• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Lokasi Penelitian

A. Analisis Leksia Mayat Demokrasi

2. Kode Proairetik

4.2.12 Analisis Ilustrasi Kesebelas (12)

Gambar 4.13

A. Analisis Leksia

Ilustrasi Keduabelas (12) Penjara, Saksi Kursi

1. Mengambil latar berwarna putih, sang ilustrator sepertinya ingin memberikan sebuah penekanan atau fokus pada objek gambar. Objek utamanya adalah kursi, penjara, dan kotak suara. Tetapi yang mengambil porsi paling utama adalah kursi. Kursi di sini seperti kursi-kursi para pejabat pemerintahan Romawi kuno. Hal tersebut terlihat dari gaya seni kaki kursi-kursi yang mengambil seni era Romawi kuno. Dari atas melebar hingga akhirnya mengecil atau meruncing ke bawah. Analogi saya seperti ini, kekuasaan yang berupa kursi hanya memberikan sebuah kedamaian kepada para penguasa dan pemilik modal, sebaliknya kesengsaraan duniawi menimpa dengan kasar para fakir materi. Itu adalah kursi DPR RI dengan simbol gedung MPR/DPR RI di atas bahu kursi, yang melambangkan kekuasaan para lembaga eksekutif ini. Kursi ini mempunyai sofa tempat duduk berwarna biru tua yang sangat lembut, tergambar nampaknya kelembutan kursi sehingga pemilik kursi sukar untuk berakhir dengan kursi tersebut.

2. Lalu penjara tepat berada di tempat sandaran kursi ini. Penjara tersebut tepatnya berada di tengah-tengah sandaran kursi. Yang terpenjara adalah sebuah kotak suara, dalam konteks ini

Pilkada, yang terpasung dalam empat jeruji besi berwarna biru. Di balik sandaran sofa kursi biru, terdapat sebuah ruang materi untuk menyimpan suara rakyat.

3. Terakhir kotak suara yang terbungkam. Kotak terlihat miring beberapa derajat ke depan, seakan ingin mempertontonkan bahwa ‘itu’ masih berusaha untuk mempertahankan kedaulatan rakyat sebagai panji-panji demokrasi. Kotak suara tersebut berwarna kuning emas benderang, yang memperlihatkan semangat pemberontakan walau telah terbungkam oleh kekuasaan semu. Logo watermark dari ilustrator berada di dekat kaki kursi.

B. Lima Kode Pembacaan 1. Kode Hermeneutika

Mengapa kursi tersebut memiliki penjara? Mengapa kursi tersebut memenjara? Mengapa penjara kursi berwarna biru? Mengapa ada logo DPR RI pada bahu kursi? Mengapa sofa duduk kursi berwarna biru?

Dari visual ilustrasi terlihat ada beberapa ikon yang menjadi kepingan fragment dari ilustrasi, seperti kursi, penjara berwarna biru, logo DPR RI, dan sebuah kotak suara yang terpenjara. Kursi pada ilustrasi ini menjadi sebuah perumpamaan untuk kursi berharga, kursi takhta kerajaan mulia. Sangat sulit untuk bisa duduk dan memimpin dari kursi tersebut, seperti layaknya seorang raja. Dalam ilustrasi ini terdapat dua kemungkinan. Pertama, kursi tersebut yang memenjarakan atau kursi tersebut hasil pemenjara. Kursi tersebut merupakan kursi kepunyaan dari DPR RI, sesuai dari logonya yang terdapat di bahu kursi. DPR RI melalui RUU Pilkada memenjara, membungkam, dan mengeliminasi peran dari demokrasi, khusussalah satu unsurnya kotak suara. Kedua, kursi tersebut merupakan kursi kepala daerah (Gubernur dan Bupati) yang ‘dipercaya’ oleh DPR-D dan pejabat tinggi.

“Dan di kursi itu terlihat juga lambang gedung (gedung DPR).” (Transkrip Wawancara Jitet, Hal 187)

2. Kode Proaretik (Narasi)

Kursi tersebut merupakan sebuah penggambaran dari kursi kerajaan atau kursi kebesaran. Menjadi sebuah komoditas bagi para penggila kekuasaan. Kursi tersebut merupakan sebuah gambaran kepercayaan dari para rakyat untuk mengemban amanat sebagai kepala daerah. Kepala daerah yang merupakan seorang kepercayaan dari para rakyat. Kursi tersebut menceritakan sebuah kegemilangan dan sebuah kebesaran dari kepercayaan, namun

setelah RUU Pilkada yang disahkan oleh lembaga legislatif diterapkan, terdapat sebuah kemunduran di balik kursi tersebut. Kursi tersebut menjadi sebuah gambaran amanat yang dirusakkan oleh kerakusan dan kursi tersebut menjadi sebuah gambaran amanat yang diperjualbelikan. Kaki-kaki kursi memperlihatkan sebuah kemegahan. Kaki kursi mengambil aksen gaya kursi-kursi parlemen Romawi zaman Julius Caesar. Kaki kursi parlemen awal dari perkembangan demokrasi.

Logo DPR RI di bahu kursi merupakan sebuah representasi kursi ini kepunyaan anggota lembaga legislatif. Anggota lembaga legislatif yang mendapatkan sebuah kemewahan, dilihat dari pahatan kursinya yang berseni, sofa biru yang nyaman dan empuk, dan prestise sebagai wakil harapan rakyat.

Penjara berwarna biru, merupakan saksi kursi melihat sisi gelap dari pengaruh pemimpin (orang) yang menduduki kursi DPR RI ini. Bagaimana dia bisa membungkam sebuah harapan rakyat, bagaimana dia bisa menjatuhkan sebuah kepemimpinan, dan bagaimana dia bisa membuat sebuah sistem politik baru. Anggota dewan yang menduduki kursi ini mempunyai hak untuk menutup peluang untuk memilih kepala daerah dan menentukan siapa yang menjadi pemimpin daerah. Layaknya seorang hakim yang bisa menentukan hidup atau matinya seorang.

“Warna biru itu bukan penjaranya. Warna biru itu kan nampak warna ketegaran. Biru-biru langit. Itu kan memberi kita kehidupan. Coba kalau mendung kan ga ada langit, gelap, tidak ada kehidupan di sono. Tapi kehidupan itu buat DPR (suara sedikit kurang menyukai), buat mereka yang duduk di parlemen, buat kekuasaan.” (Transkrip Wawancara Jitet, Hal 187)

Kode visual proaretik dari ilustrasi ini menceritakan lagi-lagi pengaruh kekuasan dan peranan dari anggota dewan yang duduk di Senayan. Mereka menentukan hidup dan matinya demokrasi. Namun, sekarang mereka menentukan demokrasi mati, dan terpenjaralah kotak suara tersebut.

3. Kode Simbolik

Kursi dari DPR ini merupakan kursi hakim penentu kehidupan sebuah negara. Mereka mempunyai sebuah hak untuk menentukan nasib bangsa Indonesia. Apakah nasib bangsa Indonesia sejalan dengan tujuan kekuasaan mereka. Seperti itulah simbol dari kursi DPR ini, kursi kemegahan dan kebesaran. Dan sekarang mereka menentukan untuk agar sistem politik Indonesia dirubah, dan itu dimulai dari unsur terkecilnya kotak suara Pemilukada.

4. Kode Kebudayaan (cultural)

Menurut Ahli Sosial Erving Goffman, dalam bukunya Asylum (1961) menguraikan bahwa karakteristik lingkungan penjara adalah sama dengan rumah sakit jiwa dan organisasi militer sebagai satu institusi total (total institution) yang menampung dan mengatur hidup orang banyak secara seragam. Struktur totaliter ini berisi peraturan-peraturan detil, pengawasan ketat, jurang lebar antara yang berkuasa dan yang dikuasai, konsentrasi kekuasaan di tangan sekelompok yang berkuasa (rullingfew). Menurut R. Abdoel Djamali (2009 : 188-189), Penjara adalah suatu tempat yang khusus dibuat dan digunakan para terhukum dalam menjalankan hukumannya sesuai putusan hakim. Fungsi kamar untuk ditempati terhukum seorang diri tanpa dapat berkomunikasi dengan terhukum lainnya, seperti dikucilkan dari pergaulan sosial. Dengan jalan demikian, diharapkan setelah menjalankan hukumannya ia akan menjadi insaf dan tidak mau lagi melakukan tindak pidana kejahatan. Dengan demikian secara logika, seorang yang dimasukkan ke dalam penjara atau Lapas tidak bisa secara bebas berkomunikasi dengan orang luar, karena telah diisolasikan dan tidak bisa keluar atau bebas dari Lapas tanpa seijin dari pimpinan Lapas atau telah selesai masa tahanannya.

Munculnya sistem pemidanaan dengan penggunaan penjara dapat diketahui dari kodifikasi hukum Perancis yang dibuat tahun 1670, belum dikenal pidana penjara, terkecuali dalam arti tindakan penyanderaan dengan penebusan uang atau penggantian hukuman mati sebelum ditentukan keringanan hukuman dengan cara lain. Pada permulaan abad ke-18 mulai tumbuh sebagai pidana baru yang berbentuk membatasi kebebasan bergerak, merampas kemerdekaan, menghilangkan kemerdekaan yang harus dirasakan sebagai derita selama menjalani pidana penjara bagi narapidana. Bahwa sejak saat itulah terjadi pembaharuan pidana penjara di Indonesia, yaitu merubah nama kepenjaraan menjadi pemasyarakatan. Perubahan nama dari penjara menjadi Pemasyarakatan merupakan suatu proses yang panjang, sehingga dengan suatu kebijakan yang tegas perubahan itu dapat terjadi. Hal ini menjadi lebih jelas sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, sehingga kata penjara sudah jarang disebut atau jarang terdengar oleh masyarakat umum, karena telah berubah penyebutannya dari penjara menjadi Lembaga Pemasyarakatan atau disingkat Lapas.

Kursi, merupakan salah satu bagian furnitur yang memiliki akar sejarah yang kuat dengan peradaban kuno. Arkeologi berhasil memberikan petunjuk bahwa kursi telah mampu mendahului sejarah tertulis. Beberapa situs penggalian berhasil menunjukkan bangku (kursi) tempat duduk dalam struktur Neolitik yang hampir kembali ke 10. 000 SM lalu. Pada umumnya kursi tidak hanya digunakan masyarakat untuk keperluan sehari-hari. Pada dahulu kala di banyak bangsa, kursi menjadi sebuah bentuk perlambang kursi kekuasaan dan kursi bangsa. Mesir memiliki salah satu bukti sejarah kursi yang telah digunakan dari Dinasti ke-18 Kerajaan Mesir Baru. Tepatnya kursi tersebut digunakan selama berlangsungnya pemerintahan co-Thutmose III dan Hatshepshut yang memerintah dari 1473-1479 SM. Pada zaman Abad Pertengahan (medieval) kursi belum digunakan untuk keperluan masyarakat. Tetapi pada abad ke-7 terdapat sebuah kursi indah bernama Kursi Dagobert I yang merupakan kursi lipat desain Caroligian. Bahan kursi tersebut diambil dari perunggu, yang di mana merupakan bahan umum pada abad tersebut.

Kursi Zaman Gothic mudah dikenali dengan desain kursinya yang rumit dan bentuk kursi yang menjulang ke atas. Kursi beraliran Gothic tersebut mempunyai bahan dasar kayu ek, yang sampai sekarang kursi tersebut masih dapat ditemukan di Westminster Abbey. Kursi ini pada zaman tersebut digunakan untuk pelantikan Raja Edward I. Ciri khas kursinya terlihat dari kaki kursinya yang berbentuk hewan. Pada abad ke – 17 tepatnya pada periode Rennaisance, kursi mengalami perkembangan sangat signifikan. Ikhwal pada dahulu kala digunakan sebagai simbol menunjukkan kekuasaan, otoritas oleh para pejabat publik pada periode tersebut beralih fungsi menjadi sebuah mode atau gaya rakyat Perancis. Mereka sudah mulai bereksperimen dengan menggunakan lapisan kain beludru dan sutra, kemudian Raja Louis XIII membuat kursi berasal dari kursi rotan yang kemudian menjadi tren pada abadnya. Abad ke-18 ditandai dengan mulai dikenalnya desain pada kursi yang diinisiasi oleh Thomas Chippendale dengan menggunakan bahan utama kayu. Kursi dari Chippendale mempunyai sebuah ciri dari sandarannya yang memiliki nilai artistic dan kaki kursinya proporsional.

5. Kode Semik

Kursi pada ilustrasi ini lagi-lagi memperlihatkan otoritasnya sebagai kekuasaan yang mendikte demokrasi. Bagaimana super power-nya kursi diperlihatkan dengan terdapatnya sebuah penjara pada salah satu bagian sandaran kursi. Kursi merupakan representasi dari

kekuasaan para pejabat, semakin mewah dan memiliki nilai artistik tinggi semakin kuat jabatannya. Kursi memperlihatkan menjadi sebuah kekuatan represif (memaksa), memaksa siapa saja yang mengganggu kekuasaan.

Ada tiga hal penting yang menjadi kode semik dari ilustrasi ini yang menjadi sebuah gambaran faktual dari ilustrasi. Pertama, DPR RI mempunyai sebuah peranan penting dalam menjadikan RUU Pilkada momok dari proses politik demokrasi. Akibatnya, kursi mereka (DPR) seakan menjadi sebuah kursi penentu takdir dan menjadi saksi dari keberingasan oknum di lembaga legislatif. Kedua, lembaga DPR melakukan sebuah terobosan dalam proses politik di Indonesia. Mereka mencabut hak-hak politik dari rakyat. Ketiga, kursi tersebut memperlihatkan sebuah kemewahan dari fasilitas kelas utama yang dimiliki oleh anggota dewan. Salah satu yang menjadi perhatian adalah kaki kursi yang tumpul ke atas, namun runcing ke bawah. Seperti hukum di Indonesia yang memilih dalam menetapkan hukuman. Namun, poin yang paling vital adalah DPR RI telah memberikan petunjuk sebuah simbol kekuasaan adalah segalanya walaupun itu harus ada yang dikorbankan dengan di penjara.“Kalau pengen diartikan sesuatu yang menusuk….”(Transkrip Wawancara Jitet, Hal 187).