• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Lokasi Penelitian

A. Analisis Leksia Mayat Demokrasi

2. Kode Proairetik

4.2.9 Analisis Ilustrasi Kesembilan (9)

Gambar 4.9

A. Analisis Leksia

Gedung Pemenjara Harapan

1. Mengambil latar berwarna putih, di sini terdapat sebuah replika dari gedung MPR/DPR RI. Terlihat dari dua atap oval berwarna hijau gelap dan tangga masuk yang berada di tengah gedung DPR/MPR RI. Replika gedung DPR/MPR RI tersebut tergantung di atas sebuah buku tebal berwarna hijau. Bisa dikatakan juga bahwa buku itu yang menggantung gedung DPR/MPR RI atau gedung itu merupakan penghasil RUU Pilkada. Buku tebal berwarna hijau itu memiliki judul yang ditulis dengan huruf kapital, judul tersebut adalah RUU Pilkada (Rancangan Undang-Undang Pilkada). Sangat tebal dan tepat di bagian atas buku memiliki sebuah gedung DPR/MPR RI.

2. Buku tersebut pada bagian tengah tepatnya di bawah tulisan RUU Pilkada terdapat sebuah ruangan. Ruangan tersebut tepat berada di tengah dan seakan-akan membolongi bagian tengah buku. Ruangan tersebut menurut hipotesa saya adalah penjara. Dugaan tersebut bukan tanpa dasar yang kuat, ruangan tersebut seperti dilapisi dengan baja dan ruangan tersebut memiliki empat besi baja yang menancap dengan kokoh. Empat besi baja yang berfungsi untuk menahan orang dari dalam untuk keluar.

3. Kotak suara berwarna emas. Kotak tersebut agak sedikit miring, sehingga jika dilihat dari luar seperti sedang meratapi nasib. Terlihat walau kotak suara tersebut terpenjara oleh buku dari gedung DPR tetapi kemurnian dari suara rakyat tetap berpendar. Warna emas kuning terang benderang terlihat dari luar. Logo watermark dari ilustrator berada di bawah kiri buku. B. Lima Kode Pembacaan

1. Kode Hermeneutika

Mengapa kotak suara berwarna emas dipenjara ? Mengapa buku yang berjudul RUU Pilkada ini berwarna hijau? Mengapa buku RUU Pilkada ini sangat tebal? Mengapa ada penjara di dalam sebuah buku? Mengapa ada gedung (atap) DPR/MPR RI yang menyembul dari tengah halaman buku?

Ilustrasi ini memperlihatkan sebuah gambar buku yang memiliki penjara dan Gedung DPR/MPR RI diatasnya. Ikon-ikon seperti buku (kitab) RUU Pilkada berwarna hijau, penjara di buku, dan Gedung DPR/MPR RI merupakan perwakilan dari sebuah kedigdayaan dari RUU Pilkada ini. Dia memiliki kekuatan untuk mengikat dan memenjarakan demokrasi yang dilambangkan oleh sebuah kotak suara berwarna emas. RUU Pilkada ini merupakan sebuah alat penghancur dalam tatanan sistem politik mengenai Pemilihan Kepala Daerah.

“Judulnya juga Demokrasi yang Terpenjara. Ini hampir sama pesannya dengan ilustrasi sebelumnya, namun hanya berbeda pada visualisasi gambar.”(Transkrip Wawancara Jitet, Hal 182)“Sama dengan yang kedelapan. Bahwa suara rakyat itu terpenjara oleh UU. Kalau yang kesembilan ini memang benar-benar kayak penjara.”(Transkrip Wawancara Jitet, Hal 182)

2. Kode Proaretik (Narasi)

Gedung DPR/MPR RI yang menyembul dari buku seperti perumpamaan seorang yang lomba lari menggunakan kuda. RUU Pilkada diumpakan seekor kuda menjadi sebuah alat untuk meraih kemenangan dalam perlombaan lari tersebut. Gedung DPR/MPR RI merupakan sebuah kunci jawaban oknum-oknum siapa yang bertanggungjawab dalam terciptanya sebuah peluang matinya demokrasi Indonesia. Itu merupakan sebuah penyelesaian akhir, siapa yang tergesa-gesa untuk mengesahkan RUU Pilkada ini, ingin membuka mata masyarakat siapa yang harusnya dibela dan dihancurkan, dan menjadi musuh bersama. Dalam hal konteks mengenai ini, yang paling tepat untuk dipertanyakan adalah lembaga legislatif DPR/MPR RI.

Kotak suara yang terpenjara adalah korban dari proses pengesahan RUU Pilkada. Lagi-lagi dipenjara, dan ini terlihat siapa yang memenjarakannya. Pemenjara dari kotak suara, pemenjara dari hak politik rakyat, dan pemenjara dari demokrasi adalah RUU Pilkada dengan pasal-pasal yang terdapat dalam kitab RUU Pilkada. Sebuah kemunduran dari apa yang telah dijadikan program kerja DPR RI, mengesahkan RUU Pilkada sebagai program kerja mereka merupakan sebuah preseden buruk selama lima tahun kinerja mereka di Senayan. Sebuah kemunduran lagi-lagi mereka pertontonkan, selalu kemunduran bukan prestasi.

RUU Pilkada lagi-lagi mempertontonkan sebuah kekuatannya di depan rakyat Indonesia. RUU Pilkada sedang unjuk gigi dengan pengaruhnya yang kuat di hadapan rakyat Indonesia. Itu ingin memperlihatkan kekuatannya dalam hal membungkam terlaksananya proses Pemilihan Umum Kepala Daerah. Pembungkaman yang ditandai dengan tergoleknya kotak suara di balik dinginnya lantai besi penjara dan menusuknya udara di kamar penjara.

Kode narasi visual dari ilustrasi ini adalah sebuah Rancangan Undang-Undang Pilkada yang baru akan segera disahkan oleh lembaga legislatif RI dengan diketahui serta ditandatangani oleh Presiden RI. Celakanya, RUU ini bukanlah RUU yang dapat langsung berperan untuk kemaslahatan orang banyak, RUU ini malah menghilangkan sebuah hak-hak politik rakyat daerah untuk memilih putra daerah terbaiknya menjadi kepala daerah (Gubernur atau Bupati). Dengan itu, ilustrasi ini memperlihatkan RUU Pilkada sedang memenjara sebuah kotak suara berwarna emas dan simbol berasal dari mana RUU ini terlihat dengan menyembulnya atap atau Gedung DPR/MPR RI.

“Harapannya sama seperti yang sebelumnya. Kalau kotak suara rakyat terpenjara akan terjadi sesuatu yang mengerikan. Tidak akan muncul pemimpin-pemimpin baru, kita ga akan berubah, kehilangan semangat reformasi, kita akan masuk kembali ke orde baru. Dimana pemimpin kepala daerah ditentukan oleh DPRD. Atau bisa saja nanti UU selanjutnya yang memberikan peluang Presiden dipilih oleh MPR RI. Itu untuk semacam itu. Jadi semangatnya itu, bukan untuk membangun atau

mensejahterakan rakyat. Tapi semangatnya adalah mengurung (suara diberikan

penekanan), mengurung supaya kekuasaan dia aman, gitu lho. Dan kedudukan dia ga terganggu, untuk korupsi dia ga terganggu. Sangat ngeri.” (Transkrip Wawancara Jitet, Hal 183)

3. Kode Simbolik

Ilustrasi RUU Pilkada ini memperlihatkan sebuah buku (kitab) yang sempurna, memiliki kekuatan yang lebih, super power, kekuatan absolut, yang dapat melemahkan

proses demokrasi Indonesia yang masih seumur jagung. RUU Pilkada disini menjadi jalan tol kembalinya demokrasi ke penjara otoritarian. Pada ilustrasi ini terlihat kotak suara yang mempersonifikasikan sebagai sistem politik demokrasi tidak mampu berbuat banyak, akibat dari pasal-pasal yang termaktub dalam ilustrasi tersebut menghilangkan dan memenjarakan fungsi serta tugas KPUD di Pemilukada. Atap Gedung DPR/MPR RI terlihat menyembul dari kitab (buku) memperlihatkan public enemy yang menggunakan tugas dan kewajibannya mencari celah untuk mempertahankan hierarki kekuasaan mereka pada lembaga parlementer Indonesia.

4. Kode Kebudayaan (cultural)

Penjara atau yang dikenal dengan Lembaga Pemasyarakatan merupakan lokasi proses penghukuman yang telah terlaksana kurang lebih sekitar 200 tahun yang lewat. Sampai saat ini penjara merupakan sebuah tempat untuk memberikan hukuman kepada penjahat kriminal. Penjara merupakan sebuah tempat untuk merebut kebebasan dirinya diluar sana, dengan memaksa terpidana (penjahat) untuk tetap berada di penjara dan tidak membiarkan dirinya bebas.

Menurut Dwidja Priyatno (2006:87-88), bahwa “Di sekitar abad ke-16 di Inggris terdapat pidana penjara dalam arti tindakan untuk melatih bekerja di Bridewell yang terkenal dengan nama Thriftless Poor bertempat di bekas istana Raja Edward VI tahun 1522. Bahwa pidana penjara diperkirakan dalam tahun-tahun permulaan abad ke-18 mulai tumbuh sebagai pidana baru yang berbentuk membatasi kebebasan bergerak, merampas kemerdekaan, menghilangkan kemerdekaan yang harus dirasakan sebagai derita selama menjalani pidana penjara bagi narapidana”.

Menurut A. Josias Simon R., dan Thomas Sunaryo (2011:1), Penjara masa dulu menjadi tempat dimana orang-orang mendapat hukuman sadis berupa penyiksaan, mutilasi, dieksekusi gantung atau dibakar. Namun saat ini, penjara di Indonesia yang sudah berubah namanya dengan sebutan Lembaga Pemasyarakatan merupakan bangunan tempat isolasi yang secara filosofis ditujukan untuk menghilangkan kemerdekaan narapidana atau mengalami pencabutan kemerdekaan serta membina atau mendidik para narapidana agar menjadi baik selama di dalam Lapas.

Membahas RUU Pilkada, tidak elok jika kita tidak membahas sedikit sejarah konstitusi. Konstitusi adalah hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan

suatu negara. Hal itu menunjukkan bahwa wujud dari konstitusi dapat berupa hukum dasar tertulis dan tidak tertulis. Wujud konstitusi yang tertulis kemudian lazim disebut sebagai Undang-Undang Dasar (UUD). Sedangkan contoh dari wujud tidak tertulis adalah penerapan konstitusi dari Kerajaan Inggris (United Kingdom). Konstitusi dalam arti sempit (the constitution in the narrow sense, constitutie in enge zin) sama halnya dengan UUD. Sedangkan konstitusi dalam arti luas tidak hanya UUD, melainkan mencakup pula ketentuan diluar UUD yang meliputi kebiasaan-kebiasaan ketatanegaraan dan putusan hakim. Dapat disimpulkan bahwa UUD hanyalah salah satu dari ketentuan konstitusi, namun konstitusi belum tentu UUD, dikarenakan diluar UUD masih terdapat bentuk konstitusi lain. Sehingga perlu kehati-hatian dalam mengartikan konteks uraian

UUD dan konstitusi tersebut. UUD 1945 dibuat karena adanya peluang untuk merdeka yang harus direbut dengan cepat dan untuk itu harus pulasege ra ditetapkan UUD bagi negara yang digagas sebagai negara konstitusional dan demokratis. Maka dibuatlah UUD 1945 yang melalui proses perdebatan antara Badan Penyelidik Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Dan pada akhirnya pendiri negara(founding fathers)menyepakati sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan, 18 Agustus 1945, disahkannya UUD 1945 sebagai UUD sementara untuk kemudian, setelah merdeka kelak, segera dibuat UUD yang lebih permanen dan bagus.

5. Kode Semik

Sebuah buku atau kitab. Kitab pada umumnya mempunyai sebuah fungsi membuka cakrawala baru bagi pembaca kitab tersebut. Kitab pada umumnya sering digunakan untuk perumpaan dalam hal keagamaan, misalnya kitab Suci Al-Quran dan lainnya. Buku lebih mengedepankan sebuah proses pencernaan pemikiran yang dihasilkan oleh pengarang untuk dapat diserap para pembaca. Di sini, ilustrasi menjadikan sebuah buku atau kitab sebagai sesuatu yang kekal, kuat dan mempunyai suatu kuasa untuk memenjara. Buku dalam ilustrasi ini menjadi sebuah konotasi sebagai buku yang mempunyai kekuasaan konstitusi RUU Pilkada untuk mengurangi fungsi unsur Pilkada. Bahkan menghilangkan fungsi dari unsur-unsur Pilkada.

Poin penting dari ilustrasi ini adalah telah terjadi kebablasan wewenang dari sebuah lembaga legislatif DPR RI. Atap dari Gedung DPR/MPR RI itu telah menunjukkan isyaratnya. Mereka telah melangkahi fungsi dan tugas yang telah dibebankan demi

mengesahkan RUU Pilkada ini. Akibatnya secara langsung RUU Pilkada menjadi penjara demokrasi yang diwakilkan oleh kotak suara Pemilukada. Kitab RUU Pilkada merupakan sebuah manuver keliru yang telah dilakukan mereka. Lembaga legislatif merupakan para dewan yang menjadi perwakilan rakyat daerah masing-masing. Bukan penjara bagi daerahnya masing-masing.