• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemanfaatan Zat Ekstraktif Kulit Mindi (Melia azedarach Linn.) sebagai Bahan Pengawet Alami Untuk Mengendalikan Serangan Fungi Schizophyllum commune pada Kayu Karet (Hevea brasiliensis)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pemanfaatan Zat Ekstraktif Kulit Mindi (Melia azedarach Linn.) sebagai Bahan Pengawet Alami Untuk Mengendalikan Serangan Fungi Schizophyllum commune pada Kayu Karet (Hevea brasiliensis)"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

PEMANFAATAN ZAT EKSTRAKTIF KULIT MINDI

(Melia azedarach Linn.) SEBAGAI BAHAN PENGAWET

ALAMI UNTUK MENGENDALIKAN SERANGAN FUNGI

Schizophyllum commune PADA KAYU KARET

(Hevea brasiliensis)

SKRIPSI

Oleh:

Christian Arnando

071203017/ Teknologi Hasil Hutan

PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Usulan Penelitian : Pemanfaatan Zat Ekstraktif Kulit Mindi (Melia azedarach Linn.) sebagai Bahan Pengawet Alami Untuk Mengendalikan Serangan Fungi

Schizophyllum commune pada Kayu Karet (Hevea brasiliensis)

Nama : CHRISTIAN ARNANDO

Program Studi : Kehutanan

Minat Studi : Teknologi Hasil Hutan

Disetujui Oleh, Komisi Pembimbing

Ridwanti Batubara, S.Hut., M.Si. Luthfi Hakim, S. Hut, M. Si.

Ketua Anggota

Mengetahui

(3)

ABSTRACT

CHRISTIAN ARNANDO. Utilization of Extractive Substances Mindi Bark (M. azedarach Linn.) as a Natural Preservative to Control Fungal Attack S. commune on Rubber Wood (H. brasiliensis)

Supervised by RIDWANTI BATUBARA and LUTHFI HAKIM

The fungus S. commune is one of the wood-rot fungus that often attacks the rubber timber that can degrade the quality of the wood. Research aims to test the bark extract Mindi (M. azedarach Linn.) to control fungal S. commune at different concentrations using methanol solvent. Wood preservation using bark extract Mindi (M. azedarach Linn.) In a concentration of 4 levels (0%, 2%, 4% and 6%) was used to suppress the growth of fungi, thus increasing the durability of rubber wood. Research methods to calculated the percentage of chinaberry bark extract concentration, retention test, dimensional stability test, and test against fungi. Testing was done by testing retention, dimensional stability test, and test against fungi. Retention testing showed differences in concentration affects the amount of preservative into the timber. Dimensional stability test showed differences in concentration do not affect the value of ASE (Antisweeling Efficiency). Tests on the fungus S. commune showed concentration factors influencing the magnitude of weight loss due to fungal attack rubber wood. Based on the SNI standard 01-72072-2006, preservation with 6% recommended concentration is applied to improve the resilience of rubber wood from fungal attack S. commune.

(4)

ABSTRAK

CHRISTIAN ARNANDO. Pemanfaatan Zat Ekstraktif Kulit Mindi (M. azedarach Linn.) sebagai Bahan Pengawet Alami untuk Mengendalikan Serangan Fungi S. commune pada Kayu Karet (H. brasiliensis).

Dibimbing oleh RIDWANTI BATUBARA dan LUTHFI HAKIM.

Fungi S. commune adalah salah satu fungi pelapuk kayu yang sering menyerang kayu karet sehingga dapat menurunkan kualitas kayu tersebut. Penelitian bertujuan untuk menguji zat ekstraktif kulit mindi (M. azedarach

Linn.) terhadap pengendalian fungi S. commune. pada berbagai konsentrasi dengan menggunakan bahan pelarut metanol. Pengawetan kayu menggunakan ekstrak kulit mindi (M. azedarach Linn.) dalam 4 taraf konsentrasi (0%, 2%, 4%, dan 6%) digunakan untuk menekan pertumbuhan fungi sehingga meningkatkan keawetan kayu karet. Metode penelitian dengan menghitung nilai persentase kadar ekstrak kulit mindi, uji retensi, uji stabilitas dimensi, dan uji terhadap fungi. Pengujian retensi menunjukkan perbedaan konsentrasi mempengaruhi besarnya bahan pengawet yang masuk ke dalam kayu. Pengujian stabilitas dimensi menunjukkan perbedaan konsentrasi tidak berpengaruh terhadap nilai ASE (Antisweeling Efficiency). Pengujian terhadap fungi S. commune menunjukkan faktor konsentrasi mempengaruhi besarnya penurunan berat kayu karet akibat serangan fungi. Berdasarkan standard SNI 01-72072-2006, pengawetan dengan konsentrasi 6% direkomendasikan diaplikasikan untuk meningkatkan ketahanan kayu karet dari serangan fungi S. commune.

Kata kunci : Fungi S. commune, Pengawetan kayu karet, Ekstrak kulit mindi,

(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan atas berkat dan rahmat Tuhan Yang Maha Esa

sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini dengan sebaik-baiknya dengan

Judul : “Pemanfaatan Zat Ekstraktif Kulit Mindi (Melia azedarach Linn.) sebagai

Bahan Pengawet Alami Untuk Mengendalikan Serangan Fungi Schizophyllum

commune FR pada Kayu Karet (Hevea brasiliensis)”. Skripsi ini dibuat untuk

melengkapi persyaratan telah melakukan penelitian dalam rangka penyelesaian

tugas akhir kuliah.

Pada kesempatan ini penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada

Ibu Ridwanti Batubara, S.Hut, M.Si. dan Luthfi Hakim, S.Hut, M.Si selaku dosen

pembimbing yang telah membimbing penulis sehingga dapat menyelesaikan

skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Penulis

berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Januari 2014

(6)

DAFTAR ISI

Pembuatan Konsentrasi Larutan untuk Pengawetan ... 16

Pembuatan Contoh Uji dan Persiapan Contoh Uji Sebelum Pengawetan 16

Pembuatan Contoh Uji ... 16

Persiapan Contoh Uji Sebelum Pengawetan ... 17

Perendaman Contoh Uji pada Zat Ekstraktif ... 17

Pengujian Retensi ... 17

Pengujian Efektifitas ZE terhadap Stabilitas Dimensi Kayu Karet ... 19

(7)

Retensi Kayu ... 26 Stabilitas Dimensi Kayu ... 27 Pengujian pada Fungi Schizophyllum commune FR ... 29

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan ... 32 Saran ... 32

(8)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Kelas Ketahanan Kayu Terhadap Fungi ... 21

2. Kandungan Zat Ekstraktif Kulit Mindi ... 22

3. Hasil Pengujian Senyawa Alkaloid pada Kulit Kayu Mindi ... 22

4. Hasil Pengujian Senyawa Flavonoid pada Kulit Kayu Mindi ... 23

5. Hasil Pengujian Senyawa Triterpenoid pada Kulit Kayu Mindi ... 23

6. Hasil Pengujian Senyawa Saponin pada Kulit Kayu Mindi ... 24

7. Persentase Retensi Kayu ... 26

8. Persyaratan Retensi Bahan Pengawet untuk Kayu Perumahan dan Gedung 27 9. Nilai ASE Contoh Uji Kayu Karet ... 28

10. Persentase Penurunan Berat Kayu Karet ... 29

11. Kelas Ketahanan Kayu Karet ... 30

(9)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Pohon Mindi, Daun Mindi dan Kulit Mindi ... 7

2. Fungi Schizophyllum commune FR ……….. 12

3. Larutan Zat Ekstraktif yang Diekstrak dengan Metanol ………... 25

(10)

ABSTRACT

CHRISTIAN ARNANDO. Utilization of Extractive Substances Mindi Bark (M. azedarach Linn.) as a Natural Preservative to Control Fungal Attack S. commune on Rubber Wood (H. brasiliensis)

Supervised by RIDWANTI BATUBARA and LUTHFI HAKIM

The fungus S. commune is one of the wood-rot fungus that often attacks the rubber timber that can degrade the quality of the wood. Research aims to test the bark extract Mindi (M. azedarach Linn.) to control fungal S. commune at different concentrations using methanol solvent. Wood preservation using bark extract Mindi (M. azedarach Linn.) In a concentration of 4 levels (0%, 2%, 4% and 6%) was used to suppress the growth of fungi, thus increasing the durability of rubber wood. Research methods to calculated the percentage of chinaberry bark extract concentration, retention test, dimensional stability test, and test against fungi. Testing was done by testing retention, dimensional stability test, and test against fungi. Retention testing showed differences in concentration affects the amount of preservative into the timber. Dimensional stability test showed differences in concentration do not affect the value of ASE (Antisweeling Efficiency). Tests on the fungus S. commune showed concentration factors influencing the magnitude of weight loss due to fungal attack rubber wood. Based on the SNI standard 01-72072-2006, preservation with 6% recommended concentration is applied to improve the resilience of rubber wood from fungal attack S. commune.

(11)

ABSTRAK

CHRISTIAN ARNANDO. Pemanfaatan Zat Ekstraktif Kulit Mindi (M. azedarach Linn.) sebagai Bahan Pengawet Alami untuk Mengendalikan Serangan Fungi S. commune pada Kayu Karet (H. brasiliensis).

Dibimbing oleh RIDWANTI BATUBARA dan LUTHFI HAKIM.

Fungi S. commune adalah salah satu fungi pelapuk kayu yang sering menyerang kayu karet sehingga dapat menurunkan kualitas kayu tersebut. Penelitian bertujuan untuk menguji zat ekstraktif kulit mindi (M. azedarach

Linn.) terhadap pengendalian fungi S. commune. pada berbagai konsentrasi dengan menggunakan bahan pelarut metanol. Pengawetan kayu menggunakan ekstrak kulit mindi (M. azedarach Linn.) dalam 4 taraf konsentrasi (0%, 2%, 4%, dan 6%) digunakan untuk menekan pertumbuhan fungi sehingga meningkatkan keawetan kayu karet. Metode penelitian dengan menghitung nilai persentase kadar ekstrak kulit mindi, uji retensi, uji stabilitas dimensi, dan uji terhadap fungi. Pengujian retensi menunjukkan perbedaan konsentrasi mempengaruhi besarnya bahan pengawet yang masuk ke dalam kayu. Pengujian stabilitas dimensi menunjukkan perbedaan konsentrasi tidak berpengaruh terhadap nilai ASE (Antisweeling Efficiency). Pengujian terhadap fungi S. commune menunjukkan faktor konsentrasi mempengaruhi besarnya penurunan berat kayu karet akibat serangan fungi. Berdasarkan standard SNI 01-72072-2006, pengawetan dengan konsentrasi 6% direkomendasikan diaplikasikan untuk meningkatkan ketahanan kayu karet dari serangan fungi S. commune.

Kata kunci : Fungi S. commune, Pengawetan kayu karet, Ekstrak kulit mindi,

(12)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sampai saat ini perkembangan budi daya tanaman karet di Indonesia terus

mengalami perkembangan yang cukup signifikan dibandingkan tahun-tahun

sebelumnya. Nilai ekonomi yang cukup tinggi dari getah karet membuat budi

daya tanaman ini sangat cepat perkembangannya. Menurut Dirjen Bina

Perkebunan (2003) tanaman karet mempunyai peranan yang sangat penting dalam

perekonomian di Indonesia, karena banyak penduduk yang hidupnya

mengandalkan komoditas ini.

Mengingat tingginya potensi karet di Indonesia maka bisa diprediksi

potensi kayu karet yang dihasilkan juga sangat tinggi. Namun dalam faktanya,

sampai saat ini kayu karet jarang digunakan dalam pengerjaan kayu atau

konstruksi bangunan. Menurut Boerhendy dkk (2009), kayu karet memiliki kelas

kuat II dimana hal ini setara dengan kelas kuat kayu mahoni maupun pinus.

Namun kelas kuat kayu karet tersebut tidak sebanding dengan kelas awetnya

dimana kelas awet kayu karet adalah kelas V dimana ini sebanding dengan kayu

ramin. Hal inilah yang menyebabkan kayu karet jarang digunakan.

Kelas awet kayu karet yang sangat rendah ini menyebabkan kayu karet

sangat mudah terserang organisme perusak kayu. Salah satu organisme yang

menyerang kayu karet adalah fungi S. commune. Serangan fungi ini sangat

berbahaya pada kayu karet karena fungi tersebut adalah salah satu jenis fungi

(13)

mengendalikan serangan fungi ini dibutuhkan perlakuan khusus pada kayu karet

yaitu dengan metode pengawetan.

Pengawetan kayu merupakan suatu proses memasukkan suatu zat kimia

kedalam kayu yang bertujuan untuk meningkatkan ketahanan kayu terhadap

serangan biologis dan non biologis kayu dengan tujuan untuk meningkatkan umur

pakai kayu tersebut (Barly, 2009). Bahan pengawet yang baik digunakan adalah

bahan pengawet yang memiliki tingkat emisi atau polusi yang rendah dan kualitas

yang baik. Hal inilah yang melatarbelakangi penelitian ini dilakukan yaitu untuk

menghasilkan bahan pengawet yang memiliki kualitas yang baik dan ramah

lingkungan.

Dalam penelitian ini dilakukan pengawetan kayu dengan menggunakan zat

ekstraktif dari kulit mindi yang diaplikasikan kedalam kayu karet untuk

mengendalikan serangan fungi S. commune. Kulit mindi belum terlalu dikenal

dalam manfaatnya sebagai bahan pengawet, khususnya dalam mengendalikan

serangan fungi S. commune.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji zat ekstraktif kulit mindi

(M. azedarach Linn.) terhadap pengendalian fungi S. commune. pada berbagai

konsentrasi dengan menggunakan bahan pelarut methanol.

Manfaat Penelitian

Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah menghasilkan bahan

pengawet yang ramah lingkungan serta tersedianya informasi tentang manfaat

(14)

Hipotesis Penelitian

Perbedaan konsentrasi zat ekstraktif kulit mindi yang dilarutkan pada

(15)

TINJAUAN PUSTAKA

Pengawetan Kayu

Proses pengawetan adalah memberikan bahan kimia beracun kepada kayu

agar kayu tersebut tidak terserang organisme perusak. Pengawetan kayu dapat

bersifat sementara (propilactic treatment) dan permanen. Pengawetan yang

bersifat sementara bertujuan untuk mencegah serangan fungi pewarna dan

kumbang ambrosia. Beberapa jenis kayu hutan rakyat seperti pinus, kemiri, pulai,

dan gemelina khususnya dalam bentuk dolok yang baru ditebang dan papan

gergajian yang masih basah, mudah sekali diserang fungi pewarna dan kumbang

ambrosia. Pengawetan kayu secara permanent adalah upaya untuk memasukkan

bahan pengawet ke dalam kayu, agar kayu tidak diserang oleh organisme perusak

sehingga umur pakai kayu menjadi lebih panjang. Pengawetan kayu hanya

memperbaiki mutu sifat keawetannya saja dan tidak dapat memperbaiki sifat

keteguhan ataupun kekerasannya. Pengawetan kayu dapat dilakukan dengan

banyak cara, mulai dari cara yang sederhana sampai dengan cara yang sempurna.

Masing-masing cara mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk memasukkan

bahan pengawet ke dalam kayu yang banyaknya dan kedalamannya sesuai dengan

spesifikasi yang dipersyaratkan (Duljapar, 2001)

Tujuan dari pengawetan kayu adalah untuk meningkatkan keawetan kayu

sehingga kayu yang mulanya memiliki umur pakai tidak panjang menjadi lebih

panjang dalam pemakaian. Selain itu dengan pengawetan dapat memanfaatkan

pemakaian jenis-jenis kayu yang berkelas awet rendah dan sebelumnya belum

(16)

yang cukup luas dan banyak jenis kayunya. Adanya industri pengawetan kayu

akan memberi lapangan pekerjaan, sehingga pengangguran dapat diatasi

(Dumanaw, 1990)

Dalam penggunaan harus diperhatikan sifat-sifat bahan pengawet agar

sesuai dengan tujuan pemakaian. Faktor-faktor sebagai syarat bahan pengawet

yang baik :

- Bersifat racun terhadap makhluk perusak kayu

- Mudah masuk dan tetap tinggal didalam kayu

- Bersifat permanen, tidak mudah luntur atau menguap

- Bersifat toleran terhadap bahan-bahan lain misalnya : logam, perekat dan

cat/finishing

- Tidak mempengaruhi kembang susut kayu

- Tidak merusak sifat-sifat kayu : sifat fisik, mekanik, dan kimia

- Tidak mudah terbakar maupun mempertinggi bahaya kebakaran

- Tidak berbahaya bagi manusia dan hewan peliharaan

- Mudah dikerjakan, diangkut serta mudah didapat dan murah

(Dumanaw, 1990)

Tentunya tidak semua sifat-sifat diatas dimiliki oleh sesuatu jenis bahan

pengawet. Dalam praktek biasanya diperhatikan sifat-sifat mana yang perlu

tergantung pada tujuan pemakaian kayu itu nantinya. Pada waktu memilih bahan

pengawet kayu harus diperhatikan beberapa hal yaitu dimana kayu itu akan

dipakai setelah diawetkan, makhluk perusak kayu apa yang terdapat di tempat

(17)

Teknik atau cara pengawetan yang digunakan akan berpengaruh terhadap

hasil atau umur pemakaian kayu. Pemilihan cara pengawetan selain tergantung

dari faktor tempat kayu nantinya akan digunakan/dipasang, perlu juga

dipertimbangkan faktor ekonomisnya. Banyak cara pengawetan yang dapat

dilaksanakan, mulai cara sederhana sampai kepada cara yang relatif sukar dengan

peralatan modern (Dumanaw, 1990)

Mindi (Melia azedarach Linn)

Tanaman mindi (Melia azedarach Linn.) ini dikelasifikasikan sebagai berikut:

Divisio : Spermatophyta

Sub division : Angiospermae

Kelas : Dicotylodenae

Ordo : Rutales

Family : Meliaceae

Genus : Azadirachta

Spesies : Melia azedarach Linn.

(Qitanoq, 2006)

Tanaman mindi (M. azedarach Linn) merupakan tanaman serbaguna

karena dapat digunakan untuk berbagai keperluan. Seluruh bagian tanaman muali

dari akar, batang yang berkayu, kulit batang, daun, buah dan bijinya dapat

dimanfaatkan. Kayu mindi dapat digunakan dalam bentuk kayu utuh misalnya

sebagai komponen rumah, komponen mabel, dan barang kerajinan. Kayu mindi

dapat juga digunakan dalam bentuk panel misalnya sebagai kayu lapis indah dan

vinir lamina indah. Daun dan biji mindi digunakan sebagai pestisida alami dan

(18)

(a) (b) (c)

Gambar 1 : a.Pohon Mindi b.Daun Mindi c.Kulit Mindi

Mindi merupakan pohon berumah dua yang tingginya mencapai 45 m,

garis tengah batang dapat berukuran 60-120 cm. Kulit batang coklat keabuan,

bertekstur halus, berlentisel, semakin tua kulit akan pecah atau bersisik. Daun

majemuk menyirip ganda dua namun terkadang melingkar atau sebagian daun

menyirip ganda tiga, berhadapan, berlentisel, berbentuk bulat telur hingga jorong,

pangkal daun berbentuk runcing hingga membulat, tepi daun rata sampai

bergerigi. Perbungaan muncul dari bagian aksiler daun-daun, daun penumpu

berbentuk benang; bunga-bunga bewarna keunguan, berbau harum. Buah berupa

buah batu, berbentuk jorong bundar, bewarna kuning kecoklatan ketika ranum,

permukaanya halus, mengandung 5 biji. Biji berbentuk memanjang,berukuran

panjang 3,5 mm dan lebar 1,6 mm, bewarna coklat (Wardiyono, 2008 dalam

Nasution, 2009)

Zat Ekstraktif

Beraneka ragam komponen kayu, meskipun biasanya merupakan bagian

(19)

senyawa-senyawa tunggal tipe lipofil maupun hidrofil. Ekstraktif dapat dipandang

sebagai konstituen kayu yang tidak struktural, hampir seluruhnya terbentuk dari

senyawa-senyawa ekstraseluler dan berat molekul rendah. Zat ekstraktif beberapa

jenis kayu telah terbukti mengandung zat bio-aktif yang dapat menghambat

pertumbuhan organisme (Syafii, 2000)

Kadar ekstraktif adalah banyaknya zat yang terlarut dari kayu dengan

menggunakan pelarut netral seperti air dan pelarut organik (benzena,

dikhloromethan, eter, alkohol dan campuran alkhol-benzena). Zat ekstraktif yang

larut dalam pelarut organik adalah resin, lemak, lilin dan tanin. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa pemberian pelarut kimia cenderung menurunkan zat

ekstraktif kayu. Penurunan zat ekstraktif merupakan hal yang baik, karena zat

ekstraktif yang tinggi dapat menyebabkan timbulnya noda pada lembaran

(Sjostrom, 1995)

Ekstraktif- ekstraktif menempati tempat-tempat morfologi tertentu dalam

struktur kayu. Sebagai contoh asam-asam resin terdapat dalam saluran resin,

sedangkan lemak dan lilin terdapat dalam sel-sel parenkim jari-jari.

Ekstraktif-ekstraktif fenol terdapat terutama dalam kayu teras dan dalam kulit. Tipe-tipe

ekstraktif yang berbeda adalah perlu untuk mempertahankan fungsi biologi pohon

yang bermacam-macam. Sebagai contoh, lemak merupakan sumber energi sel-sel

kayu, sedangkan terpenoid rendah, asam-asam resin, dan senyawa-senyawa fenol

melindungi kayu terhadap kerusakan secara mikrobiologi atau serangan serangga.

Jejak ion-ion logam tertentu biasanya terdapat sebagai bagian-bagian fungsional

(20)

Kandungan ekstraktif dalam kulit kayu lebih tinggi dari dalam kayu. Hal

ini tidak hanya tergantung pada spesiesnya, tetapi pada pelarut yang digunakan.

Keanekaragaman senyawa yang dapat diekstrak biasanya membutuhkan

serangkaian ekstraksi, yang biasanya memberikan cirri awal komposisinya.

Variasi komposisinya dapat sangat besar bahkan di dalam kayu satu genus

(Fengel dan Wagener, 1995)

Kandungan ekstraktif biasanya kurang dari 10%, tetapi ia dapat bervariasi

hingga sampai 40% berat kayu kering. Untuk tujuan analitik dan untuk

identifikasi komponen-komponen individual maka metode kromatografi

cairan-gas yang digabungkan dengan spektometri massa memainkan peranan penting.

Biasanya kayu tidak banyak mengandung senyawa-senyawa yang larut dalam air,

meskipun jumlah yang tinggi dari tannin dan arabinogalaktan terdapat dalam

beberapa spesies. Namun, arabinogalaktan merupakan konstituen hemiselulosa

dan tidak dipandang sebagai ekstraktif. Ekstraktif tidak hanya penting untuk

mengerti taksonomi dan biokimia pohon-pohon tetapi penting juga bila dikaitkan

dengan aspek-aspek teknologi. Ekstraktif merupakan bahan dasar yang berharga

untuk pembuatan bahan-bahan kimia organik dan mereka memainkan peranan

penting dalam proses pembuatan pulp dan kertas (Sjostrom, 1995)

Menurut Dwianto (2008) dalam penggunaan kayu sebagai bahan

bangunan, kayu teras lebih disukai daripada kayu gubal karena mengandung

ekstraktif yang bersifat racun terhadap organisme perusak kayu, sehingga lebih

awet. Keberadaan cadangan makanan di dalam sel kayu gubal dapat

(21)

Fungi (Jamur)

Fungi atau cendawan merupakan tumbuhan tidak berklorofil yang sudah

lama dikenal manusia. Untuk hidupnya tergantung pada organisme lain, baik

organisme hidup maupun mati sehingga hal ini sering menimbulkan

permasalahan. Menurut Widyastuti,dkk (2005), unit negetatif fungi berupa

struktur satu sel atau benang hifa yang disebut miselium jika berada dalam

kelompok besar. Benang-benang miselium berdiameter 1-20 µm dengan bagian

ujung mempunyai kapasitas tumbuh yang tinggi. Fungi tidak berkembang dengan

membentuk akar, batang dan daun seperti halnya pada tumbuhan tingkat tinggi.

Benang hifa dapat bersekat-sekat akan tetapi dapat pula tidak bersekat.

Menurut Subowo (1992) beberapa jenis fungi parasit yang tumbuh pada

tanaman diantaranya Phytopthora infestans, sering menginfeksi tanaman kentang;

Puccinia graminis tratici menyebabkan bintik-bintik hitam pada tanaman

gandum. Fungi yang menyebabkan kerusakan makanan diantaranya : Rhizopus

nigricans, Penicillium expansum, Aspergillus niger menyebabkan kerusakan pada

roti. Kayu-kayu bangunan juga tidak terluput dari serangan fungi khusunya oleh

kelompok Basidiomycetes. Semua fungi pembusuk kayu menyebabkan sangat

menurunnya kekuatan dan kerapatan kayu, misalnya: Fomes pini menyebabkan

kerusakan kayu teras pada tumbuhan konifer. Menurut Ivanus (2008) pada

umumnya serangan fungi pembusuk kayu terjadi pada komponen bangunan yang

sering terkena air atau lembab dalam waktu yang cukup lama pada kisaran umur

(22)

Fungi Schizophyllum commune FR Divisi : Amasrigomycota

Sub.Divisi : Basidiomycotina

Kelas : Basidiomycetes

Sub.Kelas : Holobasidiomycetidae I.

Ordo : Aphyllophorales

Family : Schizophyllaceae

Genus : Schizophyllum

Spesies : Schizophyllum commune FR

(Dirgantara, 1998)

Menurut Jayanti (2010) S. commune memiliki tubuh buah berwarna

abu-abu, berbentuk seperti kipas dengan diameter 1 sampai 4 cm. lapisan

himeniumnya terdiri atas bisidia yang terbentuk pada lamela. Apabila kelembaban

rendah, lamella dapat robek (split) secara memanjang dengan kedua tepinya

melipat kedalam. Dalam beberapa hal robekan-robekan tersebut mungkin dangkal

dan mirip seperti lekukan-lekukan. Karena ada lamela tebal tersebut. Sehingga

berbentuk tekstur yang lunak pada tubuh buah yang masih segar. Atas dasar

tekstur ini para peneliti menempatkannya pada ordo Agaricales, namun setelah

diketahui bahwa lamela Schizophyllum tidak homolog seperti Agaricales lainnya,

maka dimasukkan ke dalam famili Schizophyllaceae.

Menurut Aini (2005) fungi pembusuk kayu dari kelas Basidiomycetes

termasuk spesies Schizophyllum commune FR merupakan jenis fungi yang banyak

menyerang bangunan di Indonesia. Serangan fungi ini menyebabkan kekuatan

(23)

yang menjadi komponen utama penyusun dinding sel kayu. Sifat mekanis kayu

seperti keteguhan pukul, keteguhan lentur, keteguhan tekan, kekerasan dan

elastisitas akan berkurang bila terserang fungi pelapuk kayu.

Gambar 2: Fungi Schizophyllum commune

Menurut Gandjar et al (2006) secara umum pertumbuhan fungi

dipengaruhi oleh substrat, kelembaban, suhu, derajat keasaman substrat (pH), dan

senyawa-senyawa kimia di lingkungannya.

1. Substrat, merupakan sumber unsur hara utama bagi fungi yang baru dapat

dimanfatkan oleh fungi setelah fungi mengekskresikan enzim-enzim

ekstraseluler yang dapat menguraikan senyawa-senyawa menjadi bentuk

yang lebih sederhana.

2. Kelembaban, faktor ini sangat penting untuk pertumbuhan fungi. Fungi

dapat hidup pada kisaran kelembaban udara 70 – 90 %.

3. Suhu, kisaran suhu lingkungan yang baik untuk pertumbuhan fungi dapat

dikelompokkan menjadi : (a) fungi psiklorofil (suhu minimum di bawah

0˚C, dan suhu optimum berkisar 0˚C - 17˚C, (b) fungi mesofil (suhu

minimum di atas 0˚C dan suhu optimum 15˚- 40˚C), dan (c) fungi termofil

(24)

4. Derajat keasaman lingkungan, pH substrat sangat penting untuk

pertumbuhan fungi, karena enzim-enzim tertentu hanya akan menguraikan

suatu substrat sesuai dengan aktivitasnya pada pH tertentu. Umumnya

fungi dapat hidup pada pH di bawah 7.

5. Bahan kimia, banyak bahan kimia yang terbukti dapat mencegah

pertumbuhan fungi sehingga banyak digunakan oleh manusia sebagai

bahan pengendali fungi.

Kayu Karet

Kerajaan : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Kelas : Dicotyledonae

Ordo : Euphorbiales

Famili : Euphorbiaceae

Genus : Hevea

Species : H. brasiliensis

(Suheryanto, 2010)

Ditinjau dari sifat fisis dan mekanis, kayu karet tergolong kayu kelas kuat

II yang berarti setara dengan kayu hutan alam seperti kayu ramin, perupuk, akasia,

mahoni, pinus, meranti, durian, ketapang, keruing, sungkai, gerunggang, dan

nyatoh. Sedangkan untuk kelas awetnya, kayu karet tergolong kelas awet V atau

setara dengan kayu ramin, namun tingkat kerentanan kayu karet terhadap

serangga penggerek dan fungi biru (blue stain) lebih besar dibandingkan dengan

kayu ramin. Oleh karena itu untuk pemanfaatannya diperlukan pengawetan yang

(25)

). Pengawetan kayu ramin setelah digergaji biasanya cukup dengan cara

pencelupan, sedangkan pada kayu karet selain pencelupan juga harus dilakukan

dengan cara vakum dan tekan Dengan berkembangnya teknologi pengawetan saat

ini, maka masalah serangan fungi biru (blue stain) dan serangga penggerek, serta

kapang seperti Aspergillus sp. Dan Penicillium sp. tidak lagi menjadi kendala

dalam pemanfaatan kayu karet (Boerhendhy, dkk 2003).

Sifat dasar lainnya yang menonjol dari kayu karet, kayunya mudah

digergaji dan permukaan gergajinya cukup halus, serta mudah dibubut dengan

menghasilkan permukaan yang rata dan halus. Kayu karet juga mudah dipaku, dan

mempunyai karakteristik pelekatan yang baik dengan semua jenis perekat. Sifat

yang khas dari kayu karet adalah warnanya yang putih kekuningan ketika baru

dipotong, dan akan menjadi kuning pucat seperti warna jerami setelah

dikeringkan. Selain warna yang menarik dan tekstur yang mirip dengan kayu

ramin dan perupuk yaitu halus dan rata, kayu karet sangat mudah diwarnai

sehingga disukai dalam pembuatan mebel. Mutu fibreboard asal kayu karet setara

dengan kayu lapis yang berasal dari hutan alam (Boerhendhy, dkk 2003).

(26)

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Hutan dan

Laboratorium Bioteknologi Hutan, Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian,

Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian ini dilaksanakan mulai Mei 2013 –

Juli 2013

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah blender, saringan ukuran

40-60 mesh, oven, aluminium foil, kantong plastik, kertas label, kertas saring,

kalipper, gelas erlenmeyer, autoclave, spatula, timbangan, kamera digital,

kalkulator, dan alat tulis. Sedangkan bahan yang akan digunakan adalah kayu

karet (H. braziliensis) ukuran 20 mm (p) x 20 (l) mm x 10 (t) mm sebanyak 72

contoh uji, serbuk kulit mindi dan fungi S. commune, dan pelarut metanol.

Prosedur Penelitian

Persiapan Bahan Baku dan Contoh Uji

Pengambilan kulit kayu mindi yang segar kemudian bahan dikeringkan.

Setelah kering bahan dihaluskan atau ditumbuk dengan menggunakan tumbukan

atau blender untuk mendapatkan serbuk kulit kayu tersebut, kemudian bahan

serbuk disaring dengan ukuran 40-60 mesh, dikeringkan sampai kering udara dan

di masukkan ke dalam kantung plastik yang berukuran besar. Selanjutnya diukur

(27)

Ekstraksi Kulit Kayu

Serbuk kulit kayu tersebut yang telah kering diambil sebanyak 500 gram,

diekstrak dengan pelarut metanol dengan metode perendaman pada suhu ruangan

selama 2 hari dengan perbandingan tinggi serbuk dan pelarut 1:3 dalam stoples,

campuran ini diaduk dengan selang waktu 2 jam dengan menggunakan spatula,

hasil ekstraksi tersebut disaring dengan menggunakan kertas saring, hasil saringan

tersebut di masukkan ke dalam botol, residunya direndam kembali selama 2 hari.

Kegiatan perendaman dan penyaringan ini diulang sebanyak 3 kali. Hasil

ekstraksi yang telah dievaporasi sampai kering dioven untuk mengetahui kadar

ekstraknya.

Pembuatan Konsentrasi Larutan untuk Pengawetan

Tahap selanjutnya setelah melakukan ekstraksi dan diperoleh padatan

ekstraktif yang dilakukan dengan pengeringan oven pada suhu 35oC adalah

pembuatan konsentrasi larutan zat ekstraktif. Masing-masing hasil ekstrak

metanol dibuat 4 taraf konsentrasi larutan ekstraktif, yaitu : 0%, 2%, 4%, dan 6%.

Penentuan konsentarsi larutan berdasarkan volume untuk perendaman yang

dibutuhkan.

Pembuatan Contoh Uji Dan Persiapan Contoh Uji Sebelum Pengawetan

a. Pembuatan Contoh Uji

Kayu karet yang segar bagian tengah tebang dibuat balok dengan panjang

kurang lebih 1 m, lalu diambil kayu bagian terasnya untuk dibuat sebagai contoh

uji. Contoh uji yang bebas cacat berukuran 20 mm (p) x 20 (l) mm x 10 (t) mm

(28)

b. Persiapan Contoh Uji Sebelum Pengawetan

Contoh uji dikering udarakan selama 1 bulan. Kemudian contoh uji

dikeringkan dengan menggunakan oven pada suhu 1000C selama 48 jam

kemudian ditimbang (W0) dan volumenya diukur dengan kalipper.

Perendaman (Pengawetan) Contoh Uji Pada Zat Ekstraktif

Perendaman contoh uji kayu karet dilakukan pada larutan ekstraksi

metanol selama 3 hari. Contoh uji kayu karet yang direndam adalah 24 buah

yang terdiri dari 12 contoh uji untuk pengujian stabilitas dimensi dan 12 buah

contoh uji untuk pengujian fungi. Contoh uji sebanyak 24 buah diperoleh dari 1

jenis pelarut, 4 taraf konsentrasi dan 3 kali ulangan dengan ukuran 20 mm (p) x 20

mm (l) x 10 mm (t) yang sebelumnya dikering udarakan dan telah dioven serta

telah diukur volumenya, agar contoh uji terendam dan tidak terapung, maka

contoh uji diberi pemberat.

Pengujian Retensi

Setelah direndam, kemudian dioven pada suhu 1000C selama 48 jam

selanjutnya contoh uji ditimbang dan dihitung penambahan beratnya. Perhitungan

penambahan berat berdasarkan metode perendaman Rowell dan Ellis (1978)

dalam Sanjaya (2001) menggunakan rumus :

Penambahan berat (%) = 100%

(29)

X K V

W W R= 1− 0

Keterangan :

W1 = berat kering tanur sesudah diawetkan (gram) Wo = berat kering tanur sebelum diawetkan (gram) R = retensi bahan pengawet (gram/m3)

K = konsentrasi larutan (% w1/w0) V = volume kayu yang diawetkan (m3)

Pengujian Efektifitas Zat Ekstraktif Terhadap Stabilitas Dimensi Kayu Karet

Pengujian terhadap stabilitas dimensi kayu karet dengan menggunakan

contoh uji yang berukuran 20 mm (p) x 20 mm (l) x 10 mm (t) sebanyak 12 buah.

Contoh uji yang sebelumnya telah direndam dengan ekstrak metanol, kemudian

setelah jenuh air contoh uji diangkat dan diukur dimensinya (DB), selanjutnya

dikeringkan dengan oven pada suhu 600C selama 48 jam dan diukur dimensinya

(DK). Contoh uji setelah direndam dan dikering oven diukur dengan kalipper,

dihitung koefisien pengembangan volume (S) berdasarkan metode perendaman

Rowell dan Ellis (1978) dalam Sanjaya (2001) menggukan rumus:

S (%) = {(DB/DK) - 1} x 100

Keterangan:

DB = dimensi contoh uji setelah perendaman DK = dimensi contoh uji kering oven

Nilai ASE (Antiswelling efficiency) dapat dihitung dari perbedaan antara

nilai pengembangan contoh uji (S) dengan perlakuan pengawetan dan tanpa

perlakuan pengawetan berdasarkan metode perendaman Rowell dan Ellis (1978)

(30)

Keterangan :

S2 = koefisien pengembangan volumen contoh uji setelah perlakuan pengawetan

S1 = koefisien pengembangan volume contoh uji tanpa perlakuan pengawetan

Pengujian Pada Fungi

a. Penyediaan biakan fungi (isolasi fungi)

Media biakan fungi yang digunakan adalah PDA (Potato Dextrose Agar),

degan bahan: 250 gr kentang, 20 gram gula (dextrosa), 21 gram tepung agar-agar,

dan 1000 ml air suling. Cara pembuatan: kentang dikupas, diiris kecil-kecil,

dimasak dalam 500 ml air suling selama 20 menit (sampai mendidih). Sarinya

disaring dengan kasa. Tepung agar dilarutkan dalam air suling dan dicampur

dengan gula sebanyak 20 gram, kemudian dimasukkan ke dalam sari kentang dan

ditambahkan air suling sampai volumenya 1000 ml dalam gelas erlenmeyer

berkapasitas 2000 ml. Sterilisasi media dilakukan dengan memasukkan media

tersebut ke dalam autoclave selama 20 menit dengan tekanan 15 psi pada suhu

120oC.

b. Pembiakan Fungi

Fungi yang digunakan dalam penelitian ini adalah S. commune. Fungi

tersebut diperoleh dari isolasi dari kayu dan dimurnikan untuk mendapatkan

biakan murni (isolat) yang siap dipakai untuk pengujian. Isolat tersebut menjadi

bahan yang akan diinokulasi pada media PDA baru (perlakuan) yang telah

disiapkan.

c. Pengujian

a) Contoh uji yang steril dan diketahui beratnya dimasukkan ke dalam gelas yang

(31)

fungi terkontaminasi atau tidak. Biakan fungi yang terkontaminasi harus

diganti dan tidak digunakan untuk pengujian.

b) Pengamatan dilakukan setelah 12 minggu. Contoh uji dibersihkan dari

miselium dan diamati secara visual menurut kerusakan yang terjadi.

c) Penilaian kerusakan dapat dilakukan menurut kondisi contoh uji mulai dari

“utuh” sampai “hancur sama sekali”.

d) Contoh uji tersebut kemudian dimasukkan ke dalam oven selama 24 jam.

Persentase kehilangan berat dihitung atas dasar selisih berat contoh uji

sebelum dan sesudah diserang fungi.

d. Pengujian pada fungi

Pengamatan dilakukan setelah 12 minggu terhadap daya hidup dan

intensitas serangan. Pengujian kayu terhadap fungi pelapuk didapat dengan

menghitung:

a) Penurunan berat dengan menggunakan rumus :

% W2 = Berat contoh uji sesudah diumpankan (g)

b) Penentuan ketahanan kayu didasarkan atas beberapa kelas seperti Tabel 1

Tabel 1. Kelas Ketahanan Kayu Terhadap Fungi

Kelas Ketahanan Penurunan Berat (%)

I Sangat Tahan <1

II Tahan 1 – 5

III Agak Tahan 5-10

IV Tidak Tahan 10-30

V Sangat Tidak Tahan >30 %

Sumber : SNI 01-7207-2006

(32)

Untuk mengetahui pengaruh ekstraktif kulit mindi yang dilarutkan dengan

metanol dengan perbedaan konsentrasi, maka dilakukan analisis dengan

menggunakan Rancangan Acak Lengkap Non-Faktorial. Model statistik dari

rancangan percobaan ini adalah :

Yij = µ + Ti + ∑ij

Dimana :

Yij = Pengaruh perbedaan konsentrasi terhadap penekanan pertumbuhan Fungi S. commune FR

µ = Nilai rataan

τ

i = Pengaruh perbedaan konsentrasi

∑�� = Nilai galad

Untuk mengetahui pengaruh dari faktor perlakuan yang dicoba, dilakukan

analisis keragaman dengan kriteria uji jika Fhit ≤ Ftabel maka Ho diterima, dan

jika Fhit ≥ Ftabel maka Ho ditolak. Untuk mengetahui taraf konsentrasi mana

yang berpengaruh maka pengujian dilanjutkan dengan menggunakan uji beda

(33)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kandungan Zat Ekstraktif

Kandungan zat ekstraktif kulit mindi yang diperoleh dari 3 kali ulangan

dengan menggunakan pelarut metanol yang diteliti memiliki hasil yang berbeda.

Kandungan kadar ekstrak yang tertinggi diperoleh dari ulangan pertama dan yang

terendah diperoleh dari ulangan yang ke-3. Data lengkap kandungan zat ekstraktif

kulit mindi ini dapat dilihat dalam Tabel 2.

Tabel 2. Kandungan Zat Ekstraktif Kulit Mindi dengan Pelarut Metanol

Perendaman Kulit Mindi Berat Padatan Ekstrak (gr)

Menurut Batubara (2009) uji fitokimia kulit mindi yang diekstrak dengan

pelarut metanol mengandung senyawa alkaloid sepeti yang dilihat dalam Tabel 3.

Tabel 3. Hasil Pengujian Senyawa Alkaloid pada Kulit Kayu Mindi

No. Pelarut Pereaksi Hasil Pengamatan (Perubahan Warna)

Hasil Pengujian

1. Metanol Bouchardart Endapan coklat Banyak (+++) Meyer Endapan putih

kekuningan

Sedang (++)

Dragendorff Endapan merah kecoklatan

Banyak (+++)

Keterangan: - = tidak ada; + = ada sedikit; ++ = banyak; +++ = paling banyak

Dari Tabel 3, dapat dilihat bahwa hasil uji alkaloid ekstrak metanol dengan

pereaksi Bouchardart memiliki perubahan warna berupa endapan berwarna coklat

dengan jumlah banyak. Sedangkan dengan pereaksi Meyer terjadi perubahan

(34)

pereaksi Dragendorff terjadi perubahan warna berupa endapan merah kecoklatan

dengan jumlah banyak.

Menurut Batubara (2009) uji fitokimia kulit mindi yang diekstrak dengan

pelarut metanol tidak mengandung senyawa flavonoid sepeti yang dilihat dalam

Tabel 4.

Tabel 4. Hasil Pengujian Senyawa Flavonoid pada Kulit Kayu Mindi

No. Pelarut Pereaksi Hasil Pengamatan (Perubahan Warna)

Larutan coklat muda Negative (-)

Keterangan: - = tidak ada; + = ada sedikit; ++ = banyak; +++ = paling banyak

Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa uji flavonoid dengan menggunakan

pereaksi FeCl3 (1%) dan Mg-HCl (encer) terjadi perubahan warna berupa endapan

biru tua dan larutan coklat muda, namun dari ke dua pereaksi meiliki hasil yang

sam yaitu tidak mengandung senyawa flavonoid.

Sedangkan dari hasil uji triterpenoid dengan menggunakan pereaksi

Salkowsky menunjukkan terjadi perubahan warna menjadi coklat kehitaman dan

tidak mengandung senyawa triterpenoid pada pelarut metanol. Hasil uji flavonoid

dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Hasil Pengujian Senyawa Triterpenoid pada Kulit Kayu Mindi

No. Pelarut Hasil Reaksi Indikator Senyawa Hasil Pengujian

1. Metanol Coklat kehitaman

Merah atau merah ungu -

Keterangan: - = tidak ada; + = ada

Dari hasil uji saponin dengan penambahan aquades, pelarut metanol tidak

menghasilkan busa sehingga tidak mengandung senyawa saponin. Hasil uji

(35)

Tabel 6. Hasil Pengujian Senyawa Saponin pada Kulit Kayu Mindi

No. Pelarut Hasil Reaksi Indikator Senyawa

Hasil Pengujian

1. Metanol Tidak ada busa Buih/busa -

Keterangan: - = tidak ada; + = ada sedikit; ++ = banyak; +++ = paling banyak

Menurut Syafii (2000) pada umumnya kandungan zat ekstraktif kayu

tropis berada dalam kisaran 0,9% – 6,2% ekstrak air panas dan 1% - 13,8%

ekstrak etanol benzene. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan (Tabel 2), maka

diperoleh setiap ulangan memiliki kadar ekstrak yang berbeda. Berdasarkan

pernyataan Syafii (2000) nilai kadar ekstrak kulit mindi yang diperoleh tergolong

rendah.

Dalam proses untuk mendapatkan kadar zat ekstraktif kulit mindi,

dilakukan proses perendaman sebanyak 3 kali. Banyaknya kegiatan perendaman

yang dilakukan tidak melihat apakah seluruh zat ekstraktif telah larut, namun

bertujuan agar mendapat kandungan ekstraktif yang masih tertinggal dalam residu

yang telah disaring sebelumnya karena tinggi rendahnya kadar zat ekstraktif yang

didapat disebabkan oleh proses ekstraksi yang dilakukan.

Menurut Sjostrom (1995) ekstraktif-ekstraktif fenol terdapat terutama

dalam kayu teras dan dalam kulit. Tipe-tipe ekstraktif yang berbeda adalah perlu

untuk mempertahankan fungsi biologi pohon yang bermacam-macam. Selain itu

kandungan ekstraktif juga berfungsi untuk menjaga pohon dari serangan

organisme perusak. Dalam penelitian ini ekstraktif diambil dari kulit kayu mindi,

dimana ekstraktif ini akan digunakan untuk menekan pertumbuhan dan serangan

fungi pembusuk kayu S. commune.

Menurut Qitanonq (2006) kandungan bahan aktif mindi sama dengan

(36)

dapat digunakan sebagai bahan mengendalikan hama termasuk belalang. Kulit

mindi digunakan sebagai obat mengeluarkan cacing usus. Hal ini dikarenakan

kulit mindi mengandung toosendanin, komponen yang larut, alkaloid azaridine

(margosina), kaempferol, resin, tanin, n-riacontane, β-sitosterol, dan triterpene

kulinone.

Uji Keterawetan Kayu

Keawetan kayu adalah daya tahan kayu dalam menghadapi serangan

perusak kayu dari golongan biologis. Keawetan alami kayu ditentukan oleh

jumlah kandungan zat ekstraktif kayu yang bersifat racun terhadap organisme

perusak. Menurut Fengel dan Wagener (1995), jumlah kandungan zat ekstraktif

pada kulit kayu lebih tinggi daripada bagian dalamnya. Dalam penelitian ini

pengujian keterawetan kayu dilakukan melalui uji retensi, uji stabilitas dimensi,

dan uji terhadap serangan organisme perusak kayu yaitu S. commune.

Gambar 3. Larutan Zat Ekstraktif yang Diekstrak dengan Metanol

1. Retensi Kayu

Retensi didefinisikan sebagai banyaknya jumlah bahan pengawet yang

masuk ke dalam kayu. Dari hasil yang diperoleh dari penelitian yang telah

(37)

konsentrasi bahan pengawet 6% dan dari contoh uji yang diujikan, kayu yang

paling tinggi nilai retensinya diperoleh dari contoh uji yang direndam dengan

konsentrasi 6% pada ulangan kedua. Dari hasil yang diperoleh diketahui bahwa

semakin tinggi nilai konsentrasi bahan pengawet yang digunakan maka semakin

tinggi pula nilai retensinya. Besarnya bahan pengawet yang masuk kedalam kayu

karet dapat dilihat dalam Tabel 7.

Tabel 7. Nilai Retensi Kayu Karet

Konsentrasi Retensi (gr/cm3)

0 % 0

2 % 9,27

4 % 16,46

6 % 24,16

Berdasarkan analisis sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian ekstraksi

kulit mindi (M. azedarach Linn) pada berbagai taraf konsentrasi (0%, 2% , 4%,

dan 6%) berpengaruh nyata terhadap nilai retensi yang terjadi pada kayu kayu

karet. Uji lanjut Duncan yang dilakukan terhadap taraf konsentrasi, diperoleh

bahwa konsentrasi 2%, 4%, dan 6% berbeda nyata. Diantara ketiga taraf

konsentrasi bahan pengawet yang digunakan, konsentrasi 6% memiliki nilai

retensi paling baik, sehingga direkomendasikan untuk digunakan lebih lanjut

Retensi adalah kemampuan suatu jenis kayu dalam menyerap bahan

pengawet selama periode waktu tertentu. Suatu ukuran yang menggambarkan

banyaknya zat pengawet murni yang dapat dikandung oleh kayu setelah

diawetkan, semakin banyak jumlah bahan pengawet murni yang dapat menetap

(terfiksasi) dalam kayu, retensi bahan pengawet itu juga semakin besar.

Sebaliknya, semakin sedikit jumlah bahan pengawet yang dapat diserap oleh kayu

(38)

Sesuai dengan pendapat Martawijaya dan Abdurrohim (1984), besarnya

retensi bahan pengawet yang larut dalam air untuk pemakaian dibawah atap

berkisar antara 3,4-5,6 kg/m3.

Tabel 8.Persyaratan Retensi Bahan Pengawet untuk Kayu Perumahan dan Gedung

No Jenis Bahan

Pengawet

Retensi (kg/m3) Dibawah Atap Diluar

1 Tanalith CT 06 4,6 6,6

2 Celcure A (P) 5,6 8,0

3 Osmose K33 3,4 4,8

4 Kemira K33 4,4 6,3

Sumber : Martawijaya dan Abdurrohim (1984)

Bahan pengawet yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kulit mindi

memiliki retensi berkisar antara 0,868 kg/m3 sampai dengan 2,564 kg/m3 untuk

penggunaan dibawah atap. Hal ini sesuai dengan pernyataan Suranto (2002) yang

menyatakan bahwa bila kayu akan digunakan di dalam ruangan, retensinya dapat

kurang dari 8 kg/m3.

Uji lanjut Duncan yang dilakukan terhadap taraf konsentrasi, diperoleh

bahwa konsentrasi 2%, 4%, dan 6% berbeda nyata. Diantara ketiga taraf

konsentrasi bahan pengawet yang digunakan, konsentrasi 6% lebih efektif,

sehingga direkomendasikan untuk digunakan lebih lanjut.

2. Stabilitas Dimensi Kayu

Stabilitas dimensi diperoleh dengan mengevaluasi nilai ASE dengan

menghitung perbedaan sweeling sebelum dan sesudah perlakuan. Hasil pengujian

ASE yang dihasilkan pada penelitian ini ditunjukkan pada Tabel 5 dan data

selengkapnya disajikan dalam lampiran.

Tabel 9. Nilai ASE Contoh Uji Kayu Karet

Konsentrasi Nilai ASE

0 % 25,57

2 % 62,47

(39)

6 % 95,12

Berdasarkan Tabel 9 diperoleh bahwa setiap kenaikan konsentrasi nilai

ASE yang diperoleh juga semakin meningkat. Nilai tertinggi adalah nilai yang

memiliki anti pengembangan volume yang paling baik. Nilai ASE yang tertinggi

yang diperoleh adalah dengan ekstraksi kulit mindi (M. azedarach Linn.) dengan

konsentrasi 6% yaitu 95,12%. Angka-angka tertinggi menunjukkan bahwa

semakin tinggi nilai anti pengembang volume, semakin kecil nilai pengembangan

volumenya. Menurut Achmadi (1990), perubahan dimensi kayu dapat dikurangi

melalui pemejalan dinding sel dan rongga sel dengan bahan kimia tertentu seperti

menggunakan zat ekstraktif. Proses pemejalan dinding sel dan rongga sel

menunjukkan peningkatan volume kayu berbanding lurus dengan volume bahan

kimia yang ditambahkan. Volume kayu meningkat dengan menggunakan bahan

kimia sekitar 25% mendekati volume kayu segar, tetapi jika kayu pejal ini

berhubungan dengan air hanya sedikit pengembangan. Hasil penelitian ini

menunjukkan volume yang diperoleh tidak melebihi volume kayu segar yakni

25%, maka perubahan dimensi kayu karet dapat dikurangi dengan menggunakan

zat ekstraktif kulit mindi (M. azedarach Linn.).

Hasil analisis sidik ragam yang diperoleh bahwa perlakuan yang dilakukan

dalam berbagai konsentrasi (0%, 2%, 4%, 6%) tidak berpengaruh nyata terhadap

nilai ASE. Hal ini disebabkan penggunaan zat ekstraktif dapat menstabilkan atau

tidak membuat stabilitas dimensi contoh uji kayu karet berubah. Pengembangan

volume terjadi akibat meningkat dan menurunnya air di dalam kayu (dibawah

(40)

3. Pengujian pada Fungi S. commune

Penurunan berat contoh uji dapat disebabkan oleh serangan fungi. Jenis

fungi yang menyerang kayu karet yang diuji ini adalah fungi Schizophyllum

commune yang dikembang biakkan untuk melihat kerusakan dan penurunan berat

contoh uji. Hasil penurunan berat contoh uji dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 10. Persentase Penurunan Berat Kayu Karet

Konsentrasi Persentase Penurunan Berat (%)

0 % 14,39

2 % 9,11

4 % 3,63

6 % 0,64

Berdasarkan Tabel 10, terlihat bahwa nilai persentase penurunan berat

kayu karet yang diserang oleh fungi S. commune adalah berkisar antara 0,64% -

14,39%. Contoh uji yang tidak direndam dengan bahan pengawet mengalami

penurunan berat yang sangat tinggi dibandingkan dengan contoh uji yang

direndam dengan ekstrak kulit mindi (M. azedarach Linn.) dengan taraf

konsentrasi. Nilai penurunan berat contoh uji terendah yang direndam ekstrak

kulit mindi dengan taraf konsentrasi 6% pada ulangan ke-2 yaitu 0,28%, namun

dari nilai rata-rata keseluruhan nilai terendah adalah dalam taraf konsentrasi 6%

yaitu 0,64%. Sedangkan, nilai tertinggi penurunan berat contoh uji pada taraf

konsentrasi 0% (kontrol) dengan nilai persentase rata-rata 14,39 %.

(41)

Penelitian ini menunjukkan bahwa efektivitas daya racun dari kulit kayu

mindi (M. azedarach Linn.) dengan pelarut metanol terjadi pada konsentrasi 6%,

karena semakin tinggi konsentrasi maka semakin banyak kandungan racun zat

ekstrak kulit mindi yang masuk ke dalam kayu karet sehingga serangan fungi

terhadap kayu menjadi terganggu. Bedasarkan analisis sidik ragam yang telah

dilakukan, diperoleh bahwa konsentrasi bahan pengawet berpengaruh nyata

terhadap penurunan berat contoh uji.

Uji lanjut yang dilakukan terhadap taraf konsentrasi 2%, 4%, dan 6% juga

berbeda nyata. Diantara ketiga konsentrasi bahan pengawet yang digunakan,

konsentrasi 6% terbukti lebih efektif sehingga direkomendasikan untuk digunakan

lebih lanjut. Hal ini dikarenakan fungi S. commune Linn. merupakan fungi

pelapuk putih (white rot) yang merombak lignin dan selulosa, sehingga berat

contoh uji menurun. Berdasarkan nilai rata-rata penurunan berat, kelas ketahanan

kayu terhadap fungi menurut SNI 01-72072-2006, dapat di lihat pada tabel 7.

Tabel 11. Kelas Ketahanan Kayu Karet

Konsentrasi Penurunan Berat (%) Kelas Ketahanan Kayu

0 % 14,39 Tidak Tahan

2 % 9,11 Agak Tahan

4 % 3,63 Tahan

6 % 0,64 Sangat Tahan

Pada Tabel 11 dapat kita lihat bahwa kelas ketahanan kayu karet yang

telah diberi perlakuan pengawetan pada tingkat konsentrasi 2%, 4%, 6% memiliki

kelas ketahanan agak tahan sampai dengan sangat tahan.terhadap fungi S.

commune. Sedangkan untuk kontrol kelas tidak tahan terhadap serangan fungi S.

commune. Dari data ini dapat kita pastikan kekuatan kayu akan sangat berkurang

bahkan hancur apabila diserang oleh fungi ini. Data ini sangat mendukung

(42)

menyebabkan kekuatan kayu menjadi berkurang karena fungi ini mampu

merombak selulosa dan lignin yang menjadi komponen utama penyusun dinding

sel kayu. Sifat mekanis kayu seperti keteguhan pukul, keteguhan lentur,

keteguhan tekan,kekerasan dan elastisitas akan berkurang bila terserang fungi

tersebut.

Dari data pada Tabel 11 diketahui bahwa ketahanan kayu karet dari

serangan fungi S. commune dengan menggunakan bahan pengawet dari ekstrak

kulit mindi menjadi meningkat. Hal ini dikarenakan karena kulit mindi

mengandung toosendanin, komponen yang larut, alkaloid azaridine (margosina),

kaempferol, resin, tanin, n-riacontane, β-sitosterol, dan triterpene kulinone yang

(43)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Faktor konsentrasi memberikan pengaruh nyata terhadap penekanan

pertumbuhan fungi S. commune FR.Pengawet kulit mindi dengan konsentrasi 6%

sangat efektif dan direkomendasikan untuk meningkatkan keawetan kayu karet.

Saran

Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui konsentrasi bahan

pengawet yang terbuat dari ekstraksi kulit mindi paling tepat agar persentase

penurunan berat contoh uji kayu karet yang diujikan sampai pada 0% (tidak

(44)

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, S.S. 1990. Kimia Kayu. Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Aini. S. 2005. Perlindungan Investasi Konstruksi Terhadap Serangan Organisme Perusak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemukiman Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pekerjaan Umum. Bandung

Barly. 2009. Standardisasi Pengawetan Kayu dan Bambu serta Produknya.

Prosiding PPI Standardisasi 2009-Jakarta 19 November 2009

Batubara, R dan Dalimunthe, A. 2009. Pengendalian Hama dan Penyakit pada Persemaian Tanaman Tembakau Deli dengan Memanfaatkan Zat Ekstraktif Kayu. Laporan Hasil Penelitian Hibah Penelitian Strategis Nasional. Universitas Sumatera Utara. Medan

Boerhendhy, I, C. Nancy, dan A. Gunawan. 2003. Prospek dan Potensi Pemanfaatan Kayu Karet Sebagai Substitusi Kayu Alam. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis Vol 1. No.1. Hal 36-46. 2003

Direktorat Jendral Bina Produksi Perkebunan, 2003. Pengamatan dan Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman Karet. Departemen Pertanian. Jakarta

Dirgantara, U. 1998. Pengaruh Dosis Iradiasi dan Posisi Bambu Betung yang Diimpregnasi Polimerisasi Radiasi Dengan Stirena Terhadap Serangan Fungi Pelapuk Kayu Schizophyllum commune. Skripsi Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.[Tidak dipublikasikan].

Dumanaw, J.F. 1990 .Mengenal Kayu. Kanisius. Semarang.

Duljapar, K. 2001 . Pengawetan Kayu. Swadaya. Bandung

Dwianto, W dan S.N. Marsoem. 2008. Tinjauan Hasil-Hasil Penelitian Faktor-Faktor Alam yang Mempengaruhi Sifat Fisik dan Mekanik Kayu Indonesia. Journal Tropical Wood Science and Technology Vol.6. No.2 Hal 85-100. 2008

(45)

Gandjar, I., W. Sjamsuridjal, dan A. Destrasi. 1999. Pengenalan Kapang Tropik Umum. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta

Ivanus, S. 2008. Karakteristik Biodeteriorasi Pada Bangunan Rumah di Lembang, Bogor, Serang, dan Jakarta. Skripsi Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor

Jayanti, I. 2005. Ketahanan Papan Komposit dari Limbah Batang Kelapa Sawit dan Plastik Polipropilen (PP) Terhadap Fungi Pelapuk Kayu. Skripsi Program Studi Kehutanan Fakultas Pertanian USU. Medan

Martawijaya, A. 1990. Atlas Kayu Indonesia. Jilid II. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor

Martawijaya, A. dan S. Abdurrohim. 1984. Spesifikasi Pengawetan Kayu untuk Perumahan. Edisi ketiga. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.

Nasution, H. 2009. Pengendalian Penyakit Rebah Semai pada Persemaian

Tanaman Tembakau Deli (Nicotiana tabacum L.) dengan Memanfaatkan Zat Ekstraktif Kulit Mindi (Melia azedarach Linn). Skripsi Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian USU. Medan

Qitanonq. 2006. Agromania : Mindi. Diambil dari :

Sjostrom, E.1995 . Kimia Kayu. Dasar-Dasar dan Penggunaan. Edisi Kedua. Gadjah Mada Unniversity Press. Yogyakarta

Subowo, Y.B. 1992. Inventarisasi Jamur Kayu di Habema. Seminar Hasil Litbang SDH 6 Mei 1992. Puslitbang Biologi – LIPI. Bogor

Suheryanto, D. 2010. Pengaruh Konsentrasi Cupri Sulfat Terhadap Keawetan Kayu Karet. Seminar Rekayasa Kimia dan Proses 2010. ISSN : 1411-4216

Suranto, S. 2002. Pengawetan Kayu Bahan Dan Metode. Kanisius. Yogyakarta.

Syafii, W. 2000. Sifat Anti Rayap Zat Ekstraktif Beberapa Jenis Kayu Daun Lebar Tropis. Buletin Penelitian Kehutanan No. 42/2000. Hal 2-13. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor

(46)

LAMPIRAN

Lampiran 1 : Kadar Zat Ekstraktif Kulit Mindi & KA Serbuk

Jenis

(47)

Lampiran 3 : Retensi Contoh Uji Kayu Karet

Lampiran 4 : Analisis Sidik Ragam Retensi Kayu

Sk Db JK KT F.Hitung F.Tabel

Keterangan : * = Berpengaruh nyata pada taraf 95%

Hasil Uji Lanjut Duncan

Konsentrasi Rata-Rata Notasi

0 % 0 A

2 % 9,27 B

4 % 16,46 C

6 % 24,16 D

Keterangan : Hasil rata-rata yang diikuti oleh konotasi huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 95%

Lampiran 5 : Nilai ASE Contoh Uji Kayu Karet

Jenis Kulit Kayu

(48)

3 7,29 34,26 78,72

Lampiran 6 : Analisis Sidik Ragam Nilai ASE

Sk Db JK KT F.Hitung F.Tabel

Lampiran 7 : Nilai Penurunan Berat Contoh Uji Setelah diuji Jamur

Jenis

Lampiran 8 : Analisis Sidik Ragam Nilai Penurunan Berat Contoh Uji

Sk Db JK KT F.Hitung F.Tabel

(49)

Hasil Uji Lanjut Duncan

Konsentrasi Rata-Rata Notasi

6 % 0,64 A

4 % 3,63 B

2 % 9,11 C

0 % 14,39 D

Gambar

Gambar 1 : a.Pohon Mindi b.Daun Mindi c.Kulit Mindi
Gambar 2: Fungi Schizophyllum commune
Tabel 1. Kelas Ketahanan Kayu Terhadap Fungi
Tabel 2. Kandungan Zat Ekstraktif Kulit Mindi dengan Pelarut Metanol
+7

Referensi

Dokumen terkait

Summary Cost Estimate and Financial Plan is

Hasil penelitian mampu menjawab rumusan masalah, mencapai tujuan penelitian dan membuktikan hipotesis penelitian, yaitu: “melalui pembelajaran konstruktivisme dapat

Meskipun selama im pengukuran kinerja karyawan hanya dianggap remeh perusahaan dan perusahaan hanya mengambil keputusan terhadap kinerja karyawan hanya berdasar

Nilai rasio antara keuntungan yang diperoleh perusahaan dengan penggunaan aktiva yang lebih dari 2% dapat menggambarkan bahwa kemammpuan untuk mendapatkan laba

Today the CBFL project is operational in more than 1,000 centers in Andhra Pradesh, Tamil Nadu, Madhya Pradesh, Maharashtra, Uttar Pradesh and West Bengal, and it has helped more

[r]

Sedangkan dampak yang terjadi antara kualitas produk terhadap efisiensi biaya produksi terjadi apabila hasil produk yang sudah jadi tidak sesuai dengan mutu atau

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan sebelumnya, maka pertanyaan penelitian (research question) yang akan dijadikan dasar penelitian adalah bagaimana jenis

Sun specіfіcаtіon cаlled JSF Jаvа Server Fаces іmplements JSP technology, whіch descrіbes the rules of creаtіng web аpplіcаtіons wіth user-frіendly іnterfаce аnd focuses on the