• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji Invitro Aktivitas Antelmintik Ekstrak n-Heksana Daun Pugun Tanoh [Curanga fel-terrae (Lour.) Merr.]

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Uji Invitro Aktivitas Antelmintik Ekstrak n-Heksana Daun Pugun Tanoh [Curanga fel-terrae (Lour.) Merr.]"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)

Lampiran 4. Perhitungan karakterisasi simplisia dan ekstrak

1. Perhitungan rendemen simplisia dan ekstrak

% rendemen = Berat kering

berat basah x 100%

Simplisia

Berat basah Berat simplisia Persentase (%)

2450 g 600 g 24,49

Ekstrak

Berat ekstrak Berat simplisia Persentase (%)

11 g 600 g 1,83

2. Penetapan kadar air simplisia dan ekstrak

% kadar air = volume air (ml )

berat simplisia x 100%

Simplisia

Berat volume (ml) Berat simplisia (g) Persentase (%)

0,2 5,063 3,95

0,2 5,058 3,95

0,2 5,044 3,96

Kadar air rata-rata 3,95

Ekstrak

Berat volume (ml) Berat simplisia (g) Persentase (%)

0,05 2,003 2,49

0,05 2,034 2,45

0,05 2,011 2,48

Kadar air rata-rata 2,47

3. Penetapan kadar sari larut air

% kadar sari larut air = Berat sari

berat simplisia x 100

(5)

Lampiran 4. (Lanjutan)

No. Berat simplisia (g) Berat sari (g) Persentase (%)

1. 5,025 0,203 20,19

2. 5,045 0,21 20,81

3. 5,078 0,199 19,59

Kadar sari larut air rata-rata 20,20

4.Penetapan kadar sari larut etanol

% kadar sari larut etanol = Berat sari

berat simplisia x 100

Kadar sari larut etanol rata-rata 21,15

5.Penetapan Kadar Abu Total

% kadar abu total = Berat abu

Kadar abu total rata-rata 8,5

Ekstrak

No. Berat simplisia (g) Berat abu (g) Persentase (%)

1. 2,011 0,01 0,49

2. 2,056 0,02 0,97

3. 2,043 0,01 0,48

(6)

Lampiran 4. (Lanjutan)

6. Penetapan kadar abu tidak larut asam

% kadar abu tidak larut asam = Berat abu

berat simplisia x 100%

Simplisia

No. Berat simplisia (g) Berat abu (g) Persentase (%)

1. 2,017 0,021 1

2. 2,034 0,021 1

3. 2,022 0,019 0,9

Kadar abu tidak larut asam rata-rata 0,96 Ekstrak

No. Berat simplisia (g) Berat abu (g) Persentase (%)

1. 2,000 0,001 0,05

2. 2,004 0,001 0,04

3. 2,010 0,001 0,04

(7)

Lampiran 5. Gambar tumbuhan pugun tanoh

(8)

Lampiran 5. (Lanjutan)

Daun pugun tanoh segar

(9)

Lampiran 6.Mikroskopik Daun Pugun Tanoh

Keterangan:

a. Kristal kalsium oksalat bentuk prisma b. Tulang daun

c. Pembuluh angkut bentuk spiral d. Stomata tipe diasitik

e. Stomata tipe anomositik f.l Trikoma

(10)

Lampiran 7. Hewan percobaan

(11)

Lampiran 8. Uji aktivitas antelmintik

Larutan konsentrasi ekstrak 30, 20, 10, dan 5 mg/ml

a b

Keterangan:

(12)

c d

e f

g h

Keterangan:

c: Uji aktivitas antelmintik konsentrasi 10 mg/ml. d: Uji aktivitas antelmintik konsentrasi 5 mg/ml. e: Uji aktivitas antelmintik larutan NaCl.

f: Uji aktivitas antelmintik larutan tween 80 1% dalam 20 ml NaCl. g: Uji aktivitas antelmintik albendazole 20 mg/ml.

(13)

Lampiran 9. Waktu paralisis cacing (menit)

Konsentrasi

Pengujian (menit)

I II III

Larutan NaCl 0,9% (kontrol negatif)

Tween 80 1 % (kontrol pelarut)

Ekstrak n-heksan 5 mg/ml 205 210 216

Ekstrak n-heksan 10 mg/ml 134 133 139

Ekstrak n-heksan 20 mg/ml 113 114 107

Ekstrak n-heksan 30 mg/ml 71 73 76

(14)

Lampiran 10. Waktu kematian cacing (menit)

Konsentrasi Pengujian (menit)

I II III

Larutan NaCl 0,9% (kontrol negatif)

Tween 80 1% (kontrol pelarut)

Ekstrak n-heksan 5 mg/ml 230 240 236

Ekstrak n-heksan 10 mg/ml 159 163 164

Ekstrak n-heksan 20 mg/ml 120 120 114

Ekstrak n-heksan 30 mg/ml 76 80 84

(15)

Lampiran 11. Profil kromatografi lapis tipis ENHDPT

a b c d e f

Keterangan: Fase dian silika gel GF254, fase gerak n-heksana-etilasetat (a.100:0, b.90:10, c.80:20, d.70:30, e.60:40, f.50:50) penampak bercak Liebermann-Burchard

tp= titik penotolan bp= batas pengembangan

bp

(16)

Lampiran 12. Analisis Statistika a. Lilliefors Significance Correction

Descriptives

Paralisis

konsentrasi

N Mean Std. Deviation

Std. Error 95% Confidence Interval for Mean

Dependent Variable: paralisis Tukey HSD

(I) konsentrasi (J) konsentrasi Mean Difference (I-J)

Std. Error Sig. 95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound

(17)

Paralisis

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.

Tests of Normality a. Kruskal Wallis Test

b. Grouping Variable: konsentrasi

Multiple Comparisons

Dependent Variable: kematian Tukey HSD

(I) konsentrasi (J) konsentrasi Mean Difference (I-J)

Std. Error Sig. 95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound

(18)

Kematian

Tukey HSD

Konsentrasi N Subset for alpha = 0.05

1 2 3 4 5

30 mg/ml 3 80.0000

20 mg/ml 3 118.0000

10 mg/ml 3 162.0000

Albendazole 20 mg/ml 3 188.0000

5 mg/ml 3 235.3333

Sig. 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000

(19)

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Saya yang bertanda-tangan di bawah ini :

Nama : Astri Novia

Nim : 101501092

Fakultas : Farmasi

Judul Skripsi : Uji Invitro Aktivitas Antelmintik Ekstrak n-heksan Daun Pugun Tanoh [Curanga fel-terrae (Lour.) Merr.]

Dengan ini menyatakan :

1. Bahwa isi skripsi yang saya tulis tersebut di atas adalah tidak merupakan ciplakan dari skripsi atau karya ilmiah orang lain.

2. Apabila terbukti di kemudian hari skripsi tersebut adalah ciplakan, maka segala akibat hukum yang timbul menjadi tanggung-jawab saya.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa ada paksaan atau tekanan dari pihak manapun.

Medan, April 2016

(20)

DAFTAR PUSTAKA

Acharya, S., Dash, G.K., Brahma, D.K., Chetree, R.R. (2011). Preliminary Phytochemical Investigation and Anthelmintic Activity of Acacia suma (Roxb) Barks. Int Res J Pharm. 2(1):136-141.

Agung dan Tinton (eds). (2008). Buku Pintar Tanaman Obat. Cetakan 1, Jakarta : Agromedia Pustaka. Hal. 64-65.

Anand, N., dan Sharma, S. (1997). Approaches to Design and Synthesis of

Antiparasitic Drugs. Netherlands: Elsevier Science. Hal 4-18, 71.

Bhakta, T., Das, S., Ghosh, R., Deb Prashanta, K.R. (2013). In-vitro Anthelmintic Activity of Acorus Calamus Leaves. Asian Journal of Pharmaceutical and Clinical Research 3 (06) : 135-137.

Borah, S., Kakoti, BB., Mahato, K., dan Kuma,r M. (2013). Investigation of in vitro Anthelmintic Activity of Calamus leptospadix Griff. Shoot in Indian Adult Earthworm (Pheretima posthuma). Journal of Applied Pharmaceutical Science 3 (06) : 156-159.

Cylma, M., Sandeep, S., Punitha, I.S.R., Behin, S., Kamath, J.V., dan Satyanarayana, D. ( 2010). Anthelmintic Activity of Fruit Extracts of Ficus glomerata Roxb. Pharmacologyonline (2) : 789-793.

Dalimunthe, A., Harahap, U., Rosidah, Pandapotan, N.M. (2015). Evaluation of Diuretic Activity of Picria fel-terrae Lour. Leaves. Asian J Pharm

Clin.8(4):204-205.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1979). Farmakope Indonesia Edisi ke III. Jakarta. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 970-971, 1033, 1041.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1995). Farmakope Indonesia Edisi ke IV. Jakarta. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 840

.

Ditjen POM. (1995). Materia Medika Indonesia Edisi Ke VI. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Hal 299-304, 321, 324 325, 333-337.

Ditjen POM. (2000). ParameterStandar Umum Ekstrak Tumbuhan. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Hal 3-6, 9-11, 14, 31.

Dorland, W.A.N. (2012). Kamus Saku Kedokteran DorlandEdisi Ke XXVIII. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal 581, 811.

(21)

by Multi Target Grading Method. Journal of Chinese Medicinal Material, 32 (12): 1902-1905.

Farnsworth, N.R., (1966). Biological and Phytochemical Screening of Plants. J.Pharm Sci. 55 (3) : 225-276.

Fitrah, Ramadhani. (2013). Efek penyembuhan luka bakar dari sediaan gel ekstrak etanol daun pugun tanoh. Skripsi. Medan: Fakultas Farmasi USU.

Gaikwad, S.S., Kale, A.A., Jadhav, B.G., Deshpande, N.R., dan Salvaker, J.P. (2011). Anthelminthic Activity of Cassia auriculata L. Extracts in vitro Study. Journal of Natural Product Plant Resources. 1 (2): 62-66.

Globinmed. (2015). Detil Data Picria fel-terrae. [Diakses 13 oktober 2015]; Diambil dari file:///H:/penelitian/web/Globinmed%20%20Globinmed.htm.

Harfina, F., Bahri, S., dan Saragih, A. (2012). Pengaruh serbuk Daun pugun tanoh [Curanga fel-terrae (Lour) Merr] pada pasien Diabetes mellitus. Journal of

Pharmaceutics and Pharmacology. 1 (2): 112-118.

Harahap, U., Patilaya, P., Marianne, Yuliasmi, S., Husori, D.I., Prasetyo, B.E., Laila, L., Sumantri, B.I., dan Wahyuni, H.S. (2013). Jurnal Profil Fitokimia Ekstrak Etanol Daun Puguntano [Curanga fel-terrae (Merr.) Lour.] Yang Berpotensi Sebagai Antiasma. Hal. 1-20.

Hcrkova, G. and Samuel, V. (2013). Pharmacological Potential of Selected

Natural Compounds in the Control of Parasitic Disease. London:

Springer. Hal. 104.

Heyne, K. (1987). Tumbuhan Berguna Indonesia Edisi Ke III. Jakarta: Badan Litbang Kehutanan. Hal 1744.

Holden-Dye, L. dan Walker, R.J. (2007). Anthelmintic Drugs. Worm Book. 1(143): 1-13

Huang, Y., De, Braynet., Apesis, S., Ma, Y., Claeys, M., Pieters, L., dan Vlietnik, A. (1999). Flavonoid Glucoranides from Picria felterrae. Phytochemistry. 62 (8): 1701-1703.

Joseph, T., Ofodile, I., dan Oguntoke, Tolulope. (2013). In vitro Evaluation of Anthelmintic Activity of Crude Extract of The Leaves of Dalbergiella welwitschii. International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences. 1 (5) : 32-33.

(22)

Juwita, N.A. (2009). Karakterisasi simplisia dan uji efek antiinflamasi ekstrak etanol daun pugun tanoh [Curanga fel-terrae (Lour). Merr] terhadap mencit jantan. Skripsi. Medan: Fakultas Farmasi USU. Hal. 35-37.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2015). Kemenkes Berkomitmen Eliminasi Filariasis dan Kecacingan. [diakses 3 Agustus 2015]; Diambil dar

Lalitha, V., dan Mohankumar, M. (2014). In vitro Anthelmintic Activity of Hugonia mystax Leaves Linn in Indian Adult Earthworm. Journal of Pharmacognosy and Phytochemistry 3 (5) : 19-21.

Michi, Anddora. (2014). Efek relaksasi ekstrak etanol daun pugun tanoh terhadap kontraksi otot polos ileum marmut terisolasi secara invitro. Skripsi. Medan: Fakultas Farmasi USU. Hal. 5-20.

Patilaya, P., dan Dadang, I. H. (2015). Preliminary Study of Anthelmintic Activity of the Leaf Ethanolic Extract of Indonesian Curanga fel-terrae (Lour) Merr. Int J Pharm Tech Res. 8 (3) : 347-351.

Padal, S.B., Satyavathi, K., dan Sandhyadheepika D. (2014). Ethnomedical Plants Used for Anthelmintic/Helminthiasis in Visakhapatnam District, Andhra Pradesh, India. Int J Ethnobiol Ethnomed. 1(2):1-5

Prohati. (2015). Detil Data Picria fel-terrae Lour. [Diakses 31 Januari 2015];

Diambil dar

Quattrocchi, F.L.S., Umberto. (2012). CRC World Dictionary of Medicinal and Poisonous Plants, Common Names, Scientific Names, Eponyms, Synonyms, and Etymology. Francis: CRC Press. Halaman 2925.

Ramadhani, D. (2014). Efek Relaksasi Ekstrak Etanol Daun Pugun Tanoh [Curanga fel-terrae (Lour) Merr] Terhadap Otot Polos Trakea Marmut Terisolasi dan Pengaruhnya pada Fosfodiesterase. Skripsi. Medan: Fakultas Farmasi USU. Hal. 5-32.

Samudar, N., Hadju, V., dan Jafar, N. (2013). Hubungan Infeksi Kecacingan Dengan Status Hemoglobin Pada Anak Sekolah Dasar di Wilayah Pesisir Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2013. Skripsi. Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kesehatan UNHAS Makassar.

Sani, R.N., Nisa, F.C., Andriani, R.D., dan Maligan, J.M. (2014). Analisis Rendemen dan Skrining Fitokimia Ekstrak Etanol Mikroalga Laut

Tetraselmis chuii. Jurnal Pangan dan Agroindustri. 2(2):121-126.

(23)

Anthelmintic Activity of Lawsonia inermis Leaf Extract. Int J Res

Ayurveda Pharm. 3(4):559-562.

Satria, D., Mainal, F., Sumadio, H., dan Rosidah. (2014). Uji Antikanker Kombinasi Ekstrak Etilasetat Daun Pugun Tanoh (Picria fel-terrae) dengan Doxurubisin terhadap sel kanker payudara secara in vitro. Tesis. Medan. Fakultas Farmasi. 81.

Sitorus, P. (2012). Isolasi dan karakterisasi senyawa steroid/triterpenoid dari ekstrak n-heksana daun pugun tanoh (Picria fel-terrae) yang berkhasiat sebagai antidiabetes. Abstrak. Medan: Fakultas Farmasi USU.

Soedarto. (2008). Parasitologi Klinik. Surabaya: Airlangga University Press. Hal. 11, 13, 40, 71.

Sravani. (2014). Insilico and Invitro Anthelmintic Activity of β-sitosterol isolated from Rhizomes of Hedychium spicatum Buch. Ham. Indian Journal of

Natural Products and Resources. 5(3):258-261

Sugiarto, A., dan Putera, T.D. (2008). Buku Pintar Tanaman Obat: 431 jenis tanaman penggempur aneka penyakit. Jakarta: Agromedia Pustaka. Hal. 65

Syarif, A., dan Elysabeth. (2011). Kemoterapi Parasit: Antelmintik. Dalam: Gunawan, S.G, editor. Farmakologi dan Terapi Edisi Ke V. Jakarta: Badan Penerbit FK UI. Hal 541-550.

Tjahyanto, A. dan Salim, C. (eds). (2013). Farmakologi Ulasan Bergambar. Jakarta: EGC. Hal: 513-520.

Tjay, T.H., dan Rahardja, K. (2002). Obat Obat Penting Khasiat, Penggunaan dan Efek-Efek Sampingnya. Edisi keempat. Jakarta.PT Elexmedia komputindo kelompok gramedia.

Tjitrosoepomo, G. (2001). Morfologi Tumbuhan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Hal. 106.

Waller, P. J., Prichard, R. K. (1985). Drug Resistance in Nematodes. In: Campbell WC, Rew RS. (Eds) Chemoteraphy of Parasitic Infections, Phenum New York USA. 339-362.

World Health Organization. (2015). Helminthiasis. [diakses 23 April 2015]; Diambil dari http://www.who.int/topics/helminthiasis/en/

World Health Organization. (1998). Quality Control Methods for Medicinal Plant

Material. Switzerland. Hal 19-25.

(24)

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental untuk mengamati efek ekstrak n-heksan daun pugun tanoh dalam berbagai konsentrasi terhadap waktu paralisis dan waktu kematian cacing Pheretima posthuma. Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap meliputi penyiapan bahan tumbuhan, pembuatan simplisia dan ekstrak n-heksan daun pugun tanoh beserta karakterisasinya, uji aktivitas antelmintik ekstrak n-heksan daun pugun tanoh, dan analisis data statistik.

3.1 Alat dan Bahan

3.1.1 Alat

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi oven (Dynamica, Inggris), tanur (Nabertherm, Jerman), rotary evaporator (Stuart, Inggris), heating mantle (Boeco, Jerman), mikroskop (Boeco, Jerman),blender (Panasonic, Jerman),

timbangan (Vibra AJ, Jepang), labu erlenmeyer (Iwaki Pyrex, Jepang), labu alas bulat (Duran, Jerman), lumpang dan alu (Iwaki Pyrex, Jepang), gelas ukur (Iwaki Pyrex, Jepang), cawan porselin (Iwaki Pyrex, Jepang), corong pisah (Iwaki Pyrex, Jepang), labu tentukur (Iwaki Pyrex, Jepang), cawan petri (CMSI, Indonesia), stopwatch (LG, Korea Selatan), tabung reaksi (Iwaki Pyrex, Jepang), pipet

volume (Iwaki Pyrex, Jepang), lemari pengering, penangas air, perkolator, pengaduk, penjepit tabung, dan pipet tetes.

3.1.2 Bahan

(25)

iodida, iodium, raksa (II) klorida, besi (III) klorida, α-naftol, asam nitrat, timbal (II) asetat, natrium hidroksida, asam asetat anhidrida, asam sulfat pekat, eter, kloroform, methanol, petroleum eter, serbuk seng (Zn), serbuk magnesium (Mg), timbal (II) asetat, isopropanol, benzene, natrium pikrat, kalium bromida, natrium klorida diperoleh dari Merck, Jerman; natrium klorida 0,9% (Widatarabakti, Indonesia) dan air suling dari Rudang Jaya, Indonesia. Baku albendazole diperoleh dari PT. Indofarma, Indonesia.

3.2 Pembuatan Pereaksi

3.2.1 Pereaksi Mayer

Sebanyak 1,4 g raksa (II) klorida dilarutkan dalam 60 ml air suling. Pada wadah lain, sebanyak 5 g kalium iodida dilarutkan dalam 10 ml air suling.Kedua larutan tersebut dicampurkan dan diencerkan dengan air suling hingga 100 ml (Ditjen POM, 1995).

3.2.2 Pereaksi Dragendorff

Sebanyak 0,8 g bismut (III) nitrat dilarutkan dalam 20 ml asam nitrat pekat.Pada wadah lain, sebanyak 27,2 g kalium iodida dilarutkan dalam 50 ml air suling.Kedua larutan tersebut dicampurkan dan didiamkan sampai memisah sempurna. Bagian yang jernih diambil lalu diencerkan dengan air suling hingga 100 ml (Ditjen POM, 1995).

3.2.3Pereaksi Bouchardat

(26)

3.2.4Pereaksi Molish

Sebanyak 3 gram α-naftol dilarutkan dalam asam nitrat 0,5 N dan dicukupkan 100 ml (Ditjen POM, 1995).

3.2.5 Pereaksi Asam Klorida 2 N

Sebanyak 17 ml larutan asam klorida pekat diencerkan dengan air suling hingga 100 ml (Ditjen POM, 1995).

3.2.6 Pereaksi Asam Sulfat 2 N

Sebanyak 5,4 ml larutan asam sulfat pekat diencerkan dengan air suling hingga 100 ml (Ditjen POM, 1995).

3.2.7 Pereaksi Natrium Hidroksida 2 N

Sebanyak 8 g kristal natrium hidroksida dilarutkan dengan air suling hingga 100 ml (Ditjen POM, 1995).

3.2.8 Pereaksi Timbal (II) Asetat 0,4 M

Sebanyak 15,17 g timbal (II) asetat dilarutkan dalam air suling bebas karbondioksida hingga 100 ml (Ditjen POM, 1995).

3.2.9 Pereaksi Besi (III) Klorida 1%

Sebanyak1 g besi (III)kloridadilarutkan dalam air dan di encerkan hingga100 ml (Ditjen POM, 1995).

3.2.10 Pereaksi Liebermann-Burchard

(27)

3.3 Penyiapan Bahan Tumbuhan

Penyiapan bahan tumbuhan meliputi pengambilan tumbuhan, pengolahan bahan tumbuhan, dan identifikasi tumbuhan.

3.3.1 Pengambilan bahan tumbuhan

Pengambilan bahan tumbuhan dilakukan secara purposif yaitu tanpa membandingkan dengan daerah lain. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun pugun tanoh [Curanga fel-terrae (Lour.)Merr.] yang diperoleh dari Pasar Pancur batu, Medan, Provinsi Sumatera Utara.

3.3.2 Pengolahan bahan tumbuhan

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah daun pugun tanoh yang masih segar. Daun dipisahkan dari pengotor lain lalu dicuci hingga bersih kemudian ditiriskan dan ditimbang. Diperoleh berat basah 2450 g. Selanjutnya daun tersebut dikeringkan di dalam lemari pengering, ditandai bila diremas rapuh. Simplisia yang telah kering diblender menjadi serbuk lalu ditimbang, diperoleh berat kering 600 g, kemudian dimasukkan ke dalam wadah plastik.

3.3.3 Identifikasi tumbuhan

Identifikasi bahan dilakukan oleh Diah ramadhani (2014) di Laboratorium Herbarium Bogoriense Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan

Indonesia (LIPI), Bogor.

(28)

3.4 Penyiapan Hewan Percobaan

3.4.1 Pengambilan hewan percobaan

Hewan yang digunakan adalah cacing tanah (Pheretima posthuma)dengan ukuran yang seragam dengan panjang 10-14 cm dan diameter 0,1-0,3 cm. Cacing P. posthuma diperoleh dari Taman Obat Tradisional Fakultas Farmasi Universitas

Sumatera Utara, Medan, Sumatera Utara. P. posthuma dikumpulkan dari tanah yang lembab, dicuci dengan air suling untuk menghilangkan pengotor, dan diaklimasi dalam larutan NaCl 0,9% selama 60 menit (Patilaya dan Husori, 2015).

3.4.2 Identifikasi hewan percobaan

Identifikasi hewan percobaan dilakukan oleh Laboratorium Taksonomi Hewan Departemen Biologi Fakultas MIPA Universitas Sumatera Utara.

3.5 Pembuatan Ekstrak n-Heksan Daun Pugun Tanoh (ENHDPT)

Serbuk simplisia di ekstraksi dengan cara perkolasi dengan menggunakan pelarut n-heksana (Ditjen POM, 1979).

Cara kerja:

(29)

meninggalkan sisa. Perkolat yang diperoleh dipekatkan dengan alat penguap rotary evaporator.

3.6 Skrining Fitokimia Simplisia dan Ekstrak

Skrining fitokimia simplisia dan ekstrak daun pugun tanoh dilakukan berdasarkan prosedur Depkes (1979) dan Farnsworth, (1966) untuk menganalisis senyawa golongan alkaloid, flavonoid, glikosida, glikosida antrakinon, saponin, tannin, glikosida sianogenik, dan triterpenoid/steroid.

3.6.1Pemeriksaan Alkaloida

Ekstrak ditimbang sebanyak 0,5 g kemudian ditambahkan 1 ml asam klorida 2 N dan 9 ml air suling, dipanaskan di atas penangas air selama 2 menit, didinginkan dan disaring. Filtrat yang diperoleh dipakai untuk tes alkaloid. Diambil 3 tabung reaksi, lalu ke dalamnya dimasukkan 0,5 ml filtrat. Pada masing-masing tabung reaksi :

a. Ditambahkan 2 tetes pereaksi Mayer b. Ditambahkan 2 tetes pereaksi Bouchardat c. Ditambahkan 2 tetes pereaksi Dragendorff

Alkaloid positif jika terjadi endapan atau kekeruhan pada dua dari tiga percobaan diatas (Depkes, RI., 1995).

3.6.2Pemeriksaan Flavonoida

(30)

3.6.3Pemeriksaan Tanin

Sebanyak 0,5 g ekstrak ditimbang, disari dengan 10 ml air suling lalu disaring, filtratnya diencerkan dengan air sampai tidak berwarna. Larutan diambil sebanyak 2 ml dan ditambahkan 1-2 tetes pereaksi besi (III) klorida 1%. Jika terjadi warna biru atau hijau kehitaman menunjukkan adanya tanin (Depkes, RI., 1995).

3.6.4Pemeriksaan Glikosida

Sebanyak 3 g ekstrak disari dengan 30 ml campuran etanol 96% dengan air (7:3) direfluks selama 10 menit, didinginkan dan disaring. Kemudian diambil 20 ml filtrat ditambahkan 25 ml air suling dan 25 ml timbal (II) asetat 0,4 M, dikocok, didiamkan selama 5 menit lalu disaring. Filtrat disari dengan 20 ml campuran kloroform dan isopropanol (3:2), dilakukan berulang sebanyak 3 kali. Kumpulan sari air diuapkan pada suhu tidak lebih dari 500C. Sisanya dilarutkan dalam 2 ml metanol. Larutan sisa digunakan untuk percobaan: sebanyak 0,1 ml larutan percobaan dimasukkan dalam tabung reaksi dan diuapkan diatas penangas air. Pada sisa ditambahkan 2 ml air dan 5 tetes pereaksi Molish. Kemudian secara perlahan-lahan ditambahkan 2 ml asam sulfat pekat melalui dinding tabung, terbentuk cincin warna ungu pada batas kedua cairan, menunjukkan adanya ikatan gula (Depkes, RI., 1995).

3.6.5Pemeriksaan Saponin

(31)

dari 10 menit dan buih tidak hilang dengan penambahan 1 tetes asam klorida 2 N menunjukkan adanya saponin (Depkes, RI.,1995).

3.6.6Pemeriksaan Steroida/Triterpenoida

Ekstrak ditimbang sebanyak 1 g, dimaserasi dengan 20 ml nheksan selama 2 jam, disaring. Filtrat diuapkan dalam cawan penguap dan pada sisanya ditambahkan pereaksi Liebermann-Burchard melalui dinding cawan. Apabila terbentuk warna ungu atau merah yang berubah menjadi biru ungu atau biru hijau menunjukkan adanya triterpenoid/steroid (Harborne, 1987).

3.7Karakterisasi Simplisia dan Ekstrak

Karakterisasi simplisia meliputi pemeriksaan organoleptik dan mikroskopik, penetapan kadar air, penetapan kadar abu total, penetapan kadar abu tidak larut asam, penetapan kadar sari larut air, dan penetapan kadar sari larut etanol.

3.7.1Pemeriksaan organoleptik

Pemeriksaan organoleptik dilakukan dengan cara mengamati warna, bentuk, ukuran, dan tekstur dari simplisia.

3.7.2 Pemeriksaan mikroskopik

Serbuk simplisia ditaburkan di atas kaca objek yang telah diteteskan dengan larutan kloralhidrat dan ditutup dengan kaca penutup kemudian diamati di bawah mikroskop.

3.7.3 Penetapan kadar air

(32)

jam. Destilasi dihentikan dan dibiarkan dingin selama 30 menit, kemudian volume air dalam tabung penerima dibaca dengan ketelitian 0,05 ml. Kemudian ke dalam labu yang berisi toluen jenuh tersebut dimasukkan 5 g serbuk simplisia yang telah ditimbang seksama, dipanaskan hati-hati selama 15 menit. Setelah toluena mendidih, kecepatan tetesan diatur lebih kurang 2 tetes tiap detik hingga sebagian besar air terdestilasi. Kecepatan destilasi dinaikkan sampai 4 tetes tiap detik. Setelah semua air terdestilasi, bagian dalam pendingin dibilas dengan toluena. Destilasi dilanjutkan selama 5 menit, kemudian tabung penerima dibiarkan mendingin pada suhu kamar. Setelah air dan toluena memisah sempurna, volume air dibaca dengan ketelitian 0,05 ml. Selisih kedua volume air yang dibaca sesuai dengan kandungan air yang terdapat dalam bahan yang diperiksa. Kadar air dihitung dalam persen (WHO, 1998).

3.7.4 Penetapan kadar sari larut dalam air

Sebanyak 5 g serbuk simplisia dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml air-kloroform (2,5 mL air-kloroform dalam air suling sampai 1 liter) dalam labu bersumbat sambil dikocok sesekali selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam, lalu disaring. Sejumlah 20 ml filtrat pertama diuapkan sampai kering dalam cawan penguap yang telah ditara dan sisa dipanaskan pada suhu 1050 C sampai bobot tetap. Kadar sari yang larut dalam air dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Ditjen POM, 1995).

3.7.5 Penetapan kadar sari larut dalam etanol

(33)

Sejumlah 20 ml filtrat pertama diuapkan sampai kering dalam cawan penguap yang berdasar rata yang telah dipanaskan dan ditara . Sisa dipanaskan pada suhu 105̊C sampai bobot tetap. Kadar sari yang larut dalam air dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Ditjen POM, 1995).

3.7.6 Penetapan kadar abu total

Sebanyak 2 g serbuk simplisia dimasukkan ke dalam krus porselin yang telah dipijar dan ditara, kemudian diratakan. Krus dipijar perlahan-lahan sampai arang habis. Jika arang masih tidak dapat dihilangkan, ditambahkan air panas, lalu saring melalui kertas saring bebas abu. Sisa dan kertas saring di pijarkan dalam krus yang sama. Filtrat dimasukkan ke dalam krus, diuapkan, dipijarkan hingga bobot tetap lalu ditimbang. Kadar abu dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Ditjen POM, 1995).

3.7.7 Penetapan kadar abu tidak larut dalam asam

Abu yang diperoleh dalam penetapan kadar abu dididihkan dalam 25 ml asam klorida encer selama 5 menit. Bagian yang tidak larut dalam asam dikumpulkan, disaring melalui kertas saring bekas abu, dicuci dengan air panas, dan dipijarkan. Setelah didinginkan, massa ditimbang sampai bobot tetap. Kadar abu yang tidak larut dalam asam dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Ditjen POM, 1995).

3.8 Pemisahan ENHDPT dengan Kromatografi Lapis Tipis

(34)

perbandingan 100:0, 90:10, 80:20, 70:30, 60:40, 50:50, sebagai penampak bercak digunakan pereaksi Liebermann-Burchard.

Cara kerja:

Ekstrak dilarutkan dalam n-heksan, ditotolkan pada plat tipis, kemudian dimasukkan ke dalam chamber yang telah jenuh dengan uap fase gerak, lalu setelah pengembangan selesai, plat dikeluarkan dan dikeringkan, kemudian plat disemprot dengan penampak bercakLiebermann-Burchard dan dipanaskan di oven pada suhu 1100C selama 10 menit (Gritter dkk, 1991). Amati warna yang terbentuk dan dihitung harga Rf pada semua bercak. Fase gerak yang menghasilkan noda (bercak) paling banyak adalah fase gerak yang terbaik.

3.9 Uji Aktivitas Antelmintik Ekstrak n-Heksan Daun Pugun Tanoh

3.9.1 Penyiapan sampel uji

Konsentrasi ekstrak n-heksan 5 mg/ml, 10 mg/ml, 20 mg/ml, dan 30 mg/ml dimasukkan ke dalam lumpang, kemudian ditambahkan larutan 1% Tween 80 ke dalam lumpang, kemudian ditambahkan 20 ml larutan NaCl 0,9% lalu digerus hingga terbentuk suspensi yang merata. Suspensi dipindahkan ke dalam labu erlenmeyer yang sudah ditara. Suspensi albendazole dengan konsentrasi 20 mg/ml disiapkan dengan menambahkan larutan 1% tween 80 kemudian ditambahkan NaCl 0,9% kemudian digerus hingga terbentuk suspensi yang merata. Suspensi dipindahkan ke dalam labu erlenmeyer yang sudah ditara.

3.9.2 Uji aktivitas antelmintik

(35)

masing-masing terdiri dari 3 ekor cacing P. posthuma perlakuan uji aktivitas antelmintik ekstrak n-heksan daun pugun tanoh dapat dilihat pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1. Perlakuan uji antelmintik ekstrak n-heksan daun pugun tanoh

Kelompok Perlakuan

I Pemaparan dalam 20 ml larutan NaCl 0,9% II Pemaparan dalam 20 ml larutan 1% tween 80

III Pemaparan dalam 20 ml larutan albendazole 20 mg/ml IV Pemaparan dalam 20 ml larutan ENHDPT 5 mg/ml

V Pemaparan dalam 20 ml larutan ENHDPT10 mg/ml VI Pemaparan dalam 20 ml larutan ENHDPT 20 mg/ml VII Pemaparan dalam 20 ml larutan ENHDPT 30 mg/ml Keterangan : ENHDPT = Ekstrak n-Heksan Daun Pugun Tanoh

Seluruh perlakuan dilakukan dalam cawan petri. Aktivitas antelmintik ekstrak n-heksan daun pugun tanoh ditentukan berdasarkan waktu paralisis dan waktu kematian. Waktu paralisis dinyatakan apabila cacing tidak bergerak kecuali jika disentuh atau dipindahkan kedalam cawan petri kemudian ditetesi dengan air panas. Waktu kematian ditentukan apabila cacing tidak bergerak meskipun dipindahkan kedalam cawan petri lalu diberikan air panas dan terjadi perubahan warna tubuh cacing.

3.10 Analisis Statistika

(36)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Identifikasi Tumbuhan

Hasil Identifikasi tumbuhan yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menunjukkan bahwa tumbuhan yang digunakan adalah pugun tanoh (Curanga fel-terrae (Lour.) Merr.) pada Lampiran 1. Hasil pemeriksaan organoleptik menunjukkan bahwa daun pugun tanoh berwarna hijau muda pada bagian permukaan bawah daun dan berwarna hijau tua pada permukaan atas daun, bentuk daun berbentuk bulat telur dan bergerigi di ujungnya (Lampiran 6).

4.2 Identifikasi Hewan

(37)

4.3 Skrining Fitokimia

Skrining fitokimia simplisia dan ekstrak meliputi pemeriksaan alkaloid, flavonoid, tanin, glikosida, saponin, dan steroid/triterpenoid. Hasil pemeriksaan dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Kandungan metabolit sekunder simplisia dan ekstrak n-heksana daun

pugun tanoh

No. Golongan metabolit sekunder Simplisia Ekstrak n-Heksan

1 Alkaloid - -

Tabel 4.1. menunjukkan bahwa simplisia daun pugun tanoh mengandung flavonoid, tanin, glikosida, saponin, dan steroid/triterpenoid. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Patilaya dan Husori (2015), Satria (2015), dan Ramadhani (2014). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ENHDPT mengandung steroid. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Satria (2015).

4.4 Karakteristik Simplisia

Karakteristik simplisia daun pugun tanoh ditentukan berdasarkan pemeriksaan organoleptik, mikroskopik, angka rendemen, kadar air, kadar sari larut air, kadar sari larut etanol, kadar abu total, dan kadar abu tidak larut asam.

(38)

kalsium oksalat bentuk prisma serta stomata dengan dua tipe yaitu tipe diasitik dan tipe anomositik.

Hasil pemeriksaan rendemen, kadar air, kadar sari larut air, kadar sari larut etanol, kadar abu total dan kadar abu tidak larut asam simplisia daun pugun tanoh disajikan pada Tabel 4.2. Perhitungan karakteristik simplisia dapat dilihat pada Lampiran 4.

Tabel 4.2 Rendemen, kadar air, kadar sari larut air, kadar sari larut etanol, kadar

abu total dan kadar abu tidak larut asam simplisia daun pugun tanoh

No Karakterisasi simplisia Persentase (%)

1 Rendemen 24,49

Berdasarkan Tabel 4.2 menunjukkan bahwa kadar air simplisia daun pugun tanoh yang diperoleh adalah 3,95% telah memenuhi standarisasi kadar air simplisia secara umum yaitu tidak lebih dari 10% (Ditjen POM, 1995). Menurut penelitian Patilaya dan Husori (2015), rendemen simplisia daun pugun tanoh adalah 25,53%. Menurut penelitian Ramadhani (2014) kadar air simplisia daun pugun tanoh adalah 5,76% sedangkan menurut Satria (2015) adalah 4,32%.

Kadar sari yang larut dalam air simplisia daun pugun tanoh pada penelitian ini adalah 20,20% (Tabel 4.2). Menurut penelitian Ramadhani (2014) kadar sari yang larut dalam air simplisia daun pugun tanoh adalah 16,36%, sedangkan menurut Satria (2015) adalah 20,24%.

(39)

Ramadhani (2014) dan Satria (2015) kadar sari yang larut dalam etanol daun pugun tanoh masing-masing adalah 13,65% dan 24,76%.

Kadar abu total simplisia daun pugun tanoh pada penelitian ini seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4.2 adalah 8,58%. Menurut penelitian Ramadhani (2014) kadar abu total simplisia daun pugun tanoh adalah 8,56%, sedangkan menurut Satria (2015) adalah 0,96%.

Berdasarkan pada Tabel 4.2 kadar abu tidak larut asam simplisia daun pugun tanoh yang diperolehadalah 0,96%. Menurut penelitian Ramadhani (2014) dan Satria (2015) kadar abu tidak larut asam daun pugun tanoh masing-masing adalah 1,00 % dan 0,42%.

4.5 Karakteristik Ekstrak

Karakteristik ENHDPT ditentukan berdasarkan sifat organoleptik, angka rendemen, kadar air, kadar abu total, dan kadar abu tidak larut asam.

Ekstrak n-heksan daun pugun tanoh berupa ekstrak kental berwarna hijau tua yang sesuai dengan warna daun pugun tanoh, berasa pahit, dan berbau tajam.

Hasil pemeriksaan rendemen, kadar air, kadar abu total dan kadar abu tidak larut asam ekstrak n-heksan daun pugun tanoh dapat dilihat pada Tabel 4.3. Perhitungan karakteristik ekstrak dapat dilihat pada Lampiran 4.

Tabel 4.3 Kadar air, kadar sari larut air, kadar sari larut etanol, kadar abu total dan

kadar abu tidak larut asam ekstrak n-heksan daun pugun tanoh

No Karakterisasi ekstrak Persentase (%)

1 Rendemen 1,83

2 Kadar Air 2,47

3 Kadar abu total 0,64

(40)

Dalam penelitian ini kadar air ekstrak n-heksan daun pugun tanoh yang diperoleh adalah 2,47% telah memenuhi standarisasi kadar air ekstrak secara umum yaitu tidak lebih dari 10% (Ditjen POM, 1995). Menurut penelitian Satria (2015) kadar air ekstrak etil asetat daun pugun tanoh adalah 2,48% .

Hasil penetapan kadar abu total dari ekstrak n-heksan adalah 0,64%. Menurut penelitian Satria (2015) kadar abu total ekstrak n-heksan daun pugun tanoh adalah 0,21%.

Kadar abu tidak larut asam dari ekstrak n-heksan yang diperoleh adalah 0,04%. Menurut penelitian Satria (2015) kadar abu tidak larut asam ekstrak n-heksan daun pugun tanoh adalah 0,07%.

4.6 Profil Kromatografi Lapis Tipis ENHDPT

Pemisahan ENHDPT dilakukan untuk memisahkan senyawa metabolit sekunder yang ada pada ENHDPT. Hal ini bertujuan untuk membuktikan adanya senyawa steroid pada ekstrak tersebut.

Berdasarkan uji yang dilakukan, fase gerak yang paling baik adalah n-heksan:etil asetat (70:30) karena menghasilkan pemisahan noda yang paling baik. Profil KLT dengan fase gerak n-heksan:etilasetat (70:30) pada Gambar 4.1.

Gambar 4.1. Profil KLT ENHDPT

Keterangan: bp (batas penotolan), tp (titik penotolan). bp

(41)

4.7 Uji Aktivitas Antelmintik Ekstrakn-Heksan Daun Pugun tanoh

Aktivitas antelmintik ekstrak n-heksan daun pugun tanoh ditentukan berdasarkan waktu paralisis dan waktu kematian. Efek ekstrak n-heksan daun pugun tanoh terhadap waktu paralisis dan kematian Pheretima posthuma disajikan pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4 Aktivitas antelmintik ekstrak n-heksan daun pugun tanoh (n=3)

Sampel Waktu Paralisis

(menit)

Keterangan : ENHDPT = Ekstrak n-Heksan Daun Pugun Tanoh

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ekstrak n-heksan daun pugun tanoh memiliki aktivitas antelmintik pada seluruh dosis pengujian. Analisis statistika dengan uji Anava dan Tukey menunjukkan bahwa aktivitas ENHDPT konsentrasi 30 mg/ml serta albendazol 20 mg/ml terhadap waktu paralisis tidak berbeda secara signifikan. Efek paralisis di pengaruhi oleh dosis dimana semakin tinggi dosis maka waktu paralisis semakin cepat. Kemampuan ENHDPT pada konsentrasi 30 mg/ml terhadap paralisis cacing lebih kuat dibandingkan dengan konsentrasi 20 mg/ml, 10 mg/ml, 5 mg/ml, dan albendazole 20 mg/ml.

(42)
(43)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa:

a. Hasil karakterisasi simplisia daun pugun tanoh kadar air 3,95%, kadar sari yang larut air 20,20%, kadar sari yang larut etanol 21,15%, kadar abu total 8,58%, dan kadar abu tidak larut asam 0,96% sedangkan hasil karakterisasi ekstrak n-heksan daun pugun tanoh kadar air 2,47%, kadar abu total 0,64%, dan kadar abu tidak larut asam 0,04%.

b. Ekstrak n-heksan daun pugun tanoh memiliki aktivitas antelmintik terhadap cacing Pheretima posthuma.

5.2 Saran

(44)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Epidemiologi Kecacingan

Infeksi cacing merupakan permasalahan kesehatan dunia.Badan Kesehatan Dunia memperkirakan lebih dari 1,5 miliar (24%) dari penduduk dunia terinfeksi cacing

parasit dengan jumlah terbesar di wilayah Afrika, Amerika, Cina, dan Asia Tenggara.

Kecacingan sering terjadi pada anak-anak, diperkirakan sekitar 270 juta anak usia balita dan 600 juta anak usia sekolah beresiko tinggi terinfeksi parasit cacing di seluruh dunia (WHO., 2015). Di Indonesia, angka kecacingan mencapai 28% (Kemenkes., 2015) dan diperkirakan lebih dari 60% anak-anak terinfeksi cacing parasit

(Tjay dan Rahardja, 2002).Infeksi cacing umumnya terjadi di negara-negara berkembang, dimana keadaan hidup dan pelayanan kesehatan masih kurang baik dan higienitas masih belum memadai(Rahardja dan Tan, 2010).Kecacingan mempengaruhi pemasukan (intake), pencernaan (digestive), penyerapan (absorption), dan metabolisme makanan. Secara kumulatif infeksi cacing dapat menimbulkan kurangnya gizi berupa kalori dan protein, serta kehilangan darah yang berakibat menurunnya daya tahan tubuh dan menimbulkan gangguan tumbuh kembang (Samudar, dkk., 2013).

2.2 Penyebab Kecacingan

(45)

Trematoda mempunyai bentuk tubuh yang tidak bersegmen, pipih mirip daun. Cacing dewasa mempunyai alat isap mulut (oral sucker) yang terdapat di kepala, dan alat isap ventral yang terdapat di bagian perut. Trematoda pada umumnya bersifat hermaprodit. Trematoda memiliki alat pencernaan yang belum sempurna dan tidak memiliki rongga tubuh. Ciri khas trematoda adalah adanya sistem ekskresi (flame cell) yang berbentuk khas pada setiap spesies (Soedarto, 2008).

Cacing cestoda mempunyai bentuk seperti pita, pipih ke arah dorsoventral, dan mempunyai banyak ruas (segmen).Cestoda memiliki alat pencernaan yang belum sempurna dan tidak memiliki rongga tubuh. Kepala cacing cestoda mempunyai alat isap untuk menempel yang dilengkapi kait untuk menempel pada organ manusia atau hewan yang menjadi hospes tempatnya hidup (Soedarto, 2008).

Filum nematoda (roundworm) mempunyai bentuk tubuh bulat memanjang, silindris, tidak bersegmen, dan bilateral simetris. Cacing ini memiliki rongga tubuh dan tubuhnya tertutup oleh kutikulum. Alat pencernaannya sudah lengkap, tetapi sistem syaraf dan ekskresinya belum sempurna. Nematoda adalah cacing yang uniseksual dengan alat reproduksi jantan dan betina yang terpisah (Soedarto, 2008).

(46)

mengalamikekurangan darah, misalnya disebabkan oleh cacing tambang, pita, dan cambuk (Tjay dan Rahardja, 2002).

2.2.1 Infeksi Nematoda

Menurut Anand dan Sharma (1997) infeksi nematoda (roundworm) yang sering terjadi adalah askariasis, infeksi cacing tambang, trikuriasis, strongyloidiasis, dan filariasis.

2.2.1.1 Askariasis

Penyakit ini disebabkan Ascaris lumbricoides, yaitu cacing yang hidup di lumen usus halus manusia dengan panjang 10-15 cm. Cacing betina mengeluarkan telur dalam jumlah sangat banyak, sampai 200.000 telur dalam sehari yang dikeluarkan dalam tinja (Tjay dan Rahardja, 2002). Infeksi terjadi karena konsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh telur Ascaris. Gejala penyakit cacing gelang yaitu adanya rasa tidak enak pada perut (gangguan lambung), kejang perut, diselingi diare, kehilangan berat badan, dan demam (Irianto, 2013).Rendahnya tingkat sanitasi dan kurangnya kebersihan personal merupakan penyebab utama menyebarnya penyakit ini. Oleh karena itu, penyakit ini umum terjadi pada orang yang tinggal di daerah kumuh yang padat penduduk (Anand dan Sharma, 1997).

(47)

esofagus, dan memblok saluran pencernaan yang dapat menyebabkan kolik (Anand dan Sharma, 1997).

2.2.1.2 Infeksi cacing tambang

Infeksi cacing tambang disebabkan oleh nematoda penghisap darah, Ancylostoma duodenale, A. ceylanicum, dan Necator americanus pada saluran

cerna manusia.Cacing ini disebut cacing tambang atau cacing terowongan karena terdapat di daerah tambang dan terowongan di gunung.

Infeksi ini umum terjadi pada petani yang bekerja dengan bertelanjang kaki di lahan yang diberi pupuk kandang. Infeksi terjadi melalui larva infektif yang berpenetrasi menembus kulit dan memasuki sirkulasi darah. Larva ini akan tumbuh menjadi cacing dewasa dan memperoleh makanan dengan mengisap darah inangnya melalui vili saluran pencernaan (Anand dan Sharma, 1997).

Gejala utama infeksi ini adalah anemia hipokromik yang disebabkan kehilangan darah dalam jumlah besar.Hal ini menyebabkan perasaan lemas, lunglai, anoreksia, dan menurunnya daya tahan tubuh. Infeksi cacing tambang juga menyebabkan gangguan dan rasa sakit pada saluran pencernaan. Anak-anak dengan infeksi berat menunjukkan pertumbuhan mental dan fisik yang buruk (Anand dan Sharma, 1997).

2.2.1.3 Trikuriasis

(48)

infeksi berat Trichuris dapat menyebabkan anemia, eosinofilia, sakit perut, diare, kotoran berlendir, dan prolaps rektum (Anand dan Sharma, 1997).

2.2.1.4 Strongiloidiasis

Cacing tambangStrongyloides stercoralis juga menginfeksi manusia dengan menembus kulit dalam bentuk larva filariform. Cacing ini memiliki tubuh yang tipis seperti benang, sehingga disebut cacing benang. Cacing ini hidup di mukosa intestinal manusia (Anand dan Sharma, 1997).

Pergerakan cacing dewasa dan larvanya menyebabkan perubahan patologis seperti inflamasi sel, reaksi alergi, dan eosinofilia. Gejala klinis penyakit ini adalah diare, sakit perut, dan gangguan pencernaan. Infeksi berat dapat menyebabkan malabsorpsi, flatulens, dan distensi abdominal (Anand dan Sharma, 1997).

2.2.1.5 Filariasis

Filariasis merupakan penyakit yang sering terjadi di daerah tropis. Penyebab utama penyakit ini adalah cacing Wucherecia bancrofti, Brugia malayi, Onchocerca volvulus, Loa loa, Dipetalonema perstans, D. streptocerca, dan

Mansonella ozzardi. Nyamuk dan lalat merupakan inang perantara dalam siklus

hidup cacing ini. Infeksi pada manusia terjadi ketika nyamuk menghisap darah manusia. Setelah mencapai sirkulasi darah, larva infektif akan berkembang menjadi cacing dewasa yang hidup di nodus limfe, pembuluh limfe, jaringan penghubung dan organ tubuh lainnya (Anand dan Sharma, 1997).

(49)

(elephanthiasis), lengan, skrotum, dan dada. Terkadang cacing dewasa dapat bermigrasi ke bola mata dan menyebabkan kebutaan dan gangguan syaraf (Anand dan Sharma, 1997).

2.2.2 Infeksi Trematoda

Infeksi trematoda yang sering terjadi diantaranya adalah schistosomiasis dan fasciolopsiasis (Anand dan Sharma, 1997).

2.2.2.1 Schistosomiasis

Schistosomiasis adalah penyakit kecacingan pada manusia yang disebabkan oleh invasi 4 spesies trematoda darah, yaitu Schistosoma haematobium, S. mansoni, S. japonicum, dan S. intercalatum. Cacing dewasa

memiliki alat reproduksi yang terpisah (Anand dan Sharma, 1997).

Cacing dewasa Schistosoma hematobium menyebabkan schistosomiasis saluran kemih (bilharziasis).S. hematobium hidup di pembuluh darah pelvis dan terkadang di pembuluh darah kolon dan rektum. Cacing ini mengeluarkan telur bersama urin dari hospesnya, namun jarang melalui feses. Schistosoma lainnya (S.mansoni, S. japonicum, dan S. intercalatum) mengakibatkan bilharziasis internal dan hidup di peredaran darah, vena mesentrik, dan plexus hemoroid. Ketiga trematoda darah ini umumnya mengeluarkan telur bersama feses hospesnya, dan jarang melalui urin (Anand dan Sharma, 1997).

(50)

danau, kolam, kanal, dan aliran air yang terkontaminasi oleh larva. Larva akan masuk ke dalam aliran darah dengan berpenetrasi menembus kulit (Anand dan Sharma, 1997).

2.2.2.2 Fasciolopsiasis

Beberapa cacing trematoda menginfeksi saluran cerna manusia dan hewan, sehingga disebut trematoda saluran pencernaan. Contohnya adalah Fasciolopsis buski, Heterophyses heterophyses, dan Metagonimus yokogawi. Infeksi terjadi

melalui konsumsi buah atau tanaman air yang terkontaminasi larva cacing. Hospes perantara cacing ini adalah siput. Manifestasi klinis penyakit ini adalah sakit perut, diare, mual, muntah, dan anoreksia. Terkadang terjadi pembengkakan di wajah pada anak-anak (Anand dan Sharma, 1997).

2.2.3 Infeksi Cestoda

Menurut Tjahyanto dan Salim (2013), infeksi cestoda yang sering dijumpai adalah:

2.2.3.1 Ekinokokkosis

Penyakit ini juga disebut sebagai penyakit hidatid yang disebabkan oleh Echinococcus granulosis (cacing pita anjing). Infeksi menyebabkan kista hidatid

(51)

2.2.3.2 Taeniasis

Bentuk penyakit ini disebabkan oleh Taenia solium dewasa (cacing pita babi). Usus merupakan lokasi infeksi utama, organisme dapat menyebabkan diare. Walaupun demikian, sebagian besar infeksi ini bersifat tidak bergejala. Penyakit ini ditularkan melalui larva dalam daging babi yang kurang matang atau melalui penelanan telur cacing pita. Taeniasis didiagnosa melalui deteksi proglotid di dalam feses (Tjahyanto dan Salim, 2013).

Penyakit ini juga disebabkan oleh larva dari Taenia saginata (cacing pita sapi). Organisme ini terutama menginfeksi usus. Penyakit ini ditularkan oleh larva dalam daging sapi yang kurang matang atau mentah. Taeniasis didiagnosa melalui deteksi proglotid dalam feses (Tjahyanto dan Salim, 2013).

Taenia sukar sekali dibasmi karena kepalanya (scolex) yang relatif kecil dibenamkan ke dalam selaput lendir usus hingga tidak bersentuhan dengan obat. Bagian cacing yang bersentuhan dengan obat telah dimatikan dan kemudian scolex dilepaskan dan terbentuk kembali menjadi segmen-segmen baru (Tjay dan

Rahardja, 2002).

2.2.3.3 Sistiserkosis

Penyakit ini disebabkan oleh larva Taenia solium. Infeksi menghasilkan sitiserki dalam otak (menimbulkan kejang, sakit kepala, dan muntah) dan di mata. Penyakit ini terjadi sesudah penelanan telur dari feses manusia. Sistiserkosis didiagnosa melalui CT-scan atau biopsi (Tjahyanto dan Salim, 2013).

2.2.3.4 Difilobotriasis

(52)

ditularkan oleh larva dalam ikan yang mentah atau kurang matang. Difilobotriasis didiagnosa melalui deteksi telur yang khas di dalam feses (Tjahyanto dan Salim, 2013).

2.3 Pengobatan Kecacingan

Antelmintik atau obat cacing adalah obat yang digunakan untuk memberantas atau mengurangi cacing dalam lumen usus atau jaringan tubuh.Kebanyakan obat cacing diberikan secara oral, pada saat makan atau sesudah makan. Beberapa obat cacing perlu diberikan bersama pencahar. Obat cacing baru umumnya lebih aman dan efektif dibanding dengan yang lama, efektif untuk beberapa macam cacing, rasanya tidak mengganggu, pemberiannya tidak memerlukan pencahar dan beberapa dapat diberikan sebagai dosis tunggal (Syarif dan Elysabeth, 2011).

Menurut Holden-Dye dan Walker (2007), antelmintik dibagi menjadi 6 golongan berdasarkan struktur kimia dan mekanisme kerjanya yaitu:

2.3.1 Golongan piperazin

(53)

2.3.2 Golongan benzimidazol

Benzimidazol merupakan antelmintik berspektrum luas dengan mekanisme kerja menghambat pembentukan sitoskeleton dengan berinteraksi secara selektif dengan ß-tubulin. Derivat benzimidazol adalah tiabendazol, mebendazol, dan albendazol (Syarif dan Elysabeth, 2011).

2.3.2.1 Tiabendazol

Merupakan antelmintik derivat benzimidazol berspektrum luas dan efektif untuk mengobati infestasi berbagai nematoda pada manusia. Tiabendazol mempunyai daya antelmintik yang luas, efektivitasnya tinggi terhadap strongiloidiasis, askariasis, dan larva migrans kulit; berguna untuk mengobati trikuriasis dan trikinosis akut. Cara kerjanya sama dengan derivat benzimidazol lainnya, misalnya dengan menghambat enzim fumarat reduktase cacing (Syarif dan Elysabeth, 2011).

2.3.2.2 Mebendazol

Mebendazol efektif untuk mengobati infeksi cacing gelang, cacing kremi, cacing tambang, dan T. trichiura, sehingga efektif untuk mengobati infestasi campuran cacing-cacing tersebut. Mebendazol bekerja dengan menyebabkan kerusakan struktur subselular dan menghambat sekresi asetilkolinesterase cacing. Obat ini juga menghambat ambilan glukosa secara ireversibel sehingga terjadi pengosongan (deplesi) glikogen pada cacing (Syarif dan Elysabeth, 2011).

2.3.2.3 Albendazol

(54)

berikatan dengan ß-tubulin parasit sehingga menghambat polimerisasi mikrotubulus dan memblok pengambilan glukosa oleh larva maupun cacing dewasa, sehingga persediaan glukosa menurun dan pembentukan ATP berkurang dan menyebabkan kematian cacing. Obat ini dapat membunuh larva N.americanus dan juga dapat merusak telur cacing gelang, tambang, dan trikuris (Syarif dan Elysabeth, 2011).

2.3.3 Golongan agonis reseptor nikotinik

Obat yang termasuk dalam golongan ini adalah pirantel pamoat dan morantel.

2.3.3.1 Pirantel pamoat

Pirantel pamoat terutama digunakan untuk memberantas cacing gelang, cacing kremi, dan cacing tambang. Pirantel pamoat dan analognya menimbulkan depolarisasi pada otot cacing dan meningkatkan frekuensi impuls, sehingga cacing mati dalam keadaan spastis (Syarif dan Elysabeth, 2011).

2.3.3.2 Morantel

Morantel adalah antelmintik tetrahidro pirimidin yang berguna untuk mengatasi infeksi cacing gelang dan cacing pita (Syarif dan Elysabeth, 2011).

2.3.4 Golongan spiroindol

(55)

2.3.5 Golongan lakton makrosiklik

Antelmintik yang termasuk golongan ini adalah avermektin dan ivermektin.

2.3.5.1 Avermektin

Avermektin dihasilkan lewat proses fermentasi dari Streptomyces avermitilis. Obat ini efektif terhadap infeksi onchocersiasis dan strongiloidiasis.

Cara kerjanya yaitu memperkuat peranan GABA pada proses transmisi di saraf tepi sehingga cacing mati dalam keadaan paralisis (Syarif dan Elysabeth, 2011).

2.3.5.2 Ivermektin

Ivermektin adalah antelmintik semisintesis dari avermektin yang lebih efektif dan aman dibanding senyawa induknya (Holden-Dye dan Walker, 2007).

2.3.6 Golongan emodepsid

Merupakan hasil fermentasi dari jamur Mycelia sterilia. Menyebabkan paralisis otot dengan mengganggu pertukaran ion kalsium dan kalium pada otot cacing (Holden-Dye dan Walker, 2007).

2.4 Tumbuhan Sebagai Sumber Antelmintik

(56)

Euphorbiaceae, Fabaceae, Lythraceae, Moraceae, Myrisnaceae, Polygonaceae,

Rutaceae, Zingiberaceae, Apiaceae, dan Schropulariaceaemampu membunuh

cacing parasit penyebab infeksi pada manusia (Padal, et al., 2014; Wink, 2012). Salah satu tumbuhan yang berkhasiat antelmintik adalah pugun tanoh [Curanga fel-terrae (Lour.) Merr.] yang merupakan famili Scrophulariaceae(Patilaya dan

Husori,2015). Studi invitro menunjukkan bahwa spesies tumbuhan dari famili Schropulariaceae mampu membunuh cacing parasit penyebab infeksi (Padal, et

al., 2014).

2.5 Uraian Tumbuhan

Uraian tumbuhan meliputi morfologi tumbuhan, sistematika tumbuhan, sinonim, nama asing, nama daerah, khasiat dan kandungan senyawa kimia.

2.5.1 Morfologi tumbuhan

(57)

2.5.2 Sistematika tumbuhan

Sistematika tumbuhan puguh tanoh menurut Tjitrosoepomo (2001), adalah sebagai berikut:

Subdivisi : Angiospermae

Bangsa

Suku

Marga : Curanga

Spesies : Curanga fel-terrae

2.5.3 Sinonim

Sinonim dari pugun tanoh adalah Curanga amara Vahl., Curanga amara Juss.,CuraniaamaraR&S., Gratiola amara Roxb.,Picria fel-terrae Lour., dan Torenia cardiosepala Benth.

2.5.4 Nama asing

Nama asing dari tumbuhan ini adalah beremi, gelumak susu, empedu tanah, rumput kerak nasi (Malaysia), sagai-uak (Filipina), ku xuan shen, kum ta tjao (Cina), longritong (india) (Quattrocchi, 2012), kong saden (Laos), dan thanh

(Vietnam) (Globinmed, 2015).

2.5.5 Nama daerah

(58)

raindang, parang rintek (Minahasa), ai laun ujin (Ambon), dan papaita (Ternate) (Heyne, 1987).

2.5.6 Kandungan kimia tumbuhan

Daun pugun tanoh mengandung flavonoid, glikosida, saponin, tanin, steroid, triterpenoid (Patilaya dan Husori, 2015), ß-sitosterol (Sitorus, dkk., 2014), apigenin (Huang et al., 2011), dan curangin (Heyne,1987).

2.5.7 Khasiat tumbuhan

Di Maluku dan Filipina, tanaman ini dianggap sebagai obat cacing untuk anak-anak, untuk mengobati kolik (mulas mendadak) dan malaria. Di Indonesia, tapel daun dapat menyembuhkan gatal-gatal dan penyakit kulit lainnya. Infusa dari daun bersama dengan daun kaki kuda digunakan untuk mengatasi batuk dan rasa sesak di dada. Maserasi daun dengan alkohol dianggap sebagai tonik (untuk menguatkan badan dan meningkatkan nafsu makan)(Prohati, 2015). Pugun tanoh juga memiliki efek diuretik (Dalimunthe, 2015), antikanker (Satria, 2015), antidiabetes (Sitorus, 2014), menyembuhkan luka bakar (Ramadhani, 2014), dan antiasma (Harahap, 2013).

2.6 Simplisia

(59)

2.7 Ekstraksi

Ekstrak adalah sediaan kering, kental, atau cair dibuat dengan menyari simplisia hewani atau nabati menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan serbuk atau massa yang tersisa diperlakukan sedemikian sehingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Ditjen, POM., 2000).

2.7.1 Metode ekstraksi

Ekstraksi dengan menggunakan pelarut terdiri dari 2 cara yaitu:

2.7.1.1 Metode dingin

Ekstraksi dengan metode dingin terdiri dari 2 metode yaitu maserasi dan perkolasi (Ditjen, POM., 2000).

a. Maserasi

Maserasi adalah proses pengeekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan. Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi kinetik berarti pengadukan yang kontinu (terus-menerus). Remaserasi berarti berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama, dan seterusnya (Ditjen, POM., 2000).

b. Perkolasi

(60)

sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan (Ditjen, POM., 2000).

2.7.1.2 Metode panas

Ekstraksi dengan metode panas terdiri dari 5 metode yaitu refluks, soxhlet, digesti, infundasi, dan dekoktasi (Ditjen, POM., 2000).

a. Refluks

Refluks adalah proses penyarian simplisia pada temperatur titik didihnyamenggunakan alat dengan pendingin balik dalam waktu tertentu dimana pelarut akan terkondensasi menuju pendingin dan kembali ke labu.

b. Sokletasi

Sokletasi adalah proses penyarian menggunakan pelarut yang selalu baru, dilakukan dengan menggunakan alat khusus (soklet) dimana pelarut akan terkondensasi dari labu menuju pendingin, kemudian jatuh membasahi sampel.

c. Digesti

Digesti adalah proses penyarian dengan pengadukan kontinu pada temperatur lebih tinggi dari temperatur kamar, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50°C.

d. Infundasi

Infundasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada temperatur 90°C selama 15 menit.

e. Dekoktasi

(61)

2.8 Karakterisasi Simplisia dan Ekstrak

2.8.1 Organoleptik

Pemeriksaan organoleptik bertujuan untuk pengenalan awal simplisia dan ekstrak yang sesederhana dan seobyektif mungkin. Prinsipnya adalah penggunaan panca indra untuk pengenalan bentuk, warna, bau, dan rasa (Ditjen, POM., 2000).

2.8.2 Mikroskopik

Uji mikroskopik mencakup pengamatan terhadap bagian simplisia dan fragmen pengenal dalam bentuk sel, isi sel atau jaringan tanaman serbuk simplisia secara umum dilakukan di bawah mikrokop (Depkes, RI., 1979).

2.8.3 Rendemen

Rendemen adalah perbandingan berat akhir (berat simplisia atau ekstrak yang dihasilkan) dengan berat awal (berat daun atau berat simplisia yang digunakan) dikalikan 100% (Sani, dkk., 2014).

2.8.4 Kadar air

Penetapan kadar air bertujuan untuk memberikan batasan minimal atau rentang tentang besarnya kandungan air di dalam bahan. Dapat dilakukan dengan cara titrasi, destilasi, atau gravimetri (Ditjen, POM., 2000).

2.8.5 Kadar abu

(62)

2.8.6 Kadar sari

Penetapan kadar sari bertujuan untuk menentukan jumlah senyawa aktif yang terekstraksi dengan pelarut yang digunakan. Digunakan untuk simplisia yang belum diketahui pelarut apa yang paling sesuai untuk ekstraksinya (WHO., 1998).

2.9 Metode Uji Aktivitas Antelmintik

2.9.1 Metode uji invitro

Penelitian secara invitro adalah suatu proses yang dilakukan untuk menunjukkan gejala yang diteliti di luar tubuh makhluk hidup dalam kondisi laboratorium. Penelitiandaya antelmintik secara invitro yang dilakukan adalah dengan metode perendaman yaitu cacing direndam didalam larutan obat dan efek yang timbul diamati. Perendaman bertujuan agar terjadi kontak antara larutan antelmintik dengan tubuh cacing, baik melalui kulit maupun saluran pencernaan, sehingga diharapkan menimbulkan reaksi yang menyebabkan cacing paralisis dan kemudian mati (Patilaya dan Husori, 2015).

Parameter dari uji antelmintik secara invitro adalah waktu paralisis dan waktu kematian cacing. Waktu paralisis dinyatakan apabila cacing tidak bergerak kecuali apabila diguncang dengan kuat. Waktu kematian dinyatakan apabila cacing tetap tidak bergerak meskipun jika dicelupkan ke dalam air hangat bersuhu 40-50°C dan cacing kehilangan warna tubuhnya (Bora et al., 2014).

2.9.2 Metode uji invivo

(63)
(64)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Infeksi cacing merupakan masalah kesehatan yang perlu penanganan serius terutama pada anak-anak. Sekitar 270 juta anak usia balita dan 600 juta anak usia sekolah beresiko tinggi terinfeksi cacing. Saat ini diperkirakan lebih dari 1,5 miliar orang (24% dari populasi dunia) terinfeksi oleh cacing (WHO, 2015). Pada tahun 2013 angka infeksi cacing mencapai 28% dari penduduk Indonesia (Kemenkes, 2015). Infeksi ini dapat menyebabkan kekurangan gizi berupa kalori dan protein, serta kehilangan darah yang berakibat menurunnya daya tahan tubuh dan menimbulkan gangguan tumbuh kembang (Samudar dkk, 2013).

Indonesia terkenal sebagai negara yang memiliki jumlah tanaman obat beraneka ragam. Tanaman obat sudah dikenal sejak lama sebagai bahan pengobatan herbal. Pemanfaatan obat tradisional terus meningkat dan berkembang dengan pesat di masyarakat. Untuk itu perlu dilakukan pengembangan obat tradisional secara berkelanjutan dan terpadu sehingga kekayaan alam Indonesia dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat (Ramadhani, 2014).

(65)

menunjukkan bahwa pugun tanoh juga mempunyai efek penyembuhan luka bakar (Fitrah, 2013), antiinflamasi (Juwita, 2009), antidiabetes (Sitorus, 2012), penghilang rasa sakit, meningkatkan daya tahan tubuh (Harfina, 2013), antidiare (Michi, 2014), anti asma (Ramadhani, 2013), batuk dan sesak napas (Sugiarto dan Putera, 2008), dan antelmintik (Anastasia, 2015).

Daun pugun tanoh mengandung glikosida (Zhou dkk, 2005), flavonoid (Huang dkk, 1999), saponin dan steroid/triterpenoid (Fang dkk, 2009) dan zat pahit (Agung dan Tinton, 2008). Beberapa penelitian menyebutkan bahwa senyawa metabolit sekunder tumbuhan seperti glikosida, tanin, dan steroid/triterpenoid memiliki aktivitas antelmintik (Hrckova dan Velebny, 2013; Sarojini, et al., 2012; Acharya, et al., 2011). Menurut Patilaya dan Husori (2015), ekstrak etanol daun pugun tanoh memiliki aktivitas antelmintik terhadap Pheretima posthuma. Menurut Atrina (2015) ekstrak etilasetat daun pugun tanoh

memilki aktivitas antelmintik terhadap cacing Pheretima posthuma.

Berdasarkan uraian di atas, dilakukan penelitian karakteristik simplisia, skrining fitokimia, pembuatan ekstrak heksan, dan uji aktivitas antelmintik ekstrak n-heksan daun pugun tanoh terhadap cacing Pheretima posthuma.

1.2 Perumusan masalah

Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah penelitian ini adalah: a. Apakah karakteristik simplisia daun pugun tanoh dan ekstrak n-heksan daun

pugun tanoh [Curanga fel-terrae (Lour.) Merr] memenuhi persyaratan umum simplisia dan ekstrak?

(66)

1.3 Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah, yang menjadi hipotesis adalah:

a. Karakteristik simplisia daun pugun tanoh dan ekstrak n-heksan daun pugun tanoh memenuhi persyaratan umum simplisia dan ekstrak

b. Ekstrak n-heksan daun pugun tanoh memiliki aktivitas antelmintik terhadap cacing Pheretima posthuma secara invitro.

1.4 Tujuan penelitian

Berdasarkan rumusan masalah dan hipotesis di atas maka tujuan penelitian ini adalah untuk:

a. Mengetahui karakteristik simplisia dan ekstrak n-heksan daun pugun tanoh b. Mengetahui aktivitas antelmintik ekstrak n-heksan daun pugun tanoh

terhadap cacing Pheretima posthuma secara invitro.

1.5 Manfaat penelitian

(67)

1.6Kerangka pikir penelitian

Kerangka pikir dari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.1 berikut:

Variabel bebas Variabel terikat Parameter

Gambar 1.1 Kerangka pikir penelitian

Simplisia daun - Kadar abu tidak larut

asam Konsentrasi 5, 10, 20,

(68)

Uji Invitro Aktivitas Antelmintik Ekstrak

n-Heksana Daun Pugun Tanoh

[Curanga fel-terrae (Lour.) Merr]

ABSTRAK

Penemuan dan pengembangan antelmintik baru yang bersumber dari bahan alam masih diperlukan dalam pengobatan kecacingan. Pugun tanoh mengandung senyawa tanin, glikosida dan steroid/triterpenoid yang memiliki aktivitas antelmintik terhadap cacing Pheretima posthuma. Penelitian ini bertujuan untuk mengkarakteristik simplisia daun pugun tanoh, ekstrak n-heksan daun pugun tanoh serta mengkaji aktivitas antelmintik ekstrak n-heksan daun pugun tanoh terhadap cacing Pheretima posthuma.

Serbuk simplisia daun pugun tanoh diekstraksi menggunakan n-heksan dengan metode perkolasi. Karakterisasi dan Skrining fitokimia dilakukan terhadap serbuk simplisia dan ekstrak n-heksan daun pugun tanoh. Uji aktivitas antelmintik menggunakan cacing Pheretima posthuma sebanyak 21 ekor yang dikelompokkan kedalam 7 kelompok. Kelompok I sebagai kontrol negatif diberikan larutan NaCl 0,9%, Kelompok II sebagai kontrol pelarut yang diberi larutan 1% tween 80 dalam 20 ml larutan NaCl 0,9%, kelompok III sebagai kontrol positif diberi larutan albendazole, kelompok IV, V, VI, VII masing-masing diberi ekstrak n-heksan daun pugun tanoh dengan konsentrasi 5, 10, 20 dan 30 mg/ml yang disuspensikan dengan larutan 1% tween 80. Uji aktivitas antelmintik ditentukan berdasarkan waktu paralisis dan waktu kematian.

Hasil karakterisasi serbuk simplisia dan ekstrak n-heksan daun pugun tanoh memenuhi persyaratan umum. Hasil skrining fitokimia serbuk simplisia mengandung tanin, glikosida, flavonoid, saponin, dan steroid/triterpenoid dan ekstrak n-heksan daun pugun tanoh mengandung steroid. Hasil uji aktivitas antelmintik menunjukkan bahwa cacing P. posthuma mengalami paralisis dan kematian yang berbanding lurus dengan konsentrasi ekstrak.

Kesimpulan penelitian ini menunjukkan bahwa ekstrak n-heksan daun pugun tanoh memiliki aktivitas antelmintik terhadap P. posthuma.

(69)

Invitro Study of the Anthelmintic Activity of the

Leaf n-Hexane Extract of Pugun Tanoh

[Curanga fel-terrae (Lour.) Merr.]

ABSTRACT

The discovery and development of new anthelmintic from natural materials are still needed in the treatment of worm infection. Pugun tanoh contains tannins, glicosides and steroids/triterpenoids which have anthelmintic activity against worm Pheretima posthuma. This study purpose to characterize simplicia pugun tanoh leaves, n-hexane extract of leaves pugun tanoh as well as reviewing the anthelmintic activity of n-hexane extract of leaves pugun tanoh against worms Pheretima posthuma.

Pugun tanoh simplicia was extracted using n-hexane using percolation. Characterization and screening of phytochemical was done to the simplicia and n-hexane extract of leaves pugun tanoh. Anthelmintic activity test using worms Pheretima posthuma that were grouped into 7 groups. Group I as a negative control group was given 0,9% NaCl solution. Group II as a control group given a solvent solution of 1% tween 80 in 20 ml of 0,9% NaCl solution. Group III as a positive control group treated with a solution albendazole. Group IV, V, VI, VII respectively n-hexane extract of leaves pugun tanoh at a concentration of 5, 10, 20 and 30 mg/ml suspended in a solution of tween 80 1%. Test anthelmintic activity is determined based on the time period of paralyzed and death.

Characterization result of simplicia powder contains tannins, glycosides, flavonoids, saponin and steroids/triterpenoids and n-hexane extract of leaves pugun tanoh contain steroids. Anthelmintic activity test results showed that the worms P. posthuma paralysis and death are directly proportional.

The conclusion of this study shows that n-hexane extract of pugun tanoh leaves has anthelmintic activity against P. posthuma.

(70)

UJI INVITRO AKTIVITAS ANTELMINTIK EKSTRAK

n-HEKSANA DAUN PUGUN TANOH

[Curanga fel-terrae (Lour.) Merr]

SKRIPSI

OLEH:

ASTRI NOVIA

NIM 101501092

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(71)

UJI INVITRO AKTIVITAS ANTELMINTIK EKSTRAK

n-HEKSANA DAUN PUGUN TANOH

[Curanga fel-terrae (Lour.) Merr]

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

ASTRI NOVIA

NIM 101501092

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(72)

LEMBAR PENGESAHAN

UJI INVITRO AKTIVITAS ANTELMINTIK EKSTRAK

n-HEKSANA DAUN PUGUN TANOH

[Curanga fel-terrae (Lour.) Merr]

OLEH: ASTRI NOVIA NIM 101501092

Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Pada tanggal: 25Januari 2016

Disetujui oleh:

Pembimbing I, Panitia Penguji,

Popi Patilaya, S.Si., M.Sc., Apt. Dr. Masfria, M.S., Apt. NIP197812052010121004 NIP 195707231986012001

Popi Patilaya, S.Si., M.Sc., Apt.

Pembimbing II, NIP 197812052010121004

Dra. Suwarti Aris, M.Si., Apt. Dra. Herawaty Ginting, M.Si., Apt. NIP195107231982032001 NIP 195112231980032002

(73)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan karunia yang berlimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul Uji Invitro Aktivitas Antelmintik Ekstrak n-Heksana Daun Pugun Tanoh [Curanga fel-terrae (Lour.) Merr.]. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi di Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Gambar

Tabel 3.1. Perlakuan uji antelmintik ekstrak n-heksan daun pugun tanoh
Tabel 4.1 Kandungan metabolit sekunder simplisia dan ekstrak n-heksana daun pugun tanoh
Tabel 4.2 Rendemen, kadar air, kadar sari larut air, kadar sari larut etanol, kadar abu total dan kadar abu tidak larut asam simplisia daun pugun tanoh
Tabel 4.3 Kadar air, kadar sari larut air, kadar sari larut etanol, kadar abu total dan kadar abu tidak larut asam ekstrak n-heksan daun pugun tanoh
+3

Referensi

Dokumen terkait

Metode: Pengujian aktivitas antelmintik dilakukan terhadap cacing Pheretima posthuma yang diberikan ekstrak etanol daun pugun tanoh (EEDPT), albendazol, dan kombinasi

Uraian di atas mendorong peneliti untuk melakukan uji aktivitas antelmintik ekstrak etanol daun pugun tanoh yang diekstraksi dengan metode sokletasi terhadap

Perhitungan kadar sari larut air simplisia daun pugun tanoh % Kadar sari larut dalam air = x

Pengaruh pemberian ekstrak atau obat yang diuji dievaluasi dengan membandingkanjumlah telur cacing dalam tiap gram sampel tinja, dan jumlah cacing pada saat dinekropsi

Bahwa isi skripsi yang saya tulis tersebut di atas adalah tidak merupakan ciplakan dari skripsi atau karya ilmiah orang lain. Apabila terbukti di kemudian hari skripsi

Metode: Pengujian aktivitas antelmintik dilakukan terhadap cacing Pheretima posthuma yang diberikan ekstrak etanol daun pugun tanoh (EEDPT), albendazol, dan kombinasi

b) bahwa dosis kombinasi ekstrak daun pugun tanoh dengan albendazol. memiliki pengaruh terhadap

Efek Relaksasi Ekstrak Etanol Daun Pugun Tanoh (Curanga fel-terrae (Lour.) Merr.) terhadap Otot Polos Trakea Marmut Terisolasi dan Pengaruhnya pada Fosfodiesterase.. Medan: