• Tidak ada hasil yang ditemukan

Amplifikasi DNA Leptospira dengan menggunakan metode Insulated Isothermal Polymerase Chain Reaction (ii-PCR)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Amplifikasi DNA Leptospira dengan menggunakan metode Insulated Isothermal Polymerase Chain Reaction (ii-PCR)"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Amplifikasi DNA Leptospira dengan Menggunakan

Metode Insulated Isothermal Polymerase Chain Reaction

(ii-PCR)

SKRIPSI

SONIA ZULFA DESHI DANUZ

NIM. 109102000023

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

ii

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Amplifikasi DNA Leptospira dengan Menggunakan

Metode Insulated Isothermal Polymerase Chain Reaction

(ii-PCR)

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi

SONIA ZULFA DESHI DANUZ

NIM. 109102000023

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(3)

iii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip, maupun dirujuk

telah saya nyatakan benar

Nama : Sonia Zulfa Deshi Danuz NIM : 109102000023

Tanda Tangan :

(4)
(5)
(6)

vi

ABSTRAK

Nama : Sonia Zulfa D Program Studi : Farmasi

Judul : Amplifikasi DNA Leptospira dengan Menggunakan Metode Insulated Isothermal Polymerase Chain Reaction (ii-PCR)

Leptospira merupakan bakteri patogen penyebab penyakit leptospirosis yang banyak menimbulkan masalah infeksi serius dan dapat mengakibatkan kematian pada manusia. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui metode Insulated Isothermal Polymerase Chain Reaction (ii-PCR) dapat digunakan untuk mengamplifikasi DNA Leptospira. Keunggulan penggunaan metode ii-PCR dalam deteksi Leptospira adalah waktu pendeteksian lebih singkat dan lebih mudah dalam pembacaan hasil. DNA Leptospira diamplifikasi dengan menggunakan sepasang primer spesifik DNA Leptospira pada daerah 16S Ribosomal RNA. Primer spesifik Leptospira mampu mengamplifikasi DNA Leptospira sampai konsentrasi 0,002 ng/ 25µL dan amplifikasi DNA Leptospira dengan metode ii-PCR yang menggunakan DNA Leptospira, primer, dan probe spesifik menunjukkan rasio S/N 1,8062 dan memberikan hasil positif dalam waktu 58 menit bila dibandingkan dengan metode PCR konvensional yang membutuhkan waktu 150 menit dan diperlukan analisa dengan gel elektroforesis.

(7)

vii

ABSTRACT

Nama : Sonia Zulfa D Program Studi : Farmasi

Judul : Amplification of Leptospira DNA using Insulated Isothermal Polymerase Chain Reaction (ii-PCR)

Leptospira is a pathogen bacteria causing leptospirosis disease which could inflict a serious infection problem and lead to human death. This study was conducted to find out whether Insulated Isothermal Polymerase Chain Reaction could be used to amplify Leptospira DNA. The excellences of iiPCR method in detecting Leptospira are that it has short detection time and it is user friendly. Leptospira DNA was amplified using a specific Leptospira DNA primer on 16S Ribosomal RNA region. The specific Leptospira primer could amplify Leptospira until the concentration of 0,002 ng/ 25µL and Leptospira DNA amplification with iiPCR method using Leptospira DNA, spesific primer and probe showed a S/N ratio of 1,8062 and a positive result in 58 minutes, compared to PCR conventional method that required 150 minutes and a further analysis using electrophoresis gel.

(8)

viii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas pembuatan skripsi yang berjudul

Amplifikasi DNA Leptospira dengan Menggunakan Metode Insulated

Isothermal Polymerase Chain Reaction (ii-PCR). Shalawat serta salam

tercurahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW, yang telah menghantarkan kita dari zaman kebodohan hingga menuju zaman yang syarat ilmu dan pengetahuan.

Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, penulis mengalami berbagai kendala dan halangan yang tidak bisa dihindarkan, karena itu penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih sangat jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis mengharapkan saran, masukan, dan kritik positif yang dapat membangun diri penulis.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini tersusun berkat bantuan, bimbingan, dan dorongan dari berbagai pihak yang terkait. Untuk itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada:

1. Ibu Zilhadia M. Si., Apt, selaku pembimbing I dan Bapak DR. Wahyu Pubowasito selaku pembimbing II yang telah memberikan waktu, semangat, ilmu, dan bimbingan selama penulisan skripsi ini.

2. Balai Besar Penelitian Vektor dan Reservoir Penyakit Salatiga yang telah bersedia memberikan DNA Leptospira yang sudah terisolasi kepada penulis. 3. Bapak Prof. DR. (hc) dr. M. K Tadjudin Sp. And, selaku Dekan Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Bapak Drs. Umar Mansur M.Sc., Apt, selaku Ketua Program Studi Farmasi FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Kepada ibu Yuni Anggraeni, S.Si., Apt selaku penasehat akademik Program Studi Farmasi FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

(9)

ix

7. Kedua orang tuaku, Papa tercinta A. Nuzirwan H. M dan Mama tersayang Sri Hidayati yang selalu memberikan kasih sayang, doa yang tidak pernah putus, dan dukungan baik moril maupun meteril. Tiada apapun di dunia ini yang dapat membalas semua kebaikan, cinta, dan kasih sayang yang telah kalian berikan.

8. Untuk kedua adikku tersayang Tiffany Dwi Putri dan Nabila Ramadania meskipun tidak terjun langsung dalam penulisan skripsi ini, tetapi tawa dan candamu adalah semangatku.

9. Kak Yopi, Teh Leha, dan Bu Rahma yang sangat membantu penulis memahami hal-hal sulit dalam bioteknologi.

10.Para staf dan karyawan BPPT yang telah banyak membantu penulis.

11.Kepada teman seperjuangan Evira Vivikananda, Sofiana Fajriah Rahmah, dan Rahmat Azhari Kemal terima kasih untuk tawa, semangat, kesabaran, saran, dan kritiknya.

12.Kepada teman-teman Farmasi angkatan 2009, terima kasih untuk kebersamaan, dukungan, saran, dan kritiknya.

13.Teman-teman yang dengan senang hati menemani cerita suka dan duka selama penelitian, Mbak Ily, Kak Dede, Mas Herman, Angel, Isna, Hami, Hani, Ziah, Mimil, Mumut, dan Bella. Terima kasih untuk selalu menemani mendukung, mendengarkan ceritaku, dan mendoakanku.

14.Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang turut membantu menyelesaikan skripsi ini.

Semoga apa yang kalian berikan dapat bermanfaat dan dibalas oleh Allah SWT, amin. Penulis berharap bahwa tugas ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi para pembaca.

Jakarta, Januari 2014

(10)

x

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Sonia Zulfa Deshi Danuz

NIM : 109102000023

Program Studi : Farmasi

Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Jenis Karya : Skripsi

Demi perkembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/ karya ilmiah saya dengan judul :

Amplifikasi DNA Leptospira dengan Menggunakan Metode Insulated

Isothermal Polymerase Chain Reaction (ii-PCR)

Untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau suatu media lain yaitu Digital Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta.

Demikian pernyataan persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Jakarta

Pada Tanggal : 15 Januari 2014 Yang Menyatakan,

(11)

xi

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR ... x

DAFTAR ISI ... xi

2.1.3 Cara Penularan Leptospirosis ... 4

(12)

xii

3.2.2 Bahan ... 22

3.3 Tahapan Penelitian ... 22

3.4 Prosedur Kerja ... 22

3.4.1 Persiapan Media Tumbuh E.coli ... 22

3.4.2 Peremajaan E.coli ... 23

3.4.3 Isolasi DNA E.coli ... 23

3.4.4 Pembuatan Gel Agarosa dan Elektroforesis ... 23

3.4.4.1 Pembuatan Gel Agarosa 1% ... 23

3.4.4.2 Elektroforesis ... 24

3.4.5 Gel Documentation ... 24

3.4.6 Amplifikasi PCR ... 24

3.4.7 Uji Spesifitas Primer ... 24

3.4.8 Uji Sensitivitas Primer ... 25

3.5 Insulated Isothermal PCR (ii-PCR) ... 25

3.4.5 Amplifikasi Insulated Isothermal PCR (ii-PCR) ... 25

3.6 Alur Penelitian ... 26

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 27

4.1 Isolasi DNA ... 27

4.2 Polymerase Chain Reaction (PCR) ... 30

4.2 Insulated Isothermal Polymerase Chain Reaction (ii-PCR) .. 32

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 37

5.1 Kesimpulan ... 37

5.2 Saran ... 37

DAFTAR PUSTAKA ... 38

(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Ukuran Pemisahan Molekul DNA ... 17 Tabel 2 Hasil Konsentrasi dan Kemurnian DNA Leptospira dan

E.coli ... 43 Tabel 3 Campuran Reaksi Master Mix PCR Konvensional ... 45 Tabel 4 Campuran Reaksi Master Mix dengan KAPA2G™ Robust

PCR Kit dengan ii-buffer ... 46 Tabel 5 Campuran Reaksi Master Mix dengan KAPA2G™ Robust

PCR Kit dengan buffer kit ... 46 Tabel 6 Campuran Reaksi Master Mix Thermo Scientific™ Long PCR

Master Mix dengan ii-buffer ... 47 Tabel 7 Campuran Reaksi Master Mix Thermo Scientific™ Long PCR

(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Sel Leptospira dengan mikroskop elektron ... 5

2. Klasifikasi Leptospirosis ... 6

3. Arah khas Perkembangan Penyakit Leptospirosis ... 7

4. Struktur double helix DNA ... 11

5. Siklus PCR ... 16

6. Reaksi ii-PCR ... 19

7. Hasil Elektroforesis Isolasi Genom Leptospira dan E.coli ... 30

8. Hasil Elektroforesis Produk PCR Menggunakan Primer Leptospira Pada Uji Spesifitas Primer ... 31

9. Hasil Elektroforesis Produk PCR dengan Menggunakan Primer Spesifik DNA Leptospira pada Uji Sensitivitas Primer ... 32

10. Hasil Reaksi ii-PCR dengan Taq DNA Polimerase Thermo Scientific™ Long PCR Enzyme Mix ... 34

11. Hasil Reaksi ii-PCR dengan Taq DNA Polimerase KAPA2G™ Robust PCR Kit ... 34

12. Hasil Elektroforesis Produk ii-PCR ... 35

13. Hasil Peremajaan E.coli ... 42

(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Hasil Peremajaan E.coli dan DNA Leptospira yang Sudah

Terisolasi ... 42 2. Hasil Konsentrasi dan Kemurnian DNA Leptospira dan DNA

E.coli ... 43 3. Membuat Larutan Induk Primer dan Probe ... 44 4. Campuran Reaksi Master Mix Untuk Amplifikasi DNA Untuk PCR

Konvensional ... 45 5. Campuran Reaksi Master Mix Untuk Amplifikasi DNA Untuk

(16)

xvi

DAFTAR ISTILAH

CDV : Canine Distemper Virus

CFR : Case Fatality Rate

CFS : Cerebrospinal Fluid

CTAB : Cetyltrimetyl Ammonium Bromide DNA : Deoxyribose-Nucleic Acid

dNTP : Deoxynucleotide Triphosphate EDTA : Ethylene Diamine Tetra Acetic Acid ELISA : Enzyme-Linked Immunosorbent Assay

IHHNV : Infectious Hypodermal and Hematopoetic Necroses Virus

ii-PCR : Insulated Isothermal Polymerase Chain Reaction

LB : Luria Bertani

MAT : Microscopic Agglutination Test PCI : Fenol-Kloroform-Isoamilalkohol PCR : Polymerase Chain Reaction RNA : Ribose-Nucleic Acid

SDS : Sodium Dodecyl Sulfate

TAE : Tris Acetate EDTA

TE : Tris-EDTA

(17)

1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perubahan lingkungan yang terjadi pasca banjir menyebabkan banyak terdapat genangan air kotor dan sampah. Lingkungan yang kotor tersebut menyebabkan sarang penyakit yang kerap muncul setelah musibah banjir dan salah satu penyakit yang dapat terjadi pasca banjir adalah Leptospirosis (Ernawati, 2008). Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri patogenik yang disebut Leptospira yang ditularkan secara langsung atau tidak langsung dari hewan ke manusia. Penularan yang terjadi dari hewan ke manusia ini di sebut zoonosis (WHO, 2003).

Penyebaran Leptospirosis terjadi di seluruh dunia tetapi umumnya di area tropis atau subtropis dengan curah hujan tinggi seperti di Nikaragua, Brazil, India, Asia Tenggara, Malaysia, dan Amerika Serikat (WHO, 2003; Zavitsanou dan Babatsikou, 2008; Tilahun, Reta dan Simenew, 2013). International Leptospirosis Society (2001) menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara dengan kejadian Leptospirosis tinggi dan menempati peringkat ke-3 di dunia untuk mortalitas (16,7%) setelah Uruguay dan India (Ernawati, 2008).

Pada tahun 2010 kasus Leptospirosis meningkat dibandingkan tahun 2009, yaitu dari 335 kasus menjadi 409 kasus. Tahun 2010 kasus dilaporkan dari 6 provinsi sedangkan pada tahun sebelumnya hanya dilaporkan dari 3 provinsi. Kasus terbanyak pada tahun 2009 dan 2010 dilaporkan dari Jawa Tengah dan DI Yogyakarta. Pada tahun 2007 terdapat 664 kasus dengan 55 orang meninggal (CFR: 8,28%), tahun 2008 terdapat 426 kasus dengan 22 orang meninggal (CFR: 5,16%), tahun 2009 terdapat 335 kasus dengan 23 orang meninggal (CFR: 6,87%), dan tahun 2010 ditemukan 409 kasus dengan 43 orang meninggal (CFR: 10,51%) (Anonim, 2011).

(18)

2

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Diperlukan metode pemeriksaan lain yang dapat memberikan hasil pasti dan tepat dari penderita yang menderita Leptospirosis. Metode pemeriksaan yang biasanya digunakan didasarkan pada serum antibodi dengan uji serologis seperti uji enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) atau microscopic agglutination test

(MAT) (Faine. S, 1982). Sedangkan pada manusia, uji ELISA dan MAT menunggu sampai titer antibodi penderita dapat terdeteksi. Titer antibodi dapat terdeteksi sekitar hari ketujuh sejak gejala timbul dan akibat dari timbulnya reaksi antibodi ini, Leptospira akan hilang dari darah setelah sekitar 10 hari sakit. Di tahap ini, beberapa bakteri mungkin telah berada dalam tubulus ginjal. (Bal, dkk., 1994).

Pemeriksaan laboratorium sangat perlu untuk menegakkan diagnosis penyakit Leptospirosis secara dini. Oleh karena itu diperlukan pemeriksaan terhadap penyakit Leptospirosis yang cepat dan tepat dengan spesifitas dan sensitivitas yang tinggi (WHO, 2003).

PCR (Polymerase Chain Reaction) merupakan alat yang sering digunakan dalam aplikasi medis dan biologi termasuk tes genetik, deteksi, dan diagnosis penyakit menular (Anonim, 2012). PCR adalah metode yang sensitif, spesifik, dan teknik cepat yang telah berhasil diterapkan untuk mendeteksi beberapa mikroorganisme dan virus dalam berbagai spesimen, termasuk sputum, serum, cairan serebrospinal, urin, feses, dan berbagai jaringan tubuh (Bal, dkk., 1994) dan metode ini dapat memberikan hasil positif pada fase dini penyakit sebelum titer antibodi dapat dideteksi (Setiawan, 2008).

Meskipun metode PCR dapat memberikan hasil yang sensitif dan spesifik, metode ini memerlukan analisa hasil reaksi lebih lanjut dengan menggunakan gel elektroforesis yang membutuhkan waktu dan tenaga ahli khusus dalam pembacaan hasil analisa (Kumari 2007; Setiawan 2008). Oleh karena itu diperlukan metode pemeriksaan lain dengan waktu yang lebih singkat dan mudah dalam pembacaan hasil analisa.

(19)

3

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Avian Influenza H5, dan Salmonella spp (Anonim, 2012; Tsai, dkk., 2012) dan pada penelitian ini, metode ii-PCR akan digunakan untuk mendeteksi DNA Leptospira.

Insulated isithernal Polymerase Chain Reaction (ii-PCR) menggunakan fenomena konveksi termal untuk menjalankan reaksi PCR di sebuah tube yang telah didesain secara khusus di dalam chamber ii-PCR, yang merupakan alat PCR konvektif dengan satu sumber panas. Ketika pemanasan pada suhu 95oC diaplikasikan pada bagian bawah R-tube, gradien temperatur akan terbentuk, dimana reaksi PCR berjalan mengikuti arus konveksi cairan. Karena hanya menggunakan satu sumber panas dalam menjalankan reaksi ii-PCR tanpa perlu mengatur perubahan suhu seperti pada PCR konvensional, alat ii-PCR hanya memerlukan waktu yang singkat dalam proses reaksi PCR dibandingkan dengan PCR konvensional. Alat ini juga tidak memerlukan analisa lebih lanjut dengan gel elektroforesis karena hasil sudah terlihat pada layar touch panel dengan tanda “+”

dan “-“ (Setiawan, 2008; Anonim, 2012).

1.2 Rumusan Masalah

Apakah metode Insulated Isothermal Polymerase Chain Reaction (ii-PCR) dapat digunakan untuk mengamplifikasi DNA Leptospira ?

1.3 Tujuan Penelitian

Mengetahui metode Insulated Isothermal Polymerase Chain Reaction (ii-PCR) dapat digunakan untuk mengamplifikasi DNA Leptospira.

1.4 Manfaat Penelitian

(20)

4 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Leptospirosis

2.1.1 Pengertian Leptospirosis

Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan bakteri patogen yang disebut Leptospira yang ditularkan secara langsung atau tidak langsung dari hewan ke manusia. Penularan yang terjadi dari hewan ke manusia ini disebut zoonosis (WHO, 2003).

2.1.2 Epidemiologi

Leptospirosis dapat ditemukan diseluruh dunia, daerah rasio tinggi adalah kepulauan Karibia, Amerika Tengah dan Selatan, Asia Tenggara dan Kepulauan Pasifik (Setadi dkk, 2001)

Di negara beriklim tropik kejadian Leptospirosis lebih banyak 1000 kali dibandingkan dengan negara subtropik dengan resiko penyakit lebih berat (Bovet dkk., 1999). Leptospirosis tersebar baik di Indonesia maupun di luar Indonesia (Thornley dkk., 2001).

2.1.3 Cara Penularan Leptospirosis

Penularan Leptospirosis pada manusia ditularkan oleh hewan yang terinfeksi kuman Leptospira. Hewan penjamu kuman Leptospira adalah hewan peliharaan, seperti babi, lembu, kambing, kucing, anjing, serta beberapa hewan liar, seperti tikus, bajing, ular, dan lain-lain (Ernawati, 2008).

Manusia terinfeksi Leptospira melalui kontak dengan air, tanah (lumpur), tanaman yang telah dikotori oleh air seni dari hewan-hewan penderita Leptospirosis. Bakteri Leptospira masuk ke dalam tubuh melalui selaput lendir (mukosa) mata, hidung atau kulit yang lecet dan kadang-kadang melalui saluran pencernaan dari makanan yang terkontaminasi oleh urin tikus yang terinfeksi Leptospira. Penularan langsung dari manusia ke manusia jarang terjadi. Penularan

Leptospira dapat secara langsung dan tidak langsung. Penularan secara langsung

(21)

5

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Leptospira. Sedangkan penularan secara tidak langsung melalui genangan air,

sungai, danau, selokan saluran air dan lumpur yang tercemar urin hewan (Ernawati, 2008; Riyaningsih dkk., 2012).

2.1.4 Leptospira

2.1.4.1 Morfologi

“Leptospira” berasal dari bahasa Yunani leptos (tipis) dan Latin Leptospira (melingkar). Leptospira berdiameter hanya 0,1 m dengan panjang 6-20 m. Sel-selnya meruncing di kedua sisinya, satu atau keduanya yang biasanya bengkok dengan karakteristik pengait (Gambar 1) (Levett, 2001).

Gambar 1. Sel Leptospira dengan mikroskop elektron (perbesaran 60.000 x) (Levett, 2001).

2.1.4.2 Klasifikasi

Famili Leptospiraceae hanya terdiri dari tiga genera yaitu : Leptonema, Turmeria, dan Leptospira. Genus Leptospira terdiri dari 10 genomospecies dan yang paling penting adalah L.interrogens merupakan kelompok patogenik dan L.biflexa merupakan kelompok non patogen. Masing-masing genomospecies

(22)

6

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Gambar 2. Klasifikasi Leptospirosis (Collins, 2006)

2.1.5 Patofisiologi

Infeksi Leptospira menghasilkan manifestasi klinis dengan spektrum yang lebar (Collins, 2006). Masa inkubasi biasanya 5-14 hari, dengan kisaran 2-30 hari (WHO, 2003). Secara umum Leptospirosis bersifat bifasik, dengan fase septikemia akut diikuti oleh fase imun (Gambar 3) (Collins, 2006).

Fase Septikemia

Fase septikemia, yang berlangsung sekitar empat sampai tujuh hari, ditandai dengan tiba-tiba demam, sakit kepala hebat, nyeri otot, dan mual. Bakteri dapat diisolasi dari kultur darah, cairan serebrospinal (CFS) dan sebagian besar jaringan. Sekitar 90% pasien menderita anikterik ringan (yaitu tanpa jaundice) bentuk dari penyakit, sementara 5-10% menderita lebih parah dari jaundice, gagal ginjal dan manifestasi perdarahan, biasa dikenal dengan penyakit Weil.

Interfase

(23)

7

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Fase Imun

Fase imun berlangsung sebagai konsekuensi dari respon imun tubuh terhadap infeksi, dan berlangsung sampai 30 hari atau lebih. Dimanifestasi oleh demam dengan durasi yang pendek dan keterlibatan sistem saraf pusat (meningitis).

Gambar 3. Arah khas Perkembangan Penyakit Leptospirosis (Collins, 2006)

2.1.6 Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pada penderita Leptospirosis dapat dibagi menjadi pemeriksaan laboratorium yang bersifat umum dan pemeriksaan laboratorium spesifik.

1. Pemeriksaan Laboratorium Klinik Umum

Pemeriksaan laboratorium klinik umum memberikan hasil berbeda antara Leptospirosis yang ringan dan berat. Hasil pemeriksaan laboratorium penderita dengan gejala Leptospirosis berat memperlihatkan kelainan hasil laboratorium yang sangat jelas. Pemeriksaan laboratorium klinik didasarkan dari gejala-gejala yang timbul, seperti mialgia hebat, demam, gangguan ginjal, dan lain-lain (Setiawan, 2008; Setadi dkk., 2001).

2. Pemeriksaan Laboratorium Spesifik 2.a Pemeriksaan Bakteri

(24)

8

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Leptospira dari spesimen klinik dilihat secara langsung menggunakan mikroskop lapangan gelap atau menggunakan mikroskop cahaya setelah preparat dicat dengan pewarnaan yang sesuai (Levet dkk., 2001). Leptospira tampak sebagai organisme bergerak cepat, berbentuk spiral pegas yang kurus, umumnya ditemukan dalam biakan, darah, dan urin (WHO, 2003).

Keuntungan pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mengamati Leptospira dalam biakan, terutama bila bakteri dalam jumlah banyak dan

untuk mengamati aglutinasi pada pemeriksaan MAT. Kelemahannya, memerlukan tenaga ahli berpengalaman. Bila jumlah sedikit, Leptospira sulit ditemukan (WHO, 2003).

2.b Pemeriksaan Serologis

Sebagian besar kasus Leptospirosis didiagnosa dengan tes serologi. Antibodi dapat dideteksi di dalam darah 5-7 hari sesudah munculnya gejala. Ada banyak metode serologis yang dapat digunakan dan yang dianggap paling baik sampai saat ini adalah microscopic agglutination test (MAT) (Setiawan, 2008).

2.b.1 Microscopic Agglutination Test (MAT)

Microscopic agglutination test (MAT) adalah tes untuk menentukan antibodi aglutinasi di dalam serum penderita. Cara melakukan tes adalah serum penderita direaksikan dengan suspensi antigen serovar Leptospira hidup atau mati. Setelah diinkubasi, reaksi antigen-antibodi diperiksa di bawah mikroskop lapangan gelap untuk melihat aglutinasi. Yang dipakai batas akhir (end point) pengenceran adalah pengenceran serum tertinggi yang memperlihatkan 50% aglutinasi (WHO, 2003). Metode ini dipakai sebagai metode referensi untuk mengembangkan teknik lain dengan membandingkan sensitivitas, spesifitas dan akurasi. MAT sering mengalami beberapa kendala terutama di negara yang sedang berkembang, karena memerlukan banyak jenis serovar dan tenaga ahli berpengalaman (Saengjaruk dkk., 2002).

(25)

9

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

pengawasan, pelaksanaan, dan penilaian hasil. Seluruh biakan serovar hidup harus dipelihara dengan baik. Perlakuan terhadap tes menggunakan Leptospira hidup maupun mati harus sama. Memelihara biakan Leptospira

di dalam laboratorium cukup berbahaya bagi para petugas. Disamping itu, sering terjadi kontaminasi silang antara serovar, sehingga perlu dilakukan verifikasi serovar secara berkala (Levett dkk., 2001; WHO, 2003).

2.b.2 Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)

Tes ELISA sangat popular dan bahan yang diperlukan untuk pemeriksaan sudah tersedia secara komersial dengan antigen yang diproduksi sendiri (in house). Untuk mendeteksi IgM umumnya menggunakan antigen spesifik genus yang bereaksi secara luas, teknik ini kadang-kadang juga digunakan untuk mendeteksi antibodi IgG. Adanya antibodi IgM merupakan pertanda adanya infeksi baru Leptospira atau infeksi yang terjadi beberapa minggu terakhir (WHO, 2003).

Kelebihan test ELISA ini cukup sensitif untuk mendeteksi Leptospira dengan cepat pada fase akut dan lebih sensitif dibandingkan dengan MAT. Sedangkan kekurangan tes ini adalah waktu diagnosis yang dibutuhkan cukup lama, menunggu sampai titer antibodi dapat dideteksi (WHO, 2003). 3. Pemeriksaan Molekuler

3.a Teknologi PCR

Metode ini sangat berguna untuk mendiagnosis Leptospirosis terutama pada fase permulaan penyakit Leptospira beberapa hari setelah munculnya gejala penyakit. Alat ini dapat mendeteksi Leptospira beberapa hari setelah munculnya gejala penyakit. Akan tetapi alat ini belum tersedia secara luas terutama di negara yang sedang berkembang (Yersin dkk., 1998).

(26)

10

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Keuntungan pemeriksaan PCR adalah bila bakteri ada maka diagnosis dapat dipastikan dengan cepat terutama pada fase dini penyakit sebelum titer antibodi dapat dideteksi. Kelemahannya memerlukan peralatan dan tenaga ahli khusus. Disamping itu, PCR dapat memberikan hasil positif palsu, apabila terkontaminasi oleh DNA asing. Dia juga dapat memberikan hasil negatif palsu, karena spesimen klinik yang diperiksa sering mengandung inhibitor seperti heparin dan saponin (WHO, 2003).

2.2 DNA

2.2.1 Struktur DNA dan Sifat Kimia DNA

DNA dan RNA merupakan polimer linier (polinukleotida) yang tersusun dari subunit atau monomer nukleotida. Komponen penyusun nukleotida terdiri dari tiga jenis molekul, yaitu gula pentosa (deoksiribosa pada DNA atau ribosa pada RNA), basa nitrogen, dan gugus fosfat (Gambar 4). Basa yang ditemukan pada nukleotida adalah basa purin (adenin = A, guanin = G) dan basa pirimidin (sitosin = C, timin = T, urasil = U). Monomer nukleotida mempunyai gugus

hidroksil pada posisi karbon 3’, gugus fosfat pada posisi karbon 5’ dan basa pada posisi karbon 1’ molekul gula. Nukleotida satu dengan yang lainnya berikatan melalui ikatan fosfodiester antara gugus 5’fosfat dengan gugus 3’hidroksil.

Struktur DNA mirip dengan struktur RNA. Perbedaan diantara keduanya terdapat pada jenis gula dan basa pada monomernya serta jumlah untai penyusunnya. Pada

DNA, tidak terdapat gugus hidroksil pada posisi karbon 2’ dari molekul gula (2 -deoksiribosa) sementara pada RNA molekul gulanya adalah ribosa. Basa nitrogen yang terdapat pada DNA adalah adenin, guanin, sitosin dan timin, sedangkan pada RNA jenis basanya adalah adenin, sitosin, guanin dan urasil. RNA merupakan polinukleotida yang membentuk satu rantai/untai sedangkan DNA merupakan polinukleotida yang membentuk 2 untai (heliks ganda) (Gaffar, 2007).

(27)

11

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Struktur molekul DNA merupakan rantai heliks ganda yang memutar ke kanan (Gambar 4). Kedua rantai polinukleotida memutar pada sumbu yang sama dan bergabung satu dengan yang lainnya melalui ikatan hidrogen antara basa-basanya. Basa guanin berpasangan dengan basa sitosin, sedangkan basa adenin berpasangan dengan basa timin. Antara basa guanin dan basa sitosin terbentuk tiga ikatan hidrogen, sedang antara basa adenin dan timin terbentuk dua ikatan hidrogen. Sehingga dalam molekul DNA jumlah basa G akan selalu sama dengan jumlah basa C, sedangkan jumlah basa A=T. Kemudian jumlah basa purin (A + G) akan sama dengan jumlah basa pirimidin (C + T). Kedua untai DNA saling berkomplementasi melalui basa penyusunnya dengan arah antiparalel (berlawanan

5’→ 3’ vs 3’→5’), ujung yang mengandung gugus fosfat bebas disebut ujung 5’

sedangkan pada ujung lainnya yang mengandung gugus hidroksil bebas disebut

ujung 3’. Kedua untai tersebut saling melilit satu sama lain membentuk struktur

heliks ganda. Gugus fosfat dan gula yang tersusun bergantian menjadi tulang punggung (backbone) molekul DNA sementara pada bagian dalam terdapat basa yang melekat pada molekul gula (Gaffar, 2007).

(28)

12

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2.2.2 Isolasi DNA

Semua organisme disusun oleh sel yang mengandung elemen genetik yang sama yaitu DNA yang terdapat dalam kromosom. Kromosom eukariot berbentuk linear sedangkan kromosom prokariot berbentuk sirkular. Selain itu prokariot juga mengandung satu atau lebih plasmid. Plasmid merupakan molekul DNA sirkular dengan ukuran yang jauh lebih kecil dibanding kromosom (Gaffar, 2007).

Prinsipnya adalah memisahkan DNA kromosom atau DNA genom dari komponen-komponen sel lain. Sumber DNA bisa dari tanaman, kultur mikroorganise, atau sel manusia. Membran sel dilisis dengan menambahkan detergen untuk membebaskan isinya, kemudian pada ekstrak sel tersebut ditambahkan protease (yang berfungsi mendegradasi protein) dan RNase (yang berfungsi untuk mendegradasi RNA), sehingga yang tinggal adalah DNA. Selanjutnya ekstrak tersebut dipanaskan sampai suhu 90oC untuk menginaktifasi enzim yang mendegradasi DNA (DNase). Larutan DNA kemudian di presipitasi dengan etanol dan bisa dilarutkan lagi dengan air (Gaffar, 2007).

2.3 Polymerase Chain Reaction (PCR)

PCR adalah teknik cepat untuk mengamplifikasi fragmen DNA spesifik secara in vitro dengan menggunakan 2 primer untai tunggal pendek. Dengan teknik ini sejumlah kecil fragmen DNA yang diinginkan akan diamplifikasi secara eksponensial sampai jutaan kali dalam beberapa jam (Sulistyaningsih, 2007; Gaffar, 2007).

PCR melibatkan banyak siklus yang masing-masing terdiri dari tiga tahap berurutan, yaitu pemisahan (denaturasi) rantai DNA template, penempelan (annealing) pasangan primer pada DNA target dan pemanjangan (extension) primer atau reaksi polimerisasi yang dialkalisis oleh DNA polimerase (Gaffar, 2007).

2.3.1 Komponen PCR

(29)

13

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

sintetik, enzim DNA polimerase yang tahan panas (Taq polimerase), semua macam nukleotida (dATP, dGTP, dCTP, dan dTTP) serta buffer reaksi yang mengandung MgCl2 Enzim reverse transcriptase, yang dapat mengubah RNA menjadi sekuen DNA komplementernya, digunakan pada reverse transcription PCR (Innis, 1990). Dan alat yang digunakan untuk proses PCR adalah thermocycler, disini reaksi PCR akan berlangsung. Alat ini mampu secara cepat

mengubah temperatur yang dibutuhkan untuk siklus berulang PCR (Sulistyaningsih, 2007).

a. Template DNA

Template DNA adalah molekul DNA untai ganda yang mengandung sekuen target yang akan diamplifikasi. Ukuran DNA bukan merupakan faktor utama keberhasilan PCR, berapapun panjangnya jika tidak mengandung sekuen yang diinginkan maka tidak akan berhasil proses suatu PCR, namun sebaliknya jika ukuran DNA tidak terlalu panjang tapi mengandung sekuen yang diinginkan maka PCR akan berhasil (Sulistyaningsih, 2007).

Konsentrasi DNA juga dapat mempengaruhi keberhasilan PCR. Jika konsentrasinya terlalu rendah maka primer mungkin tidak dapat menemukan target dan jika konsentrasi terlalu tinggi akan meningkatkan kemungkinan mispriming. Disamping itu perlu diperhatikan kemurnian template karena akan mempengaruhi hasil reaksi (Sulistyaningsih, 2007).

b. Primer

Primer merupakan oligonukleotida pendek rantai tunggal yang mempunyai urutan komplemen dengan DNA template yang akan diperbanyak. Panjang primer berkisar antara 20-30 basa. Untuk merancang urutan primer, perlu diketahui urutan nukleotida pada awal dan akhir DNA target. Primer oligonukleotida disintesis menggunakan suatu alat yang disebut DNA synthesizer (Gaffar, 2007).

(30)

14

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

konsentrasi primer terlalu sedikit maka PCR menjadi tidak efisien sehingga hasilnya rendah (Sulistyaningsih, 2007).

c. Enzim DNA Polimerase .

DNA polimerase adalah enzim yang mengkatalisis polimerisasi DNA. Biasanya digunakan Taq polimerase yang stabil pada suhu tinggi karena enzim ini diisolasi dari Thermus aquaticus yang hidup pada sumber air panas. Konsentrasi enzim yang dibutuhkan untuk PCR biasanya 0,5-2,5 unit. Kelebihan jumlah enzim mengakibatkan akumulasi produk non spesifik, sedangkan jika terlalu rendah maka dihasilkan sedikit produk yang diinginkan (Sulistyaningsih, 2007).

d. Deoxynucleotide Triphosphate (dNTP)

Deoxynucleotide Triphosphate merupakan material utama untuk

sintesis DNA dalam proses PCR yang terdiri dari dATP, dGTP, dCTP, dan dTTP. Konsentrasi dNTP masing-masing sebesar 20-200 M dapat menghasilkan keseimbangan optimal antara hasil, spesifitas dan ketepatan PCR. Konsentrasi masing-masing dNTP harus seimbang untuk meminimalkan kesalahan penggabungan. Deoxynucleotide Triphosphate akan menurunkan Mg2+ bebas sehingga mempengaruhi aktivitas polimerase dan menurunkan annealing primer. Konsentrasi dNTP yang rendah akan meminimalkan mispriming pada daerah non target dan menurunkan kemungkinan perpanjangan nukleotida yang salah. Oleh karena itu spesifitas dan ketepatan PCR meningkat pada konsentrasi dNTP yang lebih rendah (Sulistyaningsih, 2007).

e. Larutan Buffer

(31)

15

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

spesifitasnya. Konsentrasi ion ini tergantung pada konsentrasi bahan-bahan yang mengikatnya seperti dNTP, EDTA, dan fosfat (Sulistyaningsih, 2007).

2.3.2 Tahapan PCR

1. Denaturasi

Selama proses denaturasi, DNA untai ganda akan membuka menjadi dua untai tunggal (Gaffar, 2007).

Suhu denaturasi dipengaruhi oleh sekuen target. Jika sekuen target kaya akan G-C maka diperlukan suhu yang lebih tinggi. Suhu denaturasi yang terlalu tinggi dan waktu denaturasi yang terlalu lama mengakibatkan hilangnya atau berkurangnya aktivitas enzim Taq polimerase. Waktu paruh aktivitas enzim Taq polimerase adalah >2 jam pada suhu 92,5oC, 40 menit pada 95oC dan 5 menit pada 97,5oC (Sulistyaningsih, 2007).

2. Penempelan Primer (Annealing)

Annealing primer dimaksudkan untuk proses penempelan primer sekuen target DNA. Suhu dan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk annealing primer juga tergantung pada komposisi basa, panjang, dan

konsentrasi primer. Suhu annealing biasanya 5oC dibawah nilai Tm primer, berada pada range 55-72oC (Sulistyaningsih, 2007).

3. Extension

Suhu extension ditujukan untuk proses perpanjangan sekuen DNA. Suhu extension biasanya dipilih 72oC karena merupakan suhu optimum enzim Taq polimerase. Suhu extension yang rendah bersamaan dengan konsentrasi dNTP yang tinggi mengakibatkan misextension primer dan perpanjangan nukleotida yang salah, sebaliknya kombinasi antara suhu annealing/extension yang tinggi dengan dNTP yang rendah akan

menghasilkan ketepatan produk akhir PCR yang tinggi. Lamanya waktu extension tergantung pada panjang sekuen target, konsentrasi sekuen

(32)

16

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jumlah siklus yang optimum terutama tergantung pada konsentrasi awal DNA template saat parameter lain telah dioptimasi, biasanya 25-35 siklus. Siklus yang terlalu sedikit akan memberikan hasil yang sedikit, sebaliknya bila terlalu banyak akan meningkatkan jumlah dan kompleksitas produk non spesifik (Sulistyaningsih, 2007).

Gambar 5. Siklus PCR yang terdiri dari denaturasi, penempelang primer, dan polimerisasinya (Gaffar, 2007).

2.4 Elektroforesis Gel Agarosa

Metoda ini didasarkan pada pergerakan molekul bermuatan dalam media penyangga matriks stabil di bawah pengaruh medan listrik. Media yang umum digunakan adalah gel agarosa atau poliakrilamid. Elektroforesis gel agarosa digunakan untuk memisahkan fragmen DNA yang berukuran lebih besar dari 100 pb dan dijalankan secara horizontal, sedangkan elektroforesis poliakrilamid dapat memisahkan 1 pb dan dijalankan secara vertikal (Gaffar, 2007).

Untuk visualisasi maka ditambahkan larutan etidium bromida yang akan masuk diantara ikatan hidrogen pada DNA, sehingga pita fragmen DNA akan kelihatan dibawah lampu UV. Panjang amplikon bisa diperkirakan dengan membandingkannya dengan pita DNA standar (Gaffar, 2007).

(33)

17

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

1. Ukuran molekul DNA

Molekul besar berpindah lebih lambat karena membutuhkan usaha yang besar dan kurang efisien melewati pori-pori gel dibandingkan dengan molekul yang kecil.

2. Konsentrasi agarosa

Fragmen DNA linear memberikan jarak perpindahan yang berbeda melalui gel yang mengandung konsentrasi yang berbeda.

Tabel 1. Ukuran pemisahan molekul DNA linear pada standar gel agarosa

Sumber : Sambrook dan Russel, 2001 3. Konformasi DNA

(34)

18

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

4. Voltase yang digunakan

Perpindahan molekul DNA di dalam gel dirangsang oleh arus listrik yang mengalir dari kutub negatif menuju kutub positif. Pada voltase rendah, DNA linear mengalami perpindahan secara proposional. Semakin besar tegangan arus listrik, maka perpindahan molekul DNA semakin cepat, demikian pula sebaliknya. Untuk mencapai resolusi maksimum dari fragmen DNA dengan ukuran >2 kb, gel agarosa harus dijalankan tidak boleh lebih dari 5-8 V/cm.

5. Tipe agarosa

Terdapat dua tipe utama dari agarosa yaitu agarosa standar dan agarosa pada suhu rendah (low-melting temperature).

6. Buffer elektroforesis

Mobilitas elektroforesis DNA dipengaruhi oleh komposisi dan kekuatan ionik buffer elektroforesis.

2.5 Insulated Isothermal PCR (ii-PCR)

Didasarkan pada reaksi teknologi beratai polimerase (PCR), yang merupakan teknik biologi molekuler yang digunakan untuk amplifikasi asam nukleat. Dengan sensitivitas tinggi dan spesifitas, PCR telah menjadi alat yang ampuh dan sering sangat diperlukan dalam aplikasi medis dan biologis termasuk pengujian genetik, deteksi, diagnosis penyakit menular, dan sidik jari genetik untuk ilmu forensik dan pengujian paternitas (Anonim, 2012).

Insulated Isotermal PCR (ii-PCR) didasarkan pada teknologi isotermal

(35)

19

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

reaksi PCR sangat efisien dan dapat mengurangi waktu reaksi PCR rutin secara signifikan tanpa mempengaruhi sensitivitas (Anonim, 2012).

Gambar 6. Reaksi ii-PCR

Beberapa komponen insulated isothermal PCR yang perlu diperhatikan yaitu (Anonim, 2012) :

1. Buffer

Insulated isothermal PCR menggunakan Uni-ii buffer yang mengandung reagen-reagen yang berfungsi untuk mengoptimasi laju konveksi termal, menstabilisasi gradien temperatur, mengurangi

Keterangan gambar :

1. Reaksi terisolasi oleh perisai termal 2. Konveksi termal alami diinduksi oleh panas

3. Konveksi termal peredaran cairan dan hasil dalam reaksi PCR 4. Denaturasi dari dsDNA

5. Penempelan Primer

6. Perpanjangan dari strand baru

(36)

20

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

interaksi antara larutan dan R-tube, dan meningkatkan efisiensi DNA polimerase untuk keberhasilan reaksi ii-PCR.

2. R-tube

Tube terbuat dari bahan plastik optik yang memastikan transmisi

fluoresensi yang optimal. Bahan plastik berkelas medis juga memastikan bahwa produk bebas dari DNase dan RNase. Tube telah dipatenkan dengan rasio diameter dan panjang tertentu yang memastikan konveksi isotermal untuk reaksi ii-PCR yang optimal. Tutup yang didesain secara khusus menjaga keamanan reaksi larutan dan mencegah penguapan pada saat reaksi berlangsung yang dapat menyebabkan kontaminasi.

3. Probe

Probe POCKIT harus: a. Terdiri dari 40-80 % GC

b. Mempunyai panjang 15-30 basa, lebih pendek lebih baik.

c. Menghindari daerah target pada template yang dapat membentuk struktur sekunder.

(37)

21 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Gen, Balai Pengkajian Bioteknologi-BPPT Serpong, Tangerang. Waktu pelaksanaan dari bulan Maret 2013 sampai November 2013.

3.2 Alat dan Bahan

3.2.1 Alat

Alat yang digunakan adalah pipet mikro 0,1-2 l, 2-20 l, 20-200 l, 100-1000 l [Finnpipette, BIO-RAD, Nichiryo, BenchMate], tip 10 l, 100 l, dan 1000 l [Sorenson], freezer -20oC [Angelantoni Scientifica], lemari pendingin 4oC [Glacio-TOSHIBA], mesin PCR [TaKaRa & BIO-RAD], thermostat & shaking bath [Heto], tabung sentrifugasi 15 ml [Iwaki, Corning, FALCON, BIOLOGIX],

tabung mikrosentrifugasi 1,5 ml [Sorenson], tabung mikrosentrifugasi 200 l [Axygen], rak tabung, mesin sentrifugasi [Beckman J2-HS & Tomy, timbangan [Metter], ice maker [HOSHIZAKI], vorteks [Heidolph], magnetic stirrer [Heidolph MR30001], inkubator [memmert], microwave [National], laminar air flow, heat block [Thermolyne], spatula, gunting , elektroforesis tray [Bio-rad],

chamber elektroforesis [Mupid2], comb, gel documentation, spektrofotometer

(38)

22

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3.2.2 Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah DNA Leptospira interrogens yang sudah terisolasi yang diperoleh dari Balai Besar Penelitian

Vektor dan Reservoir Penyakit Salatiga, dan bakteri Eschericia coli DH5-Alpha. Bahan lain yang digunakan CTAB (Cetyl Trimetyl Ammonium Bromide) 10%, TE (Tris-EDTA) buffer 1X, SDS (Sodium Dodecyl Sulfate) 10%, proteinase-K 18 mg/ml, NaCl (Natrium Klorida) 5M, buffer TAE (Tris Acetate EDTA) 0,5X, kloroform, isoamilalkohol, isopropanol, etanol 70%, Fenol, Tripton, Yeast Extract, Bacto Agar, Go Taq Green Master Mix, primer spesifik Leptospira, agarosa, TAE 0,5 x, SYBR safe, probe, buffer ii-PCR.

3.3 Tahapan Penelitian

1. Persiapan sampel pembanding dan DNA Leptospira 2. Isolasi DNA pembanding

3. Cek DNA bakteri pembanding dengan elektroforesis 4. Amplifikasi DNA Leptospira dengan PCR konvensional 5. Pembuatan gel agarosa dan elektroforesis

6. Dokumentasi gel 7. Optimasi ii-PCR

3.4 Prosedur Kerja

3.4.1 Persiapan Media Tumbuh E. coli

(39)

23

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3.4.2 Peremajaan E. coli

Biakan stok E. coli dalam media LB padat dipindahkan sebanyak satu ose, digoreskan secara zig zag ke dalam petri dish yang berisi media LB padat dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 16-18 jam.

3.4.3 Isolasi DNA E. coli

Satu koloni dipilih dengan menggunakan tusuk gigi steril dimasukkan ke dalam tabung mikrosentrifugasi steril di tambahkan TE buffer sebanyak 557 l. Campuran diresuspensi atau divortex. Tambahkan 30 l SDS 10% dan 3 l proteinase-K. Campur dan diinkubasi selama 1 jam pada suhu 37oC. Setelah diinkubasi tambahkan 100 l NaCl 5M dan dicampur. Ditambahkan 80 l CTAB 10%, inkubasi pada suhu 65oC selama 10 menit. Kemudian tambahkan kloroform dan isoamilalkohol volume sama banyak. Sentrifus pada kecepatan 13.000 rpm selama 5 menit pada suhu 4oC, dan pindahkan larutan ke tube baru. Tambahkan PCI volume sama banyak dan aduk rata. Sentrifus pada kecepatan 14.000 rpm selama 5 menit pada suhu 4oC dan pindahkan supernatan ke tube baru. Ulangi ekstraksi kembali (kloroform : isoamilalkohol saja). Tambahkan 0,6 ml isopropanol dan campur sampai DNA mengendap. Sentrifus pada kecepatan 13.000 rpm selama 5 menit pada suhu 4oC dan buang isopropanol. Tambahkan 1 ml etanol 70% untuk mencuci garam dari DNA. Sentrifus pada kecepatan 13.000 rpm selama 5 menit pada suhu 4oC dan buang etanol, keringkan pada suhu ruangan. Resuspensi pelet dengan 50-100 l TE buffer dan simpan pada suhu 4oC.

3.4.4 Pembuatan Gel Agarosa dan Elektroforesis

3.4.4.1 Pembuatan Gel Agarosa 1%

Gel agarosa 1% dibuat dengan menambahkan 0,25 gr agarosa dalam 25 ml buffer TAE 0,5x, dipanaskan hingga larut (1 menit) dalam microwave. Larutan

(40)

24

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3.4.4.2 Elektroforesis

Gel diangkat dari cetakan dan dimasukkan ke dalam chamber elektroforesis kemudian ditambahkan buffer TAE 0,5x sehingga gel terendam kira-kira 1 mm. Sebanyak 5 l sampel DNA dicampur dengan 21 l loading dye kemudian dimasukkan ke dalam sumur gel dan ladder dimasukkan 3 l sebagai marker. Alat elektroforesis dinyalakan (diberi arus listrik) selama 30 menit. DNA akan bergerak menuju muatan positif. Hasil elektroforesis dilihat dengan menggunakan dokumentasi gel (gel documentation).

3.4.5 Gel Documentation

Komputer dan kamera digital dinyalakan. Gel agarosa hasil dari elektroforesis dimasukkan ke dalam UV transiluminator. UV transiluminator dinyalakan dan pita DNA akan berpendar saat terkena sinar UV. Hasil gel agarosa saat disinari UV didokumentasikan dalam komputer.

3.4.6 Amplifikasi PCR

Amplifikasi menggunakan dua jenis primer spesifik untuk Leptospira. Amplifikasi DNA dilakukan dalam total volume 25 l (Lampiran 4). Denaturasi awal DNA pada 93oC selama 3 menit, denaturasi pada 93oC selama 3 menit, annealing pada 50oC selama 1 menit, dan ekstensi 72oC selama 1 menit. Akhir ekstensi diamplifikasi pada suhu 72oC selama 5 menit dan dilakukan dalam 25 siklus.

Produk dianalisa di gel agarosa 1% dilihat di bawah pencahayaan UV dan didokumentasikan

3.4.7 Uji Spesifitas Primer

(41)

25

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

mengamplifikasi DNA dari Leptospira dan tidak dapat mengamplifikasi DNA E.coli.

3.4.8 Uji Sensitivitas Primer

Sensitivitas PCR dilakukan dengan melakukan pengenceran DNA Leptospira dengan konsentrasi yang digunakan 200 ng/25 l, 20 ng/25 l, 2 ng/25

l, 0,2 ng/25 l, 0,02 ng/25 l, 0,002 ng/25 l, dan 0,0002 ng/25 l. Masing-masing konsentrasi diamplifikasi dengan kondisi PCR yang sama dan dilihat sampai konsentrasi berapa primer yang digunakan dapat mengamplifikasi DNA Leptospira yang digunakan.

3.5 Insulated Isotermal PCR (ii-PCR)

3.5.1 Amplifikasi Insulated Isothermal PCR (ii-PCR)

Amplifikasi PCR dilakukan dengan campuran reaksi total PCR (Lampiran 5) dan dibuat dalam volume 50 µL.

Setelah campuran reaksi total PCR dibuat, campuran reaksi tersebut dimasukkan ke dalam R-tube dan diletakkan pada multiwell plate yang kemudian diletakkan pada mesin insulated isothermal PCR. Kemudian program amplifikasi dijalankan dan hasil amplifikasi DNA dapat dilihat pada akhir reaksi dalam

(42)

26

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3.6 Alur Penelitian

DNA Leptospira yang sudah terisolasi

Amplifikasi DNA dengan PCR konvensional

Penentuan

Konsentrasi DNA

Isolasi Bakteri Pembanding

Ekstraksi DNA bakteri Pembanding

DNA terisolasi DNA tidak terisolasi

Cek dengan elektroforesis

Primer Spesifik Primer tidak spesifik

Amplifikasi DNA dengani ii-PCR Hasil

(43)

27 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Isolasi DNA

Penelitian ini diawali dengan mengisolasi DNA E. coli. Metode yang umum digunakan dalam isolasi DNA yang banyak mengandung polisakarida adalah dengan menggunakan metode CTAB (Cetyltrimetyl Ammonium Bromide). Ada tiga langkah utama dalam isolasi DNA, yaitu perusakan dinding sel (lisis), pemisahan DNA dari bahan padat seperti selulosa dan protein, serta pemurnian DNA (Syafaruddin dan Tri Joko Santoso, 2011).

Langkah pertama yang dilakukan adalah perusakan dinding sel (lisis). Perusakan dinding sel dilakukan dengan menggunakan TE buffer, SDS, dan CTAB. Pemisahan bahan padat seperti selulosa dan protein dengan menggunakan proteinase-K, NaCl, kloroform : isoamilalkohol (24:1), dan PCI (fenol : kloroform : isoamilalkohol). Sedangkan pemurnian DNA dengan menggunakan isopropanol dan etanol (K. Nishiguchi, Michele, dkk., 2002).

Sampel diisolasi sebanyak satu koloni, kemudian ditambahkan larutan TE buffer, SDS, dan proteinase-K kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama satu jam. Metode ini menggunakan TE buffer pH 8,0 yang terdiri dari 100 mM Tris-Cl pH 8,0 dan 10 mM EDTA pH 8,0 (Sambrook dan Russel, 2001). Tris-Cl merupakan dapar yang berfungsi untuk menjaga pH, sangat larut dalam air dan inert untuk berbagai jenis reaksi enzimatik (Sambrook dan Russel, 2001).

Sedangkan EDTA (Ethylene Diamine Tetra Acetic Acid) berfungsi sebagai bahan pengkhelat yang mengikat kation divalen, sehingga mengakibatkan ketidakstabilan membran (Dale dan Malcom, 2002). Penggunaan SDS (Sodium Dedosil Sulfate/Natrium Lauril Sulfat) sebagai detergen anonik untuk melisiskan

dinding sel dengan cara melarutkan membran lipid, sehingga dinding sel menjadi rusak dan mengeluarkan komponen-komponennya, yaitu protein, lipid, polisakarida, DNA, dan RNA (Dale dan Malcom, 2002; Surzycki, 2003).

(44)

28

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

gugus alifatik dan aromatik khususnya alanin, sehingga digunakan untuk menghilangkan kontaminan dari protein. (Sweeney dan Walker, 1993; Surzycki, 2003; Agrawal, 2008). Kemudian ditambahkan NaCl 5 M yang berfungsi sebagai pengendap protein dan CTAB dalam larutan dengan ion yang tinggi (konsentrasi NaCl >0,7 M) digunakan sebagai pengendap protein dimana CTAB akan membentuk kompleks dengan protein dan polisakarida tetapi tidak akan mengendapkan DNA (Sambrook dan Russel, 2001). NaCl dengan kandungan garam yang tinggi dapat memisahkan polisakarida dari dinding sel (Syafaruddin dan Tri Joko Santoso, 2011) yang dikenal dengan fenomena salting out, yaitu fenomena penurunan kelarutan protein pada konsentrasi garam yang tinggi (Holme, David. J dan Hazel Peck, 1998).

Residu dari protein dan lipid dapat dihilangkan dengan penambahan kloroform dan isoamilalkohol dengan perbandingan 24:1 (K. Nishiguchi, Michele, dkk., 2002). Kloroform dan isoamilalkohol memiliki fungsi sebagai pendenaturasi protein, dimana DNA dan RNA sendiri tidak akan ikut terdenaturasi karena DNA dan RNA ini tidak larut dalam pelarut organik seperti kloroform (Syafaruddin dan Tri Joko Santoso, 2011). Kemampuan deproteinisasi dari kloroform didasarkan pada kemampuan dari kloroform untuk mendenaturasi rantai polipeptida yang sebagian masuk atau termobilisasi pada interfase air-kloroform sedangkan isoamilalkohol digunakan untuk mempermudah dalam meningkatkan luas tegangan permukaan dari air-kloroform, sehingga memudahkan dalam pemisahan air dan kloroform (Agrawal, 2008). Pengendapan protein dengan polisakarida dan komponen lain yang telah lisis selain dengan bantuan garam juga dipisahkan dengan cara pengendapan dengan bantuan sentrifugasi.

Penambahan PCI (Fenol-Kloroform-Isoamilalkohol) juga membantu dalam menghilangkan protein dari DNA (Sambrook dan Russel, 2001. Penambahan kloroform-isoamilalkohol dengan PCI dilakukan dua kali untuk memaksimalkan pemisahan DNA dengan komponen-komponen lain yang dapat mengkontaminasi DNA.

(45)

29

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

DNA juga sebagai penghilang fenol-kloroform dan juga garam yang masih terdapat dalam DNA (Sambrook dan Russel, 2001; Syafaruddin dan Tri Joko Santoso, 2011).

Konsentrasi dari genom diukur dengan menggunakan Nano Drop ND-1000 pada panjang gelombang 260 nm. Konsentrasi yang diperoleh dari pengukuran genom Leptospira dengan menggunakan Nano Drop 225,5 ng/l dan kemurnian 1,825. Sedangkan genom E. coli memberikan konsentrasi 546,8 ng/l dengan kemurnian 2,065. Dari hasil pengukuran tersebut menunjukkan kualitas dan kuantitas DNA baik.

Nilai kemurnian genom diperoleh antara perbandingan panjang gelombang 260 nm dan 280 nm (Harisha. S., 2007) dan dikatakan murni jika berada dalam kisaran antara 1,8-2,0 (Sambrook, dkk, 1989). Sementara itu nilai kemurnian yang ditunjukkan dari isolasi genom E. coli memberikan hasil lebih dari 2,0 yang menunjukkan adanya kontaminasi dari RNA (Stephenson, 2003). Kontaminasi dari RNA disebabkan tidak digunakannya RNase yang berfungsi untuk memecah RNA yang dapat mengurangi adanya kontaminasi dari RNA (Surzycki, 2003) dan adanya kontaminasi dari RNA dapat dibuktikan dengan adanya pola bayangan smear di bawah pita DNA pada visualisai gel agarosa (Sauer, dkk., 1998).

Genom kemudian divisualisasikan dengan menggunakan elektroforesis gel agarosa 1% dengan menggunakan tegangan 100 volt. Gel ditambahkan SYBR safe yang digunakan untuk memvisualisasikan DNA di agarosa dan diformulasikan khusus untuk menjadi alternatif yang lebih aman dibanding etidium bromida (Anonim, 2013).

DNA yang akan dielektroforesis ditambahkan loading dye yang terdiri dari glycerol dan bromphenol blue. Glycerol berfungsi sebagai pemberat yang

(46)

30

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Keterangan : 1. Leptospira 2. E. coli

M. Ladder 100 bp

Gambar 7. Hasil elektroforesis isolasi genom dari Leptospira dan E. coli

Hasil pengamatan pada gel documentation (Gambar 7) menunjukkan hasil isolasi dari genom E. coli dan Leptospira. Gambar ini menunjukkan pola bayangan smear di bawah pita DNA yang menunjukkan DNA tidak utuh sehingga menyebabkan timbulnya fragmen-fragmen yang berbeda ukuran dan tertahan pada gel sesuai dengan ukurannya. Pola bayangan smear juga dapat menunjukkan adanya kontaminasi dari RNA sedangkan hasil isolasi yang baik ditandai dengan pita yang dihasilkan jelas dan tidak adanya pola bayangan smear di bawah pita DNA(Sauer dkk., 1998).

4.2 Polymerase Chain Reaction (PCR)

Reaksi PCR dilakukan dengan menggunakan konsentrasi DNA template 200 ng/ 25 l. Konsentrasi ini optimal untuk mendapatkan amplikon yang tebal pada 25 siklus. Suhu optimal annealing yang digunakan untuk primer Leptospira adalah 50oC untuk dan waktu reaksi PCR untuk mengamplifikasi DNA Leptospira dengan primer spesifik Leptospira adalah 150 menit.

Uji spesifitas dari primer Leptospira dilakukan untuk menguji kemampuan dari primer Leptospira yang digunakan hanya mampu mengamplifikasi DNA Leptospira dan tidak dapat mengamplifikasi DNA yang lain, yang dalam

(47)

31

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Keterangan : 1. E. coli 2. Leptospira M. Ladder 100 bp

139 bp

Gambar 8. Hasil elektroforesis produk PCR menggunakan primer Leptospira pada uji spesifitas primer

Pada gambar 8 dapat terlihat bahwa primer Leptospira yang digunakan hanya dapat mengamplifikasi DNA Leptospira, sedangkan DNA E. coli tidak teramplifikasi sama sekali, sehingga dapat dikatakan bahwa primer Leptospira yang digunakan spesifik. Proses amplifikasi DNA Leptospira menghasilkan panjang produk 139 pasang basa yang terletak pada lokus 16S Ribosomal RNA. Pasang basa yang dihasilkan diusahakan dalam kisaran pendek untuk mempermudah dalam pengujian dengan menggunakan ii-PCR (Anonim, 2012).

(48)

32

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Keterangan :

1. Konsentrasi DNA 200 ng/25 µ L 2. KonsentrasiDNA 20 ng/25 µ L 3. KonsentrasiDNA 2 ng/25 µL 4. KonsentrasiDNA 0,2 ng/25 µ L 5. KonsentrasiDNA 0,02ng/25 µ L 6.KonsentrasiDNA 0,002ng/25 µ L 7.KonsentrasiDNA 0,0002ng/25 µ L

Gambar 9. Hasil elektroforesis produk PCR dengan menggunakan primer spesifik DNA Leptospira pada uji sensitivitas primer.

Pada gambar 9 dapat terlihat, dari tujuh konsentrasi yang digunakan, primer Leptospira mampu mengamplifikasi DNA Leptospira sampai dengan konsentrasi 0,002 ng/25 µL, meskipun pada konsentrasi 0,002 ng/25 µL menghasilkan pita yang tipis. Pada konsentrasi 0,0002 ng/25 µL tidak terlihat adanya pita pada gel elektroforesis yang menandakan bahwa primer Leptospira tidak dapat mengamplifikasi DNA Leptospira pada konsentrasi 0,0002 ng/25 µL, sehingga dapat dikatakan bahwa primer spesfik Leptospira yang digunakan sensitif dan mampu mengamplifikasi DNA Leptospira sampai konsentrasi 0,002 ng/25 µ L.

4.3 Insulated Isothermal Polymerase Chain Reaction (ii-PCR)

(49)

33

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

yang tidak diinginkan. Desain dari struktur tabung dan rasio yang dihitung dari diameter tabung atau panjang yang memastikan efisiensi dari reaksi konveksi termal pada proses reaksi ii-PCR. Penutup karet R-tube juga didesain khusus untuk membuat cairan reaksi aman dan mencegah penguapan selama reaksi yang dapat menyebabkan terjadinya kontaminasi (Anonim, 2012).

Reaksi ii-PCR bergantung pada tiga temperatur yang digunakan, yaitu denaturasi pada suhu 92-95oC, annealing pada suhu 37-65oC, dan ekstensi pada suhu 72oC (Anonim, 2012). Suhu annealing pada saat proses ii-PCR berlangsung tidak dapat diketahui secara pasti dan suhu annealing dapat berbeda-beda di setiap siklusnya, sehingga optimasi komposisi perlu dilakukan.

Optimasi komposisi campuran ii-PCR dengan melakukan variasi dari Taq DNA polymerase dan buffer yang digunakan. Taq DNA polimerase yang digunakan adalah dari Thermo Scientific™ Long PCR Enzyme Mix dan

KAPA2G™ Robust PCR Kit serta buffer yang digunakan adalah ii-buffer dan buffer dari masing-masing Taq polimerase yang digunakan.

Pada akhir reaksi ii-PCR yang berlangsung selama 58 menit didapati hasil positif dan negatif pada layar touch panel (Gambar 10). Gambar tersebut menunjukkan hasil reaksi ii-PCR dengan ii-buffer dengan buffer dari Taq DNA polimerase Thermo Scientific™ Long PCR Enzyme Mix yang keduanya menggunakan Taq DNA polimerase Thermo Scientific™ Long PCR Enzyme Mix.Gambar 11 menunjukkan hasil reaksi ii-PCR dengan ii-buffer danTaq DNA polimerase KAPA2G™ Robust PCR Kit dengan buffer dari Taq DNA

KAPA2G™ Robust dimana keduanya menggunakan Taq DNA polimerase

(50)

34

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Gambar 10.Hasilreaksi ii-PCR denganTaq DNA polimerase Thermo

Scientific™ Long PCR Enzyme Mix (A) dengan ii-buffer dan (B) dengan menggunakan buffer dari kit.

Gambar 11.Hasilreaksi ii-PCR dengan menggunakanTaq DNA polimerase

KAPA2G™ Robust(A) dengan menggunakan buffer dari kit dan (B) dengan ii-buffer.

(51)

35

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Enzyme Mix yang memiliki hasil dan ketepatan yang tinggi digunakan untuk hasil amplifikasi dengan panjang basa yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan Taq DNA polymerase KAPA2G™ Robust PCR Kit dan membutuhkan proses reaksi PCR yang cukup lama jika dibandingkan dengan Taq DNA polymerase

KAPA2G™ Robust PCR Kit, sedangkan proses reaksi yang terdapat pada ii-PCR hanya dalam waktu singkat, sehingga efisiensi dari Taq DNA polymerase Thermo

Scientific™ Long PCR Enzyme Mix memberikan hasil yang tidak baik dan memunculkan hasil negatif pada alat ii-PCR.

Reaksi PCR hanya akan berlangsung pada kondisi pH tertentu, oleh karena itu untuk melakukan proses PCR diperlukan buffer PCR (Handoyo, Darmodan Ari Rudiretna, 2001). Penggunaan buffer yang disarankan oleh alat PCR adalah ii-buffer yang berfungsi untuk menstabilkan gradient suhu, mengurangi interaksi antara campuran reaksi dan R-tube, dan meningkatkan efisiensi DNA polymerase untuk mensukseskan reaksi ii-PCR (Anonim, 2012). Oleh karena itu penggunaan buffer selain ii-buffer memunculkan hasil negatif.

Hasil dari reaksi ii-PCR tersebut kemudian dielektroforesis untuk melihat pita yang dihasilkan dari reaksi ii-PCR ini (Gambar 12).

Keterangan :

(52)

36

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Pada Gambar 12 menunjukkan hasil elektroforesis dari reaksi ii-PCR dengan menggunakan empat komposisi yang berbeda. Gambar ini menunjukkan dua komposisi yang digunakan dapat teramplifikasi, yaitu dengan menggunakan Taq DNA polimerase KAPA2G™ Robust, namun hanya reaksi yang menggunakan komposisi no.1 yang terdeteksi positif oleh alat ii-PCR.

Hasil positif yang dimunculkan oleh alat ii-PCR disebabkan oleh fluoresensi dari probe hidrolisis dapat dideteksi secara efisien oleh sistem optik di dalam alat ii-PCR. Fluoresensi yang dihasilkan di dalam alat ii-PCR ditunjukkan dalam rasio S/N (signal intensityafter/signal intensitybefore) yang mempunyai ambang batas minimal 1,34 untuk dapat memberikan hasil positif pada alat ii-PCR (Tsai, dkk., 2012). Pada sampel no. 1 menunjukkan rasio S/N 1,8062 sedangkan pada sampel no.2 sampai dengan no.4 menunjukkan rasio S/N di bawah 1,34 (Lampiran 6). Rasio S/N yang dihasilkan sampel no.1 menunjukkan nilai ambang batas di atas 1,34, sehingga memberikan hasil positif pada alat ii-PCR.

Pada Gambar 12 dapat terlihat juga bahwa hasil elektroforesis yang didapat dari keempat hasil reaksi ii-PCR menunjukkan pita yang smear. Hasil pita yang smear ini disebabkan oleh suhu annealing yang beragam dari alat ii-PCR yang berkisar pada 37-65oC. Suhu annealing yang terlalu tinggi dari suhu annealing optimum akan menyebabkkan primer tidak menempel dengan DNA

(53)

37 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Primer spesifik Leptospira mampu mengamplifikasi DNA Leptospira sampai konsentrasi 0,002 ng/25 µl dan amplifikasi DNA Leptopira dengan metode ii-PCR yang menggunakan DNA Leptospira, primer, dan probe spesifik menunjukkan rasio S/N 1,87 memberikan hasil positif dalam waktu 58 menit bila dibandingkan dengan metode PCR konvensional yang membutuhkan waktu 150 menit dan diperlukan analisa dengan gel elektroforesis.

5.2 Saran

(54)

38 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta DAFTAR PUSTAKA

Agrawal, Suraksha. 2008. Techniques in Molecular Biology. International Book Distributing Co. : India.

Anonim. 2003. Human Leptospirosis: Guidance for Diagnosis, Surveillance and Control. WHO.

Anonim. 2011. Profil Kesehatan Indonesia 2010. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia : Jakarta.

Anonim. 2012. http://www.iipcr.com/faq.php [12 Maret 2012, pukul 12.50]. Anonim. 2013.

http://www.lifetechnologies.com/id/en/home/life-science/dna-rna- purification-analysis/nucleic-acid-gel-electrophoresis/dna-stains/sybr-safe.html [7 Desember 2013, pukul 08.10].

Arezi, Bahram, dkk. 2003. Amplification efficiency of thermostable DNA polymerases. Analytical Biochemistry 321 (2003) 226-235.

Bal, A. E., dkk. 1994. Detection of Leptospires in Urine by PCR for Early Diagnosis of Leptospirosis. J. Clin. Microbiol, Vol. 32.

Bovet, Pascal, dkk. 1999. Factors Assosiated with Clinical Leptospirosis: a Population-Based Case-Control Study in the Seychelles (Indian Ocean).

Intl. J. Epidemiol 1999; 28: 583-590.

Carson, Susan. 2006. Manipulation and Expression of Recombinant DNA A Sensitive Method to Identify Pork in Precessed and Unprocessed Food by

PCR Amplification of A New Spesific DNA Fragment. J Anim Sci. (79):

2108-2112.

Collins, Richard A. 2006. Leptospirosis. The Biomedical Scientist.

(55)

39

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Ernawati, Kholis. 2008. Leptospirosis Sebagai Penyakit Pasca Banjir Serta Cara pencegahannya. Fak. Kedokteran Universitas YARSI Jakarta.

Gaaffar, Shabarni. 2007. Buku Ajar Bioteknologi Molekul. Universitas Padjadjaran: Bandung.

Handoyo, Darmo dan Ari Rudiretna. 2001. Prinsip Umum dan Pelaksanaan Polymerase Chain Reaction (PCR). Unitas, Vol. 9. No.1.

Harisha, S. 2007. Biotechnology Procedures and Experimental Handbook, New Delhi, India: Infinity Science Press LLC.

Holme, David. J. dan Hazel Peck. 1998. Analytical Biocemistry, third edition, London: Pearson Education.

Jose, J dan R. Usha. 2000. Extraction of Geminiviral DNA from Highly Mucilaginous Plant (Abelmoschus esculentus). Plant Molecular Biology

Reporter 18: 349-355.

K. Nishiguchi, Michele, dkk. 2002. DNA Isolation Procedures. Method and Tools in Biosciences and Medicine Technique in molecular systematic and

evolution, ed . by Rob DeSalle, dkk. Birkhāuser Verlag Basel/Switzerland.

Kumari, Rajni. 2007. Meat Species Identificatin by Real Time PCR.

Levett, Paul N. 2001. Leptospirosis. Clin. Microbiol. Rev. 2001, 14 (2): 296. Levett, Paul N., dkk. 2001. Two Method for Rapid Serological Diagnosis of Acute

Leptospirosis. Clinical and Diagnostic Laboratorium Immunology, Vol. 8

Natarajaseenivasan, Kalimuthusamy, dkk. 2004. Human Leptospirosis in Erode, South India: Serology, Isolation, and Characterization of the Isolates by

Randomly Amplified Polymorphic DNA (RAPD) Fingerprinting. Jpn. J.

Infect. Dis., 57, 193-197.

Gambar

Tabel 1 Ukuran Pemisahan Molekul DNA  .............................................
Gambar 1. Sel Leptospira dengan mikroskop elektron (perbesaran
Gambar 2. Klasifikasi Leptospirosis (Collins, 2006)
Gambar 3. Arah khas Perkembangan Penyakit Leptospirosis (Collins, 2006)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Gambar 7 Hasil amplifikasi DNA genom virus dengan metode RT-PCR menggunakan pasangan primer spesifik TICV-CF dan TICV-CR terhadap sampel daun tanaman tomat yang positif

7 Hasil amplifikasi DNA genom virus dengan metode RT-PCR menggunakan pasangan primer spesifik TICV-CF dan TICV-CR terhadap sampel daun tanaman tomat yang positif terinfeksi tunggal

Hasil amplifikasi DNA ikan t engadak hibrid (bet ina Jawa x jant an Kalimant an) dengan PCR-RAPD menggunakan primer OPA-08, OPA-09, dan OPC-02 (Ket erangan: no mo r (1-10)=

Gambar 7 Hasil amplifikasi DNA genom virus dengan metode RT-PCR menggunakan pasangan primer spesifik TICV-CF dan TICV-CR terhadap sampel daun tanaman tomat yang positif

Berdasarkan hasil penelitian dapat disim- pulkan bahwa uji amplifikasi PCR menggunakan sampel darah utuh tanpa didahului ekstraksi DNA merupakan uji yang sensitif,

Ekstensi dari primer oligonukleotida dilakukan pada suhu yang mendekati suhu optimal untuk sintesis DNA yang dikatalisasi oleh thermostable polymerase. Suhu pada tahap ini tergantung

Penelitian tentang optimasi amplifikasi PCR sangat penting untuk memahami kondisi optimal yang menghasilkan produk PCR yang baik, sehingga dapat dijadikan sebagai

Besarnya fragmen DNA hasil amplifikasi menggunakan primer Pt8 dan Pt9 yang digunakan dalam penelitian adalah 541 bp.Gambar 3 menunjukkan hasil amplifikasi dan analisis dengan