STRUKTUR BIAYA DAN PENDAPATAN USAHA TEMPE
ANGGOTA DAN NON ANGGOTA PRIMER KOPERASI
PRODUSEN TEMPE TAHU INDONESIA KOTA BOGOR
(Studi Kasus Kelurahan Kedung Badak,
Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor)
KURNIA SAFITRI
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Struktur Biaya dan Pendapatan Usaha Tempe Anggota dan Non Anggota Primer Koperasi Produsen Tempe Tahun Indonesia Kota Bogor (Studi Kasus Kelurahan Kedung Badak, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Kurnia Safitri
ABSTRAK
KURNIA SAFITRI. Struktur Biaya dan Pendapatan Usaha Tempe Anggota dan Non Anggota Primer Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia Kota Bogor (Studi Kasus Kelurahan Kedung Badak, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor). Dibimbing oleh UJANG SEHABUDIN.
Tempe merupakan pangan bernilai gizi tinggi yang digemari masyarakat Indonesia. Banyaknya usaha tempe di Kota Bogor membuat Primer Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Primkopti) Kota Bogor hadir untuk menghimpun serta membina usaha dan kesejahteraan para pengrajin tempe tahu beserta keluarganya. Tidak seluruh pengrajin di Kelurahan Kedung Badak tergabung menjadi anggota dan penggunaan kedelai yang bervariasi dapat menyebabkan perbedaan struktur biaya, pendapatan, dan titik impas. Tujuan penelitian ini yaitu menganalisis struktur biaya, pendapatan, dan titik impas usaha tempe anggota dan non anggota Primkopti pada tiap skala usaha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komponen biaya terbesar adalah biaya bahan baku utama, yaitu kedelai, baik anggota maupun non anggota pada tiap skala usaha. Total biaya per kg tempe anggota lebih rendah dibanding non anggota. Total biaya per kg tempe terendah terdapat pada usaha tempe skala II. Pendapatan dan rasio R/C atas biaya total per kg tempe anggota lebih tinggi dibanding non anggota. Pendapatan dan rasio R/C atas biaya total per kg tempe tertinggi terdapat pada usaha tempe skala II. Usaha tempe yang paling efisien dari segi biaya dan pendapatan adalah usaha tempe pengrajin anggota pada skala II karena memiliki total biaya per kg tempe terendah yaitu Rp 7 367/hari/kg tempe serta pendapatan dan rasio R/C atas biaya total per kg tempe tertinggi yaitu Rp 1 489/hari/kg tempe dan 1.2. Usaha tempe anggota cenderung memiliki nilai BEP yang lebih rendah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengrajin tempe disarankan untuk lebih meningkatkan peran aktif terhadap koperasi produsen seperti Primkopti Kota Bogor.
ABSTRACT
KURNIA SAFITRI. Cost Structure and Income of Tempe Business for Members and Non Members of Primer Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia Bogor City (Case Study of Kedung Badak, Tanah Sareal Sub-district, Bogor City). Supervised by UJANG SEHABUDIN.
Tempe (soycake) is a food contained of high nutrition that favored by people in Indonesia. Numerous tempe producers in Bogor make Primer Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Primkopti) Kota Bogor comes for business coaching intended to maximize welfare of the producers. Membership is not universal among producers in Kelurahan Kedung Badak and the varying nature of soybean used by each producer affects the cost structure, income, and break-even point of the business. The purpose of this research is to analyze the cost structure, income, and break-even point of tempe business faced by both members and non members of the cooperative across every business scale. The results showed that soybean is the highest of cost components for both members and non members of the cooperative for every business scale. Total cost per kg of tempe faced by members is lower than total cost per kg faced by non members. The lowest total cost per kg is identified in business scale II. Income and R/C ratio of total cost faced by members were found to be higher than those of non members. Highest income and R/C ratio of total cost found in business scale II. Business scale II found to be the most cost-and-income efficient tempe business with lowest cost per kg Rp 7 367/day/kg, income 1 489/day/kg and, R/C ratio of total cost per kg 1.2. There is tendency that cooperative members face shorter BEP too. Result concluded tempe business willing to increase its active role within the cooperative (Primkopti Kota Bogor) will obtain benefit.
STRUKTUR BIAYA DAN PENDAPATAN USAHA TEMPE
ANGGOTA DAN NON ANGGOTA PRIMER KOPERASI
PRODUSEN TEMPE TAHU INDONESIA KOTA BOGOR
(Studi Kasus Kelurahan Kedung Badak,
Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor)
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
KURNIA SAFITRI
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala
atas segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Topik yang dipilih dalam penelitian ini adalah ekonomi usaha dengan judul Struktur Biaya dan Pendapatan Usaha Tempe Anggota dan Non Anggota Primer Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia Kota Bogor (Studi Kasus Kelurahan Kedung Badak, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor).
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan kontribusi serta kerjasama dalam penyusunan skripsi ini terutama kepada:
1. Ayahanda tercinta (H. Saifullah), Ibunda tercinta (Hafifa), Kakak
tersayang (Nurbaity dan Hadana Izzaty), Asmawi, S.H, serta keluarga besar yang telah memberikan kasih sayang, motivasi, dukungan moril maupun materil, serta limpahan doa kepada penulis.
2. Ir. Ujang Sehabudin, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
memberikan arahan, ilmu, dan dukungan dengan penuh kesabaran serta kebaikan yang sangat membantu sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.
3. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, M.A sebagai dosen penguji utama dan
Osmaleli, S.E, M.Si sebagai dosen penguji perwakilan departemen yang telah memberikan ilmu, saran, dan masukan dalam perbaikan skripsi ini.
4. Dr. Meti Ekayani, S.Hut, M.Sc selaku dosen pembimbing akademik.
5. Seluruh dosen dan staff Departemen Ekonomi Sumberdaya dan
Lingkungan (ESL) atas dukungan selama masa studi.
6. Kepala dan Sekretaris Primkopti Kota Bogor, Kepala dan Sekretaris
Kelurahan Kedung Badak, serta seluruh responden pengrajin tempe di Kelurahan Kedung Badak yang telah memberikan data dan informasi yang dibutuhkan penulis dalam penulisan skripsi ini.
7. Seluruh rekan ESL 48 atas kerjasama, bantuan, semangat, dan motivasi
yang telah diberikan kepada penulis.
8. Saktyo Toerhutomo atas segala doa, dukungan, semangat, kritik, saran,
dan lainnya selama menjalani proses pembuatan skripsi hingga selesai.
9. Sahabat (Sahabat SMA, Widya, Fara, Sintya, Arizca, Astari, Rani, Vyatra,
Deanty, Susilo, Nindya, Fuji, dan Ricka) serta teman satu bimbingan (Deni, Dyah, Inggit, Novia, Sara, Eka, Adilla, Agustin, Sri, dan Rendy) atas dukungan, bantuan, dan semangat yang diberikan kepada penulis.
10. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini yang
tidak dapat disebutkan satu per satu.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Bogor, Agustus 2015
DAFTAR ISI
1.5. Ruang Lingkup Penelitian ... 9
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 11
2.1. Karakteristik Kedelai dan Tempe ... 11
2.2. Usaha Pembuatan Tempe ... 13
2.3. Struktur Biaya dan Pendapatan Usaha Pembuatan Tempe ... 15
2.4. Primer Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Primkopti) ... 15
2.5. Penelitian Terdahulu ... 17
III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 23
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis ... 23
3.1.1. Analisis Struktur Biaya Usaha ... 23
3.1.2. Analisis Pendapatan Usaha... 25
3.1.3. Analisis Titik Impas (Break Even Point) Usaha ... 26
3.2. Kerangka Pemikiran Operasional ... 28
IV. METODE PENELITIAN ... 31
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 31
4.2. Jenis dan Sumber Data ... 31
4.3. Metode Pengambilan Sampel... 32
4.4. Analisis Data ... 33
4.4.1. Analisis Struktur Biaya ... 34
4.4.2. Analisis Pendapatan ... 35
4.4.3. Analisis Rasio R/C ... 36
4.4.4. Analisis Titik Impas (Break Even Point) ... 37
4.4.5. Uji Beda Total Biaya, Pendapatan, Rasio R/C, dan BEP Berdasarkan Keanggotaan ... 38
4.4.6. Uji Beda Total Biaya, Pendapatan, Rasio R/C, dan BEP Berdasarkan Skala Usaha ... 39
4.5. Definisi Operasional ... 40
V. GAMBARAN UMUM PENELITIAN ... 41
5.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 41
5.1.1. Sumberdaya Alam ... 41
5.1.2. Sumberdaya Manusia ... 41
5.2. Gambaran Umum Responden ... 42
5.2.2. Karakteristik Usaha Tempe Berdasarkan Keanggotaan Pengrajin Tempe Terhadap Primkopti Kota Bogor dan
Skala Usaha ... 46
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 55
6.1. Analisis Struktur Biaya Usaha Tempe... 55
6.1.1. Analisis Struktur Biaya Berdasarkan Keanggotaan Primkopti dan Skala Usaha ... 57
6.1.2. Uji Beda Terhadap Struktur Biaya Usaha Tempe Berdasarkan Keanggotaan Primkopti dan Skala Usaha ... 61
6.2. Analisis Pendapatan Usaha Tempe ... 63
6.2.1. Analisis Pendapatan Berdasarkan Keanggotaan Primkopti dan Skala Usaha ... 64
6.2.2. Uji Beda Terhadap Pendapatan dan Rasio R/C Usaha Tempe Berdasarkan Keanggotaan Primkopti dan Skala Usaha ... 67
6.3. Analisis Titik Impas (Break Even Point, BEP) Usaha Tempe ... 71
6.3.1. Analisis Titik Impas (Break Even Point, BEP) Berdasarkan Keanggotaan Primkopti dan Skala Usaha ... 71
6.3.2. Uji Beda Terhadap Titik Impas (BEP) Usaha Tempe Berdasarkan Keanggotaan Primkopti dan Skala Usaha ... 72
VII. SIMPULAN DAN SARAN ... 77
7.1. Simpulan ... 77
7.2. Saran ... 78
DAFTAR PUSTAKA ... 79
LAMPIRAN ... 81
DAFTAR TABEL
No. Halaman
1.1 Perkembangan Penyediaan dan Penggunaan Kedelai di Indonesia Tahun
20102013 ... 2
1.2 Perkembangan Konsumsi Bahan Makanan Berbahan Baku Kedelai di
Rumah Tangga di Indonesia Tahun 20022013 (Kg/Kapita/Tahun) ... 3
1.3 Jumlah Pengrajin Tempe dan Tahu Anggota dan Non Anggota Primkopti Kota Bogor per Desember 2014 ... 5 2.1 Komposisi Zat Gizi Kedelai dan Tempe dalam 100 gram Bahan Kering ... 12 2.2 Penelitian Terdahulu ... 19 4.1 Pembagian Tiga Skala Usaha Tempe dan Jumlah Sampel yang Diambil
Untuk Pengrajin Anggota dan Non Anggota Pada Masing-Masing Skala Usaha ... 32 4.2 Matriks Metode Analisis Data ... 33 4.3 Metode Perhitungan Struktur Biaya Berdasarkan Biaya Tetap dan Biaya
Variabel (Rp/Hari/Kg Tempe) ... 34 4.4 Metode Perhitungan Struktur Biaya Biaya Berdasarkan Biaya Tunai dan
Biaya Tidak Tunai (Rp/Hari/Kg Tempe) ... 35 4.5 Metode Perhitungan Pendapatan dan Rasio R/C Harian Usaha Tempe ... 37 5.1 Jumlah Penduduk Kelurahan Kedung Badak Menurut Kelompok Usia
Tahun 2015 ... 42 5.2 Karakteristik Umum Responden Pengrajin Tempe Berdasarkan
Keanggotaan Primkopti dan Skala Usaha di Kelurahan Kedung Badak Tahun 2015 ... 43 5.3 Rata-Rata Penggunaan Input Produksi Usaha Tempe Berdasarkan
Keanggotaan Primkopti dan Skala Usaha di Kelurahan Kedung Badak Tahun 2015 (Jumlah/Satuan/Hari) ... 49 5.4 Rata-Rata Berat dan Jumlah Kemasan Tempe yang Dihasilkan Pada
Usaha Tempe di Kelurahan Kedung Badak Tahun 2015 (Per Hari) ... 52 5.5 Rata-Rata Input Kedelai, Produksi Tempe, dan Produktivitas Berdasarkan
Keanggotaan Primkopti dan Skala Usaha di Kelurahan Kedung Badak Tahun 2015 ... 53 6.1 Rincian Biaya Pada Usaha Tempe di Kelurahan Kedung Badak Tahun
2015 ... 55 6.2 Struktur Biaya Usaha Tempe Berdasarkan Keanggotaan Primkopti dan
Skala Usaha di Kelurahan Kedung Badak Tahun 2015 (Rp/Hari) ... 58 6.3 Struktur Biaya Usaha Tempe per Unit Output Berdasarkan Keanggotaan
xv
6.4 Hasil Uji Beda Total Biaya Usaha Tempe per Kg Output Menurut Keanggotaan Pengrajin di Kelurahan Kedung Badak Tahun 2015 ... 61 6.5 Hasil Uji Beda Total Biaya Usaha Tempe per Kg Output Menurut Skala
Usaha di Kelurahan Kedung Badak Tahun 2015 ... 62 6.6 Rata-Rata Pendapatan dan Rasio R/C Usaha Tempe Berdasarkan
Keanggotaan Primkopti dan Skala Usaha di Kelurahan Kedung Badak Tahun 2015 ... 65 6.7 Hasil Uji Beda Pendapatan dan Rasio R/C Usaha Tempe per Kg Output
Menurut Keanggotaan Pengrajin di Kelurahan Kedung Badak Tahun 2015 ... 68 6.8 Hasil Uji Beda Pendapatan Atas Biaya Total Usaha Tempe per Kg
Output Menurut Skala Usaha di Kelurahan Kedung Badak Tahun 2015 ... 69 6.9 Hasil Uji Beda Rasio R/C Atas Biaya Total Usaha Tempe per Kg Output
Menurut Skala Usaha di Kelurahan Kedung Badak Tahun 2015 ... 70 6.10 Nilai Titik Impas Rata-Rata Usaha Tempe Berdasarkan Keanggotaan
Primkopti dan Skala Usaha di Kelurahan Kedung Badak Tahun 2015 ... 72 6.11 Hasil Uji Beda Titik Impas (BEP) Usaha Tempe Menurut Keanggotaan
Pengrajin di Kelurahan Kedung Badak Tahun 2015 ... 73 6.12 Hasil Uji Beda BEP Unit Usaha Tempe per Kg Output Menurut Skala
Usaha di Kelurahan Kedung Badak Tahun 2015 ... 74 6.13 Hasil Uji Beda BEP Rupiah Usaha Tempe per Kg Output Menurut Skala
Usaha di Kelurahan Kedung Badak Tahun 2015 ... 75
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
3.1 Kurva Titik Impas (BEP) ... 27 3.2 Skema Kerangka Pemikiran Operasional ... 30
DAFTAR LAMPIRAN
No. Halaman
1 Kuesioner Penelitian ... 83
2 Komponen Biaya Penyusutan Usaha Tempe di Kelurahan Kedung
Badak Tahun 2015 (Rp/Hari/Orang) ... 89
3 Komponen Biaya Tetap Usaha Tempe di Kelurahan Kedung Badak
Tahun 2015 ... 93
4 Komponen Biaya Variabel Usaha Tempe di Kelurahan Kedung Badak
xvi
5 Biaya Tunai dan Biaya Tidak Tunai Usaha Tempe di Kelurahan
Kedung Badak Tahun 2015 ... 101
6 Komponen Penerimaan dari Penjualan Tempe di Kelurahan Kedung
Badak Tahun 2015 ... 105
7 Hasil Uji Beda Total Biaya Usaha Tempe per Kg Output Menurut
Keanggotaan Pengrajin di Kelurahan Kedung Badak Tahun 2015 ... 109
8 Hasil Uji Beda Total Biaya per Kg Output Menurut Skala Usaha pada
Usaha Tempe Anggota di Kelurahan Kedung Badak Tahun 2015 ... 109
9 Hasil Uji Beda Total Biaya per Kg Output Menurut Skala Usaha pada
Usaha Tempe Non Anggota di Kelurahan Kedung Badak Tahun 2015 .... 110
10 Hasil Uji Beda Total Biaya Usaha Tempe per Kg Output Menurut Skala
Usaha di Kelurahan Kedung Badak Tahun 2015 ... 111
11 Hasil Uji Beda Pendapatan Atas Biaya Total Usaha Tempe per Kg
Output Menurut Keanggotaan Pengrajin di Kelurahan Kedung Badak Tahun 2015 ... 112
12 Hasil Uji Beda Rasio R/C Atas Biaya Total Usaha Tempe per Kg
Output Menurut Keanggotaan Pengrajin di Kelurahan Kedung Badak Tahun 2015 ... 113
13 Hasil Uji Beda Pendapatan Atas Biaya Total per Kg Output Menurut
Skala Usaha pada Usaha Tempe Anggota di Kelurahan Kedung Badak Tahun 2015 ... 113
14 Hasil Uji Beda Pendapatan Atas Biaya Total per Kg Output Menurut
Skala Usaha pada Usaha Tempe Non Anggota di Kelurahan Kedung Badak Tahun 2015 ... 114
15 Hasil Uji Beda Pendapatan Atas Biaya Total Usaha Tempe per Kg
Output Menurut Skala Usaha di Kelurahan Kedung Badak Tahun 2015 .. 115
16 Hasil Uji Beda Rasio R/C Atas Biaya Total per Kg Output Menurut
Skala Usaha pada Usaha Tempe Anggota di Kelurahan Kedung Badak Tahun 2015 ... 116
17 Hasil Uji Beda Rasio R/C Atas Biaya Total per Kg Output Menurut
Skala Usaha pada Usaha Tempe Non Anggota di Kelurahan Kedung Badak Tahun 2015 ... 117
18 Hasil Uji Beda Rasio R/C Atas Biaya Total Usaha Tempe per Kg
Output Menurut Skala Usaha di Kelurahan Kedung Badak Tahun 2015 .. 118
19 Hasil Uji Beda BEP Unit Usaha Tempe per Kg Output Menurut
Keanggotaan Pengrajin di Kelurahan Kedung Badak Tahun 2015 ... 119
20 Hasil Uji Beda BEP Rupiah Usaha Tempe per Kg Output Menurut
Keanggotaan Pengrajin di Kelurahan Kedung Badak Tahun 2015 ... 120
21 Hasil Uji Beda BEP Unit Menurut Skala Usaha pada Usaha Tempe
xvii
22 Hasil Uji Beda BEP Unit Menurut Skala Usaha pada Usaha Tempe Non
Anggota di Kelurahan Kedung Badak Tahun 2015 ... 121
23 Hasil Uji Beda BEP Unit Usaha Tempe Menurut Skala Usaha di
Kelurahan Kedung Badak Tahun 2015 ... 122
24 Hasil Uji Beda BEP Rupiah Menurut Skala Usaha pada Usaha Tempe
Anggota di Kelurahan Kedung Badak Tahun 2015 ... 123
25 Hasil Uji Beda BEP Rupiah Menurut Skala Usaha pada Usaha Tempe
Non Anggota di Kelurahan Kedung Badak Tahun 2015 ... 124
26 Hasil Uji Beda BEP Rupiah Usaha Tempe Menurut Skala Usaha di
Kelurahan Kedung Badak Tahun 2015 ... 125
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pertanian memiliki peran yang sangat penting guna menunjang
peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam pembangunan berkelanjutan.
Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang menghasilkan bahan pangan
yang memiliki kandungan gizi yang tinggi. Ketersediaan pangan yang cukup dan
bernilai gizi tinggi sangat diperlukan dalam menunjang kesehatan bagi
masyarakat sebagai aktor pembangunan.
Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, pangan
adalah segala sesuatu yang diperuntukkan bagi konsumsi manusia yang berasal
dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan,
peternakan, perairan, dan air. Pangan juga meliputi bahan tambahan pangan,
bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan,
pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman. Salah satu subsektor
pertanian yang menghasilkan pangan bergizi tinggi adalah subsektor tanaman
pangan. Tanaman pangan merupakan produk pertanian yang strategis dalam memenuhi kebutuhan hidup masyarakat Indonesia. Komoditas yang termasuk ke
dalam tanaman pangan adalah padi, jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau,
ubi kayu, dan ubi jalar.
Kedelai merupakan komoditas pertanian strategis dalam tanaman pangan
selain padi dan jagung. Kedelai juga merupakan sumber protein nabati yang
banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia. Selain sebagai bahan makanan untuk
dikonsumsi, Kementerian Pertanian menggolongkan penggunaan kedelai untuk
pakan, bibit, diolah untuk bukan makanan, dan tercecer. Penyediaan kedelai
belum dipenuhi seluruhnya dari produksi dalam negeri sehingga impor kedelai
masih diperlukan karena tingginya penggunaan dari pada produksi. Data
penyediaan dan penggunaan kedelai dapat dilihat pada Tabel 1.1.
Penyediaan kedelai diperoleh dari produksi kedelai dalam negeri ditambah
impor, dikurangi ekspor, dan dikurangi perubahan stok. Impor memiliki proporsi
2
Tabel 1.1 Perkembangan penyediaan dan penggunaan kedelai di Indonesia tahun
20102013
No. Uraian Tahun
2010 2011 2012 2013*)
A. Penyediaan (000 ton) 2 652 2 944 2 764 1 887
1. Produksi
i. Masukan - - - -
ii. Keluaran 907 851 843 780
2. Impor 1 745 2 093 1 923 1 108
3. Ekspor 0.4 1 2 1
4. Perubahan Stok - - - -
B. Penggunaan (000 ton) 2 652 2 944 2 764 1 887
1. Pakan 9 10 9 6
2. Bibit 39 36 34 23
3. Diolah untuk:
i. Makanan - - - -
ii. Bukan Makanan 113 111 141 100
4. Tercecer 133 147 138 94
5. Bahan Makanan 2 358 2 640 2 442 1 663
Keterangan: *) Angka Sementara Sumber: Kementerian Pertanian, 2014
Berdasarkan Tabel 1.1, pada tahun 20102013 rata-rata lebih dari 65
persen total penyediaan kedelai dipenuhi dari impor. Pada tahun 2010, total
penyediaan kedelai mencapai 2 652 ribu ton dan berfluktuasi namun cenderung
menurun hingga menjadi 1 887 ribu ton pada tahun 2013 atau turun sebesar 6.71
persen. Meskipun penyediaan kedelai cenderung menurun namun proporsi impor
tetap tinggi dalam penyediaan tersebut menunjukkan tingginya penggunaan
kedelai.
Penggunaan kedelai untuk pakan, yang tercecer, bibit, dan yang terserap
ke industri bukan makanan dari tahun ke tahun dalam kuantitas yang relatif kecil,
sehingga kuantitas yang cukup besar digunakan untuk bahan makanan dari tahun
20102013. Penggunaan kedelai untuk bahan makanan secara rata-rata lebih dari
88 persen. Tingginya impor kedelai disebabkan kapasitas produksi nasional yang
belum mencukupi dan tingginya konsumsi produk industri rumahan olahan
kedelai seperti tahu dan/atau tempe.
Terdapat berbagai macam olahan kedelai seperti tauco, oncom, dan kecap
selain tempe dan tahu. Perkembangan konsumsi bahan makanan berbahan baku
kedelai di rumah tangga di Indonesia tahun 20022013 dapat dilihat pada Tabel
3
Tabel 1.2 Perkembangan konsumsi bahan makanan berbahan baku kedelai di
rumah tangga di Indonesia tahun 20022013 (kg/kapita/tahun)
Tahun Kedelai Segar Tahu Tempe Tauco Oncom Kecap
2002 0.1043 7.7171 8.2907 0.0365 0.1043 0.6059
2003 0.0521 7.4564 8.2386 0.0365 0.0782 0.5694
2004 0.0521 6.7264 7.3000 0.0365 0.0730 0.5694
2005 0.0521 6.8829 7.5607 0.0469 0.1095 0.6643
2006 0.0521 7.1957 8.7079 0.0469 0.0834 0.7008
2007 0.1043 8.4993 7.9779 0.0313 0.1095 0.6789
2008 0.0521 7.1436 7.2479 0.0209 0.1043 0.6497
2009 0.0521 7.0393 7.0393 0.0209 0.0626 0.6205
2010 0.0521 6.9871 6.9350 0.0209 0.0469 0.6643
2011 0.0521 7.4043 7.3000 0.0313 0.0730 0.6716
2012 0.0521 6.9871 7.0914 0.0261 0.0626 0.5694
2013 0.0521 7.0393 7.0914 0.0261 0.0574 0.6205
Rata-Rata 0.0608 7.2565 7.5651 0.0322 0.0804 0.6321 Sumber: Kementerian Pertanian, 2014
Berdasarkan Tabel 1.2, besarnya konsumsi kedelai segar di rumah tangga
di Indonesia selama tahun 20022013 sangat rendah dan relatif stabil, yaitu
rata-rata sebesar 0.06 kg/kapita/tahun. Tempe dan tahu adalah olahan utama dari
kedelai. Besarnya konsumsi tempe dan tahu ini jauh berada di atas konsumsi
kedelai segar pada periode yang sama. Tahun 20022013 rata-rata konsumsi
tempe sebesar 7.57 kg/kapita/tahun lebih tinggi dibanding rata-rata konsumsi tahu
sebesar 7.26 kg/kapita/tahun. Konsumsi per kapita tauco, oncom, dan kecap jauh
berada di bawah konsumsi tempe dan tahu. Selama periode tahun 2002–2013,
rata-rata konsumsi tauco sebesar 0.032 kg/kapita/tahun, oncom sebesar 0.08
kg/kapita/tahun, dan kecap sebesar 0.63 kg/kapita/tahun.
Tempe adalah produk kedelai yang paling dikenal oleh masyarakat.
Indonesia merupakan negara produsen tempe terbesar di dunia dan menjadi pasar
kedelai terbesar di Asia. Sebanyak 50 persen konsumsi kedelai Indonesia dalam
bentuk tempe, 40 persen dalam bentuk tahu, dan 10 persen dalam bentuk produk
lain (tauco, kecap, dll.) (Kementerian Pertanian, 2013). Tingginya konsumsi
tempe tersebut menunjukkan bahwa banyak terdapat usaha pembuatan tempe di
Indonesia.
Usaha pembuatan tempe di Indonesia mencapai sekitar 81 000 usaha yang
memproduksi 2.4 juta ton tempe per tahun pada tahun 2012. Usaha pembuatan
tempe ini menghasilkan sekitar Rp 37 Triliun nilai tambah. Usaha pembuatan
4
Nasional, 2012). Umumnya usaha pembuatan tempe di Indonesia dalam skala
usaha rumah tangga, yaitu sebagai pengrajin tempe. Pengrajin tempe tersebar di
seluruh kota di Indonesia.
Primer Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia atau yang disingkat
dengan nama Primkopti merupakan koperasi yang menghimpun dan membina
usaha dan kesejahteraan para pengrajin tempe tahu beserta keluarganya.
Tingginya konsumsi tempe tahu menjadi menu makanan sehari-hari seluruh
lapisan masyarakat, khususnya tempe, maka usaha pembuatan tempe pun
merambah dengan jumlah yang cukup banyak tersebar di pelosok kota dan
pedesaan.
Kota Bogor merupakan salah satu kota yang cukup banyak memiliki
pengrajin tempe pada rumah tangga. Oleh karena itu, di Kota Bogor juga terdapat
Primkopti Kota Bogor yang mewadahi para pengrajin tempe tahu di Kota Bogor.
Data yang dimiliki Primkopti Kota Bogor hingga Desember 2014 jumlah
pengrajin tempe dan tahu di Kota Bogor berjumlah 455 pengrajin. Dari total
pengrajin tersebut, sebanyak 409 pengrajin (89.89 persen) merupakan pengrajin
tempe dan sisanya sebanyak 46 pengrajin (10.11 persen) merupakan pengrajin
tahu. Di Kota Bogor pengrajin tempe lebih banyak dibanding pengrajin tahu. Hal
tersebut dikarenakan usaha pembuatan tahu membutuhkan modal yang lebih besar
dan di Kota Bogor tidak terdapat lahan yang cukup untuk mengelola limbah dari
pembuatan tahu.
Tidak semua pengrajin tempe tergabung menjadi anggota Primkopti Kota
Bogor. Sebagian besar pengrajin tempe masih belum tergabung menjadi anggota
Primkopti. Sebagian pengrajin tempe masih merupakan non anggota Primkopti
Kota Bogor, padahal peran dari Primkopti Kota Bogor ini adalah untuk
menyejahterakan pengrajin tempe dan tahu beserta keluarganya di Kota Bogor.
Jumlah pengrajin tempe yang cukup banyak di Kota Bogor, maka
kebutuhan akan kedelai untuk menghasilkan tempe pun tinggi. Para pengrajin
harus membeli kedelai dari toko di pasar bebas dengan harga yang tidak
terkendali. Oleh karena itu, Primkopti khususnya Primkopti Kota Bogor
menyediakan kedelai dengan harga yang terkendali. Primkopti Kota Bogor seperti
5
Usaha (SHU) yang dapat dinikmati oleh para pengrajin yang dapat memengaruhi
biaya dan pendapatan serta kesejahteraan para pengrajin. Besarnya jumlah
pengrajin tempe dan tahu anggota dan non anggota Primkopti Kota Bogor dapat
dilihat pada Tabel 1.3.
Tabel 1.3 Jumlah pengrajin tempe dan tahu anggota dan non anggota Primkopti Kota Bogor per Desember 2014
Pengrajin Tempe Share (%) Tahu Share (%) Total Share (%)
Anggota 90 22 40 86.96 130 28.57
Non Anggota 319 78 6 13.04 325 71.43
Total 409 100 46 100 455 100
Sumber: Primkopti Kota Bogor, 20151
Berdasarkan Tabel 1.3, jumlah pengrajin non anggota Primkopti Kota
Bogor, yaitu sebanyak 325 pengrajin (71.43 persen) dibandingkan dengan
pengrajin anggota, yaitu sebanyak 130 pengrajin (28.57 persen). Jumlah pengrajin
tempe anggota Primkopti Kota Bogor sebanyak 90 pengrajin (22 persen) dan
mayoritas sebagai pengrajin non anggota sebanyak 319 pengrajin (78 persen).
Sementara untuk tahu, jumlah pengrajin anggota Primkopti lebih banyak
dibanding pengrajin non anggota, yaitu sebanyak 40 pengrajin (86.96 persen) dan
6 pengrajin (13.04 persen).
Jumlah pengrajin tempe di Kota Bogor tersebar di seluruh kecamatan dan
kelurahan. Jumlah pengrajin tempe cukup banyak terdapat di Kecamatan Tanah
Sareal, maka terbentuk suatu kelompok pengrajin tempe yang dibentuk sebagai
sarana untuk meningkatkan rasa kekeluargaan antar sesama pengrajin. Kelompok
tersebut bernama Paguyuban Pengrajin Tempe Kota Bogor yang terdiri dari para
pengrajin yang terdapat di Kecamatan Tanah Sareal dan paling banyak adalah
pengrajin tempe di Kelurahan Kedung Badak. Menurut data dari Paguyuban
Pengrajin Tempe Kota Bogor tahun 2015, jumlah pengrajin tempe hingga saat ini
paling banyak berada di Kelurahan Kedung Badak yaitu berjumlah 127 pengrajin
tempe (31.05 persen) dibanding Kelurahan Tegal Lega 46 pengrajin tempe (11.25
persen), Kelurahan Cilendek Barat 33 pengrajin tempe (8.07 persen), Kelurahan
Mulya Harja 28 pengrajin tempe (6.85 persen), dan Kelurahan Kebon Pedes 26
pengrajin tempe (6.36 persen).
1
6
Kelurahan Kedung Badak merupakan salah satu dari 68 kelurahan yang
terdapat di Kota Bogor. Pengrajin tempe di Kelurahan Kedung Badak yang
berjumlah 127 pengrajin tersebut menunjukkan bahwa dalam satu dari kelurahan
saja, yaitu Kelurahan Kedung Badak, sudah mencakup 31.05 persen dari total
pengrajin tempe di Kota Bogor tersebar di 6 kecamatan dan 68 kelurahan. Potensi
inilah yang mendorong peneliti untuk meneliti usaha tempe di Kelurahan Kedung
Badak karena dianggap mewakili keragaan usaha tempe yang ada di Kota Bogor.
Adanya perbedaan karakteristik pengrajin usaha tempe berdasarkan status
keanggotaan Primkopti Kota Bogor dan bervariasinya penggunaan kedelai per
hari antar pengrajin di Kelurahan Kedung Badak yang dapat menimbulkan
perbedaan struktur biaya dan pendapatan usaha tempe, maka perlu dilakukan
penelitian mengenai struktur biaya dan pendapatan usaha tempe anggota dan non
anggota Primkopti Kota Bogor di Kelurahan Kedung Badak.
1.2. Perumusan Masalah
Tempe menjadi makanan sehari-hari untuk semua kalangan masyarakat
Indonesia karena mengandung sumber utama protein nabati, sehingga keberadaan
usaha pembuatan tempe tersebar di seluruh kota dan pedesaan. Usaha pembuatan
tempe umumnya dilakukan oleh perorangan rumah tangga, yang disebut sebagai
pengrajin tempe. Oleh karena banyaknya pengrajin tempe di Kota Bogor,
Primkopti juga hadir di Kota Bogor dengan tujuan menjadi wadah untuk
menghimpun dan membina usaha dan kesejahteraan para pengrajin tempe tahu
beserta keluarganya.
Kelembagaan seperti koperasi memiliki peran yang penting dalam
pengembangan usaha rumah tangga yang dijalani. Peran tersebut yaitu
menjembatani akses pelaku usaha terhadap pembiayaan, bantuan teknis, dan
pasar. Keberadaan Primkopti Kota Bogor ini belum dimanfaatkan oleh para
pengrajin tempe sepenuhnya. Masih banyak pengrajin tempe yang belum
tergabung menjadi anggota Primkopti Kota Bogor. Penyebab masih banyaknya
pengrajin tempe yang belum tergabung sebagai anggota Primkopti Kota Bogor
7
Para pengrajin anggota mendapatkan bahan baku utama pembuatan tempe
yaitu kedelai dari Primkopti Kota Bogor. Selain itu, para pengrajin tempe anggota
juga dapat melakukan simpan pinjam di Primkopti Kota Bogor. Mereka dapat
melakukan simpanan yang dapat diambil ketika membutuhkannya atau untuk
tambahan biaya produksi dan mendapat SHU setiap tahun yang juga dapat
digunakan untuk menambah biaya produksi dan menambah pendapatan. Selain
simpanan mereka juga dapat melakukan pinjaman dengan bunga yang tidak
terlalu tinggi dan masih bersahabat dengan para pengrajin tempe. Jika terdapat
subsidi kedelai dari pemerintah melalui Primkopti, maka pengrajin tempe anggota
dapat memperoleh pendapatan yang lebih besar lagi. Sementara para pengrajin
non anggota masih belum memanfaatkan fasilitas Primkopti Kota Bogor masih
mencari sendiri kedelai di pasar bebas, sehingga tidak se-mudah dan se-murah
para pengrajin anggota dalam mendapatkan kedelai. Tidak sedikit para pengrajin
non anggota terjerat utang piutang dengan lembaga keuangan non formal seperti
rentenir dengan bunga pengembalian yang tinggi, sehingga dapat menghasilkan
biaya produksi yang tinggi.
Perbedaan pengrajin anggota dan non anggota Primkopti Kota Bogor
tersebut dapat menimbulkan perbedaan struktur biaya produksi, sehingga dapat
menimbulkan perbedaan juga pada pendapatan yang diterima dan titik impas
(BEP) atau minimal yang harus diproduksi atau dijual dari usaha pembuatan
tempe yang dijalani. Oleh karena itu, diperlukan penelitian yang mengkaji struktur
biaya, pendapatan, dan bagaimana titik impas (BEP) dari usaha tempe anggota
dan non anggota Primkopti Kota Bogor yang dibedakan berdasarkan skala usaha
yang dilihat dari jumlah kebutuhan kedelai per hari. Hal tersebut dikarenakan
skala usaha yang berbeda juga akan mengakibatkan struktur biaya, pendapatan,
dan titik impas (BEP) yang berbeda-beda. Nantinya dapat ditentukan mana skala
usaha tempe anggota dan non anggota Primkopti Kota Bogor yang efisien
sehingga dapat dijadikan masukkan saran untuk dapat meningkatkan pendapatan.
Skala usaha tempe yang efisien dilihat dari nilai rasio R/C yang terbesar.
Tipe usaha pada setiap skala usaha dan pada setiap lokasi tertentu berbeda
satu sama lain. Terdapat perbedaan dalam karakteristik yang dimiliki oleh usaha
8
yang besar, teknologi tinggi, dan bersifat komersial, sementara usaha skala kecil
umumnya memiliki modal kecil, teknologi tradisional, serta bersifat usaha
sederhana, subsisten, dan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sendiri dalam
kehidupan sehari-hari.
Pengkajian mengenai struktur biaya, pendapatan, dan titik impas (BEP) ini
dapat dilakukan pada usaha tempe anggota dan non anggota Primkopti Kota
Bogor yang terdapat di Kelurahan Kedung Badak Kecamatan Tanah Sareal Kota
Bogor. Pasalnya, Kelurahan Kedung Badak Kecamatan Tanah Sareal merupakan
kelurahan yang terdapat pengrajin tempe yang cukup banyak di Kota Bogor.
Berdasarkan perumusan masalah yang telah diuraikan, maka pertanyaan
penelitian dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Bagaimana struktur biaya usaha tempe anggota dan non anggota Primkopti
Kota Bogor di Kelurahan Kedung Badak menurut masing-masing skala
usaha?
2. Bagaimana pendapatan usaha tempe anggota dan non anggota Primkopti
Kota Bogor di Kelurahan Kedung Badak menurut masing-masing skala
usaha?
3. Bagaimana titik impas (break even point) usaha tempe anggota dan non
anggota Primkopti Kota Bogor di Kelurahan Kedung Badak menurut
masing-masing skala usaha?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan,
maka tujuan penelitian ini sebagai berikut:
1. Menganalisis struktur biaya usaha tempe anggota dan non anggota
Primkopti Kota Bogor di Kelurahan Kedung Badak menurut
masing-masing skala usaha.
2. Menganalisis pendapatan usaha tempe anggota dan non anggota Primkopti
Kota Bogor di Kelurahan Kedung Badak menurut masing-masing skala
9
3. Menganalisis titik impas (break even point) usaha tempe anggota dan non
anggota Primkopti Kota Bogor di Kelurahan Kedung Badak menurut
masing-masing skala usaha.
1.4. Manfaat Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang ada, penelitian ini diharapkan dapat
menjawab, memberikan informasi, dan memberikan manfaat bagi pihak-pihak
yang terkait, antara lain:
1. Bagi pengrajin tempe anggota maupun non anggota Primkopti Kota Bogor
sebagai informasi apakah usaha ini mampu memberikan pendapatan besar
terkait skala usaha yang dijalankan serta sebagai masukan agar dapat
menentukan pemilihan skala usaha mana yang lebih menguntungkan.
2. Bagi masyarakat yang ingin mendirikan usaha pembuatan tempe sebagai
informasi bagaimana usaha sebaiknya usaha tempe yang akan dijalankan
agar efisien dan menguntungkan.
3. Bagi pemerintah setempat sebagai bahan masukan dalam penetapan
kebijakan untuk pengembangan usaha tempe anggota dan non anggota
Primkopti Kota Bogor agar usaha rumah tangga ini dapat bertahan dan
meningkatkan pendapatan serta kesejahteraan hidupnya.
4. Bagi peneliti sebagai penerarapan ilmu dan teori yang telah didapat selama
masa perkuliahan dan dapat diterapkan dalam permasalahan yang terjadi di
masyarakat serta dapat memberikan alternatif pemecahannya.
5. Bagi peneliti selanjutnya sebagai bahan rujukan untuk penelitian
selanjutnya.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini meliputi:
1. Analisis struktur biaya dan pendapatan usaha tempe dilakukan pada
periode produksi terakhir yang dilakukan pengrajin tempe anggota dan
non anggota Primkopti Kota Bogor di Kelurahan Kedung Badak,
10
2. Skala usaha tempe dibagi berdasarkan jumlah kebutuhan kedelai per
proses produksi yang dilakukan setiap hari oleh pengrajin karena mampu
mencerminkan produksi, produktivitas, biaya produksi, pendapatan, dan
titik impas (BEP) dari usaha pembuatan tempe yang dijalankan.
3. Struktur biaya yang dikaji meliputi biaya tetap dan biaya variabel serta
biaya tunai dan tidak tunai. Pendapatan usaha tempe dalam penelitian ini
menggunakan biaya tunai dan tidak tunai, serta titik impas (BEP)
11
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Karakteristik Kedelai dan Tempe
Sejak zaman Kerajaan Demak beberapa pedagang Cina melakukan
perdagangan di pesisir Pulau Jawa dan meminta kepada para petani setempat
untuk menanam dan mengusahakan kedelai di sawah dan ladang mereka. Sejak itu
kedelai menjadi tanaman pangan yang cukup populer di Indonesia. Oleh orang
Belanda, kedelai banyak dibawa ke negerinya dan diberi nama latin Cadelium.
Oleh para taksonomis lainnya, kedelai diberi nama Soja max, Glycine max, dan
Glycine soja (Cahyadi, 2007). Dunia internasional lebih mengenal soy atau
soybean atau soya.Kedelai termasuk ke dalam kingdom Plantae, divisi
Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, ordo Fabales, famili Fabaceae, genus
Glycine, dan spesies Glycine max (L) Merill (Warisno dan Dahana, 2010).
Kedelai merupakan sumber protein nabati yang efisien, yaitu diperlukan
kedelai dalam jumlah yang kecil untuk memperoleh jumlah protein yang cukup.
Nilai protein kedelai jika difermentasi dan dimasak akan memiliki mutu yang
lebih baik dari jenis kacang-kacangan lain (Cahyadi, 2007). Kedelai memiliki
kadar protein yang tinggi, yaitu rata-rata 35 persen atau 4044 persen pada
varietas unggul, lemak sekitar 1820 persen, 85 persen di antaranya merupakan
asam lemak tidak jenuh yang baik untuk kesehatan, vitamin (terutama vitamin A,
B kompleks, dan E), serta mineral (kasium, fosfor, dan zat besi) (Astawan, 2009).
Warisno dan Dahana (2010) mengelompokkan manfaat kedelai menjadi
tiga aspek, Aspek ekonomi yaitu dapat menghasilkan pendapatan dari proses budi
daya hingga pengolahan kedelai. Aspek lingkungan dan argoekosistem yaitu
tanaman kedelai dapat meningkatkan kesuburan tanah dengan cara bersimbiosis
dengan bakteri pengikat nitrogen di dalam tanah. Gizi yang terkandung dalam
kedelai sangat tinggi, terutama protein, karbohidrat, dan lemak, sehingga dalam
aspek gizi dan kesehatan memiliki manfaat dalam menyediakan energi bagi tubuh,
menurunkan kolesterol jahat, mencegah penyakit jantung koroner, obesitas, darah
tinggi, serta penyakit kanker. Selain kaya akan kandungan gizi yang bermanfaat
bagi tubuh, kedelai juga mengandung senyawa pengganggu dan senyawa antigizi,
12
mengolah kedelai melalui pemanasan atau fermentasi. Pengolahan kedelai dengan
proses fermentasi di antaranya tempe, kecap, dan tauco.
Tempe merupakan salah satu olahan kedelai yang paling banyak diminati
oleh masyarakat. Selain rasanya enak dan harganya lebih murah dari sumber
protein asal hewani (daging, susu, dan telur), kandungan gizinya juga tinggi.
Kandungan gizi tempe lebih baik dibandingkan dengan kedelai. Hal tersebut
dikarenakan proses fermentasi dengan ragi atau kapang golongan Rhizopus yang
menyebabkan gizi dalam kedelai yang awalnya tidak dapat diurai dan diserap
menjadi dapat dimanfaatkan oleh tubuh. Berikut ini adalah perbandingan
komposisi zat gizi kedelai dan tempe yang dapat dilihat pada Tabel 2.1
Tabel 2.1 Komposisi zat gizi kedelai dan tempe dalam 100 gram bahan kering
Zat Gizi Satuan Kedelai Tempe
Abu g 6.1 3.6
Protein g 46.2 46.5
Lemak g 19.1 19.7
Karbohidrat g 28.2 30.2
Serat g 3.7 7.2
Kalsium mg 254 347
Fosfor mg 781 724
Besi mg 11 9
Vitamin B1 mg 0.48 0.28
Riboflavin mg 0.15 0.65
Niasin mg 0.67 2.52
Asam Pantotenat mkg 430 520
Piridoksin mkg 180 100
Vitamin B12 mkg 0.2 3.9
Biotin mkg 35 53
Asam Amino Esensial g 17.7 18.9
Sumber: Astawan, 2009
Berdasarkan Tabel 2.1, sebagian besar kandungan gizi yang terkandung
dalam kedelai meningkat setelah diolah menjadi tempe dengan proses fermentasi.
Hanya beberapa kandungan gizi yang menurun dan penurunannya tidak terlalu
besar, di antaranya abu menurun sebesar 2.5 g (41 persen), fosfor 57 mg (7
persen), besi 2 mg (18 persen), vitamin B1 0.2 mg (42 persen), piridoksin 80 mkg
(44 persen), dan sisanya mengalami peningkatan. Peningkatan terbesar terjadi
pada vitamin B12 yaitu hingga 19 kali lipat dari sebelumnya.
Astawan (2009) juga menyebutkan bahwa tempe menjadi satu-satunya
sumber vitamin B12 yang potensial dari bahan pangan nabati. Vitamin B12
umumnya terdapat pada produk-produk hewani, tetapi tidak dijumpai pada
13
tempe sebagai sumber protein nabati setara dengan sumber protein hewani dan
dapat dijadikan sebagai alternatif pengganti protein hewani. Tempe sebagai
sumber protein dan mengandung zat besi yang diperlukan dalam pembentukan
kadar hemoglobin (Astuti, Aminah, dan Syamsianah, 2014). Oleh karena itu, jika
tempe dikonsumsi secara teratur, maka seseorang dapat terhindar dari anemia
akibat kekurangan zat besi, mencegah terbentuknya radikal bebas dan proses
penuaan secara dini karena terdapat kandungan antioksidan, serta serat pada
tempe dapat mencegah penyakit-penyakit saluran pencernaan.
2.2. Usaha Pembuatan Tempe
Berbagai macam olahan kedelai, terutama tempe, kini sudah banyak
tersedia, baik di pasar tradisional maupun pasar modern. Hotel/restoran juga telah
menyajikan tempe sebagai salah satu menu utama. Tempe sudah banyak diolah
menjadi makanan cepat saji seperti burger tempe dan camilan seperti keripik
tempe. Banyaknya olahan tempe tersebut menunjukkan banyaknya masyarakat
Indonesia yang bergelut di bidang usaha pembuatan tempe.
Pembuatan tempe tidak sulit dan dapat dilakukan dengan menggunakan
alat-alat yang biasa terdapat di rumah tangga, sehingga usaha pembuatan tempe
banyak dilakukan dengan skala kecil atau rumah tangga. Usaha kecil di Indonesia
berkembang karena adanya latar belakang ekonomi yang menjadi alasan utama
dalam melakukan usaha, yaitu untuk memperoleh perbaikan penghasilan untuk
memenuhi kebutuhan hidup keluarganya sehari-hari. Selain itu juga karena
melihat prospek usaha ke depan dengan adanya peluang usaha dan pangsa pasar
yang aman dengan kendala modal yang terbatas. Beberapa pengusaha kecil
berusaha dengan alasan utamanya karena faktor keturunan/warisan, dibekali
keahlian, dan membuka lapangan kerja baru bagi warga setempat (Tambunan,
2009).
Tempe yang berkualitas baik memiliki ciri-ciri berwarna putih bersih dan
merata pada permukaannya, struktur yang homogen dan kompak, serta memiliki
rasa, bau, dan aroma khas tempe. Sementara tempe yang berkualitas buruk
memiliki ciri-ciri permukaan basah, struktur tidak kompak, terdapat bercak hitam,
14
(2010) cara pembuatan tempe untuk menghasilkan tempe dengan kualitas yang
baik sebagai berikut:
1. Perebusan dan perendaman
Rebus kedelai hingga mendidih. Setelah mendidih, angkat kedelai dan
rendam dalam air bersih hingga air menjadi berlendir. Buang air rendaman
dan cuci kedelai hingga bersih dan lendirnya hilang.
2. Pembelahan biji dan pembuangan kulit
Biji kedelai dimasukkan ke dalam karung goni lalu injak-injak hingga biji
kedelai terbelah. Selain itu dapat juga dilakukan dengan mesin pembelah
biji. Tahap selanjutnya rendam biji kedelai di dalam air sambil diremas
hingga kulit terlepas, buang kulit biji kedelai tersebut.
3. Pencucian dan perebusan biji tanpa kulit
Cuci biji yang telah terlepas dari kulitnya hingga bersih, lalu rebus
kembali biji kedelai hingga lunak atau selama 2030 menit.
4. Pemberian ragi tempe (inokulasi) dengan cara menaburkan ragi tempe.
Jumlah ragi yang digunakan tergantung pada jenis ragi yang digunakan.
5. Pembungkusan biji kedelai dengan plastik atau daun pisang.
Masing-masing pengrajin biasanya memiliki cara membungkus yang berbeda-beda
dengan berbagai ukuran.
6. Fermentasi dilakukan dengan meletakkan bakal tempe di rak kayu atau
bambu selama 1.52 hari.
Salah satu faktor pendukung berhasilnya suatu usaha kecil atau rumah
tangga dalam pembuatan tempe adalah pemasaran yang dilaksanakan dengan
baik. Pemasaran yang baik akan menentukan tingkat keuntungan yang diperoleh.
Pemasaran yang baik dan efisien terjadi apabila tepat guna, waktu, bentuk, dan
kepemilikan, serta biaya pemasaran yang rendah (Ramadhani, 2012).
Menurut Sarwono (2002), dalam hal pemasaran, usaha tempe pada skala
kecil atau rumah tangga memungkinkan terjadinya pemasaran secara langsung.
Pasalnya usaha ini berada di sekitar lingkungan warga sehingga warga dapat
membeli tempe langsung ke tempat pengrajin atau pengrajin dapat menjualnya
dari rumah ke rumah dengan sepeda/sepeda motor. Selain itu, pengrajin dapat
15
membuka kios sendiri. Pengrajin juga dapat menjalin kerja sama dengan warung
yang ada di sekitar tempat produksi.
2.3. Struktur Biaya dan Pendapatan Usaha Pembuatan Tempe
Biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi tempe umumnya meliputi
biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap terdiri dari biaya bangunan, drum besi,
drum plastik, ember, alat pengupas kulit kedelai, bak air, tampah, pompa air
listrik, sumur pantek atau sumur bor, dan kompor gas, serta biaya penyusutan
peralatan yang termasuk dalam biaya tetap. Sementara biaya variabel terdiri dari
kedelai sebagai bahan baku utama, ragi tempe, plastik, daun pisang, tabung gas,
tenaga kerja, dan listrik.
Penerimaan dari produksi tempe per bulan didapatkan dari hasil penjualan
tempe (dalam satuan bungkus atau kilogram) dikali dengan harga per satuannya.
Keuntungan dari usaha pembuatan tempe ini didapatkan setelah total penerimaan
dikurang total biaya. Setelah itu dapat ditentukan rasio R/C, BEP harga produksi,
dan BEP volume produksi (Warisno dan Dahana, 2010).
Menurut Anggraeny, Husinsyah, dan Maryam (2011), permasalahan yang
terjadi pasa usaha tempe adalah kurangnya pengetahuan pengrajin mengenai
pengelolaan dan penggunaan modalnya, sehingga pengrajin kurang mengetahui
apakah mendapatkan keuntungan atau kerugian. Oleh karena itu, perlu diketahui
usaha tempe yang dijalankan mendapat keuntungan, kerugian, atau tidak
mengalami kerugian (impas) dengan analisis titik impas (break even point).
2.4. Primer Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Primkopti)
Koperasi didefinisikan sebagai organisasi yang didirikan dengan tujuan
utama untuk menunjang kepentingan ekonomi para anggotanya melalui suatu
perusahaan bersama. Sejarah berdirinya koperasi di Indonesia dimulai pada masa
penjajahan saat diberlakukan culture stelsel yang mengakibatkan penderitaan bagi
rakyat, terutama para petani dan golongan bawah, menimbulkan gagasan dari
seorang Patih Purwokerto, yaitu Raden Ario Wiraatmadja untuk menolong
pegawai dan orang kecil dengan mendirikan Hulpen Spaaren Landbouwcrediet
16
lahir perkumpulan Budi Utomo yang dalam programnya memanfaatkan sektor
perkoperasian untuk mensejahterakan rakyat miskin dimulai dengan koperasi
industri kecil dan kerajinan. Kemudian berdiri Toko Adil sebagai langkah pertama
pembentukan koperasi konsumsi (Partomo dan Soejoedono, 2002).
Partomo dan Soejoedono (2002) juga menjelaskan mengenai tugas, fungsi,
tujuan, dan jenis koperasi. Tugas koperasi adalah menunjang kegiatan usaha para
anggotanya melalui pengadaan barang dan jasa yang dibutuhkan dengan harga,
mutu, dan syarat-syarat yang lebih menguntungkan. Fungsi koperasi adalah
sebagai alat perjuangan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan
alat pembina masyarakat untuk memperkokoh kedudukan ekonomi Indonesia.
Tujuan koperasi adalah keuntungan dan manfaat dirasakan oleh para anggotanya
yang bekerja secara bersama-sama memperbaiki keadaan ekonomi.
Jenis koperasi yang dibahas dalam penelitian ini adalah jenis koperasi
berdasarkan tipe kehidupan ekonomi para anggotanya dan jenis koperasi
berdasarkan keanggotaannya. Jenis koperasi berdasarkan tipe kehidupan ekonomi
para anggotanya dibedakan menjadi koperasi konsumen, yaitu koperasi yang
bertugas meningkatkan kepentingan ekonomi dari rumah tangga anggotanya, dan
koperasi produsen, yaitu koperasi yang bertugas meningkatkan kemampuan
ekonomi dari usaha para anggotanya.
Jenis koperasi berdasarkan keanggotaannya terbagi menjadi koperasi
primer, koperasi sekunder, dan koperasi tersier. Koperasi primer adalah koperasi
yang beranggotakan orang perorangan paling sedikit 20 orang. Koperasi sekunder
adalah koperasi yang beranggotakan badan hukum koperasi atau koperasi primer
paling sedikit beranggotakan tiga koperasi primer. Koperasi terserier adalah
koperasi yang beranggotakan koperasi-koperasi sekunder.
Kota Bogor merupakan salah satu kota yang memiliki koperasi dalam
jumlah yang cukup banyak. Dinas Koperasi dan UMKM Kota Bogor mencacat
pada tahun 2014 terdapat 750 koperasi di Kota Bogor dan telah menentukan
beberapa koperasi berprestasi, yaitu salah satunya adalah Primer Koperasi
Produsen Tempe Tahun Indonesia (Primkopti) Kota Bogor. Aspek penilaian
tersebut adalah aspek organisasi, aspek manajemen dan tatalaksana, aspek
17
dan UMKM Kota Bogor bagian Koperasi juga menuturkan bahwa penilaian
koperasi tersebut salah satunya dilihat berdasarkan Rapat Akhir Tahun (RAT)
yang dilaksanakan rutin setiap tahun dan tepat waktu pada bulan januari hingga
maret.
Primer Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Primkopti) Kota Bogor
adalah salah satu koperasi berprestasi tingkat Kota Bogor tahun 2014. Primkopti
adalah koperasi produsen dan koperasi primer yang bergerak pada bidang
produksi tempe tahu dengan kedelai sebagai bahan baku utamanya. Menurut
Danoe2 (1995), Primkopti didirikan pada tanggal 1979. Latar belakang berdirinya
Primkopti adalah karena tingginya konsumsi tempe sehingga menjadi menu
makanan sehari-hari dalam masyarakat tetapi kurang memberikan dampak positif
untuk kemajuan usaha dan kesejahteraan pengrajin beserta anggota keluarganya.
Mereka harus membeli bakan baku utamanya yaitu kedelai dari toko di pasar
bebas dengan harga yang tidak terkendali.
Terdapat tokoh masyarakat yang menaruh kepedulian kepada para
pengrajin tersebut karena melihat usaha dan kehidupan sehari-hari para pengrajin
tempe tahu yang jumlahnya cukup banyak dan tersebar di pelosok perkotaan dan
pedesaan. Tokoh masyarakat tersebut yaitu Abdul Hanan, Djajang Murdjana,
Suryana Hanafie, Ezrim Jamil, BA., dan Agung Soetrisno. Kelima orang tersebut
mencetuskan gagasan membentuk suatu wadah untuk menghimpun dan membina
para pengrajin tempe dan tahu yang kemudian diberi nama KOPTI singkatan dari
Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia. Primkopti tersebar pada tingkat
provinsi serta kota dan kabupaten. Kota Bogor merupakan salah satu kota yang
memiliki Primkopti untuk mewadahi para pengrajin tempe tahu yang terdapat di
Kota Bogor.
2.5. Penelitian Terdahulu
Berikut ini beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan analisis
struktur biaya dan pendapatan, komoditas tempe, serta yang berkaitan dengan
membedakan berdasarkan status keanggotaan pelaku usaha terhadap suatu
2
18
kelembagaan, baik anggota dan non anggota koperasi, anggota dan non anggota
kelompok tani, maupun pola kemitraan dan pola mandiri.
Penelitian terdahulu yang dijadikan referensi dalam penelitian ini adalah
penelitian Bantani (2004), Setiawan (2011), Ruswan (2012), Rachmatia (2013),
Arroyan (2011), Utomo (2014), Aulani (2014), dan Lestari (2010). Persamaan
penelitian ini dengan penelitian terdahulu antara lain memiliki kesamaan metode
dalam menganalisis struktur biaya dan pendapatan dengan rasio R/C dengan
penelitian Bantani (2004), Rachmatia (2013), dan Arroyan (2011).
Penelitian ini juga memiliki kesamaan dalam membedakan pelaku usaha
terhadap status keanggotaan suatu kelembagaan dengan penelitian Lestari (2010),
Ruswan (2012), dan Utomo (2014) yang membedakan berdasarkan anggota dan
non anggota kelompok tani, serta Rachmatia (2013) dan Aulani (2014)
berdasarkan pola mandiri dan pola kemitraan. Penelitian ini juga memiliki
kesamaan berdasarkan komoditas yang diteliti, yaitu tempe dengan penelitian
Ruswan (2012), Aulani (2014), dan Setiawan (2011).
Perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian ini antara lain perbedaan
komoditas yang diteliti, perbedaan dalam membedakan status keanggotaan pelaku
usaha terhadap suatu kelembagaan dalam menganalisis struktur biaya dan
pendapatan, serta perbedaan kriteria analisis struktur biaya dan pendapatan, serta
terdapat analisis titik impas (BEP). Penelitian ini menggunakan usaha tempe dan
tempe sebagai komoditas penelitian, sedangkan pada penelitian terdahulu,
komoditas yang dianalisis adalah usaha tani kangkung oleh Lestari (2010), usaha
tani sayuran organik dan non organik oleh Arroyan (2011), usaha pemotongan
ayam oleh Bantani (2004), usaha ternak ayam ras pedaging oleh Rachmatia
(2013), serta usaha tani padi oleh Utomo (2014). Penelitian yang dilakukan oleh
Arroyan (2011) dan Bantani (2004) tidak membedakan status keanggotaan pelaku
usaha terhadap suatu kelembagaan.
Analisis struktur biaya dan pendapatan pada penelitian ini membagi
analisis menjadi dua kategori berdasarkan status keanggotaan Primkopti Kota
Bogor. Status keanggotaan tersebut dibagi lagi berdasarkan skala usaha tempe
yang dijalankan. Penjelasan terhadap penelitian-penelitian terdahulu tersebut
19 Tabel 2.2 Penelitian terdahulu
No. Peneliti / Judul Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian
1. Agus Taofik
1. Menganalisis struktur biaya berdasarkan keragaman skala usaha pemotongan ayam tradisional.
2. Menganalisis pendapatan usaha pemotongan ayam tradisional berdasarkan keragaman skala usaha pemotongan ayam tradisional.
3.Menganalisis keragaman skala usaha pemotongan ayam tradisional, sehingga dapat berdampingan antar skala usaha.
1. Analisis struktur biaya dilakukan dengan mengelompokkan biaya-biaya yang terjadi, yaitu biaya-biaya tetap dan biaya variabel.
2. Analisis pendapatan dilakukan dengan pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya total serta dilanjutkan dengan analisis rasio R/C.
3.Analisis keragaman skala usaha pemotongan ayam tradisional menggunakan statistik deskriptif dengan menggunakan tabel-tabel analisis.
1. Komponen biaya terbesar adalah biaya pembelian ayam hidup. Biaya total per kg Pemotong I semakin kecil pada setiap peningkatan skala usaha, sedangkan Pemotong II, peningkatan skala usaha tidak berpengaruh nyata pada perubahan biaya total per kg. Hal tersebut terjadi karena harga beli ayam hidup pada Pemotong II lebih mahal dari pada Pemotong I, sedangkan harga jual hasil produksi sama.
2. Pendapatan cenderung lebih besar seiring dengan peningkatan jumlah ayam yang dipotong. Pada Pemotong I, pendapatan yang diperoleh lebih besar karena jumlah ayam yang dipotong lebih banyak dan harga pembelian ayam hidup lebih murah dari pada Pemotong II.
3.Harga jual hasil produk dijual dengan tingkat harga yang sama. Oleh karena itu, tidak terjadi persaingan harga antara pengusaha pemotongan ayam di Kebon Pedes, sehingga usaha tersebut dapat berdampingan dan bertahan pada tingkat skala usaha yang beragam dari skala kecil konsumen tempe di Kota Bogor. 2. Menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi konsumsi tempe di Kota Bogor.
1. Analisis karakteristik konsumen tempe di Kota Bogor dilakukan dengan analisis deskriptif dengan tabulasi sederhana.
2. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi tempe dengan regresi linier berganda beserta ujinya.
1. Mayoritas responden adalah ibu rumah tangga. Pengeluaran konsumsi tempe untuk semua kelas terbesar adalah di atas Rp 60 000. Lokasi pembelian tempe kelas ekonomi atas 56 persen di pasar, kelas ekonomi menengah 38 persen di pedagang keliling, dan kelas ekonomi bawah 50 persen di pedagang sayur keliling. 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi tempe
adalah harga tempe (X1), harga tahu (X2), harga telur
(X3), jumlah anggota keluarga (X4), pendidikan terakhir
(X5), kelas ekonomi bawah (D1), dan kelas ekonomi
menengah (D2) berpengaruh nyata dengan taraf nyata 5
20 20 Tabel 2.2 Penelitian terdahulu (lanjutan)
No. Peneliti / Judul Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian
3. Ade Ruswan (2012) / Analisis Pendapatan dan Produksi Usaha tempe Anggota dan Non Anggota Primer Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia Tebet Barat Jakarta Selatan.
1. Menganalisis tingkat pendapatan usaha tempe anggota Primkopti dan non anggota Primkopti di Tebet Barat Jakarta Selatan. 2. Menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi produksi usaha tempe anggota dan non anggota Primkopti di tebet Barat Jakarta Selatan.
3. Menganalisis tingkat efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi dalam usaha tempe anggota dan non anggota primkopti di tebet Barat Jakarta Selatan.
1. Analisis tingkat pendapatan dilakukan dengan analisis pendapatan.
2. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi dilakukan dengan model regresi berganda (fungsi Cobb-Douglas).
3. Analisis tingkat efisiensi faktor-faktor produksi dilakukan dengan analisis nilai produk marjinal (NPM).
1. Usaha tempe anggota dan non anggota Primkopti memiliki pendapatan lebih besar adalah usaha tempe yang mengguanakan kedelai kualitas A. penggunaan kedelai kualitas A memiliki pendapatan lebih besar pada usaha tempe non anggota, sedangkan penggunaan kedelai kualitas B memiliki pendapatan lebih besar pada usaha tempe anggota Primkopti.
2. Faktor-faktor produksi yang berpengaruh nyata terhadap peningkatan produksi tempe untuk usaha tempe anggota Primkopti adalah kedelai dan tenaga kerja, sedangkan usaha tempe non anggota adalah kedelai dan ragi.
3. Penggunaan faktor-faktor produksi usaha tempe anggota dan non anggota belum efisien, ditunjukkan dengan rasio nilai NPM-BKM tidak sama dengan Mandiri dan Kemitraan Perusahaan Inti Rakyat di Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor.
1. Menganalisis struktur biaya dan unit cost usahaternak ayam ras pedaging menurut tipe usahaternak dan skala ushaternak di Kecamatan Pamijahan.
2.Menganalisis pendapatan usahaternak ayam ras pedaging menurut tipe usahaternak dan skala usahaternak di Kecamatan Pamijahan.
1. Analisis struktur biaya
dilakukan dengan
mengelompokkan biaya-biaya yang terjadi, yaitu biaya tetap, biaya tunai, dan tidak tunai. 2.Analisis pendapatan dilakukan
dengan analisis pendapatan, rasio R/C, dan uji beda pendapatan.
1. Struktur biaya terbesar dalam usahaternak ayam yaitu biaya pakan dan DOC. Unit cost peternak mandiri lebih kecil dibandingkan peternak plasma. Unit cost peternak skala II (populasi 5000 ekor) lebih kecil dibandingkan skala I (populasi 5000 ekor).
21 Tabel 2.2 Penelitian terdahulu (lanjutan)
No. Peneliti / Judul Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian
5. Raihani Arroyan usahatani sayuran organik dibandingkan dengan usahatani sayuran non organik.
2. Menganalisis pendapatan usahatani sayuran organik dibandingkan dengan usahatani sayuran non organik.
1. Analisis struktur biaya
dilakukan dengan
mengelompokkan biaya-biaya yang terjadi pada sayuran, yaitu biaya tetap dan biaya variabel.
2. Analisis pendapatan dilakukan dengan analisis pendapatan.
1. Total biaya usahatani sayuran organik lebih tinggi dibandingkan non organik. Komponen biaya usahatani sayuran organik dan non organik tertinggi adalah tenaga kerja dan pupuk.
2. Pendapatan usahatani sayuran organik lebih tinggi dibandingkan non organik. Komoditas yang memiliki pendapatan tertinggi per kg output pada usahatani sayuran organik dan non organik adalah cabai. Pendapatan usahatani sayuran organik dan non organik terdapat perbedaan nyata pada satuan per hektar dan perbedaan tidak nyata pada
1. Mengidentifikasi karakteristik pengusaha tempe pola kemitraan dan pola mandiri di Desa Cimanggu I.
2. Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produksi tempe pola mandiri di Desa Cimanggu I.
3. Menganalisis perbandingan struktur biaya dan pendapatan industri tempe pola kemitraan dan pola mandiri di Desa Cimanggu I.
1. Identifikasi pengusaha tempe dilakukan dengan analisis deskriptif.
2.Analisis faktor-faktor yang berpengaruh dengan regresi linier berganda dari fungsi produksi Cobb-Douglas beserta ujinya.
3. Analisis struktur biaya
dilakukan dengan
mengelompokkan biaya yang terjadi dan analisis pendapatan dilakukan dengan analisis pendapatan.
1. Karakteristik sosial dilihat dari tingkat usia, tingkat pendidikan, dan pengalaman usaha pengusaha tempe. Pengusaha pola kemitraan mendapatkan kedelai dari koperasi sedangkan pengusaha pola mandiri dari luar koperasi. Cara pengolahannya pengusaha pola kemitraan menggunakan cara tradisional sedangkan pengusaha pola mandiri menggunakan cara yang disosialisasikan oleh KOPTI Kabupaten Bogor.
2. Output produksi tempe pengusaha pola kemitraan dipengaruhi oleh kedelai, ragi, dan air. Sedangkan output produksi tempe pengusaha pola mandiri dipengaruhi kedelai saja. Skala usaha tempe pengusaha pola kemitraan dan pola mandiri berada pada kondisi decreasing return to scale. 3. Pendapatan total pengusaha tempe pola kemitraan sebesar
22 22 Tabel 2.2 Penelitian terdahulu (lanjutan)
No. Peneliti / Judul Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian
7. Agung Prasetio Utomo (2014) / Produksi dan Pendapatan Usahatani Padi Petani Anggota dan Non anggota Kelompok Tani di Desa Kopo Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor.
1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi padi petani anggota dan non anggota kelompok tani di Desa Kopo. 2. Membandingkan tingkat
pendapatan petani padi anggota dan non anggota kelompok tani di Desa Kopo.
1. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi dilakukan dengan metode OLS dari fungsi produksi Cobb-Douglas.
2. Analisis pendapatan dilakukan dengan analisis pendapatan dan rasio R/C.
1. Terdapat lima variabel yang berpengaruh nyata pada taraf nyata 10 persen yaitu benih, pupuk kandang, tenaga kerja wanita dalam keluarga, tenaga kerja wanita luar keluarga dan keanggotaan kelompok tani.
2. Berdasarkan keanggotaan, petani anggota kelompok tani memiliki pendapatan yang lebih besar dibandingkan dengan petani non anggota. Berdasarkan status kepemilikan lahan usahatani, petani penyewa lahan memiliki pendapatan yang lebih besar dibandingkan dengan petani pemilik lahan. Berdasarkan keanggotaan dan status kepemilikan lahan usahatani, petani anggota kelompok tani dan penyewa lahan memiliki pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan karakteristik responden lainnya.
8. Fuji Lestari (2010) / Analisis Produksi dan Pendapatan Usahatani Kangkung Anggota dan Non Anggota Kelompok Tani di Desa Bantarsari Kecamatan Rancabungur Kabupaten Bogor.
1.Mengkaji keragaan usahatani kangkung anggota dan non anggota kelompok tani di Desa Bantarsari.
2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi kangkung di Desa Bantarsari. 3. Membandingkan pendapatan
petani kangkung anggota dan non anggota kelompok tani di Desa Bantarsari.
1.Analisis keragaan usahatani dilakukan dengan statistik deskriptif.
2. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi kangkung menggunakan model regresi berganda fungsi Cobb-Douglas. 3. Analisis pendapatan
menggunakan uji statistik berupa uji-t.
1.Keragaan usahatani dilihat dari luas lahan dan status kepemilikan lahan anggota dan non anggota kelompok tani. 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi kangkung
anggota kelompok tani terdapat dua variabel yang berpengaruh nyata pada taraf 5 persen, yaitu TKLK dan luas lahan, sedangkan non anggota kelompok tani yang berpengaruh nyata pada taraf 5 persen, yaitu benih dan luas lahan.