• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Lokasi Penelitian

A. Analisis Leksia Mayat Demokrasi

1. Kode Hermeneutika

Mengapa nisan tersebut bertakhtakan nama demokrasi? Mengapa kotak suara Pilkada tersebut dikubur? Mengapa kotak suara tersebut tetap cerah walaupun dikubur? Mengapa tanah kuburannya terlihat masih gembul ke atas? Mengapa tanah di sekitar kuburan masih kurang rapi? Mengapa latar berwarna abu-abu? Mengapa warna langit cerah di atas tapi gelap di bawah?

Kode visual hermeneutika dari ilustrasi ini merupakan sebuah prosesi kematian dari demokrasi. Demokrasi berupa kotak suara Pilkada yang telah kita elu-elukan bersama telah mati, dikubur. Personifikasi atau perumpamaan dalam hal ini adalah seorang manusia. Manusia yang telah menjalani kehidupan merupakan manusia yang sedang menunggu kapan akan dijemput oleh Yang Maha Kuasa. Manusia tersebut (pasti) akan mengalami yang namanya sebuah proses terlepasnya jiwa dari tubuh. Proses tersebut merupakan proses yang dinamakan kematian. Lalu, fisik yang telah kehilangan roh akan tidak berjiwa dan kembali menemui asal mulanya.

Dari ilustrasi ini, demokrasi dipaksa mati oleh para pemilik kepentingan yang tidak bertanggung jawab. Demokrasi dibenamkan, dibenamkan ke sebuah dasar yang bukan tempat terbaik, tempat terendah dalam sebuah kehormatan yang pernah diterima oleh demokrasi. Dengan demikian, kematian demokrasi ‘bukan’ kematian normal tetapi kematian yang dipaksa, kematian yang direncanakan untuk mendapatkan sebuah keuntungan duniawi dari

sebuah proses politik yang merupakan cita-cita bersama. Walaupun pilihan berbeda, tetapi untuk Indonesia.

“Bisa lu bayangin kan betapa ngerihnya kalau demokrasi itu mati. Yang ada cuma diktator. Ya suara rakyat mati. Ah aku berharap ada pemimpin kayak Jokowi atau pemimpin seperti Ahok, enggak mungkin. Karena yang memilih ini kan DPRD. Yang muncul nanti, bodo amat yang penting nanti lu bisa ngeluarin duit jalan dan lu jadi pemimpin. Nah kayak gitu. Nah kita ga tahu dia pemimpin seperti apa. Kita ga tahu. Koruptor kah? Kita ga tahu (suara keraguan hati). Dan lalu kalau dia koruptor misalnya, yaudah aku mengetahui kekayaan alam disini batu bara, ya ambil saja. Yang penting aku dapat duit. Jadi ke rakyat sama sekali ga ada. Iya ga bisa apa-apa, ga punya kehidupan. Rakyat jadi semakin miskin dan melarat sengsara.” (Transkrip Wawancara Jitet, Hal 180)

2. Kode Proaretik (Narasi)

Latar yang berwarna abu-abu, abu-abu keputihan merupakan sebuah tanda dari kesedihan, kemuraman, berduka, kesengsaraan, nelangsa. kelesuan, tidak semangat, perasaan yang tertahan, dendam kesumat, dan sebuah kekalahan. Dari semua sifat yang saya sebutkan sebelumnya tidak ada sebuah sifat atau sikap yang menunjukkan sebuah hal yang positif, atau setidaknya bersikap normal. Hal tersebut dikarenakan memang seperti itulah bentuk kekecewaan dari masyarakat Indonesia dari apa yang sedang terjadi dalam proses politik kita. Suhu udara dan warna angin merepresentasikan kehancuran sebuah cita-cita. Negara Indonesia yang secara konstitusi menganut sistem Republik, menempatkan rakyat sebagai aktor utama dalam proses penentuan kebijakan merupakan apa yang dicitakan. Selesai, mereka yang membuat ataupun leluhur lembaga legislatif yang membuat, malah dihancurkan oleh generasi muda dari lembaga legislatif.

“Coklat warna tanah, menggambarkan sebuah kemuraman..” (Transkrip Wawancara Jitet, Hal 180)

Nisan yang bertakhtakan tulisan demokrasi yang dicetak huruf tebal merupakan sebuah mimpi yang dikubur oleh para lembaga legislatif. Ya, dengan mengeluarkan RUU Pilkada tersebut saja kan mengeliminasi unsur-unsur dalam proses Pilkada, seperti KPUD, TPS dan bahkan kotak suara itu sendiri. Menanam atau lebih halus lagi mengubur sebuah cita-cita dari negara yang menjadi tempat ia (anggota lembaga legislatif) untuk berteduh, mencari nafkah, dan hidup.

Kotak suara yang dikubur secara langsung tanpa adanya penghormatan yang adil adalah sebuah proses penghinaan dari anggota DPR/MPR RI. Mereka membuat kotak suara tersebut terbungkam dan hanya menjadi kenangan semata oleh rakyat Indonesia yang pernah

menikmati indahnya demokrasi itu. Demokrasi tinggal kenangan setelah kotak pilkada yang menjadi sumber harapan telah dikubur, bersama harapan rakyat.

“Ya itu kan parodi dari sebuah kuburan. Itu kan gampang banget. Kita kan juga melihat bahwa kuburan sebagai tempat persemayaman orang mati yang dikubur. Terus yang mau dikubur kayak apa. Kalau kita bisa mengkhayal itu bukanlah yang sulit. Di sini aku mengatakan bahwa yang mati itu bukan manusia, tapi yang mati itu suara. Suara emas rakyat yang mati. Bahkan dihukum mati. Dikubur hidup-hidup.” (Transkrip Wawancara Jitet, Hal 180).

Kode visual narasi ini menceritakan sebuah realitas, sekali lagi realitas. RUU Pilkada merupakan sebuah rancangan undang-undang yang memberikan DPRD serta pejabat tinggi untuk menentukan kepala daerah (Gubernur dan Bupati) untuk menciptakan sebuah proses yang luber. Proses tersebutlah yang mengubur kotak suara, mengubur harapan rakyat untuk memilih putra daerah terbaiknya, dan mengubur hal yang paling penting dalam konstitusi yaitu demokrasi.

3. Kode Simbolik

Sebuah kemunduran, sebuah proses yang melihat ke belakang. Suatu itikad atau keinginan untuk mempelajari dan menerapkan konsep yang telah gagal, untuk dijadikan metode percobaan kembali pada era reformasi ini. Simbol kejatuhan dari demokrasi yang sedang dalam proses menjalani pembelajaran untuk menjadi lebih baik, namun berkeinginan langsung merubah sistem pemerintahan secara sewenang-wenang. Simbol dari kematian atau matinya sebuah harapan dengan terkuburnya demokrasi bersama kotak suara. Rakyat menangisi tujuan yang dibungkam, rakyat berduka dengan matinya sebuah pengharapan terakhir.

“Ya tentu saja saja harapan. Jangan gitu dong, jangan lu kubur. Itu nanti suara rakyat kayak mumi, ga hidup. Serba takut, mau ngomong gitu eh bisa masuk penjara. Kayak mumi mau ngomong takut. Kayak isu PKI pas zaman dahulu, kalau sudah di stempel sudah sulit. Bisa dibantai. Dikejar. Ngeri. Ya (sekarang) orang yang penting sudah kerja, makan, mantap. Sudah ga berani bersuara.” (Transkrip Wawancara Jitet, Hal 180)

4. Kode Kebudayaan (cultural)

Pada saat peresmian makan nasional Gettysburg, Presiden Lincoln dalam pidatonya memberi kesimpulan tentang definisi terbaik dari demokrasi, yaitu, “pemerintahan dari

rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.” Demokrasi adalah sesuatu yang berat, bahkan mungkin merupakan bentuk pemerintahan yang paling rumit dan sulit. Demokrasi tidak dirancang demi efisiensi, tapi demi pertanggungjawaban; sebuah pemerintahan demokratis mungkin tidak bisa bertindak secepat pemerintahan diktator, namun sekali mengambil tindakan, bisa dipastikan adanya dukungan publik untuk langkah ini. Demokrasi, terutama dalam tatanan Amerika, bukanlah produk yang yang telah selesai, melainkan sesuatu yang terus bertumbuh-kembang. Prinsip demokrasi ini merupakan prinsip dasar yang menyangga pemerintahan amereka berasal langsung dari pendapat-pendapat yang dinyatakan oleh para pembuat Konstitusi pada tahun 1787. Akan tetapi bukan berarti demokrasi yang dianut Amerika adalah panutan (role model) yang cocok untuk semua demokrasi. Setiap bangsa harus menata pemerintahan yang berpijak pada sejarah dan kebudayaannya sendiri.

Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warga negara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Pada intinya, yang banyaklah yang menang dan yang banyak dianggap sebagai suatu kebenaran. Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yang sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks andbalances. Semenjak kemerdekaan 17 Agustus 1945, UUD 1945 memberikan penggambaran bahwa Indonesia adalah negara demokrasi. Dalam mekanisme kepemimpinannya Presiden harus bertanggung jawab kepada MPR dimana MPR adalah sebuah badan yang dipilih dari Rakyat. Sehingga secara hirarki seharusnya rakyat adalah pemegang kepemimpinan negara melalui mekanisme perwakilan yang dipilih dalam pemilu. Indonesia sempat mengalami masa demokrasi singkat pada tahun 1956 ketika untuk pertama kalinya diselenggarakan pemilu bebas di Indonesia, sampai kemudian Presiden Soekarno menyatakan demokrasi terpimpin sebagai pilihan sistem pemerintahan. Setelah mengalami masa Demokrasi Pancasila.

Barker dalam Mulyana (1954) menambahkan sifat warna. Sifat warna Warna abu-abu mencerminkan keamanan, kepandaian, tenang dan serius, kesederhanaan, kedewasaaan, konservatif, praktis, kesedihan, bosan, profesional, kualitas, diam, dan tenang. Kesan yang ditimbulkan warna ini adalah ketenangan, keteduhan, elegan.

Kuburan merupakan sebuah tempat di mana mayat (jenazah) manusia diperlakukan sedemikian rupa, sehingga di tempat inilah mayat-mayat dimuliakan atau diperlakukan dengan menghormatinya, sehingga roh dari mayat-mayat tersebut akhirnya memperoleh keharuman (kebahagiaan) di alam sana. Meskipun kuburan sejatinya merupakan areal yang disucikan, toh secara umum masyarakat menganggap tempat semacam itu sebagai tempat angker, entah itu di dunia Timur maupun Barat sekalipun. Paling tidak di belahan dunia Barat, kepercayaan akan kuburan kuno yang angker sering bisa kita saksikan dalam tayangan-tayangan film. Sementara di Nusantara, sebagian besar masyarakatnya memang mengasosiasikan kuburan sebagai tempat yang menyeramkan. Dalam falsafah murni, kuburan adalah guru terbaik, di mana ruang ini memberikan manusia suatu kesadaran, bahwa manusia pada akhirnya menjadi tulang-belulang yang setara dengan seonggok sampah. Dengan kesadaran, bahwa tubuh adalah suatu materi yang tak kekal. Sebuah gambaran kemuraman dalam kuburan.

“Mitosnya kemuraman itu tadi. Kemuraman saat kematian. Muram dia tidak ada kebahagiaan dan kebebasan. Ngeri. Tidak ada kehidupan. Misalnya sebuah rumah jika tidak ada kehidupan kan kesannya angker. Banyak setan, seram gitu lho.”(tertawa terbahak-bahak).(Transkrip Wawancara Jitet, Hal 181)

5. Kode Semik

Kotak suara pada ilustrasi ini merupakan sebuah lambang harapan dari para rakyat. Kotak tersebut dapat menjadi simbol perlawanan rakyat terhadap tirani pejabat pemerintahan yang sesuka hati untuk menjatuhkan sebuah harapan. Dari ilustrasi ini dapat kita ambil sebuah kesimpulan bahwa suara rakyat mengalami sebuah tubrukan kekuasaan. Kekuasaan memaksa kotak suara untuk ‘mati’. Lalu, ilustrasi ini memperlihatkan walau ‘mati’, kotak suara tersebut tetap menjadi bara api pembakar semangat untuk memperjuangkan sebuah keadilan dalam berpolitik. Terakhir, kotak suara (demokrasi) tersebut tidak akan pernah mati, hanya berdiam dan merenung kemudian kembali lagi dari pergolakan pemikiran bawah tanah. Kotak suara dan demokrasi terus hidup, dan akan memancarkan sinar kehidupan dari bawah tanah. Suaraku akan lebih terdengar lantang dari bawah tanah, seperti apa yang dikatakan Tan Malaka.

Poin penting dari ilustrasi ini adalah mereka mengubur apa yang menjadi manifestasi kita bersama. Demokrasi dikubur demi memuaskan dan melancarkan hasrat untuk berkuasa. Mayat dari demokrasi adalah kotak suara Pemilukada. Demokrasi diperlakukan seperti manusia. Tidak manusiawi. Seperti intel atau Petrus (Penembak Misterius) mampu

membunuh para aktivis yang mengganggu kestabilan politis negara. Mereka ‘membunuh’ demokrasi. Demokrasi telah dimakamkan. Dan mereka sesuka hati membunuh demi mengurangi gejolak penolakan dalam pemerintahan.

“Ditanam ya mati. Jika kita bareng-bareng ingin bisa hidup, Ya berkehidupan artinya benar-benar terwujud sejahtera, ayo kita lawan. Jangan mau dikubur hidup-hidup. (suara memelan dan menjadi tegas).Gitu pesannya. Seram kalau memang, aku udah dapat kayak gini terusnya, misalnya ah biarin saja deh, mati pun ga apa-apa. Itu yang lebih ngeri. Tambah ngeri. Ini kan ajakan, ajakan untuk melawan. Jangan mau dikubur hidup-hidup.”(Transkrip Wawancara Jitet, Hal 181)

4.2.8 Analisis Kedelapan (8)

Gambar 4.8

A. Analisis Leksia

Pilkada yang Terkungkung

1. Background mempunyai dua warna, satu warna oranye terang dan satu warna oranye gelap. Dalam KBBI, oranye berarti warna merah yang mendapat sebuah sentuhan warna kekuning-kuningan atau bisa disebut juga jingga. Warna oranye terang berada di sebelah kanan atas hingga pertengahan objek penjara dari ilustrasi. Warna oranye gelap berada di bagian atas kiri hingga sampai bawah kiri dari objek ilustrasi.

2. Kerangkeng atau kurungan dari ilustrasi ini memiliki sebuah keunikan. Jika diperhatikan lebih teliti, kerangkeng ini seperti buku tebal yang mengurung. Mungkin buku tersebut merupakan kitab UU 1945. Terlihat di bagian kerangkeng terdapat semacam lekukan seperti

sebuah rangka pengikat buku. Lalu bagian samping kiri dan kanan kerangkeng memiliki kesamaan panjang dan ketebalan, namun bagian tengah tidak dan memiliki ketebalan dibanding dengan samping kiri atau kanan kerangkeng.

3. Terdapat sebuah kotak suara, tidak jelas kotak Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) atau Pemilihan Umum Presiden (Pilpres). Kotak suara tersebut diletakkan secara mendatar atau lebih mudahnya istilahnya ditidurkan kotak yang sebelumnya berdiri. Kotak tersebut berwarna putih dengan lubang suara berada di bagian depan (muka) kotak suara. Di bagian kiri kotak putihnya sedikit gelap lebih merngarah berwarna abu-abu, namun warna putih cemerlang berada di mulut lubang suara dan di bagian kanan samping kotak suara. Logo watermark dari ilustrator berada di bawah kerangkeng dekat kotak suara.

B. Lima Kode Pembacaan 1. Kode Hermeneutika

Mengapa kotak surara tersebut terkurung? Mengapa kurungannya berbentuk sebuah buku? Mengapa kotak suara tersebut terbalik? Mengapa kotak suaranya berwarna putih? Mengapa latar belakang ilustrasi berwarna oranye, seperti terbakar? Mengapa kurungannya tidak ada pintu keluar? Mengapa kurungan tidak ada pintu masuk juga?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi sebuah langkah untuk menganalisis kode (enigma) dari ilustrasi ini. Kotak suara berwarna putih merupakan sebuah perumpamaan dari sebuah citra yang baik. Citra yang sederhana baik, memiliki ketulusan, dan kejujuran dalam berperilaku. Di sini ikonnya adalah kotak suara dan sebuah kurungan (kerangkeng) yang berbentuk sebuah buku. Jika dilihat secara seksama, kerangkeng tersebut memang buku dengan sampul samping dan belakang yang menjadi ciri khas buku. Di sini, ilustrasi ini menceritakan sebuah kekacauan dari akibat kotak suara dikurung oleh buku. Akibat terkurungnya buku tersebut, kekacauan berpendar seperti terlihat suasana dari latar yang mengisyaratkan asap dari peperangan. Personifikasi dari ilustrasi ini adalah konstitusi di Indonesia menjadi perangkap, perangkap dalam berkembangnya demokrasi.

“Ini memparodikan, parodi lagi. Parodi dari sebuah buku. Terus saya menggabungkan antara buku sama penjara. Penggabungan antara buku sama penjara. Lalu saya rakit menjadi sebuah visual buku. Ada buku dan kurungan. Kurungannya tidak ada pintu sama sekali. Langsung lu kurung. Seperti seekor burung, keindahannya itu kan ya biarkan saja. Juga seperti rakyat, ga usah ada UU itu rakyat bisa hidup kok. Burung itu walaupun dia ga tahu alamat rumah dia bakal sampai. Meskipun di sonogaada UU atau aturannya. Dia nyampek ke rumahnya dan

ga salah alamat. Itu analoginya.” (suara kegeraman, suara kemarahan).(Transkrip Wawancara Jitet, Hal 181 - 182)