• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemberian suaka teritorial kepada sandera yang memeluk Islam atau menjadi non-Muslim dzimmiy

DALAM SYARIAT ISLAM DAN HUKUM INTERNASIONAL

3. Pemberian suaka teritorial kepada sandera yang memeluk Islam atau menjadi non-Muslim dzimmiy

Sejak zaman dahulu, menawarkan suaka dalam bentuk penuh kepada sandera (misalnya, sejumlah orang), telah digunakan sebagai salah satu alat untuk menjamin pelaksanaan perjanjian internasional. Toleransi Islam telah mencapai batas yang sangat jauh, sampai memberi hak untuk tinggal kepada

130

Abû al-Faraj al-Asfahâni, Kitab al-Agâni, Jilid XVII, h. 10-11, h. 232-233. Pada tahun 633 H. al- Nâsir Daud pindah dari al-Kark ke Baghdad, untuk meminta suaka kepada Khalifah al-Mustansir, ketika dia merasa takut terhadap pamannya, al-Kamil. Muhammad Kurdi Ali, Khuttât al-Syâm, (Damaskus: Matba’ah al- Haditsah, 1343 H/1925 M), Jilid II, h. 96.

97

sandera non-Muslim di wilayah Muslim, jika ia memeluk Islam. Dalam pada itu, tidak boleh mengekstradisinya, karena hal itu bertentangan dengan keinginannya. Sebab, dengan memeluk Islam penghormatan terhadap darahnya menjadi setara dengan penghormatan terhadap darah (jiwa) sandera Muslim. Dalam hubungan ini, Imam Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibâni berkata:

“Jika sandera (non-Muslim) memeluk Islam, sedangkan kelompok musyrikin (mengancam) dengan mengatakan: “Apabila kalian tidak mengekstradisi orang-orang pelarian kami, maka kami akan membunuh orang-orang Islam yang menjadi sandera kami, atau kami akan memperbudak mereka”, sedangkan para sandera non-Muslim tersebut itu tidak mau diekstradisi, maka imam (pemimpin) tidak boleh mengekstradisi mereka. Bahkan meskipun imam tahu bahwa mereka akan membunuh kaum Muslim yang mereka sandera. Sebab, kehormatan jiwa mereka sama seperti kehormatan jiwa kaum Muslim yang mereka sandera.

Apabila sandera dari pihak mereka (kaum musyrik) yang telah memeluk Islam berkata: “Kembalikanlah kami kepada mereka, dan ambillah sandera Anda yang berada pada mereka”, maka jika penguasa negara meyakini bahwa mereka akan dibunuh (setelah dikembalikan), ia tidak boleh mengembalikan sandera tersebut kepada mereka. Dalam hal

98

memberikan izin yang melegitimasi pembunuhan seseorang atau menjadikan seseorang terkena resiko untuk menjadi terbunuh, tidak boleh ada pertimbangan diambil yang dapat menjadi alasan untuk membolehkan seseorang tersebut dibunuh. Namun, dalam kasus di mana kita tidak tahu apa yang akan menimpa diri mereka, maka tidak apa-apa jika kita mengembalikan mereka. Karena mengembalikan mereka dengan seizin mereka bukanlah merupakan tindakan menzalimi. Lagi pula, mengembalikan mereka bukan penyebab bagi kebinasaan mereka. Biasanya, dalam kasus seperti itu, mereka (para pelarian) tidak akan mau kembali, jika mereka merasa diri mereka tidak aman. 131

Berdasarkan uraian sebelumnya, jelaslah bahwa dalam Islam, menjaga keselamatan dan keamanan pengungsi adalah suatu kewajiban ditinjau dari dua segi:

131

Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibâni, Syarh a-Siyar al-Kabir, (Heiderabad: Matba’ah Haidarabad, t.th.), Jilid IV, h. 43. Hal tersebut di atas berlaku juga untuk kasus di mana sandera telah memperoleh status sebagai “Ahl al-dzimmah" (status ini diberikan jika seseorang telah tinggal selama lebih dari satu tahun atau ia mengajukan permintaan).

Di dalam kitab al-Siyar al-Kabîr terdapat uraian: “Jika seorang penguasa memberi mereka (sandera non-Muslim) status zimmah (perjanjian aman) dan kemudian meminta pengembalian sandera Muslim, namun mereka (kaum musyrikin) menolak mengembalikannya kecuali setelah penguasa mengembalikan ahl al-zimmah

itu, maka penguasa tidak boleh mengingkari perjanjiannya untuk tidak mengembalikan sandera non-Muslim yang bertentangan dengan keinginan mereka. Sebab, ketika mereka telah berada dalam jaminan kita, maka status penghormatan terhadap jiwa mereka sama dengan penghormatan terhadap jiwa orang Islam. Demikian juga, jika mereka (ahl al-dzimmah itu) memeluk Islam. Jika sandera non-Muslim merasa nyaman dan rela untuk dipulangkan, maka tidak ada keberatan untuk itu. Namun jika imam meyakini bahwa mereka akan dibunuh, maka imam tidak boleh memulangkan mereka, berdasarkan analogi kepada kasus yang telah kami sebutkan sebelumnya, yaitu ketika sandera memeluk Islam. Hal ini mirip dengan kasus pertukaran sandera Islam dengan sandera dzimmiy. Sebagaimana telah kami jelaskan sebelumnya, hal ini diperbolehkan, jika sandera non Muslim rela. Sebaliknya tidak boleh, jika sandera tersebut tidak rela”.Lihat al-Siyar al-Kabîr, h. 45-46. Berdasarkan uraian sebelumnya, menurut pendapat kami, ini berarti bahwa pemberian suaka dalam kasus-kasus tersebut merupakan sejenis "suaka teritorial paksa", ketika sandera yang telah mengkonversi agama mereka ke Islam atau yang telah menjadi dzimmiy ingin kembali ke negeri mereka, sedang mereka berpotensi untuk dibunuh di negerinya itu.

99

Pertama, tidak boleh mengembalikan sandera kepada otoritas negara lain, apabila mereka akan dibunuh di sana. Bahkan sandera non-Muslim tidak boleh dikembalikan, meskipun jika pihak negara lain tersebut mengancam akan membunuh sandera Islam. Karena, seperti ungkapan Imam Asy-Shibani: “Penghormatan atas jiwa sandera non Muslim sama dengan penghormatan terhadap jiwa sandera Muslim”.

Kedua, tidak boleh memulangkan sandera, meskipun mereka setuju dipulangkan, namun dengan kepulangan mereka, kemungkinan besar mereka akan dibunuh. Hal ini didasarkan pada premis Islam: “Dalam kasus di mana seseorang akan dibunuh atau mengalami resiko dibunuh, tidak boleh ada pertimbangan diambil yang dapat menjadi alasan untuk membolehkan seseorang tersebut dibunuh”.

4. Hijrah (migrasi) sebagai bentuk suaka teritorial

Al-Mawardi berpendapat bahwa hijrah (imigrasi) pada masa Nabi Muhammad SAW adalah boleh (mubah) bagi orang yang khawatir dirinya akan disakiti, atau keyakinan agamanya terancam. Ayat al-Qur`an yang menerangkan hal itu, antara lain:

Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekkah) yang penduduknya zalim dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau!". (Q.S. al-Nisâ`/4:75).

100

Allah SWT menjawab permintaan mereka untuk hijrah, dengan kalam-Nya:

Barangsiapa berhijrah dari rumahnya di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. (Q.S. al-Nisâ/4:100).132

Ketika Islam muncul ke permukaan dan orang Mukmin mulai memperbincangkan agama mereka, suku Quraisy menghadapi kaum Mukmin dengan cara “menyiksa dan menyakiti kaum Mukmin”, dengan maksud untuk mengacaukan keimanan mereka. Nabi Muhammad SAW berkata kepada mereka: “Berpencarlah kalian di bumi”. “Kemana kami akan pergi?”, tanya mereka. Beliau bersabda: “Ke sana”, sambil menunjuk ke tanah Ethiopia (Abessinia/Habsy). Lalu sejumlah orang dari mereka bermigrasi ke sana; sebagian ada yang berhijrah secara sendiri- sendiri, sedangkan yang lain bersama keluarganya. Dalam hal ini Ibn ‘Abdul Barr berkata: “Ketika mereka sampai di Ethiopia (Abessinia/Habsy), mereka merasa aman dengan

132

al-Mawardi berkata: “Di dalam ayat tersebut terdapat dua penafsiran. Salah satunya, yang dimaksud dengan al-murâgam ialah berpindah-pindah, dari satu tempat ke tempat lain; sedang al-sa’ah ialah harta. Penafsiran kedua, yang dimaksud dengan al-murâgam ialah mencari penghidupan; sedang al-sa’ah berarti kehidupan yang baik. Lihat al-Mawardi, al-Hâwi al-Kabîr, (Beirut: Dar al-Fikr, 1414H/ 1994M), Jilid XVIII, h. 110-111. Untuk membantah pemahaman yang berkembang dalam fikih Islam yang menyatakan, wajib hijrah dari dâr al-fisq (negeri yang penuh dosa) karena dianalogikan (di-qiyâs-kan) kepada dâr al-kufr (negeri kafir), al-Syaukani berkata: “ Sungguh analogi ini adalah paralogisme (analogi yang tidak tepat). Yang benar ialah tidak wajib hijrah dari dâr al-fisq, sebab pada hakikatnya, negeri itu adalah negeri Islam. Menyamakan dâr al- fisq dengan dâr al-kufr, semata-mata karena di dalamnya terdapat kemaksiatan secara nyata, tidak sesuai dengan

‘ilm al-riwâyah (pengetahuan yang didasarkan pada informasi Hadis) maupun dengan ‘ilm al-dirâyah

(pengetahuan yang bersifat rasional teoritis tentang Hadis)”. Lihat al-Syaukani, Nail al-Autâr, (Beirut: Dâr al- Kutub al-’Ilmiyyah, 1403H/ 1983M, Jilid VIII, h. 27.

101

keimanan mereka, dan tinggal di rumah terbaik dan menikmati perlindungan terbaik."133

Dari hal pencarian hak suaka ke Ethiopia (Abessinia/Habsy), terdapat 3 (tiga) aturan, yang membentuk sebagian dari hukum internasional kontemporer tentang suaka, yaitu:

a. Tujuan suaka: untuk memastikan keamanan bagi

pengungsi. Dalam hubungan ini, Ummu Salamah (salah satu yang turut berhijrah) berkata: “Sungguh, di Ethiopia kami aman mempertahankan keimanan kami”.134

b. Sebab bermigrasi: terjadinya penganiayaan terhadap pengungsi mendorong mereka untuk berimigrasi. Inilah sebenarnya yang terjadi; karena kaum Muslimin disakiti oleh Quraisy, maka Nabi Muhammad SAW menyarankan mereka untuk berimigrasi.

c. Tidak boleh mengekstradisi pengungsi jika tindakan tersebut menimbulkan ancaman penganiayaan baginya di negara yang meminta ekstradisinya. Suku Quraisy mengirim hadiah dan benda berharga yang dibawa ‘Abdullah bin Abi Rabi’ah dan ‘Amr bin al-‘Ash, untuk Negus, Kaisar Abyssinia, dengan tujuan memintanya

133Sirah Ibn Hisyam, Jilid I,h. 334;Ibn ‘Abd al-Barr, al-Durar fi Ikhtisâr al-Magâzi wa al-Siyar,

tahqîq Syauqi Daif, (Kairo: Dar al-Ma’arif, edisi ke-3.), h. 36-37, 52. Perlu disebutkan bahwa hijrah ke Ethiopia (Abessinia/Habsy) merupakan hijrah pertama dalam sejarah Islam. Lihat Ibn Hisyâm, al-Sîrah al-Nabawiyyah,

Jilid I, h. 321-322. Lihat juga Fath al-Bâri Syarh Sahîh al-Bukhâriy, Jilid VII, h. 206-209.

134

Ibn Hisyâm, Sîrah Ibn Hisyâm, Jilid I, h. 358; Ibn ‘Abd al-Barr, al-Durrar fi Ikhtsâr al-Maghâzi wa al-Siyar, op.cit, h. 134.;

102

menyerahkan imigran Muslim kepada keduanya. Sebagai tanggapan, Negus berkata: “Tidak, demi Tuhan, saya tidak akan menyerahkan mereka. Saya tidak akan pernah membiarkan mereka disakiti, mereka yang telah meminta perlindungan saya, datang ke negara saya dan memilih saya, sampai saya memanggil mereka, kemudian saya menanyai mereka tentang kebenaran yang dikatakan orang tentang mereka. Jika terbukti benar, saya akan menyerahkan mereka kepada keduanya, dan mengembalikan mereka ke masyarakat mereka. Akan tetapi, jika tidak benar, saya akan membela dan melindungi mereka dengan baik selama mereka berlindung pada saya”.135

Setelah Negus mendengar dari kaum Muslimin dan mengetahui kebenaran argumen mereka, Negus menolak permintaan 2 (dua) orang utusan Quraisy tersebut. Negus bahkan berkata kepada kedua utusan Quraisy tersebut: “Bahkan jika Anda memberi saya segunung emas, saya tidak akan menyerahkan mereka kepada Anda”. Negus kemudian memerintahkan untuk mengembalikan hadiah kepada keduanya, dan mereka pulang dengan kecewa.136

135

Ibn Hisyâm, Sîrah Ibn Hisyâm, Jilid I, h. 359; Ibn ‘Abd al-Barr, al-Durrar fi Ikhtsâr al-Maghâzi wa al-Siyar, op.cit, h. 137.;

136

Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Zâd al-Ma’âd fi Hady Khair al-‘Ibâd, (Beirut: Dâr al-Kitâb al-‘Arabi, t.th.), Jilid II, h. 64.

103

Di samping hijrahnya sebagian kaum Muslimin ke Ethiopia (Abessinia/Habsy) 137 (dua kali) pada tahun 615 Masehi, kami perlu juga menyebutkan hijrahnya Nabi Muhammad SAW, bersama dengan Abu Bakar al-Shiddiq r.a. dan sejumlah kaum Muslim lainnya ke Madinah pada tahun 622 Masehi.138

Terdapat beberapa ayat al-Qur’an yang menganjurkan untuk hijrah, antara lain:

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain saling melindungi. Dan (terhadap) orang- orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu untuk melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan, kecuali bertentangan dengan kaum yang telah ada perjanjian

137

Nabi Muhammad SAW Pernah mengirimkan surat kepada Negus, yang berbunyi, antara lain: “Saya mengirimkan kepada Anda saudara sepupuku, Ja’far dan sekelompok Muslim. Ketika mereka datang menemui Anda, biarkan mereka tenang dan tinggalkanlah pendekatan kekerasan. Beberapa komentar menegaskan bahwa Nabi Muhammad SAW meminta perlakuan adil dari Negus dalam mengurus pengungsi yang terasing dari kaum Muslimin di negerinya sendiri. Lihat Muhammad Sît Khattab, Ja’far ibn Abî Tâlib, Awwal Safîr fi al-Islâm,

(Majjalah al-Buhuts al-Islamiyyah, al-Riyasah al-‘Ammah li`Idârat al-Buhûts al-‘Ilmiyyah wa al-Iftâ`, al- Amânah al-‘Âmmah li Hai`at Kibâr al-‘Ulama`, Riyadh, 1410 H), h. 193-194. Sebagian ahli mengatakan, hijrahnya umat Islam ke Ethiopia, sebagai salah satu bentuk suaka politik. Kaum Muslim yang pertama hijrah ke Ethiopia, sebuah negara Kristen, yang memberi mereka “suaka politik”. Lihat Malik, The Concept of Human Rights in Islamic Jurisprudence, Human Rights Quarterly, The Johns Hopkins Univ. Press, nomor 3, 1981, h. 6. Sebagian orientalis melihat, bahwa hijrah ke Ethiopia dapat dirujukkan kepada salah satu dari lima sebab, yaitu melarikan diri dari penganiayaan, menjauhkan diri dari resiko pemurtadan, untuk melakukan aktivitas perdagangan, untuk meminta bantuan militer dari orang-orang Ethiopia, atau karena terjadinya perselisihan di antara kaum Muslimin, sehingga Nabi SAW menjauhkan salah satu kelompok ke Ethiopia sampai mereka dapat menyelesaikan pertentangan. Lihat rincian lebih lanjut dan bantahan atas argumen ini dalam Daufiq al-Râ’iy,

Dirâsat fi Fahm al-Mustasyriqîn li al-Islâm, (Majallat al-Syarî’ah wa al-Dirâsat al-Islâmiyyah, Jâmi’ah al- Kuwait, 1412H/1992M), No. 18, h. 174-179.

138

104

dengan kamu. Dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan. (Q.S. al-Anfal, 8: 72)

Dan ingatlah (wahai para Muhajirin) ketika kamu masih berjumlah sedikit lagi tertindas di muka bumi (Mekkah), kamu takut orang-orang (Mekkah) akan menculik kamu, maka Allah memberi kamu tempat menetap.. (Q.S. al- Anfâl/8:26)

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam), dan yang meninggalkan rumah mereka dan mereka yang memberikan bantuan dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti nilai – nilai baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah (Q.S. al-Taubah/9:100)

(Juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman mereka, dan dari harta benda mereka, (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya, dan mereka menolong Allah dan RasulNya, mereka itulah orang-orang yang benar. Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) 'mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin) dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin) dan mereka mengutamakan (orang- orang muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan (Q.S. al-Hasyr/59:8-9).

Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan Malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri (karena tidak berhijrah), (kepada mereka) Malaikat bertanya: "Penderiataan apa yang terjadi pada kamu?". Mereka menjawab: "Kami adalah orang-orang yang lemah dan

105

tertindas di negeri (Mekkah)". Para Malaikat berkata: "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah (dari kejahatan) di bumi itu?. Orang-orang itu tempatnya di neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk- buruknya tempat kembali. (Q.S. al-Nisâ`/4:97).139

Ketika Nabi Muhammad SAW menunjuk komandan untuk memimpin pasukan batalion, biasanya Beliau memberi wasiat (amanat) kepada komandan untuk bertakwa kepada Allah, dan bersikap baik kepada kaum Muslimin lainnya yang turut dalam barisannya. Dalam salah satu kejadian, Nabi Muhammad SAW bersabda:

Berperanglah dalam nama Allah, pada jalan Allah. Perangilah orang yang ingkar kepada Allah. Jika Anda bertemu dengan musuhmu dari kelompok musyrikin, serukanlah kepada mereka untuk menjalankan tiga hal. Yang manapun dari tiga hal tersebut yang mereka ikuti, maka terimalah dan hentikanlah seranganmu terhadap mereka. Mintalah mereka untuk memeluk Islam. Jika mereka mengabulkannya, maka terimalah dan tahanlah seranganmu terhadap mereka. Kemudian, ajaklah mereka untuk pindah dari negeri mereka ke negeri kaum Muhajirin, dan jelaskan pada mereka bahwa jika mereka melakukannya, maka mereka memiliki hak yang sama dengan yang dimiliki kaum

139

Mahmûd Syaltût berpendapat bahwa ayat ini berlaku dalam beberapa kasus masa kini: Pertama, individu-individu Muslim yang tinggal di negara yang penguasanya menganiaya kaum Muslimin. Mereka ini diwajibkan hijrah. Jika tidak, mereka pantas mendapat ancaman ayat ini. Kedua, Negara-negara Islam yang dijajah musuh, dimana mereka merampas kekuasaan dan pemerintahan dari penguasa yang sah, serta menghalangi mereka untuk melaksanakan ajaran agama dan menghilangkan kebebasan terhadap harta mereka. Mereka ini wajib hijrah secara moral dan fisik, berusaha menyatukan kekuatan dengan saudara-saudara sebangsa mereka untuk mengusir penjajah tersebut. Ketiga, Negara Islam yang terpecah-belah dalam beberapa faksi, dimana setiap faksi dikuasai oleh kelompok musuh kolonialis. Masing-masing faksi tunduk pada kolonialisnya, tanpa berusaha berhijrah. Serta mereka semua mengabadikan perpecahan bukannya bersatu, yang berarti mendukung musuh-musuh mereka. Dengan begitu, mereka semua adalah orang-orang zalim. Mahmûd Syaltût, al-Fatâwa, (Kairo: Dâr al-Syurûq, 1400 H/ 1980 M), h. 430-434. Lihat juga penafsiran yang mengagumkan terhadap ayat ini dalam Abû al-Su’ud, Irsyâd al-‘Aql al-Salîm ila Mazaya al-Qur`an al-Karîm,

106

Muhajirin. Jika mereka menolak dan lebih memilih negeri mereka, maka beritahukan bahwa mereka sama dengan Arab Badui lainnya, dimana hukum Allah berlaku atas mereka sebagaimana berlaku terhadap kaum Mukmin. Mereka tidak mendapat harta rampasan perang sedikitpun, kecuali jika mereka turut berjihad bersama kaum Muslim. Jika mereka masih menolak maka mintalah jizyah (pajak keamanan) kepada mereka. Bila mereka patuh maka terimalah kepatuhan mereka, dan tahanlah serangan terhadap mereka. Akan tetapi, bila mereka menolak, maka mohonlah bantuan Allah dan perangilah mereka.140

Terdapat kecenderungan yang kuat di kalangan para ulama untuk berpendapat bahwa hijrah ke Dâr al-Islâm (negara Islam) adalah wajib.141 Karena itu, Ibn Faudi pun menegaskan bahwa hijrah adalah wajib berdasarkan ketentuan al-Qur’an:

Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri mereka sendiri. (Q.S. al- Nisâ`/4:97)

Dan juga berdasarkan Hadis Nabi SAW:

Saya berlepas diri dari setiap Muslim yang tinggal di bawah kekuasan orang-orang musyrik. Mereka (para Sahabat)

140

Muslim, Sahîh Muslim, Jilid al-Jihâd wa la-Siyâr No. 1731, Jilid III, h. 1356-1357.

141

Ulama, yang menegaskan bahwa hijrah merupakan kewajiban, secara khusus berargumen kepada prinsip bahwa tidak ada kekuasaan bagi non-Muslim terhadap orang Muslim dalam keadaan bagaimanapun. Artinya tidak ada kewenangan dalam dua segi, yaitu bidang politik dan hukum. Lihat “Mauqif al-Malikiyyah” dalam Ridwan al-Said, Dâr al-Islâm wa Nizâm al-Daulah wa al-Ummah al-‘Arabiyyah Mustaqbal al-‘Âlam al- Islâmiy, Pusat Studi Dunia Islam, Malta, Edisi I, Musim Dingin 1991, h. 41- 42. Demikian juga pendapat Ibn al- Arabi yang mengatakan bahwa Anda (kaum Muslim) wajib berhijrah, dan tidak boleh berada di bawah kekuasaan kafir, karena hal itu menghinakan agama Islam dan meninggikan “panji-panji” kafir di atas “panji- panji” Allah. Waspadalah, sedapat mungkin jangan berdiri atau berada di bawah kekuasaan kafir. Ketahuilah, bahwa orang yang berada di bawah kekuasaan orang-orang kafir, padahal ia berpeluang untuk melepaskan diri dari kekuasaan mereka, tak ada tempatnya dalam Islam. Ibn al-‘Arabi, al-Wasâya, (Kairo: Maktabah al- Mutanabbi, t.th.), h. 41.

107

bertanya: “Mengapa, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Sebab, kamu tidak dapat melihat perbedaan api (ciri keimanan) keduanya.”142 (Diriwayatkan oleh Abû Dâud, al- Nasâ`i dan al-Tirmidzi).

Kewajiban hijrah juga didasarkan atas konsensus semua ulama. 143

Uraian yang sama juga terdapat dalam kitab Kasysyaf al-Qinâ’ ‘an Matn al-Iqnâ’, yakni:

Bahwa melaksanakan hijrah wajib bagi orang Muslim yang tidak mampu menampakkan agamanya di dar al-harb, yaitu wilayah yang hukum kafir berlaku di sana. Hal ini berdasarkan kalam Allah SWT :

Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan Malaikat dalam keadaan menganiaya diri mereka sendiri. (Q.S. al- Nisâ`/4:97).

Dan berdasarkan sabda Nabi SAW:

Saya berlepas diri dari setiap Muslim yangtinggal menetap di lingkungan musyrikin; Anda tidak tidak dapat melihat perbedaan api (ciri keimanan) keduanya. (Diriwayatkan oleh Abû Dâud, al-Nasâ`i dan al-Tirmidzi).

142

Abû Dâwud, Sunan Abi Daud, Hadis No. 2645, Jilid III, h. 73-74; al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzyi,

Hadis No. 1604, Jilid IV, h. 132-133.

143

Ibn Faudi mengecualikan kewajiban hijrah bagi semua kaum Muslimin yang termasuk orang-orang yang lemah di antara mereka, berdasarkan kalam Allah SWT : “Kecuali mereka yang tertindas, baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah).” (Q.S. an-Nisa`, 4: 98). Seperti dalam Hadis Nabi SAW: “Tidak ada lagi hijrah setelah penaklukan Mekkah”. Ibn Faudi sependapat dengan penafsiran salah satu mazhab fikih yang menyatakan, bahwa maksud Hadis tersebut:”Tidak ada hijrah setelah penaklukan Mekkah”, maksudnya, setelah Mekkah menjadi Dâr al-Islâm.

Jadi, hukum hijrah tetap berlaku dan merupakan suatu kewajiban (di wilayah kafir lainnya). Jika kafir harbiy

memeluk Islam, tetapi mereka tidak melaksanakan hijrah, maka mereka dianggap maksiat (durhaka, tidak patuh) kepada Allah dan Rasul-Nya. Akan tetapi, status keislamannya tetap sah. Lihat ‘Utsman ibn Faudi, Bayân Wujûb al-Hijrah ‘ala al-‘Ibâd wa Bayân Wujûb Nasb al-Imâm wa Iqâmat al-Jihâd, h. 12-13 dan 16-20.

108

Artinya, seorang Muslim tidak boleh tinggal dimana perbedaan api (keimanan) mereka yang Muslim dan non- Muslim tidak terlihat (perbedaanya) Karena menegakkan ajaran agama adalah wajib, maka hijrah merupakan kewajiban yang sangat mendasar. Adalah sesuatu yang dapat dipahami bilamana suatu persyaratan yang muncul karena suatu kewajiban tidak dapat dipenuhi, maka persyaratan tersebut menjadi kewajiban.144

Sementara itu, aliran fikih lain berpendapat sebaliknya, dengan menegaskan bahwa hijrah tidak wajib. Pendapat ini didasarkan atas Hadis Nabi SAW :

Tidak ada hijrah setelah penaklukan Mekkah, tetapi jihad dan niat.145

144 Lihat al-Bahuti, Kasysyâf al-Qinâ’ ‘an Matn al-Iqnâ’, Jilid III, h. 43-44. 145

Muhammad ibn Ismâ’îl al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Hadis No. 2631, Jilid III,h. 1025. Salah satu