PEMANFAATAN ZAT EKSTRAKTIF KULIT MINDI
(Melia azedarach Linn.) SEBAGAI BAHAN PENGAWET
ALAMI UNTUK MENGENDALIKAN SERANGAN FUNGI
Schizophyllum commune PADA KAYU KARET
(Hevea brasiliensis)
SKRIPSI
Oleh:
Christian Arnando
071203017/ Teknologi Hasil Hutan
PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Usulan Penelitian : Pemanfaatan Zat Ekstraktif Kulit Mindi (Melia azedarach Linn.) sebagai Bahan Pengawet Alami Untuk Mengendalikan Serangan Fungi
Schizophyllum commune pada Kayu Karet (Hevea brasiliensis)
Nama : CHRISTIAN ARNANDO
Program Studi : Kehutanan
Minat Studi : Teknologi Hasil Hutan
Disetujui Oleh, Komisi Pembimbing
Ridwanti Batubara, S.Hut., M.Si. Luthfi Hakim, S. Hut, M. Si.
Ketua Anggota
Mengetahui
ABSTRACT
CHRISTIAN ARNANDO. Utilization of Extractive Substances Mindi Bark (M. azedarach Linn.) as a Natural Preservative to Control Fungal Attack S. commune on Rubber Wood (H. brasiliensis)
Supervised by RIDWANTI BATUBARA and LUTHFI HAKIM
The fungus S. commune is one of the wood-rot fungus that often attacks the rubber timber that can degrade the quality of the wood. Research aims to test the bark extract Mindi (M. azedarach Linn.) to control fungal S. commune at different concentrations using methanol solvent. Wood preservation using bark extract Mindi (M. azedarach Linn.) In a concentration of 4 levels (0%, 2%, 4% and 6%) was used to suppress the growth of fungi, thus increasing the durability of rubber wood. Research methods to calculated the percentage of chinaberry bark extract concentration, retention test, dimensional stability test, and test against fungi. Testing was done by testing retention, dimensional stability test, and test against fungi. Retention testing showed differences in concentration affects the amount of preservative into the timber. Dimensional stability test showed differences in concentration do not affect the value of ASE (Antisweeling Efficiency). Tests on the fungus S. commune showed concentration factors influencing the magnitude of weight loss due to fungal attack rubber wood. Based on the SNI standard 01-72072-2006, preservation with 6% recommended concentration is applied to improve the resilience of rubber wood from fungal attack S. commune.
ABSTRAK
CHRISTIAN ARNANDO. Pemanfaatan Zat Ekstraktif Kulit Mindi (M. azedarach Linn.) sebagai Bahan Pengawet Alami untuk Mengendalikan Serangan Fungi S. commune pada Kayu Karet (H. brasiliensis).
Dibimbing oleh RIDWANTI BATUBARA dan LUTHFI HAKIM.
Fungi S. commune adalah salah satu fungi pelapuk kayu yang sering menyerang kayu karet sehingga dapat menurunkan kualitas kayu tersebut. Penelitian bertujuan untuk menguji zat ekstraktif kulit mindi (M. azedarach
Linn.) terhadap pengendalian fungi S. commune. pada berbagai konsentrasi dengan menggunakan bahan pelarut metanol. Pengawetan kayu menggunakan ekstrak kulit mindi (M. azedarach Linn.) dalam 4 taraf konsentrasi (0%, 2%, 4%, dan 6%) digunakan untuk menekan pertumbuhan fungi sehingga meningkatkan keawetan kayu karet. Metode penelitian dengan menghitung nilai persentase kadar ekstrak kulit mindi, uji retensi, uji stabilitas dimensi, dan uji terhadap fungi. Pengujian retensi menunjukkan perbedaan konsentrasi mempengaruhi besarnya bahan pengawet yang masuk ke dalam kayu. Pengujian stabilitas dimensi menunjukkan perbedaan konsentrasi tidak berpengaruh terhadap nilai ASE (Antisweeling Efficiency). Pengujian terhadap fungi S. commune menunjukkan faktor konsentrasi mempengaruhi besarnya penurunan berat kayu karet akibat serangan fungi. Berdasarkan standard SNI 01-72072-2006, pengawetan dengan konsentrasi 6% direkomendasikan diaplikasikan untuk meningkatkan ketahanan kayu karet dari serangan fungi S. commune.
Kata kunci : Fungi S. commune, Pengawetan kayu karet, Ekstrak kulit mindi,
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan atas berkat dan rahmat Tuhan Yang Maha Esa
sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini dengan sebaik-baiknya dengan
Judul : “Pemanfaatan Zat Ekstraktif Kulit Mindi (Melia azedarach Linn.) sebagai
Bahan Pengawet Alami Untuk Mengendalikan Serangan Fungi Schizophyllum
commune FR pada Kayu Karet (Hevea brasiliensis)”. Skripsi ini dibuat untuk
melengkapi persyaratan telah melakukan penelitian dalam rangka penyelesaian
tugas akhir kuliah.
Pada kesempatan ini penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada
Ibu Ridwanti Batubara, S.Hut, M.Si. dan Luthfi Hakim, S.Hut, M.Si selaku dosen
pembimbing yang telah membimbing penulis sehingga dapat menyelesaikan
skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Penulis
berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Medan, Januari 2014
DAFTAR ISI
Pembuatan Konsentrasi Larutan untuk Pengawetan ... 16
Pembuatan Contoh Uji dan Persiapan Contoh Uji Sebelum Pengawetan 16
Pembuatan Contoh Uji ... 16
Persiapan Contoh Uji Sebelum Pengawetan ... 17
Perendaman Contoh Uji pada Zat Ekstraktif ... 17
Pengujian Retensi ... 17
Pengujian Efektifitas ZE terhadap Stabilitas Dimensi Kayu Karet ... 19
Retensi Kayu ... 26 Stabilitas Dimensi Kayu ... 27 Pengujian pada Fungi Schizophyllum commune FR ... 29
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan ... 32 Saran ... 32
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Kelas Ketahanan Kayu Terhadap Fungi ... 21
2. Kandungan Zat Ekstraktif Kulit Mindi ... 22
3. Hasil Pengujian Senyawa Alkaloid pada Kulit Kayu Mindi ... 22
4. Hasil Pengujian Senyawa Flavonoid pada Kulit Kayu Mindi ... 23
5. Hasil Pengujian Senyawa Triterpenoid pada Kulit Kayu Mindi ... 23
6. Hasil Pengujian Senyawa Saponin pada Kulit Kayu Mindi ... 24
7. Persentase Retensi Kayu ... 26
8. Persyaratan Retensi Bahan Pengawet untuk Kayu Perumahan dan Gedung 27 9. Nilai ASE Contoh Uji Kayu Karet ... 28
10. Persentase Penurunan Berat Kayu Karet ... 29
11. Kelas Ketahanan Kayu Karet ... 30
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Pohon Mindi, Daun Mindi dan Kulit Mindi ... 7
2. Fungi Schizophyllum commune FR ……….. 12
3. Larutan Zat Ekstraktif yang Diekstrak dengan Metanol ………... 25
ABSTRACT
CHRISTIAN ARNANDO. Utilization of Extractive Substances Mindi Bark (M. azedarach Linn.) as a Natural Preservative to Control Fungal Attack S. commune on Rubber Wood (H. brasiliensis)
Supervised by RIDWANTI BATUBARA and LUTHFI HAKIM
The fungus S. commune is one of the wood-rot fungus that often attacks the rubber timber that can degrade the quality of the wood. Research aims to test the bark extract Mindi (M. azedarach Linn.) to control fungal S. commune at different concentrations using methanol solvent. Wood preservation using bark extract Mindi (M. azedarach Linn.) In a concentration of 4 levels (0%, 2%, 4% and 6%) was used to suppress the growth of fungi, thus increasing the durability of rubber wood. Research methods to calculated the percentage of chinaberry bark extract concentration, retention test, dimensional stability test, and test against fungi. Testing was done by testing retention, dimensional stability test, and test against fungi. Retention testing showed differences in concentration affects the amount of preservative into the timber. Dimensional stability test showed differences in concentration do not affect the value of ASE (Antisweeling Efficiency). Tests on the fungus S. commune showed concentration factors influencing the magnitude of weight loss due to fungal attack rubber wood. Based on the SNI standard 01-72072-2006, preservation with 6% recommended concentration is applied to improve the resilience of rubber wood from fungal attack S. commune.
ABSTRAK
CHRISTIAN ARNANDO. Pemanfaatan Zat Ekstraktif Kulit Mindi (M. azedarach Linn.) sebagai Bahan Pengawet Alami untuk Mengendalikan Serangan Fungi S. commune pada Kayu Karet (H. brasiliensis).
Dibimbing oleh RIDWANTI BATUBARA dan LUTHFI HAKIM.
Fungi S. commune adalah salah satu fungi pelapuk kayu yang sering menyerang kayu karet sehingga dapat menurunkan kualitas kayu tersebut. Penelitian bertujuan untuk menguji zat ekstraktif kulit mindi (M. azedarach
Linn.) terhadap pengendalian fungi S. commune. pada berbagai konsentrasi dengan menggunakan bahan pelarut metanol. Pengawetan kayu menggunakan ekstrak kulit mindi (M. azedarach Linn.) dalam 4 taraf konsentrasi (0%, 2%, 4%, dan 6%) digunakan untuk menekan pertumbuhan fungi sehingga meningkatkan keawetan kayu karet. Metode penelitian dengan menghitung nilai persentase kadar ekstrak kulit mindi, uji retensi, uji stabilitas dimensi, dan uji terhadap fungi. Pengujian retensi menunjukkan perbedaan konsentrasi mempengaruhi besarnya bahan pengawet yang masuk ke dalam kayu. Pengujian stabilitas dimensi menunjukkan perbedaan konsentrasi tidak berpengaruh terhadap nilai ASE (Antisweeling Efficiency). Pengujian terhadap fungi S. commune menunjukkan faktor konsentrasi mempengaruhi besarnya penurunan berat kayu karet akibat serangan fungi. Berdasarkan standard SNI 01-72072-2006, pengawetan dengan konsentrasi 6% direkomendasikan diaplikasikan untuk meningkatkan ketahanan kayu karet dari serangan fungi S. commune.
Kata kunci : Fungi S. commune, Pengawetan kayu karet, Ekstrak kulit mindi,
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sampai saat ini perkembangan budi daya tanaman karet di Indonesia terus
mengalami perkembangan yang cukup signifikan dibandingkan tahun-tahun
sebelumnya. Nilai ekonomi yang cukup tinggi dari getah karet membuat budi
daya tanaman ini sangat cepat perkembangannya. Menurut Dirjen Bina
Perkebunan (2003) tanaman karet mempunyai peranan yang sangat penting dalam
perekonomian di Indonesia, karena banyak penduduk yang hidupnya
mengandalkan komoditas ini.
Mengingat tingginya potensi karet di Indonesia maka bisa diprediksi
potensi kayu karet yang dihasilkan juga sangat tinggi. Namun dalam faktanya,
sampai saat ini kayu karet jarang digunakan dalam pengerjaan kayu atau
konstruksi bangunan. Menurut Boerhendy dkk (2009), kayu karet memiliki kelas
kuat II dimana hal ini setara dengan kelas kuat kayu mahoni maupun pinus.
Namun kelas kuat kayu karet tersebut tidak sebanding dengan kelas awetnya
dimana kelas awet kayu karet adalah kelas V dimana ini sebanding dengan kayu
ramin. Hal inilah yang menyebabkan kayu karet jarang digunakan.
Kelas awet kayu karet yang sangat rendah ini menyebabkan kayu karet
sangat mudah terserang organisme perusak kayu. Salah satu organisme yang
menyerang kayu karet adalah fungi S. commune. Serangan fungi ini sangat
berbahaya pada kayu karet karena fungi tersebut adalah salah satu jenis fungi
mengendalikan serangan fungi ini dibutuhkan perlakuan khusus pada kayu karet
yaitu dengan metode pengawetan.
Pengawetan kayu merupakan suatu proses memasukkan suatu zat kimia
kedalam kayu yang bertujuan untuk meningkatkan ketahanan kayu terhadap
serangan biologis dan non biologis kayu dengan tujuan untuk meningkatkan umur
pakai kayu tersebut (Barly, 2009). Bahan pengawet yang baik digunakan adalah
bahan pengawet yang memiliki tingkat emisi atau polusi yang rendah dan kualitas
yang baik. Hal inilah yang melatarbelakangi penelitian ini dilakukan yaitu untuk
menghasilkan bahan pengawet yang memiliki kualitas yang baik dan ramah
lingkungan.
Dalam penelitian ini dilakukan pengawetan kayu dengan menggunakan zat
ekstraktif dari kulit mindi yang diaplikasikan kedalam kayu karet untuk
mengendalikan serangan fungi S. commune. Kulit mindi belum terlalu dikenal
dalam manfaatnya sebagai bahan pengawet, khususnya dalam mengendalikan
serangan fungi S. commune.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji zat ekstraktif kulit mindi
(M. azedarach Linn.) terhadap pengendalian fungi S. commune. pada berbagai
konsentrasi dengan menggunakan bahan pelarut methanol.
Manfaat Penelitian
Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah menghasilkan bahan
pengawet yang ramah lingkungan serta tersedianya informasi tentang manfaat
Hipotesis Penelitian
Perbedaan konsentrasi zat ekstraktif kulit mindi yang dilarutkan pada
TINJAUAN PUSTAKA
Pengawetan Kayu
Proses pengawetan adalah memberikan bahan kimia beracun kepada kayu
agar kayu tersebut tidak terserang organisme perusak. Pengawetan kayu dapat
bersifat sementara (propilactic treatment) dan permanen. Pengawetan yang
bersifat sementara bertujuan untuk mencegah serangan fungi pewarna dan
kumbang ambrosia. Beberapa jenis kayu hutan rakyat seperti pinus, kemiri, pulai,
dan gemelina khususnya dalam bentuk dolok yang baru ditebang dan papan
gergajian yang masih basah, mudah sekali diserang fungi pewarna dan kumbang
ambrosia. Pengawetan kayu secara permanent adalah upaya untuk memasukkan
bahan pengawet ke dalam kayu, agar kayu tidak diserang oleh organisme perusak
sehingga umur pakai kayu menjadi lebih panjang. Pengawetan kayu hanya
memperbaiki mutu sifat keawetannya saja dan tidak dapat memperbaiki sifat
keteguhan ataupun kekerasannya. Pengawetan kayu dapat dilakukan dengan
banyak cara, mulai dari cara yang sederhana sampai dengan cara yang sempurna.
Masing-masing cara mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk memasukkan
bahan pengawet ke dalam kayu yang banyaknya dan kedalamannya sesuai dengan
spesifikasi yang dipersyaratkan (Duljapar, 2001)
Tujuan dari pengawetan kayu adalah untuk meningkatkan keawetan kayu
sehingga kayu yang mulanya memiliki umur pakai tidak panjang menjadi lebih
panjang dalam pemakaian. Selain itu dengan pengawetan dapat memanfaatkan
pemakaian jenis-jenis kayu yang berkelas awet rendah dan sebelumnya belum
yang cukup luas dan banyak jenis kayunya. Adanya industri pengawetan kayu
akan memberi lapangan pekerjaan, sehingga pengangguran dapat diatasi
(Dumanaw, 1990)
Dalam penggunaan harus diperhatikan sifat-sifat bahan pengawet agar
sesuai dengan tujuan pemakaian. Faktor-faktor sebagai syarat bahan pengawet
yang baik :
- Bersifat racun terhadap makhluk perusak kayu
- Mudah masuk dan tetap tinggal didalam kayu
- Bersifat permanen, tidak mudah luntur atau menguap
- Bersifat toleran terhadap bahan-bahan lain misalnya : logam, perekat dan
cat/finishing
- Tidak mempengaruhi kembang susut kayu
- Tidak merusak sifat-sifat kayu : sifat fisik, mekanik, dan kimia
- Tidak mudah terbakar maupun mempertinggi bahaya kebakaran
- Tidak berbahaya bagi manusia dan hewan peliharaan
- Mudah dikerjakan, diangkut serta mudah didapat dan murah
(Dumanaw, 1990)
Tentunya tidak semua sifat-sifat diatas dimiliki oleh sesuatu jenis bahan
pengawet. Dalam praktek biasanya diperhatikan sifat-sifat mana yang perlu
tergantung pada tujuan pemakaian kayu itu nantinya. Pada waktu memilih bahan
pengawet kayu harus diperhatikan beberapa hal yaitu dimana kayu itu akan
dipakai setelah diawetkan, makhluk perusak kayu apa yang terdapat di tempat
Teknik atau cara pengawetan yang digunakan akan berpengaruh terhadap
hasil atau umur pemakaian kayu. Pemilihan cara pengawetan selain tergantung
dari faktor tempat kayu nantinya akan digunakan/dipasang, perlu juga
dipertimbangkan faktor ekonomisnya. Banyak cara pengawetan yang dapat
dilaksanakan, mulai cara sederhana sampai kepada cara yang relatif sukar dengan
peralatan modern (Dumanaw, 1990)
Mindi (Melia azedarach Linn)
Tanaman mindi (Melia azedarach Linn.) ini dikelasifikasikan sebagai berikut:
Divisio : Spermatophyta
Sub division : Angiospermae
Kelas : Dicotylodenae
Ordo : Rutales
Family : Meliaceae
Genus : Azadirachta
Spesies : Melia azedarach Linn.
(Qitanoq, 2006)
Tanaman mindi (M. azedarach Linn) merupakan tanaman serbaguna
karena dapat digunakan untuk berbagai keperluan. Seluruh bagian tanaman muali
dari akar, batang yang berkayu, kulit batang, daun, buah dan bijinya dapat
dimanfaatkan. Kayu mindi dapat digunakan dalam bentuk kayu utuh misalnya
sebagai komponen rumah, komponen mabel, dan barang kerajinan. Kayu mindi
dapat juga digunakan dalam bentuk panel misalnya sebagai kayu lapis indah dan
vinir lamina indah. Daun dan biji mindi digunakan sebagai pestisida alami dan
(a) (b) (c)
Gambar 1 : a.Pohon Mindi b.Daun Mindi c.Kulit Mindi
Mindi merupakan pohon berumah dua yang tingginya mencapai 45 m,
garis tengah batang dapat berukuran 60-120 cm. Kulit batang coklat keabuan,
bertekstur halus, berlentisel, semakin tua kulit akan pecah atau bersisik. Daun
majemuk menyirip ganda dua namun terkadang melingkar atau sebagian daun
menyirip ganda tiga, berhadapan, berlentisel, berbentuk bulat telur hingga jorong,
pangkal daun berbentuk runcing hingga membulat, tepi daun rata sampai
bergerigi. Perbungaan muncul dari bagian aksiler daun-daun, daun penumpu
berbentuk benang; bunga-bunga bewarna keunguan, berbau harum. Buah berupa
buah batu, berbentuk jorong bundar, bewarna kuning kecoklatan ketika ranum,
permukaanya halus, mengandung 5 biji. Biji berbentuk memanjang,berukuran
panjang 3,5 mm dan lebar 1,6 mm, bewarna coklat (Wardiyono, 2008 dalam
Nasution, 2009)
Zat Ekstraktif
Beraneka ragam komponen kayu, meskipun biasanya merupakan bagian
senyawa-senyawa tunggal tipe lipofil maupun hidrofil. Ekstraktif dapat dipandang
sebagai konstituen kayu yang tidak struktural, hampir seluruhnya terbentuk dari
senyawa-senyawa ekstraseluler dan berat molekul rendah. Zat ekstraktif beberapa
jenis kayu telah terbukti mengandung zat bio-aktif yang dapat menghambat
pertumbuhan organisme (Syafii, 2000)
Kadar ekstraktif adalah banyaknya zat yang terlarut dari kayu dengan
menggunakan pelarut netral seperti air dan pelarut organik (benzena,
dikhloromethan, eter, alkohol dan campuran alkhol-benzena). Zat ekstraktif yang
larut dalam pelarut organik adalah resin, lemak, lilin dan tanin. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pemberian pelarut kimia cenderung menurunkan zat
ekstraktif kayu. Penurunan zat ekstraktif merupakan hal yang baik, karena zat
ekstraktif yang tinggi dapat menyebabkan timbulnya noda pada lembaran
(Sjostrom, 1995)
Ekstraktif- ekstraktif menempati tempat-tempat morfologi tertentu dalam
struktur kayu. Sebagai contoh asam-asam resin terdapat dalam saluran resin,
sedangkan lemak dan lilin terdapat dalam sel-sel parenkim jari-jari.
Ekstraktif-ekstraktif fenol terdapat terutama dalam kayu teras dan dalam kulit. Tipe-tipe
ekstraktif yang berbeda adalah perlu untuk mempertahankan fungsi biologi pohon
yang bermacam-macam. Sebagai contoh, lemak merupakan sumber energi sel-sel
kayu, sedangkan terpenoid rendah, asam-asam resin, dan senyawa-senyawa fenol
melindungi kayu terhadap kerusakan secara mikrobiologi atau serangan serangga.
Jejak ion-ion logam tertentu biasanya terdapat sebagai bagian-bagian fungsional
Kandungan ekstraktif dalam kulit kayu lebih tinggi dari dalam kayu. Hal
ini tidak hanya tergantung pada spesiesnya, tetapi pada pelarut yang digunakan.
Keanekaragaman senyawa yang dapat diekstrak biasanya membutuhkan
serangkaian ekstraksi, yang biasanya memberikan cirri awal komposisinya.
Variasi komposisinya dapat sangat besar bahkan di dalam kayu satu genus
(Fengel dan Wagener, 1995)
Kandungan ekstraktif biasanya kurang dari 10%, tetapi ia dapat bervariasi
hingga sampai 40% berat kayu kering. Untuk tujuan analitik dan untuk
identifikasi komponen-komponen individual maka metode kromatografi
cairan-gas yang digabungkan dengan spektometri massa memainkan peranan penting.
Biasanya kayu tidak banyak mengandung senyawa-senyawa yang larut dalam air,
meskipun jumlah yang tinggi dari tannin dan arabinogalaktan terdapat dalam
beberapa spesies. Namun, arabinogalaktan merupakan konstituen hemiselulosa
dan tidak dipandang sebagai ekstraktif. Ekstraktif tidak hanya penting untuk
mengerti taksonomi dan biokimia pohon-pohon tetapi penting juga bila dikaitkan
dengan aspek-aspek teknologi. Ekstraktif merupakan bahan dasar yang berharga
untuk pembuatan bahan-bahan kimia organik dan mereka memainkan peranan
penting dalam proses pembuatan pulp dan kertas (Sjostrom, 1995)
Menurut Dwianto (2008) dalam penggunaan kayu sebagai bahan
bangunan, kayu teras lebih disukai daripada kayu gubal karena mengandung
ekstraktif yang bersifat racun terhadap organisme perusak kayu, sehingga lebih
awet. Keberadaan cadangan makanan di dalam sel kayu gubal dapat
Fungi (Jamur)
Fungi atau cendawan merupakan tumbuhan tidak berklorofil yang sudah
lama dikenal manusia. Untuk hidupnya tergantung pada organisme lain, baik
organisme hidup maupun mati sehingga hal ini sering menimbulkan
permasalahan. Menurut Widyastuti,dkk (2005), unit negetatif fungi berupa
struktur satu sel atau benang hifa yang disebut miselium jika berada dalam
kelompok besar. Benang-benang miselium berdiameter 1-20 µm dengan bagian
ujung mempunyai kapasitas tumbuh yang tinggi. Fungi tidak berkembang dengan
membentuk akar, batang dan daun seperti halnya pada tumbuhan tingkat tinggi.
Benang hifa dapat bersekat-sekat akan tetapi dapat pula tidak bersekat.
Menurut Subowo (1992) beberapa jenis fungi parasit yang tumbuh pada
tanaman diantaranya Phytopthora infestans, sering menginfeksi tanaman kentang;
Puccinia graminis tratici menyebabkan bintik-bintik hitam pada tanaman
gandum. Fungi yang menyebabkan kerusakan makanan diantaranya : Rhizopus
nigricans, Penicillium expansum, Aspergillus niger menyebabkan kerusakan pada
roti. Kayu-kayu bangunan juga tidak terluput dari serangan fungi khusunya oleh
kelompok Basidiomycetes. Semua fungi pembusuk kayu menyebabkan sangat
menurunnya kekuatan dan kerapatan kayu, misalnya: Fomes pini menyebabkan
kerusakan kayu teras pada tumbuhan konifer. Menurut Ivanus (2008) pada
umumnya serangan fungi pembusuk kayu terjadi pada komponen bangunan yang
sering terkena air atau lembab dalam waktu yang cukup lama pada kisaran umur
Fungi Schizophyllum commune FR Divisi : Amasrigomycota
Sub.Divisi : Basidiomycotina
Kelas : Basidiomycetes
Sub.Kelas : Holobasidiomycetidae I.
Ordo : Aphyllophorales
Family : Schizophyllaceae
Genus : Schizophyllum
Spesies : Schizophyllum commune FR
(Dirgantara, 1998)
Menurut Jayanti (2010) S. commune memiliki tubuh buah berwarna
abu-abu, berbentuk seperti kipas dengan diameter 1 sampai 4 cm. lapisan
himeniumnya terdiri atas bisidia yang terbentuk pada lamela. Apabila kelembaban
rendah, lamella dapat robek (split) secara memanjang dengan kedua tepinya
melipat kedalam. Dalam beberapa hal robekan-robekan tersebut mungkin dangkal
dan mirip seperti lekukan-lekukan. Karena ada lamela tebal tersebut. Sehingga
berbentuk tekstur yang lunak pada tubuh buah yang masih segar. Atas dasar
tekstur ini para peneliti menempatkannya pada ordo Agaricales, namun setelah
diketahui bahwa lamela Schizophyllum tidak homolog seperti Agaricales lainnya,
maka dimasukkan ke dalam famili Schizophyllaceae.
Menurut Aini (2005) fungi pembusuk kayu dari kelas Basidiomycetes
termasuk spesies Schizophyllum commune FR merupakan jenis fungi yang banyak
menyerang bangunan di Indonesia. Serangan fungi ini menyebabkan kekuatan
yang menjadi komponen utama penyusun dinding sel kayu. Sifat mekanis kayu
seperti keteguhan pukul, keteguhan lentur, keteguhan tekan, kekerasan dan
elastisitas akan berkurang bila terserang fungi pelapuk kayu.
Gambar 2: Fungi Schizophyllum commune
Menurut Gandjar et al (2006) secara umum pertumbuhan fungi
dipengaruhi oleh substrat, kelembaban, suhu, derajat keasaman substrat (pH), dan
senyawa-senyawa kimia di lingkungannya.
1. Substrat, merupakan sumber unsur hara utama bagi fungi yang baru dapat
dimanfatkan oleh fungi setelah fungi mengekskresikan enzim-enzim
ekstraseluler yang dapat menguraikan senyawa-senyawa menjadi bentuk
yang lebih sederhana.
2. Kelembaban, faktor ini sangat penting untuk pertumbuhan fungi. Fungi
dapat hidup pada kisaran kelembaban udara 70 – 90 %.
3. Suhu, kisaran suhu lingkungan yang baik untuk pertumbuhan fungi dapat
dikelompokkan menjadi : (a) fungi psiklorofil (suhu minimum di bawah
0˚C, dan suhu optimum berkisar 0˚C - 17˚C, (b) fungi mesofil (suhu
minimum di atas 0˚C dan suhu optimum 15˚- 40˚C), dan (c) fungi termofil
4. Derajat keasaman lingkungan, pH substrat sangat penting untuk
pertumbuhan fungi, karena enzim-enzim tertentu hanya akan menguraikan
suatu substrat sesuai dengan aktivitasnya pada pH tertentu. Umumnya
fungi dapat hidup pada pH di bawah 7.
5. Bahan kimia, banyak bahan kimia yang terbukti dapat mencegah
pertumbuhan fungi sehingga banyak digunakan oleh manusia sebagai
bahan pengendali fungi.
Kayu Karet
Kerajaan : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Euphorbiales
Famili : Euphorbiaceae
Genus : Hevea
Species : H. brasiliensis
(Suheryanto, 2010)
Ditinjau dari sifat fisis dan mekanis, kayu karet tergolong kayu kelas kuat
II yang berarti setara dengan kayu hutan alam seperti kayu ramin, perupuk, akasia,
mahoni, pinus, meranti, durian, ketapang, keruing, sungkai, gerunggang, dan
nyatoh. Sedangkan untuk kelas awetnya, kayu karet tergolong kelas awet V atau
setara dengan kayu ramin, namun tingkat kerentanan kayu karet terhadap
serangga penggerek dan fungi biru (blue stain) lebih besar dibandingkan dengan
kayu ramin. Oleh karena itu untuk pemanfaatannya diperlukan pengawetan yang
). Pengawetan kayu ramin setelah digergaji biasanya cukup dengan cara
pencelupan, sedangkan pada kayu karet selain pencelupan juga harus dilakukan
dengan cara vakum dan tekan Dengan berkembangnya teknologi pengawetan saat
ini, maka masalah serangan fungi biru (blue stain) dan serangga penggerek, serta
kapang seperti Aspergillus sp. Dan Penicillium sp. tidak lagi menjadi kendala
dalam pemanfaatan kayu karet (Boerhendhy, dkk 2003).
Sifat dasar lainnya yang menonjol dari kayu karet, kayunya mudah
digergaji dan permukaan gergajinya cukup halus, serta mudah dibubut dengan
menghasilkan permukaan yang rata dan halus. Kayu karet juga mudah dipaku, dan
mempunyai karakteristik pelekatan yang baik dengan semua jenis perekat. Sifat
yang khas dari kayu karet adalah warnanya yang putih kekuningan ketika baru
dipotong, dan akan menjadi kuning pucat seperti warna jerami setelah
dikeringkan. Selain warna yang menarik dan tekstur yang mirip dengan kayu
ramin dan perupuk yaitu halus dan rata, kayu karet sangat mudah diwarnai
sehingga disukai dalam pembuatan mebel. Mutu fibreboard asal kayu karet setara
dengan kayu lapis yang berasal dari hutan alam (Boerhendhy, dkk 2003).
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Hutan dan
Laboratorium Bioteknologi Hutan, Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian,
Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian ini dilaksanakan mulai Mei 2013 –
Juli 2013
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah blender, saringan ukuran
40-60 mesh, oven, aluminium foil, kantong plastik, kertas label, kertas saring,
kalipper, gelas erlenmeyer, autoclave, spatula, timbangan, kamera digital,
kalkulator, dan alat tulis. Sedangkan bahan yang akan digunakan adalah kayu
karet (H. braziliensis) ukuran 20 mm (p) x 20 (l) mm x 10 (t) mm sebanyak 72
contoh uji, serbuk kulit mindi dan fungi S. commune, dan pelarut metanol.
Prosedur Penelitian
Persiapan Bahan Baku dan Contoh Uji
Pengambilan kulit kayu mindi yang segar kemudian bahan dikeringkan.
Setelah kering bahan dihaluskan atau ditumbuk dengan menggunakan tumbukan
atau blender untuk mendapatkan serbuk kulit kayu tersebut, kemudian bahan
serbuk disaring dengan ukuran 40-60 mesh, dikeringkan sampai kering udara dan
di masukkan ke dalam kantung plastik yang berukuran besar. Selanjutnya diukur
Ekstraksi Kulit Kayu
Serbuk kulit kayu tersebut yang telah kering diambil sebanyak 500 gram,
diekstrak dengan pelarut metanol dengan metode perendaman pada suhu ruangan
selama 2 hari dengan perbandingan tinggi serbuk dan pelarut 1:3 dalam stoples,
campuran ini diaduk dengan selang waktu 2 jam dengan menggunakan spatula,
hasil ekstraksi tersebut disaring dengan menggunakan kertas saring, hasil saringan
tersebut di masukkan ke dalam botol, residunya direndam kembali selama 2 hari.
Kegiatan perendaman dan penyaringan ini diulang sebanyak 3 kali. Hasil
ekstraksi yang telah dievaporasi sampai kering dioven untuk mengetahui kadar
ekstraknya.
Pembuatan Konsentrasi Larutan untuk Pengawetan
Tahap selanjutnya setelah melakukan ekstraksi dan diperoleh padatan
ekstraktif yang dilakukan dengan pengeringan oven pada suhu 35oC adalah
pembuatan konsentrasi larutan zat ekstraktif. Masing-masing hasil ekstrak
metanol dibuat 4 taraf konsentrasi larutan ekstraktif, yaitu : 0%, 2%, 4%, dan 6%.
Penentuan konsentarsi larutan berdasarkan volume untuk perendaman yang
dibutuhkan.
Pembuatan Contoh Uji Dan Persiapan Contoh Uji Sebelum Pengawetan
a. Pembuatan Contoh Uji
Kayu karet yang segar bagian tengah tebang dibuat balok dengan panjang
kurang lebih 1 m, lalu diambil kayu bagian terasnya untuk dibuat sebagai contoh
uji. Contoh uji yang bebas cacat berukuran 20 mm (p) x 20 (l) mm x 10 (t) mm
b. Persiapan Contoh Uji Sebelum Pengawetan
Contoh uji dikering udarakan selama 1 bulan. Kemudian contoh uji
dikeringkan dengan menggunakan oven pada suhu 1000C selama 48 jam
kemudian ditimbang (W0) dan volumenya diukur dengan kalipper.
Perendaman (Pengawetan) Contoh Uji Pada Zat Ekstraktif
Perendaman contoh uji kayu karet dilakukan pada larutan ekstraksi
metanol selama 3 hari. Contoh uji kayu karet yang direndam adalah 24 buah
yang terdiri dari 12 contoh uji untuk pengujian stabilitas dimensi dan 12 buah
contoh uji untuk pengujian fungi. Contoh uji sebanyak 24 buah diperoleh dari 1
jenis pelarut, 4 taraf konsentrasi dan 3 kali ulangan dengan ukuran 20 mm (p) x 20
mm (l) x 10 mm (t) yang sebelumnya dikering udarakan dan telah dioven serta
telah diukur volumenya, agar contoh uji terendam dan tidak terapung, maka
contoh uji diberi pemberat.
Pengujian Retensi
Setelah direndam, kemudian dioven pada suhu 1000C selama 48 jam
selanjutnya contoh uji ditimbang dan dihitung penambahan beratnya. Perhitungan
penambahan berat berdasarkan metode perendaman Rowell dan Ellis (1978)
dalam Sanjaya (2001) menggunakan rumus :
Penambahan berat (%) = 100%
X K V
W W R= 1− 0
Keterangan :
W1 = berat kering tanur sesudah diawetkan (gram) Wo = berat kering tanur sebelum diawetkan (gram) R = retensi bahan pengawet (gram/m3)
K = konsentrasi larutan (% w1/w0) V = volume kayu yang diawetkan (m3)
Pengujian Efektifitas Zat Ekstraktif Terhadap Stabilitas Dimensi Kayu Karet
Pengujian terhadap stabilitas dimensi kayu karet dengan menggunakan
contoh uji yang berukuran 20 mm (p) x 20 mm (l) x 10 mm (t) sebanyak 12 buah.
Contoh uji yang sebelumnya telah direndam dengan ekstrak metanol, kemudian
setelah jenuh air contoh uji diangkat dan diukur dimensinya (DB), selanjutnya
dikeringkan dengan oven pada suhu 600C selama 48 jam dan diukur dimensinya
(DK). Contoh uji setelah direndam dan dikering oven diukur dengan kalipper,
dihitung koefisien pengembangan volume (S) berdasarkan metode perendaman
Rowell dan Ellis (1978) dalam Sanjaya (2001) menggukan rumus:
S (%) = {(DB/DK) - 1} x 100
Keterangan:
DB = dimensi contoh uji setelah perendaman DK = dimensi contoh uji kering oven
Nilai ASE (Antiswelling efficiency) dapat dihitung dari perbedaan antara
nilai pengembangan contoh uji (S) dengan perlakuan pengawetan dan tanpa
perlakuan pengawetan berdasarkan metode perendaman Rowell dan Ellis (1978)
Keterangan :
S2 = koefisien pengembangan volumen contoh uji setelah perlakuan pengawetan
S1 = koefisien pengembangan volume contoh uji tanpa perlakuan pengawetan
Pengujian Pada Fungi
a. Penyediaan biakan fungi (isolasi fungi)
Media biakan fungi yang digunakan adalah PDA (Potato Dextrose Agar),
degan bahan: 250 gr kentang, 20 gram gula (dextrosa), 21 gram tepung agar-agar,
dan 1000 ml air suling. Cara pembuatan: kentang dikupas, diiris kecil-kecil,
dimasak dalam 500 ml air suling selama 20 menit (sampai mendidih). Sarinya
disaring dengan kasa. Tepung agar dilarutkan dalam air suling dan dicampur
dengan gula sebanyak 20 gram, kemudian dimasukkan ke dalam sari kentang dan
ditambahkan air suling sampai volumenya 1000 ml dalam gelas erlenmeyer
berkapasitas 2000 ml. Sterilisasi media dilakukan dengan memasukkan media
tersebut ke dalam autoclave selama 20 menit dengan tekanan 15 psi pada suhu
120oC.
b. Pembiakan Fungi
Fungi yang digunakan dalam penelitian ini adalah S. commune. Fungi
tersebut diperoleh dari isolasi dari kayu dan dimurnikan untuk mendapatkan
biakan murni (isolat) yang siap dipakai untuk pengujian. Isolat tersebut menjadi
bahan yang akan diinokulasi pada media PDA baru (perlakuan) yang telah
disiapkan.
c. Pengujian
a) Contoh uji yang steril dan diketahui beratnya dimasukkan ke dalam gelas yang
fungi terkontaminasi atau tidak. Biakan fungi yang terkontaminasi harus
diganti dan tidak digunakan untuk pengujian.
b) Pengamatan dilakukan setelah 12 minggu. Contoh uji dibersihkan dari
miselium dan diamati secara visual menurut kerusakan yang terjadi.
c) Penilaian kerusakan dapat dilakukan menurut kondisi contoh uji mulai dari
“utuh” sampai “hancur sama sekali”.
d) Contoh uji tersebut kemudian dimasukkan ke dalam oven selama 24 jam.
Persentase kehilangan berat dihitung atas dasar selisih berat contoh uji
sebelum dan sesudah diserang fungi.
d. Pengujian pada fungi
Pengamatan dilakukan setelah 12 minggu terhadap daya hidup dan
intensitas serangan. Pengujian kayu terhadap fungi pelapuk didapat dengan
menghitung:
a) Penurunan berat dengan menggunakan rumus :
% W2 = Berat contoh uji sesudah diumpankan (g)
b) Penentuan ketahanan kayu didasarkan atas beberapa kelas seperti Tabel 1
Tabel 1. Kelas Ketahanan Kayu Terhadap Fungi
Kelas Ketahanan Penurunan Berat (%)
I Sangat Tahan <1
II Tahan 1 – 5
III Agak Tahan 5-10
IV Tidak Tahan 10-30
V Sangat Tidak Tahan >30 %
Sumber : SNI 01-7207-2006
Untuk mengetahui pengaruh ekstraktif kulit mindi yang dilarutkan dengan
metanol dengan perbedaan konsentrasi, maka dilakukan analisis dengan
menggunakan Rancangan Acak Lengkap Non-Faktorial. Model statistik dari
rancangan percobaan ini adalah :
Yij = µ + Ti + ∑ij
Dimana :
Yij = Pengaruh perbedaan konsentrasi terhadap penekanan pertumbuhan Fungi S. commune FR
µ = Nilai rataan
τ
i = Pengaruh perbedaan konsentrasi∑�� = Nilai galad
Untuk mengetahui pengaruh dari faktor perlakuan yang dicoba, dilakukan
analisis keragaman dengan kriteria uji jika Fhit ≤ Ftabel maka Ho diterima, dan
jika Fhit ≥ Ftabel maka Ho ditolak. Untuk mengetahui taraf konsentrasi mana
yang berpengaruh maka pengujian dilanjutkan dengan menggunakan uji beda
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kandungan Zat Ekstraktif
Kandungan zat ekstraktif kulit mindi yang diperoleh dari 3 kali ulangan
dengan menggunakan pelarut metanol yang diteliti memiliki hasil yang berbeda.
Kandungan kadar ekstrak yang tertinggi diperoleh dari ulangan pertama dan yang
terendah diperoleh dari ulangan yang ke-3. Data lengkap kandungan zat ekstraktif
kulit mindi ini dapat dilihat dalam Tabel 2.
Tabel 2. Kandungan Zat Ekstraktif Kulit Mindi dengan Pelarut Metanol
Perendaman Kulit Mindi Berat Padatan Ekstrak (gr)
Menurut Batubara (2009) uji fitokimia kulit mindi yang diekstrak dengan
pelarut metanol mengandung senyawa alkaloid sepeti yang dilihat dalam Tabel 3.
Tabel 3. Hasil Pengujian Senyawa Alkaloid pada Kulit Kayu Mindi
No. Pelarut Pereaksi Hasil Pengamatan (Perubahan Warna)
Hasil Pengujian
1. Metanol Bouchardart Endapan coklat Banyak (+++) Meyer Endapan putih
kekuningan
Sedang (++)
Dragendorff Endapan merah kecoklatan
Banyak (+++)
Keterangan: - = tidak ada; + = ada sedikit; ++ = banyak; +++ = paling banyak
Dari Tabel 3, dapat dilihat bahwa hasil uji alkaloid ekstrak metanol dengan
pereaksi Bouchardart memiliki perubahan warna berupa endapan berwarna coklat
dengan jumlah banyak. Sedangkan dengan pereaksi Meyer terjadi perubahan
pereaksi Dragendorff terjadi perubahan warna berupa endapan merah kecoklatan
dengan jumlah banyak.
Menurut Batubara (2009) uji fitokimia kulit mindi yang diekstrak dengan
pelarut metanol tidak mengandung senyawa flavonoid sepeti yang dilihat dalam
Tabel 4.
Tabel 4. Hasil Pengujian Senyawa Flavonoid pada Kulit Kayu Mindi
No. Pelarut Pereaksi Hasil Pengamatan (Perubahan Warna)
Larutan coklat muda Negative (-)
Keterangan: - = tidak ada; + = ada sedikit; ++ = banyak; +++ = paling banyak
Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa uji flavonoid dengan menggunakan
pereaksi FeCl3 (1%) dan Mg-HCl (encer) terjadi perubahan warna berupa endapan
biru tua dan larutan coklat muda, namun dari ke dua pereaksi meiliki hasil yang
sam yaitu tidak mengandung senyawa flavonoid.
Sedangkan dari hasil uji triterpenoid dengan menggunakan pereaksi
Salkowsky menunjukkan terjadi perubahan warna menjadi coklat kehitaman dan
tidak mengandung senyawa triterpenoid pada pelarut metanol. Hasil uji flavonoid
dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Hasil Pengujian Senyawa Triterpenoid pada Kulit Kayu Mindi
No. Pelarut Hasil Reaksi Indikator Senyawa Hasil Pengujian
1. Metanol Coklat kehitaman
Merah atau merah ungu -
Keterangan: - = tidak ada; + = ada
Dari hasil uji saponin dengan penambahan aquades, pelarut metanol tidak
menghasilkan busa sehingga tidak mengandung senyawa saponin. Hasil uji
Tabel 6. Hasil Pengujian Senyawa Saponin pada Kulit Kayu Mindi
No. Pelarut Hasil Reaksi Indikator Senyawa
Hasil Pengujian
1. Metanol Tidak ada busa Buih/busa -
Keterangan: - = tidak ada; + = ada sedikit; ++ = banyak; +++ = paling banyak
Menurut Syafii (2000) pada umumnya kandungan zat ekstraktif kayu
tropis berada dalam kisaran 0,9% – 6,2% ekstrak air panas dan 1% - 13,8%
ekstrak etanol benzene. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan (Tabel 2), maka
diperoleh setiap ulangan memiliki kadar ekstrak yang berbeda. Berdasarkan
pernyataan Syafii (2000) nilai kadar ekstrak kulit mindi yang diperoleh tergolong
rendah.
Dalam proses untuk mendapatkan kadar zat ekstraktif kulit mindi,
dilakukan proses perendaman sebanyak 3 kali. Banyaknya kegiatan perendaman
yang dilakukan tidak melihat apakah seluruh zat ekstraktif telah larut, namun
bertujuan agar mendapat kandungan ekstraktif yang masih tertinggal dalam residu
yang telah disaring sebelumnya karena tinggi rendahnya kadar zat ekstraktif yang
didapat disebabkan oleh proses ekstraksi yang dilakukan.
Menurut Sjostrom (1995) ekstraktif-ekstraktif fenol terdapat terutama
dalam kayu teras dan dalam kulit. Tipe-tipe ekstraktif yang berbeda adalah perlu
untuk mempertahankan fungsi biologi pohon yang bermacam-macam. Selain itu
kandungan ekstraktif juga berfungsi untuk menjaga pohon dari serangan
organisme perusak. Dalam penelitian ini ekstraktif diambil dari kulit kayu mindi,
dimana ekstraktif ini akan digunakan untuk menekan pertumbuhan dan serangan
fungi pembusuk kayu S. commune.
Menurut Qitanonq (2006) kandungan bahan aktif mindi sama dengan
dapat digunakan sebagai bahan mengendalikan hama termasuk belalang. Kulit
mindi digunakan sebagai obat mengeluarkan cacing usus. Hal ini dikarenakan
kulit mindi mengandung toosendanin, komponen yang larut, alkaloid azaridine
(margosina), kaempferol, resin, tanin, n-riacontane, β-sitosterol, dan triterpene
kulinone.
Uji Keterawetan Kayu
Keawetan kayu adalah daya tahan kayu dalam menghadapi serangan
perusak kayu dari golongan biologis. Keawetan alami kayu ditentukan oleh
jumlah kandungan zat ekstraktif kayu yang bersifat racun terhadap organisme
perusak. Menurut Fengel dan Wagener (1995), jumlah kandungan zat ekstraktif
pada kulit kayu lebih tinggi daripada bagian dalamnya. Dalam penelitian ini
pengujian keterawetan kayu dilakukan melalui uji retensi, uji stabilitas dimensi,
dan uji terhadap serangan organisme perusak kayu yaitu S. commune.
Gambar 3. Larutan Zat Ekstraktif yang Diekstrak dengan Metanol
1. Retensi Kayu
Retensi didefinisikan sebagai banyaknya jumlah bahan pengawet yang
masuk ke dalam kayu. Dari hasil yang diperoleh dari penelitian yang telah
konsentrasi bahan pengawet 6% dan dari contoh uji yang diujikan, kayu yang
paling tinggi nilai retensinya diperoleh dari contoh uji yang direndam dengan
konsentrasi 6% pada ulangan kedua. Dari hasil yang diperoleh diketahui bahwa
semakin tinggi nilai konsentrasi bahan pengawet yang digunakan maka semakin
tinggi pula nilai retensinya. Besarnya bahan pengawet yang masuk kedalam kayu
karet dapat dilihat dalam Tabel 7.
Tabel 7. Nilai Retensi Kayu Karet
Konsentrasi Retensi (gr/cm3)
0 % 0
2 % 9,27
4 % 16,46
6 % 24,16
Berdasarkan analisis sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian ekstraksi
kulit mindi (M. azedarach Linn) pada berbagai taraf konsentrasi (0%, 2% , 4%,
dan 6%) berpengaruh nyata terhadap nilai retensi yang terjadi pada kayu kayu
karet. Uji lanjut Duncan yang dilakukan terhadap taraf konsentrasi, diperoleh
bahwa konsentrasi 2%, 4%, dan 6% berbeda nyata. Diantara ketiga taraf
konsentrasi bahan pengawet yang digunakan, konsentrasi 6% memiliki nilai
retensi paling baik, sehingga direkomendasikan untuk digunakan lebih lanjut
Retensi adalah kemampuan suatu jenis kayu dalam menyerap bahan
pengawet selama periode waktu tertentu. Suatu ukuran yang menggambarkan
banyaknya zat pengawet murni yang dapat dikandung oleh kayu setelah
diawetkan, semakin banyak jumlah bahan pengawet murni yang dapat menetap
(terfiksasi) dalam kayu, retensi bahan pengawet itu juga semakin besar.
Sebaliknya, semakin sedikit jumlah bahan pengawet yang dapat diserap oleh kayu
Sesuai dengan pendapat Martawijaya dan Abdurrohim (1984), besarnya
retensi bahan pengawet yang larut dalam air untuk pemakaian dibawah atap
berkisar antara 3,4-5,6 kg/m3.
Tabel 8.Persyaratan Retensi Bahan Pengawet untuk Kayu Perumahan dan Gedung
No Jenis Bahan
Pengawet
Retensi (kg/m3) Dibawah Atap Diluar
1 Tanalith CT 06 4,6 6,6
2 Celcure A (P) 5,6 8,0
3 Osmose K33 3,4 4,8
4 Kemira K33 4,4 6,3
Sumber : Martawijaya dan Abdurrohim (1984)
Bahan pengawet yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kulit mindi
memiliki retensi berkisar antara 0,868 kg/m3 sampai dengan 2,564 kg/m3 untuk
penggunaan dibawah atap. Hal ini sesuai dengan pernyataan Suranto (2002) yang
menyatakan bahwa bila kayu akan digunakan di dalam ruangan, retensinya dapat
kurang dari 8 kg/m3.
Uji lanjut Duncan yang dilakukan terhadap taraf konsentrasi, diperoleh
bahwa konsentrasi 2%, 4%, dan 6% berbeda nyata. Diantara ketiga taraf
konsentrasi bahan pengawet yang digunakan, konsentrasi 6% lebih efektif,
sehingga direkomendasikan untuk digunakan lebih lanjut.
2. Stabilitas Dimensi Kayu
Stabilitas dimensi diperoleh dengan mengevaluasi nilai ASE dengan
menghitung perbedaan sweeling sebelum dan sesudah perlakuan. Hasil pengujian
ASE yang dihasilkan pada penelitian ini ditunjukkan pada Tabel 5 dan data
selengkapnya disajikan dalam lampiran.
Tabel 9. Nilai ASE Contoh Uji Kayu Karet
Konsentrasi Nilai ASE
0 % 25,57
2 % 62,47
6 % 95,12
Berdasarkan Tabel 9 diperoleh bahwa setiap kenaikan konsentrasi nilai
ASE yang diperoleh juga semakin meningkat. Nilai tertinggi adalah nilai yang
memiliki anti pengembangan volume yang paling baik. Nilai ASE yang tertinggi
yang diperoleh adalah dengan ekstraksi kulit mindi (M. azedarach Linn.) dengan
konsentrasi 6% yaitu 95,12%. Angka-angka tertinggi menunjukkan bahwa
semakin tinggi nilai anti pengembang volume, semakin kecil nilai pengembangan
volumenya. Menurut Achmadi (1990), perubahan dimensi kayu dapat dikurangi
melalui pemejalan dinding sel dan rongga sel dengan bahan kimia tertentu seperti
menggunakan zat ekstraktif. Proses pemejalan dinding sel dan rongga sel
menunjukkan peningkatan volume kayu berbanding lurus dengan volume bahan
kimia yang ditambahkan. Volume kayu meningkat dengan menggunakan bahan
kimia sekitar 25% mendekati volume kayu segar, tetapi jika kayu pejal ini
berhubungan dengan air hanya sedikit pengembangan. Hasil penelitian ini
menunjukkan volume yang diperoleh tidak melebihi volume kayu segar yakni
25%, maka perubahan dimensi kayu karet dapat dikurangi dengan menggunakan
zat ekstraktif kulit mindi (M. azedarach Linn.).
Hasil analisis sidik ragam yang diperoleh bahwa perlakuan yang dilakukan
dalam berbagai konsentrasi (0%, 2%, 4%, 6%) tidak berpengaruh nyata terhadap
nilai ASE. Hal ini disebabkan penggunaan zat ekstraktif dapat menstabilkan atau
tidak membuat stabilitas dimensi contoh uji kayu karet berubah. Pengembangan
volume terjadi akibat meningkat dan menurunnya air di dalam kayu (dibawah
3. Pengujian pada Fungi S. commune
Penurunan berat contoh uji dapat disebabkan oleh serangan fungi. Jenis
fungi yang menyerang kayu karet yang diuji ini adalah fungi Schizophyllum
commune yang dikembang biakkan untuk melihat kerusakan dan penurunan berat
contoh uji. Hasil penurunan berat contoh uji dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 10. Persentase Penurunan Berat Kayu Karet
Konsentrasi Persentase Penurunan Berat (%)
0 % 14,39
2 % 9,11
4 % 3,63
6 % 0,64
Berdasarkan Tabel 10, terlihat bahwa nilai persentase penurunan berat
kayu karet yang diserang oleh fungi S. commune adalah berkisar antara 0,64% -
14,39%. Contoh uji yang tidak direndam dengan bahan pengawet mengalami
penurunan berat yang sangat tinggi dibandingkan dengan contoh uji yang
direndam dengan ekstrak kulit mindi (M. azedarach Linn.) dengan taraf
konsentrasi. Nilai penurunan berat contoh uji terendah yang direndam ekstrak
kulit mindi dengan taraf konsentrasi 6% pada ulangan ke-2 yaitu 0,28%, namun
dari nilai rata-rata keseluruhan nilai terendah adalah dalam taraf konsentrasi 6%
yaitu 0,64%. Sedangkan, nilai tertinggi penurunan berat contoh uji pada taraf
konsentrasi 0% (kontrol) dengan nilai persentase rata-rata 14,39 %.
Penelitian ini menunjukkan bahwa efektivitas daya racun dari kulit kayu
mindi (M. azedarach Linn.) dengan pelarut metanol terjadi pada konsentrasi 6%,
karena semakin tinggi konsentrasi maka semakin banyak kandungan racun zat
ekstrak kulit mindi yang masuk ke dalam kayu karet sehingga serangan fungi
terhadap kayu menjadi terganggu. Bedasarkan analisis sidik ragam yang telah
dilakukan, diperoleh bahwa konsentrasi bahan pengawet berpengaruh nyata
terhadap penurunan berat contoh uji.
Uji lanjut yang dilakukan terhadap taraf konsentrasi 2%, 4%, dan 6% juga
berbeda nyata. Diantara ketiga konsentrasi bahan pengawet yang digunakan,
konsentrasi 6% terbukti lebih efektif sehingga direkomendasikan untuk digunakan
lebih lanjut. Hal ini dikarenakan fungi S. commune Linn. merupakan fungi
pelapuk putih (white rot) yang merombak lignin dan selulosa, sehingga berat
contoh uji menurun. Berdasarkan nilai rata-rata penurunan berat, kelas ketahanan
kayu terhadap fungi menurut SNI 01-72072-2006, dapat di lihat pada tabel 7.
Tabel 11. Kelas Ketahanan Kayu Karet
Konsentrasi Penurunan Berat (%) Kelas Ketahanan Kayu
0 % 14,39 Tidak Tahan
2 % 9,11 Agak Tahan
4 % 3,63 Tahan
6 % 0,64 Sangat Tahan
Pada Tabel 11 dapat kita lihat bahwa kelas ketahanan kayu karet yang
telah diberi perlakuan pengawetan pada tingkat konsentrasi 2%, 4%, 6% memiliki
kelas ketahanan agak tahan sampai dengan sangat tahan.terhadap fungi S.
commune. Sedangkan untuk kontrol kelas tidak tahan terhadap serangan fungi S.
commune. Dari data ini dapat kita pastikan kekuatan kayu akan sangat berkurang
bahkan hancur apabila diserang oleh fungi ini. Data ini sangat mendukung
menyebabkan kekuatan kayu menjadi berkurang karena fungi ini mampu
merombak selulosa dan lignin yang menjadi komponen utama penyusun dinding
sel kayu. Sifat mekanis kayu seperti keteguhan pukul, keteguhan lentur,
keteguhan tekan,kekerasan dan elastisitas akan berkurang bila terserang fungi
tersebut.
Dari data pada Tabel 11 diketahui bahwa ketahanan kayu karet dari
serangan fungi S. commune dengan menggunakan bahan pengawet dari ekstrak
kulit mindi menjadi meningkat. Hal ini dikarenakan karena kulit mindi
mengandung toosendanin, komponen yang larut, alkaloid azaridine (margosina),
kaempferol, resin, tanin, n-riacontane, β-sitosterol, dan triterpene kulinone yang
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Faktor konsentrasi memberikan pengaruh nyata terhadap penekanan
pertumbuhan fungi S. commune FR.Pengawet kulit mindi dengan konsentrasi 6%
sangat efektif dan direkomendasikan untuk meningkatkan keawetan kayu karet.
Saran
Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui konsentrasi bahan
pengawet yang terbuat dari ekstraksi kulit mindi paling tepat agar persentase
penurunan berat contoh uji kayu karet yang diujikan sampai pada 0% (tidak
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, S.S. 1990. Kimia Kayu. Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Aini. S. 2005. Perlindungan Investasi Konstruksi Terhadap Serangan Organisme Perusak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemukiman Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pekerjaan Umum. Bandung
Barly. 2009. Standardisasi Pengawetan Kayu dan Bambu serta Produknya.
Prosiding PPI Standardisasi 2009-Jakarta 19 November 2009
Batubara, R dan Dalimunthe, A. 2009. Pengendalian Hama dan Penyakit pada Persemaian Tanaman Tembakau Deli dengan Memanfaatkan Zat Ekstraktif Kayu. Laporan Hasil Penelitian Hibah Penelitian Strategis Nasional. Universitas Sumatera Utara. Medan
Boerhendhy, I, C. Nancy, dan A. Gunawan. 2003. Prospek dan Potensi Pemanfaatan Kayu Karet Sebagai Substitusi Kayu Alam. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis Vol 1. No.1. Hal 36-46. 2003
Direktorat Jendral Bina Produksi Perkebunan, 2003. Pengamatan dan Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman Karet. Departemen Pertanian. Jakarta
Dirgantara, U. 1998. Pengaruh Dosis Iradiasi dan Posisi Bambu Betung yang Diimpregnasi Polimerisasi Radiasi Dengan Stirena Terhadap Serangan Fungi Pelapuk Kayu Schizophyllum commune. Skripsi Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.[Tidak dipublikasikan].
Dumanaw, J.F. 1990 .Mengenal Kayu. Kanisius. Semarang.
Duljapar, K. 2001 . Pengawetan Kayu. Swadaya. Bandung
Dwianto, W dan S.N. Marsoem. 2008. Tinjauan Hasil-Hasil Penelitian Faktor-Faktor Alam yang Mempengaruhi Sifat Fisik dan Mekanik Kayu Indonesia. Journal Tropical Wood Science and Technology Vol.6. No.2 Hal 85-100. 2008
Gandjar, I., W. Sjamsuridjal, dan A. Destrasi. 1999. Pengenalan Kapang Tropik Umum. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta
Ivanus, S. 2008. Karakteristik Biodeteriorasi Pada Bangunan Rumah di Lembang, Bogor, Serang, dan Jakarta. Skripsi Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor
Jayanti, I. 2005. Ketahanan Papan Komposit dari Limbah Batang Kelapa Sawit dan Plastik Polipropilen (PP) Terhadap Fungi Pelapuk Kayu. Skripsi Program Studi Kehutanan Fakultas Pertanian USU. Medan
Martawijaya, A. 1990. Atlas Kayu Indonesia. Jilid II. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor
Martawijaya, A. dan S. Abdurrohim. 1984. Spesifikasi Pengawetan Kayu untuk Perumahan. Edisi ketiga. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.
Nasution, H. 2009. Pengendalian Penyakit Rebah Semai pada Persemaian
Tanaman Tembakau Deli (Nicotiana tabacum L.) dengan Memanfaatkan Zat Ekstraktif Kulit Mindi (Melia azedarach Linn). Skripsi Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian USU. Medan
Qitanonq. 2006. Agromania : Mindi. Diambil dari :
Sjostrom, E.1995 . Kimia Kayu. Dasar-Dasar dan Penggunaan. Edisi Kedua. Gadjah Mada Unniversity Press. Yogyakarta
Subowo, Y.B. 1992. Inventarisasi Jamur Kayu di Habema. Seminar Hasil Litbang SDH 6 Mei 1992. Puslitbang Biologi – LIPI. Bogor
Suheryanto, D. 2010. Pengaruh Konsentrasi Cupri Sulfat Terhadap Keawetan Kayu Karet. Seminar Rekayasa Kimia dan Proses 2010. ISSN : 1411-4216
Suranto, S. 2002. Pengawetan Kayu Bahan Dan Metode. Kanisius. Yogyakarta.
Syafii, W. 2000. Sifat Anti Rayap Zat Ekstraktif Beberapa Jenis Kayu Daun Lebar Tropis. Buletin Penelitian Kehutanan No. 42/2000. Hal 2-13. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor
LAMPIRAN
Lampiran 1 : Kadar Zat Ekstraktif Kulit Mindi & KA Serbuk
Jenis
Lampiran 3 : Retensi Contoh Uji Kayu Karet
Lampiran 4 : Analisis Sidik Ragam Retensi Kayu
Sk Db JK KT F.Hitung F.Tabel
Keterangan : * = Berpengaruh nyata pada taraf 95%
Hasil Uji Lanjut Duncan
Konsentrasi Rata-Rata Notasi
0 % 0 A
2 % 9,27 B
4 % 16,46 C
6 % 24,16 D
Keterangan : Hasil rata-rata yang diikuti oleh konotasi huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 95%
Lampiran 5 : Nilai ASE Contoh Uji Kayu Karet
Jenis Kulit Kayu
3 7,29 34,26 78,72
Lampiran 6 : Analisis Sidik Ragam Nilai ASE
Sk Db JK KT F.Hitung F.Tabel
Lampiran 7 : Nilai Penurunan Berat Contoh Uji Setelah diuji Jamur
Jenis
Lampiran 8 : Analisis Sidik Ragam Nilai Penurunan Berat Contoh Uji
Sk Db JK KT F.Hitung F.Tabel
Hasil Uji Lanjut Duncan
Konsentrasi Rata-Rata Notasi
6 % 0,64 A
4 % 3,63 B
2 % 9,11 C
0 % 14,39 D