• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Lokasi Penelitian

B. Lima Kode Pembacaan 1. Kode Hermeneutika

4. Kode Kebudayaan ( cultural )

4.2.5 Analisis Ilustrasi Kelima (5)

Gambar 4.5

A. Analisis Leksia

Kekuasaan yang Terikat

1. Sebuah kursi di bagian kiri, buku menutupi kotak suara. Kursi tersebut berlapiskan emas dimulai rangka kursi, dudukan kursi dan kaki kursi. Bantalan dudukan dan bantalan penyangga kerangka kursi berwarna merah terang, sekilas seperti merah darah.

2. Kotak suara berwarna emas murni. Tergeletak ke samping dan lubang bagian untuk memasukkan surat suara ditutup oleh dua batang besi yang dipaku kuat. Kotak suara yang terbungkam.

3. Sebuah buku yang berwarna biru. Biru kemuda-mudaan. Ada sebuah simbol yang menggambarkan gedung DPR/MPR RI. Lembar-lembar halaman dari buku tidak sesuai, besar dan kecil. Punggung buku tersebut sudah agak mengendur di bagian tengah. Dari bagian tengah buku keluar sebuah tali yang berjenis tambang. Tali tambang tersebut diarahkan ke kaki kursi, terbuka untuk dijadikan sebuah penjerat. Ikatan tali tambang tersebut terdiri dari dua tiga simpul. Logo watermark dari ilustrator berada di balik punggung cover buku RUU Pilkada (UUD 1945).

B. Lima Kode Pembacaan 1. Kode Hermeneutika

Mengapa buku tersebut berwarna biru? Mengapa buku tersebut sangat besar? Mengapa buku tersebut memiliki logo gedung DPR/MPR RI? Mengapa kotak suara yang tersegel berada di tengah buku biru? Mengapa ada tali tambang yang menjerat kursi emas tersebut?

Kode visual hermeneutika tanda visual ikon berupa ikon dari kitab RUU Pilkada yang dibuat sedemikian rupa besar sedang menjerat kursi parlemen, dilain pihak sebuah kotak suara sudah tersegel dibalik gadangnya kitab RUU Pilkada tersebut. Beberapa ikon tersebut merupakan sebuah enigma atau parodi dari sebuah pengaruh RUU Pilkada yang begitu kuat dalam menentukan siapa yang menjadi kepala daerah di Indonesia. Kursi mewakili makna sebuah jabatan di sebuah pemerintahan daerah. Sebuah kotak suara yang tersegel dijatuhkan merupakan sebuah bentuk gambaran mengenai suara rakyat yang berfungsi menentukan kepala daerah dihina dan dibungkam agar tidak dapat bersuara. Potongan-potongan ikon tersebut menjadi sebuah kata kunci RUU Pilkada membungkam untuk mendapatkan sebuah jabatan.

2. Kode Proaretik (Narasi)

Suara yang telah terbungkam, suara yang tidak mendapatkan tempat terhormat, dan suara yang hanya bisa tergeletak di bawah cengkeraman kekuasaan. Cengkeraman kekuasaan dari RUU Pilkada membuat suara rakyat, suara wakil daerah tersungkur dihantam tebalnya pasal-pasal dari kitab RUU Pilkada. Pasal-pasal tersebut menunjukkan bahwa hukum atau konstitusi yang berlaku di Indonesia harus dijalankan sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku. Akibat dari kerasnya RUU Pilkada yang akan disahkan tersebut, hukum menyegel kotak suara karena secara definitif kotak suara Pemilukada tidak ada sangkut pautnya kembali dengan proses pencalonan kepala daerah.

“Itu kan berawal dari UU, ooohh opo berawal dari UU. Nah, kemarin aku cerita kan UU bisa digunakan sebagai sesuatu yang baik, tetapi UU bisa dipelintir menjadi sesuatu yang tidak baik. Salah satunya ancaman untuk pemakzulan. Ketika… dia bisa menelan apa saja, itu kan (gambar ilustrasi menunjuk kitab UU) seperti orang sedang mangap. Jadi dia bisa menelan apa saja. Ya dia bisa menelan apa saja, termasuk pemakzulan. Nah terus apa ini yang ingin aku sampaikan, mereka itu dipilih oleh rakyat, mereka yang bikin UU itu dipilih rakyat. Terus tampak tidak dia di situ memberikan manfaat, memberikan kesejahteraan untuk rakyat? Kan enggak. Yaudah

kita catat orang yang seperti. Aku bikin ini, pembikin (pembuat UU) ini membuat UU

untuk membungkam Pilkada (suara kekesalan), membuat UU untuk memberikan

kekuasaan. Supaya apa? Supaya nanti kekuasaanku ga terganggu. Ga ada itu keinginan untuk memikirkan rakyat. “ (Transkrip Wawancara Jitet, Hal 177)

Kitab hukum RUU Pilkada ini merupakan sebuah hasil dari penggubahan, pengkajian secara mendalam, persiapan, dan pembahasan oleh DPR/MPR RI. Kitab RUU ini merupakan kitab RUU Pilkada yang akan disahkan oleh lembaga legislatif (DPR) dan lembaga eksekutif (Presiden). Merupakan sebuah kitab yang dibuat untuk memberikan sebuah opsi dalam halnya demokrasi, yaitu demokrasi tidak langsung. Kepala daerah akan dipilih oleh para anggota DPRD dengan diketahui oleh pejabat tinggi. Frasa dipilih secara demokratis dalam pasal 18 ayat (4) UUD 1945 terkait pemilihan kepala daerah (Pilkada) dapat diartikan pilkada langsung oleh rakyat atau tidak langsung melalui DPRD. Sistem pemerintahan demokrasi Indonesia berasal dari kata demokratia, di mana demos merupakan rakyat kelas bawah sedangkan kratos (kratia) merupakan kekuatan atau power.

Kursi yang merupakan kursi megah berwarna merah dan kuning merupakan sebuah penggambaran betapa berharganya kursi kepala daerah tersebut. Kursi yang diperebutkan untuk menasbihkan kekuasaan mereka untuk tetap memimpin. Sebuah gambaran bagaimana berharganya kursi pemimpin daerah yang akhirnya diperebutkan oleh lembaga legislatif.

Kode visual narasi dari ilustrasi ini merupakan bagian dari wacana lembaga legislatif untuk mempermudah sebuah proses demokrasi di Indonesia yang mengalami banyak pelanggaran administratif dan lapangan. Melihat peluang banyaknya pelanggaran, lembaga legislatif membuat sebuah ancangan RUU Pilkada yang dapat meminimalisir pelanggaran. RUU Pilkada mempunyai kekuatan penuh untuk menentukan siapa yang menjadi kepala daerah di suatu daerah, atas dengan persetujuan dari anggota DPRD dan pejabat tinggi. Setelah matinya proses demokrasi daerah yang berarti tersegel atau terbungkamnya kotak suara, RUU Pilkada menjadi sebuah alat dari DPR RI yang dapat secara leluasa untuk mendapatkan kekuasaan dari pada kepala daerah.

“Yang tadi, UU itu berfungsi untuk mengamankan dia. Mengamankan posisi dia. Mengamankan kekuasaan dia. (suara memberikan sebuah peringatan ). Makanya ga ada hubungannya sama rakyat sama sekali. Segala hal sah buat dia. Termasuk membungkam suara rakyat.” (Transkrip Wawancara Jitet, Hal 177)

3. Kode Simbolik

Pada ilustrasi ini kitab RUU Pilkada yang berwarna biru menjadi sebuah kita sakti untuk meraih kekuasaan secara mudah. Kitab yang memiliki ketebalan tersebut menjadi bukti pengaruh yang kuat dari RUU Pilkada mengenai perkembangan demokrasi di daerah-daerah. Pasal-pasal yang termaktub dalam kitab menjadi senjata ampuh untuk melumpuhkan demokrasi daerah dan meloloskan demokras demokratis yang dipilih melalui DPRD. Bahkan sebuah kotak suara pun tidak kuasa untuk menghadapi ketidakberdayaan landasan hukum yang kuat jika kitab RUU Pilkada ini disahkan. Suara rakyat untuk memilih akan berakhir ketika RUU ini disahkan. Tidak akan ada euforia dari pemilihan kepala daerah.

“Jangan gitu dong. Jangan sampai terjadi. Kalau begini terjadi kan gawat, korupsi terjadi dimana-mana. Makin kental suatu tindakan kurang baiknya. Kekuasaan di tangan orang yang tidak memedulikan rakyat sama sekali, ini kan ngerih.” (Transkrip Wawancara Jitet, Hal 177)

4. Kode Kebudayaan (cultural)

RUU Pilkada merupakan sebuah rancangan UU yang dinaikkan oleh Kementerian Dalam Negeri melalui Menteri Gamawan Fauzi untuk mengubah sistem pemilihan kepala daerah di Republik Indonesia. Pertama kali diajukan pada Januari 2012, RUU ditolak mentah-mentah oleh fraksi Gerindra, PDI-Perjuangan dan Partai Amanat Nasional. Sedangkan fraksi Demokrat sebagai partai pemerintah menyetujui RUU Pilkada ini. Pembicaraan mengenai RUU Pilkada ini selesai hingga akhirnya, September lalu ada tawaran untuk mengajukan penaikan kembali RUU Pilkada ini. Dasar hukum menaikkan ilustrasi ini adalah melihat banyaknya terjadi pelanggaran di Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Pemilihan Umum Presiden RI. Pada salah satu bagian pasal 2 BAB II bagian Kesatu asas mengenai pemilihan Gubernur, Gubernur dipilih oleh Anggota DPRDProvinsi secara demokratis berdasar asas langsung, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Pasal ini merupakan salah satu yang menjadi masalah yang disengketakan oleh kubu-kubu yang berada di DPR RI

Pilkada dalam RUU Pilkada ini mempunyai dua kemungkinan, Pilkada langsung di sini dimaksudkan bahwa pengisian jabatan kepala daerah dilakukan melalui suatu Pemilihan Umum (Pemilu) atau dipilih secara langsung oleh rakyat pemilih. Pada hal ini Pilkada tidak langsung ditafsirkan berbeda oleh DPR, mereka memaknai bahwa kepala daerah dipilih tidak secara langsung oleh rakyat-pemilih, namun oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), atau dipilih (diangkat) oleh pejabat di atasnya. Model pemilihan kita yang dianut Indonesia

pada saat ini kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat-pemilih melalui pemilu (vide Pasal 24 ayat (5) dan Pasal 56 UU. No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah). Pada model ini pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi persyaratan, pasangan calon perseorangan. Selanjutnya, pasangan calon yang memenuhi persyaratan memenuhi persyaratan mengikuti kompetisi melalui pemilu untuk dipilih secara langsung oleh rakyat-pemilih. Konstitusi Indonesia yang berupa UUD 1945 menentukan bahwa Indonesia merupakan negara Republik. Dengan itu, kedaulatan rakyat menjadi salah satu hal penting dalam perkembangan proses politik. Aplikasi dari konstitusi itu adalah pemilihan kepala daerah khususnya jabatan kenegaraan dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilu.

5. Kode Semik

Ilustrasi ini merupakan sebuah wujud dari realitas yang terjadi apabila RUU Pilkada tersebut disahkan. RUU Pilkada menjadi sebuah momok yang menakutkan rakyat. RUU Pilkada ini adalah sebuah langkah awal dalam proses menuju terciptanya RUU Presiden. Bukan tidak mungkin kita akan kembali zaman di mana kebebasan berpendapat dan berekspresi menjadi sebuah ancaman mematikan negara, dan negara berhak menghukum mereka yang bertindak seperti itu.

Dari ilustrasi ini memang terlihat secara jelas pesan yang ingin disampaikan. Sebuah kotak suara yang terbungkam diam di balik kitab dan sebuah kursi yang dijerat oleh sebuah kitab. RUU Pilkada ini merupakan sebuah langkah awal dari kemudaratan yang terjadi pada sistem pemerintahan parlementer khususnya lembaga legislatif. Ilustrasi memuat tiga hal penting untuk disimak, yaitu kekuasaan menjadi faktor utama. Kekuasaan absolut yang diincar oleh para petinggi DPR RI menjadi kunci emas bagaimana membuat sebuah sistem pemerintahan yang otoriter dan membuat sebuah kerajaan pemerintahan. Model seperti ini sudah terjadi pada era orde baru dan sedang dicoba untuk dinaikkan kembali, seperti Bupati Banten Ratu Atut dan Bupati Deli Serdang Azhari bersaudara. Kedua, kekuatan absolut akan membentengi mereka dalam hal tindakan kurang terpuji. Para pemikir kebangsaan mengkhawatirkan para kepala daerah baik Gubernur ataupun Bupati merupakan orang yang menyelipkan pendanaan untuk menjadi seorang pemimpin daerah. Ketiga, ketika UU ini berhasil lolos, bukan tidak mungkin akan muncul RUU baru yang akan semakin memudahkan DPR RI menancapkan kuku-kuku kekuasaannya.

“Suatu peristiwa dari rangkaian itu memberikan sebuah liputan ancaman pemakzulan. RUU bisa digunakan untuk apa saja, kemakmuran rakyat bisa tapi jangan salah untuk impeachment juga bisa. Demi apa? Demi rakyat atau demi kepentingan.” (Transkrip Wawancara Jitet, Hal 178)