• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Media Tanam Dan Pemberian Pupuk Majemuk Npkmg Terhadap Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit Pada Main Nursery

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Media Tanam Dan Pemberian Pupuk Majemuk Npkmg Terhadap Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit Pada Main Nursery"

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH MEDIA TANAM DAN PEMBERIAN PUPUK

MAJEMUK NPKMg TERHADAP PERTUMBUHAN

BIBIT KELAPA SAWIT PADA MAIN NURSERY

SKRIPSI

Oleh : OFFLYN SITEPU

060301057

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN

(2)

PENGARUH MEDIA TANAM DAN PEMBERIAN PUPUK

MAJEMUK NPKMg TERHADAP PERTUMBUHAN

BIBIT KELAPA SAWIT PADA MAIN NURSERY

SKRIPSI

Oleh : OFFLYN SITEPU 060301057/AGRONOMI

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN

(3)

Judul Skripsi : Pengaruh Media Tanam dan Pemberian Pupuk Majemuk NPKMg Terhadap Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit Pada Main Nursery

Nama : Offlyn Sitepu NIM : 060301057

Departemen : Budidaya Pertanian Program Studi : Agronomi

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Ir. Balonggu Siagian, MS. Ferry Azra T. Sitepu, SP., M.Si. Ketua Anggota

Mengetahui,

Ir. T. Sabrina, M.Agr,Sc., Ph.D. Ketua Departemen Agroekoteknologi

(4)

ABSTRAK

OFFLYN SITEPU : Pengaruh Media Tanam dan Pemberian Pupuk Majemuk NPKMg Terhadap Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit Pada Main Nursery, dibimbing oleh BALONGGU SIAGIAN dan FERRY AZRA SITEPU.

Dalam proses produksi minyak sawit, TKKS merupakan limbah terbesar sekitar 23% dari TBS yang diolah. PPKS saat ini sedang mengembangkan teknologi pengomposan dengan menggunakan bahan baku limbah kelapa sawit. Dengan adanya teknologi ini berarti semua limbah di PKS akan terolah sehingga tidak ada lagi limbah yang dibuang ke lingkungan dan penggunaan kompos TKKS dapat mengurangi penggunaan pupuk kimia. Untuk itu suatu penelitian telah dilakukan di lahan percobaan Fakultas Pertanian USU (± 25 m dpl.) pada Januari – Mei 2011 menggunakan rancangan acak kelompok faktorial 2 faktor yaitu bahan organik 0% Kompos TKKS (0 kg) + 100% Top Soil Ultisol (22 kg), 25% Kompos TKKS (5,5 kg) + 75% Top Soil Ultisol (16,5 kg), 50% Kompos TKKS (11 kg) + 50% Top Soil Ultisol (11 kg) dan 75% Kompos TKKS (16,5 kg)

+ 25% Top Soil Ultisol (5,5 kg) dan dosis pupuk majemuk NPKMg yaitu 0 g/polibag, 28,5 g/polibag, 57 g/polibag dan 85,5 g/polibag. Parameter yang diamati adalah tinggi bibit, diameter batang, jumlah daun, pertambahan luas daun, pertambahan bobot basah dan kering bibit.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa media tanam berpengaruh nyata terhadap tinggi bibit, diameter batang, jumlah daun, pertambahan luas daun, pertambahan bobot basah dan kering bibit. Pemberian pupuk majemuk NPKMg berpengaruh nyata terhadap tinggi bibit, diameter batang, jumlah daun, pertambahan luas daun, pertambahan bobot basah dan kering bibit. Interaksi antara perlakuan kompos TKKS dalam media tanam dan pemberian pupuk majemuk NPKMg berpengaruh nyata terhadap tinggi bibit, diameter batang, jumlah daun, pertambahan luas daun, pertambahan bobot basah dan kering bibit. Hasil yang terbaik diperoleh pada kombinasi perlakuan M4P1 yaitu 75% kompos TKKS (16,5 kg) + 25% top soil ultisol (5,5 kg) dengan taraf pemberian pupuk majemuk NPKMg sebanyak 28,5 g/polibag.

(5)

ABSTRACT

OFFLYN SITEPU : Media Influence and the Provision of Compound Fertilizer Plant NPKMg Against Oil Palm Seedling Growth in Nursery Main, guided by BALONGGU SIAGIAN and FERRY AZRA SITEPU.

In the process of palm oil production, TKKS is the biggest waste of about 23% of FFB processed. PPKS is currently developing composting technology using palm oil waste materials. With the existence of this technology means that all waste will be processed at MCC so that no waste is discharged into the environment and the use of compost TKKS can reduce the use of chemical fertilizers. For that a study has been conducted at USU College of Agriculture field trials (± 25 m asl.) In January - May 2011 using a randomized block factorial design of two factors: 0% compost organic materials TKKS (0 kg) + 100% Top Soil Ultisol (22 kg), 25% compost TKKS (5.5 kg) + 75% Top Soil Ultisol (16.5 kg), 50% compost TKKS (11 kg) + 50% Top Soil Ultisol (11 kg) and 75% compost TKKS (16.5 kg) + 25% Top Soil Ultisol (5.5 kg) and compound fertilizer NPKMg dose of 0 g / polybags, 28.5 g / polybags, 57 g / polybags and 85.5 g / polybags. The parameters observed were high seedlings, stem diameter, leaf number, leaf area accretion, accretion wet and dry weight of seedlings.

The results showed that the media have real impact on the high planting seedlings, stem diameter, leaf number, leaf area accretion, accretion wet and dry weight of seedlings. Provision of compound fertilizer NPKMg real impact on seedling height, stem diameter, leaf number, leaf area accretion, accretion wet and dry weight of seedlings. The interaction between treatment TKKS compost in growing media and fertilizer compound NPKMg significant effect on seedling height, stem diameter, leaf number, leaf area accretion, accretion wet and dry weight of seedlings. The best results were obtained in the combined treatment of 75% compost M4P1 TKKS (16.5 kg) + 25% top soil ultisol (5.5 kg) with a level of compound fertilizer NPKMg as much as 28.5 g / polybags.

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pekan Baru pada tanggal 24 Oktober 1988 dari ayah Sofian Sitepu, SH dan ibu Dra. Karolina Purba. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara.

Tahun 2006 penulis lulus dari SMU Kemala Bhayangkari I Medan dan pada tahun yang sama masuk ke Fakultas Pertanian USU melalui jalur Regular Mandiri. Penulis memilih program studi Agronomi, Departemen Agroekoteknologi.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai anggota Himpunan Mahasiswa Budidaya Pertanian, serta sebagai asisten praktikum di Laboratorium Dasar Agronomi.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Media Tanam dan Pemberian Pupuk Majemuk NPKMg terhadap Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit pada Main Nursery”.

Pada kesempatan ini penulis menghaturkan pernyataan terima kasih sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis yang telah membesarkan, memelihara dan mendidik penulis selama ini. Penulis menyampaikan

ucapan terima kasih kepada Bapak Ir. Balonggu Siagian, MS. dan Bapak Ferry Azra T. Sitepu, SP., M.Si. selaku ketua dan anggota komisi

pembimbing yang telah membimbing dan memberikan berbagai masukan berharga kepada penulis dari mulai menetapkan judul, melakukan penelitian, sampai pada ujian akhir.

(8)

DAFTAR ISI

Syarat Tumbuh Tanaman Kelapa Sawit ... 7

Iklim ... 7

Tanah ... 8

Pembibitan Kelapa Sawit ... 9

Kompos Tandan Kosong Kelapa Sawit ... 10

Pupuk Majemuk NPKMg... 13

Pelaksanaan Penelitian ... 23

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil ... 28

Tinggi Bibit (cm) ... 28

Diameter Batang (mm) ... 35

(9)

Hal.

Luas Daun (cm2) ... 51

Bobot Basah Bibit (g) ... 56

Bobot Kering Bibit (g) ... 61

Pembahasan ... 66

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 77

Saran ... 77

DAFTAR PUSTAKA ... 78

(10)

DAFTAR TABEL

No. Hal. 1. Kandungan Nutrisi dalam Kompos Tandan Kosong Kelapa

Sawit (TKKS) ... 12 2. Pemberian Pupuk Perlakuan NPKMg (15:15:6:4) ... 25 3. Rataan tinggi bibit dengan perlakuan kompos TKKS dan

pemberian pupuk majemuk NPKMg pada umur 2 s/d 18

MSPT ... 29 4. Rataan diameter batang dengan perlakuan kompos TKKS

dan pemberian pupuk majemuk NPKMg pada umur 2 s/d 18

MSPT ... 36 5. Rataan jumlah daun dengan perlakuan kompos TKKS dan

pemberian pupuk majemuk NPKMg pada umur 2 s/d 18

MSPT ... 44 6. Rataan pertambahan luas daun dengan perlakuan kompos

TKKS dan pemberian pupuk majemuk NPKMg pada umur

18 MSPT ... 51 7. Rataan pertambahan bobot basah bibit dengan perlakuan

kompos TKKS dan pemberian pupuk majemuk NPKMg pada

umur 18 MSPT ... 56 8. Rataan pertambahan bobot kering bibit dengan perlakuan

kompos TKKS dan pemberian pupuk majemuk NPKMg pada

(11)

DAFTAR GAMBAR

No. Hal. 1. Hubungan kompos TKKS dengan tinggi bibit kelapa sawit

pada umur 18 MSPT ... 31 2. Hubungan pupuk majemuk NPKMg dengan tinggi bibit

kelapa sawit pada umur 18 MSPT ... 32 3. Hubungan kompos TKKS dengan tinggi bibit kelapa sawit

pada berbagai taraf pemberian pupuk majemuk NPKMg

pada umur 18 MSPT ... 33 4. Hubungan pupuk majemuk NPKMg dengan tinggi bibit

kelapa sawit pada berbagai taraf pemberian kompos TKKS

pada umur 18 MSPT ... 34 5. Hubungan kompos TKKS dengan diameter batang kelapa

sawit pada umur 18 MSPT ... 39 6. Hubungan pupuk majemuk NPKMg dengan diameter batang

kelapa sawit pada umur 18 MSPT ... 40 7. Hubungan kompos TKKS dengan diameter batang kelapa

sawit pada berbagai taraf pemberian pupuk majemuk

NPKMg pada umur 18 MSPT ... 41 8. Hubungan pupuk majemuk NPKMg dengan diameter batang

kelapa sawit pada berbagai taraf pemberian kompos TKKS

pada umur 18 MSPT ... 42 9. Hubungan kompos TKKS dengan jumlah daun kelapa sawit

pada umur 18 MSPT ... 47 10. Hubungan pupuk majemuk NPKMg dengan jumlah daun

kelapa sawit pada umur 18 MSPT ... 48 11. Hubungan kompos TKKS dengan jumlah daun kelapa sawit

pada berbagai taraf pemberian pupuk majemuk NPKMg

pada umur 18 MSPT ... 49 12. Hubungan pupuk majemuk NPKMg dengan jumlah daun

kelapa sawit pada berbagai taraf pemberian kompos TKKS

(12)

13. Hubungan kompos TKKS dengan pertambahan luas daun

kelapa sawit pada umur 18 MSPT ... 52 14. Hubungan pupuk majemuk NPKMg dengan pertambahan

luas daun kelapa sawit pada umur 18 MSPT ... 53 15. Hubungan kompos TKKS dengan pertambahan luas daun

kelapa sawit pada berbagai taraf pemberian pupuk majemuk

NPKMg pada umur 18 MSPT ... 54 16. Hubungan pupuk majemuk NPKMg dengan pertambahan

luas daun kelapa sawit pada berbagai taraf pemberian

kompos TKKS pada umur 18 MSPT ... 55 17. Hubungan kompos TKKS dengan pertambahan bobot basah

bibit kelapa sawit pada umur 18 MSPT ... 57 18. Hubungan pupuk majemuk NPKMg dengan pertambahan

bobot basah bibit kelapa sawit pada umur 18 MSPT... 58 19. Hubungan kompos TKKS dengan pertambahan bobot basah

bibit kelapa sawit pada berbagai taraf pemberian pupuk

majemuk NPKMg pada umur 18 MSPT ... 59 20. Hubungan pupuk majemuk NPKMg dengan pertambahan

bobot basah bibit kelapa sawit pada berbagai taraf

pemberian kompos TKKS pada umur 18 MSPT ... 60 21. Hubungan kompos TKKS dengan pertambahan bobot kering

bibit kelapa sawit pada umur 18 MSPT ... 62 22. Hubungan pupuk majemuk NPKMg dengan pertambahan

bobot kering bibit kelapa sawit pada umur 18 MSPT ... 63 23. Hubungan kompos TKKS dengan pertambahan bobot kering

bibit kelapa sawit pada berbagai taraf pemberian pupuk

majemuk NPKMg pada umur 18 MSPT ... 64 24. Hubungan pupuk majemuk NPKMg dengan pertambahan

bobot kering bibit kelapa sawit pada berbagai taraf

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Hal.

1. Data Tinggi Bibit Kelapa Sawit (cm) 2 MSPT ... 81

2. Daftar Sidik Ragam Tinggi Bibit Kelapa Sawit 2 MSPT ... 81

3. Data Tinggi Bibit Kelapa sawit (cm) 6 MSPT ... 82

4. Daftar Sidik Ragam Tinggi Bibit Kelapa sawit 6 MSPT ... 82

5. Data Tinggi Bibit Kelapa Sawit (cm) 10 MSPT... 83

6. Daftar Sidik Ragam Tinggi Bibit Kelapa Sawit 10 MSPT ... 83

7. Data Tinggi Bibit Kelapa Sawit (cm) 14 MSPT... 84

8. Daftar Sidik Ragam Tinggi Bibit Kelapa Sawit 14 MSPT ... 84

9. Data Tinggi Bibit Kelapa Sawit (cm) 18 MSPT... 85

10.Daftar Sidik Ragam Tinggi Bibit Kelapa Sawit 18 MSPT ... 85

11.Data Diameter Batang Kelapa Sawit (mm) 2 MSPT ... 86

12.Daftar Sidik Ragam Diameter Batang Kelapa Sawit 2 MSPT ... 86

13.Data Diameter Batang Kelapa Sawit (mm) 6 MSPT ... 87

14.Daftar Sidik Ragam Diameter Batang Kelapa Sawit 6 MSPT ... 87

15.Data Diameter Batang Kelapa Sawit (mm) 10 MSPT ... 88

16.Daftar Sidik Ragam Diameter Batang Kelapa Sawit 10 MSPT ... 88

17.Data Diameter Batang Kelapa Sawit (mm) 14 MSPT ... 89

18.Daftar Sidik Ragam Diameter Batang Kelapa Sawit 14 MSPT ... 89

19.Data Diameter Batang Kelapa Sawit (mm) 18 MSPT ... 90

20.Daftar Sidik Ragam Diameter Batang Kelapa Sawit 18 MSPT ... 90

21.Data Jumlah Daun Kelapa Sawit (helai) 2 MSPT ... 91

22.Daftar Sidik Ragam Jumlah Daun Kelapa Sawit 2 MSPT ... 91

23.Data Jumlah Daun Kelapa Sawit (helai) 6 MSPT ... 92

24.Daftar Sidik Ragam Jumlah Daun Kelapa Sawit 6 MSPT ... 92

25.Data Jumlah Daun Kelapa Sawit (helai) 10 MSPT ... 93

26.Daftar Sidik Ragam Jumlah Daun Kelapa Sawit 10 MSPT ... 93

27.Data Jumlah Daun Kelapa Sawit (helai) 14 MSPT ... 94

(14)

29.Data Jumlah Daun Kelapa Sawit (helai) 18 MSPT ... 95

30.Daftar Sidik Ragam Jumlah Daun Kelapa Sawit 18 MSPT ... 95

31.Data Pertambahan Luas Daun Kelapa Sawit (cm2) 18 MSPT ... 96

32.Daftar Sidik Ragam Pertambahan Luas Daun Kelapa Sawit 18 MSPT ... 96

33.Data Pertambahan Bobot Basah Bibit Kelapa Sawit (g) 18 MSPT ... 97

34.Daftar Sidik Ragam Pertambahan Bobot Basah Bibit Kelapa Sawit 18 MSPT ... 97

35.Data Pertambahan Bobot Kering Bibit Kelapa Sawit (g) 18 MSPT... 98

36.Daftar Sidik Ragam Pertambahan Bobot Kering Bibit Kelapa Sawit 18 MSPT ... 98

37.Karakteristik DxP Varietas Langkat (LT-C) ... 99

38.Bagan Penelitian ... 100

39.Jarak Tanam Pembibitan ... 101

40.Jadwal Kegiatan Penelitian ... 102

41.Rangkuman Uji Beda Rataan ... 103

42.Dokumentasi Lahan Penelitian ... 106

43.Dokumentasi Bibit Berdasarkan Perlakuan ... 107

44.Standar Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit DxP yang Tergolong Normal ... 113

45.Sertifikat Pengujian Top Soil Ultisol ... 114

(15)

ABSTRAK

OFFLYN SITEPU : Pengaruh Media Tanam dan Pemberian Pupuk Majemuk NPKMg Terhadap Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit Pada Main Nursery, dibimbing oleh BALONGGU SIAGIAN dan FERRY AZRA SITEPU.

Dalam proses produksi minyak sawit, TKKS merupakan limbah terbesar sekitar 23% dari TBS yang diolah. PPKS saat ini sedang mengembangkan teknologi pengomposan dengan menggunakan bahan baku limbah kelapa sawit. Dengan adanya teknologi ini berarti semua limbah di PKS akan terolah sehingga tidak ada lagi limbah yang dibuang ke lingkungan dan penggunaan kompos TKKS dapat mengurangi penggunaan pupuk kimia. Untuk itu suatu penelitian telah dilakukan di lahan percobaan Fakultas Pertanian USU (± 25 m dpl.) pada Januari – Mei 2011 menggunakan rancangan acak kelompok faktorial 2 faktor yaitu bahan organik 0% Kompos TKKS (0 kg) + 100% Top Soil Ultisol (22 kg), 25% Kompos TKKS (5,5 kg) + 75% Top Soil Ultisol (16,5 kg), 50% Kompos TKKS (11 kg) + 50% Top Soil Ultisol (11 kg) dan 75% Kompos TKKS (16,5 kg)

+ 25% Top Soil Ultisol (5,5 kg) dan dosis pupuk majemuk NPKMg yaitu 0 g/polibag, 28,5 g/polibag, 57 g/polibag dan 85,5 g/polibag. Parameter yang diamati adalah tinggi bibit, diameter batang, jumlah daun, pertambahan luas daun, pertambahan bobot basah dan kering bibit.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa media tanam berpengaruh nyata terhadap tinggi bibit, diameter batang, jumlah daun, pertambahan luas daun, pertambahan bobot basah dan kering bibit. Pemberian pupuk majemuk NPKMg berpengaruh nyata terhadap tinggi bibit, diameter batang, jumlah daun, pertambahan luas daun, pertambahan bobot basah dan kering bibit. Interaksi antara perlakuan kompos TKKS dalam media tanam dan pemberian pupuk majemuk NPKMg berpengaruh nyata terhadap tinggi bibit, diameter batang, jumlah daun, pertambahan luas daun, pertambahan bobot basah dan kering bibit. Hasil yang terbaik diperoleh pada kombinasi perlakuan M4P1 yaitu 75% kompos TKKS (16,5 kg) + 25% top soil ultisol (5,5 kg) dengan taraf pemberian pupuk majemuk NPKMg sebanyak 28,5 g/polibag.

(16)

ABSTRACT

OFFLYN SITEPU : Media Influence and the Provision of Compound Fertilizer Plant NPKMg Against Oil Palm Seedling Growth in Nursery Main, guided by BALONGGU SIAGIAN and FERRY AZRA SITEPU.

In the process of palm oil production, TKKS is the biggest waste of about 23% of FFB processed. PPKS is currently developing composting technology using palm oil waste materials. With the existence of this technology means that all waste will be processed at MCC so that no waste is discharged into the environment and the use of compost TKKS can reduce the use of chemical fertilizers. For that a study has been conducted at USU College of Agriculture field trials (± 25 m asl.) In January - May 2011 using a randomized block factorial design of two factors: 0% compost organic materials TKKS (0 kg) + 100% Top Soil Ultisol (22 kg), 25% compost TKKS (5.5 kg) + 75% Top Soil Ultisol (16.5 kg), 50% compost TKKS (11 kg) + 50% Top Soil Ultisol (11 kg) and 75% compost TKKS (16.5 kg) + 25% Top Soil Ultisol (5.5 kg) and compound fertilizer NPKMg dose of 0 g / polybags, 28.5 g / polybags, 57 g / polybags and 85.5 g / polybags. The parameters observed were high seedlings, stem diameter, leaf number, leaf area accretion, accretion wet and dry weight of seedlings.

The results showed that the media have real impact on the high planting seedlings, stem diameter, leaf number, leaf area accretion, accretion wet and dry weight of seedlings. Provision of compound fertilizer NPKMg real impact on seedling height, stem diameter, leaf number, leaf area accretion, accretion wet and dry weight of seedlings. The interaction between treatment TKKS compost in growing media and fertilizer compound NPKMg significant effect on seedling height, stem diameter, leaf number, leaf area accretion, accretion wet and dry weight of seedlings. The best results were obtained in the combined treatment of 75% compost M4P1 TKKS (16.5 kg) + 25% top soil ultisol (5.5 kg) with a level of compound fertilizer NPKMg as much as 28.5 g / polybags.

(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tanaman kelapa sawit adalah sumber utama minyak nabati sesudah kelapa di Indonesia. Tahun 1848 tanaman kelapa sawit masuk ke Indonesia dan daerah-daerah lain di Asia sabagai tanaman hias. Daerah pertama di Indonesia yang diketahui sangat cocok untuk membudidayakan tanaman kelapa sawit adalah Sumatera Utara (Tim Bina Karya Tani, 2009).

Luas areal perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara selama tujuh tahun terakhir cenderung menunjukkan peningkatan. Pada tahun 2002 lahan perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara tercatat seluas 886.612 ha, kemudian mengalami peningkatan pada tahun 2003 menjadi 919.680 ha. Pada tahun 2004 meningkat lagi menjadi seluas 987.754 ha, kemudian mengalami peningkatan pada tahun 2005 menjadi 1.040.303 ha. Pada tahun 2006 luas areal perkebunan kelapa sawit meningkat menjadi 1.099.641 ha. Sementara itu pada tahun 2007 luas areal perkebunan kelapa sawit tercatat seluas 1.108.020 ha. Sedangkan untuk tahun 2008 diperkirakan luas areal juga masih mengalami peningkatan menjadi 1.146.486 ha (BPS, 2008).

(18)

3.690.480 ton. Pada tahun 2006 produksi kelapa sawit meningkat menjadi 3.869.718 ton, sedangkan pada tahun 2007 produksi kelapa sawit mengalami penurunan menjadi 3.712.052 ton. Produksi kelapa sawit diperkirakan kembali mengalami peningkatan pada tahun 2008 sehingga menjadi sebesar 3.870.781 ton (BPS, 2008).

Kelapa sawit merupakan tanaman komoditas perkebunan yang cukup penting di Indonesia dan masih memiliki prospek pengembangan yang cerah. Komoditas kelapa sawit baik berupa bahan mentah maupun hasil olahan merupakan penyumbang devisa non-migas terbesar bagi Negara. Minyak nabati merupakan produk utama yang dapat dihasilkan dari kelapa sawit. Minyak nabati yang dihasilkan dari pengolahan buah kelapa sawit berupa minyak sawit mentah (CPO atau Crude Palm Oil) yang berwarna kuning dan minyak inti sawit (PKO atau Palm Kernel Oil) yang tidak berwarna atau jernih. CPO dan PKO banyak digunakan sebagai bahan industri pangan seperti minyak goreng dan margarin, industri sabun, industri kosmetik dan sebagai bahan bakar alternatif. Disamping itu limbah kelapa sawit dapat pula dimanfaatkan sebagi pupuk organik dan makanan ternak (Senardi, 2003).

(19)

mengomposkan terlebih dahulu sebelum digunakan sebagai pupuk organik (Widiastuti dan Panji, 2007).

Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) saat ini sedang mengembangkan teknologi pengomposan dengan menggunakan bahan baku limbah kelapa sawit. Dengan adanya teknologi ini berarti semua limbah di Pabrik Kelapa Sawit (PKS) akan terolah sehingga tidak ada lagi limbah yang dibuang ke lingkungan (PPKS, 2008).

Pengaplikasian kompos sebagai media tanam harus memperhatikan kualitas dan kemampuan kompos tersebut dalam mensuplai kebutuhan hara tanaman. Upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas kompos adalah dengan penambahan pupuk. Pupuk merupakan salah satu sumber unsur hara utama yang sangat menentukan tingkat pertumbuhan dan produksi kelapa sawit. Setiap unsur hara memiliki peranan masing-masing dan dapat menunjukkan gejala tertentu pada tanaman apabila ketersediaannya dalam tanah sangat kurang. Penyediaan hara dalam tanah melalui pemupukan harus seimbang yaitu disesuaikan dengan kebutuhan tanaman (Buana, dkk, 2008).

(20)

Penggunaan media tanam yang tepat akan menentukan pertumbuhan bibit

yang ditanam. Secara umum media tanam yang digunakan haruslah mempunyai

sifat yang ringan, murah, mudah didapat, gembur dan subur, sehingga

memungkinkan pertumbuhan bibit yang optimum (Erlan, 2005).

Ultisol adalah tanah yang telah berkembang dengan profil A/E/Bt/C.

Dibentuk oleh kombinasi proses lateralisasi dan podsolisasi, dengan penekanan

pada lateralisasi, didaerah humid panas hingga humid tropis, dimana proses

pencucian sangat menonjol. Tanah ultisol memiliki tingkat kesuburan yang

rendah. Selain itu tanah ini juga memiliki tingkat stabilitas agregat yang rendah

sehingga sensitif terhadap erosi. Meskipun demikian tanah ultisol dapat menjadi

cukup produktif bila ditambahkan kapur, bahan organik, pemupukan dan

pengelolaan tertentu (Musa, dkk, 2006).

Berdasarkan latar belakang diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian guna menguji pengaruh media tanam dan pemberian pupuk majemuk NPKMg terhadap pertumbuhan bibit kelapa sawit pada main nursery.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh media tanam dan pemberian pupuk majemuk NPKMg serta interaksinya terhadap pertumbuhan bibit kelapa sawit pada main nursery.

Hipotesis Penelitian

(21)

Kegunaan Penelitian

(22)

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Tanaman Kelapa Sawit

Tanaman kelapa sawit dengan nama ilmiah Elaeis guineensis Jacq, termasuk kedalam family Palmae. Sistematika lengkapnya adalah sebagai berikut (Setyamidjaja, 1991) :

Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta Class : Monocotyledonae Ordo : Cocoineae

Family : Palmae Genus : Elaeis

Spesies : Elaeis guineensis Jacq.

Kelapa sawit merupakan penghasil minyak nabati yang tertinggi dibandingkan dengan tanaman sejenis lainnya. Hasil utama dari kelapa sawit adalah minyak sawit yang diambil dari buah atau mesocarp disebut minyak sawit mentah (CPO = Crude Palm Oil) dan minyak inti sawit (PKO = Palm Kernel Oil). Minyak sawit digunakan dalam industri makanan (minyak makan dan mentega), kosmetik dan farmasi. Hasil sampingan lainnya yaitu bungkil inti sawit digunakan sebagai pakan ternak dan limbah sawit digunakan sebagai pupuk organik (Lubis, 2000).

(23)

primer akan tumbuh ke bawah sampai batas permukaan air tanah. Batang tumbuh tegak lurus ke atas (Fototropi) dan dibungkus oleh pangkal pelepah daun. Bagian bawah batang umumnya lebih besar, disebut bonggol batang (Lubis, 2000).

Menurut Fauzi, dkk (2002), daun tanaman kelapa sawit membentuk pelepah bersirip ganda dan bertulang sejajar. Panjang pelepah daun dari tanaman yang baik dapat mencapai 7,5-9 meter, dengan jumlah anakan daun berkisar 250-400 helai di setiap pelepah. Helaian anak daun terpanjang biasanya terletek dibagian tengah pelepah. Jumlah pelepah daun dalam satu pohon dapat mencapai 60 pelepah. Pada tanaman berumur 13 tahun luas permukaan daun berkisar 10-15 m2 dan fotosintesis berjalan dengan lancar pada daun dengan luas permukaan daun diatas 11 meter.

Tanaman kelapa sawit termasuk tanaman monoceus, dimana bunga jantan dan bunga betina keduanya sama-sama terdapat dalam satu pohon, tetapi penyerbukannya mengikuti siklus terpisah. Munculnya bunga jantan dan bunga betina dalam satu pohon bergantian sehingga kemungkinan terjadinya penyerbukan sendiri sangat kecil. Bunga tersusun membentuk karangan bunga yang disebut tandan bunga. Tandan bunga keluar dari ketiak pelepah daun, biasanya pada setiap pelepah daun terdapat kuncup tandan (Lubis, 2000).

Syarat Tumbuh Tanaman Kelapa Sawit Iklim

(24)

tanaman kelapa sawit rata-rata 2.000-2.500 mm/tahun dengan distribusi merata sepanjang tahun tanpa bulan kering yang berkepanjangan (Mangoensoekarjo dan Semangun, 2003).

Sinar matahari dapat mendorong pembentukan bunga, pertumbuhan vegetatif dan produksi buah. Lama penyinaran matahari yang optimum antara 5-7 jam/hari. Berkurangnya lama penyinaran matahari akan mengurangi proses asimilasi untuk memproduksi karbohidrat dan pembentukan bunga (sex ratio) yang berakibat berkurangnya jumlah bunga betina (Risza, 1995).

Untuk tumbuh dengan baik tanaman kelapa sawit memerlukan suhu yang optimum. Suhu optimum itu berkisar antara 29-300C. Suhu akan berpengaruh terhadap masa pembungaan dan kematangan buah (Tim Penulis PS, 2000).

Kelembapan udara dan angin merupakan faktor yang penting untuk menunjang pertumbuhan kelapa sawit. Kelembapan optimum bagi pertumbuhan kelapa sawit adalah 80% sedangkan kecepatan angin berkisar antara 5-6 km/jam sangat baik untuk membantu proses penyerbukan (Fauzi, dkk, 2002).

Tanah

Kelapa sawit dapat tumbuh di berbagai jenis tanah antara lain tanah Podsolik Coklat, Podsolik Kuning, Podsolik Coklat Kekuningan, Podsolik Merah Kuning, Hidromorfik Kelabu, Alluvial, Regosol, Gley Humik, Organosol (tanah gambut) (Risza, 1997).

(25)

Kemasaman tanah idealnya pH 5.5, yang baik adalah pH 4.0-6.0, tetapi boleh juga digunakan pH 6.5-7. Tanah harus gembur dan drainase baik sehingga aerasi juga baik. Ketinggian tempat yang ideal bagi pertumbuhan tanaman kelapa sawit antara 1-400 m dpl(Sianturi, 1991).

Faktor-faktor yang penting diketahui adalah lokasi sifat fisik dan kimia tanah, topografi, sifat fisik tanah penilaian yang perlu dilakukan adalah kedalaman efektif, tekstur, struktur, permeabilitas, konsistensi reaksi kimia (pH) (Khaeruddin, 1999).

Sifat fisik dan kimia tanah yang harus dipenuhi untuk pertumbuhan tanaman kelapa sawit yang optimal adalah drainase baik, air cukup dalam, solum cukup dalam, tidak berbatu agar perkembangan akar tidak terganggu (Williams, 1987).

Pembibitan Kelapa Sawit

Pembibitan kelapa sawit dilakukan di polybag, dengan 2 tahap pembibitan yakni Pre nursery (pembibitan awal) dan Main nursery (pembibitan utama). Pembibitan awal bertujuan untuk mendederkan benih yang telah berkecambah dalam polybag kecil sedangkan pembibitan utama merupakan pembibitan lanjutan bibit kelapa sawit yang sudah berumur 3 bulan dari pembibitan awal dan dipindahkan ke polybag yang lebih besar serta sudah diseleksi. Seleksi sangat penting dilakukan untuk mendapatkan bibit yang sehat dengan pertumbuhan yang normal (Lubis, 1992).

(26)

perlu dibongkar sebagaimana dilakukan pada bibit disemaikan diatas tanah. 2) Waktu penanaman tidak tergantung pada musim hujan. 3) Pemupukan di polybag lebih efektif dan efisien. 4) Transportasi bibit lebih mudah dan murah. 5) Waktu mulai berproduksi lebih cepat, karena tanaman tidak mengalami gangguan pertumbuhan terutama pada waktu dipindahkan ke lapangan.

Dalam pembibitan faktor pupuk dan media tanah sangat perlu diperhatikan karena turut mempengaruhi keberhasilan pembibitan. Untuk memperbaiki sifat fisika, kimia dan biologi tanah dapat diusahakan dengan pemberian pupuk, dimana pupuk dapat menambah unsur hara makro dan mikro juga dapat memperbaiki struktur tanah (Lingga, 1997).

Kompos Tandan Kosong Kelapa Sawit

Kompos adalah hasil pembusukan sisa tanaman yang disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme pengurai. Kualitas kompos sangat ditentukan oleh besarnya perbandingan antara jumlah karbon dan nitrogen (C/N rasio). Jika C/N rasio tinggi, berarti bahan penyusun kompos belum terurai secara sempurna. Bahan kompos dengan C/N rasio tinggi akan terurai atau membusuk lebih lama dibandingkan dengan bahan ber C/N rasio rendah. Kualitas kompos dianggap baik jika memiliki C/N rasio antara 12-15 (Novizan, 2005).

(27)

menahan air, menambah kemampuan tanah untuk menahan unsur hara (kapasitas tukar kation tanah menjadi tinggi) dan sumber energi bagi mikroorganisme (Rosdianti, 2009).

Kelapa sawit sangat bermanfaat mulai dari industri makanan sampai industri kimia. Selain minyaknya, ampas tandan kelapa sawit merupakan sumber pupuk kalium dan berpotensi untuk diproses menjadi pupuk organik melalui fermentasi (pengomposan) aerob dengan penambahan mikroba alami yang akan memperkaya pupuk yang dihasilkan. Tandan kosong kelapa sawit (TKKS) mencapai 23 % dari jumlah pemanfaatan limbah kelapa sawit tersebut sebagai alternatif pupuk organik sehingga memberikan manfaat lain dari sisi ekonomi. Bagi perkebunan kelapa sawit, dapat menghemat penggunaan pupuk kimia sampai dengan 50 %

Proses pengomposan tandan kosong kelapa sawit ini tidak menggunakan bahan cair asam dan bahan kimia lain sehingga tidak terdapat pencemaran atau polusi, selain itu proses pengomposannya pun tidak menghasilkan limbah. Proses membuat kompos dimulai dengan pencacahan tandan kosong sawit terlebih dahulu dengan mesin pencacah kemudian bahan yang telah dicacah ditumpuk memanjang dengan ukuran lebar 2,5 m dan tinggi 1 m. Selama proses pengomposan tumpukan tersebut disiram dengan limbah cair yang berasal dari pabrik kelapa sawit. Tumpukan dibiarkan diatas semen dan dibiarkan di lantai terbuka selama 6 minggu. Kompos dibolak-balik dengan mesin pembalik. Setelah itu kompos siap untuk dimanfaatkan (PPKS, 2008).

(28)

tanah, mampu memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Selain itu kompos TKKS memiliki beberapa sifat yang menguntungkan antara lain memperbaiki struktur tanah berlempung menjadi ringan, membantu kelarutan unsur-unsur hara yang diperlukan bagi pertumbuhan tanaman, bersifat homogen dan mengurangi resiko sebagai pembawa hama tanaman, merupakan pupuk yang tidak mudah tercuci oleh air yang meresap dalam tanah dan dapat diaplikasikan pada sembarang musim (Darnoko dan Ady, 2006).

Darmoko dan Sutarta (2006) menyatakan bahwa dalam kompos TKKS terdapat beberapa kandungan nutrisi penting bagi tanaman. Kandungan nutrisi dalam kompos TKKS dapat disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan Nutrisi dalam Kompos TKKS

Parameter Nilai (%)

Air 45-50

Abu 12,60

N 2 – 3

C 35,10

P 0,2 – 0,4

K 4 – 6

Ca 1 – 2

Mg 0,8 – 1,0

C/N 15,03

Kompos TKKS dapat digunakan dalam pembibitan kelapa sawit dan merupakan bahan organik yang mengandung unsur hara utama N, P, K, Ca dan Mg. Selain mampu memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah, kompos TKKS dapat mengurangi penggunaan pupuk kimia (PPKS, 2008).

Pupuk Majemuk NPKMg

(29)

yang memiliki komposisi N, P dan K berimbang. Pupuk majemuk diciptakan dengan tujuan untuk memudahkan petani mendapatkan pupuk yang sesuai dengan kebutuhan tanaman. Masing-masing pupuk tersebut memiliki fase dan kegunaan yang berbeda. Pupuk berkadar N tinggi untuk fase vegetatif, pupuk berkadar P atau K tinggi untuk fase generatif dan pupuk berimbang yang dapat dipakai pada semua fase pertumbuhan tanaman (Redaksi Agromedia, 2007).

Pupuk NPKMg merupakan hara penting bagi tanaman. Nitrogen merupakan unsur hara utama bagi pertumbuhan tanaman yang pada umumnya sangat diperlukan untuk pembentukan atau pertumbuhan bagian-bagian vegetatif tanaman seperti daun, batang dan akar, tetapi kalau terlalu banyak dapat menghambat pembungaan dan pembuahan pada tanamannya. Nitrogen merupakan komponen penyusun dari banyak senyawa esensial bagi tumbuhan, misalnya asam-asam amino. Karena setiap molekul protein tersusun dari asam-asam amino dan setiap enzim adalah protein maka nitrogen merupakan unsur penyusun protein dan enzim. Fungsi nitrogen bagi tanaman adalah sebagai berikut : 1) Untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman. 2) Dapat menyehatkan pertumbuhan daun, daun tanaman menjadi lebar dengan warna yang lebih hijau, kekurangan N menyebabkan khlorosis (pada daun muda berwarna kuning). 3) Meningkatkan kadar protein dalam tubuh tanaman. 4) Meningkatkan kualitas tanaman penghasil daun-daunan. 5) Meningkatkan berkembangbiaknya mikro-organisme di dalam tanah. Sebagaimana diketahui hal itu penting sekali bagi kelangsungan pelapukan bahan organik (Sutedjo, 2002).

(30)

karena ion tersebut bermuatan negatif sehingga selalu berada di dalam larutan tanah dan mudah terserap oleh akar. Proses pembentukan ion nitrat (NO3-) yang terjadi di dalam tanah terdiri dari dua tahap. Tahap pertama, daur nitrogen adalah transfer nitrogen dari atmosfir ke dalam tanah. Selain air hujan yang membawa sejumlah nitrogen, penambahan nitrogen ke dalam tanah terjadi melalui proses fiksasi nitrogen. Fiksasi nitrogen secara biologis dapat dilakukan oleh bakteri Rhizobium yang bersimbiosis dengan polong-polongan, bakteri Azotobacter dan Clostridium. Selain itu ganggang hijau biru dalam air juga memiliki kemampuan memfiksasi nitrogen. Tahap kedua, nitrat yang di hasilkan oleh fiksasi biologis digunakan oleh produsen (tumbuhan) diubah menjadi molekul protein. Selanjutnya jika tumbuhan atau hewan mati, makhluk pengurai merombaknya menjadi gas amoniak (NH3) dan ion amonium yang larut dalam air (NH4+). Proses ini disebut dengan amonifikasi. Bakteri Nitrosomonas mengubah amoniak dan senyawa amonium menjadi nitrat oleh Nitrobacter. Apabila oksigen dalam tanah terbatas, nitrat dengan cepat ditransformasikan menjadi gas nitrogen atau oksida nitrogen oleh proses yang disebut denitrifikasi (Novizan, 2005).

Menurut Lingga dan Marsono (2001), fosfor bagi tanaman berguna untuk merangsang pertumbuhan akar, khususnya akar benih dan tanaman muda. Selain itu, fosfor berfungsi sebagai bahan mentah untuk pembentukan sejumlah protein tertentu: membantu asimilasi dan pernapasan: serta mempercepat pembungaan, pemasakan biji dan buah. Menurut Novizan (2005), jika terjadi kekurangan fosfor, tanaman menunjukkan gejala pertumbuhan sebagai berikut : 1) Lambat dan kerdil. 2) Perkembangan akar terhambat. 3) Gejala pada daun sangat beragam, beberapa

(31)

4) Pematangan buah terhambat. 5) Perkembangan bentuk dan warna buah buruk. 6) Biji berkembang tidak normal. Fosfor terdapat pada seluruh sel hidup tanaman yang berfungsi membentuk asam nukleat (DNA dan RNA), menyimpan serta memindahkan ATP dan ADP, merangsang pembelahan sel dan membantu proses asimilasi dan respirasi.

Kalium terdapat pada semua bagian tumbuhan (akar, batang dan daun) dalam jumlah cukup besar. Fungsi utama unsur ini adalah sebagai katalisator (pendorong dan mempercepat reaksi-reaksi biokimia). Kalium turut mengatur kegiatan-kegiatan vital dari tumbuhan seperti fotosintesis, transpirasi dan reaksi-reaksi biokimia dalam daun dan titik-titik tumbuh. Kalium dalam jumlah besar terdapat dalam tandan buah kelapa sawit, terutama dalam tangkai buah, mesokarp dan cangkang. Kekurangan kalium akan mengurangi produksi buah. (Mangoensoekarjo dan Semangun, 2003).

Magnesium merupakan bagian dari molekul klorofil, terdapat dalam berbagai jenis enzim dan berasosiasi dengan fosfor dalam proses pembentukan senyawa-senyawa fosfolipid yang merupakan bagian dari minyak yang diproduksi. Kekurangan magnesium ditandai dengan gejala klorosis (warna kekuningan). Magnesium dari jaringan tua ditransfer ke jaringan yang lebih muda, sehingga gejala klorosis terlihat pada daun-daun tua (daun bawah) (Mangoensoekarjo dan Semangun, 2003).

(32)

gr/bibit selama di pembibitan utama (9 bulan), sedangkan pada kondisi khusus dapat diberikan ekstra N (Urea) apabila helai daun kelihatan memucat, dengan dosis disesuaikan kebutuhan umur bibit. Pada pedoagroklimat dan umur yang seragam, kebutuhan hara untuk tanaman belum menghasilkan relatif sama, sehingga satu hamparan tanaman dapat memperoleh pupuk majemuk pada dosis dan komposisi kandungan hara yang sama (Darmosarkoro, dkk, 2008).

Pupuk majemuk berkualitas prima memiliki besar butiran yang seragam dan tidak terlalu higroskopis, sehingga tahan disimpan dan tidak cepat menggumpal. Hampir semua pupuk majemuk bereaksi asam, kecuali yang telah mendapatkan perlakuan khusus seperti penambahan Ca dan Mg (Novizan, 2005). Media Tanam Ultisol

Ultisol merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai

sebaran luas mencapai 45.794.000 ha atau sekitar 25% dari total luas daratan

Indonesia. Sebaran terluas terdapat di Kalimantan (21.938.000 ha), diikuti di

Sumatera (9.469.000 ha), Maluku dan Papua (8.859.000 ha), Sulawesi (4.303.000

ha), Jawa (1.172.000 ha) dan Nusa Tenggara (53.000 ha). Tanah ini dapat

dijumpai pada berbagai relief, mulai dari datar hingga bergunung

(Subagyo, dkk, 2004).

Tanah ultisol mempunyai tingkat perkembangan yang cukup lanjut,

dicirikan oleh penampang tanah yang dalam, kenaikan fraksi liat seiring dengan

kedalaman tanah, reaksi tanah masam dan kejenuhan basa rendah. Pada umumnya

tanah ini mempunyai potensi keracunan Al dan miskin kandungan bahan organik.

(33)

seperti Ca, Mg, Na, dan K, kadar Al tinggi, kapasitas tukar kation rendah dan

peka terhadap erosi (Sri Adiningsih dan Mulyadi, 1993).

Di Indonesia, ultisol umumnya belum tertangani dengan baik. Dalam skala

besar, tanah ini telah dimanfaatkan untuk perkebunan kelapa sawit, karet dan

hutan tanaman industri, tetapi pada skala petani kendala ekonomi merupakan

salah satu penyebab tidak terkelolanya tanah ini dengan baik.

Tanah ultisol memiliki kemasaman kurang dari 5,5 sesuai dengan sifat

kimia, komponen kimia tanah yang berperan terbesar dalam menentukan sifat dan

ciri tanah umumnya pada kesuburan tanah. Nilai pH yang mendekati minimum

dapat ditemui sampai pada kedalaman beberapa cm dari batuan yang utuh (belum

melapuk). Tanah ini kurang lapuk atau pada daerah yang kaya akan basa dari air

tanah pH meningkat di bagian bawah solum (Hakim, dkk, 1986).

Tanah ultisol sering diidentikkan dengan tanah yang tidak subur, tetapi

sesungguhnya bisa dimanfaatkan untuk lahan pertanian potensial, asalkan

dilakukan pengelolaan yang memperhatikan kendala yang ada pada ultisol.

Ternyata ultisol dapat menjadi lahan potensial apabila iklimnya mendukung

(Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 2000).

Untuk meningkatkan produktivitas ultisol, dapat dilakukan melalui

pemberian kapur, pemupukan, penambahan bahan organik, penambahan tanah

adaptif, penerapan teknik budidaya tanaman lorong (tumpang sari), terasering,

drainase dan pengolahan tanah yang seminim mungkin. Pengapuran yang

dimaksudkan untuk mempengaruhi sifat fisik tanah, sifat kimia dan kegiatan jasad

(34)

Indonesia tidak perlu mencapai pH tanah 6,5 (netral), tetapi sampai pada pH 5,5

sudah dianggap baik sebab yang terpenting adalah bagaimana meniadakan

pengaruh meracun dari aluminium dan penyediaan hara kalsium bagi

pertumbuhan tanaman (Hakim, dkk, 1986).

Tanah ini umumnya berkembang dari bahan induk tua. Di Indonesia

banyak ditemukan di daerah dengan bahan induk batuan liat. Tanah ini merupakan

bagian terluas dari lahan kering di Indonesia yang belum dipergunakan untuk

pertanian. Problem tanah ini adalah reaksi masam, kadar Al tinggi sehingga

menjadi racun bagi tanaman dan menyebabkan fiksasi P, unsur hara rendah,

diperlukan tindakan pengapuran dan pemupukan, keadaan tanah yang sangat

masam menyebabkan tanah kehilangan kapasitas tukar kation dan kemampuan

menyimpan hara kation dalam bentuk dapat ditukar, karena perkembangan

muatan positif (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006).

Sifat-sifat penting pada tanah ultisol berkaitan dengan jumlah fosfor dan

mineral-mineral resisten dalam bahan induk, komponen-komponen ini umumnya

terdapat dalam jumlah yang tidak seimbang, walaupun tidak terdapat beberapa

pengecualian. Ultisol yang berkembang pada bahan induk dengan

kandungan fosfor yang lebih tinggi. Translokasi (pengangkutan) liat yang

ekstensif berlangsung meninggalkan residu yang cukup untuk

membentuk horizon-horizon permukaan bertekstur kasar atau sedang

(Prasetyo dan Suriadikarta, 2006).

Pada umumnya ultisol berwarna kuning kecoklatan hingga merah. Pada

klasifikasi lama menurut Soepraptohardjo (1961), ultisol diklasifikasikan sebagai

(35)

bervariasi dengan hue dari 10YR hingga 10R, nilai 3-6 dan kroma 4-8. Warna

tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain bahan organik yang

menyebabkan warna gelap atau hitam, kandungan mineral primer fraksi ringan

seperti kuarsa dan plagioklas yang memberikan warna putih keabuan, serta oksida

besi seperti geothit dan hematit yang memberikan warna kecoklatan hingga

merah. Makin coklat warna tanah umumnya makin tinggi kandungan geothit, dan

makin merah warna tanah umumnya makin tinggi kandungan hematit

(36)

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di lahan percobaan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, dengan ketinggian tempat ± 25 meter di atas permukaan laut. Penelitian dilakukan pada bulan Januari sampai Mei 2011.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah bibit kelapa sawit DxP varietas Langkat (LT-C) sebagai objek pengamatan, pupuk majemuk NPKMg (15:15:6:4) sebagai perlakuan, tanah top soil ultisol sebagai media tanam, kompos TKKS sebagai campuran media tanam. Decis 25 EC dengan konsentrasi 1-2 ml/liter air dan sevin 85 S untuk melindungi tanaman dari serangan hama serta Dithane M-45 80 WP untuk melindungi tanaman dari serangan penyakit.

Alat yang digunakan dalam penelitian adalah timbangan analitik untuk menimbang pupuk majemuk NPKMg (15:15:6:4) serta menimbang bobot basah dan kering bibit. Polibag ukuran 40x45 cm sebagai tempat media tanam, cangkul, gembor, meteran, jangka sorong, handsprayer, kalkulator, knapsack, pacak sampel dan ayakan pasir.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) faktorial dengan 2 faktor perlakuan, yaitu :

(37)

M1 : 0% Kompos TKKS (0 kg) + 100% top soil Ultisol (22 kg) M2 : 25% Kompos TKKS (5,5 kg) + 75% top soil Ultisol (16,5 kg) M3 : 50% Kompos TKKS (11 kg) + 50% top soil Ultisol (11 kg) M4 : 75% Kompos TKKS (16,5 kg) + 25% top soil Ultisol (5,5 kg) Faktor II : Pupuk Majemuk NPKMg (P) dengan 4 taraf :

P0 : 0 g (kontrol) P1 : 28,5 g P2 : 57 g P3 : 85,5 g

Sehingga diperoleh 16 kombinasi perlakuan, yaitu : M1P0 M2P0 M3P0 M4P0 M1P1 M2P1 M3P1 M4P1 M1P2 M2P2 M3P2 M4P2

M1P3 M2P3 M3P3 M4P3 Jumlah blok (ulangan) = 3 blok (ulangan)

Jumlah plot = 48 plot Jumlah tanaman / plot = 4 tanaman Jumlah tanaman sampel / plot = 4 tanaman Jumlah tanaman seluruhnya = 192 tanaman Jumlah tanaman sampel seluruhnya = 192 tanaman Jarak antar bibit = 90 cm

(38)

Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan sidik ragam berdasarkan model linier sebagai berikut:

Yijk = µ + ρi + αj + βk + (αβ) jk +∑ijk dimana :

Yijk : Hasil pengamatan dari blok ke-i dengan perlakuan media tanam ke-j dan perlakuan pupuk majemuk NPKMg taraf ke-k

µ : Nilai tengah sebenarnya. ρi : Efek blok ke-i.

αj : Efek perlakuan media tanam taraf ke-j.

βk : Efek perlakuan pupuk majemuk NPKMg taraf ke-k.

(αβ) jk : Efek interaksi perlakuan media tanam taraf ke-j dan perlakuan pupuk

majemuk NPKMg taraf ke-k

∑ijk : Efek galat yang mendapat perlakuan media tanam taraf ke-i dan perlakuan pupuk majemuk NPKMg taraf ke-j dan interaksi perlakuan media tanam dan pupuk majemuk NPKMg taraf ke-k

Jika hasil sidik ragam menunjukkan pengaruh nyata maka analisis dilanjutkan dengan menggunakan Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf F tabel 5 %. Parameter yang Diukur

Tinggi Bibit (cm)

(39)

Diameter Batang (mm)

Pengukuran diameter batang dilakukan dengan menggunakan sclipper. Pengukuran dilakukan pada dua sisi yang berbeda kemudian dirata-ratakan. Pengukuran diameter batang dilakukan 5 cm diatas permukaan tanah. Pengukuran dilakukan setelah tanaman berumur 2 MSPT di pembibitan utama dengan interval 4 minggu.

Jumlah Daun (helai)

Perhitungan dilakukan dengan menghitung jumlah daun yang telah membuka sempurna. Perhitungan jumlah daun dilakukan setelah tanaman berumur 2 MSPT di pembibitan utama dengan interval 4 minggu.

Luas Daun (cm2)

Pengukuran luas daun dilakukan pada saat pengamatan pertama dan terakhir dengan mengukur panjang dan lebar daun kemudian dikalikan dengan konstanta. Luas daun dihitung dengan menggunakan rumus :

Luas = p x l x k p = panjang daun (cm)

l = lebar daun (cm)

k = konstanta (0,57 untuk daun lanset dan 0,51 untuk daun bifurcate) Daun Lanset = Daun yang belum membuka sempurna

(40)

Bobot Basah Bibit (g)

Pengukuran bobot basah bibit dilakukan pada saat pengamatan pertama dan terakhir. Perhitungan dilakukan dengan cara membersihkan seluruh bibit dari tanah atau kotoran dengan air, kemudian dikering anginkan dan ditimbang dengan timbangan analitik. Pengukuran dilakukan pada sampel destruktif.

Bobot Kering Bibit (g)

Perhitungan bobot kering bibit dilakukan dengan cara mengeringovenkan seluruh bibit yang telah diukur bobot basahnya pada suhu 105oC selama 72 jam atau sampai beratnya konstan, kemudian ditimbang dengan timbangan analitik. Pengukuran dilakukan pada sampel destruktif.

Pelaksanaan Penelitian Persiapan Areal Pembibitan

Persiapan areal pembibitan meliputi pembersihan lahan dari gulma dengan menggunakan cangkul kemudian disemprotkan dengan Roundup Biosorb 486 SL, lalu dibuat parit yang berguna untuk menjaga kondisi areal pembibitan dari genangan air akibat hujan deras. Setelah itu permukaan tanah diratakan sehingga polibag dapat disusun rapi dan tidak miring.

Persiapan Media Tanam

(41)

Penyediaan Bahan Tanaman (Bibit)

Bahan tanaman (bibit) yang digunakan berasal dari pre nursery hasil persilangan DxP varietas Langkat (LT-C) yang telah berumur 3 bulan atau berdaun 3-4 helai.

Penanaman Bibit Kelapa Sawit

Pemindahan bibit dari pre nursery ke main nursery dapat dilakukan pada saat bibit berumur 3 bulan. Sebelum penanaman dilakukan, tanah dalam polibag besar disiram sampai kapasitas lapang, kemudian dibuat lubang tanam dengan ukuran sama seperti ukuran polibag kecil. Cetakan lubang tanam dapat dibuat dari pipa PVC. Bibit dimasukkan ke dalam lubang tanam setelah kantong polibag kecil dibuang. Tanah disekeliling bibit ditekan padat merata, selanjutnya dilakukan penambahan tanah hingga sebatas leher akar.

Pemberian Kompos Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS)

Pemberian kompos TKKS dilakukan bersamaan dengan pengisian media tanam sesuai dengan taraf setiap perlakuan. Aplikasi kompos TKKS dilakukan dengan mencampur dan meratakan dengan media tanam top soil ultisol.

Pemberian Pupuk Majemuk NPKMg

(42)

Tabel 2. Pemberian Pupuk Perlakuan NPKMg (15:15:6:4) Umur

(MSPT)

Taraf Perlakuan

P0 P1 P2 P3

2 0 g 3,56 g 7,12 g 10,68 g

4 0 g 3,56 g 7,12 g 10,68 g

6 0 g 3,56 g 7,12 g 10,68 g

8 0 g 3,56 g 7,12 g 10,68 g

10 0 g 3,56 g 7,12 g 10,68 g

12 0 g 3,56 g 7,12 g 10,68 g

14 0 g 3,56 g 7,12 g 10,68 g

16 0 g 3,56 g 7,12 g 10,68 g

Total 0 g 28,5 g 57 g 85,5 g

Pemeliharaan Bibit 1. Penyiraman

Penyiraman yang cukup dan efisien sangat penting untuk mendapatkan bibit yang jagur, sehat dan homogen. Penyiraman dilakukan dua kali sehari yaitu pada pagi dan sore hari, dan penyiraman disesuaikan dengan kondisi cuaca.

2. Pengendalian Gulma

Pengendalian gulma pada pembibitan utama terdiri atas dua kegiatan, yaitu membuang gulma dalam polibag serta di areal pembibitan. Pengendalian didalam polibag dilakukan dengan cara mencabut secara manual, sedangkan di areal pembibitan dilakukan dengan cara mencangkul.

3. Pengendalian hama dan penyakit

(43)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Tinggi Bibit (cm)

Data hasil pengamatan dan sidik ragam tinggi bibit 2, 6 dan 10 MSPT dapat dilihat pada lampiran 1, 2, 3, 4, 5 dan 6, dimana perlakuan kompos TKKS dan perlakuan pupuk majemuk NPKMg berpengaruh tidak nyata, begitu juga interaksi perlakuan kompos TKKS dengan perlakuan pupuk majemuk NPKMg berpengaruh tidak nyata terhadap tinggi bibit.

Data hasil pengamatan dan sidik ragam tinggi bibit 14 MSPT dapat dilihat pada lampiran 7 dan 8, dimana perlakuan kompos TKKS dan perlakuan pupuk majemuk NPKMg berpengaruh tidak nyata, sedangkan interaksi perlakuan kompos TKKS dengan perlakuan pupuk majemuk NPKMg berpengaruh nyata terhadap tinggi bibit.

Data hasil pengamatan dan sidik ragam tinggi bibit 18 MSPT dapat dilihat pada lampiran 9 dan 10, dimana perlakuan kompos TKKS dan perlakuan pupuk majemuk NPKMg berpengaruh nyata, begitu juga interaksi perlakuan kompos TKKS dengan perlakuan pupuk majemuk NPKMg berpengaruh nyata terhadap tinggi bibit.

(44)

Tabel 3. Rataan tinggi bibit dengan perlakuan kompos TKKS dan pemberian pupuk majemuk NPKMg pada umur 2 s/d 18 MSPT.

Media Pupuk Rataan

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama berbeda tidak nyata pada Uji Duncan taraf 5 %.

Pada umur 2 MSPT dapat dilihat bahwa perlakuan kompos TKKS lebih tinggi pada taraf perlakuan M2 (32,11 cm) dan lebih rendah pada taraf perlakuan M3 (30,44 cm), sedangkan pada perlakuan pupuk majemuk NPKMg lebih tinggi pada taraf perlakuan P1 (32,23 cm) dan lebih rendah pada taraf perlakuan P3 (30,43 cm).

(45)

Pada umur 6 MSPT dapat dilihat bahwa perlakuan kompos TKKS lebih tinggi pada taraf perlakuan M2 (34,67 cm) dan lebih rendah pada taraf perlakuan M3 (33,85 cm), sedangkan pada perlakuan pupuk majemuk NPKMg lebih tinggi pada taraf perlakuan P1 (35,58 cm) dan lebih rendah pada taraf perlakuan P3 (33,57 cm).

Pada umur 10 MSPT dapat dilihat bahwa perlakuan kompos TKKS lebih tinggi pada taraf perlakuan M4 (36,48 cm) dan lebih rendah pada taraf perlakuan M1 (36,06 cm), sedangkan pada perlakuan pupuk majemuk NPKMg lebih tinggi pada taraf perlakuan P1 (37,29 cm) dan lebih rendah pada taraf perlakuan P0 (35,44 cm).

Pada umur 14 MSPT dapat dilihat bahwa interaksi perlakuan kompos TKKS dengan perlakuan pupuk majemuk NPKMg terhadap tinggi bibit tertinggi pada taraf kombinasi perlakuan M4P3 (43,57 cm) yang berbeda nyata dengan taraf kombinasi perlakuan M2P3 (38,00 cm) dan M1P0 (33,87 cm), tetapi berbeda tidak nyata dengan taraf kombinasi perlakuan M3P1 (42,00 cm), M2P2 (41,83 cm), M2P1 (41,73 cm), M1P3 (41,42 cm), M1P1 (41,32 cm), M4P1 (41,18 cm), M2P0 (41,16 cm), M3P3 (41,15 cm), M1P2 (40,99 cm), M4P0 (40,93 cm), M3P2 (40,85 cm), M4P2 (40,72 cm) dan M3P0 (40,19 cm).

(46)

dengan taraf perlakuan P2 (63,84 cm). Interaksi perlakuan kompos TKKS dengan perlakuan pupuk majemuk NPKMg terhadap tinggi bibit tertinggi pada taraf kombinasi perlakuan M4P1 (68,07 cm) yang berbeda nyata dengan taraf kombinasi perlakuan M1P0 (37,32 cm), M1P2 (61,99 cm), M1P3 (61,16 cm), M2P1 (61,17 cm), M2P3 (61,26 cm), M3P3 (59,70 cm), M4P2 (62,94 cm) dan M4P3 (62,03 cm), tetapi berbeda tidak nyata dengan taraf kombinasi perlakuan M1P1 (65,28 cm), M2P0 (63,36 cm), M2P2 (64,44 cm), M3P0 (65,54 cm), M3P1 (67,57 cm), M3P2 (66,00 cm) dan M4P0 (67,92 cm).

Hubungan kompos TKKS dengan tinggi bibit kelapa sawit pada umur 18 MSPT dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1. Hubungan kompos TKKS dengan tinggi bibit kelapa sawit pada umur 18 MSPT

Pada gambar 1 dapat dilihat bahwa pengaruh kompos TKKS terhadap tinggi bibit kelapa sawit menunjukkan hubungan yang kuadratik, dimana persentase kompos TKKS optimum yaitu 64,02 % dengan tinggi bibit kelapa sawit maksimum 65,57 cm.

(47)

Hubungan pupuk majemuk NPKMg dengan tinggi bibit kelapa sawit pada umur 18 MSPT dapat dilihat pada gambar 2.

Gambar 2. Hubungan pupuk majemuk NPKMg dengan tinggi bibit kelapa sawit pada umur 18 MSPT

(48)

Hubungan kompos TKKS dengan tinggi bibit kelapa sawit pada berbagai taraf pemberian pupuk majemuk NPKMg pada umur 18 MSPT dapat dilihat pada gambar 3.

Gambar 3. Hubungan kompos TKKS dengan tinggi bibit kelapa sawit pada berbagai taraf pemberian pupuk majemuk NPKMg pada umur 18 MSPT

Pada gambar 3 dapat dilihat bahwa pada regresi ŶP0 persentase kompos TKKS optimum yaitu 57,14 %, dengan tinggi bibit kelapa sawit maksimum 69,54 cm. Pada regresi ŶP1 persentase kompos TKKS optimum yaitu 22,05 %, dengan tinggi bibit kelapa sawit maksimum 63,58 cm. Pada regresi ŶP2 persentase

kompos TKKS optimum yaitu 41,59 %, dengan tinggi bibit kelapa sawit maksimum 65,61 cm. Pada regresi ŶP3 persentase kompos TKKS optimum yaitu 34,77 %, dengan tinggi bibit kelapa sawit maksimum 60,35 cm.

(49)

Hubungan pupuk majemuk NPKMg dengan tinggi bibit kelapa sawit pada berbagai taraf pemberian kompos TKKS pada umur 18 MSPT dapat dilihat pada gambar 4.

Gambar 4. Hubungan pupuk majemuk NPKMg dengan tinggi bibit kelapa sawit pada berbagai taraf pemberian kompos TKKS pada umur 18 MSPT

Pada gambar 4 dapat dilihat bahwa pada regresi ŶM1 dosis pupuk

majemuk NPKMg optimum yaitu 7,03 g/polibag, dengan tinggi bibit kelapa sawit maksimum 67,04 cm. Pada regresi ŶM2 dosis pupuk majemuk NPKMg optimum yaitu 3,17 g/polibag, dengan tinggi bibit kelapa sawit maksimum 62,96 cm. Pada regresi ŶM3 dosis pupuk majemuk NPKMg optimum yaitu 3,70 g/polibag, dengan tinggi bibit kelapa sawit maksimum 67,73 cm. Pada regresi ŶM4 dosis pupuk majemuk NPKMg optimum yaitu 10,10 g/polibag, dengan tinggi bibit kelapa sawit maksimum 62,06 cm.

(50)

Diameter Batang (mm)

Data hasil pengamatan dan sidik ragam diameter batang 2 MSPT dapat dilihat pada lampiran 11 dan 12, dimana perlakuan kompos TKKS dan perlakuan pupuk majemuk NPKMg berpengaruh tidak nyata, sedangkan interaksi perlakuan kompos TKKS dengan perlakuan pupuk majemuk NPKMg berpengaruh nyata terhadap diameter batang.

Data hasil pengamatan dan sidik ragam diameter batang 6 MSPT dapat dilihat pada lampiran 13 dan 14, dimana perlakuan kompos TKKS berpengaruh tidak nyata, tetapi perlakuan pupuk majemuk NPKMg berpengaruh nyata, begitu juga interaksi perlakuan kompos TKKS dengan perlakuan pupuk majemuk NPKMg berpengaruh nyata terhadap diameter batang.

Data hasil pengamatan dan sidik ragam diameter batang 10, 14 dan 18 MSPT dapat dilihat pada lampiran 15, 16, 17, 18, 19 dan 20, dimana perlakuan kompos TKKS dan perlakuan pupuk majemuk NPKMg berpengaruh nyata, begitu juga interaksi perlakuan kompos TKKS dengan perlakuan pupuk majemuk NPKMg berpengaruh nyata terhadap diameter batang.

(51)

Tabel 4. Rataan diameter batang dengan perlakuan kompos TKKS dan pemberian pupuk majemuk NPKMg pada umur 2 s/d 18 MSPT.

Media Pupuk Rataan M2 9,40bcdef 10,47abcde 10,94abcd 9,23cdef 10,01 M3 8,23ef 11,73ab 9,65abcdef 9,57abcdef 9,79 M4 9,31cdef 10,59abcde 9,57abcdef 11,65abc 10,28

Rataan 8,56b 10,48a 10,49a 10,26a

10 MSPT

M1 12,09e 18,56abcd 18,63abcd 18,54abcd 16,96b M2 18,73abcd 19,63ab 19,09abcd 17,29cd 18,69a M3 17,20d 19,82a 18,27abcd 17,45bcd 18,19a M4 18,95abcd 19,22abcd 19,51abc 17,68bcd 18,84a Rataan 16,74c 19,31a 18,88a 17,74b

14 MSPT

M1 14,90e 24,77abcd 25,38abcd 24,71abcd 22,44b M2 25,69abcd 26,69ab 25,33abcd 23,54cd 25,31a

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama berbeda tidak nyata pada Uji Duncan taraf 5 %.

Pada umur 2 MSPT dapat dilihat bahwa interaksi perlakuan kompos TKKS dengan perlakuan pupuk majemuk NPKMg terhadap diameter batang tertinggi pada taraf kombinasi perlakuan M2P2 (6,87 mm) yang berbeda nyata dengan taraf kombinasi perlakuan M3P2 (6,24 mm), M4P3 (6,09 mm), M1P0 (5,85 mm) dan M2P3 (5,84 mm), tetapi berbeda tidak nyata dengan taraf

(52)

kombinasi perlakuan M1P1 (6,81 mm), M2P1 (6,77 mm), M1P3 (6,71 mm), M3P3 (6,70 mm), M2P0 (6,68 mm), M1P2 (6,65 mm), M3P0 (6,51 mm), M4P0 (6,50 mm), M3P1 (6,48 mm), M4P2 (6,39 mm) dan M4P1 (6,31 mm).

Pada umur 6 MSPT dapat dilihat bahwa perlakuan pupuk majemuk NPKMg tertinggi pada taraf perlakuan P2 (10,49 mm) yang berbeda nyata dengan taraf perlakuan P0 (8,56 mm), tetapi berbeda tidak nyata dengan taraf perlakuan P1 (10,48 mm) dan P3 (10,26 mm). Interaksi perlakuan kompos TKKS dengan perlakuan pupuk majemuk NPKMg terhadap diameter batang tertinggi pada taraf kombinasi perlakuan M1P2 (11,79 mm) yang berbeda nyata dengan taraf kombinasi perlakuan M2P0 (9,40 mm), M4P0 (9,31 mm), M2P3 (9,23 mm), M1P1 (9,15 mm), M3P0 (8,23 mm) dan M1P0 (7,29 mm), tetapi berbeda tidak nyata dengan taraf kombinasi perlakuan M3P1 (11,73 mm), M4P3 (11,65 mm), M2P2 (10,94 mm), M4P1 (10,59 mm), M1P3 (10,57 mm), M2P1 (10,47 mm), M3P2 (9,65 mm), M3P3 (9,57 mm) dan M4P2 (9,57 mm).

(53)

M3P0 (17,20 mm) dan M1P0 (12,09 mm), tetapi berbeda tidak nyata dengan taraf kombinasi perlakuan M2P1 (19,63 mm), M4P2 (19,51 mm), M4P1 (19,22 mm), M2P2 (19,09 mm), M4P0 (18,95 mm), M2P0 (18,73 mm), M1P2 (18,63 mm), M1P1 (18,56 mm), M1P3 (18,54 mm) dan M3P2 (18,27 mm).

Pada umur 14 MSPT dapat dilihat bahwa perlakuan kompos TKKS tertinggi pada taraf perlakuan M4 (25,63 mm) yang berbeda nyata dengan taraf perlakuan M1 (22,44 mm), tetapi berbeda tidak nyata dengan taraf perlakuan M2 (25,31 mm) dan M3 (24,72 mm), sedangkan pada perlakuan pupuk majemuk NPKMg tertinggi pada taraf perlakuan P1 (25,94 mm) yang berbeda nyata dengan taraf perlakuan P3 (23,85 mm) dan P0 (22,90 mm), tetapi berbeda tidak nyata dengan taraf perlakuan P2 (25,41 mm). Interaksi perlakuan kompos TKKS dengan perlakuan pupuk majemuk NPKMg terhadap diameter batang tertinggi pada taraf kombinasi perlakuan M4P0 (27,01 mm) yang berbeda nyata dengan taraf kombinasi perlakuan M4P3 (24,13 mm), M3P0 (23,99 mm), M2P3 (23,54 mm), M3P3 (23,03 mm) dan M1P0 (14,90 mm), tetapi berbeda tidak nyata dengan taraf kombinasi perlakuan M2P1 (26,69 mm), M4P1 (26,31 mm), M3P1 (25,99 mm), M3P2 (25,86 mm), M2P0 (25,69 mm), M1P2 (25,38 mm), M2P2 (25,33 mm), M4P2 (25,05 mm), M1P1 (24,77 mm) dan M1P3 (24,71 mm).

(54)

dengan taraf perlakuan P1 (32,70 mm). Interaksi perlakuan kompos TKKS dengan perlakuan pupuk majemuk NPKMg terhadap diameter batang tertinggi pada taraf kombinasi perlakuan M4P0 (34,87 mm) yang berbeda nyata dengan taraf kombinasi perlakuan M4P2 (32,35 mm), M2P2 (32,17 mm), M4P3 (31,94 mm), M1P3 (31,92 mm), M3P0 (31,53 mm), M1P1 (31,39 mm), M2P3 (31,03 mm), M3P3 (30,62 mm) dan M1P0 (19,30 mm), tetapi berbeda tidak nyata dengan taraf kombinasi perlakuan M3P2 (33,79 mm), M3P1 (33,45 mm), M2P0 (33,42 mm), M4P1 (33,25 mm), M1P2 (32,99 mm) dan M2P1 (32,69 mm).

Hubungan kompos TKKS dengan diameter batang kelapa sawit pada umur 18 MSPT dapat dilihat pada gambar 5.

Gambar 5. Hubungan kompos TKKS dengan diameter batang kelapa sawit pada umur 18 MSPT

(55)

Hubungan pupuk majemuk NPKMg dengan diameter batang kelapa sawit pada umur 18 MSPT dapat dilihat pada gambar 6.

Gambar 6. Hubungan pupuk majemuk NPKMg dengan diameter batang kelapa sawit pada umur 18 MSPT

Pada gambar 6 dapat dilihat bahwa pengaruh pupuk majemuk NPKMg terhadap diameter batang kelapa sawit menunjukkan hubungan yang kuadratik, dimana dosis pupuk majemuk NPKMg optimum yaitu 6,15 g dengan diameter batang kelapa sawit maksimum 33,08 mm.

(56)

Hubungan kompos TKKS dengan diameter batang kelapa sawit pada berbagai taraf pemberian pupuk majemuk NPKMg pada umur 18 MSPT dapat dilihat pada gambar 7.

Gambar 7. Hubungan kompos TKKS dengan diameter batang kelapa sawit pada berbagai taraf pemberian pupuk majemuk NPKMg pada umur 18 MSPT

Pada gambar 7 dapat dilihat bahwa pada regresi ŶP0 persentase kompos TKKS optimum yaitu 58,43 %, dengan diameter batang kelapa sawit maksimum 35,04 mm. Pada regresi ŶP1 persentase kompos TKKS optimum yaitu 58,41 %, dengan diameter batang kelapa sawit maksimum 33,42 mm. Pada regresi ŶP2 persentase kompos TKKS optimum yaitu 43,5 %, dengan diameter batang kelapa sawit maksimum 33,10 mm. Pada regresi ŶP3 persentase kompos TKKS optimum yaitu 37,5 %, dengan diameter batang kelapa sawit maksimum 30,71 mm.

(57)

Hubungan pupuk majemuk NPKMg dengan diameter batang kelapa sawit pada berbagai taraf pemberian kompos TKKS pada umur 18 MSPT dapat dilihat pada gambar 8.

Gambar 8. Hubungan pupuk majemuk NPKMg dengan diameter batang kelapa sawit pada berbagai taraf pemberian kompos TKKS pada umur 18 MSPT

Pada gambar 8 dapat dilihat bahwa pada regresi ŶM1 dosis pupuk majemuk NPKMg optimum yaitu 7,48 g/polibag, dengan diameter batang kelapa sawit maksimum 34,20 mm. Pada regresi ŶM2 dosis pupuk majemuk NPKMg optimum yaitu 7,95 g/polibag, dengan diameter batang kelapa sawit maksimum 31,84 mm. Pada regresi ŶM3 dosis pupuk majemuk NPKMg optimum yaitu 5,01 g/polibag, dengan diameter batang kelapa sawit maksimum 33,95 mm. Pada regresi ŶM4 dosis pupuk majemuk NPKMg optimum yaitu 11,07 g/polibag, dengan diameter batang kelapa sawit maksimum 31,94 mm.

(58)

Jumlah Daun (helai)

Data hasil pengamatan dan sidik ragam jumlah daun 2 MSPT dapat dilihat pada lampiran 21 dan 22, dimana perlakuan kompos TKKS dan perlakuan pupuk majemuk NPKMg berpengaruh tidak nyata, begitu juga interaksi perlakuan kompos TKKS dengan perlakuan pupuk majemuk NPKMg berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah daun.

Data hasil pengamatan dan sidik ragam jumlah daun 6 MSPT dapat dilihat pada lampiran 23 dan 24, dimana perlakuan kompos TKKS berpengaruh tidak nyata tetapi perlakuan pupuk majemuk NPKMg berpengaruh nyata, sedangkan interaksi perlakuan kompos TKKS dengan perlakuan pupuk majemuk NPKMg berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah daun.

Data hasil pengamatan dan sidik ragam jumlah daun 10 MSPT dapat dilihat pada lampiran 25 dan 26, dimana perlakuan kompos TKKS berpengaruh tidak nyata tetapi perlakuan pupuk majemuk NPKMg berpengaruh nyata, begitu juga interaksi perlakuan kompos TKKS dengan perlakuan pupuk majemuk NPKMg berpengaruh nyata terhadap jumlah daun.

(59)

Rataan jumlah daun pada umur 2, 6, 10, 14 dan 18 MSPT pada perlakuan kompos TKKS dan pemberian pupuk majemuk NPKMg dapat dilihat pada tabel 5.

Tabel 5. Rataan jumlah daun dengan perlakuan kompos TKKS dan pemberian pupuk majemuk NPKMg pada umur 2 s/d 18 MSPT.

Media Pupuk Rataan

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama berbeda tidak nyata pada Uji Duncan taraf 5 %.

Pada umur 2 MSPT dapat dilihat bahwa perlakuan kompos TKKS lebih tinggi pada taraf perlakuan M1 (3,90 helai) dan lebih rendah pada taraf perlakuan

(60)

M3 (3,85 helai) dan M4 (3,85 helai), sedangkan pada perlakuan pupuk majemuk NPKMg lebih tinggi pada taraf perlakuan P2 (3,96 helai) dan lebih rendah pada taraf perlakuan P0 (3,75 helai).

Pada umur 6 MSPT dapat dilihat bahwa perlakuan pupuk majemuk NPKMg tertinggi pada taraf perlakuan P3 (4,92 helai) yang berbeda nyata dengan taraf perlakuan P0 (4,42 helai), tetapi berbeda tidak nyata dengan taraf perlakuan P1 (4,88 helai) dan P2 (4,88 helai).

Pada umur 10 MSPT dapat dilihat bahwa perlakuan pupuk majemuk NPKMg tertinggi pada taraf perlakuan P3 (7,69 helai) yang berbeda nyata dengan taraf perlakuan P0 (6,56 helai), tetapi berbeda tidak nyata dengan taraf perlakuan P1 (7,58 helai) dan P2 (7,60 helai). Interaksi perlakuan kompos TKKS dengan perlakuan pupuk majemuk NPKMg terhadap jumlah daun tertinggi pada taraf kombinasi perlakuan M4P3 (8,00 helai) yang berbeda nyata dengan taraf kombinasi perlakuan M2P2 (7,17 helai), M4P0 (7,17 helai), M2P0 (7,00 helai), M3P0 (6,75 helai) dan M1P0 (5,33 helai), tetapi berbeda tidak nyata dengan taraf kombinasi perlakuan M1P3 (7,83 helai), M2P1 (7,83 helai), M3P2 (7,83 helai), M1P2 (7,75 helai), M4P2 (7,67 helai), M3P1 (7,58 helai), M1P1 (7,50 helai), M2P3 (7,50 helai), M3P3 (7,42 helai) dan M4P1 (7,42 helai).

(61)

perlakuan P1 (9,92 helai) dan P3 (9,90 helai). Interaksi perlakuan kompos TKKS dengan perlakuan pupuk majemuk NPKMg terhadap jumlah daun tertinggi pada taraf kombinasi perlakuan M1P2 (10,25 helai) yang berbeda nyata dengan taraf kombinasi perlakuan M2P3 (9,33 helai) dan M1P0 (6,50 helai), tetapi berbeda tidak nyata dengan taraf kombinasi perlakuan M1P3 (10,17 helai), M2P2 (10,17 helai), M2P1 (10,08 helai), M4P3 (10,08 helai), M3P1 (10,00 helai), M3P2 (10,00 helai), M3P3 (10,00 helai), M4P1 (9,83 helai), M1P1 (9,75 helai), M4P0 (9,75 helai), M4P2 (9,67 helai), M2P0 (9,50 helai) dan M3P0 (9,50 helai).

(62)

Hubungan kompos TKKS dengan jumlah daun kelapa sawit pada umur 18 MSPT dapat dilihat pada gambar 9.

Gambar 9. Hubungan kompos TKKS dengan jumlah daun kelapa sawit pada umur 18 MSPT

(63)

Hubungan pupuk majemuk NPKMg dengan jumlah daun kelapa sawit pada umur 18 MSPT dapat dilihat pada gambar 10.

Gambar 10. Hubungan pupuk majemuk NPKMg dengan jumlah daun kelapa sawit pada umur 18 MSPT

Pada gambar 10 dapat dilihat bahwa pengaruh pupuk majemuk NPKMg terhadap jumlah daun kelapa sawit menunjukkan hubungan yang kuadratik, dimana dosis pupuk majemuk NPKMg optimum yaitu 7,96 g dengan jumlah daun kelapa sawit maksimum 12,53 helai.

(64)

Hubungan kompos TKKS dengan jumlah daun kelapa sawit pada berbagai taraf pemberian pupuk majemuk NPKMg pada umur 18 MSPT dapat dilihat pada gambar 11.

Gambar 11. Hubungan kompos TKKS dengan jumlah daun kelapa sawit pada berbagai taraf pemberian pupuk majemuk NPKMg pada umur 18 MSPT

Pada gambar 11 dapat dilihat bahwa pada regresi ŶP0 persentase kompos TKKS optimum yaitu 52,09 %, dengan jumlah daun kelapa sawit maksimum 13,17 helai. Pada regresi ŶP1 persentase kompos TKKS optimum yaitu 45,73 %, dengan jumlah daun kelapa sawit maksimum 12,59 helai. Pada regresi ŶP2 pengaruh kompos TKKS terhadap jumlah daun kelapa sawit menunjukkan hubungan yang linier. Pada regresi ŶP3 persentase kompos TKKS optimum yaitu 48,75 %, dengan jumlah daun kelapa sawit maksimum 12,75 helai.

(65)

Hubungan pupuk majemuk NPKMg dengan jumlah daun kelapa sawit pada berbagai taraf pemberian kompos TKKS pada umur 18 MSPT dapat dilihat pada gambar 12.

Gambar 12. Hubungan pupuk majemuk NPKMg dengan jumlah daun kelapa sawit pada berbagai taraf pemberian kompos TKKS pada umur 18 MSPT

Pada gambar 12 dapat dilihat bahwa pada regresi ŶM1 dosis pupuk

majemuk NPKMg optimum yaitu 7,40 g/polibag, dengan jumlah daun kelapa sawit maksimum 12,80 helai. Pada regresi ŶM2 dosis pupuk majemuk NPKMg optimum yaitu 1,04 g/polibag, dengan jumlah daun kelapa sawit maksimum 12,22 helai. Pada regresi ŶM3 dosis pupuk majemuk NPKMg optimum yaitu 8,93 g/polibag, dengan jumlah daun kelapa sawit maksimum 12,42 helai. Pada regresi ŶM4 dosis pupuk majemuk NPKMg optimum yaitu 1,04 g/polibag, dengan jumlah daun kelapa sawit maksimum 12,38 helai.

Gambar

Tabel 3. Rataan tinggi bibit dengan perlakuan kompos TKKS dan
Gambar 1. Hubungan kompos TKKS dengan tinggi bibit kelapa sawit pada umur 18 MSPT
Gambar 2. Hubungan pupuk majemuk NPKMg dengan tinggi bibit kelapa sawit pada umur 18 MSPT
gambar 3.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Meski demikian pemasar produk remaja tidak dapat menyamaratakan karakter remaja Asia, Eropa dan Amerika (sebagai pasar terbesar) karena selain dipengaruhi oleh media global

Berdasarkan pada fenomena tersebut, perlu dikaji peran papain dalam pakan buatan terhadap tingkat pemanfaatan protein pakan dan pertumbuhan lele dumbo (C. Wadah

Hal ini ditandai dengan nilai rata-rata n-gain hasil belajar siswa yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe NHT yaitu 0,91 dimana peningkatan hasil belajar

Berdasarkan rangkuman latar belakang diatas, maka dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut : Apakah platelet to lymphocyte ratio (PLR) yang tinggi merupakan prediktor

Dari hasil pengujian didapat bahwa makin banyak jumlah node hidden layer yang digunakan maka akan menghasilkan error yang kecil dalam iterasi yang makin singkat,

Segala bentuk tindak kekerasan terhadap anak perlu dicegah dan diatasi sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 23 Tahun 2002 tentang

Pengurus Barang Dinas Pendidikan, Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga

Penelitian pengaruh ekstrak buah papaya ( Carica papaya L.) terhadap kadar catalase (CAT) dan glutathione (GSH) pada hati tikus jantan yang diinduksi lead acetate