FAUZI IRIAWAN
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
FAUZI IRIAWAN. C34062724. Pembuatan Fish Flake dari Ikan Lele
(Clarias sp.) Sebagai Makanan Siap Saji. Dibawah Bimbingan. WINI TRILAKSANI dan WINARTI ZAHIRUDDIN.
Salah satu komoditi perikanan yang potensial untuk dikembangkan menjadi produk olahan yaitu ikan lele. Produksi ikan lele (Clarias sp.) terus meningkat tetapi tidak diimbangi dengan diversifikasi produknya. Tepung ikan lele dapat diintroduksi ke dalam formula pembuatan fish flake dan mampu meningkatkan nilai gizi dari flake tersebut sehingga dapat memenuhi kebutuhan protein dan diharapkan mampu meningkatkan konsumsi protein nasional. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan formula sereal siap saji dengan penambahan tepung ikan lele dan mempelajari karakteristik fisik serta kimia dari produk fishflake dengan penambahan tepung ikan lele.
Penelitian ini terdiri dari penentuan formulasi yang menghasilkan fish flake terbaik dan analisis atau karakterisasi produk. Pada tahap penentuan formulasi dilakukan pembuatan tepung ikan lele, yang kemudian difortifikasi ke dalam formula fish flake dengan berbagai konsentrasi yaitu 0%, 10%, 20%, 30% dan 40%. Flake dengan penambahan tepung ikan lele kemudian di uji secara organoleptik dan Bayes dengan pembobotan setiap parameter pada uji organoleptik berdasarkan tingkat kepentingan. Produk terpilih kemudian dibuat selang konsentrasi penggunaan tepung ikan yang lebih kecil untuk pembuatan fish flake selanjutnya dan dibandingkan dengan flake komersial (cornflake). Analisis kimia meliputi uji kadar air, abu, protein, lemak dan karbohidrat. Analisis fisik meliputi uji kekerasan, indeks penyerapan air dan indeks kelarutan air.
Nama Mahasiswa : Fauzi Iriawan
NIM : C34062724
Menyetujui :
Pembimbing I Pembimbing II
Dr.Ir. Wini Trilaksani, M.Sc Ir. Winarti Zahiruddin, MS NIP. 196101281986012001 NIP. 194604141974022001
Mengetahui,
Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan
Dr.Ir. Ruddy Suwandi, MS, MPhil. NIP. 195805111985031002
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana perikanan Pada Departemen Teknologi Hasil Perairan
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Pembuatan Fish Flake Dari Ikan Lele (Clarias sp.) Sebagai Makanan Siap Saji adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Februari 2012
Fauzi Iriawan
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat, anugerah dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul Pembuatan Fish Flake Dari Ikan Lele (Clarias sp.) Sebagai Makanan Siap Saji. Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penelitian dan menyelesaikan skripsi ini, terutama kepada :
1. Dr. Ir. Wini Trilaksani, M.Sc dan Ir. Winarti Zahiruddin, MS sebagai dosen pembimbing
2. Dr. Ir. Bustami Ibrahim, M.Sc sebagai dosen penguji.
3. Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil selaku ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan. Dr. Ir. Agoes Mardiono Jacoeb, Dipl. Biol sebagai Ketua Program Studi Teknologi Hasil Perairan dan Dr. Tati Nurhayati S.Pi M.Si sebagai dosen pembimbing akademik
4. Ayah dan Ibu atas semua dukungan dan kasih sayang yang diberikan. Adik-adikku Fatia Ajeng Lestari dan Fadli Zulhazmi yang saya sayangi. 5. Rianah Sary atas dukungan dan semangatnya.
6. Teman-teman satu PS (Anggi, Minal, Patma, Ijal, Ibnu, Wahyu)
7. Teman-teman Wisma Pajar (Boby, Ijal, Wahyu, Afif, Kiki, Joha, Qory, Ase, Anjar) Memey, Danu, Vikar, Hendra, Rudi, Rio, Baby, Mprit, Aga, 8. Keluarga besar Departemen Tekenologi Hasil Perairan, staf dosen dan tata
usaha, laboran serta taman-taman THP 41, 42, 43, 44 dan 45
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih ada kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya. Terima kasih.
Bogor, Februari 2012
Fauzi Iriawan
C34062724
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 5 Mei 1988 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Rochmat Tusjaedi dan Maryana.
Penulis memulai jenjang pendidikan formal di TK Nusantara (tahun 1993-1994) dilanjutkan di SD Negeri Rawa Bebek IV (tahun 1994-2000). Pendidikan menengah
pertama ditempuh penulis di SLTP Negeri 13 Bekasi pada tahun 2000, kemudian penulis melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri 1 Tanah
Grogot, Kalimantan Timur (tahun 2000-2003). Pendidikan menengah atas ditempuh penulis di SMA Negeri 1 Tanah Grogot, Kalimantan Timur pada tahun 2003, kemudian penulis melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 10 Bekasi (2004-2006). Pada tahun 2006, penulis diterima di Institut Pertaian Bogor melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimanaan Mahasiswa Baru) dan pada tahun 2007 penulis diterima di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Selama masa perkuliahan, penulis aktif dalam organisasi kemahasiswaan seperti Fisheries Processing Club periode 2008-2009. Selain itu penulis juga aktif dalam berbagai kepanitiaan diantaranya OMBAK, SANITASI, PORIKAN, Pelatihan ISO 22000, dan sebagai Ketua pelatihan eksternal FPC. Penulis pernah menjadi asisten m.k. Diversifikasi dan Pengembangan Produk Hasil Perairan (2009/2010), asisten m.k. Teknologi Pemanfaatan Hasil Samping dan Limbah Hasil Perairan (2009/2010) dan mengikuti pelatihan-pelatihan seperti pelatihan ISO 22000 yang diadakan di Institut Pertanian Bogor.
Penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, dengan judul Pembuatan Fish Flake Dari Ikan Lele (Clarias sp.) Sebagai Makanan Siap Saji, dibimbing oleh Ibu Dr. Ir. Wini Trilaksani, M.Sc dan Ir. Winarti Zahiruddin MS.
vi
DAFTAR GAMBAR ... viii
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR LAMPIRAN ... x
1 PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Tujuan ... 3
2 TINJAUAN PUSTAKA ... 4
2. 1 Sereal ... 4
2. 2 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Lele (Clarias sp.) ... 6
2. 3 Komposisi Kimia Ikan Lele ... 7
2. 4 Tepung ikan ... 8
2. 5 Ubi Jalar (Ipomea batatas L) ... 9
2. 6 Kedelai (Glicine max) ... 10
2. 7 Tepung Tapioka ... 11
2. 8 Flaking Roll ... 11
2. 9 Proses Pembuatan Flake ... 12
2.10 Kemasan ... 14
3 METODE PENELITIAN ... 16
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 16
3.2 Bahan dan Alat ... 16
3.3 Metode ... 16
3.4 Pembuatan flake ... 17
3.5 Analisis Produk ... 19
3.5.1 Analisis kimia ... 20
(1) Kadar air ... 20
(2) Kadar abu ... 20
(3) Kadar lemak ... 20
(4) Kadar protein ... 21
(5) Kadar karbohidrat ... 22
3.5.2 Analisis fisik ... 22
vii
3.7 Uji Bayes ... 23
3.8 Analisis Data ... 24
3.9 Angka Kecukupan Gizi ... 25
4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 26
4.1 Pembuatan Flake ... 26
4.1.1 Formulasi flake dengan penambahan tepung ikan lele ... 26
4.1.2 Uji hedonik ... 26
(1) Penampakan ... 27
(2) Warna ... 28
(3) Aroma ... 29
(4) Tekstur ... 31
(5) Rasa ... 32
4.1.3 Penentuan formulasi menggunakan metode Bayes ... 33
4.2 Karakterisasi Produk ... 34
4.2.1 Analisis proksimat produk ... 35
(1) Kadar air ... 35
(2) Kadar protein ... 36
(3) Kadar lemak ... 38
(4) Kadar abu ... 39
(5) Kadar karbohidrat ... 40
4.2.2 Analisis fisik produk ... 41
(1) Indek penyerapan air dan indeks kelarutan air ... 41
(2) Analisis kekerasan ... 44
4.3 Nilai Gizi Produk Flake ... 46
5 SIMPULAN DAN SARAN ... 47
5.1 Simpulan ... 47
5.2 Saran ... 47
DAFTAR PUSTAKA ... 48
viii
No Hal
1 Ikan lele ... 7
2 Pembuatan tepung ikan ... 17
3 Pembuatan sereal dengan modifikasi ... 19
4 Nilai organoleptik pada fishflake dengan penambahan tepung ikan ... 26
5 Nilai uji penampakan pada fishflake ... 27
6 Nilai uji warna pada fishflake ... 29
7 Nilai uji aroma pada fishflake ... 30
8 Nilai uji tekstur pada fishflake ... 31
9 Nilai uji rasa pada fishflake ... 33
10 Kadar air pada fishflake dengan penambahan tepung ikan ... 35
11 Kadar protein fishflake dengan penambahan tepung ikan ... 37
12 Kadar lemak fishflake dengan penambahan tepung ikan ... 38
13 Kadar abu fishflake dengan penambahan tepung ikan ... 40
14 Kadar karbohidrat fish flake dengan penambahan tepung ikan ... 41
15 Nilai indeks penyerapan air pada fishflake ... 42
16 Nilai indeks kelarutan air pada fishflake ... 43
ix
No Hal
1 Bahan yang digunakan dalam pembuatan flake ... 5
2 Komposisi gizi corn flake ... 6
3 Komposisi kimia ikan lele dumbo (Clarias gariepnus) ... 8
4 Komposisi gizi ubi jalar ... 9
5 Komposisi gizi kedelai ... 10
6 Komposisi kimia tapioka ... 11
7 Formula flake ... 18
8 Hasil analisis dengan menggunakan metode Bayes ... 34
9 Komposisi gizi fish flake dengan penambahan tepung ikan ... 35
10 Hasil analisis fisik pada fish flake ... 42
x
No Hal 1 Score sheet uji kesukaan (uji hedonik) flake ... 54 2 Produk flake dengan penambahan tepung ikan ... 55 3 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaaan konsentrasi tepung ikan lele terhadap penampakan flake ... 56 4 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaaan konsentrasi tepung ikan lele terhadap warna flake ... 57
5 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaaan konsentrasi tepung ikan lele terhadap aroma flake ... 58 6 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaaan konsentrasi tepung ikan lele terhadap tekstur flake ... 59 7 Uji Kruskal Wallis pengaruh perbedaaan konsentrasi tepung ikan lele terhadap penampakan flake ... 60 8 Uji lanjut Multiple Comparison pengaruh perbedaan konsentrasi
tepung ikan lele terhadap penampakan, warna, aroma, rasa dan
tekstur pada flake ... 61 9 Uji Bayes ... 63 10 Uji prksimat flake ... 65 11 Analisis ragam dan uji lanjut Multiple Comparison terhadap
1 PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Konsumsi ikan nasional saat ini masih rendah jika dibandingkan dengan
negara lain. Pada tahun 2010 tingkat konsumsi ikan nasional baru mencapai
30,47 kg/kapita/tahun. Tingkat konsumsi ikan di Thailand, Malaysia, Singapura
dan Jepang berturut-turut telah mencapai 35 kg/kapita/tahun, 45 kg/kapita/tahun,
80 kg/kapita/tahun dan 110 kg/kapita/tahun (Kementrian Kelautan dan
Perikanan 2010). Konsumsi ikan saat ini belum memberikan kontribusi yang
berarti terhadap pemenuhan kebutuhan protein menurut Angka Kecukupan Gizi
(AKG) yaitu 52-57 gr/hari (Widyakarya Nasinoal Pangan dan Gizi 2004).
Produksi ikan nasional saat ini mencapai 7.491.120 ton, perikanan tangkap
menyumbangkan 5.285.020 ton dan perikanan budidaya menyumbangkan
2.206.100 ton (KKP 2010). Produksi nasional sebesar 7.491.120 ton baru dapat
memenuhi konsumsi protein sebesar 7,36 gram. Oleh sebab itu, pemerintah
berusaha meningkatkan konsumsi ikan nasional dengan meningkatkan produksi
ikan melalui sektor budidaya.
Pada tahun tahun 2015, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)
mempunyai target menjadi penghasil produk perikanan terbesar di dunia. Produksi
perikanan budidaya akan ditingkatkan menjadi 16,89 juta ton pada tahun 2014
atau naik 353% dibandingkan produksi tahun 2009 sebesar 2,2 juta ton
(KKP 2010). Salah satu komoditas perikanan budidaya yang mendapatkan
perhatian serius dari pemerintah adalah ikan lele. KKP menargetkan peningkatan
produksi ikan lele sebesar 900.000 ton pada tahun 2014 atau meningkat 35,10%
setiap tahunnya. Produksi ikan lele sendiri mengalami peningkatan setiap tahun.
Pada tahun 2007 produksi ikan lele 132.000 ton, 180.00 ton pada tahun 2008 dan
meningkat menjadi 250.000 ton pada tahun 2009.
Harga ikan lele yang terjangkau membuat ikan lele terdistribusi secara
merata. Permasalahan yang dihadapi dalam pemasaran ikan lele yaitu bobotnya
melebihi ukuran konsumsi (oversize). Ikan lele oversize ini jumlahnya mencapai
10% dalam tiap siklus produksinya. Hal ini dapat mengakibatkan kerugian pada
lele oversize tersebut sejauh ini pemanfaatannya masih kurang optimal. Hal ini
disebabkan masih banyak masyarakat yang kurang menyukai bentuknya yang
besar serta baunya yang khas. Untuk itu diperlukan suatu upaya diversifikasi
untuk meningkatkan nilai ekonomis ikan lele yang berukuran besar, misalnya
digunakan dalam pembuatan tepung ikan dalam pembuatan fish flake.
Penambahan tepung ikan lele dalam pembuatan fish flake akan meningkatkan
kandungan proteinnya.
Sereal sarapan adalah makanan yang terbuat dari olahan biji-bijian yang
sering, namun tidak selalu, dimakan pada pagi hari. Sereal sering dimakan dingin,
biasanya dicampur dengan susu (susu sapi, susu kedelai, susu beras atau susu
almond), air atau yoghurt dan buah. Beberapa sereal seperti oatmeal dapat
disajikan panas seperti bubur (Albertson et al. 2008) . Konsumsi sereal siap saji di
seluruh dunia mengalami peningkatan. Di Inggris, Italia, Eropa timur, Amerika
latin dan Asia pasifik konsumsi sereal meningkat masing-masing 4%, 15%, 25%,
20% dan 10%. Saat ini diperkirakan konsumsi sereal di seluruh dunia mencapai
3 juta ton (Guy 2001). Konsumsi sereal mengalami peningkatan karena sereal
dapat dengan mudah dan cepat disajikan. Sereal disajikan dengan cara mencampur
flakes sereal dengan susu hangat. Hal ini sesuai dengan kebutuhan karena manusia
saat ini dituntut untuk dapat mengerjakan segala sesuatu dengan cepat. Tingkat
mobilitas yang tinggi menyebabkan kebanyakan orang melewatkan waktu sarapan
(Olsen et.al 2010). Padahal sarapan merupakan suatu hal yang sangat penting
dalam upaya memenuhi kebutuhan energi dasar bagi aktivitas tubuh. Asupan gizi
pada sarapan merupakan hal yang paling penting diantara waktu makan lainnya.
Melewatkan waktu sarapan dapat mengakibatkan efek negatif bagi tubuh.
Jika tubuh dipaksa bekerja tanpa adanya energi maka tubuh akan mendapatkan
efek negatif (Tribelhorn 1991). Selain cepat dan mudah disajikan, sereal untuk
sarapan mengandung energi 350-400 kkal/100gram, vitamin, mineral, dan serat
(Guy 2010). Akan tetapi sereal siap saji memiliki kandungan protein yang rendah
yaitu 6 gr/100 gram takaran saji sedangkan sarapan setidaknya memenuhi
sepertiga dari kebutuhan protein harian 52-57 gr/hari. Oleh sebab itu, introduksi
dari fish flake sehingga dapat memenuhi kebutuhan protein dan pada akhirnya
meningkatkan konsumsi protein nasional.
1.2Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk
1) Menentukan penambahan konsentrasi tepung ikan lele yang dapat
menghasilkan fish flake yang paling disukai konsumen.
2) Mempelajari karakteristik fisik dan kimia produk fish flake dengan
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1Sereal
Sereal sarapan adalah makanan yang terbuat dari olahan biji-bijian yang
sering, namun tidak selalu, dimakan pada pagi hari. Sereal sering dimakan dingin,
biasanya dicampur dengan susu (susu sapi, susu kedelai, susu beras atau susu
almond), air atau yoghurt dan buah. Beberapa sereal seperti oatmeal dapat
disajikan panas seperti bubur (Albertson et al. 2008).
Makanan untuk sarapan sebaiknya merupakan makanan yang lengkap,
yakni mengandung semua unsur gizi yang dibutuhkan oleh tubuh. Kandungan gizi
yang seimbang terdiri dari karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral.
Selain itu sarapan juga dapat mencegah penurunan daya ingat
(Wesnes et al. 2003). Sereal sarapan umumnya memiliki kandungan vitamin B
yaitu thiamin, riboflavin, niasin, vitamin B6, asam pantotenat, dan asam folat.
Selain itu juga mengandung kalsium, zat besi, serat dan asam amino lainnya,
misalnya lisin, terdapat pada kacang-kacangan dan susu (Johnson 1991).
Menurut Tribelhorn (1991), sereal sarapan yang ada di pasaran saat ini
dikategorikan menjadi lima jenis yaitu:
1) Sereal tradisional yang memerlukan pemasakan, adalah sereal yang dijual di
pasaran dalam bentuk bahan mentah yang telah diproses. Biasanya dalam
bentuk sereal yang dikonsumsi panas.
2) Sereal panas instan tradisional, yaitu sereal yang dijual dalam bentuk
biji-bijian atau serbuk yang telah dimasak dan hanya memerlukan air mendidih
dalam penyajiannya.
3) Sereal siap santap, yaitu produk yang telah diolah dan direkayasa menurut
jenis atau bentuk diantaranya flaked, puffed, dan shredded.
4) Ready-to-eat cereals mixes, yaitu produk sereal yang telah diolah bersama
biji-bijian, kacang-kacangan dan buah kering.
5) Bermacam produk sereal sarapan yang tidak dapat dikategorikan dalam
keempat jenis produk tersebut karena proses khusus dan atau kegunaan
Sereal untuk makanan pagi yang umum di pasaran dapat berupa flakes,
butiran maupun produk yang mengembang dan biasanya terbuat dari satu jenis
sereal atau campuran sereal yang dibalut dengan bumbu seperti minyak, garam,
dan atau gula. Sereal mengalami proses utama yaitu pembentukan flake, butiran
atau pengembangan, pemanggangan dan pelapisan dengan senyawa penambah
aroma (Vail et.al 1978).
Bahan yang digunakan dalam pembuatan flake dapat dilihat pada Tabel 1
Tabel 1 Bahan yang digunakan dalam pembuatan flake
No Bahan Komposisi (%)
1 Tepung ubi jalar 55
2 Tepung kedelai 25
3 Tapioka 20
4 Gula (dari total tepung) 10 5 Garam (dari total tepung) 0.5
6 Air (dari total tepung) 30
Sumber : Koswara (2003)
Flakes merupakan salah satu bentuk dari produk pangan yang
menggunakan bahan pangan serealia seperti beras, gandum atau jagung dan
umbi-umbian seperti kentang. Flakes digolongkan ke dalam jenis makanan sereal
siap santap yang telah diolah dan direkayasa menurut jenis dan bentuknya.
Berbagai macam jenis makanan sarapan antara lain adalah corn flakes, oat flakes,
rolled flakes, dan makanan sarapan lain berbentuk puffed yang dibuat dengan
bantuan alat ekstruder (Tressler dan Sultan 1975). Pembuatan flakes agak berbeda
dengan pembuatan sereal sarapan lain yang berbentuk puffed. Flakes dibuat
dengan cara pengepresan sekaligus pengeringan. Produk ini dibuat dengan
menggunakan flaking roll hingga terbentuk lapisan tipis atau serpihan dengan
kadar air 3% dan total padatan sebesar 97%. Sereal berbentuk puffed atau
menggelembung bisa dibuat menggunakan beras, gandum atau jagung. Puffed
dibuat dengan teknik udara bertekanan tinggi. Setelah diproses dalam ekstruder
dengan suhu dan tekananan tinggi bahan akan ditembakkan keluar alat ekstruder.
Perbedaan tekanan dalam ekstruder dan lingkungan membuat bahan menyerap
Standar corn flake dapat dilihat pada Tabel 2
Tabel 2 Standar mutu corn flake (g/100gr)
Komposisi Flake
a b
Air 4,27 3,53
Protein 4,33 6,25
Lemak 0,67 0,75
Abu 1,48 1,90
Karbohidrat (by difference) 89,26 87,56 Sumber : a USDA (2010)
b Padovani, et al. (2007)
Kemunduran mutu dari sereal sarapan disebabkan oleh lemak yang
terkandung di dalamnya. Lemak yang terkandung dalam sereal tidak banyak tetapi
lemak merupakan penyebab utama hilangnya nutrisi dan berkurangnya nilai
oganoleptik. Oksidasi pada lemak akan menyebabkan pembantukan
hidroperoksida. Hidroperoksida bertanggung jawab atas bau tengik yang
terbentuk. Hal ini lah yang menyebabkan berkurangnya nilai organoleptik
(Paradiso et al. 2008).
2.2Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Lele (Clarias sp.)
Lele memiliki bentuk memanjang agak bulat, kepala gepeng, tidak
bersisik, mulut besar warna kelabu sampai hitam. Di sekitar mulut terdapat bagian
nasal, maksila, mandibula luar dan dalam, masing-masing terdapat kumis. Hanya
kumis bagian mandibula yang dapat digerakan untuk meraba makanannya. Kulit
ikan lele berlendir tidak bersisik, berwarna hitam pada punggung dan bagian
samping. Sirip punggung, sirip ekor, dan sirip dubur merupakan sirip tunggal,
sedangkan sirip perut dan sirip dada merupakan sirip ganda. Pada sirip dada
terdapat duri yang keras dan runcing yang disebut patil (Suyanto 2007).
Ikan lele merupakan komoditas yang dapat dipelihara dengan padat tebar
tinggi dalam lahan terbatas (hemat lahan) di kawasan marginal dan hemat air
(Mahyudin 2008). Adapun sistematika dan klasifikasi ikan lele menurut
Saanin (1984) adalah sebagai berikut:
Filum : Chordata
Kelas : Pisces
Ordo : Ostariophysi
Subordo : Siluroidea
Famili : Clariidae
Genus : Clarias
Spesies : Clarias sp.
Gambar 1 Ikan lele (Dokumentasi pribadi).
Ikan lele termasuk jenis ikan karnivora dan menyukai makanan yang
busuk maka digolongkan juga sebagai scavenger. Ikan lele bersifat nocturnal
karena aktif mencari mangsa pada malam hari atau lebih menyukai tempat gelap.
Pada siang hari ikan lele lebih suka diam dalam lubang-lubang atau tempat-tempat
yang terlindungi (Suyanto 2007). Ikan lele banyak ditemukan di rawa-rawa dan
sungai di Afrika, terutama di dataran rendah sampai sedikit payau. Ikan ini
mempunyai alat pernapasan tambahan yang disebut abrorescent, sehingga mampu
hidup dalam air yang kandungan oksigennya rendah.
2.3Komposisi Kimia Ikan Lele
Hasil analisis proksimat menunjukkan bahwa ikan lele termasuk ke dalam
bahan pangan berprotein sedang-lemak rendah. Ikan digolongkan sebagai ikan
dengan lemak rendah dan protein sedang apabila memiliki kadar lemak <5% dan
protein 15-20% (Stansby 1963). Komposisi kimia ikan lele dumbo disajikan pada
Tabel 3 Komposisi kimia ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)
Komponen Jumlah (%)
a b
Air 79,73 76,71
Abu 1,47 1,23
Lemak 0,95 1,15
Protein 17,71 19,68
Karbohidrat (by different) 0,14 1,23 Sumber : a Nurilmala et al. (2009)
b Osibona et al. (2006)
2.4Tepung Ikan
Tepung ikan merupakan komoditas olahan hasil perikanan yang diperoleh
dari suatu proses reduksi komoditas bahan mentah menjadi suatu produk yang
sebagian besar terdiri dari komponen ikan. Tinggi rendahnya kandungan protein
pada tepung ikan dipengaruhi oleh cara pengolahan dan bahan mentah yang
digunakan. Proses pengolahan tepung ikan dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu
pengolahan sistem basah yang digunakan untuk memproduksi tepung ikan dari
bahan mentah ikan yang berlemak tinggi (>5%) dan pengolahan sistem kering
yang sering digunakan untuk memproduki tepung ikan dari bahan mentah ikan
yang berlemak rendah (<5%) (Irianto 2002).
Pembuatan tepung ikan didasarkan pada pengurangan kadar air dari daging
ikan. Kadar air dalam daging ikan sangat berpengaruh terhadap proses
pembusukan. Tahapan pengolahan tepung ikan terdiri atas pencincangan,
pemasakan, pengepresan, pengeringan, dan penggilingan. Tepung ikan yang baru
selesai diolah biasanya berwarna abu-abu kehijauan. Warna tepung ikan akan
berubah menjadi cokelat kekuningan setelah mengalami penyimpanan. Akan
tetapi perubahan ini tidak mempengaruhi nilai gizinya. Baunya seperti ikan yang
lama-kelamaan menjadi tengik (Moeljanto 1982).
Komposisi kimia tepung ikan tidak jauh berbeda dengan yang terdapat
dalam ikan sebagai bahan bakunya, yaitu air, protein, mineral, lemak, dan vitamin
serta senyawa-senyawa nitrogen lainnya. Namun setelah mengalami pengolahan,
komposisi kimia dalam tepung ikan menjadi berubah, terutama akibat terjadinya
akibat proses pemanasan. Komposisi kima tepung ikan juga ditentukan oleh jenis
ikan, mutu bahan baku yang digunakan dan cara pengolahannya.
2.5Ubi Jalar (Ipomea batatas L)
Ubi jalar merupakan tanaman pangan yang menduduki peringkat
ke-sembilan di dunia sebagai tanaman pangan penting. Pemanfaatannya terutama
sebagai bahan pangan sumber kalori (Sarwono 2007). Selain sebagai sumber
karbohidrat, ubi jalar juga mengandung vitamin A, C, dan mineral
(Burlingame et al 2009). Ubi jalar yang daging umbinya berwarna ungu banyak
mengadung anthocyanin yang sangat bermanfaat bagi kesehatan, karena berfungsi
sebagai antioksidan yang dapat mencegah penyakit kanker. Ubi jalar yang daging
umbinya berwarna kuning banyak mengandung beta-karoten yang merupakan
sumber vitamin A (Sarwono 2007).
Keunggulan ubi jalar sebagai tanaman pangan antara lain sesuai dengan
kondisi agroklimat sebagian besar wilayah Indonesia, mempunyai produktivitas
yang tinggi sehingga menguntungkan untuk diusahakan. Ubi jalar mengandung
zat gizi yang berpengaruh positif pada kesehatan (prebiotik, serat, dan
antioksidan), serta potensi penggunaanya cukup luas dan cocok untuk program
diversifikasi pangan (Sentra IPTEK 2007). Komposisi gizi ubi jalar dapat dilihat
pada Tabel 4
Tabel 4 Komposisi gizi ubi jalar (100gr)
Komposisi Ubi Jalar
Kalori (kal) 113
Protein (g) 2,3
Serat (g) 0,3
Kalsium (mg) 46
Besi (mg) 1
Vitamin A (SI) 7,1
Vitamin B (mg) 0,13
Vitamin C (mg) 2
Air (g) 70
Produktivitas ubi jalar di Indonesia cukup tinggi sehingga banyak
dimanfaatkan menjadi berbagai produk pangan. Produk pangan olahan ubi jalar
diantaranya gaplek ubi jalar, tepung ubi jalar, keripik ubi jalar, kue ubi jalar, serta
manisan kering. Kini selain produk olahan tersebut, melalui riset Rusnas
Diversifikasi Pangan Pokok, ubi jalar dapat diolah menjadi sereal yang berkualitas
yaitu Sweet Potato Flakes.
2.6Kedelai (Glicine max)
Tepung kedelai merupakan bahan baku kedua terbanyak dalam pembuatan
Flakes. Jika dibuat dengan cara yang kurang baik, tepung kedelai diduga masih
mengandung senyawa antigizi dan senyawa off-flavor. Senyawa tersebut berasal
dari bahan baku kedelai itu sendiri. Senyawa-senyawa antigizi itu antara lain
antitripsin, hemaglutinin, asam fitat, dan oligosakarida penyebab flatuensi
(timbulnya gas dalam perut sehingga menyebabkan kembung). Senyawa penyebab
off-flavor pada kedelai misalnya glukosida, saponin, estrogen, dan
senyawa-senyawa penyebab alergi (Koswara 2003). Komposisi gizi kedelai dapat dilihat
pada Tabel 5
Tabel 5 Komposisi gizi kedelai (g/100gr)
Komposisi Kedelai
Kadar air 9,82
Protein 40,4
Lemak 18,56
Serat 16,5
Karbohidrat 9,94
Abu 4,81
Sumber : Redondo-Cuenca et.al (2006)
Tepung kedelai yang dibuat dari kedelai mentah memiliki sifat yang khas
yakni mempunyai bau langu. Langu tersebut merupakan bau dan rasa yang khas
dari kedelai dan kacang-kacangan mentah lainnya dan umumnya kurang disukai
konsumen. Rasa dan bau langu itu ditimbulkan oleh kerja enzim lipoksigenase
yang terdapat dalam biji kedelai. Enzim itu bereaksi dengan lemak pada waktu
proses penggilingan kedelai, terutama jika digunakan air dingin. Hasil reaksinya
paling sedikit berupa delapan senyawa volatil terutama etil-fenil-keton
tubuh, selain itu kedelai juga mengandung daidzein dan genistein yang berguna
bagi kesehatan sebagi antiasstrosklirosis (Couto et al. 2011)
2.7Tepung Tapioka
Tapioka adalah pati yang berasal dari ekstraksi umbi ketela pohon
(Manihot utilissma) yang telah dicuci dan dikeringkan. Tapioka hampir
seluruhnya berupa pati yang merupakan senyawa yang tidak mempunyai rasa dan
bau, sehingga modifikasi cita rasa pada tepung tapioka mudah dilakukan. Tapioka
adalah pati yang diperoleh dari ubi kayu segar setelah melalui cara pengolahan
tertentu yaitu dibersihkan kemudian dikeringkan (SNI-01-3451-1992).
Tapioka dapat diolah menjadi sirup glukosa dan dekstrin yang diperlukan
untuk berbagai industri, antara lain industri kembang gula, pengalengan
buah-buahan, pengolahan es krim, minuman dan industri peragian. Tapioka juga banyak
digunakan sebagai bahan pengental, pewarna putih, bahan pengisi, dan bahan
pengikat dalam industri makanan (Sentra IPTEK 2007). Komposisi kimia tapioka
dapat dilihat pada Tabel 6
Tabel 6 Komposisi kimia tapioka (g/100gr)
Komposisi Tepung Tapioka
Kalori (kal) 146
Air (g) 62,5
Karbohidrat (g) 34
Protein (g) 1,2
Lemak (g) 0,3
Sumber : Radiyati dan Agusto (2000)
Tepung tapioka akan memiliki perlakuan berbeda untuk setiap jenis
produk karena sifat yang dimiliki tepung tersebut. Rasio amilosa dan amilopektin
dari tapioka yaitu 17% amilosan dan 83% amilopektin, bentuk granula semi bulat
dengan salah satu bagian ujungnya mengerucut, ukuran 5-35µm, suhu gelatinisasi
berkisar antara 52-64oC, kristalisasi 38%, kekuatan pembengkakan sebesar 42µm,
kelarutan 31% (Hoover 2001).
2.8Flaking Roll
Flaking roll merupakan alat yang biasa digunakan dalam industri cereal.
pellet menjadi flakes. Dua buah gulungan besi yang ada dapat diatur jaraknya
sehingga dapat menghasilkan ukuran flakes yang sesuai dengan kebutuhan.
Proses pembuatan flake dilakukan dengan cara memasukkan pellet ke dalam roll
yang berputar dalam kecepatan sedang tanpa menggunakan panas. Saat jatuh dari
roll, pelet-pelet tersebut berubah menjadi bentuk flake. Flakes tersebut kemudian
ditampung dalam loyang. Flakes yang telah ditampung dalam loyang kemudian
dipanggang dengan oven selama 15 menit (Sentra IPTEK 2007).
2.9 Proses Pembuatan Flake
Bahan yang digunakan dalam formula fish flake berupa tepung ikan lele,
tepung ubi, tepung kedelai, tepung tapioka, gula, garam dan air. Pada proses
pencampuran gula, garam dan air dicampur terlebih dahulu hingga tercampur
sempurna baru kemudian dituangkan sedikit demi sedikit hingga tepung dan air
bercampur secara merata.
Penambahan tepung ikan lele dalam pembuatan fish flake bertujuan untuk
meningkatkan kadar protein dalam flake. Kecukupan energi dan protein menurut
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (2004) adalah 2000 kkal dan 57 gram
protein. Protein terdiri dari asam-asam amino esensial, selain itu protein juga
menyuplai energi dalam keadaan energi terbatas dari karbohidrat dan lemak.
Protein berfungsi sebagai katalisator, pembawa, penggerak, pengatur ekspresi
genetik, penguat struktur, penguat imunitas, dan untuk pertumbuhan. Pada
umumnya pangan hewani mempunyai mutu protein yang lebih baik dibandingkan
dengan pangan nabati. Di Indonesia kontribusi energi dari protein hewani
terhadap total energi relatif rendah yaitu 4% (Hardiansyah dkk. 2001), yang
menurut FAO RAPA (1985) sebaiknya sekitar 15% dari total energi.
Bahan utama lain yang digunakan adalah tepung ubi. Penggunaan tepung
ubi dalam pembuatan fish flake bertujuan sebagai sumber karbohidrat. Menurut
Muchtadi (1989) tepung ubi jalar memilik kandungan karbohidrat yang tinggi,
mempunyai potensi yang besar mengandung serat makanan dan seyawa
oligosakarida. Refinosa, saktiosa dan verbakosa adalah oligosakarida yang terdiri
dari unit-unit glukosa, fruktosa, dan galaktosa. Ketiga jenis oligosakarida tersebut
Tepung kedelai merupakan bahan utama selanjutnya yang digunakan.
Penggunaan tepung kedelai bertujuan untuk memenuhi kebutuhan protein nabati.
Matthews (1989) menyatakan bahwa kedelai merupakan salah satu sumber protein
nabati yang cukup potensial untuk dikembangkan karena kandungan protein dan
lemaknya tinggi, yaitu 49% dan 21%.
Bahan lainnya yaitu tepung tapioka. Tepung tapioka berfungsi sebagai
pengikat dalam formulasi pembuatan fish flake. Radley (1976) menyebutkan
bahwa penggunaan tepung tapioka dalam industri makanan dimungkinkan karena
daya penahan air yang tinggi serta pengaruhnya yang kecil terhadap cita rasa.
Bahan pendukung yang digunakan adalah gula, garam dan air. Gula
digunakan untuk memberi cita rasa manis dan tekstur. Jumlah gula yang
ditambahkan tidak terlalu banyak karena tepung ubi sendiri memiliki karakteristik
rasa manis. Garam berfungsi untuk memperkuat rasa gurih karena digunakan
bersama-sama dengan gula. Selain itu garam juga berfungsi sebagai bahan
pengeras. Air yang digunakan tidak terlalu banyak karena adonan akan menjadi
basah dan lengket, sedangkan bila kurang maka adonan menjadi keras, rapuh, dan
sulit untuk dibentuk menjadi flake.
Pembuatan fish flake dilakukan dengan mencampurkan tepung ubi, tepung
kacang kedelai dan tepung tapioka. Selanjutnya dilakukan pencampuran gula,
garam dan air. Setelah itu kedua campuran di mixing sehingga adonan tercampur
secara merata. Adonan yang telah tercampur kemudian digiling sehingga menjadi
pelet. Pelet-pelet tersebut kemudian dipotong-potong menjadi ukuran yang lebih
kecil + 1 cm. Pelet yang sudah dipotong kemudian dipipihkan dengan
menggunakan flaking roll kemudian ditampung dalam loyang. Pelet-pelet yang
sudah dipipihkan disebut flake.
Flake disusun dalam loyang satu persatu sehingga tidak ada yang
menempel satu sama lain, Selanjutnya flakes dipanggang menggunakan oven
dengan suhu 150 0C selama 15 menit. Proses pemanasan flake dilakukan dengan
menggunakan oven jenis tray/rak. Proses pengeringan merupakan tahap akhir
dalam proses pembuatan flake. Proses pengeringan di dalam oven menggunakan
udara panas (proses pemanggangan). Proses pemanggangan bertujuan
Kadar air flake lebih dari 3% akan menurunkan kerenyahan produk, sementara
kadar air kurang dari 1% menyebabkan produk menjadi rapuh dan mudah hancur.
Kedua kondisi ini akan memperpendek umur simpan produk (Burrington 2001).
2.11 Kemasan
Pengemasan adalah suatu sistem terpadu untuk menyiapkan, menyimpan,
dan mengawetkan produk untuk dikirim kepada konsumen melalui sistem
distribusi yang aman dan murah (Jaswin 2008). Pengemasan merupakan salah
satu proses dalam industri yang memegang peranan penting dalam upaya
mencegah terjadinya penurunan mutu produk, karena perlindungan produk dapat
dilakukan dengan mengemas produk yang bersangkutan. Pengemasan dilakukan
terhadap produk pangan maupun bukan pangan. Pengemasan harus dilakukan
dengan benar karena pengemasan yang salah dapat mengakibatkan produk tidak
memenuhi syarat mutu seperti yang diharapkan (Restuccia, et al 2010).
Berdasarkan letak atau kedudukan bahan yang dikemas, di dalam sistem
kemasan keseluruhan dapat dibedakan atas kemasan primer, kemasan sekunder,
dan kemasan tersier. Kemasan primer langsung mewadahi atau membungkus
bahan/produk yang dikemas. Kemasan sekunder berfungsi melindungi kelompok
kemasan primer. Kemasan tersier umumnya untuk pelindung selama
pengangkutan, yang dikenal sebagai kemasan distribusi (Herawati 2008).
Kemasan untuk breakfast cereal pada umumnya terdiri dari kemasan
primer, yang bersentuhan langsung dengan makanan dan berfungsi sebagai wadah
dan pelindung untuk makanan tersebut. Kemasan sekunder berfungsi sebagai
sarana promosi dan informasi serta wadah untuk hadiah beserta kemasan
primernya. Bahan-bahan yang digunakan untuk memproduksi breakfast cereal
adalah jagung, gandum, ekstrak malt, beras, gula buah, dan garam. Bahan-bahan
tersebut merupakan bahan-bahan yang bersifat higroskopis (mudah menyerap uap
air) sehingga untuk kemasan primer harus digunakan bahan yang mempunyai
permeabilitas uap air yang rendah. Cereal mengandung lemak tumbuh-tumbuhan
sehingga sebaiknya kemasan primer juga harus mempunyai permeabilitas oksigen
yang rendah. Kemasan sekunder biasanya merupakan kotak karton berbahan
dupleks dengan ketebalan 160 gsm (gram per square meter) - 230 gsm, tergantung
karena itu pada umumnya ukuran kotak cukup besar sehingga tidak ada masalah
dalam teknis proses cetaknya. Untuk kemasan dengan ukuran cukup besar seperti
ini, para desainer grafis kemasan sangat leluasa untuk menentukan tata letak
3 METODE PENELITIAN
3.1Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2010 sampai Maret 2011,
bertempat di Laboratorium Preservasi dan Pengolahan Hasil Perairan,
Laboratorium Organoleptik, Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia Hasil
Perairan, Pogram Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Pilot Plant Southeast Asian
Food and Agricultural Science and Technology Center, Institut Pertanian Bogor.
3.2Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan untuk penelitian ini yaitu ikan lele, tepung ubi,
tepung kedelai, tepung tapioka, gula, garam, dan air. Bahan-bahan yang
digunakan untuk analisis kimia (protein, lemak, kadar air, kadar abu, dan
karbohidrat) antara lain K2SO4, HgO, H2SO4, aquades, NaOH 40%, H3BO3,
alkohol, heksana, metal merah, metil biru dan HCl .
Alat yang digunakan yaitu flaking roll, autokalf, pisau, baskom,
timbangan, grinder dan kain kasa. Alat yang digunakan untuk analisis yaitu
tabung reaksi, cawan porselen, kjeldahl, erlenmeyer, desikator, dan soxhlet.
3.3Metode
Penelitian ini terdiri dari penentuan formula yang menghasilkan fish flake
terbaik dan analisis atau karakterisasi produk. Pada tahap penentuan formulasi
dilakukan pembuatan tepung ikan menggunakan ikan lele. Tepung ikan lele
tersebut kemudian difortifikasi ke dalam formula fish flake dengan berbagai
konsentrasi. Konsentrasi tepung ikan lele yang digunakan yaitu 0%, 10%, 20%,
30% dan 40%. Flake dengan penambahan tepung ikan lele kemudian di uji secara
organoleptik. Selanjutnya fish flake di uji Bayes dengan pembobotan setiap
parameter pada uji organoleptik berdasarkan tingkat kepentingan. Berdasarkan
analisis atau karakterisasi produk terpilih kemudian dibuat selang konsentrasi
penggunaan tepung ikan yang lebih kecil untuk pembuatan fish flake selanjutnya.
Kemudian karakteristik fish flake tersebut dibandingkan dengan flake komersial
lemak dan karbohidrat. Analisis fisik yang dilakukan meliputi uji kekerasan,
indeks penyerapan air dan indeks kelarutan air.
3.4Pembuatan Fish Flake
Formulasi fish flake diawali dengan pembuatan tepung ikan lele dan
dilanjutkan dengan penentuan formula yang menghasilkan flake terbaik.
Konsentrasi tepung ikan yang ditambahkan pada formula pembuatan fish flake
yaitu 0%, 10%, 20%, 30% dan 40%. Diagram alir proses pembuatan tepung ikan
dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Pembuatan tepung ikan (Apriliani 2010) Pengukusan
Ikan
Pencucian
Daging ikan
Perendaman daging ikan dengan air jeruk nipis 1:5 (jeruk nipis:air) selama 30 menit
Pengecilan ukuran menggunakan grinder
Pengayakan (60 mesh) Pengeringan menggunakan oven
selama 15 jam 40-50 0C
Tepung ikan
Bagian yang dibuang: kepala dan isi perut Penyiangan
Bagian yang dibuang: kulit, duri, sisik, dan siri Pemisahan daging dan tulang
Pembuatan tepung ikan dilakukan dengan cara sebagai berikut:
menyiapkan ikan lele, dimatikan kemudian dibersihkan. Ikan lele tersebut
kemudian direndam dalam air jeruk nipis dengan perbandingan 1:5
(jeruk nipis:air) selama 30 menit dengan tujuan untuk menghilangkan bau amis.
Selanjutnya daging ikan lele dipres menggunakan alat pengepres selama
10-15 menit dan digiling untuk mengecilkan ukuran. Selanjutnya daging ikan
dikeringkan menggunakan oven dengan suhu 40-50 oC selama ±15 jam. Daging
ikan yang telah kering dihaluskan menggunakan blender, kemudian diayak
dengan menggunakan saringan 60 mesh sehingga diperoleh tepung ikan lele.
Tahapan selanjutnya yaitu pembuatan fish flake dengan penambahan
berbagai konsentrasi tepung ikan lele sebagai perlakuan. Konsentrasi tepung ikan
yang ditambahkan yaitu 0%, 10%, 20%, 30%, dan 40% dari total tepung. Bahan
baku yang digunakan dalam produksi fish flake adalah tepung ubi jalar, tepung
kedelai dan tepung tapioka masing-masing dengan persentasi 55%, 25%,dan 20%
dari total tepung. Bahan pendukung yang digunakan dalam pembuatan fish flake
adalah gula, garam, dan air dengan persentasi bahan masing-masing 10%, 0,5%
dan 30% dari total tepung yang digunakan (Koswara 2003). Komposisi bahan
pembuatan sereal dapat dilihat pada Tabel 7
Tabel 7 Formula flakes.
Bahan Komposisi Formula
Persentasi (%) Gram
Bahan baku tepung 100 500
Tepung ubi jalar 55 275
Tepung kedelai 25 125
Tapioka 20 100
Bahan pendukung Dihitung dari total tepung
Gula pasir 10 50
Garam 0,5 25
air 30 150
Sumber : Koswara (2003)
Pembuatan fish flake dilakukan dengan mencampurkan tepung ikan,
tepung ubi, tepung kacang kedelai dan tepung tapioka. Selanjutnya dilakukan
pencampuran antara gula, garam dan air. Setelah itu kedua campuran tersebut
diaduk sehingga adonan tercampur secara merata. Adonan yang telah tercampur
kemudian dipotong-potong menjadi ukuran yang lebih kecil + 1 cm. Pelet yang
sudah dipotong kemudian dipipihkan dengan menggunakan flaking roll kemudian
ditampung dalam loyang. Pelet-pelet yang sudah dipipihkan disebut flake. Flake
tersebut kemudian disusun dalam loyang satu persatu sehingga tidak ada yang
menempel satu sama lain. Setelah itu flakes dipanggang menggunakan oven
dengan suhu 150 0C selama 15 menit hingga warnanya sedikit kecoklatan.
Diagram alir pembuatan fish flake dapat dilihat pada Gambar 3
Tepung ubi Tepung kedelai Tepung tapioka Tepung ikan*
Gula Garam Air
Pencampuran
Pengecilan ukuran dengan grinder
Pemipihan dengan flaking roll
Pemasakan dengan oven 150 0C (15 menit)
[image:31.595.108.512.135.625.2]Flake
Gambar 3. Pembuatan fish flake (Koswara 2003) dengan modifikasi.
3.5 Analisis Produk
Analisis yang dilakukan pada fish flake terpilih meliputi analisis kima dan
analisis fisik
1) Analisis Kimia
Analisis kimia yang dilakukan meliputi uji proksimat yaitu kadar
2) Analisis Fisik
Analisa fisik yang dilakukan meliputi uji kekerasan, indeks penyerapan
air dan indeks kelarutan air pada fish flake.
3.5.1 Analisis kimia
(1) Kadar air (AOAC 2007)
Cawan kosong yang akan digunakan dikeringkan terlebih dahulu dalam
oven selama 15 menit atau sampai berat tetap, kemudian didinginkan dalam
desikator selama 30 menit dan ditimbang. Sampel kira-kira sebanyak 2 gram
ditimbang dan diletakkan dalam cawan kemudian dipanaskan dalam oven
selama 3-4 jam pada suhu 105-110 oC. Cawan kemudian didinginkan dalam
desikator dan setelah dingin ditimbang kembali. Persentase kadar air (berat basah)
dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Kadar air =
100
%
B
B1
-B2
x
Keterangan:
B = Berat sampel (gram)
B1 = Berat (sampel + cawan) sebelum dikeringkan B2 = Berat (sampel + cawan) setelah dikeringkan
(2) Kadar abu (AOAC 2007)
Sampel basah sebanyak 4 gram ditempatkan dalam wadah porselin
kemudian dimasukkan dalam oven dengan suhu 60-105 oC selama 8 jam.
Kemudian sampel yang sudah kering dibakar menggunakan hotplate sampai tidak
berasap selama ± 20 menit. Kemudian diabukan dalam tanur bersuhu 600 oC
selama 3 jam lalu ditimbang. Kadar abu dapat dihitung dengan rumus berikut:
Kadar abu = 100%
Sampel Berat
abu Berat
x
(3) Kadar lemak (AOAC 2007)
Sampel sebanyak 0,5 gram ditimbang dan dibungkus dengan kertas saring
dan diletakkan pada alat ekstraksi soxhlet yang dipasang di atas kondensor serta
secukupnya sesuai dengan ukuran soxhlet yang digunakan dan dilakukan refluks
selama minimal 16 jam sampai pelarut turun kembali ke dalam labu lemak.
Pelarut di dalam labu lemak didestilasi dan ditampung. Labu lemak yang berisi
lemak hasil ekstraksi kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC
selama 5 jam. Labu lemak kemudian didinginkan dalam desikator selama
20-30 menit dan ditimbang. Kadar lemak dapat dihitung berdasarkan rumus:
Lemak = 100%
(g) sampel Berat ) ( lemak x g Berat
Berat lemak = (berat labu + lemak) – berat labu
(4) Kadar protein (AOAC 2007)
Analisis kadar protein dilakukan dengan metode kjeldahl mikro. Sampel
sebanyak 0,1 gram dimasukkan ke dalam labu kjeldahl 30 ml. Kemudian
ditambahkan K2SO4 (1,9 gram), HgO (40 mg), H2SO4 (2,5 ml) serta beberapa
tablet kjeldahl. Sampel dididihkan sampai berwarna jernih (sekitar 1-1,5 jam);
didinginkan dan dipindahkan ke alat destilasi. Lalu dibilas dengan air
sebanyak 5-6 kali dengan akuades (20 ml). Ke dalam tabung reaksi ditambahkan
larutan NaOH 40 % sebanyak 20 ml. Cairan dalam ujung kondensor ditampung
dengan erlenmeyer 125 ml berisi larutan H3BO3 dan 3 tetes indikator (campuran
metil merah 0,2 % dalam alkohol dan metil biru 0,2 % dalam alkohol dengan
perbandingan 2:1) yang ada di bawah kondensor. Destilasi dilakukan sampai
diperoleh kira-kira 200 ml destilat yang bercampur dengan H3BO3 dan indikator
dalam erlenmeyer. Destilat dititrasi dengan menggunakan HCl 0,1 N sampai
terjadi perubahan warna menjadi merah. Hal yang sama juga dilakukan terhadap
blanko. Kadar protein dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut:
mg sampel 100%
sampel Bobot fp x x14.007 blanko) ml -HCL (ml Nitrogen
% = x
% Protein = % N x Faktor konversi
(5) Kadar karbohidrat (AOAC 2007)
Analisis karbohidrat dilakukan secara by difference, yaitu hasil
pengurangan dari 100 % dengan kadar air, kadar abu, kadar protein dan
kadar lemak, sehingga kadar karbohidrat tergantung pada faktor pengurangannya.
Hal ini karena karbohidrat sangat berpengaruh terhadap zat gizi lainnya. Analisis
karbohidrat dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
+ kadar protein)
Kadar karbohidrat = 100% - (kadar air + kadar abu + kadar lemak
3.5.2 Analisa fisik (1) Kekerasan
Pengukuran kekerasan ditentukan secara objektif terhadap produk yang
berbentuk flakes dengan menggunakan rheoner. Tingkat kekerasan dinyatakan
dengan gf, yang berarti besarnya gaya tekan untuk memecahkan flakes.
(2) Indeks penyerapan air (IPA) dan indeks kelarutan air (IKA) metode sentrifugasi (Muchtadi 1989).
Flakes digiling dan disaring dengan saringan 60 mesh. Flakes harus lolos
pada saringan 60 mesh. Sebanyak satu gram tepung flakes dimasukkan ke dalam
tabung sentrifus. Kemudian ditambahkan 10 ml aquades, diaduk dengan
menggunakan vibrator sampai semua bahan terdispersi secara merata, selanjutnya
larutan dalam tabung disentrifugasi dengan kecepatan 2000 rpm pada suhu ruang
selama 15 menit. Supernatan yang diperoleh dituang secara hati-hati ke dalam
wadah lain, sedangkan tabung sentrifus beserta residunya dipanasakan dalam
oven. Tabung diletakkan dengan posisi miring (250) dan oven diatur pada suhu
500C selama 25 menit. Akhirnya tabung residu ditimbang untuk menentukan berat
air yang diserap.
Dari supernatan hasil senrifugasi yang diperoleh, diambil contoh sebanyak
2 ml dan dimasukkan ke dalam cawan. Cawan yang digunakan ditimbang,
sehingga telah diketahui beratnya. Cawan dimasukkan ke dalam oven dan
dikeringkan pada suhu 1100C sampai semua air dalam cawan menguap. Cawan
bahan kering yang terdapat dalam supernatan. Indeks penyerapan air dan indeks
kelarutan air dapat ditentukan dengan persamaan berikut :
IPA =
arut bahan terl berat -awal Berat terserap yang air berat
IKA =
suspensi 2ml suspensi ml 2 dalam arut bahan terl berat .
3.6 Uji Organoleptik
Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji hedonik. Uji ini dilakukan untuk
mengetahui tingkat penerimaan atau kesukaan panelis terhadap produk fish flake
yang dihasilkan. Skala yang digunakan adalah 1(sangat tidak suka) sampai 9
(sangat suka) dengan nilai 5 sebagai rasa antara (netral). Parameter yang diuji
adalah penerimaan umum (over all).
3.7 Uji Bayes
Pengambilan keputusan untuk memilih konsentrasi yang terbaik pada
tahap penentuan formulasi menggunakan metode Bayes. Metode Bayes
merupakan salah satu teknik yang dapat digunakan untuk melakukan analisis
dalam pengambilan keputusan terbaik dari sejumlah alternatif dengan tujuan
menghasilkan perolehan yang optimal. Untuk menghasilkan keputusan yang
optimal perlu dipertimbangkan berbagai kriteria (Marimin 2004).
Adanya perlakuan merupakan kriteria yang perlu dipertimbangan dalam
pemilihan fish flake dengan penambahan tepung ikan lele yang menghasilkan
produk paling disukai pada penelitian pendahuluan. Pemilihan fish flake paling
disukai dilakukan dengan uji indeks kinerja didasarkan pada total nilai yang
paling tinggi dari setiap perlakuan. Parameter yang dibobot meliputi karakteristik
sensori aroma, rasa, aroma, penampakan dan tekstur. Nilai kepentingan
masing-masing parameter sensori yang digunakan terdiri dari 5 nilai numerik, yaitu 1
mewakili tidak penting, 2 mewakili kurang penting, 3 mewakili biasa, 4 mewakili
penting dan 5 mewakili sangat penting. Nilai kepentingan bisa diperoleh dari hasil
3.8 Analisis Data
Analisis data penelitian pendahuluan berupa uji skala hedonik
menggunakan uji Kruskal-Wallis yang dilanjutkan dengan uji lanjut Multiple
Comparison untuk melihat pengaruh penambahan tepung ikan yang digunakan
terhadap parameter aroma, rasa, aroma, penampakan dan tekstur.
Rancangan percobaan pada penelitian utama digunakan untuk mengetahui
pengaruh perlakuan konsentrasi tepung ikan terhadap parameter subjektif dan
objektif yaitu rancangan acak lengkap (RAL) dengan tiga perlakuan dan dua kali
ulangan. Konsentrasi tepung ikan yang digunakan sebagai perlakuan sebesar 25%,
30%, dan 35% serta cornflakes komersial sebagai pembanding. Model rancangan
yang digunakan adalah :
Keterangan:
Yij = hasil pengamatan pada perlakuan ke-i, ulangan ke-j
µ = nilai rata-rata
τi = pengaruh perlakuan ke-i
εij = galat pada perlakuan ke i dan ulangan ke j i = perlakuan ke i
j = ulangan ke j
Hipoteisi yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
H0 : Penambahan tepung ikan lele dengan berbagai konsentrasi tidak
memberikan pengaruh terhadap mutu fish flake
H1 : Penambahan tepung ikan lele dengan berbagai konsentrasi
memberikan pengaruh terhadap mutu fish flake
Selang kepercayaan yang digunakan adalah 95% untuk menyatakan perbedaan
nyata. Selanjutnya data dianalisis dengan analisis ragam. Jika dari hasil analisis
ragam berbeda nyata maka dilakukan uji lanjut dengan memakai uji Tukey,
sedangkan uji organoleptik, data dianalisis dengan metode Kruskal Wallis. Jika
hasil uji Kruskal Wallis berbeda nyata maka dilakukan uji lanjut dengan
3.9 Angka Kecukupan Gizi
Angka kecukupan gizi adalah nilai yang menunjukkan jumlah zat gizi
diperlukan tubuh untuk hidup sehat setiap hari bagi hampir semua populasi
menurut kelompok umur, jenis kelamin dan kondisi fisiologis tertentu seperti
kehamilan dan menyusui. Kekurangan asupan zat gizi akan menyebabkan
terjadinya efek samping (IOM 2002).
Berdasarkan total kebutuhan kalori total 2000kkal/hari, berikut adalah rinciannnya :
Karbohidrat : 50-60% dari total kalori
Protein : 10-20% dari total kalori
Lemak : kurang dari sama dengan 30% dari total kalori
Kebutuhan kalori karbohidrat = X 2000kkal = 1000 kkal
Kebutuhan karbohidrat perhari = kkal
4 = 250 gram/hari
Kebutuhan kalori protein = X 2000kkal = 400kkal
Kebutuhan protein perhari = 4 kkal
4 = 100 gram/hari
Kebutuhan kalori lemak = X 2000kkal = 600 kkal
Kebutuhan karbohidrat perhari = 6 kkal
9 = 66,67 gram/hari
Keterangan : ing = ingridient
Log per ss = % ing x ss x
Ss = serving size
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
.1 Pembuatan Flake
flake bertujuan untuk mencari formula terbaik yang
meng
rmulasi flake dengan penambahan tepung ikan lele
ng ikan lele dan
telah dimasak dengan proses pemangganggan selanjutnya
Gambar 4 Nilai organoleptik flake dengan penambahan tepung ikan (Flake dengan penambahan konsentrasi : 0% ,
4
Pembuatan fish
hasilkan produk yang dapat diterima oleh panelis berdasarkan uji hedonik
dan dilanjutkan dengan analisis pengambilan keputusan menggunakan metode
Bayes.
4.1.1 Fo
Formulasi fish flake diawali dengan pembuatan tepu
dilanjutkan dengan penentuan formula yang menghasilkan fish flake terbaik
bedasarkan uji organoleptik dan uji Bayes.
4.1.2 Uji hedonik
Flake yang
dilakukan uji organoleptik. Dalam penelitian pendahuluan ada lima parameter
yang diukur yaitu penampakan, bau, rasa, warna dan tekstur. Hasil uji
organoleptik dari fish flake dengan penambahan tepung ikan lele dapat dilihat
pada Gambar 4
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
penampakan warna aroma tekstur rasa
Nilai u
ji o
rg
an
o
lep
tik
Parameter uji organoleptik
Gambar 4 menunjukkan rata-rata penerimaan panelis terhadap uji sensori
akan
konsumen terhadap suatu makanan diantaranya dipengaruhi
Gambar 5 Nilai uji penampakan pada fish flake.
Hasil uji Kruska ng ikan
membe
dengan skala hedonik 1 sampai 9. Nilai hedonik penampakan dan warna tertinggi
terdapat pada fish flake dengan perlakuan tepung ikan 30% dengan rata-rata nilai
6,77 dan 7,33. Nilai hedonik aroma dan rasa tertinggi pada fish flake dengan
perlakuan tepung ikan 10% dengan rata-rata nilai 5,90 dan 6,63. Sedangkan nilai
hedonik tekstur tertinggi pada flake perlakuan tepung ikan 40% dengan rata-rata
nilai 7,03.
(1) Penamp
Penerimaan
oleh status sosial dan mutu makanan menurut keyakinannya. Penampakan pangan
merupakan faktor terpenting yang berpengaruh, karena faktor inilah yang pertama
kali dilihat. Faktor-faktor selanjutnya adalah warna, kemudian aroma, rasa dan
tekstur makanan tersebut (Muchtadi 1898). Berdasarkan uji kesukaan yang
dilakukan oleh panelis, penampakan flakes dengan penambahan tepung ikan yang
diujikan mempunyai kisaran nilai 5,80 sampai 6,77 dengan skala hedonik 1-9.
Penampakan flakes yang paling disukai panelis yaitu dengan penambahan tepung
ikan 30% dengan nilai 6,77. Flake tersebut mempunyai penampakan yang
menarik dengan warna yang kuning cemerlang dan permukaan flake yang halus.
6.10abc 5.83ab 5.80a 6.77c 6.63bc
1 2 3 4 5 6 7 8 9
0% 10% 20% 30% 40%
Ni
la
i organol
epti
k
Konsentrasi tepung ikan
l-Wallis menunjukkan bahwa penggunaan tepu
rikan pengaruh yang nyata terhadap penampakan fish flake. Hal ini
diperkuat dengan uji lanjut yang menunjukkan adanya perbedaan nyata antara fish
a memegang peranan penting yang mempengaruhi penerimaan
ikan
membe
ikan. Flake dengan penambahan 20% tepung ikan paling tidak disukai oleh
panelis karena flake tersebut memiliki warna yang pucat dan pinggiran flake yang
kurang seragam. Flake dengan penambahan tepung ikan 30% paling disukai
panelis karena fish flake memiliki warna kuning yang tidak terlalu gelap. Selain
itu fish flake tersebut memiliki tekstur yang kompak dan padat dan tidak mudah
patah. Hal ini diduga karena rasio antara ikan dan tepung mempengaruhi daya
mengembang produk. Peningkatan kandungan protein ikan dalam adonan akan
menurunkan daya kembang produk. Perbandingan yang tepat dari bahan adonan
akan mempengaruhi penampakan produk. Pengaturan suhu dan lamanya proses
pengolahan juga dapat mempengaruhi penampakan dari flake (Lavlinesa 1995).
(2) Warna
Warn
konsumen karena merupakan kesan pertama yang akan dinilai konsumen.
Menurut Meilgaard (1999), warna merupakan salah satu atribut penampilan
produk yang sering menentukan tingkat penerimaan konsumen terhadap produk
secara keseluruhan. Warna fish flake dipengaruhi oleh bahan-bahan yang
digunakan dalam pembuatan fish flakes. Berdasarkan uji kesukaan yang
dilakukan oleh panelis, fish flakes dengan penambahan tepung ikan yang diujikan
mempunyai kisaran nilai 5,63 sampai 7,33 dari skala hedonik 1-9. Berdasarkan uji
kesukaan, fish flake dengan penambahan tepung ikan 20% mempunyai nilai
rata-rata warna terendah sedangkan nilai tertinggi pada fish flake dengan penambahan
tepung ikan 30%. Flake dengan penambahan tepung ikan 20%, memiliki warna
coklat yang sedikit pucat, sedangkan fish flake dengan penambahan tepung ikan
30% memiliki warna coklat kekuningan yang cemerlang. Nilai hedonik warna fish
flake dengan berbagai konsentrasi tepung ikan dapat dilihat pada Gambar 6
Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa penggunaan tepung
rikan pengaruh yang nyata terhadap warna fish flake. Hal ini diperkuat
dengan uji lanjut yang menunjukkan adanya perbedaan nyata antara fish flake
dengan penambahan 20% tepung ikan dengan 30% tepung ikan. Warna fish flake
dipengaruhi oleh penambahan tepung ikan. Penambahan tepung ikan lele yang
semakin banyak dapat membuat produk menjadi semakin gelap. Hal ini diduga
Gambar 6 Nilai uji warna pada fish flake.
Reaksi maillard atau pe buatan fish flake
untuk
urut Winarno (2008) aroma atau bau yang menguap merupakan
yang dilakukan oleh panelis, fish flakes dengan
penamb
karena adanya reaksi gugus asam amino, peptida atau protein yang berasal dari
tepung ikan lele dengan gugus hidroksil glikosidik pada gula, kemudian diakhiri
dengan pembentukan polimer nitrogen berwarna cokelat atau melanoidin sehingga
fish flake berwarna cokelat (Mendoza et al. 2004).
6.10abc 5.83ab 5.80a
6.77c 6.63bc
1 2 3 4 5 6 7 8 9
0% 10% 20% 30% 40%
Ni
la
i organol
epti
k
Konsentrasi tepung ikan
ncoklatan dikehendaki pada pem
mendapatkan warna cokelat yang menarik. Pada formula penambahan
tepung ikan 30% kesukaan panelis meningkat karena fish flake tersebut
mempunyai warna cokelat yang sedang tidak terlalu gelap. Akan tetapi perubahan
warna yang semakin gelap tidak disukai. Hal ini terlihat pada fish flake
penambahan 40% tepung ikan yang menyebabkan warna menjadi semakin gelap
sehingga kesukaan panelis menurun.
(3) Aroma
Men
atribut suatu produk yang diterima oleh sel-sel olfaktori yang terdapat di dalam
hidung dan diteruskan ke otak dalam bentuk impuls listrik. Aroma juga ikut
menentukan penerimaan produk. Aroma yang enak akan menggugah selera,
sedangkan aroma yang tidak enak akan menurunkan selera konsumen untuk
mengkonsumsi produk tersebut.
Berdasarkan uji kesukaan
ahan tepung ikan mempunyai kisaran nilai aroma antara 5,43 sampai 5,90
Gambar 7 Nilai uji aroma pada fish flake.
Hasil uji Kr unaan tepung ikan
tepung ikan 40% mempunyai nilai rata-rata aroma terendah sedangkan nilai
tertinggi pada fish flake dengan penambahan tepung ikan 10%. Makin tinggi
konsentrasi tepung ikan yang ditambahkan maka aroma ikan pada fish flake
semakin nyata. Flake dengan penambahan tepung ikan 40% memiliki aroma ikan
yang lebih tajam jika dibandingkan fish flake dengan penambahan tepung ikan
10%. Gambar 7 menunjukkan bahwa panelis dapat menerima aroma dari fish flake
dengan penambahan tepung ikan, karena pada semua perlakuan yang diberikan
memiliki nilai di atas lima atau netral sampai suka. Parameter aroma pada fish
flake dengan penambahan tepung ikan dipengaruhi oleh bahan-bahan yang
digunakan dalam pembuatan fish flake. Hasil uji hedonik pada parameter aroma
dapat dilihat pada Gambar 7.
6.10abc 5.83ab 5.80a
6.77c 6.63bc
1 2 3 4 5 6 7 8 9
0% 10% 20% 30% 40%
Ni
la
i organol
epti
k
Konsentrasi tepung ikan
uskal-Wallis menunjukkan bahwa pengg
tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap aroma fish flake. Hal ini karena
pada pembuatan tepung ikan dilakukan perendaman dengan jeruk nipis sehingga
bau amis dari ikan dapat dihilangkan. Ikan merupakan bahan makanan yang cepat
mengalami kemunduran mutu selama proses pengolahan. Faktor utama yang
berperan dalam kemunduran adalah proses degradasi protein yang membentuk
berbagai produk seperti hipoksantin, trimetilamin, terjadinya proses ketengikan
oksidatif dan pertumbuhan mikroorganisme (Junianto 2003). Trimetilamin
tersebut cukup berperan dalam pembentukan bau yang ditimbulkan oleh ikan.
ur makanan dapat didefinisikan sebagai cara bagaimana berbagai
anelis, fish flakes dengan
[image:43.595.100.505.88.827.2]penamb
Gambar 8 Nilai uji tekstur pada fish flake.
Flake denga kstur yang kurang
renyah
amis dari ikan karena jeruk nipis mengandung asam askorbat yang dapat bereaksi
dengan trimethylamine (TMA) dan membentuk trimethyl amonium. Perubahan
trimethylamine (TMA) menjadi trimethyl amonium inilah yang dapat mengurangi
bau amis dari ikan.
(4) Tekstur
Tekst
unsur komponen dan unsur struktur ditata dan digabung menjadi mikro dan
makrostruktur. Tekstur merupakan segi penting dari mutu makanan, terkadang
lebih penting daripada aroma dan warna (deMan 1997).
Berdasarkan uji kesukaan yang dilakukan oleh p
ahan tepung ikan yang diujikan mempunyai kisaran nilai 4,80 sampai 7,03
dengan skala hedonik 1-9. Berdasarkan uji kesukaan, fish flake dengan
penambahan tepung ikan 0% mempunyai nilai rata-rata tekstur terendah
sedangkan nilai tertinggi pada fish flake dengan penambahan tepung ikan 40%.
Semakin banyak tepung ikan yang ditambahkan kesukaan panelis semakin tinggi.
Hasil uji hedonik pada parameter tekstur dapat dilihat pada Gambar 8
6.10abc 5.83ab
5.80a
6.77c 6.63bc
1 2 3 4 5 6 7 8 9
0% 10% 20% 30% 40%
Ni
la
i organol
epti
k
Konsentrasi tepung ikan
n penambahan tepung ikan 0% memiliki te
dan sedikit basah, sedangkan fish flake dengan penambahan tepung ikan
40% memiliki tekstur yang lebih kompak dan lebih renyah. Penambahan tepung
penggunaan tepung ikan
membe
sa makanan merupakan atribut penilaian makanan yang melibatkan
menunjukkan bahwa penggunaan tepung ikan ini menyebabkan pada saat pemanggangan fish flake dengan penambahan tepung
ikan 40% lebih cepat kehilangan air jika dibandingkan dengan fish flake tanpa
penambahan tepung ikan. Kerenyahan juga erat kaitannya dengan perbedaan
komposisi dari bahan dasarnya terutama komponen amilosa dan amilopektinnya.
Kadar amilosa yang tinggi dalam bahan akan mampu meningkatkan kerenyahan
fish flake yang dihasilkan. Amilosa dalam bahan akan membentuk ikatan
hidrogen dengan air dalam jumlah yang lebih banyak, sehingga pada saat
pemanggangan air akan menguap dan meningkatkan ruang kosong dalam bahan
sehingga fish flake menjadi renyah (Rahmanto 1994).
Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa
rikan pengaruh yang nyata terhadap tekstur fish flake. Hal ini diperkuat
dengan uji lanjut yang menunjukkan adanya perbedaan nyata antara fish flake
dengan penambahan tepung ikan 0% dengan fish flake dengan penambahan 30%
tepung ikan. Kadar protein dan lemak yang tinggi juga dapat menyebabkan
rendahnya absorpsi air, karena protein dan lemak akan menutupi partikel
pati/tepung sehingga penyerapan air dapat terhambat (Permatasari 2007). Hal ini
didukung pula dengan hasil uji fisik yaitu semakin banyak tepung ikan yang
ditambahkan maka penyerapan dan kelarutan air semakin kecil.
(5) Rasa
Ra
panca indra lidah. Rasa makanan dapat dikenali dan dibedakan oleh kuncup cecap
yang terletak pada papila. Berdasarkan uji kesukaan yang dilakukan oleh panelis,
fish flakes dengan penambahan tepung ikan yang diujikan mempunyai kisaran
nilai 4,83 sampai 6,63 dari skala hedonik 1-9. Berdasarkan uji kesukaan, fish flake
dengan penambahan tepung ikan 30% mempunyai nilai rata-rata tekstur terendah
sedangkan nilai tertinggi pada fish flake dengan penambahan tepung ikan 10%.
Hal ini diduga karena fish flake dengan penambahan tepung ikan lele 30%
mempunyai rasa khas ikan yang lebih nyata. Hasil uji hedonik pada parameter
rasa dapat dilihat pada Gambar 9
Hasil uji Kruskal-Wallis
memberikan pengaruh yang nyata terhadap rasa fish flake. Hal ini diperkuat
Gambar 9 Nilai uji rasa pada fish flake.
Reaksi mailla tukan rasa pada fish
ake. T
asarkan hasil uji
Bayes merupakan salah satu teknik yang dapat dipergunakan dengan penambahan 10% tepung ikan dengan 30% tepung ikan. Penambahan
konsentrasi ikan yang semakin tinggi mengakibatkan fish flake tersebut semakin
tidak disukai oleh para panelis. Hal ini diduga karena penambahan tepung ikan
akan menimbulkan rasa khas ikan pada fish flake, sehingga panelis tidak
menyukainya.
6.10abc 5.83ab
5.80a
6.77c 6.63bc
1 2 3 4 5 6 7 8 9
0% 10% 20% 30% 40%
Ni
la
i organol
epti
k
Konsentrasi tepung ikan
rd juga diduga berperan dalam pemben
fl epung ikan memiliki kandungan protein dan asam amino. Di dalam bahan
pangan reaksi maillard terjadi antara gula pereduksi dan asam amino terikat pada
peptida dan protein sehingga akan menyebabkan reaksi karena gugus ini sangat
reaktif. Reaksi maillard membentuk senyawa-senyawa yang bertanggung jawab
terhadap flavor dan warna bahan makanan (Borelli et al. 2003).
4.1.3 Penentuan formulasi menggunakan metode Bayes berd hedonik
Metode
untuk melakukan analisis dalam pengambilan keputusan terbaik dari sejumlah
alternatif dengan tujuan menghasilkan perolehan yang optimal. Untuk
menghasilkan keputusan yang optimal perlu dipertimbangkan berbagai kriteria
(Marimin, 2006). Sebelum dilakukan analisis menggunakan metode Bayes,
dilakukan perangkingan terhadap beberapa parameter yang diamati berdasarkan
metode Bayes mendapat skor lima sedangkan parameter dengan nilai terendah
mendapat skor satu.
Parameter yang dianggap paling penting dari produk fish flake dengan
penambahan tepung ikan secara berturut-turut yaitu penampakan, tekstur, rasa,
warna, dan aroma. Hasil analisis dengan menggunakan metode Bayes
menunjukkan bahwa penambahan tepung ikan 30% menghasilkan fish flake
terbaik. Hasil uji hedonik maupun uji Bayes dari fish flake dengan penambahan
konsentrasi ikan 30% mempunyai korelasi yang positif. Hasil uji hedonik dari fish
flake dengan penambahan konsentrasi tepung ikan 30% mempunyai skor tertinggi
untuk parameter penampakan dan warna, sedangkan pada parameter tekstur
menempati urutan kedua (Tabel 8).
Tabel 8 Hasil analisis dengan metode Bayes
Parameter Perlakuan
0% 10% 20% 30% 40% nilai bobot
penampakan 3 2 1 5 4 0,24
tekstur 1 2 3 4 5