• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Lokasi Penelitian

A. Analisis Leksia Mayat Demokrasi

2. Kode Proairetik

4.3. Transkrip Wawancara

4.3.1 Sesi Wawancara Bersama Ilustrator Kompas

Nama : Jitet Koestana

Pekerjaan : Ilustrator Harian Kompas Tanggal Wawancara : 14 Maret s/d 17 Maret 2015

Tempat : Kediaman Peneliti via Sambungan Jarak Jauh (Telepon) Tanda Tangan Rapor Narasumber

Jitet Koestana

Interview bersama Jitet Koestana menjadi yang paling vital dari skripsi ini. Beliau merupakan informan utama yang menjadi pion penting. Untuk itu peneliti jauh-jauh hari sudah berusaha mengontaknya di Jakarta. Hal pertama yang peneliti lakukan adalah mengirimkan berkas permohonan waktu wawancara via media, suara ataupun surat elektronik. Selang tiga hari proses pengiriman surat, pada siang hari peneliti mencoba untuk mengontak keberadaan surat ke Kompas. Ketika sudah terhubung dengan pihak redaksi Kompas, Pak Jitet belum masuk ke kantor. Informasi dari redaksi bahwa untuk menghubungi redaksi pada jam 19,00 WIB. Malam harinya langsung saya diarahkan ke Pak Jitet Koestana. Perbincangan kami awalnya masih berputar pada maksud dan tujuan dari wawancara. Terakhir saya meminta kepada beliau untuk mengirimkan ilustrasi yang berhubungan dengan nilai kebangsaan, seperti politik, kebudayaan, ekonomi, dan lainnya. Saya meminta ilustrasi yang untuk tahun 2014 saja. Akhrinya, keesekokan harinya beliau mengirimkan 14 ilustrasi mengenai Rancangan Undang-Undang Pilkada melalui email. Keempat belas ilustrasi tersebut dikumpulkan menjadi tiga bagian gambar, yang masing-masing gambar memiliki ukuran sebesar 3.1 megabyte. Lalu saya memilah-milah gambar menjadi satu bagian menggunakan perangkat lunak Adobe Photoshop CS 4. Setelah masing-masing ilustrasi telah

terpilah-pilah menjadi empat belas bagian atau empat belas ilustrasi, peneliti mengontak Jitet Koestana melalui nomor kontak yang diberikannya sebelum.

Perbincangan dengan Jitet Koestana lebih membahas teknis proses wawancara yang akan diajukan kedepan. Penawaran awal dari peneliti dengan menggunakan sebuah aplikasi perangkat lunak bernama Skype. Skype merupakan aplikasi yang dapat digunakan untuk melakukan sebuah video konferensi dengan pihak yang berada di tempat yang berbeda. Dengan video konferensi suara dan visual masing-masing pengontak akan terlihat jelas. Namun, kendalanya adalah kesibukan dari Jitet Koestana dan beliau sedikit memiliki keingintahuan dalam menggunakan perangkat lunak tersebut. Akhirnya perbincangan menetapkan proses wawancara ilustrasi dijadwalkan dimulai pada Rabu, 14 Januari 2015 jam 13.00 WIB,serta menggunakan sebatas telepon atau suara saja.

Kekurangan wawancara menggunakan telepon adalah suara dari hasil wawancara sering kurang terdengar jelas. Suara terkadang hanya terdengar seperti dengungan saja, di mana merupakan hambatan teknis yang sangat mengganggu. Proses penelitian akhirnya berlangsung melalui kontak via telepon. Peneliti sendiri mencoba selain menulis wawancara juga merekam menggunakan perangkat perekam lain. Tepatnya pada 14 Januari 2015, saya melangsungkan proses wawancaranya dimulai dari jam 13.00 s/d jam 13.40

Tanya (Yudha): “Baik mas ini ilustrasi pertama ya mas. Ini yang gambarnya kayak ada pejabat menggunakan pakaian lengkap, pantofel, jas tetapi dia menendang semacam kotak KPU mas. Itu judulnya apa mas?”

Jitet (Jawab) : “Sebetulnya itu aku belum nemu judulnya (nada keceriaan di suara), karena itu kan bercerita suara rakyat ya kayak sepak bola gajah atau kayak sepak bola senayan (judul ilustrasi pertama) jika ingin diberi judul. Jadi suara rakyat itu dibuat mainan, dibuat opo… tendang sana tendang kemari gitu lho, dipakai buat mainan

Tanya (Yudha): “Kalau kira-kira dikasih judul, judulnya apa mas?”

Jitet (Jawab) : “Ya sepak bola senayan lah (judul ilustrasi pertama).” (suara tertawa) Tanya (Yudha): “Itu dimuat tidak mas di harian Kompas?”

Jitet (Jawab): “Sudah dimuat semua itu.”

Tanya (Yudha): “Hari apa mas ilustrasi tersebut dimuat?” Jitet (Jawab): “Waduhhh, tanggalnya saya lupa.”

Tanya (Yudha): “Baru mas, pesan apa yang ingin mas tanamkan kepada pembaca setelah melihat ilustrasi itu mas?”

Jitet (Jawab) :“Kita ini kan mengikuti Pemilihan Umum, ada yang bersih dan ada yang kotor. Selalu seperti itu, ada yang money politic, (suara memelan, mendalam) tapi itu kan ga bisa satu-satu digambarkan ke dalam ilustrasi itu. Tetapi setelah mereka mendapat suara terbanyak, ya kan suaranya itu memang buat rakyat. Pertanyaan, itu untuk kesejahteraan rakyat? Ga kan? Terus suara rakyat diapain? Dimainin sama dia. Tendang kesana, tendang kemari. Nanti misalnya aku dapat jabatan, nanti aku tak koalisi sama partai sono. Nanti kalo aku tak dapat kursi. Nah kayak gitu kan, emang untuk rakyat? Ga kan? Gitu lho yang mau aku sampaikan.

Tanya (Yudha): “Baru mas bisa dijelasin tidak proses penciptaaan ilustrasinya mas?”

Jitet (Jawab) :“ “Proses kreatifnya ya gampang itu kan. Ini parodi, jenis-jenis ilustrasi salah satunya parodi. Jadi sepakbola, ya jelas ada itu sepak bola, ada yang sportif ada yang tidak sportif. Yang pasti olah raga sepakbola itu ada. Nah, yang ditendang itu pasti kan bola bukan hal yang lain. Nah aku parodi dari situ. Eh, kalo yang ditendang ini kotak suara, itu kan alangkah menyedihkan. Bola selama ini kan ga mendapat apa-apa, tendang sono tendang kemari, masuk dapat piala emang bola? Enggak . Gitu lho, jadi proses kreatifnya seperti itu. Tanya (Yudha): “Diparodikan dari sepakbola, tetapi sepak bola yang tidak sportif atau jujur ya mas. Baru mas dari pewarnaan ada maknanya ga mas?”

Jitet (Jawab) :“ “Ada-ada, pewarnaan itu aku cuma pengen menonjolkan bahwa itu pemain sepak bola. Itu (ilustrasi pertama) kan kalo aku pakai sepatu biasa saja, mungkin nanti ga nampak itu permainan sepak bola. Maka aku buat sepatunya bersol, bahwa itu pemain sepak bola.”

Tanya (Yudha): “Yang menjadi inspirasi membuat ini anggota DPR/MPR RI ya mas?” Jitet (Jawab) : “Ya, DPR, karena aku kasih simbol di situ.”

Tanya (Yudha): “Oh simbol yang ada pada jasnya ya mas?” Jitet (Jawab) : “Ya yang di dadanya.”

Tanya (Yudha): “Baru mas peristiwa atau masalah apa yang diangkat menjadi latar belakang?

Jitet (Jawab) : “Ya soal-soal suara rakyat itu (menegaskan suara), suara rakyat dimainkan, menjadi permainan.”(suara kekecewaan)

Tanya (Yudha): “Lalu mas, kita sebagai warga negara Indonesia bagaimana seharusnya menyikapinya?”

Jitet (Jawab) : “Kita lihat orang dari partai mana yang mempermainkan suara. Lalu untuk Pemilu yang akan datang, apa mau lagi kita dibodohi oleh orang kayak gitu. Gitu lho. Kita kan suka nyinyir tiap kali Pemilu kita kritik, nah rakyatnya sendiri ga mau belajar. Gitu lho, iya kan harusnya mau belajar. Misalnya eh, ini kan dari partai A, ini juga dari partai A yang dulu ngasih duit ke aku, dia minta suara ke aku. Terus dia ga memperhatikan aku setelah dia mendapatkan kedudukan. Dilihat dong, gitu lho.

Tanya (Yudha): “Jadi lebih aktif mas rakyatnya itu.”

Jitet (Jawab) : “Iya lah, jadi baguslah. Sebelumnya mohon maaf, kalangan menengah ke bawah (yang lebih aktif memperhatikan). Jadi ga bodoh amat, yang penting datang duit.

Suara ini, dia ga tau dampaknya. Gitu loh…. Kita nyinyir aja selama lima tahun sekali, kita ngomong soal itu lagi. Lima tahun sekali dibodohin lagi kayak gitu terus (suara kekesalan). Gitu lho, itu yang pertama terus yang kedua curang. Curang itu maksudnya gini, dari TPS (Tempat Pemungutan Suara –red) itu sendiri mungkin jujur, jumlah suaranya emang segitu. Jadi banyak faktor, nah masalahnya, ayo kita sama-sama. Dari Pemilu itu kawal suaranya untuk sebuah perubahan jika kita bareng-bareng mau. Nah iya diliat, misalnya besok pagi partai ini ngocol, partai ini juga, partai ini juga. Oke saya besok ga pilih dia. Tapi emang yang lain mau begitu kalau dikasih duit, belum tentu. Itu lho yang aku bilang penyadaran. Tanya (Yudha): “Baru mas, warna yang menjadi dominan di sini ada tidak mas?”

Jitet (Jawab) : “Warna dominannya ya adalah gedung DPR itu. Aku pengen menonjolkan itu sebenarnya.”

Tanya (Yudha): “Kontras sekali ya mas, ditengah warna hitam yang dominan terdapat warna hijau.”

Jitet (Jawab) : “Hijau di tengah-tengah warna hitam.”

Tanya (Yudha): “Melihat dia ditengah kubangan-kubangan hitam ya mas.” Jitet (Jawab) : “Silahkan tafsirkanlah.” (tertawa terbahak-bahak)

Tanya (Yudha): “Baru mas, ada tidak teknik penggambaran yang ditekankan pada ilustrasi ini mas?”

Jitet (Jawab) :: “Setiap kartunis itu punya ciri, ada yang pakai jenis kuas, ada yang pakai spidol, kalau aku ya selama ini seperti itu. Jadi ya orang melihat tanpa nama sebuah ilustrasi orang tahu itu cirinya. Oh ini gambar Jitet, ini gambarnya Jitet. Jadi aku drawing aja.

Tanya (Yudha): “Drawing biasa ya mas, pakai pensil seperti itu ya mas?”

Jitet (Jawab) :: “Aku ga berani berubah karena kalau aku mengubah gaya itu, orang ga tahu lagi aku. Harus tetap. Gitu patokan. Misalnya gini, adonan sebuah minuman Coca – Cola jika diubah rasanya, orang akan beralih. Harus tetap. Baik jenis botolnya, akte kemasannya bisa berubah tapi merek dan rasa jangan sampai berubah.”

Tanya (Yudha): “Baru ikon disini adalah pin anggota DPR. Lalua menurut mas ada tidak ikon dominan yang menjadi ciri khas gambar dari ilustrasi ini mas?

Jitet (Jawab) :: “Ikon dominannya itu adalah kotak satu, kotak Pemilu. Kamu harus tahu bahwa itu kotak suara, bahwa itu suara rakyat. Ikon kedua adalah sepatu alat sebagai penunjang, ikon ketiga adalah gedung DPR, sama siapa udah (sama orang yang menunjang dimaksudkan). Siapa menendang apa. Jadi ada tiga simbol kunci itu. ada kotak, ada sepatu, dan siapa yang menendang. Ikon bisa berubah (makna) ketika aku mengubah ikon gedung DPR menjadi istana negara, nanti akan menjadi lain. Itu penting ikon itu.”

Tanya (Yudha): “Dalam menggambar ilustrasi, ada tidak mas Jitet mempertimbangkan memasukkan mitos atau mitologi ke dalam ilustrasi?”

Jitet (Jawab) :: “Ya bisa aja tapi semakin banyak ikon yang kumasukkan malah orang ga nangkap nanti, biasanya seperti itu. Biasanya ambil ikon satu aja tapi yang kuat, misalnya orang main sepak bola, ikon mengenai sepak bola aja yang diambil.

Tanya (Yudha): “Jadi ikon disini, ikon pemain bola yang kurang sportif. Lalu mas, setelah ilustrasi ini naik cetak, ada tidak pihak-pihak yang merasa tersinggung atau terintimidasi?” Jitet (Jawab) :: “Ya tentu saja….”

Tanya (Yudha): “Ada tidak melalui surat pembaca memberikan semacam kritikan atau mungkin mendatangi kantor redaksi tentang ilustrasi mas Jitet?”

Jitet (Jawab) :: “Selama ini belum untuk ilustrasi ini, tapi untuk ilustrasi yang lain beberapa waktu lalu ada.”

Tanya (Yudha): “Bagaimana mas menggabungkan tanda-tanda dalam sebuah fenomena menjadi ilustrasi yang menarik? Bisa menggambarkan parodi bola dengan ketidakkondusifan sebuah lembaga negara. Bagaimana mas menggabungkan tanda-tanda itu semua mas.”

Jitet (Jawab) :: “Ya semua tanda, ya itu tadi sekali lagi bahwa itu adalah sebuah parodi. Ide awalnya adalah aku pingin bahwa suara rakyat yang ditendang-tendang, dibuat mainan, gitu kan. Bisa aja kan aku gapake ikon sepak bola, aku pakai ikon yang lain karambol misalnya. Tetapi kan kurang dramatis. Sepakbola dramatis dengan ditendang, golf juga bisa sebenarnya tapi kurang pas. Yang paling enak (digunakan sebagai tanda) ya ini. Permainan, tendang sono tendang kemari.

Wawancara dengan Jitet Koestana pada sesi kedua bertempat di Kampus FISIP USU. Tepatnya di lantai 2 Gedung C, di lobi ruangan Pak Riza. Wawancara diadakan pada Kamis, Januari 2015 pada pukul 13.00 WIB. Suasana di dalam ruangan Pak Riza sangat ramai, sehingga lagi-lagi menyebabkan sebuah kebisingan yang sangat mengganggu proses wawancara. Belum lagi ketika mereka keluar-masuk seakan-akan baru keluar dari neraka saja. Sangat ribut. Terkadang teriakan-teriakan bersahut-sahutan di dalam ruangan tersebut. Ocehan-ocehan tidak berfaedah membumbung tinggi di udara. Namun, peneliti berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan hasil yang terbaik

Tanya (Yudha): “Lanjut mas. Sekarang ilustrasi kedua dengan ada gambar gedung DPR, dengan ada kotak suara di depannya mas, dikerangkeng. Itu judulnya apa mas?”

Jitet (Jawab) :: “Kerangkeng itu judulnya penjara saja. Karena ini kan dari naskah. Memang gambarnya semuanya belum aku berikan judul. Atau kalau mau dikasih judul, judulnya Penjara Demokrasi DPR.”

Tanya (Yudha): “Lalu, pesan apa yang ingin diberikan kepada para pembaca melalui ilustrasi ini mas?”

Jitet (Jawab) :: “Ini kan ada kaitannya dengan RUU Pilkada. DPR maunya kepala daerah itu dipilih oleh DPRD. Ya kan rakyat maunya dipilih rakyat aja dong kan demokrasi. Kalau dipilih oleh DPRD, suara rakyat kemana dong? Mengurung suara rakyat. Awalnya seperti itu. Kamu saja aja dong yang mengurung suara rakyat. Pesan yang ingin disampaikan adalah suara rakyat itu terpenjara.” (suara ragu, seperti tidak ada harapan)

Tanya (Yudha): “Berarti suara rakyat terpenjara ya mas karena ada RUU Pilkada tersebut ya. Kalau proses kreatifnya seperti apa mas?”

Jitet (Jawab) :: “Proses kreatifnya ya itu, ini kan parodi dari awalnya penjara itu sudah ada. Penjara itu kurungan, mengurung, tidak ada kebebasan disana. Ilustrasi itu memparodikan atau memplesetkan suatu masalah. Suatu yang terpenjara adalah yang terkurung, tidak ada kebebasan disana. Artinya memang terkurung dia. Sama seperti seekor burung, burung memang benar-benar bebas sayapnya terpakai jika dia berada di luar, benar-benar bebas. Sama suara rakyat tidak akan mendapatkan kebebasan atau mendapatkan kebebasan jika tidak terkurung. Nah simboliknya, ikon-ikon yang aku pakai disana ada (terlihat) siapa yang memenjara dan siapa yang terpenjara. Yang memenjara adalah parlemen dengan alat RUU. Lalu yang terpenjara siapa? Suara rakyat. Suara rakyat apa ikonnya ya, yaitu kotak Pemilu itu. Kotak Pemilu itu adalah simbol dari kebebasan. Bebas saja memilih siapa pemimpin yang hendak dipilihnya. Tetapi begitu suara tidak mendapatkan kebebasan, ya sama saja ya terpenjara kan (suara menegaskan). Meskipun lu punya mulut, punya pilihan pemimpin, punya calon pemimpin yang baik, ya kan, lu berhakdong. Bahayanya, jika nanti kalau pemimpin daerah dipilih oleh DPRD, itu kan gawat banget korupsinya. Kita semua kan ga tahu selain kita dibungkam. Disana kepala-kepala daerah itu akan sowan ke partai-partai. Ini mungkin buntutnya dari seperti itu. Para kepala-kepala daerah akan sowan ke partai ke ketua partai buat koalisi, dia ngasi upeti untuk terpilih (suaranya seperti ketakutan), Nah itu kan tidak terlihat dan korupsi akan merajalela. Nah kalau 2015 akan diadakan pemilihan kepala daerah (Pilkada) banyak banget berapa daerah.”

Tanya (Yudha): “Baru mas, harapan mas Jitet sendiri apa melalui ilustrasi ini?”

Jitet (Jawab) : “Ya, harapannya kalau bisa dihilangkanlah (RUU Pilkada). Kalau pemimpin daerah itu diplih oleh rakyat akan menghasilkan tokoh-tokoh baru, tokoh-tokoh harapan seperti Jokowi (Joko Widodo), akan muncul pemimpin baru. Tapi, kalau ini dibungkam itu ya kita kembali ke zama orde baru (suara penuh mengharap). Coba bayangin misalnya, misalnya nantinya DPR mengeluarkan UU bahwa Presiden dipilih oleh MPR bukan rakyat, ngerih ga? Jadi gitu lho, masa mau kembali lagi ke orde baru. Ini kan kita reformasi, setelah reformasi mau ngapain? Ini kan mau balik lagi ke orde baru. ”

Tanya (Yudha): “Baru mas menggabungkan tanda-tanda ya mas? Suara rakyat (kotak suara), gedung DPR.

Jitet (Jawab) : “Ya, tanda-tandanya ikon itu bahwa disana siapa yang mengurung dan siapa yang dikurung.Yang mengurung adalah DPR dan Parlemen, dan yang terkurung adalah kotak suara (kotak pemilu).”

Tanya (Yudha): “Ikon dominan itu tetap kotak suara ya mas yang dikedepankan.”

Jitet (Jawab) : “Kalau aku kasih mulut, bisa saja aku ganti mulut. Tapi kan rakyat lebih jelas. Rakyat bisa membacanya. Suara rakyat”

Tanya (Yudha): “Ada tidak mitos, atau hal yang berhubungan dengan kebudayaan mas masukkan ke ilustrasi ini?”

Jitet (Jawab) : “Tidak, tidak ada, karena kalau masuk ke sono bisa-bisa salah…

Tanya (Yudha): “Mungkin mas, ada tidak mas berikan cerita misalnya mengenai DPR begini, ke dalam ilustrasi?”

Jitet (Jawab) : “Ga ada. Kalau aku masuki seperti itu bahaya pembahasannya (suara khawatir). Misalnya kotak suaranya ada dibuat di Papua, berarti di Papua ada masalah dong? Demokrasi kan untuk semua bukannya hanya di Papua, bukan hanya di Aceh, tapi untuk

Indonesia. Kalau dimasukin ikon-ikon daerah, itu takut nanti melanggar Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA)….

Tanya (Yudha): “Jadi ini semua (ilustrasi) diperuntukkan untuk universal ya mas?” Jitet (Jawab) : “Ya, untuk semua daerah.”

Tanya (Yudha): “Setelah naik cetak, ada tidak ya mas yang terintimidasi melalui ilustrasi mas?”

Jitet (Jawab) : “Ya, mungkin ada tapi ya selama ini belum. Karena itu kan di redaksi semua teguran disampaikan kepada pimpinan redaksi kan, tidak ke ilustrator. Kecuali sifatnya SARA tadi, dahulu pernah teman menggambar yang bertentangan dengan budaya. Itu dilarang.”

Tanya (Yudha): “Pertanyaan terakhir untuk ilustrasi ini mas, perubahan seperti apa yang diharapkan melalui ilustrasi ini?”

Jitet (Jawab) : “Ini untuk perubahan, perubahan yang akan membawa manfaat. Rakyat lebih sejahtera dengan pemimpin baru. Coba bayangin misalnya kita, misalnya kepala daerah dipilih oleh DPRD, ga akan Jokowi di Jakarta. Jakarta tetap kumuh, kemacetan tidak akan tertangani dengan baik akan kayak gitu, pengangguran dimana-mana, urbanisasi berantakan nanti ga teratur, ya kan, seperti itu. Jika muncul pemimpin baik, harapannya akan ada perubahan dan kesejahteraan untuk masyarakat, untuk rakyat.”

Tanya (Yudha): “Itu untuk ilustrasi yang kedua ya mas. Ini ilustrasi ketiga bergambar kursi diatasnya ada buku RUU Pilkada dan di bawahnya ada kotak suara.”

Jitet (Jawab) : “Itu RUU Pilkada kan? Bukan MD3 kan? Kalau MD3 itu yang dibawah...” Tanya (Yudha): “Bukan mas, ini yang kursi berwarna coklat, buku berwarna merah dan sofa kursi berwarna hijau serta kotak suara berwarna emas dengan background hitam. Jika ingin diberikan judul, judulnya apa ya mas?”

Jitet (Jawab) :: “Demokrasi dalam gelap. Itu (alasan) kenapa warnanya hitam. Ya itu adalah artinya ya ga terang, gelap. Ga ada penerangan disana. Setiap kotak suara di ilustrasiku selalu aku warnai dengan warna kuning kebanyakan. Warna kuning dan warna emas. Emas yang di dalam gelap, emas yang tenggelam dan terguling dalam kegelapan. Lalu kotak suara terguling, maka kenapa itu saya buat di bawah. ”

Tanya (Yudha): “Maknanya apa mas, kenapa kotak suara diletak di bawah?”

Jitet (Jawab) : “Ya itu kan buat ini, seperti kujelaskan tadi. Pemicu kekuasaan. Jadi setelah memimpin mengeluarkan RUU Pilkada, ini kaitannya dengan Pilkada tadi. Lhongeluarin RUU dimana pemimpin daerah dipilih oleh DPRD. Itu kan sama artinya suara rakyat itu dibuat main-main dibeginikan. Sementara suara rakyat itu lho di buat panggung. Lho tindih dengan kekuasaan (milik) lu. Nah, gitu yang aku mau sampaikan (suara kekesalan). Ikon di sono ada kursi, ada buku, ada kotak suara.”

Tanya (Yudha): “Kenapa berwarna kuning emas, mas? Seakan-akan itu sangat berharga kotak suara itu ya mas.”

Jitet (Jawab) : “Ya sangat. Emas itu kan benda mulia, berharga banget. Tapi bisa sampai emas yang gue naikkan kenapa kamu gulingkan? Sama buat landasan kursi kamu. Lu

gulingin, lu buat, lu tindih dengan kekuasaan kamu. Sementara kamu mengeluarkan RUU Pilkada. Itu kan sama artinya demokrasi sudah pecah. Harapannya tentu saja sama seperti yang tadi, karena itu konteksnya berkaitan dengan Pilkada.”

Tanya (Yudha): “Merahnya itu buku mas, maksudnya merah buku itu apa mas?”

Jitet (Jawab) : “Ga ada. Sebenarnya yang pengen aku sampaikan disini selain dia kontras warna, bisa aja dia diartikan berani. Terlalu berani, terlalu berani menyisihkan atau mengikis suara rakyat yang memilih lu menjadi pemimpin.”

Tanya (Yudha): “Apa yang mas harapkan setelah terciptanya ilustrasi ini mas?”

Jitet (Jawab) : “ Ya itu (bentuk suara berharap) tadi jangan seperti itu. Dengan lu tindih suara rakyat, tidak lu beri kebebasan suara rakyat. Maka harapannya kembali lagi lah kepala daerah dipilih oleh rakyat. Karena kalau gini (pemilihan oleh DPRD) tidak akan muncul tokoh-tokoh muda baru, pemimpin-pemimpin muda. Akan berhenti demokrasi ini, akan gelap. Rakyat tidak akan bisa melihat. Balik ke dulu lagi. Ehh rumah lu cat warna kuning, diberi warna kuning. Seperti itu, otoriter.”

Tanya (Yudha): “Dari awal bagaimana mas proses kreatifnya? Atau memang sudah dipikirkan dari awal bahwa demokrasi kita telah sangat terperosok atau seperti apa mas.” Jitet (Jawab) : “Proses kreatifnya seperti itu, ya karena ini kan mengikuti tulisan.Ya karena memang penjelmaan realitasnya seperti itu. Nah, di Indonesia ini kan kalau di luar, emm kita harus memutar balikkan logika itu, tapi di sini kita ngomong omongan kita ada di gambar kita itu udah hebat. Kalau demokrasi kita ini terinjak-injak, demokrasi kita juga tertipu. Demokrasi kita ini dalam kegelapan.” (suara kegelisahan)

Tanya (Yudha): “Secara pribadi, bagaimana cara mas Jitet menyikapi masalah yang tergambarkan di dalam ilustrasi ini?”

Jitet (Jawab) :: “Bukan menyikapi sebuah ilustrasi, tetapi menyikapi sebuah masalah. Masalah, jadi ada masalah dengan demokrasi kita. Lalu aku menyikapinya dengan gambar. Aku menyampaikan masalah ini, kritik dari masalah ini dengan gambar. Aku bersikapnya dengan gambar. Maka muncul lah ikon-ikon tersebut.”

Tanya (Yudha): “Seperti yang Mas Jitet bilang tadi, harapan masa sendiri ya agar mereka, setidaknya suara rakyat itu didengarkan, jangan hanya memikirkan kursi saja, ya kan mas ya?”

Jitet (Jawab) : “E..ehm. Iya selama pemilihan kemarin itu kan dia buat koalisi, untuk apa? (suara kritikan keras) Untuk mengakali. Jadi ya harapannya kalau semua pemimpin negeri ini, semua pemimpin negeri ini berbuat bener-bener untuk rakyat tidak akan terjadi seperti ini. Kita ini negara besar kok, negara kuat. Kalau memang berpikir untuk rakyat, kita akan