GAMBARAN INDIKASI TONSILEKTOMI PADA PASIEN
DI RSUP HAJI ADAM MALIK DARI TAHUN 2008-2010
Oleh :
NORHIDAYAH BINTI AHMAD ZAIDON
070100315
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
GAMBARAN INDIKASI TONSILEKTOMI PADA PASIEN
DI RSUP HAJI ADAM MALIK DARI TAHUN 2008-2010
KARYA TULIS ILMIAH
Oleh :
NORHIDAYAH BINTI AHMAD ZAIDON
070100315
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
LEMBAR PENGESAHAN
Gambaran Indikasi Tonsilektomi di RSUP Haji Adam Malik dari
Tahun 2008-2010
Nama : Norhidayah Binti Ahmad Zaidon
NIM : 070100315
Pembimbing Penguji I
………. ……….
( dr. Aliandri, SpTHT ) ( dr. Nuraiza Meutia, M. Biomed )
Penguji II
KATA PENGANTAR
Saya bersyukur ke hadrat Ilahi karena dengan limpah karuniaNya akhirnya
penelitian ini telah berjaya disiapkan. Saya ingin mengucapkan terima kasih
kepada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara sebagai alma mater saya
kerana selama ini sudah banyak berjasa dan menjadi tempat untuk saya menimba
ilmu.
Saya juga ingin mengucapkan ribuan terima kasih kepada para dosen
terutamanya dosen pembimbing saya dr. Aliandri, Sp.THT yang selama ini telah
banyak membantu dan memberi tunjuk ajar dalam proses membuat penelitian ini.
Saya juga berterima kasih kepada keluarga saya yang selama ini telah
banyak memberi semangat serta dukungan kepada saya untuk terus berusaha
dalam menimba ilmu.
Selain itu, saya juga ingin mengucapkan terima kasih dan memberi
sekalung penghargaan kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu
terutamanya teman-teman yang juga member tunjuk ajar serta membantu saya
dalam proses penelitian ini.
Saya harapkan penelitian ini boleh menjadi sesuatu ilmu yang bermanfaat
bukan sahaja kepada saya, tetapi juga kepada orang lain yang membacanya.
Penulis
ABSTRAK
Pendahuluan : Tonsilektomi merupakan prosedur yang paling sering dilakukan
terutama pada anak-anak. Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun terdapat perbedaan prioritas relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi pada saat ini. Dulu tonsilektomi diindikasikan untuk terapi tonsilitis kronik dan berulang. Saat ini, indikasi yang lebih utama adalah obstruksi saluran napas dan hipertrofi tonsil. Indikasi tonsilektomi juga berbeda menurut negara. Selain itu, indikasi tonsilektomi pada pasien anak dan dewasa juga berbeda Kontroversi seputar tonsilektomi masih terjadi sampai sekarang.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui indikasi tonsilektomi pada pasien-pasien di RSUP Haji Adam Malik dari tahun 2008-2010. Penelitian dilakukan dengan mengambil data-data pasien yang menjalani operasi tonsilektomi dari rekam medis yang terdapat di RSUP Haji Adam Malik dari tahun 2008-2010.
Hasil yang didapatkan dari penelitian yang dilakukan bermula Januari 2008 hingga Juni 2010 di RSUP Haji Adam Malik, didapatkan sejumlah 34 kasus operasi tonsilektomi yang dilaporkan. Dari hasil penelitian ini, terdapat tiga indikasi tonsilektomi yang ditemukan di RSUP Haji Adam Malik yaitu tonsilitis kronik (64.7%), tonsilitis rekuren (23.5%), dan tumor tonsil (11.8%).
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa secara umumnya indikasi tonsilektomi yang paling sering ditemukan di RSUP Haji Adam Malik adalah tonsilitis kronik. Hasil turut menggambarkan indikasi tonsilektomi paling sering pada pasien dewasa adalah tonsilitis kronik sementara pada anak pula ada tonsilitis rekuren.
ABSTRACT
Tonsillectomy is one of the most frequent surgical procedures generally performed, especially in young patients. Indications for tonsillectomy now and then are still the same, but recently, there is a relative priority differences in determining the indications for tonsillectomy. Formerly, tonsillectomy was indicated as a therapy in patients with chronic and recurrent tonsillitis. Nowadays, the main indications for tonsillectomy are airway obstruction and tonsillar hypertrophy. Indications for tonsillectomy are different according to states. And there are also different indications between children and adult. The controversy over indications of tonsillectomy still persist until now.
The objective of this research is to determine the indications for tonsillectomy in patients at RSUP Haji Adam Malik from year 2008-2010. The medical records of patients who underwent tonsillectomy at RSUP Haji Adam Malik from 2008 to 2010 were reviewed.
According to this study, from year 2008 until 2010 at RSUP Haji Adam Malik, there were 34 patients who had undergone tonsillectomy. From the study, there are 3 indications for tonsillectomy found at RSUP Haji Adam Malik, they are chronic tonsillitis (64.7%), recurrent tonsillitis (23.5%) and tonsil tumor (11.8%).
Based on the results of the study, the most frequent indication for tonsillectomy at RSUP Haji Adam Malik is chronic tonsillitis. The results also show that the most frequent indication for adult tonsillectomy is chronic tonsillitis while the most common indication for children tonsillectomy is recurrent tonsillitis.
DAFTAR ISI
1.1.Latar Belakang……….. 2
1.2.Rumusan Masalah………. 2
1.3.Tujuan penelitian………... 2
1.4.Manfaat Penelitian………. 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA……….. 4
2.1. Anatomi dan Fisiologi Tonsil ..………..………….. 4
2.2. Definisi dan Epidemiologi Tonsilektomi ………... 7
2.2.1. Definisi ……….………..……….. 7
2.2.2. Epidemiologi ……… 8
2.3. Indikasi Tonsilektomi ………. 9
2.3.1. Indikasi Absolut ……… 9
2.3.2. Indikasi Relatif ……… 10
2.4. Prosedur Tonsilektomi ………. 12
2.4.1. Guillotine ……...………... 12
2.4.2. Diseksi ………...……… 12
2.4.3. Electrosurgery (Bedah Listrik) ………. 13
2.4.4. Radiofrekuensi ………. 13
2.4.5. Skalpel harmonik ……….. 14
2.4.6. Coblation ……….. 14
2.4.7. Intracapsular partial tonsillectomy ……….. 15
2.5. Kontraindikasi Tonsilektomi ……… 15
2.6. Komplikasi Tonsilektomi ………. 15
2.6.1. Komplikasi Anastesi ………. 16
2.6.2. Komplikasi Bedah ………. 16
BAB 3 KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN
DEFINISI OPERASIONAL ..………. 18
3.1. Kerangka Konsep Penelitian………. 18
3.2. Definisi Operasional……….. 19
3.3. Cara Ukur ………. 19
3.4. Alat Ukur ………. 19
BAB 4 METODE PENELITIAN……….. 20
4.1. Jenis Penelitian……….. 20
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian……… 20
4.2.1. Lokasi Penelitian ……….. 20
4.2.2. Waktu Penelitian ……….. 20
4.3. Populasi dan Sampel………. 20
4.4. Teknik Pengumpulan Data……… 21
4.5. Pengolahan dan Analisis Data………. 21
BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 22
5.1 Hasil Penelitian ………... 22
5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ………. 22
5.1.2. Karakteristik Sampel ………... 24
5.1.3. Hasil Analisa Data ………….……….. 27
5.2 Pembahasan ………. 26
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ………. 29
6.1 Kesimpulan ……….. 29
6.2 Saran ……… 30
DAFTAR PUSTAKA……… 31
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
2.1 Indikasi tonsilektomi dari Berbagai Sumber 11
5.1 Gambaran Distribusi Operasi Tonsilektomi
Menurut Indikasi 27
5.2 Gambaran Distribusi Operasi Tonsilektomi
Menurut Umur 28
5.3 Gambaran Indikasi Operasi Tonsilektomi
Berdasarkan Umur 28
5.4 Distribusi Operasi Tonsilektomi Menurut
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
2.1 Anatomi Tonsil 4
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul
1 Daftar Riwayat Hidup
2 Data Induk Penelitian (Master Data)
3 Hasil Analisa Data Dengan SPSS
4 Surat Izin Penelitian
ABSTRAK
Pendahuluan : Tonsilektomi merupakan prosedur yang paling sering dilakukan
terutama pada anak-anak. Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun terdapat perbedaan prioritas relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi pada saat ini. Dulu tonsilektomi diindikasikan untuk terapi tonsilitis kronik dan berulang. Saat ini, indikasi yang lebih utama adalah obstruksi saluran napas dan hipertrofi tonsil. Indikasi tonsilektomi juga berbeda menurut negara. Selain itu, indikasi tonsilektomi pada pasien anak dan dewasa juga berbeda Kontroversi seputar tonsilektomi masih terjadi sampai sekarang.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui indikasi tonsilektomi pada pasien-pasien di RSUP Haji Adam Malik dari tahun 2008-2010. Penelitian dilakukan dengan mengambil data-data pasien yang menjalani operasi tonsilektomi dari rekam medis yang terdapat di RSUP Haji Adam Malik dari tahun 2008-2010.
Hasil yang didapatkan dari penelitian yang dilakukan bermula Januari 2008 hingga Juni 2010 di RSUP Haji Adam Malik, didapatkan sejumlah 34 kasus operasi tonsilektomi yang dilaporkan. Dari hasil penelitian ini, terdapat tiga indikasi tonsilektomi yang ditemukan di RSUP Haji Adam Malik yaitu tonsilitis kronik (64.7%), tonsilitis rekuren (23.5%), dan tumor tonsil (11.8%).
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa secara umumnya indikasi tonsilektomi yang paling sering ditemukan di RSUP Haji Adam Malik adalah tonsilitis kronik. Hasil turut menggambarkan indikasi tonsilektomi paling sering pada pasien dewasa adalah tonsilitis kronik sementara pada anak pula ada tonsilitis rekuren.
ABSTRACT
Tonsillectomy is one of the most frequent surgical procedures generally performed, especially in young patients. Indications for tonsillectomy now and then are still the same, but recently, there is a relative priority differences in determining the indications for tonsillectomy. Formerly, tonsillectomy was indicated as a therapy in patients with chronic and recurrent tonsillitis. Nowadays, the main indications for tonsillectomy are airway obstruction and tonsillar hypertrophy. Indications for tonsillectomy are different according to states. And there are also different indications between children and adult. The controversy over indications of tonsillectomy still persist until now.
The objective of this research is to determine the indications for tonsillectomy in patients at RSUP Haji Adam Malik from year 2008-2010. The medical records of patients who underwent tonsillectomy at RSUP Haji Adam Malik from 2008 to 2010 were reviewed.
According to this study, from year 2008 until 2010 at RSUP Haji Adam Malik, there were 34 patients who had undergone tonsillectomy. From the study, there are 3 indications for tonsillectomy found at RSUP Haji Adam Malik, they are chronic tonsillitis (64.7%), recurrent tonsillitis (23.5%) and tonsil tumor (11.8%).
Based on the results of the study, the most frequent indication for tonsillectomy at RSUP Haji Adam Malik is chronic tonsillitis. The results also show that the most frequent indication for adult tonsillectomy is chronic tonsillitis while the most common indication for children tonsillectomy is recurrent tonsillitis.
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1Latar belakang
Tonsilektomi didefinisikan sebagai operasi pengangkatan tonsil palatina.
Ia merupakan prosedur yang paling sering dilakukan terutama pada anak-anak.
Pada dekade terakhir ini, tonsilektomi tidak hanya dilakukan untuk tonsilitis
berulang, namun juga untuk berbagai kondisi yang lebih luas termasuk
kesulitan makan, tounge thrust, halitosis, mendengkur, dan gangguan bicara
(Hermani B, 2004).
Jumlah operasi tonsilektomi di Amerika Serikat meningkat pada tahun
1959 yaitu sebanyak 1.4 juta operasi, dengan majoritas dilakukan pada
anak-anak. Jumlah operasi mengalami penurunan ke 500,000 pada tahun 1979 dan
menurun lagi ke 380,000 pada tahun1996. Kira-kira 130.000 operasi
tonsilektomi yang dilakukan pada tahun 1996 adalah pada individu yang
berusia 15 tahun ke atas (Bisno A, 2009).
Di Indonesia data nasional mengenai jumlah operasi tonsilektomi belum
ada. Namun data yang didapatkan dari RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
(RSUPN-CM) di Jakarta selama 5 tahun terakhir (1993-2003) menunjukkan
kecenderungan penurunan jumlah operasi tonsiloadenoidektomi dengan
puncak kenaikan pada tahun kedua (275 kasus) dan terus menurun sampai
tahun 2003 (152 kasus) (Wanri A, 2007).
Saat ini walau jumlah operasi tonsilektomi telah mengalami penurunan
bermakna, namun masih menjadi operasi yang paling sering dilakukan. Di
Indonesia, pengeluaran pelayanan medik untuk prosedur ini diperkirakan
Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun terdapat
perbedaan prioritas relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi pada saat
ini. Dulu tonsilektomi diindikasikan untuk terapi tonsilitis kronik dan
berulang. Saat ini, indikasi yang lebih utama adalah obstruksi saluran napas
dan hipertrofi tonsil. Indikasi tonsilektomi juga berbeda menurut negara.
Selain itu, indikasi tonsilektomi pada pasien anak dan dewasa juga berbeda
(Amarudin T, 2007).
Kontroversi seputar tonsilektomi telah lama terjadi. Tonsilektomi
sebagai tindakan operasi terbanyak dan biasa dilakukan di bidang THT belum
mempunyai keseragaman indikasi (Amarudin T, 2007).
1.2Rumusan Masalah
Apakah indikasi yang ditemukan pada pasien-pasien yang menjalani operasi
tonsilektomi di RSUP Haji Adam Malik dari bulan Januari 2008 hingga bulan
Juni 2010?
1.3Tujuan penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui indikasi
tonsilektomi pada pasien-pasien di RSUP Haji Adam Malik dari bulan
1.3.2 Tujuan khusus
a. Mengetahui indikasi absolut dan relatif tonsilektomi pada pasien
anak dan dewasa di RSUP Haji Adam Malik
b. Mengetahui apakah ada perbedaan indikasi tonsiletomi pada anak
dan dewasa di RSUP Haji Adam Malik
c. Mengetahui indikasi tonsilektomi yang paling sering di RSUP Haji
Adam Malik
1.4Manfaat penelitian
1.4.1 Bagi Peneliti
Sebagai sarana pengembangan diri dan penerapan pengetahuan yang
diperoleh penulis tentang metodologi penelitian.
1.4.2 Bagi Institusi Pendidikan
Bisa dijadikan sebagai bahan bacaan di perpustakaan besar Universitas
Sumatera Utara, yang diharapkan bermanfaat sebagai pembanding dan
referensi untuk penelitian lebih lanjut.
1.4.3 Bagi Institusi Rumah Sakit
Sebagai bahan evaluasi dan rujukan untuk melakukan tonsilektomi.
1.4.4 Bagi Masyarakat
Sebagai bahan tambahan informasi yang terbaru mengenai indikasi
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Dan Fisiologi Tonsil
Gambar 2.1 Anatomi Tonsil
Tonsil terdiri dari jaringan limfoid yang dilapisi oleh epitel respiratori.
Cincin Waldeyer merupakan jaringan limfoid yang membentuk lingkaran
di faring yang terdiri dari tonsil palatina, tonsil faringeal (adenoid), tonsil
lingual, dan tonsil tubal (Ruiz JW, 2009).
A) Tonsil Palatina
Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam
fosa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior
(otot palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil
berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai
10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu
sebagai fosa supratonsilar. Tonsil terletak di lateral orofaring. Dibatasi
oleh:
Lateral – muskulus konstriktor faring superior Anterior – muskulus palatoglosus
Posterior – muskulus palatofaringeus Superior – palatum mole
Inferior – tonsil lingual (Wanri A, 2007)
Permukaan tonsil palatina ditutupi epitel berlapis gepeng yang juga
melapisi invaginasi atau kripti tonsila. Banyak limfanodulus terletak di
bawah jaringan ikat dan tersebar sepanjang kriptus. Limfonoduli terbenam
di dalam stroma jaringan ikat retikular dan jaringan limfatik difus.
Limfonoduli merupakan bagian penting mekanisme pertahanan tubuh yang
tersebar di seluruh tubuh sepanjang jalur pembuluh limfatik. Noduli
sering saling menyatu dan umumnya memperlihatkan pusat germinal
(Anggraini D, 2001).
Fosa Tonsil
Fosa tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior adalah
otot palatoglosus, batas posterior adalah otot palatofaringeus dan batas
lateral atau dinding luarnya adalah otot konstriktor faring superior
(Shnayder, Y, 2008). Berlawanan dengan dinding otot yang tipis ini, pada
bagian luar dinding faring terdapat nervus ke IX yaitu nervus
glosofaringeal (Wiatrak BJ, 2005).
Pendarahan
Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri karotis eksterna,
yaitu 1) arteri maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan cabangnya arteri
tonsilaris dan arteri palatina asenden; 2) arteri maksilaris interna dengan
cabangnya arteri palatina desenden; 3) arteri lingualis dengan cabangnya
bagian anterior diperdarahi oleh arteri lingualis dorsal dan bagian posterior
oleh arteri palatina asenden, diantara kedua daerah tersebut diperdarahi
oleh arteri tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi oleh arteri faringeal
asenden dan arteri palatina desenden. Vena-vena dari tonsil membentuk
pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring. Aliran balik melalui
pleksus vena di sekitar kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus faringeal
(Wiatrak BJ, 2005).
Aliran getah bening
Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah bening
servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah muskulus
sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya
menuju duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah
bening eferan sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak ada (Wanri
A, 2007).
Persarafan
Tonsil bagian bawah mendapat sensasi dari cabang serabut saraf ke IX
(nervus glosofaringeal) dan juga dari cabang desenden lesser palatine
nerves.
Imunologi Tonsil
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit.
Limfosit B membentuk kira-kira 50-60% dari limfosit tonsilar. Sedangkan
limfosit T pada tonsil adalah 40% dan 3% lagi adalah sel plasma yang
matang (Wiatrak BJ, 2005). Limfosit B berproliferasi di pusat germinal.
Immunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD), komponen komplemen, interferon,
lisozim dan sitokin berakumulasi di jaringan tonsilar (Eibling DE, 2003).
Sel limfoid yang immunoreaktif pada tonsil dijumpai pada 4 area yaitu
epitel sel retikular, area ekstrafolikular, mantle zone pada folikel limfoid
Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk
diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil
mempunyai 2 fungsi utama yaitu 1) menangkap dan mengumpulkan bahan
asing dengan efektif; 2) sebagai organ utama produksi antibodi dan
sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik (Hermani B, 2004).
B) Tonsil Faringeal (Adenoid)
Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan
limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen
tersebut tersusun teratur seperti suatu segmen terpisah dari sebuah ceruk
dengan celah atau kantong diantaranya. Lobus ini tersusun mengelilingi
daerah yang lebih rendah di bagian tengah, dikenal sebagai bursa
faringeus. Adenoid tidak mempunyai kriptus. Adenoid terletak di dinding
belakang nasofaring. Jaringan adenoid di nasofaring terutama ditemukan
pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat meluas ke fosa
Rosenmuller dan orifisium tuba eustachius. Ukuran adenoid bervariasi
pada masing-masing anak. Pada umumnya adenoid akan mencapai ukuran
maksimal antara usia 3-7 tahun kemudian akan mengalami regresi
(Hermani B, 2004).
C) Tonsil Lingual
Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh
ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini
terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh
papilla sirkumvalata (Kartosoediro S, 2007).
2.2 Definisi Dan Epidemiologi Tonsilektomi
2.2.1 Definisi
Tonsilektomi didefinisikan sebagai operasi pengangkatan seluruh tonsil
Nursing and Health Profession (2006) pula, tonsilektomi adalah eksisi
surgikal tonsil palatina untuk mencegah tonsilitis rekuren.
2.2.2 Epidemiologi
Tonsilektomi merupakan prosedur operasi yang praktis dan aman, namun
hal ini bukan berarti tonsilektomi merupakan operasi minor karena tetap
memerlukan keterampilan dan ketelitian yang tinggi dari operator dalam
pelaksanaannya. Di Amerika Serikat, karena kekhawatiran komplikasi,
tonsilektomi digolongkan pada operasi mayor. Di Indonesia, tonsilektomi
digolongkan pada operasi sedang karena durasi operasi pendek dan teknik
tidak sulit (Wanri A, 2007).
Pada awal tahun 1960 dan 1970-an, telah dilakukan 1 sampai 2 juta
tonsilektomi, adenoidektomi atau gabungan keduanya setiap tahunnya di
Amerika Serikat. Angka ini menunjukkan penurunan dari waktu ke waktu
dimana pada tahun 1996, diperkirakan 287.000 anak-anak di bawah 15
tahun menjalani tonsilektomi, dengan atau tanpa adenoidektomi. Dari
jumlah ini, 248.000 anak (86,4%) menjalani tonsiloadenoidektomi dan
39.000 lainnya (13,6%) menjalani tonsilektomi saja. Tren serupa juga
ditemukan di Skotlandia. Sedangkan pada orang dewasa berusia 16 tahun
atau lebih, angka tonsilektomi meningkat dari 72 per 100.000 pada tahun
1990 (2.919 operasi) menjadi 78 per 100.000 pada tahun 1996 (3.200
operasi) (Hermani B, 2004).
Di Indonesia, data nasional mengenai jumlah operasi tonsilektomi atau
tonsiloadenoidektomi belum ada. Namun, data yang didapatkan dari
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (RSUPN-CM) di Jakarta selama 5
tahun terakhir (1999-2003) menunjukkan kecenderungan penurunan
jumlah operasi tonsiloadenoidektomi dengan puncak kenaikan pada tahun
kedua (275 kasus) dan terus menurun sampai tahun 2003 (152 kasus).
terakhir (2002-2004) menunjukkan kecenderungan kenaikan jumlah
operasi tonsilektomi dan penurunan jumlah operasi tonsiloadenoidektomi
(Wanri A, 2007).
Dari catatan medis RSUP Dr Sardjito, Yogyakarta, tonsilektomi
merupakan lebih dari separuh dari seluruh tindakan pembedahan di bagian
THT. Data pada tahun 1996 dan tahun 1997 sejumlah 107 tindakan, tahun
1998 ada 102 tindakan, dan tahun 1999 sejumlah 94 tindakan.
Tonsilektomi tahun 2003 tercatat sebanyak 59 kasus, tahun 2004 hingga
bulan Agustus sebanyak 45 kasus, rentang umur terbanyak 5-15 tahun dan
indikasi tersering adalah tonsilitis kronis (Amarudin T, 2007).
2.3 Indikasi Tonsilektomi
Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun terdapat
perbedaan prioritas relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi pada
saat ini. Dulu tonsilektomi diindikasikan untuk terapi tonsilitis kronik dan
berulang. Saat ini, indikasi yang lebih utama adalah obstruksi saluran
napas dan hipertrofi tonsil (Wanri A, 2007).
Menurut American Academy of Otolaryngology – Head and Neck Surgery
(AAO-HNS) (1995), indikator klinis untuk prosedur surgikal adalah
seperti berikut:
2.3.1 Indikasi Absolut
a. Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran
napas, disfagia berat, gangguan tidur dan komplikasi
kardiopulmoner
b. Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis
dan drainase
d. Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan
patologi anatomi
2.3.2 Indikasi Relatif
a. Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan
terapi antibiotik adekuat
b. Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan
pemberian terapi medis
c. Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang
tidak membaik dengan pemberian antibiotik β-laktamase
resisten
d. Hipertrofi tonsil unilateral yang dicurigai merupakan suatu
keganasan
Saat mempertimbangkan tonsilektomi untuk pasien dewasa harus
dibedakan apakah mereka mutlak memerlukan operasi tersebut atau hanya
sebagai kandidat. Dugaan keganasan dan obstruksi saluran nafas
merupakan indikasi absolut untuk tonsilektomi. Tetapi hanya sedikit
tonsilektomi pada dewasa yang dilakukan atas indikasi tersebut,
kebanyakan karena infeksi kronik (Hermani B, 2004).
Obstruksi nasofaringeal dan orofaringeal yang berat sehingga boleh
mengakibatkan terjadinya gangguan apnea ketika tidur merupakan indikasi
absolute untuk surgery. Pada kasus yang ekstrim, obstructive sleep apnea
ini boleh menyebabkan hipoventilasi alveolar, hipertensi pulmonal dan
2.4. Prosedur Tonsilektomi
Di Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat ini adalah
teknik Guillotine dan diseksi.
2.4.1. Guillotine
Tonsilektomi cara guillotine dikerjakan secara luas sejak akhir abad ke 19,
dan dikenal sebagai teknik yang cepat dan praktis untuk mengangkat
tonsil. Tonsilotom modern atau guillotine dan berbagai modifikasinya
merupakan pengembangan dari sebuah alat yang dinamakan uvulotome.
Uvulotome merupakan alat yang dirancang untuk memotong uvula yang
edematosa atau elongasi.
Negara-negara maju sudah jarang yang melakukan cara ini, namun di
beberapa rumah sakit masih tetap dikerjakan. Di Indonesia, terutama di
daerah masih lazim dilakukan cara ini dibandingkan cara diseksi.
Kepustakaan lama menyebutkan beberapa keuntungan teknik ini yaitu
cepat, komplikasi anestesi kecil, biaya kecil (Hermani, B., 2004).
2.4.2. Diseksi
Kebanyakan tonsilektomi saat ini dilakukan dengan metode diseksi. Di
negara-negara Barat, terutama sejak para pakar bedah mengenal anestesi
umum dengan endotrakeal pada posisi Rose yang mempergunakan alat
pembuka mulut Davis, mereka lebih banyak mengerjakan tonsilektomi
dengan cara diseksi. Cara ini juga banyak digunakan pada pasien anak.
Pasien menjalani anestesi umum (general endotracheal anesthesia).
Teknik operasi meliputi: memegang tonsil, membawanya ke garis tengah,
insisi membran mukosa, mencari kapsul tonsil, mengangkat dasar tonsil
dilakukan hemostasis dengan elektokauter atau ikatan. Selanjutnya
dilakukan irigasi pada daerah tersebut dengan salin(Hermani, B., 2004).
Berbagai teknik diseksi baru telah ditemukan dan dikembangkan
disamping teknik diseksi standar, yaitu:
2.4.3. Electrosurgery (Bedah listrik)
Pada bedah listrik transfer energi berupa radiasi elektromagnetik (energi
radiofrekuensi) untuk menghasilkan efek pada jaringan. Frekuensi radio
yang digunakan dalam spektrum elektromagnetik berkisar pada 0.1 hingga
4 MHz. Penggunaan gelombang pada frekuensi ini mencegah terjadinya
gangguan konduksi saraf atau jantung. Pada teknik ini elektroda tidak
menjadi panas, panas dalam jaringan terbentuk karena adanya aliran baru
yang dibuat dari teknik ini. Teknik ini menggunakan listrik 2 arah (AC)
dan pasien termasuk dalam jalur listrik (electrical pathway).
Tenaga listrik dipasang pada kisaran 10 sampai 40 W untuk memotong,
menyatukan atau untuk koagulasi. Bedah listrik merupakan satu-satunya
teknik yang dapat melakukan tindakan memotong dan hemostase dalam
satu prosedur (Hermani, B., 2004).
2.4.4. Radiofrekuensi
Pada teknik radiofrekuensi, elektroda disisipkan langsung ke jaringan.
Densitas baru di sekitar ujung elektroda cukup tinggi untuk membuat
kerusakan bagian jaringan melalui pembentukan panas. Selama periode
4-6 minggu, daerah jaringan yang rusak mengecil dan total volume jaringan
berkurang. Pengurangan jaringan juga dapat terjadi bila energi
radiofrekuensi diberikan pada medium penghantar seperti larutan salin.
Partikel yang terionisasi pada daerah ini dapat menerima cukup energi
suhu rendah (40 0C - 70 0C), mungkin lebih sedikit jaringan sekitar yang
rusak.
Dengan alat ini, jaringan tonsil dapat dibuang seluruhnya, ablasi sebagian
atau berkurang volumenya. Penggunaan teknik radiofrekuensi dapat
menurunkan morbiditas tonsilektomi (Hermani, B., 2004).
2.4.5. Skalpel harmonik
Skalpel harmonik menggunakan teknologi ultrasonik untuk memotong dan
mengkoagulasikan jaringan dengan kerusakan jaringan minimal. Teknik
ini menggunakan suhu yang lebih rendah dibandingkan elektrokauter dan
laser. Sistim skalpel harmonik terdiri atas generator 110 Volt, handpiece
dengan kabel penyambung, pisau bedah dan pedal kaki.
Skalpel harmonik memiliki beberapa keuntungan dibanding teknik bedah
lain, yaitu kerusakan akibat panas minimal karena proses pemotongan dan
koagulasi terjadi pada temperatur lebih rendah dan charring, desiccation
(pengeringan) dan asap juga lebih sedikit, lapangan bedah terlihat jelas
karena lebih sedikit perdarahan, perdarahan dan nyeri pasca operasi juga
minimal dan teknik ini juga menguntungkan bagi pasien terutama yang
tidak bisa mentoleransi kehilangan darah (Hermani, B., 2004).
2.4.6. Coblation
Teknik ini menggunakan bipolar electrical probe untuk menghasilkan
listrik radiofrekuensi (radiofrequency electrical) baru melalui larutan
natrium klorida. Keadaan ini akan menghasilkan aliran ion sodium yang
dapat merusak jaringan sekitar. Efikasi teknik coblation sama dengan
teknik tonsilektomi standar tetapi teknik ini bermakna mengurangi rasa
2.4.7. Intracapsular partial tonsillectomy
Intracapsular tonsillectomy merupakan tonsilektomi parsial yang
dilakukan dengan menggunakan mikrodebrider endoskopi. Pada
tonsilektomi intrakapsular, kapsul tonsil disisakan untuk menghindari
terlukanya otot-otot faring akibat tindakan operasi dan memberikan lapisan
“pelindung biologis” bagi otot dari sekret. Hal ini akan mencegah
terjadinya perlukaan jaringan dan mencegah terjadinya peradangan lokal
yang menimbulkan nyeri, sehingga mengurangi nyeri pasca operasi dan
mempercepat waktu pemulihan. Tonsilitis kronis dikontraindikasikan
untuk teknik ini.
Keuntungan teknik ini angka kejadian nyeri dan perdarahan pasca operasi
lebih rendah dibanding tonsilektomi standar (Hermani, B., 2004).
2.5. Kontraindikasi Tonsilektomi
Terdapat beberapa keadaan yang disebutkan sebagai kontraindikasi,
namun bila sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan
tetap memperhitungkan imbang “manfaat dan risiko”. Keadaan tersebut
adalah:
1. Gangguan perdarahan
2. Risiko anestesi yang besar atau penyakit berat
3. Anemia
4. Infeksi akut yang berat
2.6. Komplikasi
Tonsilektomi merupakan tindakan bedah yang dilakukan dengan anestesi
umum maupun lokal, sehingga komplikasi yang ditimbulkannya
1:15.000 pasien yang menjalani tonsilektomi meninggal baik akibat
perdarahan maupun komplikasi anestesi dalam 5-7 hari setelah operasi.
2.6.1. Komplikasi anestesi
Komplikasi terkait anestesi terjadi pada 1:10.000 pasien yang menjalani
tonsilektomi. Komplikasi ini terkait dengan keadaan status kesehatan
pasien. Adapun komplikasi yang dapat ditemukan berupa:
-Kematian saat induksi pada pasien dengan hipovolemi
- Induksi intravena dengan pentotal bisa menyebabkan hipotensi dan
henti jantung
- Hipersensitif terhadap obat anestesi
2.6.2. Komplikasi bedah
(A) Perdarahan
Merupakan komplikasi tersering (0,1-8,1% dari jumlah kasus).
Perdarahan dapat terjadi selama operasi, segera sesudah operasi atau di
rumah. Kematian akibat perdarahan terjadi pada 1:35.000 pasien.
Sebanyak 1 dari 100 pasien kembali karena masalah perdarahan dan dalam
jumlah yang sama membutuhkan transfusi darah.
Perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama dikenal sebagai early
bleeding, perdarahan primer atau “reactionary haemorrage” dengan
kemungkinan penyebabnya adalah hemostasis yang tidak adekuat selama
operasi. Umumnya terjadi dalam 8 jam pertama. Perdarahan primer ini
anestesi dan refleks batuk belum sempurna. Darah dapat menyumbat jalan
napas sehingga terjadi asfiksia. Perdarahan dapat menyebabkan keadaan
hipovolemik bahkan syok.
Perdarahan yang terjadi setelah 24 jam disebut dengan late/delayed
bleeding atau perdarahan sekunder. Umumnya terjadi pada hari ke 5-10
pascabedah. Perdarahan sekunder ini jarang terjadi, hanya sekitar 1%.
Penyebabnya belum dapat diketahui secara pasti.
(B) Nyeri
Nyeri pascaoperasi muncul karena kerusakan mukosa dan serabut saraf
glosofaringeus atau vagal, inflamasi dan spasme otot faringeus yang
menyebabkan iskemia dan siklus nyeri berlanjut sampai otot diliputi
kembali oleh mukosa, biasanya 14-21 hari setelah operasi. Nyeri
tenggorok muncul pada hampir semua pasien pascatonsilektomi. Nyeri
pascabedah bisa dikontrol dengan pemberian analgesik. Jika pasien
mengalami nyeri saat menelan, maka akan terdapat kesulitan dalam asupan
oral yang meningkatkan risiko terjadinya dehidrasi. Bila hal ini tidak
dapat ditangani di rumah, perawatan di rumah sakit untuk pemberian
cairan intravena dibutuhkan.
2.6.3. Komplikasi lain
Dehidrasi, demam, kesulitan bernapas, gangguan terhadap suara, aspirasi,
otalgia, pembengkakan uvula, insufisiensi velopharingeal, stenosis faring,
BAB 3
KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN OPERASIONAL
3.1. Kerangka Konsep Penelitian
Tonsilektomi masih merupakan prosedur yang paling sering
dilakukan terutama pada anak-anak. Pada dekade terakhir ini,
tonsilektomi tidak hanya dilakukan untuk tonsilitis berulang, namun juga
untuk berbagai kondisi yang lebih luas termasuk kesulitan makan, tongue
thrust, halitosis, mendengkur, dan gangguan bicara (Hermani, B., 2004).
Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun
terdapat perbedaan prioritas relatif dalam menentukan indikasi
tonsilektomi pada saat ini.
Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep dalam
penelitian ini adalah:
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian
TONSILEKTOMI INDIKASI
• ABSOLUT
3.2. Definisi Operasional
Tonsilektomi : Tindakan bedah pengangkatan tonsil palatina.
Indikasi : Alasan yang valid untuk tindakan tonsilektomi.
Indikasi absolut : Indikasi mutlak sehingga tonsilektomi harus
dilakukan.
Indikasi relatif : Indikasi yang tidak mutlak dan masih bisa
diperdebatkan apakah perlu dilakukan tonsilektomi
atau tidak.
Anak : Pasien yang berusia di bawah 14 tahun.
Dewasa : Pasien yang berusia di atas 14 tahun.
3.3. Cara ukur
Data diukur dengan cara meneliti rekam medis (data sekunder) dari bagian
rekam medis di RSUP Haji Adam Malik. Data-data yang akan diambil
adalah umur pasien, indikasi operasi tonsilektomi dan tahun pasien
dirawat.
3.4. Alat ukur
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah bersifat
deskriptif dan secara retrospektif, di mana penelitian ini akan
mendeskripsikan indikasi tonsilektomi pada pasien yang datang berubat ke
RSUP Haji Adam Malik. Data-data dikumpulkan dari pasien yang pernah
berobat di RSUP Haji Adam Malik.
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
4.2.1. Lokasi penelitian
Penelitian dilakukan di RSUP Haji Adam Malik, Medan.
4.2.2. Waktu penelitian
Waktu penelitian deskriptif ini dilakukan dari bulan Agustus
sehingga bulan Oktober 2010.
4.3. Populasi dan Sampel Penelitian
Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah total sampling. Total
sampling adalah teknik penentuan sampel dengan mengambil seluruh
anggota populasi sebagai responden/sampel. Data-data dikumpulkan
melalui rekam medis di RSUP Haji Adam Malik. Data-data pasien yang
pernah menjalani tindakan operasi tonsilektomi akan diambil dari bulan
Januari 2008 hingga bulan Juni 2010 dan dikumpulkan. Setelah itu akan
diteliti secara retrospektif dari terjadinya indikasi tonsilektomi hingga
4.4. Metode Pengumpulan Data
Pada penelitian ini digunakan data sekunder yaitu rekam medik di RSUP
Haji Adam Malik. Data akan dikumpulkan berdasarkan data klinis pasien
yang pernah menjalani operasi tonsilektomi serta berubat ke RSUP Haji
Adam Malik dari bulan Januari 2008 hingga bulan Juni 2010.
4.5. Metode Analisa Data
Analisa data adalah dilakukan secara deskriptif. Data diolah dengan
menggunakan program pengolahan statistik Statistical Package for The
Social Science (SPSS) for Windows versi 17.0. Studi deskriptif adalah
penelitian yang bertujuan melakukan deskripsi mengenai fenomena yang
ditemukan, baik yang berupa faktor resiko maupun efek atau hasil. Data
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1. Hasil Penelitian
Dari penelitian yang dilakukan, didapatkan sejumlah 34 kasus
operasi tonsilektomi selama periode 2008-2010 di RSUP Haji Adam
Malik. Data yang tercatat di dalam rekam medis yang diambil adalah
termasuk indikasi operasi, usia pasien serta tahun pasien berobat.
5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian
Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Haji Adam Malik Medan
merupakan rumah sakit kelas A, sesuai dengan Menkes No.
335/Menkes/SK/VII/1990 pada tahun 1990. Pada tahun 1991 pula ia
dijadikan sebagai Rumah Sakit Pendidikan sesuai dengan SK Menkes
No. 502/Menkes/SK/IX/1991, dan RSUP Haji Adam Malik Medan juga
sebagai Pusat Rujukan Wilayah Pembangunan A yang meliputi Provinsi
Sumatera Utara, Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat dan Riau.
RSUP Haji Adam Malik mulai berfungsi sejak tanggal 17 Juni
1991 dengan pelayanan Rawat Jalan sedangkan untuk pelayanan Rawat
Inap baru dimulai tanggal 2 Mei 1992. Menjelang tahun 1993, pada
tanggal 11 Januari 1993 secara resmi Pusat Pendidikan Fakultas
Kedokteran USU Medan dipindahkan ke RSUP Haji Adam Malik Medan
sebagai tanda dimulainya Soft Opening. Kemudian diresmikan oleh Bapak
Presiden RI pada tanggal 21 Juli 1993.Mulai tahun 2007, berdasarkan
Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 280/KMK.05/2007 dan Surat
Keputusan Menteri Kesehatan dengan No.756/Menkes/SK/VI/2007
tepatnya pada Juni 2007 RSUP Haji Adam Malik Medan telah berubah
mengikuti pengarahan pengarahan yang diberikan oleh Ditjen Yanmed
dan Departemen Keuangan untuk perubahan status menjadi BLU Penuh.
Untuk mewujudkan hal ini perlu pemberdayaan dan kemandirian
Instalasi dan SMF (Satuan Medis Fungsional) sehingga produktif dan
efisien, dan dilakukan penyesuaian Organisasi yang didukung oleh
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor
244/Menkes/Per/III/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja RSUP Haji
Adam Malik Medan tanggal 11 Maret 2008 sampai dengan Nopember
2009.
5.1.2. Karakteristik Sampel
Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini
adalah total sampling. Kesemua sampel yang terdapat dalam berkas rekam
medis di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Haji Adam Malik pada tahun
2008 hingga bulan Juni 2010 diambil. Berdasarkan data dari rekam medis
yang terdapat di RSUP Haji Adam Malik, terdapat 34 orang yang
memenuhi kriteria inklusi yang ditetapkan. Dari 34 orang sampel ini,
kesemuanya menjalani operasi tonsilektomi berdasarkan indikasi yang
ditemukan. Indikasi tonsilektomi tersebut diambil dan diberikan dalam
bentuk gambaran deskriptif.
Selain daripada melihat indikasi tonsilektomi, umur pasien turut
diambil. Ini bertujuan untuk membuat gambaran deskriptif tentang taburan
usia pada pasien. Selain itu, tahun rekam medis turut diambil untuk
melihat secara deskriptif seberapa banyak operasi tonsilektomi dijalankan
5.1.3. Hasil Analisa Data
Tabel 5.1
Gambaran Distribusi Operasi Tonsilektomi Menurut Indikasi
Indikasi n Persentase
Tonsilitis Kronik 22 64.7
Tonsilitis Rekuren 8 23.5
Tumor Tonsil 4 11.8
Hipertrofi Tonsil 0 0
Abses Peritonsil 0 0
Total 34 100
Berdasarkan Tabel 5.1, data yang didapatkan dari rekam medis di
RSUP Haji Adam Malik, indikasi yang paling sering ditemukan pada
pasien yang menjalani operasi tonsilektomi dari bulan Januari tahun 2008
hingga bulan Juni tahun 2010 adalah tonsilitis kronik yaitu sebanyak 22
kasus (64.7%) sementara indikasi yang paling sedikit adalah tumor tonsil
yaitu sebanyak 4 kasus (11.8%).
Tabel 5.2
Gambaran Distribusi Operasi Tonsilektomi Menurut Umur
Umur n Persentase
Anak 15 44.1
Dewasa 19 55.9
Total 34 100
Tabel di atas menunjukkan jumlah operasi tonsilektomi yang
dijalankan pada pasien menurut usia. Terdapat sebanyak 15 orang pasien
anak (44.1%) yang menjalani operasi tonsilektomi selama tahun
2008-2010. Sedangkan terdapat lebih banyak pasien dewasa yang menjalani
Tabel 5.3
Gambaran Indikasi Operasi Tonsilektomi Berdasarkan Umur
Golongan Indikasi Total
Tonsilitis Rekuren Tonsillitis Kronik Tumor Tonsil
Anak 8 6 1 15
Dewasa 0 16 3 19
Total 8 22 4 34
Berdasarkan Tabel 5.3, didapati bahwa pada pasien dewasa,
indikasi yang paling sering adalah tonsilitis kronik yaitu sebesar 16 kasus
daripada total 19 operasi tonsilektomi yang dijalankan pada orang dewasa.
Sementara pada anak pula, indikasi tonsilektomi yang tertinggi adalah
tonsilitis rekuren yaitu sebanyak 8 kasus dari total 15 kasus operasi
tonsilektomi pada anak.
Tabel 5.4
Distribusi Operasi Tonsilektomi Menurut Tahun
Tahun n Persentase
2008 14 41.2
2009 14 41.2
2010 6 17.6
Total 34 100
Berdasarkan Tabel 5.3, jumlah kasus operasi tonsilektomi yang
dijalankan pada tahun 2008 dan 2009 adalah sama banyak, yaitu sebanyak
14 kasus per tahun. Sementara terdapat 6 operasi tonsilektomi yang pernah
5.2. Pembahasan
Dalam pembahasan akan difokuskan kepada hal-hal yang berkaitan
dengan tujuan penelitian dilakukan yaitu untuk mengetahui gambaran
indikasi tonsilektomi pada pasien-pasien di RSUP Haji Adam Malik dari
bulan Januari 2008 hingga bulan Juni 2010.
Menurut American Academy of Otolaryngology–Head and Neck
Surgery (AAO-HNS), indikasi klinik untuk operasi tonsilektomi terbahagi
kepada indikasi absolut dan indikasi relatif. Indikasi absolut adalah 1)
pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napas, disfagia
berat, gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmoner, 2) abses peritonsil
yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan drainase, 3) tonsilitis
yang menimbulkan kejang demam dan 4) tonsilitis yang membutuhkan
biopsi untuk menentukan patologi anatomi. Sementara indikasi relatif pula
adalah 1) terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi
antibiotik adekuat, 2) halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik
dengan pemberian terapi medis, 3) tonsilitis kronik atau berulang pada
karier streptokokus yang tidak membaik dengan pemberian antibiotik β
-laktamase resisten, dan 4) hipertrofi tonsil unilateral yang dicurigai
merupakan suatu keganasan.
Pada penelitian yang dilakukan di RSUP Haji Adam Malik
mengenai gambaran indikasi tonsilektomi dari tahun 2008-2010, terdapat
tiga indikasi tonsilektomi yang ditemukan yaitu tonsilitis rekuren, tonsilitis
kronik dan tumor tonsil. Secara umumnya indikasi tonsilektomi yang
paling sering adalah tonsilitis kronik yaitu sebesar 22 kasus (64.7%)
daripada 34 kasus, diikuti dengan tonsillitis rekuren yaitu sebanyak 8
kasus (23.5%) dan indikasi yang paling sedikit adalah tumor tonsil yaitu
sebanyak 4 kasus (11.8%).
Terdapat beberapa indikasi yang tidak ditemukan pada penelitian
napas, abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan
drainase serta tonsilitis yang menimbulkan kejang demam. Hal ini
mungkin disebabkan kerana tiada kasus-kasus tersebut ditemukan
sepanjang periode 2008 hingga bulan Juni 2010.
Selain itu, variabel yang turut diteliti adalah umur pasien yang
menjalani operasi tonsilektomi. Dari penelitian yang dilakukan oleh
Amarudin T. dan Christanto A. (Yogyakarta, 2007) tentang kajian manfaat
tonsilektomi, dijumpai rentang umur terbanyak adalah 5-15 tahun dari total
59 kasus yang tercatat.
Setelah diteliti, ternyata hasil yang didapatkan pada penelitian ini
adalah operasi tonsilektomi lebih banyak dijalankan pada orang dewasa
berbanding pada pasien anak yaitu sebanyak 19 kasus (56%) pada pasien
dewasa dan 15 kasus (44%) pada pasien anak.
Terdapat perbedaan antara hasil penelitian ini dengan penelitian
sebelumnya. Ini mungkin disebabkan pasien anak sulit untuk mengeluhkan
rasa sakit. Selain itu, pasien dewasa juga lebih banyak mendapat informasi
tentang tonsilektomi.
Berdasarkan penelitian retrospektif mengenai indikasi tonsilektomi
pada orang dewasa yang telah dibuat oleh E.K. Hoddeson dan C.G Gourin
(USA, 2009), berbanding populasi anak, infeksi kronik merupakan
indikasi untuk operasi tonsilektomi yang paling sering ditemukan pada
orang dewasa yaitu sebanyak 207 pasien (57%) dari total 361 pasien.
Indikasi lainnya adalah obstruksi saluran nafas atas kerana hipertrofi tonsil
pada 98 pasien (27%) dan suspek neoplasma pada 56 pasien (16%).
Pada penelitian yang dilakukan oleh S. Stevanović dan
kawan-kawannya (Croatia, 2008) tentang indikasi tonsilektomi pada anak pula,
ditemukan bahwa tonsilitis rekuren merupakan indikasi yang paling sering
yaitu sebanyak 3387 pasien (72%) dari total 4704 kasus. Ini diikuti dengan
sebanyak 564 pasien (12%) dan abses peritonsilar sebanyak 141 pasien
(3%).
Pada penelitian yang dilakukan di RSUP Haji Adam Malik,
didapati indikasi yang paling sering pada pasien dewasa adalah tonsilitis
kronik yaitu sebesar 16 kasus daripada total 19 operasi tonsilektomi yang
dijalankan pada orang dewasa. Sementara pada anak pula, indikasi
tonsilektomi yang tertinggi adalah tonsilitis rekuren yaitu sebanyak 8
kasus dari total 15 kasus operasi tonsilektomi pada anak.
Hasil penelitian ini adalah selaras dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh E.K. Hoddeson dan C.G Gourin dan hasil penelitian yang
dilakukan oleh S. Stevanović dan kawan-kawannya.
Gambaran kasus menurut tahun juga turut diteliti untuk mengetahui
seberapa banyak operasi tonsilektomi yang dijalankan berdasarkan rekam
medis yang terdapat di RSUP Haji Adam Malik. Berdasarkan penelitian,
sebanyak 14 operasi tonsilektomi dilaporkan pada tahun 2008 dan 2009.
Sementara pada tahun 2010 pula, hanya 6 kasus dilaporkan.
Jumlah kasus yang sedikit adalah mungkin kerana terdapat
data-data dari rekam medis yang tidak lengkap dan hilang. Jumlah kasus yang
sedikit pada tahun 2010 pula adalah kerana tahun 2010 masih belum
berakhir, maka bisa terjadi pertambahan kasus pada akhir tahun 2010.
Oleh kerana keterbatasan waktu, maka data yang diambil pada tahun 2010
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa:
1) Indikasi tonsilektomi yang ditemukan di RSUP Haji Adam Malik
adalah tonsilitis kronik, tonsilitis rekuren dan tumor tonsil.
Tonsilitis kronik merupakan indikasi yang paling sering ditemukan
yaitu sebanyak 64.7% daripada 34 kasus diikuti dengan tonsilitis
rekuren sebanyak 23.5% dan tumor tonsil sebanyak 11.8%.
2) Indikasi absolut operasi tonsilektomi yang ditemukan pada pasien
di RSUP Haji Adam Malik pada periode 2008-2010 adalah tumor
tonsil. Sementara indikasi relatif pula adalah tonsilitis kronik dan
tonsilitis rekuren.
3) Pada pasien dewasa didapati indikasi yang paling sering adalah
tonsilitis kronik yaitu sebesar 16 kasus daripada total 19 operasi
tonsilektomi yang dijalankan pada orang dewasa. Sementara pada
anak di bawah 14 tahun pula, indikasi tonsilektomi yang tertinggi
adalah tonsilitis rekuren yaitu sebanyak 8 kasus dari total 15 kasus
6.2. Saran
6.2.1. Peneliti Lain
Peneliti yang ingin meneliti kasus ini pada masa akan datang
diharap dapat melengkapi kelemahan penelitian ini dengan cara
melengkapkan data pada tahun 2010 serta mendapatkan jumlah
sampel yang lebih besar dan memanjangkan periode penelitian.
6.2.2. Rumah Sakit
1) Data rekam medis haruslah dilengkapkan agar penelitian
yang dijalankan dapat menggambarkan keadaan yang
sebenarnya.
2) Rumah sakit harus memperbaiki sistem penyimpanan
rekam medis agar lebih sistematis supaya dapat
DAFTAR PUSTAKA
Amarudin, T., Chrisanto, A. Kajian Manfaat Tonsilektomi. Dalam: Setiawan, B., Sadana, K., Zahir, S.S., Fadli, S. 2007. Majalah Cermin Dunia Kedokteran No. 155. Grup PT Kalbe Farma Tbk; 61-68.
American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery. Tonsillectomy procedures. In: Drake, A.F., 2009. Tonsillectomy. EMedicine from WebMD. Available from:
Anggraini, D., Sikumbang, T., 2001. Atlas Histologi Di Fiore Dengan Korelasi Fungsional. Edisi 9. Penerbit Buku Kedokteran EGC; 122-124.
Bhattacharya, N., 2003. When does an adult need tonsillectomy? Cleveland Clinic Journal of Medicine.
Bisno, A., 2009. Tonsillectomy in adults: Indications. UpToDate. Available from:
[Accessed on 12 April 2010]
Eibling, D.E., 2003. The Oral Cavity, Pharynx and Esophagus. In: Lee, K.J., Essential Otolaryngology Head & Neck Surgery. 8th Edition. McGraw Hill Medical Publishing Division; 442-453.
Frenz, D., Smith, R.V., 2006. Surgical Anatomy of the Pharynx and Esophagus. In: Van De Water, T.R., Otolaryngology Basic Science and Clinical Review. Thieme Medical Publisher, Inc. New York; 558.
Hermani, B., Fachrudin, D., Hutauruk, S.M., Riyanto, B.U., Susilo, Nazar, H.N., 2004. Tonsilektomi pada Anak dan Dewasa. Health Technology Assessment (HTA) Indonesia; 1-25.
And Outcomes. Available from:
2010]
Mosby’s Dictionary of Medicine, Nursing & Health Professions. 2006. 7th Edition.
Paradise, J.L., 2009. Tonsillectomy and adenoidectomy in children. UpToDate. Available from:
Ruiz, J.W., 2009. Tonsillectomy in adults: Surgery. UpToDate. Available from:
Shnayder, Y., Lee, K.C., Berstein, H.M., 2008. Management Of Adenotonsillar Disease. In: Lalwani, A.K., ed. Current Diagnosis & Treatment In Otolaryngology – Head & Neck Surgery. 2nd Edition, McGraw-Hill Companies; 340-347.
in children aged under 16 years in ENT Department of Sestre Milosrdnice
Clinical Hospital. Available from:
2010]
Wanri, A., 2007. Tonsilektomi. Departemen Telinga, Hidung Dan Tenggorok, Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, Palembang; 2-7.