• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Lokasi Penelitian

A. Analisis Leksia Tertelannya Demokrasi

1. Gedung DPR/MPR RI . Memiliki dua bagian bangunan, yang terdiri dari ruangan berkaca. Masing-masing bagian terdiri dari enam kaca jendela dan dua bangunan tersebut terdiri dari 12 kaca jendela.

2. Bangunan tersebut memiliki atap berwarna hijau yang melengkung. Hijau tua, namun pada bagian tengah mendekati pintu masuk, atap tersebut digambarkan sedikit kusam dan menghitam.

3. Kalau dilihat dari sudut pandang orang pertama atau pembaca, tellihat ilustrasi ini agak mencongke kiri atau agak condong mengambil porsi ruang ke arah kiri. Jika sudut pandang subjek atau si pembuat itu akan terlihat condong ke arah kanan.

4. Lalu jendela dari gedung DPR/MPR RI ini terlihat sudah kusam dan pecah. Sebuah hipotesa ditarik atas dasar kenapa kaca tersebut pecah adalah penggambaran sebuah kilatan cahaya matahari akan terlihat menutupi sebagian kaca, bukan masing-masing kaca mendapatkan cahaya. Cahayanya pun tidak beraturan bentuknya, ada segitiga dan lainnya. 5. Jika dilihat dari gambar ini, gedung DPR/MPR RI merupakan tempat pembuangan. Kesimpulan tersebut ditarik karena jika ditarik lurus dari arah tangga menuju pintu masuk jalan selanjutnya adalah saluran gudang atau pembuangan. Jika dilihat di sini, setelah kotak suara berwarna emas menaiki tangga, setelah melewati pintu masuk akan terjun langsung ke bawah ke tempat pembuangan, gudang, ataupun bunker. Lebih pas mengatakannya tempat pembuangan, si ilustrator membuat ilustrasi seperti proses pencernaan. Kotak suara berjalan melewati mulut (pintu), hingga akhirnya dicerna dan mengeluarkan sisa dari tempat pembuangan kotoran. Jika diperhatikan lebih terbuka lagi, ilustrasi ini menggambarkan seorang manusia (seorang badut) sedang membuka mulut untuk menikmati kotak suara Pilkada. Matanya berupa kaca, atap gedung DPR merupakan pita dari badut, dan bunker atau gudang merupakan mulut. Logo watermark dari ilustrator berada di dalam bunker (gudang DPR) atau mulut yang ingin melahap.

B. Lima Kode Pembacaan 1. Kode Hermeneutika

Mengapa gedung DPR/MPR RI mempunyai bunker? Mengapa gedung DPR/MPR RI menyimpan sebuah kotak suara di bunker? Mengapa gedung DPR/MPR RI berbentuk seperti wajah tertawa? Mengapa dia memakan kotak suara rakyat? Mengapa bunker-nya sangat lusuh?

Kode visual hermeneutika pada ilustrasi ini terlihat pada tanda visual berupa ikon Gedung DPR/MPR RI dan kotak suara berwarna kuning emas. Kedua hal tersebut merupakan kumpulan potongan puzzle yang akan menjadi sebuah makna utama. Personifikasi dari ilustrasi ini adalah bagaimana kotak suara ditelan. Gedung DPR/MPR RI pada ilustrasi ini menyerupai orang yang sedang menelan, menelan sesuatu dalam tawa. Dengan adanya RUU Pilkada maupun sedang dalam proses pembahasan, proses penghancuran seperti proses penghancuran dalam perut sedang terjadi. Gedung DPR/MPR RI melakukan sebuah proses penggilingan secara perlahan-lahan, di dalam bunker Gedung DPR/MPR RI.“Memakan

Suara Rakyat , kalau diamati secara keseluruhan, akan terlihat seperti mulut.”(Transkrip Wawancara Jitet, Hal 178)

2. Kode Proaretik (Narasi)

Sebuah kotak suara yang terkungkung gelapnya sebuah bunker atau gudang. Kotak suara tersebut seperti sedang tersembunyi di dalam sebuah bagian di Gedung DPR/MPR RI. Kotak suara tersebut merupakan hasil dari proses politik masyarakat Indonesia. Partisipasi politik yang rendah dari pemilihan umum baik itu Pilkada maupun Pilpres tidak menjadi halangan dalam masyarakat menyambut datangnya musim pemilihan.

Dalam ilustrasi ini sebuah kotak suara yang terguling, seperti sesaat setelah dijatuhkan dari puncak Gedung DPR/MPR RI. Kotak suara tersebut bukannya mengalami kerusakan, malahan memberikan sebuah sumber cahaya ke dalam gudang atau bunker. Bunker terlihat terang setelah mendapatkan cahaya murni dari kotak suara. Kotak suara tersebut seperti baru saja dijatuhkan dari dalam gedung, atau dibuang secara sengaja. Setelah proses RUU Pilkada berjalan, kotak suara dibuang namun dia tetap memancarkan sinar harapan di balik gelapnya bunker atau gudang. Kotak suara mengindikasikan bahwa tetap memberikan sinar harapan, walaau telah terbuang percuma.

Bunker tersebut seperti sebuah gudang untuk suara-suara yang telah tidak berguna. Sebuah gudang yang penuh kotak suara harapan. Ilustrasi ini memperlihatkan sebuah ciri busuk dari dalam Gedung DPR/MPR RI. Terlihat sudah sangat kotor dan tua sebuah tempat bunker bawah tanah, seperti empunya yang memiliki kelicikan juga.

Kode visual narasi ini menceritakan sebuah nasib kotak suara yang telah tenggelam dalam bunker rahasia Gedung DPR/MPR RI. DPR RI membuang kotak tersebut dari atas karena tidak memperlukannya kembali. Di satu sisi, mereka pada awalnya merupakan para utusan-utusan daerah yang terpilih di daerah pemenangannya masing-masing. Gedung DPR/MPR RI merupakan sebuah gudang dari penimbunan dari kotak-kotak suara. Merekalah yang menimbun kotak suara ke dalam bunker bawah tanah mereka.

Kode visual narasi juga menceritakan sudut pandang lain. Ilustrasi ini seperti menjelaskan sebuah gambar dari wajah Gedung DPR/MPR RI yang memakan sebuah kotak suara. Gedung DPR/MPR RI yang tertawa riang dan bahagia sambil menelan sebuah kotak suara. Lalu, walaupun sudah mengalami proses pencernaan, kotak suara tetap memperlihatkan sebuah jati diri aslinya setelah dicerna oleh Gedung DPR/MPR RI.

“Ya sama seperti tema kemarin, ada yang terpenjara, tergusur, dan yang ini ada yang termakan. Toh sudah bisa dikembangkan bermacam-macam. Intinya di situ ada yang dimakan, serta yang memakan. Yang memakan adalah parlemen, yang dimakan adalah para rakyat dengan UU Pilkada itu.” (Transkrip Wawancara Jitet, Hal 178). “Iya bercahaya dalam gelap. Inti filosofinya adalah sesuatu yang berharga jika ditimbun, dihilangkan tidak akan jadi apa-apa, tidak bermanfaat apa-apa. Bermanfat untuk perut dia saja. Yang terus kemudian menjadi kotoran. Yang ada cuma kekuasaan tok. Kekuasaan parlemen. Untuk kesejahteraan parlemen. Ya kan, rakyat ga mendapat apa-apa. Nanti kan ditimbunnya menjadi kotoran itu tadi.” (Transkrip Wawancara Jitet, Hal 179)

“Oh iya makan, orang yang makan itu kan selalu yang baik dan membuat tubuh ini mendapatkan gizi yang cukup. Juga sehat. Harusnya bukan suara rakyat yang lu makan, tapi justru kalau bisa dilahap untuk kepentingan rakyat (suara kesedihan). Terus energinya untuk kesejahteraan rakyat, bukan tidak baik. Mengeluarkan UU, eh tapi siapa yang mendirikan sekolah misalnya, UU-nya anggarannya (pajaknya) akan dikurangi sekian persen untuk membangun rumah sakit misalnya. Atau rumah sakit untuk kepentingan umum, nanti pajaknya akan dikurangi sekian persen, nah seperti itu. Bukan malah, aku bungkam lu, luga akan bisa ngomong lu terbungkam oleh DPRD. Itu kan ga positifnya sama sekali.” (Transkrip Wawancara Jitet,Hal 179) 3. Kode Simbolik

Ilustrasi ini ingin memberitahukan kekejaman para petinggi dari DPR RI. Mereka melakukan tindak-tanduk yang berbahaya dengan menelan kotak suara, menelan demokrasi. Secara simbolik ini menegaskan bahwa mereka mempunyai sebuah kewenangan untuk melakukan hal yang merugikan, dimana seharusnya menjadi cita-cita kita bersama. Mereka melakukan unjuk kekuaasaan dan kekuatan dalam menghancurkan harapan bangsa Indonesia bersama. Mereka melakukannya dengan sebuah kekuatan persuasive power. Mereka melakukan apa yang menjadi tugas mereka, mereka merebut koalisi, dan lihat seperti ini kekuasaan mereka yang ingin ditunjukkan. Tandai siapa orangnya jangan dipilih kembali.

4. Kode Kebudayaan (cultural)

Proses menelan demokrasi yang terdapat dalam ilustrasi ini seperti proses pencernaan makanan. Digesti (pencernaan) adalah proses pemecahan zat-zat makanan sehingga dapat diabsorpsi oleh saluran pencernaan. Proses digesti meliputi: (1) pengambilan makanan (prehensi), (2) memamah (mastikasi), (3) penelanan (deglutisi), (4) pencernaan (digesti), dan (5) pengeluaran sisa-sisa pencernaan (egesti). Berdasarkan proses pencernaannya dapat dibedakan menjadi digesti makanan secara mekanis, enzimatis, dan mikrobiotis.

Hasil akhir proses pencernaan adalah terbentuknya molekul-molekul atau partikel-partikel makanan yakni: glukosa, asam lemak, dan asam amino yang siap diserap (absorpsi) oleh mukosa saluran pencernaan. Selanjutnya, partikel-partikel makanan tersebut dibawa melalui sistem sirkulasi (tranportasi) untuk diedarkan dan digunakan oleh sel-sel tubuh sebagai bahan untuk proses metabolism (assimilasi) sebagai sumber tenaga (energi), zat pembangun (struktural), dan molekul-molekul fungsional (hormon, enzim) dan keperluan tubuh lainnya

Proses pencernaan pada manusia dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:

1. Pencernaan mekanik, adalah proses pengubahan makanan dari bentuk kasar menjadi

bentuk kecil atau halus. Proses ini dilakukan dengan menggunakan gigi di dalam mulut.

2. Pencernaan kimiawi, adalah proses perubahan makanan dari zat yang kompleks menjadi

zat-zat yang lebih sederhana dengan enzim, yang terjadi mulai dari mulut, lambung, dan usus. Enzim adalah zat kimia yang dihasilkan oleh tubuh yang berfungsi mempercepat reaksi-reaksi kimia dalam tubuh. Proses pencernaan makanan pada manusia melibatkan alat-alat pencernaan makanan. Alat-alat pencernaan makanan pada manusia adalah organ-organ tubuh yang berfungsi mencerna makanan yang kita makan. Alat pencernaan makanan dibedakan atas saluran pencernaan dan kelenjar pencernaan. Jika dibuat daftar proses pencernaan dimulai dari mulut. Di dalam mulut terdapat gigi yang berfungsi untuk menghancurkan, lidah berfungsi untuk mengaduk makanan yang terdapat di dalam rongga mulut, serta terakhir

kelenjar ludah yang berfungsi untuk melumatkan makanan. Lalu kerongkongan (throat)

berfungsi sebagai jalan bagi makanan yang telah dikunyah dari mulut menuju lambung. Selanjutnya lambung tempat sebagai menyimpan makanan dan menghaluskan makanan dengan getah lambung. Proses kimiawi akan berjalan melalui hati dan kelenjar pankreas yang kemudian bermuara di usus halus (duodenum atau dua belas jari). Proses paling akhir adalah usus besar dan anus, sisa makanan yang tidak mampu dicerna akan berjalan menuju poros usus dan bermuara di anus.

Pada filosofis kompleks bangunan Gedung DPR/MPR RI ini mempunyai sebuah tangga tepat di tengah gedung. Tangganya berbentuk simetris tersebut mempunyai makna birokrasi di masyarakat Indonesia memiliki tingkatan tertentu. Dengan itu masyarakat Indonesia lebih patuh pada birokrasi yang ada. Atap berbentuk simetris yang terbelah menjadi dua mempunyai makna filosofis yaitu, pertama menunjukkan naungannya setelah terpercaya menduduki kursi wakil rakyat dan bertanggung jawab atas kewajibannya.

Menunjukkan bahwa Indonesia ini merupakan negara yang aman karena menganut UU (konstitusi) yang menjaga keamanan siapapun. Terakhir menunjukkan sebuah keeksistensian Negara Republik Indonesia dengan kemegahan sehingga mampu memperlihatkan bangsa Indonesia mampu bersaing di luar sana,

5. Kode Semik

Lewat ilustrasi ini, menjelaskan bahwa kebusukan tidak akan pernah mampu mengalahkan kebenaran. Seberapa pun sempurna rencana jahat yang dirancang oleh petinggi legislatif tersebut, perjuangan dan semangat akan kebenaran tidak akan pernah pudar. Mereka mungkin telah berhasil menelan kotak suara dari Pilkada ini, namun semangat untuk terus berjuang serta berusaha terpancar keras di dalam bunker Gedung DPR RI. Seberapa keras orang bermuka Gedung DPR RI tersebut, kotak suara tetap akan hidup dan tidak akan kehilangan sinar murninya walaupun telah melewati kubangan kotor di dalam gedung.

Dalam ilustrasi ini terdapat sebuah poin penting mengenai sebuah petunjuk atau isyarat yang ingin diberitahukan kepada pembaca, dan para lembaga eksekutif yang mempunyai peranan menghentikan proses politik dari lembaga legislatif yang kurang baik. Ilustrasi ini memberikan petunjuk bahwa ada sesuatu yang sedang dimakan. Frase dimakan disini adalah proses penghancuran. ‘Dimakan’ oleh para anggota lembaga legislatif dengan menggunakan RUU Pilkada. RUU Pilkada memakan dan mencernanya ke dalam kitab.

“Jangan lu makan ini kotak (suara kemantapan untuk berubah). Dengan lu makan, ketelen suara rakyat. Kalau ini lu telen kita ini kan bangsanya besar. Cita-citanya kita akan menjadi macan Asia, maka jika mereka melakukan seperti itu, kan ga jadi apa-apa. Cuma untuk rebutan kursi, rebutan kekuasaan, cuma itu (suara tersebut menginginkan perubahan). Kita semakin ga bisa bersaing dengan bangsa (negara) lain, karena kita semakin disibukkan dengan hal-hal seperti itu. Sementara negara lain ya kan udah kemana-mana. Demokrasinya lancar. Kalau misalnya pemerintah atau eksekutif membuat kebijakan seperti ini parlemen setuju, oke kebijakan ini jalan. Ini kan enggak, bahkan waktu itu mengobrol (mengatakan) ini harus dipilih oleh rakyat. Parlemen juga bilang enggak, banyak pemerintahan yang berkoalisi juga bilang enggak. Untuk apa? Untuk rakyat? Enggak untuk kesejahteran mereka (DPR atau MPR) lah.” (Transkrip Wawancara Jitet, Hal 179)

4.2.7 Analisis Ilustrasi Ketujuh (7)

Gambar 4.7

A. Analisis Leksia