• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Lokasi Penelitian

A. Analisis Leksia Mayat Demokrasi

2. Kode Proairetik

4.2.13 Analisis Ketigabelas (13)

Gambar 4.13

A. Analisis Leksia

Runtuhnya Demokrasi Indonesia

1. Oranye adalah warna dominan dalam background ilustrasi ini. Oranye gelap dan oranye muda yang sedikit memudar. Warna dari latar menunjukkan kelelahan atau keletihan dari rakyat situasi yang terjadi dalam sistem pemerintahan demokrasi. Demokrasi seakan memudar oleh tindak-tanduk lembaga eksekutif yang terkesan fanatik dengan kekuasaan. Rakyat yang sudah lelah seperti senja pada sore hari yang ingin segera cepat bertemu dengan gelapnya malam.

2. Terdapat tiga bagian penting dalam ilustrasi ini, yaitu kotak suara, buku baja, dan isi dari buku baja berupa kursi kaca serta mata-mata. Buku tersebut dapat dikatakan RUU Pilkada. Buku baja tersebut berwarna coklat seperti sudah karatan, tua dan aus. Di mana-mana terdapat lubang, kelupasan, dan ada bagian yang terbuka. Jika dilihat, buku baja itu seperti menghajar kotak pemilu, yang tidak lain menghajar demokrasi hingga jatuh terbalik ke samping. Setelah berhasil menjatuhkan demokrasi (kotak suara), para pemburu kekuasaan berkumpul ke dalam buku tersebut. Lima pasang mata misterius memperebutkan sebuah kursi harapan rakyat, kursi harapan Indonesia. Kursi yang berwarna merah putih dan meja berwarna merah terang abadi.

3. Kotak suara telah mengalami kekalahan. Sinar perak, sinar pengharapan terakhir telah menghilang dan hanya menyisakan warna putih beserta abu kotoran di atas kotak suara tersebut. Kotak suara tersebut sudah lusuh, kotor, penuh debu akibat hantaman dari buku RUU Pilkada. Di samping kotak tetap terlihat pendar-pendar dan sapuan kilatan cahaya, namun melemah dan memudar. Bersiap untuk dimakan pekatnya malam. Logo watermark dari ilustrator berada di ujung kanan bawah dari ilustrasi.

B. Lima Kode Pembacaan 1. Kode Hermeneutika

Mengapa kotak suara terjatuh posisinya? Mengapa dibuat terjatuh? Kenapa latar berwarna merah kekuning-kuningan? Mengapa ada buku berbentuk seperti besi? Mengapa buku tersebut melindungi sebuah meja bundar beserta kursi di dalam kotak kaca? Mengapa ada lima pasang mata yang melihat ke arah kursi? Mengapa kursi tersebut berwarna merah putih? Mengapa di dalam buku tersebut sangat gelap?

Pada ilustrasi ini pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi pembuka kunci kebenaran ilustrasi. Kunci dari ilustrasi ini adalah bagaimana sebuah buku menjadi tempat perlindungan atau tempat mencari aman bagi para pencari suaka kekuasaan. Buku perumpamaan sebagai tembok besi, tameng besi penghalang demi kursi kekuasaan mereka tetap terjaga. Mereka menggunakan buku yang terepresentasikan menjadi tameng. Personifikasinya di sini adalah buku merupakan sebuah alat serbaguna yang mampu menjaga mereka dari serangan ataupun ancaman dari pihak luar.

“Bukan kayu, ini sebenarnya besi. Besi itu kan sebenarnya susah ditembus. Ndak melindungi mereka. Ga semua orang bisa menembusnya. Sementara suara rakyat terguling.” (Transkrip Hasil Wawancara Jitet, Hal 189).

2. Kode Proaretik (Narasi)

Pada ilustrasi ini kursi menjadi sebuah barang yang dipuja oleh para mata-mata di dalam buku. Kursi menjadi sebuah representasi dari kekuasaan menjadi barang panas yang dikejar-kejar oleh para penggila kekuasaan. Kursi berwarna merah-putih tersebut memperlihatkan darimana dan untuk apa kursi tersebut digunakan. Kursi yang digunakan untuk para wakil rakyat mengemban dan menjalankan amanah rakyat malah dijadikan sebuah komoditas berbagi kekuasaan. Itulah penggambaran dari realitas para sifat dan tujuan beberapa anggota lembaga legislatif DPR RI.

Buku tersebut merupakan buku yang tidak lain dan tidak bukan adalah buku (kitab) Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada). Buku (kitab), dalam hukum lebih jamak disebut kitab, menjadi sebuah representasi dari kekuasaan mereka. Ini juga merupakan sebuah bentuk kekuasaan dan kekuatan mereka. Mereka mampu menjadikan RUU Pilkada sebagai tameng untuk menjaga keberlangsungan proses kejahatan yang mereka lakukan.

“Ya kotak suara yang terguling, buku besi yang susah ditembus, RUU besi itu. Besi itu kan timbul dari keras kepala, bisa aja buandel ya memang tidak bisa diapa-apain besi itu. Kecuali api yang bisa meluluhkan mereka, itu kan ngeri.” (Transkrip Wawancara Jitet, Hal 190)

“Eh, aku ingin memberikan ini lho. Ini lho suara elu digulingkan oleh kekuasaan. Rakyat itu ga boleh merdeka. Dia (pejabat terkait) itu ingin membuat, pengen membuat mainan untuk kepemimpinan di daerah. Gitu aja yang ingin saya

sampaikan….” (suara untuk meminta, suara untuk berharap agar semua

bergerak).(Transkrip Wawancara Jitet, Hal190)

Kotak suara di sini memperlihatkan salah satu hasil kekuasaan mereka dalam menundukkan demokrasi tersebut. Mereka menjadikan sebuah kotak suara sebagai dudukan sebagai bukti bahwa kotak suara merupakan salah satu bentuk hasil kedigdayaan mereka. Kotak suara berubah posisi menjadi seperti posisi terjatuh menjadi pemaknaan dalam hal kejatuhan demokrasi, kekalahan demokrasi.

Latar tersebut menjadi sebuah saksi terdapat sebuah kekacauan di negeri ini. Politik yang mendewakan kekuasan, merendahkan publik dan warga negara Indonesia menjadi sebuah pemicu timbulnya pergerakan-pergerakan sosial. Revolusi atau pergerakan sosial atau entah namanya apa merupakan bentuk kehabisan rasa sabar rakyat dengan dagelan politik yang terjadi di DPR RI. Kekacauan di mana-mana seperti kasus G-30-S PKI dan Reformasi 1998 merupakan bentuk sebuah pergerakan atas nama keadilan. Raja Louis XII yang dikudeta oleh rakyat Perancis merupakan salah satu potret dari bagaimana besarnya pengarauh rakyat dalam proses berkembangnya suatu negara.

“Kalau nantinya akan begini, gitu kan rakyat selamanya tidak akan mendapat apa-apa dan tidak tahu apa-apa-apa-apa. Karena malam gelapkan. Harapa-apannya kalau ga seperti ini, besok akan muncul cahaya baru. Akan muncul kehidupan baru. Gitu loh, Yudh. Akan muncul kesejahteraan baru. (suara mengecil, dan pelan). Karena semuanya akan terbuka, tutup buku itu akan terbuka, tidak akan gelap.” (Transkrip Wawancara Jitet, Hal 190)

Ilustrasi ini mempunyai kode visual narasi dalam hal sebuah proses politik yang menghalalkan segala cara. Proses politik yang mematikan lawan politiknya itu sendiri.

Setelah perlawanan dengan demokrasi dan rakyat sudah selesai, selanjutnya oknum tertentu di lembaga legislatif yang telah mampu menyingkirkan demokrasi tersebut saling mengincar kursi panas tersebut. Mereka saling bersikutan untuk mendapatkan kekuasaan kembali, seperti seekor serigala yang melihat anak domba terjebak di hutan gelap.

3. Kode Simbolik

Sebuah koalisi yang sedang meributkan atau mempertarungkan(?) sebuah jabatan ataupun kekuasaan. Seperti gerombolan serigala kelaparan yang berhari-hari tidak mendapatkan seonggok daging pun, ketika melihat seekor anak domba kecil hasrat pribadi pun melonjak dengan tinggi. Tidak memperdulikan teman segerombolan (teman koalisi) mereka akan saling sikut, saling bunuh untuk mendapatkan sebuah daging empuk (kursi empuk kekuasaan). Koalisi dari DPR RI ini merupakan sebuah hasrat berkuasa pribadi, dimana hasrat tersebut tidak ubahnya sebuah nafsu yang berkuasa. Mereka berkumpul (berkoalisi) karena melihat ada peluang hasrat untuk berkuasa itu akan bisa terpenuhi. Buya Syafii Maarif pernah mengatakan bahwa partai politik merupakan sebuah kumpulan kawanan serigala.

Kejatuhan dari demokrasi yang merupakan simbol telah dibabat habis terciptanya demokrasi itu sendiri. Demokrasi yang direpresentasikan oleh sebuah kotak suara menjadi gambaran dari kebebasan suara rakyat dan kebebasan dari rakyat untuk menentukan pilihan pemimpin. Dengan kebebasan yang terkoyak tersebut rakyat menjadi beringas karena hak-haknya dicabut sehingga terciptanya sebuah kekacauan.

4. Kode Kebudayaan (cultural)

Sejarah akan selalu mewarnai kehidupan seseorang. Dimensi ruang dan waktu, serta adanya suatu unsur perubahan menjadi sebuah kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Kadangkala perubahan tersebut bersifat konstruktif, akan tetapi suatu saat menjadi sebaliknya yaitu bersifat destruktif. Akibatnya, sejarah menjadi sebuah memori yang berbeda dalam penafsiran setiap individu walaupun konteks permasalahannya sama. (Zulkarnain, 2014:2)

Kontak kebudayaan mengakibatkan perubahan institusional yang dinamis, juga menimbulkan destrukturalisasi dan diferensiasi norma-norma, nilai-nilai, dan simbol-simbol. Analisisnya harus mencakup pula unsur-unsur yang esensial dari gerakan sosia1 seperti tujuan-tujuan ideologi, kohesi golongan, organisasi, dan taktik. Dan akhirnya, transformasi politik yang terjadi selama abad ke-19 dianalisis menurut segi; peraihan dari otoritas

tradisional ke otoritas legal rasional, dan penyelenggaraan otoritas kharismatik gerakan itu sendiri. Perkembangan sejarah yang tampak dalam dinamika masyarakat muncul karena adanya kekuatan-kekuatan sejarah berupa kekuatan alam (misalnya sumber-sumber ekonomis), pertumbuhan penduduk, kepentingan-kepentingan sebuah kelas, grup dan individu, penemuan teknologi baru, ideologi, kepercayaan, pengaruh-pengaruh dari luar, dan sebagainya. (Zulkarnain, 2014:2)

Dalam teori revolusi, Karl Marx mengatakan bahwa perkembangan masyarakat di tingkat kekuatan produksi material masyarakat berada dalam pertentangan dengan keberadaan hubungan produksi di tempat mereka bekerja. Bentuk perkemhangan kekuatan produksi itu lantas berubah menjadi pengekangan (penindasan). Konflik antara kekuatan produksi baru dengan hubuugan produksi lama itulah yang menjadi gerakan revolusi. Marx mengasumsikan bahwa kapitalisrne akan memunculkan kesejahteraan dan penderitaan. Kesejahteraan dalam kelas borjuis semakin mengecil dan penderitan dari dalam kelas buruh kian membesar. Ketegangan antara borjuis dan proletariat akan mendorong kaum proletariat untuk bersatu dan sadar-kelas. (Zulkarnain, 2014:5).

RUU Pilkada membuat DPR-RI menjadi lembaga superbody dalam halnya pelaksanaannya. KPK sendiri melalui Wakil Ketua Bambang Widjojanto menegaskan bahwa proses pelaksanaan rawan akan terjadinya kegiatan penyuapan. KPK juga mempunyai kelemahan dalam halnya pemeriksaan proses pemilihan kepala daerah oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah secara menyeluruh. Itu disebabkan oleh kantor Komisi Pemberantasan Koruspi yang terpusat di Jakarta dan jumlah penyidik KPK masih berkisar 50 orang dengan jumlah daerah sekitar 500 Kabupaten/ Kota. Pembangunan kantor cabang KPK di wilayah pun terhambat izin oleh anggota DPR-RI sejak tahun 2011 yang telah dimohonkan oleh KPK. Dengan kekuatan KPK yang tidak maksimal di daerah, tindakan penyelewengan dan tindakan penyuapan akan marak terjadi dengan lemahnya pengawasan KPK, ditambah lagi prosesnya yang tidak melibatkan rakyat menjadikan penyelidikannya serba sulit untuk ditangani. Bambang Widjojanto mengatakan bahwa Pilkada langsung bukanlah menjadi alasan dalam banyak praktek pencucian uang ataupun korupsi. Jadi alasan dalam halnya RUU Pilkada untuk mengurangi proses tindak rasuah dinilainya kurang tepat. Dari 313 kepala daerah yang terkena kasus korupsi bukanlah berasal dari Pilkada langsung. Ditakutkannya adalah proses Pilkada tidak langsung inilah yang menjadi proses tumbuh suburnya benih-benih korupsi. Penyuapan tidak akan bisa dielakkan untuk memuluskan

seseorang menjadi kepala daerah, dan KPK sulit untuk melacaknya karena keterbatasan penyidik.

Kotak suara pada Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) pada Pasal 5 Peraturan KPUNo 27 Tahun 2008 tentang Kotak Suara Untuk Pemungutan Suara Pemilihan Umum (Pemilukada)Tahun 2009. Dalam Pasal 5 ayat 1, bentuk kotak suara adalah kotak dengan ukuran sisi samping empat persegi panjang, sisi atas dan bawah bujur sangkar. Dalam pasal 4 ayat 2, kotak suara sebagaimana dapat dibuat dari bahan kayu atau kayu lapis atau plastik atau metal. Dalam pasal 7 ayat 1, panjang dan lebar kotak suara berbahan metal adalah sebagai berikut :

Ukuran kotak suara dari bahan metal berkualitas baik adalah sebagai berikut : a. Tinggi = 60 cm

b. Panjang = 40 cm c. Lebar = 40 cm

d. Panjang celah/lubang pada tutup kotak suara = 18 cm e. Lebar celah/lubang pada tutup kotak suara = 1 cm f. Tebal = 0,6 mm s/d 1 mm

(Disadur dari situs Hukum Unsrat. Diakses pada tanggal 05/03/2015, pukul 1.10 pm)

5. Kode Semik

Isu yang menjadi sebuah konotasi dari ilustrasi ini adalah bagaimana sebuah pertikaian yang terjadi di dalam koalisi. Bagaimana mereka sedang mengintip sebuah celah untuk dapat memanfaatkan peluang demi kelancaran kekuasaan. Ada tiga hal penting yang menjadi suatu mitos dalam ilustrasi ini. Pertama, ilustrasi ini memperlihatkan sebuah gambaran mengenai sifat dari beberapa anggota lembaga legislatif RI. Mereka mempertontonkan sifat-sifat kurang baiknya di depan rakyat. Terlihat sifat aslinya kenapa RUU Pilkada ini harus disahkan oleh DPR RI. Kedua, ilustrasi ini memperlihatkan sebuah penjelasan seperti ini penjahat hitam. ‘Penjahat hitam’ merupakan sosok yang terlihat baik daripada di depan atau terlihat di publik, akan tetapi ketika di balik publik akan terlihat sisi gelap dari seorang penjahat tersebut. Ketiga, sangat sulit untuk melakukan penyidikan mengenai proses-proses pengangkatan kepala daerah yang dilaksanakan oleh DPRD dan pejabat tinggi lainnya. Bisa saja terjadi sebuah proses penyuapan yang dikategorikan tindakan rasuah (korupsi) pada proses ini.