• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penetapan Kadar Protein Dan Non Protein Nitrogen (NPN) Pada Ulat Kidu (Rhynchophorus ferrugineus) Dan Hasil Olahannya Dengan Metode Kjeldahl

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Penetapan Kadar Protein Dan Non Protein Nitrogen (NPN) Pada Ulat Kidu (Rhynchophorus ferrugineus) Dan Hasil Olahannya Dengan Metode Kjeldahl"

Copied!
121
0
0

Teks penuh

(1)

PENETAPAN KADAR PROTEIN DAN NON PROTEIN

NITROGEN (NPN) PADA ULAT KIDU

(Rhynchophorus ferrugineus) DAN

HASIL OLAHANNYA DENGAN

METODE KJELDAHL

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh

Gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

VIVI MAISARI RAHMAWATI

NIM 091524061

PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI FAKULTAS

FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

PENGESAHAN SKRIPSI

PENETAPAN KADAR PROTEIN DAN NON PROTEIN

NITROGEN (NPN) PADA ULAT KIDU

(Rhynchophorus ferrugineus) DAN

HASIL OLAHANNYA DENGAN

METODE KJELDAHL

OLEH:

VIVI MAISARI RAHMAWATI

NIM 091524061

Dipertahankan dihadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Pada Tanggal: April 2012

Pembimbing I Panitia Penguji,

Dra. Masria Lasma Tambunan, M.Si., Apt. Prof. Dr. Siti Morin Sinaga, M. Sc., Apt. NIP 195005081977022001 NIP 1950082819760320021

Pembimbing II, Dra. Masria Lasma Tambunan M.Si., Apt. NIP 195005081977022001

Prof. Dr. Jansen Silalahi, M. App.Sc., Apt. Drs. Immanuel S. Meliala, M.Si., Apt. NIP 195006071979031001 NIP 195001261983031002

Drs. Nahitma Ginting, M.Si., Apt.

NIP 195406281983031002

Medan, April 2012 Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara Dekan,

(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat

dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan

skripsi ini, serta Shalawat dan Salam kepada Nabi Muhammad SAW sebagai suri

tauladan dalam kehidupan.

Skripsi ini disusun untuk melengkapi salah satu syarat mencapai gelar Sarjana

Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, dengan judul: “Penetapan

Kadar Protein dan Non Protein Nitrogen (NPN) Pada Ulat Kidu (Rhynchophorus

ferrugineus) dan Hasil Olahannya Dengan Metode Kjeldahl”.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang

sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., selaku Dekan Fakultas

Farmasi Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan fasilitas selama masa

pendidikan. Ibu Dra. Masria Lasma Tambunan, M.Si., Apt., dan Prof. Dr. Jansen

Silalahi, M. App.Sc., Apt., yang membimbing penulis dengan penuh kesabaran dan

tanggung jawab selama penelitian hingga selesainya penyusunan skripsi ini. Bapak Prof.

Dr. Hakim Bangun, Apt., selaku penasehat akademis yang memberikan bimbingan

kepada penulis selama ini. Bapak dan Ibu staf pengajar Fakultas Farmasi Universitas

Sumatera Utara yang telah mendidik selama perkuliahan. Bapak Dr. Santosa Ginting,

MP., selaku Kepala Laboratorium Teknologi Bahan Pangan Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan izin dan fasilitas untuk penulis

sehingga dapat mengerjakan dan menyelesaikan penelitian. Ibu Prof. Dr. Siti Morin

Sinaga, M.Sc., Apt., Drs. Immanuel S. Meliala, M.Si., Apt., Drs. Nahitma Ginting,

M.Si., Apt., dan Ibu Dra. Masria Lasma Tambunan, M.Si., Apt., selaku dosen penguji

(4)

Penulis juga ingin mempersembahkan rasa terima kasih yang tak terhingga

untuk keluarga tercinta, Ayahanda Rahmad, B.A, Ibunda Erlinawati, Kakek Arsyad

Nyak, Nenek Saidah, Yahda T. Marwan Hasan, Bunda Elly Sarjuna dan adik-adik

tercinta Ari, Desi, Ruslan dan Raja yang telah memberikan cinta dan kasih sayang yang

tidak ternilai dengan apapun, pengorbanan baik materi maupun motivasi beserta doa

yang tulus yang tidak pernah berhenti demi suksesnya penulis. Tak terlupakan untuk

sahabat-sahabat ku Tentuwin (Kak Ira, Winda, Sri, Emil, Ipit, Iza, Nita, Rika, Desmi),

Tata, Novi, Ayu, Silvi, kak Ve, Kak Ira Setiawati, Kak Mariani, Deni dan seluruh

teman-teman Ekstensi angkatan 2009 serta seluruh adik-adik dari Ikatan Mahasiswa

Nagan Raya (IMNARA).

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangannya, oleh karena

itu sangat diharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak guna

perbaikan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi

ilmu pengetahuan khususnya bidang Farmasi.

Medan, April 2012 Penulis,

(5)

PENETAPAN KADAR PROTEIN DAN NON PROTEIN NITROGEN (NPN) PADA ULAT KIDU (Rhynchophorus ferrugineus)

DAN HASIL OLAHANNYA DENGAN METODE KJELDAHL

ABSTRAK

Ulat kidu merupakan salah satu makanan sumber protein yang dapat dimakan yang berasal dari larva kumbang sagu pada batang pohon sagu yang telah membusuk. Penggorengan dan perebusan akan mempengaruhi protein yang akan dikandung. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kadar protein dalam ulat kidu dan pengaruh penggorengan dan perebusan terhadap kadar proteinnya.

Sampel yang digunakan adalah ulat kidu yang diperoleh dari pasar Pancur batu Kelurahan Tuntungan II, Kecamatan Pancur Batu. Penetapan kadar protein dan NPN pada ulat kidu dilakukan sebelum dan sesudah digoreng dan direbus dengan menggunakan metode Kjeldahl yang merupakan metode sederhana untuk penetapan nitrogen total pada protein dan senyawa yang mengandung nitrogen.

Hasil penetapan kadar protein dan NPN pada ulat kidu dan hasil olahannya dengan metode kjeldahl secara berturut-turut adalah Ulat kidu segar: protein kasar 22,39%, protein murni 15,44% dan NPN 31,04%, Ulat kidu goreng: protein kasar menurun menjadi 21,82%, protein murni menjadi 14,61%, NPN-nya meningkat menjadi 33,04% dan Ulat kidu rebus: protein kasar semakin menurun 20,91%, protein murni 13,46% dan NPN-nya semakin meningkat 35,63%. Kadar protein pada ulat kidu rebus paling rendah dibanding ulat kidu goreng dan ulat kidu segar tetapi kadar NPN-nya paling tinggi.

(6)

DETERMINING PROTEIN AND NON PROTEIN NITROGEN (NPN) CONTENT ON EDIBLE LARVA (Rhynchophorus ferrugineus)

AND ITS PROCESSED PRODUCT BY KJELDAHL METHOD

ABSTRACT

Edible larva is a source of protein that comes from the edible larva of bumblebee with red head lives in decayed sago palm. Frying and boiling process, will affect the protein content. This research aimed to study content of protein in edible larva and the effect of process frying and boiling to the its protein content.

The sample is the edible larva bought from Pancur batu market, urban village of Tuntungan II, sub district of Pancur batu. The content of protein and NPN on edible’s larva sample taken before and after being fried and boiled by using Kjeldahl method as a simplest method for determing total nitrogen on protein and NPN.

The result of determining of protein content and NPN on edible larva and its product by Kjeldahl method consequently were: fresh edible larva crude protein 22.39%, pure protein 15.44% and NPN 31.04%, the fried edible larva crude protein decreased to 21.82%, a pure protein 14.61%, and its NPN increased to be 33.04% and the boiled edible larva crude protein decreased to 20.91%, pure protein 13.46% and its NPN increased to 35.63%. The content of protein on boiled edible larva was lower than fried edible larva and fresh edible larva but its NPN content was higher.

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Hipotesis ... 3

1.4 Tujuan Penelitian ... 3

1.5 Manfaat Penelitian ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1 Protein ... 4

2.2 Non Protein Nitrogen (NPN) ... 4

2.3 Ciri-ciri Molekul Protein ... 5

(8)

2.5 Penggolongan Protein ... 8

2.6 Manfaat Protein ... 14

2.7 Akibat Kekurangan dan Kelebihan Protein ... 15

2.7.1 Akibat kekurangan protein ... 15

2.7.2 Akibat kelebihan protein ... 16

2.8 Asam Amino ... 17

2.8.1 Pengertian asam amino ... 17

2.8.2 Sifat-sifat asam amino ... 17

2.8.3 Penggolongan asam amino ... 18

2.9 Metode Analisa Protein ... 18

2.9.1 Analisa kualitatif ... 18

2.9.2 Analisa kuantitatif ... 19

2.10 Ulat Kidu (Rhynchophorus ferrugineus) ... 24

BAB III METODE PENELITIAN ... 25

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 25

3.2 Alat-alat ... 25

3.3 Bahan-bahan ... 25

3.3.1 Sampel ... 25

3.3.2 Pereaksi ... 26

3.4 Prosedur Penelitian ... 26

3.4.1 Pengambilan Sampel ... 26

3.4.2 Penyiapan Sampel ... 26

3.4.2.1 Ulat Kidu Segar ... 26

(9)

3.4.2.3 Ulat Kidu Rebus ... 27

3.4.3 Pembuatan Pereaksi ... 27

3.4.3.1 Larutan NaOH 40% b/v ... 27

3.4.3.2 Larutan H2SO4 0,02 N ... 27

3.4.3.3 Larutan NaOH 0,02 N ... 28

3.4.3.4 Katalisator campuran selen b/b ... 28

3.4.3.5 Indikator mengsel b/v ... 28

3.4.3.6 Larutan asam trikloroasetat (ATA) 10% ... 28

3.4.4 Pembakuan NaOH 0,02 N ... 28

3.5 Penetapan Kadar Air ... 29

3.6 Analisis Kualitatif ... 29

3.7 Penetapan Kadar Protein Kasar ... 30

3.8 Pemisahan Protein dari Non Protein Nitrogen (NPN) ... 31

3.9 Penetapan Kadar Protein Murni ... 31

3.10 Penentuan Kadar Non Protein Nitrogen (NPN) ... 33

3.11 Analisis Data Secara Statistik ... 33

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 35

4.1 Hasil Identifikasi Sampel ... 35

4.2 Analisis Kualitatif ... 35

4.3 Kadar Protein Dan NPN Dalam Sampel ... 36

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 39

5.1 Kesimpulan ... 39

5.2 Saran ... 40

(10)
(11)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

2.1 Nilai protein berbagai bahan makanan ... 13

2.2 Angka kecukupan protein yang dianjurkan ... 14

2.3 Asam amino esensial dan asam amino non esensial ... 18

2.4 Faktor konversi dari bermacam-macam bahan makanan ... 23

4.1 Analisis kualitatif protein dalam sampel ... 35

4.2 Data kadar N-total, N-protein, NPN dan kadar Air dalam sampel ... 36

(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1 Sketsa proses denaturasi protein ... 6

2.2 Pembentukan ikatan peptida ... 7

2.3 Skema α-heliks ... 11

2.4 Ikatan-ikatan yang mempertahankan struktur sekunder dan tersier protein ... 12

2.5 Tingkatan struktur protein ... 12

2.6 Struktur asam amino ... 17

1. Ulat kidu ... 97

2. Sampel yang telah dikeringkan ... 97

3. Hasil analisis kualitatif dengan reaksi Xanthoprotein dan reaksi Biuret ... 98

4. Proses pengolahan ulat kidu rebus ... 99

5. Ulat kidu rebus ... 99

6. Proses pengolahan ulat kidu goreng ... 99

7. Ulat kidu goreng ... 99

8. Rangkaian alat dekstruksi ... 100

9. Sampel didekstruksi sampai cairan berwarna hijau jernih ... 100

10. Rangkaian alat destilasi ... 101

11. Penampung destilat menggunakan larutan H2SO4 0,02 N yang dicampur indikator Mengsel ... 101

12. Hasil destilat ... 102

(13)

14. Hasil destilat sampel sebelum dititrasi ... 104

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Surat hasil identifikasi sampel ... 43

2. Surat keterangan laboratorium ... 44

3. Bagan alir penetapan kadar protein ... 45

4. Data perhitungan pembakuan larutan standar NaOH 0,02 N ... 46

5. Perhitungan kadar air pada sampel ... 48

6. Data hasil penetapan kadar air pada sampel ... 49

7. Perhitungan kadar N-total pada sampel ... 50

8. Data hasil penetapan kadar N-total pada sampel ... 51

9. Perhitungan kadar N-protein pada sampel ... 52

10. Data hasil penetapan kadar N-protein pada sampel ... 53

11. Perhitungan kadar protein kasar pada sampel ... 54

12. Data hasil perhitungan kadar protein kasar pada sampel ... 55

13. Perhitungan kadar protein murni pada sampel ... 56

14. Data hasil penetapan kadar protein murni pada sampel ... 57

15. Perhitungan kadar N-total sebenarnya pada ulat kidu segar ... 58

16. Perhitungan kadar N-total sebenarnya pada ulat kidu goreng ... 61

17. Perhitungan kadar N-total sebenarnya pada ulat kidu rebus ... 64

18. Perhitungan kadar N-protein sebenarnya pada ulat kidu segar ... 67

19. Perhitungan kadar N-protein sebenarnya pada ulat kidu goreng ... 70

20. Perhitungan kadar N-protein sebenarnya pada ulat kidu rebus ... 72

(15)

22. Data hasil kadar NPN terhadap bahan sampel ... 75

23. Perhitungan kadar protein kasar sebenarnya pada ulat kidu segar ... 76

24. Perhitungan kadar protein kasar sebenarnya pada ulat kidu goreng ... 79

25. Perhitungan kadar protein kasar sebenarnya pada ulat kidu rebus ... 82

26. Perhitungan kadar protein murni sebenarnya pada ulat kidu segar ... 85

27. Perhitungan kadar protein murni sebenarnya pada ulat kidu goreng ... 88

28. Perhitungan kadar protein murni sebenarnya pada ulat kidu rebus ... 91

29. Perhitungan kadar NPN terhadap N-total sampel ... 94

30. Data hasil perhitungan kadar NPN terhadap N-total sampel ... 95

31. Daftar nilai kritik Distribusi t ... 96

32. Sampel yang digunakan ... 97

33. Hasil analisis kualitatif protein ... 98

34. Proses pengolahan sampel ... 99

35. Proses dekstruksi ... 100

36. Proses destilasi ... 101

37. Proses pemisahan protein dari NPN ... 103

38. Hasil analisis kuantitatif ... 104

(16)

PENETAPAN KADAR PROTEIN DAN NON PROTEIN NITROGEN (NPN) PADA ULAT KIDU (Rhynchophorus ferrugineus)

DAN HASIL OLAHANNYA DENGAN METODE KJELDAHL

ABSTRAK

Ulat kidu merupakan salah satu makanan sumber protein yang dapat dimakan yang berasal dari larva kumbang sagu pada batang pohon sagu yang telah membusuk. Penggorengan dan perebusan akan mempengaruhi protein yang akan dikandung. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kadar protein dalam ulat kidu dan pengaruh penggorengan dan perebusan terhadap kadar proteinnya.

Sampel yang digunakan adalah ulat kidu yang diperoleh dari pasar Pancur batu Kelurahan Tuntungan II, Kecamatan Pancur Batu. Penetapan kadar protein dan NPN pada ulat kidu dilakukan sebelum dan sesudah digoreng dan direbus dengan menggunakan metode Kjeldahl yang merupakan metode sederhana untuk penetapan nitrogen total pada protein dan senyawa yang mengandung nitrogen.

Hasil penetapan kadar protein dan NPN pada ulat kidu dan hasil olahannya dengan metode kjeldahl secara berturut-turut adalah Ulat kidu segar: protein kasar 22,39%, protein murni 15,44% dan NPN 31,04%, Ulat kidu goreng: protein kasar menurun menjadi 21,82%, protein murni menjadi 14,61%, NPN-nya meningkat menjadi 33,04% dan Ulat kidu rebus: protein kasar semakin menurun 20,91%, protein murni 13,46% dan NPN-nya semakin meningkat 35,63%. Kadar protein pada ulat kidu rebus paling rendah dibanding ulat kidu goreng dan ulat kidu segar tetapi kadar NPN-nya paling tinggi.

(17)

DETERMINING PROTEIN AND NON PROTEIN NITROGEN (NPN) CONTENT ON EDIBLE LARVA (Rhynchophorus ferrugineus)

AND ITS PROCESSED PRODUCT BY KJELDAHL METHOD

ABSTRACT

Edible larva is a source of protein that comes from the edible larva of bumblebee with red head lives in decayed sago palm. Frying and boiling process, will affect the protein content. This research aimed to study content of protein in edible larva and the effect of process frying and boiling to the its protein content.

The sample is the edible larva bought from Pancur batu market, urban village of Tuntungan II, sub district of Pancur batu. The content of protein and NPN on edible’s larva sample taken before and after being fried and boiled by using Kjeldahl method as a simplest method for determing total nitrogen on protein and NPN.

The result of determining of protein content and NPN on edible larva and its product by Kjeldahl method consequently were: fresh edible larva crude protein 22.39%, pure protein 15.44% and NPN 31.04%, the fried edible larva crude protein decreased to 21.82%, a pure protein 14.61%, and its NPN increased to be 33.04% and the boiled edible larva crude protein decreased to 20.91%, pure protein 13.46% and its NPN increased to 35.63%. The content of protein on boiled edible larva was lower than fried edible larva and fresh edible larva but its NPN content was higher.

(18)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Protein merupakan suatu zat makanan yang amat penting bagi tubuh. Kebutuhan

protein dalam kondisi masyarakat kita pada umumnya sangat sulit terpenuhi khususnya

masyarakat yang tinggal di pedesaan, akibatnya telah banyak penduduk Indonesia

terutama anak-anak mengalami busung lapar akibat kekurangan protein, terutama dalam

hal kebutuhan protein hewani yang sulit terpenuhi. Sebab banyak harga makanan yang

berprotein tinggi mahal harganya, seharusnya bahan makanan seperti ikan, daging, dan

banyak sumber protein lainnya dijual murah dipasaran, karena rata-rata penduduk

Indonesia berada dibawah garis kemiskinan, walaupun Indonesia terkenal dengan

sumber daya yang melimpah. Sehingga pada kondisi krisis ekonomi saat ini,

mengkomsumsi serangga merupakan salah satu alternatif yang baik, akan tetapi

persoalannya masih banyak warga masyarakat kita belum terbiasa melakukannya, salah

satunya adalah dengan mengkomsumsi Ulat kidu (Ellya, 2010).

Hasil identifikasi melalui LIPI Bogor menyatakan bahwa jenis ulat kidu yang

diteliti adalah Rhynchophorus ferrugineus famili Curculionidae. Ulat kidu merupakan

ulat sagu, dimana masyarakat Karo yang tinggal di Kabanjahe dan Pancur batu daerah

Sumatera Utara menyebutkan ulat sagu dengan ulat kidu. Ulat kidu diperoleh dari

batang pohon sagu yang berasal dari larva kumbang sagu yang terdapat pada batang

pohon yang membusuk. Masyarakat Karo mengkomsumsi ulat kidu dengan cara

dipanggang, disambal dan bahkan juga dimakan mentah. Ulat ini juga diminati oleh

masyarakat suku Aborigin di Negara Australia, dan bahkan suku Kamoro dikawasan

(19)

sedangkan di Negara Malaysia masyarakat pribumi daerah Sarawak dan Sabah

menyebutnya dengan ulat mulong. Dari segi protein ulat kidu tidak kalah di bandingkan

dengan sumber protein lainnya seperti daging (18,8%), telur (12,8%), ikan (17,0%), dan

bahan makanan sumber protein lainnya dijual dipasaran (Djaeni, 2008).

Protein tersusun dari beberapa asam amino melalui ikatan peptida. Non Protein

Nitrogen (NPN) terdiri dari senyawa-senyawa nitrogen seperti asam amino bebas, urea,

asam nukleat, amonia, nitrat dan lain-lain. Dalam jaringan hidup, nitrogen terdapat

sebagai sumber protein dalam jumlah relatif besar dan sebagai NPN dalam jumlah

relatif kecil, sehingga adanya NPN dalam bahan makanan yang kaya protein perlu

diketahui untuk memberi gambaran nilai gizi yang sebenarnya dalam bahan makanan

tersebut. Selama proses pengolahan bahan makanan protein terurai menjadi NPN, oleh

karena itu kandungan NPN dalam bahan makanan yang sudah diolah lebih tinggi

daripada bahan makanan yang belum diolah, sebaliknya kandungan protein lebih tinggi

pada bahan makanan yang belum diolah (Silalahi, 1994).

Penentuan kadar protein didalam makanan biasanya ditetapkan dengan metode

Kjeldahl, dimana kadar protein didasarkan pada kandungan nitrogennya. Dengan

demikian, nitrogen yang bukan protein juga ikut tertentukan, sehingga hasil yang

diperoleh adalah kadar protein kasar. Untuk mendapatkan protein murni, senyawa NPN

harus dipisahkan terlebih dahulu dengan cara mengendapkan protein dengan larutan

asam trikloroasetat (ATA) 10%. Endapan protein yang telah dipisahkan dari NPN

kemudian ditentukan kadarnya dengan metode Kjeldahl (Bhatty, 1973).

Besarnya kandungan protein yang dibutuhkan oleh tubuh, maka peneliti tertarik

(20)

bertujuan untuk mengetahui kadar protein pada ulat kidu dan pengaruh pengolahan

secara penggorengan dan perebusan terhadap kadar protein dan NPN-nya. Pengambilan

sampel dilakukan secara purposive sampling. Pada penelitian ini uji kualitatif digunakan

uji Xanthoprotein dan uji Biuret, sedangkan uji kuantitatif menggunakan metode

Kjeldahl (Sudarmadji, 1984).

1.2Perumusan Masalah

Berapakah kadar protein dan NPN pada ulat kidu dan bagaimana pengaruh

pengolahan secara penggorengan dan perebusan terhadap kadar protein dan NPN.

1.3Hipotesis

Kadar protein ulat kidu cukup tinggi dan pengolahan secara penggorengan dan

perebusan dapat mempengaruhi kadar protein dan NPN-nya.

1.4Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui kadar protein murni dan NPN pada ulat kidu dan untuk

mengetahui pengaruh pengolahan secara penggorengan dan perebusan terhadap kadar

protein dan NPN-nya.

1.5Manfaat Penelitian

Sebagai bahan informasi kepada masyarakat Indonesia tentang kandungan

protein pada ulat kidu serta gambaran dasar tentang pengaruh pengolahan terhadap

perubahan protein didalam makanan olahan yang berkaitan erat dengan nilai cerna,

(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Protein

Protein berasal dari bahasa yunani yaitu proteos, yang bearti yang utama atau

yang di dahulukan. Kata ini diperkenalkan oleh ahli kimia Belanda, Geraldus Mulder

(1802-1880). Ia berpendapat bahwa protein adalah zat yang paling penting dalam setiap

organisme (Ellya, 2010).

Protein merupakan polimer yang panjang dari asam-asam amino yang

bergabung melalui ikatan peptida. Komposisi rata-rata unsur kimia yang terdapat dalam

protein adalah karbon 55%, hidrogen 7%, oksigen 23%, nitrogen 16%, sulfur 1% dan

kurang dari 1% fosfor (Winarno, 1991; Tarigan, 1983).

2.2 Non Protein Nitrogen (NPN)

NPN merupakan senyawa-senyawa bukan protein yang mengandung nitrogen

seperti asam amino bebas, asam nukleat, amonia, urea, trimetilamina, (TMA),

dimetilamina (DMA), nitrat dan lain-lain. Asam amino bebas yang terdapat dalam

jaringan hidup merupakan hasil residu dari sintesis protein yang tidak rampung atau

kemungkinan dari hasil degradasi dari protein, sedangkan dari asam amino bebas ini

dapat terbentuk senyawa-senyawa NPN lainnya yang merupakan hasil deaminasi atau

dekarboksilasi dari asam amino bebas, yang dikatalis oleh enzim-enzim tertentu (Bell,

1963).

Adanya NPN dalam bahan makanan yang kaya protein perlu diketahui untuk

memberi gambaran nilai gizi yang sebenarnya dari bahan makanan tersebut. Pada

(22)

dibandingkan dengan kandungan proteinnya. Jadi nilai gizi dari bahan mentah

sebenarnya tidak begitu dipengaruhi oleh adanya NPN tersebut (Tarigan, 1983).

Pada bahan makanan yang telah mengalami perubahan-perubahan baik karena

pengaruh kondisi dari luar ataupun karena proses pengolahannya kemungkinan sekali

NPN-nya semakin bertambah, tergantung pada cara pengolahan yang diterapkan. Hasil

peruraian protein pada proses pengolahan dapat terjadi sampai asam amino bebas yang

tidak mempunyai nilai gizi lagi. Sehingga penentuan kadar NPN dalam bahan makanan

yang telah diproses penting sekali untuk mengetahui nilai gizi yang sebenarnya tersedia

dalam bahan makanan tersebut (Silalahi, 1994).

2.3 Ciri-ciri Molekul Protein

1. Berat molekulnya besar, ribuan sampai jutaan sehingga merupakan suatu makro

molekul.

2. Umumnya terdiri dari 20 macam asam amino.

3. Terdapat ikatan kimia lain yang menyebabkan terbentuknya lengkungan-lengkungan

rantai polipeptida menjadi struktur tiga dimensi protein.

4. Strukturnya tidak stabil terhadap beberapa faktor seperti pH, radiasi, temperatur,

medium pelarut organik dan deterjen.

5. Umumnya reaktif dan sangat spesifik, disebabkan terdapatnya gugusan samping

yang reaktif dan susunan khas struktur makromolekul (Ellya, 2010).

2.4 Sifat Protein

1. Denaturasi

Pada umumnya, protein sangat peka terhadap pengaruh-pengaruh fisik dari zat

kimia, maka mudah mengalami perubahan bentuk. Perubahan atau modifikasi pada

(23)

terjadinya denaturasi adalah panas, pH, tekanan, aliran listrik, dan adanya bahan kimia

seperti urea, alkohol, dan sabun. Temperatur merupakan titik tengah dari proses

denaturasi yang disebut dengan melting temperature (Tm) yang pada umumnya protein

mempunyai nilai Tm kurang dari 100ºC, apabila diatas suhu Tm, maka protein akan

mengalami denaturasi. Protein yang mengalami denaturasi akan menurunkan aktivitas

biologinya dan berkurang kelarutannya, sehingga mudah mengendap (Yazid, 2006).

Sketsa proses denaturasi protein dapat dilihat pada Gambar 2.1 berikut ini:

Gambar 2.1 Sketsa proses denaturasi protein

2. Ion zwiter dan pH isoelektrik

Larutan asam amino dalam air mempunyai muatan positif maupun negatif

sehingga asam amino disebut ion zwiter. Setiap jenis protein dalam larutan mempunyai

pH tertentu yang disebut pH isoelektrik (berkisar 4-4,5). Pada pH isoelektrik molekul

protein mempunyai muatan positif dan negatif yang sama, sehingga saling menetralkan

atau bermuatan nol. Pada titik isoelektrik, protein akan mengalami pengendapan

(koagulasi) paling cepat (Yazid, 2006).

(24)

Sifat ini timbul karena adanya gugus amino (-NH2) yang bersifat basa dan gugus

karboksil (-COOH) yang bersifat asam yang terdapat pada molekul protein pada

ujung-ujung rantainya, maka dengan larutan asam atau pH rendah, gugus amino pada protein

akan bereaksi dengan ion H+, sehingga protein bermuatan positif, sebaliknya dalam

larutan basa gugus karboksilat bereaksi dengan ion OH-, sehingga protein bersifat

negatif. Adanya muatan pada molekul protein menyebabkan protein bergerak dibawah

pengaruh medan listrik (Yazid, 2006).

4. Pembentukan ikatan peptida

Pembentukan ikatan peptida terbentuk karena sifat amfoternya, maka dua

molekul asam amino atau lebih dapat bersenyawa satu sama lain dengan melepaskan

satu molekul air membentuk ikatan antara gugus karboksil (-COOH) asam amino yang

satu dengan gugus amino (-NH2) yang lain disebut dengan ikatan peptida. Senyawa

yang dibentuk oleh 2 molekul asam amino dinamakan dipeptida, 3 molekul dinamakan

tripeptida dan seterusnya sampai yang dibentuk oleh banyak molekul disebut

polipeptida (Poedjiadi, 1994). Pembentukan ikatan peptida dapat dilihat pada Gambar

2.2 berikut ini:

Ikatan peptida

H O H H O H H

H2N-C- C OH + H-N-C-COOH H2N- C-C-N-C-COOH + H2O

R1 H R2 R1 R2

Asam amino Asam amino Dipeptida

(25)

2.5 Penggolongan Protein

Protein merupakan senyawa polipeptida yang tersusun dari berbagai jenis asam

amino, sehingga sifat protein juga dapat ditentukan oleh sifat asam amino penyusunnya.

Berdasarkan keanekaragaman penyusun struktur protein, maka penggolongan protein

dilakukan dengan berbagai kriteria sebagai berikut:

A.Berdasarkan bentuk morfologisnya protein digolongkan atas dua golongan

(Budianto, 2009), yaitu:

1. Protein serabut (fibrous protein) yaitu protein yang berbentuk serabut atau

lempengan, terutama disusun oleh polipeptida primer dan sekunder. Contoh protein

serabut adalah kolagen yang terdapat pada tulang rawan, miosin pada otot, keratin

pada rambut, dan fibrin pada gumpalan darah.

2. Protein bulat (globular protein) yaitu protein yang berbentuk bulat atau lonjong,

perbandingan panjang dengan tebal kurang dari 10, tersusun oleh polipeptida struktur

tersier dan kuartener. Contoh protein globular adalah albumin terdapat dalam telur,

susu, plasma dan hemoglobin; globulin terdapat pada otot, serum, kuning telur;

histon terdapat dalam jaringan-jaringan kelenjar timus, pankreas, dan protamin.

B.Berdasarkan kelarutannya dalam air atau pelarut lain, protein digolongkan atas

beberapa golongan (Winarno, 1991), yaitu:

1. Albumin: larut dalam air dan terkoagulasi oleh panas. Contohnya adalah ovalbamin

(dalam telur), seralbumin (dalam serum), laktalbumin (dalam susu).

2. Skleroprotein: tidak larut dalam pelarut encer, baik larutan garam, asam, basa, dan

alkohol. Contohnya kolagen (pada tulang rawan), miosin (pada otot), keratin (pada

(26)

3. Globulin: tidak larut dalam air, terkoagulasi oleh panas. Larut dalam larutan garam

encer, dan dapat mengendap dalam larutan garam konsentrasi tinggi (salting out).

Contohnya adalah miosinogen (dalam otot), ovoglobulin (dalam kuning telur),

legumin (dalam kacang-kacangan).

4. Glutelin: tidak larut dalam pelarut netral, tetapi larut dalam asam atau basa encer.

Contonya adalah glutelin (dalam gandum), orizenin (dalam beras).

5. Prolamin (gliadin): larut dalam alkohol 70-80% dan tidak larut dalam air maupun

alkohol absolut. Contohnya adalah prolamin (dalam gandum), gliadin (dalam

jagung), zein (dalam jagung).

6. Protamin: larut dalam air dan tidak terkoagulasi dalam panas.

7. Histon: larut dalam air dan tidak larut dalam amonia encer, dapat mengendap dalam

pelarut protein lainnya, dan apabila terkoagulasi oleh panas dapat larut kembali

dalam asam encer. Contohnya adalah globin (dalam hemoglobin).

C.Berdasarkan hasil hidrolisanya protein dibagi atas dua golongan (Budianto, 1991),

yaitu:

1. Protein tunggal (protein sederhana): hasil hidrolisa dari asam-asam amino.

Contohnya: albumin, globulin, keratin dan hemoglobin.

2. Protein jamak (protein konyugasi atau protein kompleks): adalah protein yang

mengandung senyawa lain yang non protein, hasil hidrolisanya asam amino dan

bukan asam amino. Contohnya glikoprotein terdapat pada hati, lipoprotein terdapat

pada susu, dan kasein terdapat pada kuning telur.

D.Berdasarkan fungsi protein (Almatsier, 2004), yaitu:

(27)

2. Protein Pengangkut, mampu mengikat, membawa, dan melepaskan molekul protein

tertentu, misalnya hemoglobin mengangkut O2 dalam darah, lipoprotein mengangkut

lipida dalam darah dan mioglobin mengangkut O2 dalam otot.

3. Protein pembangun, sebagai protein pembangun dan pengganti protein yang rusak

pada organel atau jaringan. Contohnya glikoprotein, keratin, kolagen dan elastin.

4. Protein otot, protein yang mengontrol gerak oleh otot, misalnya miosin dalam otot,

dinein dalam rambut.

5. Protein pertahanan tubuh, protein ini dikenal dengan imunoglobulin (Ig), dimana

merupakan suatu protein khusus yang dapat mengenal, mengikat, dan

menghancurkan benda-benda asing yang masuk dalam tubuh seperti virus, bakteri,

dan sel asing, misalnya berbagai antibodi, fibrinogen (dalam proses pembentukan

darah).

6. Protein hormon, sebagai pembentuk hormon, contohnya insulin.

7. Protein Racun, protein yang bersifat racun, misalnya risin dalam beberapa jenis

beras, racun ular.

8. Protein Makanan, protein yang dijadikan sebagai cadangan energi, misalnya

albumin, orizenin, dan sebagainya.

E. Berdasarkan strukturnya, protein digolongkan atas tiga golongan yaitu:

1. Struktur primer

Struktur primer adalah struktur dasar dari protein. Susunan linier asam amino

dalam protein yang merupakan suatu rangkaian unik dari asam amino yang menentukan

sifat dasar dari berbagai protein, dan secara umum menentukan bentuk struktur

(28)

2. Struktur sekunder

Struktur sekunder adalah rantai polipeptida yang berlipat-lipat dan merupakan

bentuk tiga dimensi dengan cabang-cabang rantai polipeptidanya tersusun saling

berdekatan. Protein terbentuk oleh adanya ikatan hidrogen antar asam amino dalam

rantai sehingga strukturnya tidak lurus, melainkan bentuk zig zag dengan gugus R

mencuat keatas dan kebawah. Contoh struktur ini adalah bentuk α-heliks pada wol, serta

bentuk heliks pada kolagen (Martoharsono, 1998). Skema α-heliks dapat dilihat pada

Gambar 2.3 berikut ini:

Gambar 2.3 Skema α-heliks

3. Struktur tersier

Struktur tersier adalah susunan dari struktur sekunder yang satu dengan struktur

sekunder yang lain. Biasanya bentuk-bentuk sekunder ini dihubungkan oleh ikatan

hidrogen, ikatan garam, ikatan hidrofobik, dan ikatan disulfida. Ikatan disulfida

(29)

1992). Ikatan-ikatan yang mempertahankan struktur sekunder dan tersier protein dapat

dilihat pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4 Ikatan-ikatan yang mempertahankan struktur sekunder, dan struktur

tersier protein; a. interaksi elektrostatik; b. ikatan hidrogen; c.

interaksi hidrofobik; d. interaksi hidrofilik; e. ikatan disulfida

4. Struktur kuartener

Struktur primer, sekunder, dan tersier umumnya hanya melibatkan satu rantai

polipeptida, tetapi bila struktur ini melibatkan beberapa polipeptida dalam membentuk

suatu protein, maka disebut dengan struktur kuartener (Martoharsono, 1998). Tingkatan

struktur protein dapat dilihat pada Gambar 2.5 berikut ini:

(30)

F. Berdasarkan sumbernya, protein digolongkan atas dua (Budianto, 2009) yaitu:

1. Protein hewani

Protein hewani adalah protein yang berasal dari hewan, dimana hewan yang

memakan tumbuhan mengubah protein nabati menjadi protein hewani. Contoh daging

sapi, daging ayam, susu, udang, telur, belut, ikan gabus dan lain-lain.

2. Protein nabati

Protein nabati adalah protein yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Contoh

jagung, kacang kedelai, kacang hijau, dan jenis kacang-kacangan lainnya yang

mengandung protein tinggi. Kacang kedelai merupakan sumber protein nabati yang

mempunyai mutu atau nilai biologi tertinggi dan sedangkan yang relatif rendah mutunya

dalam sumber protein adalah padi-padian dan hasilnya.

Nilai protein dalam berbagai bahan makanan dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut

[image:30.595.85.479.500.711.2]

ini:

Tabel 2.1 Nilai protein berbagai bahan makanan (gram/100 gram)

Sumber Protein Hewani

Nilai Protein Sumber Protein Nabati

Nilai Protein

Daging 18,8 Kacang kedelai 34,9

Hati 19,7 Kacang hijau 22,2

Babat 17,6 Kacang tanah 25,3

Jeroan 14,0 Kacang merah 29.1

Daging kelinci 16,6 Beras 7,4

Ikan 17,0 Jagung 9,2

Kerang 16,4 Tepung terigu 8,9

Udang 21,0 Jampang 6,2

Ayam 18,2 Kenari 15,0

Telur 12,8 Kelapa 3,4

Susu sapi 3,2 Daun singkong 6,6

Telur ayam 13,1 Singkong 1,1

Telur bebek 12,0 Kentang 2,0

(31)

Angka kecukupan protein yang dianjurkan (tiap orang per hari) dapat dilihat

[image:31.595.87.475.164.520.2]

pada Tabel 2.2 berikut ini:

Tabel 2.2 Angka kecukupan protein yang dianjurkan (per orang per hari)

Golongan umur Berat badan (kg) Tinggi badan (cm) Protein (g) Anak-anak: 0-6 bl 7-12 bl 1-3 th 4-6 th 7-9 th 5,5 8,5 12 18 24 60 71 90 110 120 12 15 23 32 37 Pria: 10-2 th 13-15 th 16-119 th 20-45 th 46-59 th

≥ 60 th

30 45 56 62 62 62 135 150 160 165 165 165 45 64 66 55 55 55 Wanita: 10-12 th 13-15 th 16-19 th 20-45 th 46-59 th

≥ 60 th

Hamil Menyusui 0-6 bl 7-12 bl 35 46 50 54 54 54 140 153 154 156 154 154 54 62 51 48 48 48 + 12 + 16 + 12 Sumber: Widya Karya Pangan dan Gizi, 1998 (Almatsier, 2004).

2.6 Manfaat Protein

1. Pertumbuhan dan pemeliharaan tubuh. Pertumbuhan bearti penambahan sel/jaringan,

dan pemeliharaan adalah mengatur sel-sel yang rusak. Jaringan-jaringan tertentu

membutuhkan lebih banyak jenis asam amino tertentu.

2. Pembentukan senyawa-senyawa penting tubuh, seperti hormon, enzim, dan

hemoglobin.

3. Pembentuk antibodi tubuh, yaitu zat yang digunakan untuk memerangi organisme

(32)

menetralkan bahan-bahan beracun dan obat-obatan. Kemampuan ini sangat

menentukan daya tahan tubuh seseorang.

4. Berperan dalam pengangkutan zat-zat gizi, yakni pengangkutan dari saluran cerna ke

dalam darah dan dari darah ke jaringan-jaringan serta ke sel-sel.

5. Pengatur keseimbangan air dalam sel, air diantara sel, dan air di dalam pembuluh

darah.

6. Sumber energi, selain karbohidrat dan lemak, protein juga merupakan sumber energi

tubuh. Jika tubuh kekurangan energi, fungsi protein sebagai pembangun berkurang

untuk menyediakan energi (Widodo, 2009).

2.7 Akibat Kekurangan dan Kelebihan Protein

2.7.1 Akibat kekurangan protein

1. Kwashiorkor

Istilah Kwashioskor pertama kali diperkenalkan oleh Dr. Cecily Wiliams pada

tahun 1993 di Ghana, Afrika. Penyakit ini lebih banyak terdapat pada usia dua hingga

tiga tahun yang komposisi gizi makanannya tidak seimbang terutama dalam hal protein

(Yuniastuti, 2008).

Gejala penyakit Kwashioskor (Widodo, 2009), adalah sebagai berikut:

a) Pertumbuhan terhambat.

b)Otot-otot berkurang dan lemah.

c) Bengkak (edema) terutama pada perut, kaki dan tangan.

d)Muka bulat seperti bulan (moonface).

e) Gangguan psikimotor.

f) Nafsu makan kurang.

(33)

Ciri-ciri penyakit Kwashioskor (Ellya, 2010), adalah sebagai berikut:

a) Rambut halus, jarang, dan pirang kemerahan kusam.

b) Kulit tampak kering (xerosis) dan memberi kesan kasar dengan garis-garis

permukaan yang jelas.

c) Didaerah tungkai dan sikut serta bokong terdapat kulit yang menunjukkan

hiperpigmentasi dan kulit dapat mengelupas dalam lembar yang besar, meninggalkan

dasar yang licin berwarna putih mengkilat.

d) Perut anak membuncit karena pembesaran hati.

2. Marasmus

Marasmus berasal dari kata yunani yang bearti wasting (merusak). Marasmus

umumnya merupakan penyakit pada bayi (12 bulan pertama), karena terlambat diberi

makanan tambahan. Marasmus adalah penyakit kelaparan dan terdapat banyak diantara

kelompok sosial ekonomi rendah di sebagian besar negara sedang berkembang dan

lebih banyak dari kwashiorkor (Yuniastuti, 2008).

Gejala penyakit Marasmus (Widodo, 2009), adalah sebagai berikut:

a) Pertumbuhan yang terhambat.

b)Lemak dibawah kulit berkurang.

c) Otot-otot berkurang dan melemah.

d)Muka seperti orang tua (0ldman’s face).

2.7.2Akibat kelebihan protein

Jika terlalu berlebihan mengkomsumsi protein juga akan sangat membebani

kerja ginjal. Protein secara berlebihan tidak menguntungkan tubuh. Makanan yang

(34)

tinggi yang sering dianjurkan untuk menurunkan berat badan berkurang beralasan.

Kelebihan protein pada bayi dapat memberatkan ginjal dan hati yang harus

memetabolisme dan mengeluarkan kelebihan nitrogen dan juga dapat menyebabkan

asidosis, dehidrasi, diare, kenaikan amonia darah, kenaikan ureum darah, dan demam

(Ellya, 2010).

2.8 Asam Amino

2.8.1 Pengertian asam amino

Asam amino adalah asam karboksilat yang terdiri atas atom karbon yang terikat

pada satu gugus karboksil (-COOH), satu gugus amino (-NH2), satu gugus hidrogen

(-H) dan satu gugus radikal (-R) atau rantai cabang (Almatsier, 2004). Struktur asam

amino dapat dilihat pada Gambar 2.6 berikut ini:

COOH (gugus karboksil)

(gugus hidrogen) H C R (gugus radikal)

NH2 (gugus amino)

Gambar 2.6 Struktur asam amino

2.8.2 Sifat-sifat asam amino

Pada umumnya asam amino larut dalam air dan tidak larut dalam pelarut organik

non polar seperti eter, aseton, dan kloroform. Sifat asam amino berbeda dengan asam

karboksilat maupun dengan sifat amina. Perbedaan sifat antara asam amino dengan

asam karboksilat dan terlihat pula pada titik leburnya. Asam amino mempunyai titik

lebur yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan asam karboksilat atau amina. Apabila

asam amino larut dalam air, gugus karboksilat akan melepas ion H+, sedangkan gugus

(35)

membentuk ion yang bermuatan positif dan juga bermuatan negatif (zwitterion) atau ion

amfoter (Poedjiadi, 1994).

2.8.3Penggolongan asam amino

Asam amino yang terdapat dalam molekul protein tidak semua dapat dibuat oleh

tubuh kita. Jadi apabila ditinjau dari segi pembentukannya asam amino dapat dibagi

dalam dua golongan (Poedjiadi, 1994), yaitu:

1. Asam amino esensial adalah asam amino yang tidak dapat dibuat atau disintesis

dalam tubuh dan harus diperoleh dari makanan sumber protein.

2. Asam amino non esensial adalah asam amino yang dapat dibuat atau disintesis dalam

tubuh dengan mengkonversikan satu asam amino menjadi asam amino yang lain

dalam sel-sel tubuh.

Penggolongan asam amino esensial dan non esensial dapat dilihat pada Tabel 2.3

berikut ini:

Tabel 2.3 Asam amino esensial dan asam amino non esensial

Asam amino esensial Asam amino non esensial

Isoleusin Alanin

Leusin Arginin

Lisin Aspargin

Metionin Asam aspartat

Fenilalanin Sistein

Treonin Asam glutamat

Triptofan Glisin

Valin Ornitin

Histidin (esensial untuk anak-anak) Prolin Serin Tirosin Sumber: Yuniastuti (2008)

2.9 Metode Analisa Protein

2.9.1 Analisa kualitatif

(36)

Larutan asam nitrat pekat ditambahkan hati-hati kedalam larutan protein. setelah

dicampur terjadi endapan putih yang berubah menjadi kuning apabila dipanaskan.

Reaksi ini terjadi adalah nitrasi pada inti benzena yang terdapat pada molekul protein.

reaksi ini positif untuk protein yang mengandung tirosin, fenilalanin, dan triptofan

(Poedjiadi, 1994).

2. Reaksi Biuret

Larutan protein dibuat alkalis dengan NaOH kemudian ditambahkan larutan

CuSO4 encer. Uji ini untuk menunjukkan senyawa-senyawa yang mengandung gugus

amida asam yang berada bersama gugus amida yang lain. Uji ini memberikan reaksi

positif yang ditandai dengan timbulnya warna merah violet atau biru violet (Bintang,

2010).

2.9.2 Analisa kuantitatif

1. Metode Lowry

Konsentrasi protein diukur berdasarkan optikal density pada panjang gelombang

600 nm. Untuk mengetahui banyaknya protein dalam larutan, lebih dahulu dibuat kurva

standar yang melukiskan hubungan antara konsentrasi dengan OD (absorbansi). Larutan

lowry ada dua macam yaitu larutan A yang terdiri dari dari fosfotungstat-fosfomolibdat

(1:1) dan larutan B yang terdiri dari Na2CO3 2% dalam NaOH 0,1 N, CuSO4 dan

Na-K-tartrat 2%. Cara penentuannya adalah: 1 mL larutan protein ditambahkan 5 mL Lowry

B, dikocok dan dibiarkan selama 10 menit. Kemudian ditambah 0,5 mL lowry A

dikocok dan dibiarkan 20 menit, selanjutnya diamati OD-nya pada panjang gelombang

600 nm (Sudarmadji, 1989).

(37)

Kebanyakan protein mengabsorbsi sinar ultraviolet maksimum pada 280 nm.

Hal ini terutama oleh adanya asam amino tirosin, triptophan, dan fenilalanin yang ada

pada protein tersebut. Pengukuran protein berdasarkan absorbsi sinar UV adalah cepat,

mudah, dan tidak merusak bahan (Sudarmadji, 1989).

3. Metode Turbidimetri atau Kekeruhan

Kekeruhan akan terbentuk dalam larutan yang mengandung protein apabila

ditambahkan bahan pengendap protein misalnya Tri Chloro Acetic (TCA), Kalium Ferri

Cianida [K4Fe(CN)6] atau asam sulfosalisilat. Tingkat kekeruhan diukur dengan alat

Turbudimeter. Cara ini hanya dipakai untuk bahan protein yang berupa larutan atau

hasilnya, tetapi biasanya hasilnya kurang tepat (Sudarmadji, 1989).

4. Metode Pengecatan

Beberapa bahan pewarna misalnya orange G, orange 12 dan amido black dapat

membentuk senyawaan berwarna dengan protein dan menjadi tidak larut. Dengan

mengukur sisa bahan pewarna yang tidak bereaksi dalam larutan (dengan colorimeter),

maka jumlah protein dapat ditentukan dengan cepat (Sudarmadji, 1989).

5. Titrasi Formol

Larutan protein dinetralkan dengan basa (NaOH), kemudian ditambahkan

formalin akan membentuk dimenthiol. Dengan terbentuknya dimenthiol ini bearti gugus

aminonya sudah terikat dan tidak akan mempengaruhi reaksi antara asam (gugus

karboksil) dengan basa NaOH sehingga akhir titrasi dapat diakhiri dengan tepat.

Indikator yang digunakan adalah fenolftalein, akhir titrasi bila tepat terjadi perubahan

warna menjadi merah muda yang tidak hilang dalam 30 menit. Titrasi formol ini hanya

tepat untuk menentukan suatu proses terjadinya pemecahan protein dan kurang tepat

(38)

6. Metode Kjeldahl

Metode Kjeldahl merupakan metode sederhana untuk penetapan nitrogen total

pada asam amino, protein, dan senyawa yang mengandung nitrogen. Metode Kjeldahl

cocok untuk menetapkan kadar protein yang tidak larut atau protein yang mengalami

koagulasi akibat proses pemanasan maupun proses pengolahan lain yang biasa

dilakukan pada makanan. Metode ini digunakan untuk menganalisis kadar protein kasar

dalam bahan makanan secara tidak langsung karena senyawa yang dianalisisnya adalah

kadar nitrogennya. Dengan mengalikan hasil analisis tersebut dengan faktor konversi

6,25 diperoleh nilai protein dalam bahan makanan tersebut (Sudarmadji, 1984).

Penentuan kadar protein dengan metode ini memiliki kelemahan karena adanya

senyawa lain yang bukan protein yang mengandung N akan tertentukan sehingga kadar

protein yang diperoleh langsung dengan metode Kjeldahl ini disebut dengan kadar

protein kasar (crude protein) (Sudarmadji, 1984).

Metode Kjeldahl dilakukan dengan beberapa tahapan kerja yaitu:

1. Tahap Dekstruksi

Pada tahap ini sampel dipanaskan dengan asam sulfat pekat sehingga terjadi

dekstruksi menjadi unsur-unsurnya, dimana seluruh N organik dirubah menjadi N

anorganik yaitu elemen karbon (C) teroksidasi menjadi karbondioksida (CO2) dan

hidrogen (H) teroksidasi menjadi air (H2O), sedangkan elemen nitrogennya akan

berubah menjadi ammonium sulfat (NH4)2SO4. Asam sulfat yang dipergunakan untuk

dekstruksi harus dalam jumlah yang cukup dan diperhitungkan untuk dapat

menguraikan bahan protein, lemak, dan karbohidrat didalam sampel (Bintang, 2010;

(39)

Untuk mempercepat dekstruksi maka ditambahkan katalisator. Gunning

menganjurkan menggunakan kalium sulfat (K2SO4) dan tembaga (II) sulfat (CuSO4).

Dengan penambahan katalisator ini, maka titik didih asam sulfat akan ditinggikan

sehingga proses dekstruksi akan berjalan dengan cepat. Tiap 1 gram kalium sulfat akan

mampu meningkatkan titik didih asam sulfat 3ºC. Suhu dekstruksi berkisar antara

370ºC- 410ºC. Proses dekstruksi diakhiri jika larutan telah menjadi warna hijau jernih

(Bintang, 2010; Yazid, 2006).

Reaksi yang terjadi pada proses dekstruksi adalah:

Protein + H2SO4 Katalisator (NH4)2SO4 + CO2 + SO2 + H2O

2. Tahap Destilasi

Pada tahap ini amonium sulfat (NH4)2SO4 yang terbentuk pada tahap dekstruksi

dipecah menjadi amonia (NH3) dengan penambahan NaOH sampai alkalis dan

dipanaskan. Amonia yang dibebaskan selanjutnya akan ditangkap oleh larutan baku

asam. Larutan baku asam yang dipakai adalah asam sulfat (H2SO4). Agar supaya kontak

antara asam dan amonia berjalan sempurna, maka ujung selang pengalir destilat harus

tercelup kedalam larutan asam. Destilasi diakhiri bila semua amonia terdestilasi

sempurna yang ditandai dengan destilat tidak bereaksi basa (Bintang, 2010; Yazid,

2006).

Reaksi yang terjadi pada tahap destilasi yaitu:

(NH4)2SO4 + 2 NaOH Na2SO4 + 2 H2O + 2 NH3

3. Tahap Titrasi

Penampung destilat yang digunakan adalah asam sulfat berlebih, maka sisa asam

(40)

indikator mengsel. Titik akhir titrasi dapat ditandai dengan perubahan warna dari warna

ungu menjadi hijau (Sudarmadji, 1984).

Reaksi yang terjadi pada tahap titrasi yaitu:

NH3 + H2SO4 (NH4)2SO4

Kelebihan H2SO4 + 2 NaOH Na2SO4 + 2 H2O

Kadar protein dihitung dengan persamaan berikut ini:

Kadar Protein (%) = (Vb- Vt)

Berat sampel (mg)×N NaOH×14,007×FK×100%

Fk = Faktor konversi atau perkalian = 6,25

Besarnya faktor konversi nitrogen tergantung pada persentase nitrogen yang

menyusun protein dalam bahan pangan yang dianalisa tersebut (Budianto, 2009).

[image:40.595.86.486.478.612.2]

Besarnya faktor konversi dari bermacam-macam bahan makanan dapat dilihat pada

Tabel 2.4 berikut ini:

Tabel 2.4 Tabel faktor konversi dari bermacam-macam bahan makanan

No Bahan Makanan Faktor konversi

1 Makanan lain (umum) 6,25

2 Beras (semua jenis) 5,95

3 Tepung 5,70

4 Kacang tanah 5,46

5 Kacang kedelai 5,71

6 Kelapa 5,30

7 Susu (semua jenis) / keju 6,38

8 Gandum biji 5,83

Ketelitian penentuan kadar NPN tergantung pada kemampuan dari metode yang

digunakan untuk memisahkan protein dari NPN. Setelah dipisahkan kadar protein dan

NPN dapat ditentukan dengan menggunakan metode Kjeldahl. Dari analisis yang telah

[image:40.595.85.487.478.612.2]
(41)

mengendapkan protein dalam bahan makanan. Keuntungan pemakaian larutan asam

trikloroasetat (ATA) ialah pengerjaan mudah, endapan protein yang diperoleh mudah

dipisahkan dari larutan asam trikloroasetat (ATA) dan tidak mempengaruhi ketelitian

metode Kjeldahl (Silalahi, 1994).

2.10 Ulat Kidu (Rhynchophorus ferrugineus)

Nama latinnya adalah Rhynchophorus ferrugineus atau lebih dikenal dengan ulat

sagu. Masyarakat Karo di Sumatera Utara menyebutnya dengan ulat kidu. Ulat ini

adalah larva dari kumbang sagu yang diperoleh dari batang pohon sagu yang membusuk

yaitu cara mengetahuinya dengan cara mendengar, bila dari batang pohon terdengar ada

suara bergerak bearti didalamnya ada ulat kidu. Ulat kidu merupakan salah satu sumber

protein hewani yang dapat dikonsumsi dan diolah sebagai bahan makanan dengan cara

digoreng, direbus dan dapat juga dijadikan sebagai bahan substitusi pakan ternak. Ulat

ini juga mengandung beberapa asam amino non esensial seperti asam aspartat (1,84%),

asam glutamat (2,72%), tirosin (1,87%) dan asam amino esensial seperti lisin (1,97%),

dan 1, 07% methionin (Anonim, 2011).

Sistematika dari ulat kidu menurut (Anonim, 2012) adalah:

Kingdom : Animalia

Filum : Arthropoda

Kelas : Insecta

Ordo : Coleoptera

Suku : Curculionidae

Genus : Rhynchophorus

(42)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian adalah metode korelasional untuk mengetahui hubungan

antara pengaruh pengolahan secara penggorengan dan perebusan terhadap kadar protein

dan NPN. Penelitian ini meliputi pengumpulan sampel, identifikasi sampel, pengolahan

sampel serta penetapan kadar protein dan NPN pada sampel dan hasil olahannya dengan

metode Kjeldahl.

3.1Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Teknologi Bahan Pangan Fakultas

Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan. Waktu penelitian dari bulan Agustus -

Oktober 2011.

3.2Alat-alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah neraca analitik (AND

GF-200), labu kjeldahl, kompor gas, pendingin liebig (pyrex), erlenmeyer (pyrex), labu ukur

(pyrex), kertas saring whatman no 42, buret 50 mL (pyrex), cawan porselin, eksikator,

oven, blender, mortir dan stemper, kaca arloji, tabung reaksi (pyrex), dan alat-alat gelas

(pyrex) laboratorium lainnya.

3.3Bahan-bahan

3.3.1Sampel

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah ulat kidu (Rhynchophorus

ferrugineus) yang diperoleh dari Pasar Pancur batu, Kelurahan Tuntungan II,

Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara (Gambar dapat

(43)

3.3.2Pereaksi

Bahan pereaksi yang digunakan adalah akuades, dan yang berkualitas pro

analisis (E.Merck) yaitu Natrium hidroksida (NaOH), Asam sulfat (H2SO4) 98%,

Kalium sulfat (K2SO4), Kupri sulfat (CUSO4), Metil merah, Metilen biru, Asam

trikloroasetat 10%.

3.4Prosedur Penelitian

3.4.1Pengambilan sampel

Pengambilan sampel dilakukan dengan cara membeli dari pedagang di pasar

Pancur Batu. Pengambilan sampel dilakukan secara sampling purposive yang dikenal

juga sebagai sampling pertimbangan dimana pengambilan sampel dilakukan

berdasarkan pertimbangan bahwa semua ulat kidu homogen kandungan proteinnya.

3.4.2Penyiapan Sampel

3.4.2.1Ulat kidu segar

Bagian yang digunakan adalah seluruh bagian tubuh ulat kidu kecuali kepala.

Pengolahan dilakukan dengan cara ulat kidu segar dibersihkan dari kotoran yang

melekat kemudian dicuci dengan air bersih, lalu ulat kidu digiling hingga halus

menggunakan blender, dihomogenkan dan kemudian ulat kidu yang telah digiling halus

dikeringkan pada oven dengan suhu ± 55°C hingga berat konstan. Hasil pengeringan ini

dijadikan sebagai berat kering sampel untuk ditetapkan kadar proteinnya (Gambar dapat

(44)

3.4.2.2Ulat kidu goreng

Pengolahan dilakukan dengan cara ulat kidu segar yang telah dibersihkan

dengan air bersih kemudian digoreng dengan penggorengan dengan minyak banyak

(deep fat frying) pada suhu 180°C selama ± 5 menit sampai berwarna kecoklatan,

dinginkan dan digiling hingga halus menggunakan blender, dihomogenkan dan untuk

proses selanjutnya diberi perlakuan yang sama pada pengolahan ulat kidu segar

(Gambar dapat dilihat pada Lampiran 34, halaman 99).

3.4.2.3Ulat kidu rebus

Pengolahan dilakukan dengan cara ulat kidu segar yang telah dibersihkan

dengan air bersih kemudian direbus pada suhu 100°C selama ± 10 menit sampai

berwarna kuning pucat, dinginkan dan digiling hingga halus menggunakan blender,

dihomogenkan dan untuk proses selanjutnya diberi perlakuan yang sama pada

pengolahan ulat kidu segar (Gambar dilihat pada Lampiran 34, halaman 99).

3.4.3Pembuatan Pereaksi

3.4.3.1Larutan NaOH 40 % b/v

Pembuatan NaOH 40% b/v sesuai dengan prosedur yang tecantum pada

Farmakope Indonesia Edisi III tahun 1979. Dibuat dengan melarutkan 40 gram pellet

NaOH dalam 100 mL akuades bebas CO2.

3.4.3.2Larutan H2SO4 0,02 N

Pembuatan H2SO4 0,02 N sesuai dengan prosedur yang tercantum pada

Farmakope Indonesia Edisi III tahun 1979. Dibuat dengan mengencerkan 1,4 mL H2SO4

(45)

3.4.3.3Larutan NaOH 0,02 N

Pembuatan NaOH 0,02 N sesuai dengan dengan prosedur yang tercantum pada

Farmakope Indonesia Edisi III tahun 1979. Dibuat dengan cara melarutkan 0,8 gram

NaOH dengan akuades bebas CO2 di dalam labu 1000 mL.

3.4.3.4Katalisator campuran selen b/b

Pembuatan katalisator campuran selen b/b sesuai dengan prosedur yang

tercantum pada Sudarmadji tahun 1989. Dibuat dengan cara mencampurkan 1 gram

K2SO4 dan 1 gram CuSO4. 5 H2O dengan perbandingan 1:1.

3.4.3.5Indikator mengsel b/v

Pembuatan indikator mengsel b/v sesuai dengan prosedur yang tercantum pada

Sudarmadji tahun 1989. Dibuat dengan melarutkan 100 mg metil biru dan 30 mg metil

merah dalam 60 mL alkohol 96%.

3.4.3.6Larutan asam trikloroasetat (ATA) 10% b/v

Pembuatan larutan asam trikloroasetat (ATA) 10% sesuai dengan prosedur yang

tercantum pada Silalahi tahun 1994. Dibuat dengan cara melarutkan 100 gram asam

trikloroasetat (ATA) dalam akuades secukupnya hingga 1000 mL.

3.4.4Pembakuan NaOH 0,02 N

Pembakuan NaOH 0,02 N dilakukan sesuai dengan prosedur yang tercantum

pada Sudarmadji (1984). Ditimbang 100 mg asam oksalat (C2H2O4. 2H2O), kemudian

dilarutkan dalam 25 akuades. Ditambahkan 2 tetes indikator fenolftalein, dititrasi

(46)

sama tiga kali dan dihitung normalitas larutan. 1 mL NaOH 1 N setara dengan 126 mg

asam oksalat.

Normalitas NaOH= Berat As. Oksalat (g) × 2 Vol NaOH (mL) × BE as.oksalat (g)

Data volume NaOH yang terpakai dan pembakuan NaOH 0,02 N dapat dilihat

pada Lampiran 4, halaman 46.

3.5Penetapan Kadar Air

Penetapan kadar air dilakukan sesuai dengan prosedur yang tercantum pada

Sudarmadji (1989), yaitu dengan cara pemanasan dengan menggunakan oven.

Ditimbang 5 gram ulat kidu yang sudah dihaluskan dengan blender, lalu dimasukkan

kedalam krus porselen yang telah dikeringkan selama 30 menit pada suhu 105ºC dan

ditimbang. Diratakan dengan menggoyangkan secara perlahan. Dimasukkan kedalam

oven dengan suhu 105ºC selama 3 jam. Dinginkan dalam eksikator, timbang. Ulangi

pemanasan, pendinginan dan penimbangan sampai diperoleh berat yang konstan. Kadar

air dalam sampel dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Kadar Air (%) = Berat sebelum dikeringkan – Berat setelah dikeringkan

Berat sebelum dikeringkan × 100%

Perhitungan kadar air dapat dilihat pada Lampiran 5, halaman 48 dan data

penetapan kadar air pada sampel dapat dilihat pada Lampiran 6, halaman 49.

3.6Analisis Kualitatif

Pemeriksaan kualitatif dilakukan sesuai dengan prosedur yang tercantum pada

Sudarmadji (1989), yaitu menggunakan reaksi Xanthoprotein dan reaksi Biuret.

Disediakan 2 tabung reaksi, masing-masing kedalam tabung dimasukkan sampel ulat

(47)

Pada tabung reaksi I: ditambahkan asam nitrat (HNO3) pekat, bila terjadi warna kuning

maka menunjukkan hasil positif mengandung protein (reaksi

Xanthoprotein).

Pada tabung reaksi II: ditambahkan NaOH dan CuSO4 dan bila terjadi warna ungu maka

menunjukkan hasil positif mengandung protein (reaksi Biuret).

3.7Penetapan Kadar Protein Kasar

Penetapan kadar protein kasar dilakukan sesuai dengan prosedur yang tercantum

pada Sudarmadji (1984), yang ditetapkan dengan metode Kjeldahl. Ditimbang 0,2 gram

sampel kering yang telah di haluskan, dimasukkan kedalam labu kjeldahl, dan

ditambahkan 2 gram katalisator campuran K2SO4 dan CuSO4 (1:1) dan 3 mL H2SO4

pekat. Didekstruksi sampai cairan berwarna hijau jernih ± selama 3 jam dan

didinginkan. Setelah dingin ditambahkan 10 mL akuades, dipindahkan kedalam

erlenmeyer. Campuran ditambahkan 30 mL NaOH 40% sampai terbentuk warna hitam

dan didestilasi. Destilat ditampung dalam erlenmeyer berisi 25 mL H2SO4 0,02 N dan 3

tetes indikator mengsel di dalam erlenmeyer. Destilat dititrasi dengan larutan NaOH

0,02 N sampai terjadi perubahan warna dari warna ungu menjadi hijau. Dilakukan hal

yang sama terhadap blanko.

Kadar N-total dihitung sesuai dengan rumus yang tercantum pada Winarno

(1991) yaitu:

Kadar Nitrogen (%) = (Vb- Vt)

Berat sampel (mg)×N NaOH×14,007×100%

Perhitungan kadar N-total dapat dilihat pada Lampiran 7, halaman 50 dan data

(48)

Kadar protein kasar dihitung sesuai dengan rumus yang tercantum pada Winarno

(1991) yaitu:

Kadar Protein (%) = (Vb- Vt)

Berat sampel (mg)×N NaOH×14,007×FK×100%

Keterangan:

Vb = Volume blanko (mL)

Vt = Volume titrasi (mL)

N NaOH = Normalitas NaOH hasil pembakuan

FK = Faktor Konfersi pada makanan = 6,25

Perhitungan kadar protein kasar dapat dilihat pada Lampiran 11, halaman 54 dan

data hasil penetapan kadar protein kasar pada sampel dapat dilihat pada Lampiran 12,

halaman 55.

3.8Pemisahan Protein dari Non Protein Nitrogen (NPN)

Pemisahan protein dari NPN dilakukan sesuai prosedur yang tercantum pada

Silalahi (1994), yaitu mengendapkan protein yang terdapat dalam sampel dengan

menggunakan larutan asam trikloroasetat (ATA) 10%. Timbang 0,2 gram sampel kering

yang telah di haluskan, kemudian ditambahkan kedalamnya larutan asam trikloroasetat

(ATA) 10 % b/v sebanyak 10 mL. Biarkan selama 30 menit, kemudian disaring.

Endapan berisi protein, dan filtratnya mengandung senyawa NPN. Protein dapat

diketahui sudah mengendap semuanya apabila tidak terjadi lagi endapan dengan

penambahan larutan asam trikloroasetat (ATA) 10% kedalam filtrat (Gambar dapat

dilihat pada Lampiran 37, halaman 103).

(49)

Penetapan kadar protein murni dilakukan sesuai prosedur yang tercantum pada

Silalahi (1994), yaitu dapat ditentukan kadarnya setelah proses pemisahan dari NPN.

Endapan protein yang diperoleh ditentukan kadarnya berdasarkan jumlah nitrogen yang

dimilikinya dengan metode Kjeldahl, seperti yang dilakukan pada penetapan kadar

protein kasar.

Endapan protein dimasukkan kedalam labu kjeldahl. Tambahkan 2 gram

katalisator campuran K2SO4 dan CuSO4 (1:1) dan 3 mL H2SO4 pekat. Perlakuan

selanjutnya sama dengan penetapan kadar protein kasar.

Kadar N-protein dihitung sesuai dengan rumus yang tercantum pada Winarno

(1991) yaitu:

Kadar Nitrogen (%) = (Vb- Vt)

Berat sampel (mg)×N NaOH×14,007×100%

Perhitungan kadar N-protein dapat dilihat pada Lampiran 9, halaman 52 dan data

hasil penetapan kadar protein murni pada sampel yang dilihat pada Lampiran 10,

halaman 53.

Kadar protein murni dihitung sesuai dengan rumus yang tercantum pada

Winarno (1991) yaitu:

Kadar Protein (%) = (Vb- Vt)

Berat sampel (mg)×N NaOH×14,007×FK×100%

Keterangan:

Vb = Volume blanko (mL)

Vt = Volume titrasi (mL)

(50)

FK = Faktor Konfersi pada makanan = 6,25

Perhitungan kadar protein murni dapat dilihat pada Lampiran 13, halaman 56

dan data hasil penetapan kadar protein murni pada sampel yang dilihat pada Lampiran

14, halaman 57.

3.10 Penentuan Kadar Non Protein Nitrogen (NPN)

Penentuan kadar NPN dilakukan sesuai prosedur yang tercantum pada Silalahi

(1994). Sampel yang dianalisa secara tidak langsung dengan cara mengurangi kadar

protein kasar terhadap protein murni. Kadar NPN yang terdapat dalam bahan yang

dihitung dengan rumus sebagai berikut:

% NPN = % N-total - % N-protein

Perhitungan kadar NPN terhadap bahan sampel dapat dilihat pada Lampiran 21,

halaman 74 dan data hasil kadar NPN terhadap bahan sampel dapat dilihat pada

Lampiran 22, halaman 75.

Kadar NPN terhadap N-total dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Kadar NPN (%) =kadar protein kasar-kadar protein murni

kadar protein kasar × 100%

Perhitungan kadar NPN terhadap N-total dapat dilihat pada Lampiran 29,

halaman 94 dan data hasil kadar NPN terhadap bahan sampel dapat dilihat pada

Lampiran 30, halaman 95.

3.11 Analisis Data Secara Statistik

Kadar nitrogen dan kadar protein yang diperoleh dari hasil penetapan kadar

masing-masing sampel dianalisis dengan metode standar deviasi menggunakan uji t

(51)

SD =

(

)

1

2

− −

n x xi

Untuk menghitung apakah data diterima atau ditolak digunakan rumus:

t-hitung =

n sd

x

xi

Dasar penolakan data jika thitung ≥ ttabel dan bila thitung mempunyai nilai negatif,

ditolak jika thitung≤ - ttabel (Gholib, 2007).

Menurut Wibisono (2005), untuk menentukan kadar sebenarnya dengan taraf

kepercayaan 95%, α = 0.05, dk = n-1, dapat digunakan rumus:

μ = x ± t

n SD

×

Keterangan :

µ = interval kepercayaan

X = kadar rata-rata sampel

t = harga t tabel sesuai dengan dk = n-1

α = tingkat kepercayaan

SD = standar deviasi

n = jumlah perlakuan

Perhitungan kadar N-total dan N-protein sebenarnya pada sampel berturut-turut

tertera dari Lampiran 15-20, halaman 58-72 dan Perhitungan kadar protein kasar dan

protein murni sebenarnya pada sampel berturut-turut tertera dari Lampiran 23-28,

(52)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Identifikasi Sampel

Hasil identifikasi sampel menunjukkan bahwa sampel yang di uji adalah ulat

kidu (Rhynchophorus ferrugineus) famili Curculionidae, dapat dilihat pada Lampiran 1,

halaman 43.

4.2 Analisis Kualitatif

Analisis kualitatif dilakukan sebagai analisis pendahuluan untuk mengetahui ada

tidaknya protein dalam sampel. Pemeriksaan kualitatif pada sampel dilakukan dengan

menggunakan metode reaksi Xanthoprotein dengan pereaksi HNO3 pekat dan reaksi

Biuret dengan pereaksi CuSO4 dan NaOH. Hasil analisis kualitatif protein dalam sampel

[image:52.595.86.483.462.605.2]

dapat dilihat pada Tabel 4.1 dan Lampiran 33, halaman 98.

Tabel 4.1 Analisis kualitatif protein dalam sampel

No. Sampel

Pereaksi

HNO3(P) CuSO4 dan NaOH

1. Ulat kidu segar Warna kuning Warna ungu

2. Ulat kidu goreng Warna kuning Warna ungu

3. Ulat kidu rebus Warna kuning Warna ungu

Berdasarkan Tabel 4.1 tersebut dapat dilihat bahwa ketiga sampel positif

mengandung protein. Menurut Poedjiadi (1994), sampel dikatakan positif mengandung

protein jika terbentuk warna kuning dengan penambahan HNO3 pekat pada reaksi

Xanthoprotein dan pada reaksi Biuret dengan penambahan CuSO4 dan NaOH akan

(53)

4.3 Kadar Protein Dan NPN Dalam Sampel

Penetapan kadar protein dilakukan dengan metode Kjeldahl. Perhitungan dan

data hasil penetapan kadar N-total dan N-protein tertera berturut-turut dari Lampiran

7-10, halaman 50-53. Perhitungan dan data kadar NPN terhadap bahan sampel tertera dari

Lampiran 21-22, halaman 74-75. Perhitungan dan data kadar air tertera dari Lampiran

5-6, halaman 48-49. Perhitungan dan data hasil penetapan kadar protein kasar dan

protein murni dalam sampel berturut-turut dapat dilihat dari Lampiran 11-14, halaman

54-57. Perhitungan dan data kadar NPN terhadap N-total sampel tertera pada Lampiran

29-30, halaman 94-95.

Analisis dilanjutkan dengan perhitungan statistik (perhitungan kadar N-total dan

N-protein sebenarnya pada sampel dapat dilihat berturut-turut dari Lampiran 15-20,

Halaman 58-72 dan perhitungan kadar protein kasar dan protein murni sebenarnya

dalam sampel dapat dilihat berturut-turut dari Lampiran 23-28, halaman 76-91). Hasil

penetapan kadar protein dan NPN pada ulat kidu dan hasil olahannya yang diperoleh

[image:53.595.87.482.547.714.2]

dapat dilihat pada Tabel 4.2 dan Tabel 4.3 berikut ini:

Tabel 4.2 Data kadar N-total, N-protein, NPN dan kadar air dalam sampel

No Sampel

Kadar

N-total

(%)

Kadar

N-protein

(%)

Kadar

NPN

(%)

Kadar

Air

(%)

1 Ulat kidu segar 3,58 2,45 1,13 65,55

2 Ulat kidu goreng 3,48 2,33 1,15 46,11

3 Ulat kidu rebus 3,33 2,15 1,18 70,21

Keterangan: Data diatas merupakan rata-rata enam kali analisa setelah direjek

(54)

Berdasarkan Tabel 4.2 menunjukkan bahwa setelah dihitung terhadap berat

kering terlihat bahwa kadar N-total yang diperoleh pada ketiga sampel mengalami

perbedaan, dimana ulat kidu segar lebih tinggi sedikit dibandingkan dengan dengan ulat

kidu goreng dan ulat kidu rebus, sedangkan kadar N-protein dan kadar NPN terhadap

bahan sampel mengalami penurunan. Kadar air dari ulat kidu rebus terlihat lebih tinggi

[image:54.595.83.485.306.401.2]

daripada ulat kidu segar dan semakin menurun pada ulat kidu goreng.

Tabel 4.3 Data kadar protein kasar, protein murni dan NPN terhadap N-total

sampel

No Sampel

Kadar Protein Kasar

(%)

Kadar Protein Murni

(%)

Kadar NPN (%)

1 Ulat Kidu segar 22,39 15,44 31,04 2 Ulat Kidu Goreng 21,82 14,61 33,04 3 Ulat Kidu Rebus 20,91 13,46 35,63 Keterangan: Data diatas merupakan rata-rata enam kali analisa setelah direjek

NPN dihitung terhadap N-total sampel

Kadar protein kasar (sebelum dipisahkan dari NPN) dan kadar protein murni

(setelah dipisahkan dari NPN) masing-masing diperoleh dari kadar total dan

N-protein yang dikalikan dengan faktor konversi pada makanan (6,25).

Berdasarkan Tabel 4.3 menunjukkan bahwa kadar protein kasar yang dihitung

berdasarkan berat kering pada ulat kidu segar (22,39%) lebih tinggi kadar proteinnya

daripada setelah digoreng (21,82%) dan direbus (20,91%) dan apabila diperhatikan

kadar protein murni setelah dipisahkan dari NPN menjadi berkurang. Kadar protein

murni paling tinggi terdapat pada ulat kidu segar 15,44%, sedangkan pada ulat kidu

goreng menurun menjadi 14,61% dan pada ulat kidu rebus semakin menurun menjadi

(55)

Menurut Silalahi (1994), kadar Non protein Nitrogen (NPN) dalam bahan

makanan yang telah diolah lebih tinggi dibandingkan dengan yang masih segar.

Sehingga dapat dilihat pada Tabel 4.3 bahwa kadar NPN yang dihitung terhadap N-total

sampel terlihat bahwa pada ulat kidu rebus (35,63%) dan ulat kidu goreng (33,04%)

kadar NPN-nya lebih tinggi daripada ulat kidu segar (31,04%). Hal ini dikarenakan pada

proses penggorengan dan perebusan dilakukan dengan pemanasan menggunakan suhu

Gambar

Gambar                                                                                                        Halaman
Gambar 2.3 berikut ini:
Gambar 2.4  Ikatan-ikatan yang mempertahankan struktur sekunder, dan struktur
Tabel 2.1 Nilai protein berbagai bahan makanan (gram/100 gram)
+7

Referensi

Dokumen terkait

kandungan protein yang terdapat pada pakkat dan untuk mengetahui perubahan kadar protein total dan Non Protein Nitrogen (NPN) dalam pakkat segar, bakar dan rebus. 1.2

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Kjehldal dan Sokletasi yaitu untuk menentukan kadar protein dan lemak yang berasal dari berbagai jenis ikan lele di

Sampel ulat sagu yang telah dikukus dalam waktu 6 menit terdapat 2 pita mayor dan 6 pita minor. Penggunaan ampas kirai (Metroxylon sagu) dan hasil fermentasinya

Analisis profil protein dengan menggunakan metode SDS-PAGE dan visualisasi pita protein terhadap sampel ulat sagu yang digoreng dan dipanggang dengan variasi

Dihubungkan ke alat Kjeldahl, dan dipanaskan dalam lemari asam sampai warna hijau jernih (± 3 jam), dinginkan Setelah dingin, ke dalam labu Kjeldahl ditambahkan 10 ml..

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar protein dan NPN pada belut segar beserta hasil olahannya secara berturut-turut adalah: belut segar: protein kasar 13,99%, protein

Sampel ulat sagu yang dikeringkan pada temperatur 50°c dengan menggunakan oven selama 1 jam menunjukkan 21 pita, memiliki 4 pita protein mayor dan 17 pita protein

Setelah dilakukan penelitian penetapan profil protein pada ulat sagu ( Rhynchophorus ferruginesus) berdasarkan variasi waktu pemanggangan dengan oven dan microwave.