan untuk kembali lagi kepada pihak kafir yang mengutusnya, maka seorang pemimpin pasukan Islam tidak boleh mengembalikan utusan itu kepada kaumnya. Adapun tindakan Rasulullah SAW yang memberikan kesempatan untuk kembali terhadap Abû Râfi’, dinilai sebagai sesuatu yang berlaku khusus. Yakni beliau ingin meyakinkan dahulu apakah dia benar-benar ingin masuk Islam atau tidak serius. Dalam kejadian, apabila pada masa itu Rasulullah tetap menahan sang utusan, maka permasalahan akan muncul, karena akan terdengar reputasi Beliau sebagai yang menahan utusan dan menghalangi tersampaikannya pesan dan terselesaikannya sebuah misi, yang bukanlah sesuatu yang baik dalam konteks menyebarkan Islam. Dalam masa penerus Nabi, praktek ini sudah tidak dijalankan lagi. Lihat al- Sahâranfûrî, Badzl al-Majhûd fî Halli Abî Dâwûd, Jilid XII, h. 379-380.

142

tersebut dapat dilakukan tanpa harus mengirim kembali utusan yang membawa pesannya, karena jawaban atas pesan tersebut dapat dikirimkan melalui media komunikasi modern seperti telepon, telex, fax, radio, email dan sebagainya. Berbagai teknologi ini, tanpa diragukan lagi, telah diterima dan dipergunakan oleh para ahli dan kaum ulama fikih modern. 179

A.3.Intervensi utusan diplomatik untuk menyelesaikan