• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konstruksi Realitas Pesan Imaji Kebangsaan Dalam Ilustrasi Karya Jitet di Harian Kompas (Studi Analisis Semiotika Ilustrasi Ilustrator Jitet di Harian Kompas Terhadap Makna Imaji Kebangsaan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Konstruksi Realitas Pesan Imaji Kebangsaan Dalam Ilustrasi Karya Jitet di Harian Kompas (Studi Analisis Semiotika Ilustrasi Ilustrator Jitet di Harian Kompas Terhadap Makna Imaji Kebangsaan)"

Copied!
264
0
0

Teks penuh

(1)

Konstruksi Realitas Pesan Imaji Kebangsaan Dalam Ilustrasi

Karya Jitet Koestana Di Harian Kompas

(Studi Analisis Semiotika Ilustrasi Ilustrator Jitet di Harian

Kompas Terhadap Makna Imaji Kebangsaan)

SKRIPSI

Yudha Ikhsan

110904018

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

Konstruksi Realitas Pesan Imaji Kebangsaan Dalam Ilustrasi

Karya Jitet Koestana Di Harian Kompas

(Studi Analisis Semiotika Ilustrasi Ilustrator Jitet di Harian

Kompas Terhadap Makna Imaji Kebangsaan)

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

sarjana Program Strata I (S1) pada Departemen Ilmu

Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Poltik Universitas

Sumatera Utara

Yudha Ikhsan

110904018

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK LEMBARPERSETUJUAN

Skripsiinidisetujui untuk dipertahankan oleh:

Nama : Yudha Ikhsan

NIM : 110904018

Departemen :Ilmu Komunikasi (HUMAS)

JudulSkripsi : Konstruksi Realitas Pesan Imaji

Kebangsaan Dalam Ilustrasi Karya Jitet di Harian Kompas (Studi Analisis

Semiotika Ilustrasi Ilustrator Jitet di Harian Kompas Terhadap Makna Imaji

Kebangsaan)

Medan, Maret 2015

Dosen Pembimbing, Ketua Departemen,

Drs. Syafruddin Pohan, M.SiDra.FatmaWardy Lbs,MANIP.

19581205198931002 NIP. 196208281987012001

DekanFISIP-USU,

(4)

HALAMANPERNYATAANORISINALITAS

Skripsiiniadalah hasilkaryasayasendiri, semuasumber baikyangdikutip maupun

dirujuk telah saya cantumkan sumbernyadengan benar. Jika kemudian hari

sayaterbukti melakukan pelanggaran(plagiat), makasayabersedia diproses sesuai

dengan hukumyangberlaku.

Nama : Yudha Ikhsan

NIM : 110904018

TandaTangan:

(5)

HALAMANPENGESAHAN

Skripsiinidiajukan oleh :

Nama : Yudha Ikhsan

NIM : 110904018

Departemen :Ilmu Komunikasi (Humas)

JudulSkripsi :Konstruksi Realitas Pesan Imaji Kebangsaan Dalam

Ilustrasi Karya Jitet Koestana di Harian Kompas

(Studi Analisis Semiotika Ilustrasi Ilustrator Jitet di

Harian Kompas Terhadap Makna Imaji Kebangsaan)

Telahberhasildipertahankandi hadapan DewanPengujidanditerima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial danIlmuPolitikUniversitas Sumatera Utara

MajelisPenguji Ketua Penguji :

Penguji :

PengujiUtama

(6)

HALAMANPERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGANAKADEMIS

Sebagai civitas akademik Universitas SumateraUtara,sayayangbertandatangan di

bawah ini:

Nama : Yudha Ikhsan NIM : 110904018

Departemen :Ilmu Komunikasi (Humas) Fakultas :Ilmu Sosial danIlmu Politik Universitas : SumateraUtara

Jenis Karya : Skripsi

Demipengembangan ilmupengetahuan,penelitimeneytujuiuntukmemberikan

kepadaUniversitas SumateraUtaraHakBebasRoyaltiNon Eksklusif(Non-

exclusiveRoyalty-FreeRight) ataskaryailmiah sayayangberjudul:Konstruksi Realitas Pesan Ilustrasi Pada Pemaknaan Imaji Kebangsaan (Studi Analisis Semiotika Ilustrasi Ilustrator Jitet di Harian

Kompas Terhadap Makna Imaji Kebangsaan), beserta perangkat yang ada (jika diperlukan).

Dengan Hak BebasRoyaltiNoneksklusif ini, Universitas SumateraUtaraberhak menyimpan,

mengalihmedia/format-kan, mengeloladalambentuk pangkalandata (database),

merawatdanmempublikasikantugasakhirsaya tanpameminta izindarisaya selama

tetapmencantumkan namasayasebagaipenulisataupenciptasebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan inisayabuat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Medan

Padatanggal : Maret, 2015)

YangMenyatakan

(Yudha Ikhsan

(7)

Skripsi ini diajukan oleh

Nama : Yudha Ikhsan

NIM : 110904018

Departemen : Ilmu Komunikasi

Judul Skripsi :Konstruksi Realitas Pesan Imaji Kebangsaan Dalam Ilustrasi Karya Jitet di Harian

Kompas (Studi Analisis Semiotika Ilustrasi Ilustrator Jitet di Harian Kompas Terhadap Makna Imaji Kebangsaan)

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Majelis Penguji

Ketua Penguji :

Penguji : Drs. Syafruddin Pohan, M.Si, Ph. D

NIP. 195812051989031002

Pemguji Utama :

Ditetapkan di : Medan

Tanggal : Maret 2015

(8)

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Mahas Esa Allah SWT, karena berkat rahmatNya serta hidayahNya, saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sumatera Utara (USU). Saya menyadari tanpa bimbingan dari berbagai pihak, dari awal masa perkuliahan hingga sampai pada penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, saya ingin mengucapkan terimakasih sangat mendalam kepada kedua orang tua tercinta Drs. Safrin M.Si (Bapak) dan Dra. Dahniar (Ibu) yang telah berupaya melakukan yang terbaik untuk kebaikan peneliti, serta senantiasa terus berdoa kepada Allah SWT untuk kelancaran proses penelitian ini berlangsung. Juga kepada Feby Aulia (Kakak) dan Gilang Putra Bahana (Adik) yang telah banyak memberikan dukung moril sehingga peneliti terus termotivasi untuk melakukan yang terbaik.

Peneliti juga mengucapkan puji dan syukur dari lubuk hati yang terdalam, saya ingin menyampaikan ucapan sebesarnya terimakasih kepada:

1) Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2) Ibu Dra. Fatma Wardy Lubis, M.Si selaku Ketua Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU

3) Bapak Drs. Syafruddin Pohan, M.Si, Ph.D selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam penyusunan skripsi ini. Terimakasih untuk pengertian dan kebebasan yang Bapak berikan sehingga saya bisa mengeksplorasi materi skripsi dengan leluasa.

4) Bapak/ibu dosen dan staf pengajar Ilmu Komunikasi FISIP USU yang telah berperan besar dalam terlaksananya perkuliahan selama ini.

5) Siti Safira Mayhara S. pemberi kesejukan dalam keringnya ilalang kehidupan. Terimakasih atas perhatian dengan tulus yang senantiasa memotivasi peneliti untuk melakukan yang terbaik.

(9)

8) M. Zahrawi sepupu terbaik yang banyak mengajarkan pentingnya bekerja keras. Juga Kepada teman-teman Ilmu Komunikasi FISIP USU, ‘ANTO’, sangat indah nian dikenang memori jiwa.

9) Perhumas Muda USU terimakasih atas waktu-waktu yang indah untuk dikenang. Jangan pernah takut untuk mencoba, dan terus bekerja serta berusaha untuk melakukan yang terbaik. Perhumas Muda Medan terimakasih atas pengertian dan kebaikannya, semoga bisa menjadi lebih lagi amin.

10) Kepada Kakanda Jovita Sabarina Sitepu, atas kesediaanya memberikan kritikan dan nasihat untuk menjadikan skripsi ini lebih baik lagi.

11) Ibu Mazdalifah yang telah banyak membantu peneliti dalam halnya memberikan kemajuan dalam melaksanakan kegiatan kampus dan berorganisasi.

12) Jitet Koestana, seniman hebat dari kota Semarang. Senang sekali bisa berdiskusi dan mengenal Anda sebagai seorang teman, partner diskusi, dan Indonesianis berjiwa nyeni. Terimakasih atas kesediaanya membantu peneliti. Terimakasih atas data-data penelitian yang sangat membantu peneliti.

13) Herman Tan Dela Oeslan (Harian Analisa) dan Basuki Hu Wie Tian (Harian Waspada) , terimakasih atas proses wawancaranya yang telah banyak mengorbankan waktu. Tetap terus berkarya pak.

14) USU Channel, jangan pernah menyerah. Tunjukkan kalian bisa lebih baik dan lebih giat dalam proses menghasilkan karya jurnalistik. Salam berita. Sukses untuk USU Channel. 15) Kakak Siti Nuraini yang telah banyak memberikan semangat, ide-idel liar namun spektakuler, kritikan serta nasihat membangun, dan khususnya yang paling penting daftar literatur yang sangat komperhensif membuat penelitian dari peneliti bisa menjadi lebih baik. Salam sukses.

16) Kepada sang kepingan mimpi-mimpi yang berserakan, kita kembali, merindu kembali kepada sang jiwa utuh, berjalan tanpa takut di sela-sela kabut hati. Kita menuju mimpi, bersama diriku Yudha Ikhsan. Universiteit Franfurt 2015.

(10)

Medan, Maret 2015 Peneliti,

(11)

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK

———————————————————————————————————————

Sebagai civitas akademika Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Yudha Ikhsan

NIM : 110904018

Departemen : Ilmu Komunikasi

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (ISIP) Universitas : Universitas Sumatera Utara (USU)

Jenis Karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non Eksklusif (Non-Exclusive Royalty – Free Right) atas karya ilmuah saya yang berjudul :

……… ……… ……… ………

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royali Non-eksklusif ini Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan mengalihmedia/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan memublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya

Dibuat : …..

Pada tanggal : ……

Yang Menyatakan

(12)

DAFTAR ISI………. xi

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perspektif/Paradigma Kajian……….. 13

2.1.1 Pengetahuan………. 16

2.2 Kajian Pustaka……… 17

2.2.1 Konstruksi Realitas dalam Media Massa………. 17

2.2.2 Manusia Sebagai Pembuat Simbol ………. 22

2.2.3 Media Massa dan Lingkungan Semu……….. 23

2.2.4 Semiotika………. 23

2.2.4.1 Semiotika Komunikasi Visual……….. 29 2.2.4.2 Semiotika Roland Barthes………... 32

2.2.5 Ilustrasi……….... 53

3.5 Teknik Pengumpulan Data………. 69

3.6 Keabsahan Data……….. 69

3.7 Teknik Analisis Data……….. 70

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Lokasi Penelitian……… 73

4.1.1 Sejarah Harian Kompas……….. 73

4.1.2 Profil Jitet Koestana……… 77

4.1.3 Profil Basuki……… 78

4.1.5 Profil Herman Tan Dela Oeslan……….. 79

4.2 Hasil Analisis Penelitian………. 80

4.2.1 Ilustrasi Pertama (1)………. 81

Judul: Dagelan Sepak Bola MPR/DPR RI 4.2.2 Ilustrasi Kedua (2)……… 87

Judul: Suara yang Terpenjara 4.2.3 Ilustrasi Ketiga (3)……… 93

(13)

4.2.7 Ilustrasi Ketujuh (7)……….. 118

Judul: Mayat Demokrasi 4.2.8 Ilustrasi Kedelapan (8)……….. 124

Judul: Pilkada yang Terkungkung 4.2.9 Ilustrasi Kesembilan (9)………. 131

Judul: Gedung Pemenjara Harapan 4.2.10 Ilustrasi Kesepuluh (10)……… 137

Judul: Pendar Kemurnian dan Tukang Rasuah 4.2.11 Ilustrasi Kesebelas (11)……….. 143

Judul: Konferensi Meja Kekuasaan (KMK) 4.2.12 Ilustrasi Keduabelas (12)………... 149

Judul: Penjara, Saksi Kursi 4.2.13 Ilustrasi Ketigabelas (13)……… 155

Judul: Runtuhnya Demokrasi Indonesia 4.2.14 Ilustrasi Keempatbelas (14)……… 161

Judul: Di balik Pelarian Kekuasaan 4.3 Transkrip Hasil Wawancara……… 167

4.3.1 Hasil Wawancara Bersama Jitet Koestana (Ilustrator Kompas)……... 167 4.3.2 Hasil Wawancara Bersama Basuki (Ilustrator Waspada)………. 193

4.3.3 Hasil Wawancara Bersama Herman (ilustrator Analisa)……….. 209

4.4 Pembahasan……… 221

BAB V KESIMPULAN 5.1 Kesimpulan……… 223

5.1 Saran……….. 225

5.3 Implikasi Teoritis……… 225

5.4 Implikasi Praktis………. 225

(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1 Gambar Peta Tanda Roland Barthes……….. 29

2.2 Konsep Petanda dan Penanda………...31

2.3 Elemen-elemen Makna Saussure………33

2.4 Diagram Komponen Tanda………39

2.5 Signifikasi Dua Tahap Barthes………...41

2.6 Tingkat Pertandaan……….42

2.7 Metabahasa……….42

2.7 Konotasi………..43

2.8 Teori Metabahasa dan Konotasi……….43

2.9 Poros Paradigma dan Sintagma………..41

2.10 Sintagmatik dan Paradigmatik Kalimat……..41

4.1 Gambar Ilustrasi Pertama………81

4.2 Gambar Ilustrasi Kedua………. .86

4.3 Gambar Ilustrasi Ketiga………. .91

4.4 Gambar Ilustrasi Keempat………. .97

4.5 Gambar Ilustrasi Kelima……… 103

4.6. Gambar Ilustrasi Keenam………...108

4.7 Gambar Ilustrasi Ketujuh………... 113

4.8 Gambar Ilustrasi Kedelapan……….. 118

4.9 Gambar Ilustrasi Kesembilan………. 124

4.10 Gambar Ilustrasi Kesepuluh………... 129

4.11 Gambar Ilustrasi Kesebelas……… 134

4.12 Gambar Ilustrasi Keduabelas………. 140

4.13 Gambar Ilustrasi Ketigabelas………. 145

(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1 Tabel Perbandingan Analisis Moriss ………..32

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

- Ilustrasi Jitet Koestana

- Dokumentasi Penelitian

- Biodata Peneliti

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1. 1 Konteks Masalah

Berdiri pada era pergolakan orde lama menuju orde baru, tepatnya pada tahun 28 Juni

1965 turut mendirikan harian Kompas dengan pemimpin umumnya adalah Petrus Kanisius

Ojong (1920 – 1980), sebelumnya adalah Pemimpin Redaksi Harian Star Weekly dan Keng Po. Bersama dua orang temannya Jakob (Jakobus) Oetama – sebelumnya Pemimpin Redaksi Surat Kabar Penabur dan Frans Seda, mereka mendirikan sebuah surat kabar yang

memberikan nafas baru dalam keadilan. Pada awalnya harian ini direncanakan bernama

Bentara Rakyat, namun sebelum rilis, berdasarkan wawancara dengan Frans Seda, Presiden

Soekarno meminta namanya diubah menjadi harian Kompas(Penerbit Kompas). Kompas yang

berarti penunjuk arah. Sebelum Kompas (Bentara Rakyat), pada Agustus 1963 mereka mendirikan sebuah majalah yang bernama Intisari. Sesuai dengan namanya, majalah ini

merangkum semua bentuk ilmu pengetahuan dan teknologi dunia menjadi sebuah saripati

informasi.

Media massa merupakan sebuah ikhtisar informasi yang sangat penting sebagai

suplemen pengetahuan mengenai informasi yang berkembang saat ini. Mulai dari jatuhnya

Presiden Hoesni Mobarrok, menyebarnya virus endemik Ebola di wilayah Afrika, Revolusi di

Mesir, terpukulnya raksasa-raksasa ekonomi Eropa pada saat masa resesi ekonomi, dan

pelantikan Presiden RI – Joko Widodo beberapa waktu yang lalu. Sedemikian pentingnya

informasi menjadikan manusia yang menguasai informasi adalah manusia yang beruntung.

Napoleon pernah berkata, hear, read, and look an information from up and down from left to

right to seize the world (dengar, baca, dan carilah informasi dari atas ke bawah dari kiri ke kanan untuk menaklukan dunia).

Harian Kompas dengan slogannya “Amanat Hati, Nurani Rakyat” menjadi sebuah

media massa yang memberikan cahaya pada pekatnya informasi mengenai perkembangan

pemerintahan. “Mayat hanya bisa dikenang, tetapi tidak akan mungkin diajak berjuang.

Perjuangan masih panjang dan membutuhkan sarana, diantaranya lewat media massa,” ujar

Jakob Oetama pada penutupan tahun 1978 (Sularto, 10 : 2011). Sebuah harapan untuk

(18)

kaum papa dan mengingatkan pemerintah juga para kaum berada. Medium is the extension of

men, media adalah kepanjangan tangan dari masyarakat. (dalam Sularto, 18 : 2011).

Kompas memiliki sebuah rubrik yang bernama Opini. Rubrik ini berisikan kumpulan

pemikiran para cendekiawan dan kumpulan hasil seni para redaktur artistik Kompas. Ilustrasi

merupakan sebuah penggambaran harapan masyarakat yang tergambarkan dalam sebentuk

komunikasi visual.Dalam rubrik tersebut terdapat ilustrasi dan karikatur yang menjadi

penggambaran mengenai realitas pada masa itu. GM Sudarta sendiri merupakan pembuat

ilustrasi pertama di harian Kompas. Ilustrasi mempunyai peran untuk melakukan kritikan

satir terhadap pemerintah yang pada saat itu media sangat diawasi oleh pemerintahan.

Ilustrasi sendiri menurut KBBI adalahgambar (foto, lukisan) untuk membantu

memperjelas isi buku, karangan, dsb; gambar, desain, atau diagram untuk penghias (halaman

sampul dsb); (pen-jelasan) tambahan berupa contoh, bandingan, dsb untuk lebih

memperjelas paparan (tulisan dsb); (KBBI, 1995 : 78). Ilustrasi sendiri mulai berkembang

pada Eropa Barat, khususnya di Jerman, Pada awalnya ilustrasi digunakan hanyak untuk

merekam sebuah peristiwa penting. Pada abad ke – 16 ilustrasi terus mengalami

perkembangan hingga akhirnya pada era tersebut pemerintahan memasukkannya ke dalam

sebuah mata pelajaran. Munculnya Albert Durer, Hans Burgkmair, Altorfer dan Hans

Holbein merupakan titik balik perkembangan ilustrasi. Hingga akhirnya pada abad ke – 17,

Rembrandt menjadi pionir terdepan dalam mengembangkan ilustrasi meliputi berbagai aspek

khususnya media massa.

Sebuah ilustrasi menurut Yasuo Yoshitomi, kartunis dan Ketua Komite SeleksiThe

9th Kyoto International Cartoon Exhibition, kartun/ilustrasi punya makna lebih. “Maknanya

sangat dalam. Kita harus berpikir dan melihat ke dalam diri kita untuk mengerti,” ujar nya

(Media Indonesia, 8 September 2010). Ilustrasi memiliki dua ciri utama, yaitu menghadirkan

ironi dan bersifat satir. Sifat inilah yang kemudian akan menggerakkan hati dan membuat kita

bercermin terhadap diri sendiri. Juga pada akhirnya menimbulkan harapan. Bahwa belum

terlambat bagi kita untuk memperbaikinya (Media Indonesia, 8 September 2010).

Media massa dan ilustrasi merupakan sebuah perpaduan hubungan yang pas. Media

massa membutuhkan ilustrasi untuk semakin menegaskan isi pemberitaan yang ada. Pada saat

ini ilustrasi yang terdapat di harian Kompas merupakan penggambaran dari realitas yang

terjadi saat ini. Misalnya contoh sebuah ilustrasi Jokowi dan Jusuf Kalla yang membawa

(19)

Indonesia bergerak maju dan lebih baik perkembangannya ke depan. Illustrator yang menghasilkan ilustrasi tersebut adalah Jitet Koestana. Beliau merupakan seorang ilustrator

yang telah melahirkan banyak penghargaan juga ilustrasi. Salah satu penghargaan yang

dimilikinya adalah Penghargaan dari Museum Rekor Indonesia sebagai Penerima

Penghargaan Terbanyak di sebuah kompetisi kartun internasional.

Jitet Koestana lahir pada tanggal 19 Maret 1967. Beliau merupakan kartunis idealis

yang menggambarkan sebuah pengharapan terhadap ketidakadilan yang terjadi di

masyarakat. Ilustrasi merupakan keahlian yang didapat melalui proses pembelajaran pribadi.

Tujuan awal berkarya adalah untuk kesenangan hati dan menyuarakan suara mereka yang

lemah lewat kartun ataupun ilustrasi. Semakin luas ilustrasiitu diperlihatkan, semakin banyak

orang yang tahu (Media Indonesia, 8 September 2010). Ilustrasi yang bagus tak hanya punya

teknik yang bagus. Ia mengibaratkannya sebagai sebuah makhluk yang tak hanya berdaging,

berdarah, dan bertulang. Tapi juga harus memiliki roh dan hati. “Tidak cuma mengandung

pesan, tapigagasannya mengungkapkan cinta kasih dan membela kelangsungan hidup

manusia.” (Media Indonesia, 8 September 2010).

Menurut catatan Efix Mulyadi, penulis seni, gambar Jitet tak sekadar enak dipandang,

tapi juga ilustrasi yang tajam mengkritik sekaligus memberi humor yang bernas. Kedalaman

makna itulah yang akhirnya membuat karya ilustrasi Jitet Koestana sering menjadi alat

pengritik media untuk pemerintahan (Media Indonesia, 8 September 2010).

Titik balik perjalanan sejarah ilustrasi dimulai pada akhir abad 18, muncul sebuah

Gerakan Romantik yang kemudian mempengaruhi pergeseran posisi seorang Ilustrator dan

fungsi dari Ilustrasi. Gagasan baru yang ditawarkan adalah seorang ilustrator selayaknya

bebas dalam menginterpretasikan sebuah teks dengan keliaran imajinasinya. Ilustrator

menjadi lebih mandiri. Posisi yang pada awalnya subordinan dari teks, kini memiliki nilai

tawar dan tempatnya sendiri. Kebebasan berkreasi tersebut menjadikan ilustrator bagai

seorang seniman. Konsep ini sebenarnya telah muncul lebih dulu pada abad 6 SM di Cina.

Pada masa itu, seorang pelukis juga seorang penyair. Dengan demikian, karyanya

mencerminkan gabungan dari keduanya.

Perkembangan selanjutnya mencapai titik puncak pergeseran fungsi Ilustrasi adalah

pada abad 19 di Perancis. Penanda penting adalah dengan munculnya Livre De Peintre

(20)

menjadi sesuatu yang sifatnya lebih dominan. Buku – buku tersebut di desain oleh para

seniman dan diproduksi dalam jumlah terbatas. Livre yang cukup berpengaruh adalah

Pararellment karya Pierre Bonnard yang ditulis oleh Paul Verlaine. Seniman-seniman lain

yang juga menghasilkan livre adalah Henry Matisse, Marc Chagall dan Pablo Picasso.

Kemandirian Ilustrasi bahkan kemudian semakin dikukuhkan dengan

aktivitas-aktivitas jurnalisme visual oleh para seniman yang terjun langsung di daerah peperangan

untuk mengabadikan secara on the spot melalui sketsa dan gambar, ataupun para Kartunis

dengan komentar-komentar visualnya melalui kartun opininya. Dalam konteks ini Ilustrasi

sudah tidak berfungsi sebagai penjelas teks, tetapi sebagai teks (visual) yang berdiri sendiri.

Ilustrasi tidak sebagai perantara dari penulis kepada pembacanya, tetapi posisi Ilustrator

sebagai author itu sendiri. Ilustrasi menemukan otonominya sendiri.

Pada Indonesia sendiri ilustrasi menjadi sebuah peranan dalam pergerakan sosial.

Pada 1945 ilustrasi mulai menjadi simbol perlawanan. Dimulai dari ilustrasi atau poster

legendaris dengan slogannya. “Boeng, ayo boeng,” yang menjajah jalan-jalan dari banyak

kota di Jawa menjadi sebuah titik balik bergeraknya seni sebagai media revolusi. Desain dari

ilustrasi dibuat oleh pelukis Sudjojono, sementara tulisannya diambil dari puisi Chairil

Anwar. Pada awalnya ilustrasi dibuat atas perintah Presiden Soekarno menjadi sebuah sarana

efektif untuk membakar semangat para pemuda.

Pemerintahan Orde Baru Soeharto sesungguhnya adalah pemerintahan yang sangat

sadar akan kekuatan propaganda melalui berbagai jenis media komunikasi, baik audio

maupun visual. Bahkan sejak awal berkuasa pun Soeharto berpropaganda

mengkambinghitamkan Partai Komunis Indonesia, dan membesarkan jasa dirinya dan

Angkatan Darat, dalam persitiwa G-30S-PKI. Pada masa Orde Baru ilustrasi dan poster

bersama baliho pembangunan, digunakan secara efektif untuk masyarakat luas, hingga

pelosok desa melalui Kelompencapir (Kelompok Pendengar, Pembaca, dan Pirsawan) dan

pameran pembangunan. Ilustrasi-ilustrasi dan poster politik terkait kampanye Pemilu tercatat

dalam buku Pemilu dalam Poster (Suwondo, Budiman, Pradjarta, 1987, hal.26). Tercatat

bahwa kontestan yang mampu menampilkan desain ilustrasi dan poster dengan warna-warna

menarik dan ‘bermodal’ adalah kontestan Golkar. Keunggulan modal dan keunggulan politik

yang tak imbang dibandingkan kontestan Pemilu lainnya disindir dalam buku ini dengan

sebutan “Pesta Demokrasi Golkar”. Kampanye Keluarga Berencana dan Imunisasi di masa

(21)

adalah ilustrasi “Imunisasi, Perlu untuk Semua Bayi”. Ilustrasi dalam poster ini menampilkan

foto Ibu Tien mendampingi “Bapak Presiden” yang sedang meneteskan obat Imunisasi Polio

pada bayi, dalam rangka Hari Anak-Anak Nasional 1986. Rancangan poster itu dibuat ulang

pada 1991, dengan dibubuhi tanda tangan Soeharto pada bagian bawah poster. (Jurnal Poster

Aksi, 2013).

Pada masa represif Orde Baru ini pula bermunculan poster berisikan ilustrasi

perlawanan anti-propaganda Soeharto. ilustrasi perlawanan ini berkembang sejalan dengan

bertumbuhnya gerakan masyarakat sipil di Indonesia yang bertumpu di berbagai Lembaga

Swadaya Masyarakat maupun perguruan tinggi. Pada masa Orde Baru itu sekitar tahun

1980an muncul kalender poster “Tanah untuk Rakyat” yang dirancang oleh Yayak ‘Kencrit’

Ismaya. Kalender satu tahun dalam bentuk satu lembar ilustrasi poster ini tampil dalam gaya

ilustrasi yang sarkastik. Karena rancangannnya ini maka aparat pemerintah mencari-cari

Yayak hingga akhirnya dia terpaksa pindah ke Jerman. Pada 2009 di Taman Ismail Marzuki,

Jakarta, pernah diadakan sebuah pameran “Grafis Melawan Lupa” yang menampilkan

beragam media desain grafis, khususnya poster-poster perlawanan untuk menggerus

propaganda Orde Baru yang sangat masif. Salah-satu poster yang ditampilkan adalah poster

perlawanan yang cukup ekspresif dirancang oleh Semsar Siahaan, berjudul Marsinah (koleksi

Harry Wibowo). Sebuah poster untuk memperingati dibunuhnya aktivis buruh Marsinah oleh

aparat negara. (Jurnal Poster Aksi, 2013).

Seni dalam pergerakan perubahan sosial sejalan dengan pemikiran Karl Mar. Walau

tidak memusatkan kajiannya pada seni, namun seni menjadi bagian perhatiannya. Marx

melihat seni merupakan representasi dari superstruktur yang sangat dipengaruhi oleh basis

ekonomi masyarakat, oleh karenanya seni dapat menjadi elemen aktif bagi perubahan sosial.

Karena itu, Marx mencerca habis seni masa Yunani yang memuja estetika dari sebuah bentuk

kebudayaan borjuis. (Terry Eagleton, 2002: 100).

Media massa dalam hal ini termasuk bagian dari komunikasi massa menjadi sebuah

pionir perubahan. Ilustrasi disini juga mengambil peran untuk membuka mata para stake

holder di pemerintahan untuk mengingat fungsi dan perannya kembali. Media massa juga berperan dalam perubahan dalam struktur kemasyarakatan ataupun perubahan dalam

kesejahteraan sosial masyarakat. Komunikasi massa yang diinisiasi oleh media massa yang

bertanggung jawab untuk kepentingan masyarakat adalah kunci kebebasan pers yang adil dan

(22)

Komunikasi massa bagi Lasswell (dalam Nurudin, 2007:78), mempunyai peran untuk

pengawasan. Artinya, menunjuk pada pada pengumpulan dan penyebaran informasi

mengenai kejadian-kejadian yang ada disekitar kita. Fungsi pengawasan bisa dibagi menjadi

dua, yakni pengawasan peringatan dan pengawasan instrumental. Rubrik opini dan ilustrasi

ini menjadi tempat kegelisahan para pemikir dan cendekiawan menumpahkan kegelisahan

dan kegetiran mereka, mengenai nasib negara yang mereka cintai.

Surat kabar ini memiliki sebuah rubrik dalam tata letak majalah. Rubrik tersebut

adalah opini dan ilustrasi. Dua rubrik ini telah berperan dalam mengawasi berjalannya tata

pemerintahan secara baik, dengan para pengisinya seperti Soe Hok Gie, Mochtar Lubis, dan

lainnya. Dalam rubrik opini ini, rubrik ilustrasi juga mendapatkan porsi penting dalam

halnya pressure group kepada pemerintahan.Dengan kritikan yang bersifat satir dan membangun, ilustrasi pada surat kabar, khususnya harian Kompas menjadi semacam sebuah

penggambaran mengenai realitas, potret harapan dalam kemajuan negara, dan kritik keras

terhadap pemerintahan.

Apa yang menjadi harapan dalam masa lalu, khususnya kebebasan untuk

menyampaikan informasi kepada khalayak luas menjadi sebuah bumerang yang disalah

gunakan. Media massa pada era reformasi saat ini mengalami fase kemunduran dalam

informasi. Khususnya informasi atau isi yang menjadi penginspirasi masyarakat malah

digunakan untuk kepentingan pemilik modal (pemilik media) dalam menyebarkan

paham-pahamnya. Khususnya pada saat Pemilihan Presiden Republik Indonesia beberapa waktu

yang lalu, para pemimpin partai sekaligus pemilik media menjadikan media massa untuk

melakukan kampanye-kampanye yang menyalahi aturan. Media menjadi corong kampanye

terbaik.

Salah satu media berwarna merah secara eksplisit menggambarkan tingkah dan

perilaku keburukan salah satu kandidat yang menjadi musuh utama dalam pergelaran

Pemilihan Umum 2014. Ada pun dengan cara merangkai pemberitaan pada salah satu

kandidat yang secara tidak sengaja mengikuti proses kegiatan agama minoritas. Media

pesaing tersebut langsung membombardir pemberitaan di medianya dengan isu-isu SARA

(Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan). Ihwalnya, sebuah perusahaan media atau pers

harus memberikan informasi yang mendidik kepada masyarakat, bukan menyesatkan

masyarakat dengan informasi yang belum jelas verifikasinya. Secara langsung media merah

(23)

Pasal 8

Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka

atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis

kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa

atau cacat jasmani. (Dewan Pers, Kebijakan).

Jelas-jelas secara tekstual menyuratkan bahwa seorang wartawan atau jurnalis

diharamkan untuk menyinggung ranah-ranah merah, dimana hal yang ditakutkan adalah akan

munculnya konflik horizontal, baik itu suku, agama, ras, maupun antar golongan.

Pelanggaran yang dilakukan merupakan bentuk hasrat atau berahi untuk berkuasa. Sama

seperti zaman orde baru yang menggunakan stasiun televisi nasional TVRI.

Dalam kurun waktu 20 tahun pertama, kebangsaan Indonesia mengalami ujian yang

berat sebagai akibat dari eksperimen politik yang dikembangkan oleh para pemimpin

Indonesia pada waktu mengelola kekuasaan, khususnya bagaimana demokrasi berkembang di

Indonesia. Demokrasi yang dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat menjadi slogan

pengampanyean saja. Bagaimana konsentrasi pembangunan perkembangan kota yang

berfokus di wilayah Jawa saja. Akibatnya periode itu membuka ruang bagi tumbuhnya

aspirasi separatis yang disebabkan oleh karena ketidakpuasan daerah terhadap kepemimpinan

politik di Jakarta ketika itu. Akibatnya tujuan terbentuknya bangsa dan negara Indonesia

sejak awal untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur terabaikan oleh proses

tersebut.

Media massa dengan peran sertanya juga mempunyai fungsi-fungsi penting untuk

mengawal segala kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah yang keliru diberikan saran,

kebijakan pemerintah yang baik terus didukung. Media massa berperan menjadi watch dog

(anjing penjaga) agar pemerintah tidak menyeleweng dari apa yang diharapkan. Akan tetapi

media massa baik cetak maupun elektronik mengalami krisis identitas akibat kapitalisme

menyerang mereka. Media tidak berdaya menghadapi tuntutan zaman yang mengedepankan

perekonomian yang kuat. Pada Pemilihan Presiden 2014, black campaign menjadi isu yang

hangat diperdebatkan oleh banyak pihak. Pusat penelitian dan pengembangan (Litbang)

Kompas mengeluarkan sebuah hasil penelitian mengenai ‘kampanye hitam’ . Hasilnya adalah

sebanyak 28,6 persen setiap hari mendengar mengenai kampanye hitam, 40,4 persen hanya

(24)

mendengar kampanye hitam. Bisa dikatakan masyarakat Indonesia telah diterpa oleh

gelombang kemunduran demokrasi. (Litbang Kompas, 9 Juni 2014).

Pola kampanye hitam dan kampanye negatif yang digunakan oleh kedua belah pihak

melalui media sosial (media elektronik) dan media massa bertujuan untuk menjatuhkan lawan

politik tiap capres. Materi-materi kampanye berupa suku, agama, ras, dan antar golongan

serta rekam jejak calon yang tendensius menjadi isu dominan ketimbang mengkritisi gagasan,

visi-misi, dan program pemerintah capres. Dengan kata lain, materi kampanye hitam dan

kampanye negatif memang diarahkan untuk menyerang pribadi capres. (Litbang Kompas, 9

Juni 2014).Terlihat intrik dan manuver para political communicatorjauh diambang

kewajaran. Terlihat ada sebuah tujuan untuk membagi Indonesia menjadi dua kubu,

khususnya membelah Indonesia menjadi dua kubu beragama, agama a versus agama b.

Selain melihat jumlah penduduk Indonesia yang terimbas dari kampanye hitam,

Litbang Kompas membuat penelitian mengenai efek dari kampanye hitam itu sendiri.

Fenomena saling serang dengan kampanye hitam ini bisa mengancam kehidupan bersama

bangsa Indonesia. Ini karena isu SARA yang diangkat sebagai materi kampanye

menyinggung secara langsung realitas kehidupan bersama bangsa Indonesia. Masyarakat

akan terbelah ke dalam kelompok berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan.

Lebih dari separuh bagian (55,5 persen) khawatir kampanye hitam yang dilakukan

menyerang para capres bisa mengancam keamanan selama proses pemilihan presiden

berjalan. Secara emosional, kampanye hitam juga berpotensi memicu kebencian antar

pendukung capres. Sebagian besar (61,6 persen) responden khawatir dengan hal ini. Bahkan

lebih jauh lagi, 64,0 persen responden menuturkan kampanye hitam yang kian gencar

dilakukan bisa memicu konflik terbuka antar pendukung capres. Jika ini yang terjadi, tidak

mustahil konflik ini akan melebar dan bisa memicu gejolak politik yang lebih besar lagi.

Lebih dari separuh bagian (58,3 persen) responden khawatir kampanye hitam bisa

mengancam persatuan bangsa.

Kekhawatiran ini mencuat karena isu-isu yang diangkat dalam kampanye hitam sudah

melibatkan sentimen-sentimen kelompok yang berbasis pada rasa primordial dan fanatisme

kepada capres. Sentimen primordial yang negatif akan memicu kebencian terhadap kelompok

(25)

berdampak pada rusaknya sendi-sendi persatuan bangsa Indonesia. (Litbang Kompas, 9 Juni

2014).

Permainan politik dengan tujuan membelah masyarakat menjadi berkubu-kubu tidak

hanya melalui media televisi saja. Media cetak juga menjadi sarana utama untuk

menyebarkan paham-paham sesat. Salah satunya media yang terbit saat berlangsungnya

pemilihan presiden 2014, tabloid Obor Rakyat. Tabloid Obor Rakyat menjadi media

propaganda untuk mendiskreditkan salah satu calon presiden, khususnya dalam bidang

agama. Obor Rakyatmemfitnah dan menumbuhkan benih kebencian yang telah mencederai demokrasi. Dewan Pers (Kompas, 16 Juni 2014) menegaskan, tulisan-tulisan yang dimuat

dalam tabloid Obor Rakyat bukanlah sebuah karya jurnalistik yang dikerjakan dengan

menghormati kode etik jurnalistik, diantaranya tidak menyinggung suku, agama, ras, dan

antar-golongan. Penyebaran tabloid yang secara simultan dan terus menerus di wilayah

pesantren, khususnya di wilayah pesantren Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur terlihat

bertujuan untuk memecah belah umat islam dengan isi berita yang tidak dapat dipertanggung

jawabkan. Salah satu pemberitaan Jokowi di tabloid Obor Rakyat :

Kelompok penginjil Kristen dan keuskupan katolik di Indonesia menyandang dana habis-habisan untuk Jokowi menjadi Presiden RI. Mereka yakin, jika Jokowi menjadi presiden, target pertumbuhan gereja dan pemurtadan di Indonesia berjalan lebih cepat. Jokowi sangat mungkin melakukan semua itu atas nama toleransi. Jokowi sebagai pemeluk Islam sinkretis, relatif tidak punya tanggung jawab akan masa depan mayoritas Muslim, karena yang ada dibenaknya hanya bagaimana mencapai puncak kekuasaan tertinggi. Obor Rakyat,

Edisi 01 (Mei 201 4).

Pemberitaan tersebut merupakan salah satu proses degenerasi kebangsaan rakyat

Indonesia. Perjuangan untuk mencapai kebangsaan secara tidak langsung terkikis sedikit

demi sedikit akibat nafsu untuk berkuasa. Proses propaganda yang berjalan masif tersebut

mencederai ciri-ciri bangsa yaitu saling menghargai dan menghormati. Bagaimanapun

solidaritas dan rasa kebersamaan itu tidak terbangun atas dasar asal usul, suku bangsa, agama,

bahasa, geografi, melainkan pengalaman sejarah dan nasib bersama. Pilar utama yang paling

penting dari kebangsaan adalah persatuan dan kemajemukan (pluralisme).

Harian Kompas sesuai dengan cita-citanya, amanat hati nurani rakyat menjadi sebuah

(26)

Pemilihan Presiden tetap menganut azas keberimbangan, cover both sides. Masing-masing

calon mendapat porsinya masing-masing sehingga Kompas berhasil menjalankan peran

sebagai pemberi informasi kepada masyarakat. Siapa yang hendak dipilih berpulang kembali

ke masyarakat. Kompas media yang berpihak, berpihak pada kebenaran. Lalu di rubrik opini

Kompas tetap memberikan ruang untuk para cendekiawan menyampaikan pendapat untuk

kebaikan negara. Pada rubrik opini, Kompas juga menyediakan sebuah ‘penyegaran’ dengan

ilustrasinya yang menggambarkan nilai-nilai kebangsaan, kebersamaan, persaudaraan, dan

khususnya mengenai perkembangan politik.

Ilustrasi yang terdapat dalam rubrik Opini harian Kompas merupakan sebuah

manifestasi harapan bangsa. Harapan bangsa yang ingin mendapatkan kedamaian dan serta

dalam keadilan politis. Mereka yang sebelumnya sudah mendapatkan sebuah degenerasi

proses politis, yang memecah bangsa menjadi dua kubu semakin merana melihat tingkah laku

para lembaga amanat rakyat

Berdasarkan pemaparan diatas, peneliti tertarik untuk meneliti ilustrasi “Ilustrasi

Jitet” dengan menggunakan metode analisis semiotika. Semiotika sebagai sebuah cabang

keilmuan memperlihatkan pengaruh yang semakin kuat dan luas dalam satu dekade terakhir

ini, termasuk di Indonesia. Sebagai metode kajian, semiotika memperlihatkan kekuatannya di

dalam berbagai bidang, seperti antropologi, sosiologi, politik, kajian keagamaan, mempunyai

pengaruh pula pada bidang seni rupa, tari, seni film, desain produk, arsitektur, termasuk

desain komunikasi visual (Pilliang, 2012 : 337).

“Ilustrasi Jitet ” merupakan suatu produk komunikasi visual. Pesan yang ingin

dimaknai adalah pesan kebangsaan. Di dalam semiotika komunikasi visual melekat fungsi

‘komunikasi’. Yaitu fungsi tanda dalam menyampaikan pesan (message) dari sebuah

pengiriman pesan (sender) kepada para penerima (receiver) tanda berdasarkan kode-kode

tertentu. Meskipun fungsi utamanya adalah komunikasi, tapi bentuk-bentuk komunikasi

visual juga mempunyai fungsi signifikasi (signification) yaitu fungsi dalam menyampaikan

sebuah konsep, isi atau makna (Tinarbuko, 2009 :xi).

Jitet Koestana merangkai sebuah hubungan antara situasi realitas yang terjadi pada

saat ini, perkembangan dunia, dan harapan-harapan masyarakat dalam sebuah kanvas ilustrasi

yang memberikan makna melalui tanda. Tanda-tanda menjadi sebuah rangkaian-rangkaian

(27)

mencakup kondisi realitas politik, sosial, budaya, dan ekonomi. Pemaknaan terhadap pesan

“Ilustrasi Jitet ” merupakan bentuk imaji kebangsaan rakyat Indonesia.

1.2 Fokus Masalah

Berdasarkan uraian konteks di atas, maka fokus masalah yang akan diteliti lebih

lanjut adalah sebagai berikut :

1. “Bagaimanakah representasi Imaji Kebangsaan Indonesia (Impian Kebangsaan Indonesia)

di dalam ilustrasi karya Jitet Koestana ?”

2. “Mitos apa yang dapat diungkap dari pemaknaan atas tanda yang terdapat dalam ilustrasi

karya Jitet Koestana ?”

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah :

1. Menganalisis tanda-tanda yang terdapat di dalam ilustrasi “kebangsaan” karya Jitet

Koestana.

2. Mengungkap mitos yang dikonstruksikan di dalam ilustrasi “kebangsaan” karya Jitet

Koestana

1.4 Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis, penelitian ini mengkombinasikan semiotika khususnya semiotika

Signifikasi Roland Barthes – dengan paradigma konstruktivis. Integrasi kajian semiotika dan

paradigma konstruktivis dalam penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu

pengetahuan, khususnya di kajian Semiotika, cultural studies, dan kajian Ilmu Komunikasi.

2. Secara praktis, penelitian ini berguna agar pembaca dapat mengetahui dan memahami

pemaknaan di dalam sebuah karya seni ilustrasi, agar karya seni ilustrasi bisa dimaknai tidak

hanya dari isi pesan yang tampak (manifest content), tetapi juga muatan pesan yang

(28)

3. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi dalam perkembangan

kajian media di Ilmu Komunikasi FISIP USU, khususnya semiotika. Penelitian ini juga dapat

(29)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Perspektif/ Paradigma Penelitian

Paradigma pada penelitian ini mengacu pada paradigma konstruktivis. Menurut Guba

(Wibowo, 2011: 136)paradigma adalah “ Seperangkat kepercayaan dasar yang menjadi

prinsip utama, pandangan tentang dunia yang menjelaskan pada penganutnya tentang alam dunia.” Paradigma merupakan suatu kepercayaan atau prinsip dasar yang ada dalam diri seseorang tentang pandangan dunia dan membentuk cara pandangnya terhadap dunia.

Paradigma konstruktivis berbasis pada pemikiran umum tentang teori-teori yang dihasilkan

oleh peneliti dan teoritisi aliran konstruktivis. LittleJohn mengatakan bahwa teori-teori aliran

konstruksionis ini berlandaskan pada ide bahwa realitas bukanlah bentukan yang objektif,

tetapi dikonstruksi melalui proses interaksi dalam kelompok, masyarakat, dan budaya.

Penelitian ini menggunakan sebuah paradigma Konstruktivis. Paradigma

konstruktivis melihat realitas pada saat ini merupakan hasil kreasi manusia. Paradigma kritis

dimaknai sebagai sesuatu konsep kritis dengan latar belakang ideologi tertentu dalam

mengkaji suatu fenomena sosial (Vardiansyah, 2008: 62).

Paradigma konstruktivisme yang memandang ilmu sosial sebagai analisis sistematis

terhadap tindakan sosial yang berarti (socially meaningful action) melalui pengamatan

langsung dan rinci terhadap pelaku sosial dalam setting keseharian yang alamiah, gambar

mampu memahami dan menafsirkan bagaimana para pelaku sosial yang bersangkutan

menciptakan dan memelihara mengelola dunia sosial mereka (Wibowo, 2011: 162).

Denzin dan Lincoln (dalam Wibowo, 2011: 162) menilai bahwa, setiap paradigma

dapat dibedakan berdasarkan elemen-elemen yang berkaitan dengan epistemologi, ontologi,

aksiologi, dan metodologi. Epistomologimenyangkut asumsi tentang hubungan antara peneliti

dan yang diteliti dalam proses untuk memperoleh pengetahuan mengenai objek yang diteliti.

Elemen metodologimenyangkut asumsi tentang bagaimana cara memperoleh pengetahuan

mengenai objek pengetahuan, sedangkan aksiologi menyangkut posisi value judgements.

Filsafat ilmu komunikasi diartikan sebagai cabang filsafat yang mencoba mengkaji ilmu

pengetahuan (ilmu komunikasi) dari segi ciri-ciri, cara perolehan, dan pemanfaatannya.

(30)

ditimbanya pengetahuan menjadi ilmu komunikasi? Aksiologi, untuk apa ilmu komunikasi

itu digunakan?

Epistomologi adalah filsafat yang mempelajari pengetahuan atau bagaimana orang

mengetahui apa yang mereka akui mengetahuinya. Karena aneka ragam disiplin terlibat

dalam studi komunikasi dan perbedaan hasil pemikiran mengenai riset dan teori, isu-isu

epistomologi adalah penting dalam bidang ini. (LittleJohn dalam Zamroni, 2009:87). Objek

Epistomologi adalah pengetahuan sedangkan objek formalnya adalah hakikat ilmu

pengetahuan. Di antara isu-isu epistomologi yag penting menurut LittleJohn (2002:26),

adalah pertanyaan : dengan proses apa pengetahuan itu muncul? Pertanyaan ini sangat

kompleks, dan debat pada isu-isu ini terletak pada jantung epistomologi.

Konstruktivisme dikaji secara ontologis menurut Guba (dalam Denzin dan Lincoln,

2009 : 137) dapat dikelompokkan dalam relativis. Realitas yang bisa dipahami dalam bentuk

konstruksi mental yang bermacam-macam dan tak dapat diindera, yang didasarkan secara

sosial dan pengalaman, berciri lokal dan spesifik (meskipun berbagai elemen sering kali

sama-sama dimiliki oleh berbagai individu dan bahkan bersifat lintas budaya), dan bentuk

beserta isinya bergantung pada manusia atau kelompok individual yang memiliki konstruksi

tersebut. Konstruktivisme dikaji secara epistomologidapat dikelompokkan dalam

transaksional dan subjektivis. Peneliti dan objek penelitian dianggap terhubung secara timbal balik sehingga “hasil-hasil penelitian” terciptakan secara literal seiring dengan berjalannya

proses penelitian.

Konstruktivisme menganggap bahwa subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan

komunikasi serta hubungan sosialnya(Elvinaro dan Q. Anees, 2007:151). Subjek memiliki

kemampuan melakukan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana.

Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan makna, yakni tindakan

pembentukan diri serta pengungkapan jati diri sang pembicara. Bagi kaum konstruktivis,

semesta adalah suatu konstruksi, artinya bahwa semesta bukan dimengerti sebagai semesta

yang otonom, akan tetapi dikonstruksi secara sosial, dan karenanya plural.

Konstruktivisme, berdasarkan secara etimologi mengkonstruksi, merangkai.

Konstruktivisme merujukkan pengetahuan pada konstruksi yang yang sudah ada di benak

subjek. Namun, konstruktivisme menunjukkan bahwa pengetahuan bukanlah hasil sekali jadi,

melainkan proses panjang sejumlah pengalaman. Banyak situasi yang memaksa atau

(31)

yang mengembangkan pengetahuan seseorang. Bettencourt (1989) (dalam Elvinaro dan Q.

Anees, 2007:157)menyebutkan beberapa situasi atau konteks yang membantu perubahan,

yaitu : (1) konteks tindakan, (2) konteks membuat akal, (3) konteks penjelasan, dan (4)

konteks pembenaran (justifikasi).

Bila dirunut ke belakang, pemikiran konstruktivisme – yang meyakini bahwa makna

atau realitas bergantung pada konstruksi pikiran(Elvinaro dan Q. Anees, 2007: 153)berdasarkan teori Popper (1973). Popper membedakan tiga pengetahuan mengenai alam

semesta: (1) dunia fisik atau keadaan fisik; (2) dunia kesadaran mental atau disposisi

tingkah laku; dan (3) dunia dari isi objektif pemikiran manusia, khususnya pengetahuan

ilmiah. Bagi Popper objektivisme tidak dapat dicapai pada dunia fisik, melainkan selalu

melalui dunia pemikiran manusia. Pemikiran ini berkembang menjadi konstruktivisme yang

tidak hanya menyajikan batasan-batasan baru mengenai keobjektifan, melainkan juga batasan

baru mengenai kebenaran pengetahuan manusia. Konstruktivisme menegaskan bahwa

pengetahuan tidak lepas dari subjek yang sedang belajar mengerti. Menurut Von Glossferld

(dalam Elvinaro dan Q. Anees, 2007: 154) konstruktivisme adalah salah satu filsafat

pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita

sendiri. Pengetahuan justru selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif.

Konstruktivisme adalah suatu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa

pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri, oleh karenanya pengetahuan

bukanlah suatu tiruan dari kenyataan (realitas)(Wibowo, 2011: 162). Pengetahuaan bukanlah

gambaran dari kenyataan yang ada. Pengetahuan selalu merupakan akibat dari suatu

konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang. Pada proses ini seseorang

membentuk skema, kategori, konsep dan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk

pengetahuan, sehingga suatu pengetahuan bukanlah tentang dunia lepas dari pengamat tetapi

merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari pengalaman atau dunia yang secara

terus menerus dialaminya.

Konstruktivis percaya bahwa untuk dapat memahami suatu arti orang harus

menerjemahkan pengertian tentang sesuatu. Para peneliti harus menguraikan konstruksi dari

suatu pengertian / makna dan melakukan klarifikasi tentang apa dan bagaimanadari suatu arti

dibentuk melalui bahasa serta tindakan-tindakan yang dilakukan oleh aktor/pelaku.

Sedangkan paradigma kritis menekan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada

(32)

yang bisa menafsirkan secara bebas sesuai dengan dengan pikirannya, karena dipengaruhi

oleh kekuatan sosial yang ada di dalam masyarakat. Bahasa dalam pandangan kritis dipahami

sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema wacana tertentu,

maupun strategi di dalamnya (Eriyanto, 2001 : 6).

Konstruktivis mengombinasikan pemikiran yang berkaitan dengan cara manusia

berpikir sambil berinteraksi dengan lingkungan sosial (konstruktivis) atau bagaimana makna

diperoleh secara sosial dan dipengaruhi oleh struktur kekuasaan di masyarakat, juga

konsekuensi etis dari pilihan manusia (kritis). Istilah konstruktivis pertama kali digunakan

tahun 1960-an di bidang pendidikan dan kemudian di bidang psikologi (LittleJohn & Foss,

2009: 216). Konstruktivisme mengacu pada integrasi pembangunan sosial teori realitas, yang

diajukan dalam tradisi sosiologi ilmu pengetahuan dan teknologi, dan teori kritis.

Menurut Feenberg, pendekatan konstruktivis mengkritisi pandangan deterministik,

yang berpendapat bahwa teknologi membentuk masyarakat dengan sendirinya, independen

dari perkembangan utama politik dan kebudayaan. Feenberg membuat tiga dalil: (1)

teknologi dibentuk oleh proses sosial di mana pilihan terhadap teknologi dipengaruihi

berbagai kriteria kontekstual; (2) proses sosial ini memuaskan berbagai kebutuhan kultural

yang berhubungan dengan teknologi; dan (3) definisi kompetitif teknologi mencerminkan

pandangan masyarakat yang bertentangan. Karena itulah, pilihan terhadap teknologi

dipengaruhi oleh pengaturan kekuatan di dalam masyarakat (LittleJohn & Foss, 2009 : 216).

2.1.1 Pengetahuan

Para pemikir konstruktivis mengatakan bahwa pengetahuan merupakan hasil

pemahaman pemikiran secara terus menerus, berulang-ulang. Piaget (1970) (dalam Elvinaro

dan Q. Anees, 2007: 155) membedakan dua aspek dalam pembentukan pengetahuan : (1)

aspek figuratif dan aspek operatif. Aspek berpikir figuratif adalah imajinasi, dan gambaran

mental seseorang terhadap suatu objek atau fenomena. Aspek berpikir operatiflebih berkaitan

dengan transformasi dari satu tingkat ke tingkat lainnya.

Secara ringkas gagasan konstrukstivisme mengenai pengetahuan menurut Glasersferld dan

Kitchener dapat dirangkum sebagai berikut (dalam Elvinaro dan Q. Anees, 2007 : 155) :

1. Pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, tetapi selalu

(33)

2. Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang perlu untuk

pengetahuan.

3. Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Stuktur konsepsi

membentuk pengetahuan bila konsep itu berlaku dalam berhadapan dengan

pengalaman-pengalaman seseorang.

Ketidakpuasan manusia, sepanjang hidup, naluri ingin tahu mendoraong manusia

untuk terus mencari tahu. Karenanya, mari kita artikan naluri ingin tahu sebagai dorongan

alamiah yang dibawa manusia sejak lahir untuk mencari tahu tentang segala sesuatu,

termasuk hal ihwal diri sendiri, dan baru berhenti di akhir kesadaran manusia pemiliknya

(Vardiansyah, 2008 : 2). Sebelum mengetahui, juga manusia terlebih dahulu melihat,

mendengar, serta merasa segala yang ada di sekitarnya. Yang berada di sekitar manusia

adalah seisinya, tampak maupun tidak: asalkan ada, dirasakan , atau mungkin ada. Dengan

kata lain, objek tahu adalah segala sesuatu yang ada dan mungkin ada.

Hasil persentuhan alam dengan panca indra disebut peng-alam-an pengalaman.

Pengalaman hanya memungkinkan seseorang menjadi tahu. Hasil dari tahu disebut

penge-tahu-an (pengetahuan). Pengetahuan ada jika manusia demi pengalamannya mampu mencetuskan pertanyaan atau putusan atas objeknya, seperti mangga yang satu itu masam.

(Vardiansyah, 2008: 3).

Objek materia adalah objek dari mana ilmu dalam bidang yang sedang

diamati,sedangkan objek forma adalah sudut dari mana objek materia dikaji secara spesifik.

Dalam hal Ilmu Komunikasi, objek materia adalah tindakan manusia dalam konteks sosial,

sama seperti sosiologi atau antropologi misalnya, dan karenanya masuk dalam rumpun ilmu

sosial. Sedangkan objek forma ilmu komunikasi adalah ilmu komunikasi itu sendiri.

2.2 Kerangka Teori / Kajian Pustaka

2.2.1 Konstruksi Realitas dalam Media Massa

Isi Media merupakan suatu bentuk konstruksi sosial. Media melakukan konstruksi

terhadap terhadap pesan-pesan yang disampaikan berupa tulisan-tulisan, gambar-gambar,

suara, atau simbol-simbol lain melalui proses penyeleksian dan manipulasi tertentu sesuai

(34)

Khalayak pada dasarnya menerima sebuah bentuk realitas yang dikonstruksi oleh

media. Menurut Gerbner (dalam Wibowo, 2011: 125) dan kawan-kawan, dunia simbol media

membentuk konsepsi khalayak tentang dunia nyata atau dengan kata lain media merupakan

konstruksi realitas.

Segala bentuk realitas sosial termasuk isi media merupakan realitas yang sengaja

dikonstruksi. Berger dan Luckmann mengatakan : “institusi masyarakat tercipta dan

dipertahankan atau diubah melalui melalui tindakan dan interaksi manusia. Meskipun

masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata secara objektif. Namun pada kenyataannya

semua dibangun dalam definisi subjektif melalui proses interaksi. Objektivitas baru bisa

terjadi melalui penegasan berulang-ulang yang diberikan oleh orang lain yang memiliki

definisi subyektif sama.” (Wibowo, 2011: 126).

Menurut penjelasan Berger dan Luckmann diatas, segala yang ada dalam institusi

masyarakat dengan sengaja dibentuk oleh masyarakat itu sendiri melalui suatu interaksi.

Setiap interaksi terjadi berdasarkan definisi subjektif dari tiap anggota masyarakat yang

kemudian ditegaskan secara berulang-ulang dan menjadi suatu nilai objektif dalam

masyarakat.

Realitas sosial menurut Berger dan Luckmann adalah (dalam Wibowo, 2011:125)

pengetahuaan yang bersifat keseharian yang hidup dan berkembang di masyarakat seperti

konsep, kesadarn umum, wacana publik, sebagai hasil dari konstruksi sosial.

Berger dan Luckmann (dalam Wibowo, 2011: 126) membagi realitas sosial ke dalam

tiga macam realitas, yaitu :

a. Realitas objektif yakni realitas terbentuk dari pengalaman dunia objektif yang berada di

luar diri individu dan realitas itu dianggap sebagai suatu kenyataan.

b. Realitas simbolik yaitu ekspresi simbolik dari realitas objektif dalam berbagai bentuk.

c. Realitas yang terbentuk sebagai proses penyerapan kembali realitas objektif dan simbolik

ke dalam individu melalui proses internalisasi.

Menurut mereka realitas sosial ini terbentuk melalui tiga tahap, yaitu :

a. Eksternalisasi yakni individu melakukan penyesuaian diri dengan dengan dunia

(35)

b. Objektivasi yakni interaksi sosial yang terjadi dalam dunia intersubjektif yang

dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi, produk sosial berada pada proses

institusionalisasi. Individu memunculkan dirinya dalam produk-produk kegiatan manusia

baik bagi produsen-produsennya maupun bagi orang lain sebagai unsur dunia bersama dunia.

Hal terpenting pada tahap ini adalah terjadinya pembuatan tanda – tanda sebagai isyarat bagi

pemaknaan subjektif.

c. Internalisasi. yaitu proses yang mana individu mengidentifikasikan dirinya dengan

lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu menjadi anggotanya.

Komunikasi sebagai bentuk interaksi tidak bisa lepas konstruksi-konstruksi realitas

sosial. Isi media menurut Alex Sobur pada hakikatnya adalah hasil konstruksi realitas dengan

bahasa sebagai perangkat dasarnya.

Semiotika sebagai suatu model dari ilmu pengetahuan sosial memahami dunia sebagai

sistem hubungan yang memiliki unit dasar yang disebut dengan ‘tanda’. Dengan demikian

semiotika mempelajari hakikat tentang keberadaan suatu tanda. Menurut Saussure, persepsi

dan pandangan kita tentang realitas,telah dikonstruksikan oleh kata-kata dan tanda-tanda lain

yang digunakan dalam konteks sosial. Hal itu menjelaskan peranan tanda yang sangat hebat

dimana tanda membentuk persepsi manusia, lebih dari sekadar merefleksikan realitas yang

ada (Bignell, 1997, dalam Listiorini, 1999).

Atas dasar pengaruh dari tanda tersebut seorang penggiat aktivis penghijauan Green

Peace, John Watson, memberikan pendapatnya mengenai media massa. Media massa

merupakan sumber informasi yang menjadi pionir utama dalam keseharian manusia.

Menurutnya konsep kebenaran yang dianut media massa bukanlah kebenaran sejati, tetapi

sesuatu yang dianggap masyarakat sebagai kebenaran. Kesimpulannya, kebenaran ditentukan

oleh media massa (Abrar, 1995: 59).

Pekerjaan media pada hakikatnya adalah mengkonstruksikan realitas. Isi media adalah

hasil para pekerja media mengkonstruksikan berbagai realitas yang dipilihnya. Disebabkan

sifat dan faktanya bahwa pekerjaan media massa adalah menceritakan peristiwa-peristiwa,

maka seluruh isi media adalah realitas yang telah dikonstruksikan (constructed reality).

Pembuatan berita di media pada dasarnya tak lebih dari dari penyusunan realitas-realitas

(36)

Isi media pada hakikatnya adalah hasil konstruksi realitas dengan bahasa sebagai

perangkat dasarnya. Bahasa dalam perkembangan semiotika merupakan suatu alat atau suatu

metode dalam mengembangkan pertandaan. Bahasa bukan saja sebagai alat

merepresentasikan realitas, namun juga bisa menenetukan relief seperti apa yang akan

diciptakan oleh bahasa tentang realitas tersebut. Bahasa juga bukan sekadar alat komunikasi

untuk menggambarkan realitas, namun juga menentukan gambaran atau citra tertentu yang

hendak ditanamkan kepada publik. Akibatnya, media massa mempunya peluang yang sangar

besar untuk mempengaruhi makna dan gambaran yang dihasikan dari realitas yang

dikonstruksikan. Sesuai dengan perilakunya media massa yang menceritakan kembali sebuah

peristiwa fakta, dimana proses penceritaan fakta tersebut disebut dengan pengonstruksian

realitas (Sobur, 2001: 88).

Fakta tersebut termaktub dalam penggunaan bahasa tertentu yang secara jelas

berimplikasi terhadap suatu kemunculan makna tertentu. Pilihan kata dan cara penyajian

suatu realita turut menentukan bentuk konstruksi realitas yang sekaligus menentukan makna

yang muncul darinya. Bahkan menurut Hamad (2001: 57), bahasa bukan cuma mampu

mencerminkan, tetapi sekaligus menciptakan realitas. Dalam konstruksi realitas, bahasa

merupakan unsur utama. Ia merupakan instrumen pokok untuk menciptakan realitas.

Peter L. Berger dan Thomas Luckmann (1966) melalui bukunya “Tafsir Sosial atas

Kenyataan : Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan”, menggambarkan sebuah proses sosial

melalui tindakan dan interaksinya, dimana individu secara intens menciptakan suatu realitas

yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif.

Dalam buku tersebut Berger dan Luckman memulai penjelasan realitas sosial dengan

memisahkan pemahaman “kenyataan” dan “pengetahuan”. Mereka mengartikan realitas

sebagai kualitas yang terdapat di dalam realitas-realitas, yang diakui memiliki keberadaan

(being) yang tidak bergantung kepada kehendak kita sendiri. Sementara, pengetahuan

didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata (real) dan memiliki

karakteristik secara spesifik.

Dikatakan, institusi masyarakat tercipta dan dipertahankan atau diubah melalui

tindakan dan interaksi manusia. Meskipun, masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata

secara objektif, namun pada kenyataannya semuanya dibangun dalam definisi subjektif

melalui proses interaksi. Objektivitas baru bisa terjadi melalui penegasan berulang-ulang

(37)

generalitas yang paling tinggi, manusia menciptakan dunia dalam makna simbolik yang

universal, yaitu pandangan hidupnya yang menyeluruh, yang memberi legitimasi dan

mengatur bentuk-bentuk sosial serta memberi makna pada berbagai bidang kehidupan (Berger dan Luckmann, 1990: 61).

Lebih jauh lagi pengertian realitas adalah sebuah konsep yang kompleks, yang sarat

dengan pertanyaan filosofis (Pilliang, dalam Slouka, 1999:15). Apakah yang kita lihat itu

benar-benar nyata? Apakah musik yang kita dengar nyata atau hanya konsep. Ada sebuah

konsep filosofis yang mengatakan bahwa yang kita lihat bukanlah “realitas”, melainkan

representasi (sense datum) atau tanda (sign) dari realitas yang sesungguhnya yang tidak dapat

kita tangkap. Menurut Zak van Straaten, yang dapat kita tangkap hanyalah tampilan

(appearance) dari realitas dibaliknya (Piliang, dalam Slouka, 1999: 15).

Media memainkan peran dalam mempengaruhi budaya tertentu melalui penyebaran

informasi. Peran media sangat penting karena menampilkan sebuah cara dalam memandang

realita. LittleJohn (1996: 236) membuat sebuah penafsiran mengenai media, “peristiwa tidak

bisa menunjukkan… agar bisa dipahami peristiwa harus dijadikan bentuk simbolis… si komunikator mempunyai pilihan-pilihan kode-kode atau kumpulan simbol… pilihan tersebut akan mempengaruhi makna peristiwa bagi penerimanya,. karena setiap bahasa – setiap simbol – hadir bersamaan dengan ideologi, pilihan atas seperangkat simbol yang sengaja atau tidak, merupakan pilihan atas ideologi.

Volosinov menyatakan “whenever a sign present, ideology is present too (Hall, 1997, dalam

Susilo, 2000). Media dilihat sebagai proses produksi dan pertukaran makna. Terlihat

bagaimana pesan atau teks berinteraksi dengan orang untuk memproduksi makna berkaitan dengan peran teks di dalam kebudayaan. Pendekatan seperti ini disebut dengan pendekatan strukturalisme yang bisa dikontraskan dengan pendekatan proses atau pendekatan linier

(Fiske, 1990:39).

Komunikasi massa adalah bentuk institusi sosial yang merupakan suatu kumpulan

individu. Dennis McQuail (dalam Wibowo, 2011 : 127) mengatakan bahwa komunikator

dalam komunikasi massa bukanlah satu orang, melainkan suatu organisasi. Pesan tersebut

seringkali diproses, distandarisasi dan selalu diperbanyak. Pesan mempunyai nilai tukar dan

(38)

Menurut McQuail bahwa komunikator dari komunikasi massa dalam hal ini media

massa bersifat organisasional yang artinya ada tujuan dari pesan-pesan yang disampaikan

dimana pesan-pesan komunikasi massa punya kecenderungan mempunyai nilai-nilai tertentu

yang berhubungan dengan kepentingan media.

Itulah sebabnya seperti dikatakan McQuail, dalam media sendiri terjadi standarisasi

pesan dan pemrosesannya disinilah proses konstruksi pesan media terjadi. Sobur berpendapat

bahwa isi media adalah hasil para pekerja media mengkonstruksi berbagai realitas yang

dipilihnya. Penelitian ini pada dasarnya ingin memberikan gambaran tentang realitas

simbolik dalam proses konstruksi yang dilakukan oleh pembuat Ilustrasi di Harian Kompas.

2.2.2 Manusia Sebagai Pembuat Simbol

Pada awalnya yang membedakan antara manusia dengan hewan menurut para filsuf

adalah kemampuan dalam menggunakan logika. Hewan berinteraksi menggunakan naluri

atau instingnya. Namun ada unsur pembeda lain, yakni kemampuan manusia berkomunikasi

dengan simbol-simbol. Kenneth Boulding (dalam Rivers, 2003: 28) mengingatkan hewan

tidak punya gagasan kesadaran dan lingkungan simbolik (bahasa, seni, dan mitos) seperti

halnya manusia; manusia memiliki keunikan karena kemampuan menggunakan nalar (logika)

serta dunia simboliknya. Hewan ketika diberikan makanan akan bereaksi dengan memakan

makanan yang telah diberikan, sedangkan manusia akan menanggapinya dengan berbagai

cara tergantung pada penafsirannya atas simbol-simbol yang ada.

Manusia menanggapi sesuatu tidak hanya secara naluriah. Manusia akan mengolah

berbagai gagasan dulu, baik yang bersifat artistik, mistis ataupun religius, sebelum religius.

Seperti yang dikatakan Epictetus, (dalam Rivers,2003: 28) “Apa yang menyentak manusia

bukanlah benda-benda, melainkan pendapat dan bayangannya sendiri tentang benda-benda

tersebut.”

Realitas atau kenyataan mengandung hal-hal yang dapat diindera manusia; namun ada

kerangka dan struktur tertentu dalam memahami hal-hal itu yang keberadaanya terkadang

tidak dapat dilihat secara langsung oleh manusia. Untuk mengetahui hal tersebut itulah

manusia menggunakan simbol-simbol. Manusia mengolahnya dengan pikiran, membuat

citra-citra, konsep atau bayangan penafsiran tertentu sebagai simbol, dan setiap simbol memiliki

makna tersendiri. Itulah sebabnya bagi manusia, sang pencipta simbol, dunia adalah sesuatu

(39)

2.2.3 Media Massa dan Lingkungan Semu

Walter Lippmann pernah menyatakan, “The world outside and the pictures in our

head,” (dunia diluar dengan gambarannya dipemikiran kita). Lippman (dalam Rivers, 2003: 29) dalam bukunya Public Opinion menjelaskan tentang lingkungan semu

(pseudo-environment). Dunia objektif yang dihadapi manusia itu “tak terjangkau, tak terlihat, dan tak terbayangkan.” Karenanya manusia menciptakan sendiri dunia di pikirannya dalam

upayanya sedikit memahami dunia objektif tersebut. “Biasanya kita tidak melihat dulu

sesuatu untuk mendefinisikannya; biasanya kita mendefinisikan dulu, baru melihat. Ketika

diliputi ketidaktahuan tentang dunia luar, kita begitu saja membayangkannya berdasarkan apa

yang sudah kita ketahui. Enak tidaknya makanan, indah atau tidaknya tempat yang

dikunjungi akan selalu didasarkan pada apa yang di tempat asal, dan pada apa yang sudah

dibayangkan sebelumnya,” Walter Lippmann.

Proses penggambaran kenyataan di benak kita tentu saja juga dipengaruhi dari

pernak-pernik pengalaman kita. Tetapi tetap saja dalam menafsirkan sesuatu kita bersandar pada pandangan awal, prasangka, motivasi dan kepentingan kita sendiri. Penafsiran dan

pengembangan bayangan ini pula yang memunculkan stereotype, dan melandasi cara

pandang kita selanjutnya terhadap dunia luar. Lippman berpendapat bahwa prosesnya bisa

berulang-ulang tanpa akhir.

Media massa sebagai sumber pengetahuan memiliki kemampuan menyajikan

informasi dunia luar kepada orang-orang, yang kemudian menggunakannya untuk

membentuk atau menyesuaikan gambaran mentalnya tentang dunia. Media massa juga bisa

dianggap menciptakan lingkungan semu tersendiri di antara manusia dan dunia ‘nyata’.

Sebagai institusi kontrol sosial yang dominan, media bisa dinilai memperkuat nilai-nilai dan

pandangan lama disuatu masyarakat.

2. 2. 4. Semiotika

Paham mengenai semiotika atau “ilmu tentang tanda” ini telah menjadi salah satu

konsep yang paling bermanfaat di dalam kerja kaum strukturalis sejak beberapa dasawarsa

yang lalu. Basisnya adalah pengertian tanda, yakni segala sesuatu yang secara konvensional

dapat menggantikan atau mewakili sesuatu yang lain. Strukturalisme itu sendiri, menurut David A. Apter, merupakan pendekatan yang paling antardisiplin di antara

(40)

sosiologi (Apter, 1996:371). Strukturalisme sendiri berusaha menemukan agenda-agenda

yang tersembunyi, aturan-aturan permainan yang menentukan aksi. Ia menyusun aktivitas

manusia (Goffman, dalam Apter, 1996: 371).

Strukturalisme awalnya merupakan sebuah pergerakan di dalam ilmu bahasa,

sekaligus upasya untuk membuktikan pentingnya konsep dan metode linguistik bagi beragam

isu yang luas di dalam ilmu-ilmu humaniora dan ilmu sosial (Giddens dan Turner, 2008:

335). Pemilihaan Sussure antara langue dan parole bisa dianggap sebagai ide kunci di dalam strukturalisme linguistik, sekaligus mencerabut studi ‘bahasa’ dari ruang kontingensi dan

kontekstualnya. Parole adalah apa yang disebut Saussure sebagai “sisi eksekutif bahasa”, sementara langue adalah “sistem tanda-tanda yang di dalamnya cuma hal-hal esensial yang menjadi pemersatu makna dan citra-citra akustik” (Saussure, 1974).

Strukturalisme merupakan sebuah paham filsafat yang memandang dunia sebagai

realitas berstruktur. Peran linguistik Saussurean dalam hal ini sangat besar (dalam

membangun filsafat para strukturalis), karena linguistik Saussurean memperkenalkan apa

yang dinamakan sistem. Selanjutnya, kaidah-kaidah linguistik ini mereka coba untuk

terapkan di lapangan penelitian masing-masing, yakni dengan menjadikannya semacam

model yang paralel dengan realitas yang menjadi objek-objek kajian mereka (Kurniawan,

2001: 40).

Umar Junus berpendapat semiotika merupakan sebuah perkembangan selanjutnya dari

strukturalisme. Pendapat dari Dennis McQuail (1991: 191), “semiotika adalah ‘ilmu tentang

tanda dan mencakup strukturalisme dan hal-hal lain yang sejenis, yang karenanya semua hal

yang berkaitan dengan siginifikasi (signification), betapapun sangat tidak terstruktur,

beraneka ragam dan terpisah-terpisah”. Konsep ‘sistem-tanda’ dan ‘signifikasi’ telah biasa

dalam ilmu bahasa; strukturalisme dan semiotika terutama berasal dari de Saussure. Dimana

tanda adalah setiap ‘kesan bunyi’ yang berfungsi sebagai ‘signifikasi’ sesuai yang ‘berarti’ –

suatu objek atau konsep dalam dunia pengalaman yang kita ingin komunikasikan. Aliran strukturalisme modern pun menekan bahwa kehidupan kita ditopang oleh struktur-struktur,

jauh dibawah kesadaran roh; struktur-struktur itu merupakan pola-pola, jaringan-jaringan

yang memberikan arti dan makna kepada gambar material (van Peursen, 1991: 240).

Strukturalisme yang memiliki kedekatan dengan lingustik (bahasa) dikembangkan oleh

Gambar

Gambar Peta Tanda Roland Barthes………..
Tabel 2.1 Perbandingan Analisis Morris
Gambar 2.5 Signifikasi Dua Tahap Barthes
Gambar 2.7    : Metabahasa
+7

Referensi

Dokumen terkait