• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ajaran Islam tidak hanya berkaitan dengan persoalan keagamaan, tetapi juga dengan persoalan hari-hari keduniaan, termasuk persoalan hubungan antar individu, antar masyarakat, antar bangsa dan antar negara.10 Karena itu tidaklah aneh apabila Islam hadir untuk menjelaskan segala sesuatu: urusan keagamaan dan urusan muamalah (keduniaan). Ini ditegaskan oleh kalam Allah SWT :

Dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu. (Q.s. al-Nahl/16:89).

Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. (Q.s. al- Nahl/16:44).

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agama bagimu. (Q.s. al-Mâ’idah/5:3 ).

Pengungsi dikualifikasi sebagai kelompok orang yang rentan (vulnerable persons). 11 Seseorang dapat dikualifikasi sebagai pengungsi manakala:

10

Ahmad Abû al-Wafâ’, Kitâb al-I’lâm bi Qawâ’id al-Qânûn al-Dauliy wa al-‘Alâqât al-Dauliyyah fi Syarî’at al-Islâm, (Kairo: Dâr al-Nahdah al-‘Arabiyyah, 1428 H/2007 M), Jilid I, h. 5-6.

11

Ahmad Abû al-Wafâ’, al-Himâyah al-Dauliyyah li Huqûq al-Insân, (Kairo: Dâr al-Nahdah al- ‘Arabiyyah, 1428 H/2008 M), h. 53-62.

2

1. Dalam konteks pertimbangan personal-individual, yakni seseorang yang lari mengungsi baik sendirian atau beserta keluarganya dari negaranya dimana ia dapat mengalami penindasan/penyiksaan ke negara tujuan tempat ia mencari suaka.

2. Sebagai bagian dari kelompok yang terusir/terasingkan akibat situasi dan kondisi politik, keagamaan, militer, atau lainnya, dimana ia menghadapi ancaman penindasan/penyiksaan.

Pengungsi berbeda dari orang yang bermigrasi di wilayah negaranya dan orang yang bermigrasi dengan motif ekonomi (migran ekonomi), atas dasar perbedaan sebagai berikut:

1. Pengungsi adalah orang yang menyeberangi batas teritorial negara lain dengan maksud mencari perlindungan, rasa aman, dan suaka.

2. Pengungsi dalam negeri (internally displaced person), tujuan mereka terkadang sama dengan tujuan pengungsi. Akan tetapi, mereka berbeda dari pengungsi luar negeri, terutama dari segi bahwa mereka tetap tinggal di wilayah negaranya sendiri dan memperoleh perlindungan yang harus diberikan kepada mereka sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.

3

3. Migran ekonomi adalah orang yang meninggalkan

negaranya secara sukarela dan bukan lantaran rasa takut akan penindasan/penyiksaan; melainkan lebih didasarkan pada motif ekonomi, demi peningkatan kesejahteraan hidupnya. Oleh karena itu, Deklarasi Negara - negara Arab tentang Tenaga Buruh Migran Internasional yang diadopsi oleh Liga Arab pada tahun 2006 menghimbau pemerintah negara-negara Arab untuk membedakan secara intrinsik antara orang yang migrasi dan pengungsi yang masing- masing memiliki motivasi hak dan kebutuhan yang berbeda. Konsep pengungsi dan suaka menurut Syariat Islam dan hukum internasional

Kami akan memaparkan konsep pengungsi dan suaka menurut pandangan Syariat Islam, dan kemudian menurut pandangan hukum internasional.

Menurut Syariat Islam

Di dalam bahasa Arab, kata al-malja’ memiliki lebih dari satu arti. Di antaranya sebagai kata kerja, kata tersebut berarti “berlindung” seperti dalam ungkapan: “seseorang berlindung di benteng itu“. Maksudnya, ia berlindung dari hal yang membahayakan dengan tinggal/berada di dalam benteng itu. Sedangkan al-malja’ sebagai kata benda adalah tempat atau obyek yang dijadikan untuk berlindung dari hal yang

4

membahayakan, seperti benteng, gunung/bukit, dan goa. Arti ini muncul pada Q.s. al-Taubah[9]:57 dan 118, dan Q.s. al- Syûra[42]:47, yakni :12

Jikalau mereka memperoleh tempat perlindunganmu atau gua- gua atau lobang-lobang (dalam tanah) niscaya mereka segera pergi kepadanya dengan secepat-cepatnya. (Q.s. al-Taubah [9]:57).

Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, Padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, kecuali kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (Q.s. al-Taubah [9]:118)

Patuhilah (seruan) Tuhanmu sebelum datang dari Allah suatu hari yang tidak dapat ditolak kedatangannya. Kamu tidak memperoleh tempat berlindung pada hari itu dan tidak (pula) dapat mengingkari (dosa-dosamu). (Q.s. al-Syûra[42]:47).

Di dalam pokok bahasan masdar (kata benda), terdapat lebih dari satu bentuk masdar dari asal satu kata kerja. Ibn Qutaibah mengatakan: “ âwaitu lahu ma’wiyah wa ‘iyah, yang berarti

12

Lihat Majma’ al-Lugah al-‘Arabiyyah, Mu’jam Alfâz al-Qur’ân al-Karîm, (Kairo: al-Hai’ah al- Misriyyah al-‘Âmmah li al-Kitâb, 1390 H/1970 M), Bab II, h. 564-565.

5

menyayangi; serta âwaitu ila bani fulân âwan auyan; dan âwaitu fulân-an îwâ-an, yang berarti melindungi.13

Tak diragukan lagi, semua arti tersebut dapat diterapkan dalam hal pencarian dan pemberian suaka atas dasar pertimbangan bahwa sekiranya yang tampak itu makna “melindungi” maka makna ini pada intinya perluasan dari makna “menyayangi” pengungsi, dengan memperhatikan situasi dan kondisi yang mengitarinya. Perlu dicatat bahwa bangsa Arab menggunakan kata “awaituhu” (saya memberikan suaka kepadanya) dengan pola kata kerja fa’altu (saya sudah memberikan perlindungan) dan af’altu (saya sudah memberikan perlindungan) untuk makna yang sama, tetapi terkadang mereka menggunakan ungkapan “ âwaitu ila fulan “ (aku memberi perlindungan kepada seseorang).14

Hak perlindungan diakui merupakan jiwa tradisi masyarakat Arab yang telah mengakar kuat, yang dilarang keras untuk dilanggar. Pemberian bantuan perlindungan kepada orang yang sangat membutuhkan merupakan perilaku mulia bangsa Arab dan umat Muslim. Oleh karena itu, para pujangga Arab menyebut- nyebut nilai-nilai kebaikan itu dalam syair-syair mereka dalam rangka mengabadikannya dan untuk memotivasi para

13

Ibn Qutaibah, Adab al-Kâtib, tahqîq oleh Muhammad Muhyi al-Dîn ‘Abd al-Hamîd, (Kairo: Dâr al- Fikr, 1382 H/1962 M), h. 257.

14

6

pembacanya agar tetap memegang teguh nilai-nilai tersebut. Salah seorang pujangga Arab menggubah syairnya:15

Kapan saja aku menyeru kaumku

Para ksatria perang bangsawan pasti menjawab seruanku

Engkau lihat orang yang tersuaka merasa aman di tengah- tengah mereka

Hidup di bawah perjanjian yang sangat kokoh

Apabila kami telah memberinya perjanjian perlindungan Maka, kami memegangnya dengan teguh

Melalui syairnya pula, pujangga Arab yang lain menyuarakan:16 Pengungsi datang kepada kami mencari perlindungan dari rasa takut

Berharap dan kami menawarkan kepadanya suaka Dia hidup di bawah suaka yang bermartabat

Semua itu sepanjang musim panas hingga berakhirnya musim dingin

Kami menjamin harta mereka, maka esok akan selamat Kami harus menjamin kekurangan dan kelebihannya

Dan saya tidak melihat orang ditawan sebagai yang dikorbankan Dan saya tidak melihat tetangga rumah yang diusir

Tetangga rumah dan lelaki yang menyerunya Perjanjian keduanya sama dihadapan kehidupan

Pemberian perlindungan/suaka dan penerimaan atas permintaan perlindungan/suaka memperoleh porsi perhatian tersendiri dalam syair-syair para pencari perlindungan/suaka (al-

15

Hamd ibn Tsaur al-Hilâliy, Dîwân Hamd ibn Tsaur, tahqîq oleh ‘Abd al-‘Azîz al-Maimaniy, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Misriyyah, 1371 H/ 1951 M), h. 46.

16

Abû al-‘Abbâs Tsaglab, Syarh Dîwân Zuhair ibn Abî Sulamiy, (Kairo: Dâr al-Qaumiyyah, 1348 H/1964 M), h. 79-80.

7

mustajirin).17 Di sisi lain, siapa saja yang tidak mengabulkan permintaan mencari suaka akan merasakan betapa pahitnya rasa bahasa yang diekspresikan para pujangga melalui syair-syair mereka18, disamping mendapatkan tatapan yang mencerminkan celaan dan ejekan.

Telah nyata bahwa pemberian suaka itu bertujuan mewujudkan rasa aman dan kenyamanan secara penuh kepada pengungsi. Hal demikian nampak jelas dengan adanya Sumpah ‘Aqabah kedua tentang kesetiaan (bay’ah) yang mendahului peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW ke Madinah. Ketika warga Yatsrib menerima migrasi (hijrah)-nya Rasulullah ke daerah mereka maka Nabi Muhammad SAW berkata: “ Saya akan

17

Tufail al-Ganawi telah menggubah syairnya, yakni:

Semoga Allah memberi pahala keluarga Ja’far atas kemurahan hati mereka kepada kami Ketika kaki kami melangkah g kami menuju jalan mereka

Mereka membiarkan kami bergaul dengan orang – orang mereka Mereka menempatkan kami di kamar yang hangat dan menyenangkan Mereka tidak pernah bosan dan kesal terhadap kami

Mereka sangat peduli, ibu kami tak pernah memperbuat seperti yang mereka perbuat Mereka menerima kami dengan hangat di rumah mereka, melihat apa adanya Kami akan membalas uluran tangan mereka yang telah dibentangkan kepada kami Kami mengucapkan selamat kepada mereka dengan memuji Allah

Lihat Tufail al-Ganawi, Dîwân Tufail al-Ganawi, tahqîq Muhammad ‘Abd al-Qâdir Ahmad, (Kairo: Dâr al-Kitâb al-Jadîd, 1968) , h. 98.

Ketika memuji Ma’n ibn Zâ’idah dan menggambarkan perilaku kebaikan Bani Syaibân dan upaya mereka memberikan /perlindungan/suaka kepada pencari perlindungan/suaka, Marwân ibn Abî Hafsah menggubah syairnya, yakni:

Mereka adalah kaum, yang ketika berbicara, berkata benar,

Ketika diajak, memperkenankan ajakan Ketika memberi, memberi dengan yang terbaik, dan memberi dengan melimpah

Mereka memberikan perlindungan/suaka kepada pencari perlindungan/suaka Orang yang tersuaka oleh mereka itu laksana garis edar planet-planet

Pujangga lain juga menggubah syairnya, yakni:

Mereka memberikan perlindungan/suaka kepada pencari perlindungan/suaka

Orang yang tersuaka oleh merekaitu laksana kantong air di dada tengah burung rajawali Lihat Ibn ‘Abd Rabbih, al-‘Aqd al-Farîd, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1404 H/1983 M), Jilid I, h. 121-122.

18

Muhammad al-Sudaisi, Ijâbat al-Dâ’iy wa Gauts al-Mustanjid ‘ind al-‘Arab hasb Taswîriha fi al- Syi’r al-Qadîm, dalam Jurnal Universitas Islam al-Imâm Muhaamd ibn Su’ud, Edisi VI, 1413 H/1992 M, h. 441- 446.

8

memberikan sumpah untuk melindungi, asalkan kamu semua juga melindungi dan membela saya sebagaimana kamu sekalian membela isteri dan anak kalian.”19

Bangsa Arab (pra-Islam) dan bangsa Muslim dalam hal ini memiliki kepioniran dalam beberapa hal. Abd al-Malik ibn Marwân berkata kepada Ju’ail ibn ‘Alqamah: “Seberapa jauh perlindungan yang Engkau tawarkan untuk orang lain?” . Ia menjawab: “Siapapun di antara kami akan membela orang yang telah memberi kepadanya perlindungan dari ancaman kaum lain, sebagaimana ia membela dirinya sendiri.“Abd al-Malik berkata: “ Seperti halnya kamu pula ketika orang mensifati kaumnya.”20

Telah jelas bahwa ada kebiasaan bahasa Arab, sebagai bahasa al-Qur’an, untuk menggunakan sejumlah kata untuk mengungkapkan satu konsep/gagasan dan satu sistem mengenai hak untuk suaka. Terkadang digunakan pula kata al-îwâ’ (ءاويإا yang berarti perlindungan)21 sebagaimana terdapat dalam Q.s.al-

19

Hadis ini di-takhrîj oleh Imam Ahmad di dalam kitab Musnad-nya, bersumber dari Ka’b ibn Mâlik, Hadis No. 15798, Jilid XXV, h. 92 dan 95. Kitab ini di-tahqîq oleh Syu’aib al-Arnaut, dkk, (Beirut: Mu’assasat al-Risâlah, 1420 H/1999 M). Para ulama ahli tahqîq mengatakan: “ Ini Hadis yang kuat dan sanad-nya hasan.”

20

Ibn ‘Abd Rabbih, al-‘Aqd al-Farîd, Jilid I, h. 531; dan Jilid II, h. 7-8.

21

Diucapkan: ي وأ, dengan cara baca memendekkan huruf hamzah (bi al-qasr) bila ia dijadikan sebagai kata kerja intransitif ( ا لعف). Juga diucapkan: ي وأ , dengan cara baca memanjangkan huruf hamzah (bi al-madd) bila ia dijadikan sebagai kata kerja transitif ( عتملعف). al-Qur’an menggunakan kedua bentuk kata ini, yakni di dalam Q.s. al-Kahf/18:63, Q.s. al-Kahf/18:10, Q.s. al-Kahf/18:50, Q.s. al-Kahf/18:6. Lihat al-Nawawi, Tahdzib al-Asmâ’ wa al-Lugât, al-Qism al-Tsâni, Jilid I, (Mesir: Idârat al-Tibâ’ah al- Munîriyyah, t.th.), h. 16.

Para ahli bahasa Arab menghimpun antara ءا يإا ( اف لإ تيوأو هتيوأو هتيوأ) dan فيضتلا ( تفض

هتفيضت و لج لا) pada satu judul, yakni فيضتلاو ءا يإا . Lihat Ibn Sayyidih, al-Mukhassas, al-Sifr al-Tsâni ‘Asyr, (Beirut: t.np., t.th.), h. 312-313. Diantara penggunaan lafaz itu ialah lafaz yang muncul dalam wasiat Rasulullah SAW kepada orang-orang Ansâr, ketika beliau mengalami sakit parah, yakni bahwa “Mereka adalah keluargaku yang aku berlindung kepadanya.” Lihat Ibn Hisyâm, al-Sîrah al-Nabawiyyah, (Kairo; Matba’ah Mustafa al-Bâb al-Halabiy, 1375 H/1955 M), Jilid II, h. 650.

9

Anfâl/8:26, Q.s.al-Anfâl/8:72, Q.s.al-Anfâl/8:74, dan Q.s. al- Duha/93:6, yakni :

Dan ingatlah (hai orang-orang yang hijrah) ketika kamu masih berjumlah sedikit, lagi tertindas di muka bumi (Mekkah), kamu takut orang-orang (Mekkah) akan menculik kamu. Maka, Allah memberi kamu tempat menetap (Madinah) dan dijadikan-Nya kamu kuat dengan pertolongan-Nya dan diberi-Nya kamu rezeki dari yang baik-baik agar kamu bersyukur. (Q.s.al-Anfâl [8]:26).

Lafaz اووأ muncul dalam al-Qur’an dengan dua makna, yaitu berhimpun (ا ض) dan berhenti (ا ھتنا), lihat Muqâtil ibn Sulaimân al-Balkhi, al-Asybâh wa al-Nazâ’ir fi al-Qur’ân al-Karîm, (Kairo: al-Hai’ah al- Misriyyah al-‘Âmmah li al-Kitâb, 1414 H/1994 M), h. 289.

Di dalam kitab Tafsîr al-Tabariy-ketika sampai pada penafsiran firman Allah, Q.s. an-Nisâ’/4:100, yang berbunyi: ً جاھمهتْيب ْنمْ ْ ي ْنموً عسواً ي كاً غا مضْر ْأايفْ جي ﱠﷲلي سيف ْ جاھي ْنمو و ﱠﷲ لإا ْ ْلاهْكرْ يﱠمثهل سر اً يحراًر فغ ﱠﷲ اكو ﱠﷲ عه ْجأعقو ْ قف

disebutkan bahwa para ulama membagi hijrah itu menjadi 2 (dua) jenis, yaitu hijrah hurûb dan hijrah talab. Adapun hijrah hurûb meliputi 6 (enam) macam, yaitu (1) hijrah dari dâr al-harb ke dâr al-Islâm, (2) migrasi dari daerah/wilayah yang dipenuhi bid’ah, (3) migrasi dari daerah/wilayah yang dipenuhi perkara haram, (4) migrasi dari suatu daerah/wilayah untuk menghindari bahaya yang mengancam keselamatan jiwa, seperti yang dilakukan Nabi Ibrahim a.s, dimana ketika takut terhadap kaumnya, beliau berkata: “Sesungguhnya aku pergi menuju Tuhanku, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepadaku,” (5) migrasi dari suatu daerah/wilayah untuk menghindari penyakit endemik/penyakit menular, dan (6) migrasi dari suatu daerah/wilayah untuk menghindari tindakan gangguan terhadap harta kekayaan yang dimiliki. Sedangkan hijrah talab (migrasi karena tuntutan tertentu) itu terbagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu talabdunyâ dan talabdîn. Adapun hijrah talabdîn meliputi bepergian untuk haji, bepergian untuk merenungkan kebesaran Tuhan, bepergian untuk berjuang, bepergian untuk pekerjaan, bepergian untuk bisnis/usaha, bepergian untuk studi/belajar ilmu pengetahuan, bepergian untuk kunjungan ke situs-situs simbol kebaikan, dan bepergian untuk mengunjungi sanak famili/handai taulan.

Di dalam bâb al-malja’ wa al-wazr, Qudâmah ibn Ja’far berkata: “ Yaitu hisn (perlindungan), amn

(keamanan), hirz (pemeliharaan), ‘izz (kemuliaan), mau’il (perlindungan), malâdz (perlindungan), wazr

(pemeliharaan), kahf (perlindungan), kanf (perlindungan), malja’ (perlindungan), manjâ (penyelamatan), ma’âl

(perlindungan), ma’âdz (perlindungan), mu’tasam (pemeliharaan), mu’tasar (perlindungan), mahîd

(pemeliharaan), manâs (pemeliharaan), mu’tamad (penyandaran), multahad (perlindungan), siyâs

(pemeliharaan), dan atam (perlindungan). Lihat Qudâmah ibn Ja’far, Jawâhir al-Alfâz, (Beirut: al-Maktabah al- ‘Ilmiyyah, t.th.), h. 223-224.

Di kalangan bangsa Arab, ada ungkapan: افب ف ت (saya menjadikan si fulan sebagai pembela diri saya), apabila kamu mengupahi orang itu dan meminta kepadanya sebagai pembela dirimu. Lihat Abû Mansûr al-Azhari, al-Zâhir fi Garîb Alfâz al-Syâfi’i, tahqîq Muhammad Jabr al-Alfiy, (Kuwait: Wizârat al-Auqâf wa al- Syu’ûn al-Islâmiyyah, 1399 H/1979 M), h. 392. Untuk itu, sebagai contoh surat tentang “perlindungan” sebagaimana berikut ini:

“ Ini surat dari si fulan untuk si fulan. Sesungguhnya saya melindungimu atas darahmu, hamba sahayamu, dan pengikutmu. Bagimu dan mereka perlindungan Allah yang ditunaikan, peraduannya yang menenteramkan; lalu, perlindungan para nabi yang diutus membawa risalah-Nya, yang dimuliakan dengan wahyu-Nya; lalu, perlindungan orang-orang pilihan, dengan memelihara darahmu dan orang yang masuk namanya besertamu di dalam surat ini, dan keselamatan hartamu dan harta mereka, dan demikian seterusnya; maka, terimalah tawarannya, sambutlah perlindungannya, bergantunglah dengan tali perlindungannya, karena tidak ada lagi setelah itu tali pengikat bagi orang yang masuk dalam perlindungannya melainkan tali pengikat yang kamu ikat dengan sekuat-kuatnya dan kamu berlindung kepada seaman-amannya perlindungan dan keselamatan.” Lihat Ibn Qutaibah al-Dainûri, Kitâb ‘Uyûn al-Akhbâr, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Arabiy, 1343 H/1925 M), h. 225

10

Sesungguhnya orang-orang beriman, hijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada orang-orang yang hijrah ), mereka itu satu sama lain saling melindungi, dan (terhadap) orang-orang beriman, tetapi belum hijrah, maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka ber-hijrah. (Akan tetapi) Jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (Q.s.al-Anfâl [8]:72)

Dan orang-orang beriman, hijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang yang hijrah), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezki (nikmat) yang mulia. (Q.s.al- Anfâl [8]:74).

Bukankah Dia mendapati-Mu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungi-Mu?(Q.s. al-Duha[3]:6).

Terkadang digunakan pula kata al-hijrah ( جھلا) untuk menunjuk makna hak untuk mengungsi, seperti dalam Q.s.al- Hasyr [59]:9 :

Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) 'mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan

11

kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang- orang muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung. (Q.s.al- Hasyr [59]:9)

Demikian pula halnya penggunaan kata al-malja’ untuk menunjuk konsep/gagasan ini. Al-Qur’an menggunakan kata al- malja’ lebih dari satu tempat, di antaranya ialah:

Dan mereka (orang-orang munafik) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa sesungguhnya mereka termasuk golongan kamu, padahal mereka bukanlah dari golonganmu, tetapi mereka adalah orang-orang yang sangat takut (kepadamu). (Q.s. al- Taubah/9:56)

Jikalau mereka memperoleh tempat perlindunganmu atau gua- gua atau lobang-lobang (dalam tanah) niscaya mereka pergi kepadanya dengan secepat-cepatnya. (Q.s. al-Taubah [9]::57)

Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit pula( terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (Q.s. al-Taubah/9:118).

Patuhilah seruan Tuhanmu sebelum datang dari Allah suatu hari yang tidak dapat ditolak kedatangannya. Kamu tidak memperoleh

12

tempat berlindung pada hari itu dan tidak (pula) dapat mengingkari (dosa-dosamu). (Q.s. al-Syûra/42:47).

Kata al-malja’ dalam bahasa Arab, semakna dengan kata adzm yang artinya “menaungi” dan “melindungi”, sedang kata dzamm mengandung arti “mencela” âba.22 Di dalam bahasa Arab

terdapat ungkapan hishni (pemeliharaanku), maljaî (perlindunganku), malâdzi, (perlindunganku), maw’ilî (perlindunganku), ma’qilî (pemeliharaanku), ma’âdz

ȋ

(perlindunganku), wizr

ȋ

(bebanku), kahf

ȋ

(perlindunganku), maqsad

ȋ

(tujuanku), mu’tamad

ȋ

(sandaranku), mu’tadad

ȋ

(sandaranku), hirdz

ȋ

(pemeliharaanku), mu’tasam

ȋ

(pemeliharaanku), manjaya (penyelamatanku), mah

ȋ

s

ȋ

(perlindunganku), ma’al

ȋ

(perlindunganku) ,kanaf

ȋ

(pemeliharaanku). 23 istajârahu (meminta perlindungan), istasrakhahu (meminta pertolongan), istinjadahu (meminta pertolongan), istinsyârahu (meminta nasehat), istijâsyahu

(meminta perlindungan), lahifa ilaihi (mengadu kepadanya),

jaza’a ilaihi (berkeluh kesah kepadanya), istizara bihi (meminta pertolongan kepadanya), isytawhasya ilaihi (menjadi senang kepadanya).24

Dari kata-kata tersebut pula terbentuk kata al-isti’adzah yang bermakna sama secara etimologis, yakni melindungi, memelihara, menaungi. Secara spesifik kata ةذاعتسإا muncul dalam Q.s. al- Nahl/16:98 :

22 Majma’ al-Lugah al-‘Arabiyyah, al-Mu’jam al-Wasît, Ibrahim Mustafa, et. all. (eds.), (Turki: al-

Maktabah al-Islâmiyyah, 1392 H/1972 M), Jilid I, h. 345.

23

Ibn Mâlik al-Tâ’iy, Kitâb al-Alfâz al-Mukhtalifah fi al-Ma’âni al-Mu’talifah, tahqîq oleh Najah Nauli, (Mekkah: Universitas Umm al-Qurâ, 1411 H/1991 M), h. 34-35.

24

Ibn Mâlik al-Tâ’iy, Kitâb al-Alfâz al-Mukhtalifah fi al-Ma’âni al-Mu’talifah, tahqîq oleh Najah Nauli, (Mekkah: Universitas Umm al-Qurâ, 1411 H/1991 M), h. 79.

13

Apabila kamu membaca al-Qur’an hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. (Q.s. al- Nahl/16:98).

Menurut Hukum Internasional

Pengungsi adalah setiap orang yang mengalami rasa takut akan kemungkinan adanya penindasan/penyiksaan terhadap dirinya lantaran rasnya, agamanya, kebangsaannya atau keanggotaannya (afiliasinya) kepada kelompok sosial tertentu atau pandangan politiknya, di luar negara yang menaungi kebangsaannya, dan ia tidak mampu atau tidak ingin memperoleh perlindungan dari negara itu lantaran rasa takut tersebut, atau setiap orang yang tidak memiliki kebangsaan dan berada di luar negara tempat ia sebelumnya tinggal sehingga ia tidak mampu atau tidak ingin, lantaran rasa takut itu, pulang kembali ke negaranya. 25 Pengertian “pengungsi” yang tercantum dalam Konvensi 1951 tersebut, kemudian diperluas sebagai berikut.26

a. Konvensi Organisasi Persatuan Afrika tentang Aspek- Aspek Khusus Problem Pengungsi di Afrika (1969) 27

25

Pasal 1 (A-2) Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi, sebagaimana diamandemen oleh Protokol 1967. Begitu pula, Resolusi Majelis Umum PBB 50/152 (1995) menyatakan bahwa Konvensi 1951 dan Protokol 1967 merupakan batu pijakan rezim perlindungan pengungsi internasional.

26

Lihat dalam konteks yang sama: Pasal 1 Konvensi Arab tentang Pengaturan Status Pengungsi di Negara-negara Arab (1994), yang dimuat di dalam Collection of International Instruments and Legal Texts Concerning Refugees and Others of Concern to the UNHCR, (Geneva: UNHCR, Juni 2007), Vol. 3, h. 1130

27

Konvensi Organisasi Persatuan Afrika tentang Aspek-aspek Khusus Problem Pengungsi di Afrika, yang disahkan pada 10 September 1969 dan mulai diberlakukan pada 20 Juni 1974.

14

memberi tambahan atas definisi “pengungsi” yang tercantum dalam Konvensi 1951 sebagai berikut:

“Bahwa kata “pengungsi” juga berlaku bagi setiap orang yang terpaksa harus meninggalkan negaranya dan mencari suaka di luar negaranya atau tempat tinggal asalnya lantaran adanya agresi asing, pendudukan asing, penguasaan asing, atau peristiwa yang mengganggu kepentingan umum di suatu bagian atau seluruh wilayah negara orang tersebut. Dengan demikian, sesuai dengan Konvensi ini, seseorang dapat disebut sebagai pengungsi apabila mengalami keadaan seperti di atas, meskipun ia

tidak mengalami ketakutan terhadap penyiksaan/penindasan. Konvensi ini bersandarkan pada

prinsip bahwa perlindungan internasional harus diberikan kepada pengungsi ketika tidak ada perlindungan negara asal mereka lantaran negara mereka itu tidak mampu atau tidak mau memberikan jaminan perlindungan kepada warga negaranya. Hal ini biasanya terjadi di tengah situasi