• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGGUNAAN KONSELING SEBAYA DALAM MENINGKATKAN PENYESUAIAN SOSIAL DI SEKOLAH PADA SISWA KELAS XII SMA NEGERI 9 BANDARLAMPUNG TAHUN AJARAN 2011/2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENGGUNAAN KONSELING SEBAYA DALAM MENINGKATKAN PENYESUAIAN SOSIAL DI SEKOLAH PADA SISWA KELAS XII SMA NEGERI 9 BANDARLAMPUNG TAHUN AJARAN 2011/2012"

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

III. METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian eksperimen, yaitu metode penelitian yang digunakan untuk mencari pengaruh perlakuan tertentu terhadap yang lain dalam kondisi yang terkendalikan (Sugiyono, 2010:107). Sedangkan untuk desain penelitian, peneliti menggunakan Pre-Experimental Designs. Bentuk desain yang digunakan adalah One-Group Pretest-Posttest Design, yaitu pelaksanaan eksperimen yang dilakukan dengan

memberikan perlakuan X terhadap subyek. Sebelum diberikan perlakuan subyek diberikan pretes (O1), dan setelah diberi perlakuan diberi postest (O2).

Dalam penelitian ini sebelum diberikan perlakuan dengan konseling sebaya, subjek diberi sebuah pre test dengan mengisi sebuah angket penyesuaian sosial dengan tujuan untuk menentukan perolehan skor sebelum perlakuan. Dan selanjutnya subjek tersebut diberikan perlakuan dengan melakukan konseling sebaya. Setelah diberikan perlakuan menggunakan konseling sebaya, siswa tersebut diberikan sebuah post test, yaitu dengan mengisi kembali angket penyesuaian sosial untuk menentukan skor setelah perlakuan. Dan hasil dari kedua tes tersebut dibandingkan untuk menguji apakahperlakuan yang telah diberikan memberi perubahan pada rendahnya perilaku kemampuan penyesuaian sosial yang dialami oleh siswa. Berikut akan digambarkan dalam bentuk bagan:

Sebelum perlakuan Treatment Setelah perlakuan

Gambar 3.1 One Group Pretest-Posttest Design

(2)

Keterangan :

O1 : Nilai pretest sebelum diberikan perlakuan X : Perlakuan menggunakan konseling sebaya O2 : Nilai posttest setelah diberikan perlakuan

B. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah 6 orang siswa kelas XII SMAN 9 Bandarlampung yang memiliki penyesuaian sosial di sekolah rendah. Subjek ini didapatkan dari hasil sosiogram seluruh siswa kelas XII SMA Negeri 9 Bandar Lampung Tahun Ajaran 2011/2012.

C. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel

1. Variabel Penelitian

Variabel penelitian dapat dinyatakan sebagai faktor-faktor yang berperan dalam peristiwa atau gejala yang akan diteliti. Berdasarkan pengertian variabel di atas, maka penelitian ini mempunyai dua variabel yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas penelitian ini adalah konseling sebaya. Sedangkan variabel terikatnya adalah penyesuaian sosial siswa di sekolah.

2. Definisi Operasional Variabel

(3)

a) Mampu berinteraksi dengan baik di lingkungan sekitarnya.

b) Mampu menghargai orang lain.

c) Memiliki minat dan partisipasi aktif dalam kegiatan belajar atau kelompok belajar.

d) Mampu mematuhi tata tertib yang berlaku di sekolah dengan penuh kesadaran dan penerimaan.

D. Fokus Penelitian

Fokus penelitian ini adalah peningkatan penyesuaian sosial siswa di sekolah menggunakan konseling sebaya bagi siswa kelas XII SMA Negeri 9 Bandar Lampung Tahun Ajaran 2011/2012.

E. Metode Pengumpulan Data

(4)

Berdasarkan uraian tersebut maka dalam penelitian ini penulis menggunakan cara-cara sebagai berikut dalam mengumpulkan data:

1. Teknik Pokok

a. Angket Penyesuaian Sosial

Angket adalah “sejumlah pertanyaan/pernyataan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadinya atau hal-hal yang ia ketahui.” Pertanyaan tersebut mengandung informasi mengenai segala hal-hal yang berhubungan dengan subyek penelitian (Arikunto, 2006:151).

Angket yang diberikan adalah angket kemampuan penyesuain sosial. Angket ini diberikan Untuk mengetahui perubahan perilaku subjek penelitian baik sebelum maupun setelah diberikan perlakuan(dilakukan konseling sebaya).Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan angket dalam bentuk check-list. Arikunto (2006:152) mengatakan bahwa check-list sebuah daftar, dimana responden hanya membubuhkan tanda (√) pada kolom yang sesuai. Tanda check-list ini akan menjadi alternatif pilihan jawaban dari responden. Responden menggunakan angket dengan tiga, atau empat alternatif pilihan karena ingin menunjukan adanya gradasi atau tingkatan baik kondisi sesuatu, atau mungkin tentang pendapat responden yang lain.

(5)

Tabel 3.1 Alternatif Jawaban Angket

Dari pengertian tentang penyesuaian sosial yang penulis uraikan sebelumnya, dapat diperoleh beberapa indikator sekaligus deskriptor sebagai poin menyusun pernyataan-pernyataan pada angket.

Kisi-kisi angket yang digunakan adalah sebagai berikut :

Tabel 3.2 Kisi-kisi angket penyesuaian sosial

(6)

mengajar

Menurut Djumhur dan Surya (dalam Susanto, 2008:1) sosiometri adalah alat yang tepat untuk mengumpulkan data mengenai hubungan sosial dan tingkah laku sosial siswa. Sedangkan menurt Depdikbud (dalam Susanto, 2008:1) sosiometri adalah alat untuk meneliti struktur sosial dari suatu kelompok individu dengan dasar penelaahan terhadap relasi sosial dan status sosial dari masing-masing anggota kelompok yang bersangkutan. Sosiometri adalah alat untuk dapat melihat bagaimana hubungan sosial atau hubungan berteman seseorang.

Sosiometri dibuat berdasarkan dua jenis pertanyaan, yaitu :

(7)

2. Angket yang mengharuskan menyatakan kesukaannya atau ketidaksukaannya terhadap teman-teman dalam kelompok pada umumnya.

Dalam penelitian ini, sosiometri digunakan dalam proses pengumpulan data pada siswa kelas XII SMAN 9 Bandarlampung. Sosiometri ini berguna untuk melihat siapa-siapa saja siswa yang kurang terpilih, yang memiliki indikasi penyesuaian sosial siswa rendah, yang akan dijadikan subjek penelitian.

b. Observasi

Observasi yaitu suatu metode pengumpulan data yang diperlukan dengan melakukan pengamatan terhadap obyek tertentu dalam penelitian. Observasi yang dilakukan di SMAN 9 Bandar Lampung untuk melihat perubahan perilaku siswa yang penyesuaian sosialnya rendah sebelum dan setelah perlakuan.

3. Pelatihan konselor sebaya dan lama latihan

Siswa yang paling disukai akan dijadikan sebagai konselor sebaya. Untuk melatih konselor sebaya, setidak-tidaknya dibutuhkan waktu 18 jam. Latihan akan dilakukan 5-6 kali pertemuan dengan durasi tiap pertemuan 1-2 jam. Dan untuk setiap pertemuan, siswa diberikan pekerjaan rumah yang mendukung kegiatan pelatihan. Tujuannya adalah untuk mengefektifkan waktu pelatihan tersebut. Latihan ini dilakukan di sekolah pada saat jam sekolah usai, atau dapat disesuaikan dengan kondisi yang terbaik saat itu.

(8)

1. Uji Validitas Instrumen

Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat kevalidan atau kesahihan suatu instrumen. Menurut Sugiyono (2010:177), validitas suatu instrumen dapat ditinjau dari beberapa segi, yaitu:

a. Validitas Konstrak (Construct Validity) b. Validitas isi (Content Validity)

c. Validitas Eksternal

Penulis menggunakan validitas susunan (Construct Validity) artinya instrumen dikonstruksikan dengan para ahli dengan cara dimintai pendapatnya mengenai aspek-aspek yang diukur berdasarkan teori tertentu. Para ahli diminta pendapatnya tentang instrumen yang telah disusun itu. Mungkin para ahli akan memberi keputusan: instrumen layak digunakan atau tidak layak digunakan.

Banyak masukan yang telah diperoleh peneliti dari para ahli yang telah melakukan uji instrument yaitu :

a) Deskriptor disusun dari inner ke other.

b) Penambahan deskriptor yang dianggap penting oleh ahli untuk dimasukkan dalam instrument yang akan peneliti ujikan.

c) Penggunaan EYD yang masih perlu diperhatikan. d) Perubahan kata-kata yang masih kurang tepat.

(9)

sampel dari mana populasi diambil. (pengujian pengalaman empiris ditunjukkan pada pengujian validitas external) jumlah anggota sampel yang digunakan sekitar 30 orang. Setelah data ditabulasikan, maka pengujian validitas konstruksi dilakukan dengan analisis faktor, yaitu dengan mengkorelasikan antar skor item instrumen dalam suatu faktor, dan mengkorelasikan skor faktor dengan skor total (Sugiyono, 2010:178).

Uji coba instrumen dilakukan kepada 30 siswa kelas XI SMA Negeri 9Bandar Lampung Tahun Ajaran 2011/2012. Dengan diperolehnya indeks validitas tiap item dapat diketahui secara pasti item mana yang tidak memenuhi syarat ditinjau dari validitasnya (Arikunto, 2006:178).

Pengujian item soal dalam penelitian ini menggunakan product moment dengan bantuan Microsof office exel 2007. Item-item yang tidak memenuhi kriteria akan dibuang terlebih

dahulu sebelum dapat menjadi bagian instrumen penelitian. Pada taraf kesalahan 5% dengan n = 30 nilai kritik product moment sebesar 0,361. Sebagai kriteria pemilihan item, hasil korelasi item total dibandingkan dengan r tabel, apabila r hitung lebih besar daripada r tabel maka butir instrumen tersebut valid. Berdasarkan perhitungan uji item soal yang telah dilakukan terhadap 120 item instrumen penyesuaian sosial dengan menggunakan bantuan Microsof office excel 2007 diperoleh hasil yang menunjukan bahwa item yang valid sebanyak 86 dan yang tidak valid sebanyak 34 item. Hasil perhitungan dapat dilihat pada lampiran.

(10)

Menurut Arkunto (2006:142) : “ Reliabilitas menunjukan pada suatu pengertian bahwa suatu instrument cukup dapat dipercaya untuk dapat dipergunakan sebagai alat pengumpul data karena instrument tersebut sudah baik”

Untuk menguji reliabilitas angket dalam penelitian denagn rumus Spearman Brown, yaitu dengan pembelahan ganjil genap sebagai berikut:

Dimana :

ri= realibilitas internal seluruh instrument

rb = korelasi product moment antara belahan pertama dan kedua. Dari hasil uji realibilitas dengan rumus Spearman Brown didapatkan:

Karena hasil hitung realibilitas di atas 0,30; maka dapat disimpulkan bahwa instrumen tersebut reliabel. Kriteria realibilitas menurut Koestoro dan Basrowi (2006) yaitu : 0,80-1,00 = sangat tinggi

0,60-0,79 = tinggi 0,40-0,59 = cukup tinggi 0,20-0,39 = rendah < 0,20 = sangat rendah

Berdasarkan kriteria tersebut, maka realibilitas angket penyesuaian sosial sangat tinggi.

(11)

1. Penentuan subjek berdasarkan hasil sosiogram

Subjek dalam penelitian ini diperoleh berdasarkan sosiometri yang disebarkan ke seluruh siswa kelas XII. Siswa yang akan dijadikan subjek dalam penelitian ini adalah siswa yang kurang terpilih di kelasnya. Dari hasil penyebaran diperoleh responden sebanyak 9 siswa. Beberapa siswa yang tidak berpartisipasi saat itu sedang melakukan kegiatan OSIS di luar sekolah dan memperoleh surat dispensasi dari pihak sekolah, serta tidak masuk karena sakit. Alasan digunakannya sosiometri dalam penentuan subjek adalah karena subjek yang kurang terpilih di kelasnya memiliki indikator kemampuan penyesuaian sosial yang rendah. Hal ini terlihat dari alasan siswa dalam angket sosiometri tersebut.

Jadi berkaitan dengan penelitian ini, maka yang menjadi fokus penelitian adalah mengenai siswa yang kemampuan penyesuaian sosialnya rendah. Namun demikian, peneliti memilih 6 orang siswa yang kurang terpilih berdasarkan angket sosiometri di tiap kelas sebagai yang bersedia menjadi subjek dalam penelitian ini. Berikut adalah data siswa yang penyesuain sosialnya rendah.

Tabel 3. 3 Siswa Kelas XII SMAN 9 Bandarlampung 2011/2012 yang Penyesuaian Sosialnya Rendah Berdasarkan Hasil Sosiogram

No. Nama Siswa Kelas

1 Riska Muliyana Sari XII IPA 1

2 Jimmy Alfian XII IPA 2

3 Seno Nugroho XII IPA 3

4 Sangbimo Aditya Rasobayo* XII IPA 4 5 Rachmat Wahyu Dwicahyo* XII IPA 5

6 Rakhmat* XII IPA 6

7 Muhammad Sabil Ryandika* XII IPS 1 8 Luthfi Waindira* XII IPS 2 9 Jhonny Hidayat* XII IPS 3

Keterangan: * = siswa yang dipilih menjadi subjek penelitian

(12)

2. Identitas Calon Konselor Sebaya

Berdasarkan jumlah subjek dalam penelitian ini, maka peneliti membentuk kelompok konselor sebaya. Kelompok ini adalah siswa yang terpilih di kelas berdasarkan hasil sosiometri, yang juga merupakan teman dekat subjek, yang akan dilatih untuk membantu temannya dalam meningkatkan kemampuan penyesuaian sosial siswa melalui konseling sebaya. Berikut ini adalah data diri calon konselor sebaya.

Tabel 3.4 Calon Konselor Sebaya, Siswa Kelas XII SMAN 9 Bandarlampung 2011/2012

No. Calon Konselor Sebaya/ Tanggal Lahir Kelas Alamat 1. Rendy Julian S/

Keenam calon konselor sebaya ini, bersedia membantu temannya (klien) dalam meningkatkan kemampuan penyesuaian sosial melalui konseling sebaya. Peneliti kemudian memasangkan calon konselor sebaya dengan kliennya berdasarkan kelas masing-masing. Berikut ini adalah data mengenai calon konselor sebaya dan kliennya.

(13)

5. Ayu Tiara Kanchika XII IPS 2 Luthfi Waindira XII IPS 2 6. Hilda Eriya Sari XII IPS 3 Jhonny Hidayat XII IPS 3

3. Pelatihan konselor sebaya

Latihan konselor sebaya dimulai pada Selasa, 10 Januari dan berakhir pada Rabu, 18 Januari 2012. Pertemuan dilakukan sebanyak 6 kali pertemuan, dengan waktu 1 – 2 jam tiap pertemuan. Berikut ini akan dijelaskan kegiatan setiap pertemuan, dari pertemuan pertama hingga keenam.

Pertemuan pertama, 10 Januari 2012. Pertemuan ini dilakukan di ruangan BK, tepatnya pada ruang konseling kelompok, pada saat jam istirahat pertama. Pada pertemuan ini, dilakukan proses pengenalan calon konselor sebaya oleh peneliti, membuat kesepakatan jadwal pertemuan-pertemuan berikutnya, penjelasan mengenai pengertian, tujuan dan manfaat konseling sebaya, penjelasan mengenai kemampuan penyesuaian sosial, dan membahas materi 1 yaitu, keterampilan attending. Selanjutnya, peserta diberikan modul yang berisi tentang keterampilan yang perlu dimiliki konselor sebaya. Dalam pertemuan perdana ini, peserta dilatih keterampilan mengenai posisi badan, kontak mata, dan cara mendengarkan yang baik. Pelatih mencoba memberikan contoh-contoh perilaku-perilaku nonverbal, seperti senyuman, anggukan, dan posisi tubuh.

(14)

yang berupa mengenal kata-kata perasaan dan meresponnya dengan perasaan. Selain itu, pada keterampilan asertif, peserta dilatih untuk dapat berperilaku asertif, dengan terlebih dahulu membedakan perilaku asertif, non asertif, dan perilaku yang agesif. Dan di akhir pertemuan peserta kembali diingatkan untuk mempraktikkan semua materi latihan yang telah dipelajari untuk digunakan dalam aktivitas sehari-hari.

Pertemuan ketiga, 12 Januari 2012. Pertemuan yang ketiga ini masih dilakukan di ruang konseling kelompok, pada saat jam istirahat pertama. Keterampilan yang diberikan pada pertemuan ini adalah keterampilan mengundang pertanyaan. Sebelum melanjutkan materi latihan, peserta diarahkan terlebih dahulu untuk me-review tentang materi yang dipelajari pada pertemuan kedua. Dalam latihan di pertemuan ketiga ini, keterampilan mengundang pembicaraan difokuskan pada latihan membuka dan menutup pembicaraan.

Pertemuan keempat, 13 Januari 2012. Pertemuan ini dilakukan di ruang konseling kelompok, pada saat jam istirahat pertama. Pada pertemuan kali ini, peserta dilatih memiliki keterampilan mengonfrontasi. Adapun kegiatan latihan pada pertemuan yang keempat ini adalah peserta diajak untuk bermain peran dalam keterampilan konfrontasi. Peserta diminta untuk berbicara seperti sedang mendapat suatu permasalahan, dan peserta lain diminta untuk memberikan sebuah konfrontasi. Latihan ini dilakukan secara bergantian dan diamati bersama-sama. Pelatih dalam hal ini, memberikan penekanan bahwa dalam konfrontasi lebih difokuskan pada nada suara, cara mengintroduksi, sikap badan, ekspresi wajah dan perilaku non verbal lainnya.

(15)

me-review materi latihan pada pertemuan yang telah lalu, yang meliputi keterampilan attending,

empati, asertif, mengundang pembicaraan dan konfrontasi. Pada pertemuan ini, pelatih mengajarkan bahwa perlunya suatu ringkasan atau sebuah kesimpulan dalam suatu percakapan konseling. Tujuannya adalah membantu klien agar ia merasakan adanya pengembangan dalam eksplorasi ide dan perasaan, serta menyadari adanya kemajuan wawasan diri dan pemecahannya.

Pertemuan keenam, 16 Januari 2012. Pertemuan penutup latihan konselor sebaya ini, dilakukan di konseling kelompok. Adapun kegiatannya adalah melatih keterampilan problem solving peserta latihan, melakukan review tentang keterampilan yang diperoleh dari

pertemuan pertama sampai yang kelima, dan penetapan klien pada masing-masing peserta latihan. Dalam pertemuan ini, latihan difokuskan pada eksplorasi terhadap permasalahan dan brainstorming terhadap semua alternatif pemecahan masalah.

4. Pengukuhan konselor sebaya dan pelaksanaannya

(16)

Setelah dilakukan pengumuman pada tanggal 16 Januari 2012, maka peran konselor sebaya yang baru saja mendapat pelatihan, mulai melakukan tugasnya. Tugas yang mereka lakukan yaitu melakukan pendekatan kepada klien yang telah ditetapkan terhadap masing-masing konselor sebaya. Peneliti dalam hal ini, memberikan beberapa instruksi yang diantaranya meminta kepada konselor sebaya melaporkan bahwa telah melakukan proses wawancara konseling sebaya.

H. Teknik Analisis Data

Setelah diperolehnya seluruh data-data yang dibutuhkan, maka langkah selanjutnya adalah pengolahan data dan analisis data. Adapun analisis data yang penulis gunakan adalah

pendekatan kuantitatif. Untuk mengetahui peningkatan kemampuan penyesuaian sosial siswa maka peneliti menggunakan rumus Wilcoxon Match Pairs Test (Sugiyono, 2010 :136), sebagai berikut :

Dimana :

(17)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Penyesuaian Sosial

Penyesuaian adalah proses yang dilakukan individu pada saat menghadapi situasi dari dalam maupun dari luar dirinya. Pada saat individu mengatasi kebutuhan, dorongan-dorongan, tegangan dan konflik yang dialami agar dapat menghadapi kondisi tersebut dengan baik. Ada beberapa jenis penyesuaian antara lain penyesuaian sosial.

1. Pengertian Penyesuaian Sosial

Penyesuaian sosial merupakan suatu proses penyesuaian diri terhadap lingkungan sosial atau penyesuaian dalam hubungan antar manusia. Melalui penyesuaian sosial, manusia memperoleh pemuasan akan kebutuhan-kebutuhannya. Disamping itu, penyesuaian sosial

diperlukan oleh setiap individu untuk menjadikan dirinya sebagai manusia dengan segala ciri kemanusiaannya. Tidak ada manusia yang mampu hidup sebagai manusia tanpa manusia lain. Dengan kata lain, terdapat saling ketergantungan antara manusia yang satu

dengan manusia yang lain.

(18)

Hurlock (dalam Retnowati, 2007:1) menyatakan bahwa penyesuaian sosial merupakan keberhasilan seseorang untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada umumnya dan terhadap kelompok pada khususnya. Menurut Jourard (dalam Retnowati, 2007:1) salah

satu indikasi penyesuaian sosial yang berhasil adalah kemampuan untuk menetapkan hubungan yang dekat dengan seseorang.

Berdasarakan pengertian tersebut diketahui bahwa penyesuaian sosial adalah suatu perilaku dimana individu dapat diterima di lingkungannya dengan baik. Sehingga baik individu tersebut maupun individu lain disekitar individu merasa nyaman dan tercipta

kerukunan dalam berinteraksi.

Dikatakan oleh Schneirders (dalam Nurdin, 2009:88),

Penyesuaian sosial merupakan proses mental dan tingkah laku yang mendorong seseorang untuk menyesuaikan diri dengan keinginan yang berasal dari dalam diri sendiri yang dapat diterima oleh lingkungannya.

Pengertian penyesuaian sosial menurut Chaplin (dalam Nurdin, 2009:87) menyebutkan

bahwa,

Socialadjustment (penyesuaian sosial) adalah; (1) penjalinan secara harmonis suatu relasi dengan lingkungan sosial; (2) mempelajari tingkah laku yang diperlukan atau mengubah kebiasaan yang ada sedemikian rupa sehingga cocok bagi suatu masyarakat sosial.

Berdasarkan pengertian di atas, tidak dapat dihindari bahwa keseluruhan proses hidup

dan kehidupan individu akan selalu diwarnai oleh hubungan dengan orang lain, baik itu dengan lingkup keluarga, sekolah, maupun masyarakat secara luas, sebagai makluk sosial, individu selalu membutuhkan pergaulan dalam hidupnya dengan orang lain,

(19)

itu akan berlangsung sehat dan menyenangkan, apabila individu memiliki kemampuan penyesuaian yang baik.

Penyesuaian sosial akan terasa menjadi penting, manakala individu dihadapkan pada kesenjangan-kesenjangan yang timbul dalam hubungan sosialnya dengan orang lain.

Walaupun kesenjangan-kesenjangan tersebut dirasakan sebagai hal yang menghambat, akan tetapi sebagai mahluk sosial, kebutuhan individu akan pergaulan, penerimaan, dan pengakuan orang lain atas dirinya tidak dapat dihindari sehingga dalam situasi tersebut, penyesuaian sosial akan menjadi wujud kemampuan yang dapat mengurangi atau

mengatasi kesenjangan-kesenjangan tersebut.

Penyesuaian sosial sebagai suatu proses penyesuaian diri berlangsung secara

berkelanjutan dimana dalam kehidupannya, seseorang akan dihadapkan pada dua realitas, yakni diri dan lingkungan disekitarnya.Hampir sepanjang kehidupannya seseorang selalu membutuhkan orang lain untuk dapat berinteraksi satu sama lain.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penyesuaian sosial merupakan tingkah laku yang mendorong seseorang untuk menyesuaikan diri dengan orang lain dan kelompok sesuai dengan keinginan dari dalam dan tuntutan lingkungan. Penyesuaian sosial juga

diartikan sebagai kemampuan dankeberhasilan peneyesuaian individu dalam berinteraksi dengan orang lain dalam situasi-situasi tertentu secara efektif dan sehat.

(20)

upaya memenuhi kebutuhannya yang dapat dirasakan oleh dirinya dan orang lain atau lingkungannya.

2. Pembentukan Penyesuaian Sosial

Penyesuaian sosial melibatkan individu dengan lingkungannya, beberapa lingkungan yang dianggap dapat menciptakan penyesuaian sosial yang cukup sehat bagi remaja, diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Lingkungan Keluarga

Semua konflik dan tekanan yang ada dapat dihindarkan atau dipecahkan bila individu dibesarkan dalam keluarga dimana terdapat keamanan, cinta, respek, toleransi dan kehangatan. Dengan demikian penyesuaian sosial akan menjadi lebih baik bila dalam

keluarga individu merasakan bahwa kehidupannya berarti.

Rasa dekat dengan keluarga adalah salah satu kebutuhan pokok bagi perkembangan

jiwa seorang individu. Dalam prakteknya banyak orangtua yang mengetahui hal ini namun mengabaikannya dengan alasan mengejar karir dan mencari penghasilan yang besar demi memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga dan menjamin masa depan

anak-anak. Hal ini seringkali ditanggapi negatif oleh anak dengan merasa bahwa dirinya tidak disayangi, diremehkan bahkan dibenci. Bila hal tersebut terjadi berulang-ulang dalam jangka waktu yang cukup panjang (terutama pada masa kanak-kanak) maka akan sangat berpengaruh terhadap kemampuan individu dalam menyesuaikan diri di

(21)

sudah lebih matang tingkat pemahamannya, namun tidak menutup kemungkinan pada beberapa remaja kondisi tersebut akan membuat dirinya tertekan, cemas dan stres.

Berdasarkan kenyataan tersebut diatas maka pemenuhan kebutuhan anak akan rasa kekeluargaan harus diperhatikan. Orang tua harus terus berusaha untuk meningkatkan

kualitas pengasuhan, pengawasan dan penjagaan pada anaknya; jangan semata-mata menyerahkannya pada pembantu. Jangan sampai semua urusan makan dan pakaian diserahkan pada orang lain karena hal demikian dapat membuat anak tidak memiliki

rasa aman.

Lingkungan keluarga juga merupakan lahan untuk mengembangkan berbagai kemampuan, yang dipelajari melalui permainan, senda gurau, sandiwara dan pengalaman-pengalaman sehari-hari di dalam keluarga. Tidak diragukan lagi bahwa dorongan semangat dan persaingan antara anggota keluarga yang dilakukan secara

sehat memiliki pengaruh yang penting dalam perkembangan kejiwaan seorang individu. Oleh sebab itu, orangtua sebaiknya jangan menghadapkan individu pada hal-hal yang tidak dimengerti olehnya atau sesuatu yang sangat sulit untuk dilakukan olehnya, sebab hal tersebut memupuk rasa putus asa pada jiwa individu tersebut.

Dalam keluarga individu juga belajar agar tidak menjadi egois, ia diharapkan dapat berbagi dengan anggota keluarga yang lain. Individu belajar untuk menghargai hak orang lain dan cara penyesuaian diri dengan anggota keluarga, mulai orang tua, kakak, adik, kerabat maupun pembantu. Kemudian dalam lingkungan keluarga individu

(22)

idolanya. Oleh karena itu, orangtua pun dituntut untuk mampu menunjukkan sikap-sikap atau tindakan-tindakan yang mendukung hal tersebut.

Dalam hasil interaksi dengan keluarganya individu juga mempelajari sejumlah adat dan kebiasaan dalam makan, minum, berpakaian, cara berjalan, berbicara, duduk dan lain

sebagainya. Hal ini dimaksudkan agar individu dapat diterima di lingkungannya kelak. Selain itu dalam keluarga masih banyak hal lain yang sangat berperan dalam proses pembentukan kemampuan penyesuaian sosial yang sehat, seperti rasa percaya pada orang

lain atau diri sendiri, pengendalian rasa ketakutan, toleransi, kefanatikan, kerjasama, keeratan, kehangatan dan rasa aman karena semua hal tersebut akan berguna bagi masa depannya.

b. Lingkungan Teman Sebaya

Begitu pula dalam kehidupan pertemanan, pembentukan hubungan yang erat diantara kawan-kawan semakin penting pada masa remaja dibandingkan masa-masa lainnya. Suatu hal yang sulit bagi remaja menjauh dari temannya, individu mencurahkan kepada teman-temannya apa yang tersimpan di dalam hatinya, dari angan-angan,

pemikiran dan perasaan. Ia mengungkapkan kepada mereka secara bebas tentang rencananya, cita-citanya dan dorongan-dorongannya. Dalam semua itu individu menemukan telinga yang mau mendengarkan apa yang dikatakannya dan hati yang

terbuka untuk bersatu dengannya.

Dengan demikian pengertian yang diterima dari temanya akan membantu dirinya

(23)

semakin meningkat kebutuhannya untuk berusaha untuk menerima dirinya dan mengetahui kekuatan dan kelemahannya. Dengan demikian ia akan menemukan cara penyesuaian sosial yang tepat sesuai dengan potensi yang dimilikinya, sehingga

penyesuaian sosial individu itupun akan menjadi baik.

c. Lingkungan Sekolah

Sekolah mempunyai tugas yang tidak hanya terbatas pada masalah pengetahuan dan

informasi saja, akan tetapi juga mencakup tanggungjawab pendidikan secara luas. Demikian pula dengan guru, tugasnya tidak hanya mengajar, tetapi juga berperan sebagai pendidik yang menjadi pembentuk masa depan, ia adalah langkah pertama dalam pembentukan kehidupan yang menuntut individu untuk menyesuaikan dirinya

dengan lingkungan.

Pendidikan modern menuntut guru atau pendidik untuk mengamati perkembangan individu dan mampu menyusun sistem pendidikan sesuai dengan perkembangan tersebut. Dalam pengertian ini berarti proses pendidikan merupakan penciptaan

penyesuaian antara individu dengan nilai-nilai yang diharuskan oleh lingkungan menurut kepentingan perkembangan dan spiritual individu. Keberhasilan proses ini sangat bergantung pada cara kerja dan metode yang digunakan oleh pendidik dalam

penyesuaian tersebut. Jadi disini peran guru sangat berperan penting dalam pembentukan kemampuan penyesuaian sosial individu.

(24)

Faktor-Faktor yang mempengaruhi penyesuaian sosial seseorang sangatlah rumit. Bagi remaja, usaha penyesuaian itu dapat menjadi pelik dalam perkembangan sosial pribadinya seperti yang diungkapkan oleh Hurlock (dalam Nurdin, 2009:89) bahwa salah

satu tugas perkembangan remaja yang tersulit adalah yang berhubungan dengan penyesuaian sosialnya. Berikut adalah factor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian sosial siswa.

Moh.Surya (dalam Nurdin, 2009:89)mengemukakan bahwa,

Faktor-faktor yang mempengaruhi peneyesuaian sosial sebagai berikut: (a) Kondisi jasmani yang meliputi pembawaan, susunan jasmaniah, system syaraf, kelenjar otot, kesehatan dan lainnya; (b) Kondisi perkembangan dan kematangan, meliputi perkembangan dan kematangan intelektual, sosial, moral dan emosional.

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian sosial individu berasal dari internal dan eksternal diri individu, yang kesemuanya berkaitan erat dalam pembentukan penyesuaian sosial

individu tersebut.

4. Penyesuaian Sosial Pada Remaja

Remaja harus membuat banyak penyesuaian baru untuk mencapai tujuan dari pola sosialisasi dewasa. Yang terpenting dan tersulit adalah penyesuaian sosial dengan

(25)

berada. Beberapa tugas perkembangan sosial pada masa remaja menurut Havighurst (dalam Sarwono, 2002:32),

Pada usia remaja, tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut:

1. Menerima kondisi fisik dan memanfaatkan tubuhnya secara efektif.

2. Menerima hubungan yang lebih matang dengan teman sebaya dari jenis kelamin yang manapun.

3. Menerima peran jenis kelamin masing-masing (laki-laki atau perempuan).

4. Berusaha melepaskan diri dari ketergantungan emosi terhadap orangtua dan orang dewasa lainnya.

5. Mempersiapkan karir ekonomi.

6. Mempersiapkan perkawinan dan kehidupan berkeluarga. 7. Merencanakan tingkah laku sosial yang bertanggungjawab.

8. Mencapai sistem nilai dan etika tertentu sebagai pedoman tingkah lakunya.

Keberhasilan remaja dalam menyelesaikan tugas-tugas perkembangan ini mengantarkannya kedalam suatu kondisi penyesuaian sosial yang baik dalam keseluruhan

hidupnya sehingga remaja yang tersebut dapat merasa bahagia, harmonis dan dapat menjadi orang yang produktif. Namun sebaiknya apabila gagal, maka remaja akan mengalami ketidakbahagian atau kesulitan dalam kehidupannya.

Moh Surya (dalam Nurdin, 2009:92) mengemukakan bahwa bentuk mekanisme penyesuaian sosial dikelompokan kedalam kategori sebagai berikut:

a. Penyesuaian sosial yang normal (well adjustment) yaitu individu yang berhasil melakukan penyesuaian diri dengan lingkungannya. Penyesuaian diri yang normal ditandai dengan (1) tidak menunjukan adanya ketegangan emosional, (2) tidak menunjukan adanya mekanisme-mekanisme psikologis, (3) tidak menunjukan adanya frustasi pribadi, (4) memiliki pertimbangan rasional dan pengarahan diri, (5) mampu dalam belajar, (6) menghargai pengalamannya, (7) bersikap realisasi dan objektif.

(26)

c. Penyesuaian yang patogis (pathologic adjustment) yaitu penyesuaian yang lebih parah daripada maladjustment (sebagai kelanjutan), dalam kasus ini, individu bersangkutan memerlukakan perawatan khusus yang lebih bersifat klinis.

Memasuki masa remaja, siswa diharuskan telah memenuhi tugas-tugas perkembangannya pada masa anak-anak.hal ini diperlukan agar siswa dapat menjalani tugas-tugas perkembangan remajanya dengan baik, sehingga tidak terjadi kesalahan dalam

penyesuaian dirinya terutama dalam penyesuaian sosialnya. Sehingga ketika siswa memasuki masa selanjutnya (dewasa) , ia dapat tumbuh dan berkembang secara wajar dan baik.

Dalam pemetaan sosial, remaja mengalami proses belajar mengadakan penyesuaian sosial

pada kehidupan sosial dengan orang dewasa dalam hal ini remaja belajar pola-pola tingkah sosial yang dilakukan orang dewasa dilingkungan mereka berada.

Apabila tugas-tugas perkembangan sebagaimana telah dipaparkan di atas dapat dikuasai dan dilalui dengan baik maka diharapkan dengan bekal tugas-tugas perkembangan tersebut dapat membantu remaja sebagai siswa untuk tumbuh dan berkembang serta

mampu menjalani fase kehidupan selanjutnya dengan baik dan bahagia.

5. Masalah-Masalah Penyesuaian Sosial

Siswa Sekolah Lanjutan (SMA/SMK) dilihat dari segi umur berada pada rentang usia antara 15 sampai 20 tahun atau termasuk kedalam golongan individu yang disebut dengan remaja. Pada masa ini, remaja sedang dalam masa transisi, dikatakan demikian karena pada masa ini remaja tidak dapat dikatakan lagi sebagai seorang anak kecil, tetapi di lain

(27)

Pada masa transisi ini, remaja sering dihadapkan pada masalah-masalah seperti yang dikemukakan oleh Syamsudin (dalam Nurdin, 2009:95) berikut ini:

1) Masalah yang berkaitan dengan perkembangan fisik dan psikomotor, dalam hal ini secara umum remaja acap kali menghadapi kecanggungan dalam pergaulan, penolakan diri berkaitan dengan body image yang tidak sesuai dengan self picture yang dihadapkan, merasa malu karena perubahan suara remaja laki-laki dan peristiwa menstruasi pada remaja wanita dan sebagainya;

2) Masalah yang berhubungan dengan perkembangan bahasa dan perilaku kognitif seperti tidak menyukai pelajaran bahasa asing dan benci terhadap guru dikarenakan kelemahan dalam mempelajari bahasa asing, merasa rendah diri karena kapasitas dasar belajarnya dibawah rata-rata, ketidakselarasan anatara bakat dan minat sehingga menimbulkan kesulitan dalam memilih program/jurusan di sekolah yang akan dimasukinya;

3) Masalah yang berkenanan dengan perkembangan perilaku sosial, moral dan religis seperti masalah yang berkaitan dengan kenakalan remaja dalam bentuk tawuran pelajar, pencurian, perampokan, prostisusi, konflik dengan orang tua, penyalahgunaan obat-obat terlarang serta penyimpangan perilaku sosial lainnya; 4) Masalah yang berkaitan dengan perkembangan efektif, kognitif dan kepribadian

yaitu mudahnya remaja terbawa arus pergaulan yang menjurus kearah kegiatan-kegiatan yang bersifat merusak (destruktif) sebagai alasan untuk melampiaskan ketegangan emosionalnya, sulit dalam mengintegrasikan fungsi-fungsi psikofisiknya yang akan berakhir pada kesulitan dalam menemukan identitas pribadinya dan mengalami masa remaja yang berkepanjangan walaupun usianya sudah termasuk kedalam golongan orang dewasa.

Bertolak dari permaslahan-permasalahan yang dihadapi remaja dalam rangka penyesuaian sosialnya, tentunya seluruh permasalahan tersebut tidak dapat sepenuhnya

ditanggulangi melalui layanan bimbingan dan koseling di sekolah. Perlu adanya upaya dan tanggung jawab bersama baik pemerintah, pihak sekolah serta orang tua siswa itu sendiri sebagai wujud kepedulian dan harapan akan terlaksananya pendidikan yang akan menghantarkan para siswa sebagai anak-anak didik kearah masa depan yang lebih

berkualitas dan penuh makna.

(28)

Menurut Willis (dalam Nurdin, 2009:96) penyesuaian sosial siswa di sekolah adalah penyesuaian terhadap guru, teman sebaya, dan lingkungan sekolah. Berdasarkan hal di atas diketahui bahwa guru, teman sebaya dan lingkungan sekolah berperan penting dalam

penyesuaian sosial siswa yang efektif disekolah yang tercermin dalam perilaku menghargai dan menerima hubungan interpersonal dengan guru, teman sebaya, penyesuaian terhadap peraturan sekolah dan partisifatif dalam kelompok belajar.

Lebih lanjut Willis (dalam Nurdin, 2009:96)mengatakan bahwa,

Penyesuaian sosial yang efektif disekolah ditandai dengan adanya : (1) penerimaan dan penghargaan terhadap orang yang patut dihormati disekolah, (2) minat dan partisipatif aktif dalam seluruh kegiatan ekstrakurikuler ataupun kelompok belajar, (3) mematuhi tata tertib sekolah yang berlaku dengan penuh kesadaran dan penerimaan, (4) melakukan interaksi yang sehat dengan teman sekolah, guru bidang study atau wali kelas dan guru pembingbing serta staf tata usaha.

Jika keseluruhan ciri tersebut sudah terdapat dalam diri seorang remaja maka dapat dikatakan bahwa penyesuaian sosial remaja tersebut sudah baik.

B. Konseling Sebaya

Ketertarikan konselor dan individu lain dalam profesi yang hampir sama, yaitu memberikan

bantuan telah tumbuh makin pesat seiring perkembangan zaman. Ketertarikan ini diwujudkan dalam bentuk memberikan pelatihan atau pengajaran keterampilan non-profesional, salah satunya yaitu konseling sebaya.

1. Pengertian Konseling Sebaya

Menurut Mappiare (dalam Wahono, 2009:15), konseling sebaya (peer counseling) berarti menunjuk pada teman sebaya dalam suatu situasi konseling kelompok yang

(29)

orang-orang dalam kelompok usia yang sama, khususnya remaja, yang saling membantu sesama teman sebaya atau saling mengonseling satu dengan yang lain setelah mereka mendapatkan pelatihan konseling.

Menurut Tindall dan Gray (dalam Suwarjo, 2008:5), mendefinisikan konseling sebaya

sebagai berikut:Konseling sebaya merupaka suatu ragam tingkah laku membantu secara interpersonal yang dilakukan oleh individu nonprofesional yang berusaha membantu orang lain.

Dengan demikian, konseling sebaya berarti ada proses tatap muka yaitu seorang siswa

membantu siswa lain agar dapat memecahkan masalahnya sendiri.

Meski konselor sebaya berasal dari siswa, mereka juga harus memiliki teknik konsultasi yang tepat. Misalnya, bagaimana membuat suasana komunikasi terbuka dan membangun hubungan saling mempercayai. Oleh sebab itu, sebelum melakukan

konseling sebaya, siswa yang membantu rekannya perlu mendapatkan pelatihan konseling.

Sedangkan menurut Kan (dalam Suwarjo, 2008:5)

“Peer counseling is the use problem solving skills and active listening, to support people who are our peers”. (Artinya, konseling sebaya adalah menggunakan kemampuan pemecahan masalah dan mendengar secara aktif, untuk mendukung individu pada kelompok sebaya).

Peran konselor sebaya dengan bekal pengetahuan dan keterampilan konseling bisa mencakup memberikan nasihat atau jalan keluar dari permasalahan (problem solving)

(30)

teman yang sedang mengungkapkan permasalahannya, itu sudah merupakan salah satu terapi psikologis, meskipun belum menyelesaikan masalah.

Mendengarkan kata-kata konselor sebaya mungkin terasa baru bagi sebagian lain. Sehingga untuk memudahkannya, perlu kiranya memahami kata-kata berikut. Konselor

sebaya adalah menunjuk kepada orang yang membantu, dalam sementara waktu, yang sebelumnya telah diberikan keterampilan konseling oleh ahli.

2. Penyeleksian Calon Konselor Sebaya

Dalam rangka mengurangi kerisauan publik berkenaan dengan kemungkinan munculnya

perilaku-perilaku konseling yang kurang tepat konselor sebaya. Penyeleksian merupakan tugas dari pelatih (konselor) dan memegang tanggung jawab penuh bagi mereka yang terpilih.

Untuk kesuksesan dalam pelaksanaan kegiatan konseling sebaya ini, menurut Tindall dan Gray (dalam Wahono, 2009:17), perlu memiliki beberapa kondisi antara lain sebagai berikut,

a. Peserta latihan sebaiknya individu

yang memiliki kualitas kepekaan, kehangatan, dan kepedulian pada orang lain.

b. Orang-orang yang terlibat dalam

kegiatan ini perlu memiliki ketertarikan terhadap konsep dan aplikasi konseling sebaya.

c. Setiap orang yang terlibat dalam

program (konselor dan konselor sebaya) perlu pula telibat dalam perencanaan.

d. Perlu adanya program latihan

terencana dan spesifik. Format yang dapat diberikan pun boleh dalam bentuk apapun, misalnya dalam bentuk pelajaran di kelas, seminar, dan lokakarya.

e. Perlunya suatu pertemuan yang

(31)

f. Adanya evaluasi dan upaya tindak lanjut. Kegiatan ini bertujuan untuk mengukur kemajuan dan mengisolasi kemungkinan terjadinya problem. Konselor sebaya juga perlu terus menerus diberikan latihan-latihan sehingga akan semakin efektif dalam memberikan bantuan kepada temannya.

Jika kondisi-kondisi tersebut sudah terpenuhi, diharapkan pelaksanaan penyeleksian konselor sebaya akan berjalan efektif dan sesuai harapan.

Penyeleksian calon konselor sebaya, sebenarnya menurut para ahli, diajukan jenis kriteria yang berbeda-beda. Kriteria tersebut menurut Tindall dan Gray (dalam Wahono, 2009:18) antara lain sebagai berikut.

a. motivasi dan minat,

b. sikap dan kualitas personal, c. akademik, dan

d. abilitas dan keterampilan.

Jadi, kriteria untuk menjadi seorang konselor sebaya tidak hanya dilihat oleh satu hal

saja tetapi keseluruhan hal yang telah disebutkan. Karena kriteria yang telah disebutkan saling berkaitan satu dengan yang lainnya.

Sementara itu, berkaitan dengan durasi latihan konselor sebaya, menurut Varenhorst (dalam Wahono, 2009:19), setidaknya dilatih selama 18 jam dalam keterampilan

konseling. Sedangkan, menurut Tindall & Gray (dalam Wahono, 2009:19), waktu yang efektif untuk menghasilkan konselor sebaya dengan performa yang baik, membutuhkan waktu latihan sekitar 21 hingga 80 jam pertemuan. Kemudian ditambah lagi 15 hingga

(32)

Pada sisi lain, Fink (dalam Wahono, 2009:19), menyarankan agar menyeleksi kelompok siswa yang berbeda-beda untuk mengikuti program latihan, sehingga konselor sebaya tersedia bagi semua struktur sosiologis sekolah dan selanjutnya mempublikasikan

nama-nama konselor sebaya yang telah terlatih tersebut. Tujuannya adalah agar mendorong klien untuk melakukan kontak informal dengan mereka. Kemudian menekankan pemberian latihan kepada konselor sebaya yang makin banyak lagi, bukan hanya

melatih sekelompok siswa tertentu melainkan juga kepada siswa lain.

3. Manfaat Konseling Sebaya

Konseling sebaya memiliki manfaat yang dapat dibagi menjadi dua bagian utama, yaitu manfaat pada bimbingan dan konseling di sekolah dan manfaat pada individu yang

berperan aktif di dalam konseling sebaya. Manfaat yang diperoleh dari konseling sebaya ini bagi bimbingan dan konseling di sekolah antara lain, membantu guru pembimbing dalam mengamati perkembangan peserta didik, membantu optimalisasi sosialisasi

layanan bimbingan dan konseling secara umum. Misalnya dengan memberikan pengertian bahwa bimbingan dan konseling bukanlah polisi sekolah, sehingga semua siswa tidak perlu sungkan untuk berkonsultasi kepada guru bimbingan dan konseling di sekolah.

Selain itu, konseling sebaya diyakini lebih efektif dalam mengeksplorasi secara mendalam perasaan klien dan perilaku klien sehari-hari baik di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah. Setidak-tidaknya, konseling sebaya di dalam prosesnya terjadi

(33)

Adapun manfaat yang diperoleh pelaku konseling sebaya (konselor sebaya dan klien), adalah sama-sama belajar untuk mengoptimalkan potensi yang dimiliki secara optimal. Bagi konselor sebaya manfaat yang diperoleh berupa pemahaman mengenai dirinya dan

orang lain sebagai individu yang unik, memiliki keterampilan berkomunikasi yang lebih baik, dan dapat membantu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi rekannya.

4. Tujuan Konseling Sebaya

Beberapa tujuan konseling sebaya, menurut Fatonah (dalam Wahono, 2009:20) adalah sebagai berikut:

a. membantu mewujudkan visi dan misi sekolah

b. membantu konselor di sekolah dalam proses pemberian layanan konseling c. membantu rekannya (sesama siswa) saat mengahadapi permasalahan d. membantu konselor dalam memonitoring perkembangan klien

Berdasarkan hal tersebut, jelas bahwa konseling sebaya sangat membantu guru khususnya guru pembimbing dalam memantau perkembangan siswanya, selain itu juga konseling sebaya dimaksudkan agar menimbulkan rasa empati antar siswa sehingga

membantu siswa memiliki rasa peduli terhadap sesama yang semakin besar. 5. Beberapa Keterampilan Dasar Komunikasi

Ada delapan aspek yang menurut Tindall dan Gray (dalam Wahono, 2009:20), merupakan keterampilan dasar dalam berkomunikasi yang perlu untuk diajarkan, yaitu keterampilan attending, empati, meringkaskan, mengundang pertanyaan, asertif,

(34)

Atending merupakan suatu komponen yang diperlukan dalam komunikasi konseling. Perilaku atending dapat menunjukkan bahwa konselor menghargai klien sebagai pribadi dan tertarik terhadap apa yang sedang dikatakan klien. Selain itu,

atending yang baik juga akan membuat klien merasa aman sehingga akan melancarkan ekspresi bebas pada klien untuk menyatakan apa saja yang timbul dibenaknya. Keterampilan ini meliputi:

1) Posisi badan

Posisi badan yang baik adalah duduk dengan luwes menghadap lien,

sekali-kali mencondongkan badan untuk menunjukkan kebersamaan. Tangan konselor juga harus tenang (jangan banyak gerak) atau sekedar untuk gerak isyarat yang menyertai apa yang dikomunikasikan secara verbal respons

muka pun harus mengekspresikan persahabatan, seperti senyum spontan, atau anggukan kepala yang menunjukkan pemahaman.

2) Kontak mata

Ketika klien sedang berbicara, kontak mata yang baik adalah dengan memandangnya secara secara spontan dan yang menunjukkan bahwa konselor memiliki minat dan penerimaan (acceptance).

3) Mendengarkan

Mendengarkan dengan cara yang baik meliputi memelihara perhatian yang terpusat pada klien, mendengarkan segala sesuatu yang diutarakan klien dan

memahami seluruh pesannya (kata-katanya, perasaan dan perilakunya).

(35)

Keterampilan ini bukanlah sekedar keterampilan berkomunikasi semata, akan tetapi merupakan usaha menerobos dunia pribadi orang lain. Dengan memperhatikan dan mendengarkan keluhan dari klien, konselor dapat menembus

depresi (aspek perasaan) dan pengalaman yang melatar-belakanginya (aspek pengalaman) serta mampu menyampaikan pemahamannya kepada klien.Empati disebut akurat apabila pemahaman dan persepsi konselor itu benar, dalam arti

sesuai dengan penghayatan klien. Ada dua tahapan dalam meraih empati yang akurat, yaitu empati akurat tahap primer dan empati akurat tahap lanjutan. Namun dalam penelitian ini, pelatihan hanya difokuskan hanya pada pelatihan empati akurat tahap primer.

Empati akurat tahap primer berarti mengomunikasikan tingkat pemahaman dasar yang pokok mengenai perasaan, pengalaman, dan tingkah laku klien serta yang melatarbelakangi perasaannya. Dengan empati akurat tahap primer ini, diharapkan

klien dapat mengenali lebih mendalam dan mengadakan klarifikasi situasi masalah yang dihadapi dengan pola acuannya sendiri.

Empati akurat tahap primer ini berguna dalam proses konseling secara keseluruhan khususmya untuk membentuk rapport, merangsang klien untuk lebih terbuka, dan

menumbuhkan rasa percaya terhadap konselor.

Berkaitan dengan empati akurat tahap primer, ada beberapa bentuk latihannya,

yaitu:

(36)

ia mampu mengungkapkan empati kepada perasaan klien. Perasaan klien hendaknya diungkapkan kembali oleh konselor dalam bentuk yang berlainan. 2) Menghayati perasaan dan emosi sendiri, agar dapat melakukan empati dengan

baik, peserta diharapkan dapat mendeskripsikan secara kongkrit reaksi tubuhnya dan yang terjadi dalam dirinya saat merasakan sesuatu. Lathan ini bertujuan membantu peserta untuk menghayati sendiri perasaan dan emosinya.

Peserta dilatih untuk menguraikan apa yang terjadi dalam dirinya apabila merasakan sesuatu.

3) Menghayati perasaan secara mendalam, latihan ini bertujuan untuk memberi kesempatan kepada peserta mencoba mengungkapkan perasaannya baik yang

bersifat negatif maupun negatif. Kemudian menuliskan pengalamannya, dan selanjutnya didiskusikan dengan peserta lainnya untuk mengetahui kedalaman perasaan yang diungkapkan.

4) Mengidentifikasi perasaan klien, konselor harus dapat mengidentifikasi perasaan klien melalui nada suara, ungkapannya, gaya duduk dan bicara, serta ekspresi wajah. Sebab kehidupan emosional klien dapat diungkapkan melalui

dari perilaku klien. Dengan latihan ini, diharapkan peserta dapat mengidentifikasi perasaan klien dalam rangka membina empati yang akurat. 5) Mengidentifikasi pengalaman, perilaku klien dan perasaan yang

(37)

membantu peserta dalam menafsirkan beberapa kasus. Misalnya, apa yang dialami klien, apa yang terjadi pada klien, tingkah laku apa yang menonjol, keberhasilan dan kegagalan, perasaan apa yang mengiringinya.

6) Merespon klien dengan empati tahap primer, dalam memberikan respon kepada klien, konselor dapat menjamah materi, dan juga perasaannya. Seandainya yang direspon itu adalah materi dan perasaannya, maka bentuk

respon itu mengarah pada penggalian masalah yang melatar-belakanginya. Ada dua cara yang dapat digunakan konselor, yaitu dengan menggunakan formula: ”Anda merasa...karena....”, dan menggunakan ungkapan yang diidentifikasi dari pernyataan klien, baik pengalaman, tingkah laku, ataupun perasaannya.

c. Keterampilan Meringkaskan

Keterampilan ini merupakan suatu cara yang baik untuk mengakhiri suatu fase atau memulai fase baru dalam wawancara konseling. Dengan meringkaskan, akan

membantu klien agar ia merasakan adanya pengembangan dalam mengeksplorasi ide dan perasaan, serta menyadari adanya kemajuan wawasan diri dan pemecahan masalahnya. Bagi konselor, kegiatan ini berperan sebagai pemeriksa yang efektif

tentang kecermatan persepsi terhadap pesan klien.

Pada waktu meringkaskan, ringkasan yang baik adalah memadukan aspek-aspek yang masih kabur, menyatakannya dengan sesederhana mungkin dan sejelas

mungkin serta tidak lupa meminta klien untuk mersepons terhadap kecermatan ringkasan tersebut.

(38)

Keterampilan ini akan membantu seorang konselor untuk membuka percakapan, membantu klien menunjukkan permasalahannya dengan tepat dan membantu mengeksplorasi aspek-aspek masalahnya.

Keterampilan ini harus didukung dengan keterampilan menggunakan pertanyaan

terbuka dan pertanyaan tertutup. Dimana pertanyaan terbuka lebih menekankan memberi kesempatan kepada klien untuk mengeksplorasi dirinya dengan bantuan konselor. Sebaliknya pertanyaan tertutup digunakan untuk melacak isi pembicaraan

yang bersifat fakta daripada perasaan, cenderung menutup dari pembicaran, dan terkadang menyerang klien tanpa menyadari posisinya.

Bentuk dari pertanyaan tertutup biasanya hanya dijawab dengan beberapa kata

misalnya ”Ya” atau ”Tidak”. Sedangkan pada pertanyaan terbuka, untuk mendukung suasana yang membantu klien mengeksplorasi dirinya, diperlukan penguatan-penguatan minimal. Penguatan minimal merupakan indikator-indikator yang menunjukkan bahwa konselor terlibat dalam pecakapan, misalnya kata-kata,

isyarat, anggukan, atau pengulangan kata-kata kunci.

Pertanyaan terbuka penting dilakukan pada awal pembicaraan, dan dapat dimulai dengan kata-kata: ”Apa...?”, ”Kapan...?”, ”Dimana...?”, ”Kenapa...?”.

Sedangkan bentuk dari penguatan minimal ini, meliputi perpaduan yang ada pada aspek-aspek non verbal perilaku atending, misalnya memelihara kontak mata, sikap badan, gerak isyarat, anggukan kepala, dan gerakan badan, bersama gerak isyarat yang hangat dengan waktu yang tepat. Selain itu, ucapan verbal yang singkat

(39)

dengan kata-kata, ”O..”, ”Begitu...”, ”Kemudian...”, ”Dan...”, ”Ceritakan lagi....”, dan ”Mm...”, ”He...”

e. Keterampilan Berperilaku Asertif

Perilakuasertif merupakan salah satu bentuk perilaku komunikasi yang harus senantiasa dikembangkan oleh konselor. Karena dengan perilaku ini, seorang

konselor akan dapat mengembangkan hubungan yang lebih hangat, sehingga proses konseling dapat berjalan dengan lancar. Dalam menghadapi suatu masalah terutama masalah yang tidak menyenangkan, biasanya seorang individu mengembangkan empat pola reaksi yang disingkat dengan empat ”F”, yaitu:

FIGHT  Reaksi melawan, menantang, atau berkelahi FLIGHT  Melarikan diri, mengalah, mengembangkan

masalah

FREEZE  bingung, panik, tak mampu

memberikan respon

FACE  menghadapi dan menyelesaikan masalah dengansebaik-baiknya.

Reaksi tersebut didasari karena kepribadian dan pengetahuan. Dari sini, maka timbul pula empat pola perilaku, yaitu:

Agresif  I am OK, You are not OK Pasif  I am not OK, You are OK Pasif – Agresif  I am not OK, You are not OK Asertif  I am OK, You are OK

Perilaku agresif merupakan corak perilaku yang mengungkapkan pikiran, perasaan, kehendak dan kepentingan yang dilakukan dengan kata-kata atau tindakan-tindakan

(40)

kepentingan sendiri tetapi sebaliknya kurang menghargai hak-hak dan kepentingan orang lain.

Perilaku pasif merupakan kecenderungan seseorang untuk ragu dan tidak berani mengungkapkan pendapat, perasaan, kehendak, dan kepentingan sendiri. Dan kalaupun mengungkapkannya hal itu dilakukan dengan cara merendahkan diri dan

penuh dengan permohonan maaf yang tidak perlu dilakukan. Orang dengan perilaku pasif adalah orang yang tidak menghargai hak-hak pribadinya tetapi sangat menghargai hak-hak orang lain. Orang seperti ini cenderung membiarkan dirinya dilecehkan orang, mengabaikan diri sendiri serta mengalah pada kehendak dan

kepentingan orang lain.

Perilaku pasif-agresif merupakan kecenderungan untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, kehendak, dan kepentingan sendiri dengan cara-cara yang agresif tetapi di

lain pihak membiarkan dirinya diperlakukan secara agresif pula oleh orang lain. Sedangkan perilaku asertif merupakan corak perilaku yang mengungkapkan pikiran, perasaan, kehendak, dan kepentingan secara jujur dan terus terang dengan

cara-cara yang dapat diterima dan sesuai dengan sopan santun tanpa melanggar hak-hak diri pribadi dan orang lain. Ia tidak mau harga dirinya dilanggar, demikian pula ia tidak mau melanggar harga diri orang lain.

Adapun dasar dari pola perilaku asertif antara lain, sikap demokratis yang mengakui derajat sesama manusia dan menghormatinya. Kemudian adanya

(41)

untuk mengungkapkan pendapat, perasaan, kehendak, dan keputusan pribadi seperti apa adanya tanpa merendahkan diri sendiri dan orang lain.

f. Keterampilan Mengonfrontasi

Maksud dari keterampilan ini adalah untuk membantu klien mengubah pertahanan

diri yang telah dibangun guna menghindari pertimbangan bidang tertentu dan untuk meningkatkan komunikasi yang lebih terbuka kepada konselor.

Konfrontasi dapat dirasakan sebagai suatu serangan, dan ini akan berakibat pada meningkatnya pertahanan diri, dan melemahkan hubungan timbal balik. Namun

bila konfrontasi berhasil, hasilnya dapat menunjukkan bahwa konselor itu mendengarkannya, berada dalam komunikasi yang terus terang, dan tidak akan melemahkan hubungan.

Oleh karena itu, konfrontasi menekankan pada nada suara konselor, cara mengintroduksi konfrontasi, sikap badan, ekspresi wajah, serta tanda-tanda non verbal lainnya.

Adapun urutan latihannya adalah sebagai berikut: 1) Kondisi-kondisi konfrontasi

2) Keterampilan konfrontasi yang tajam

3) Bermain peran keterampilan konfrontasi dan penlaian terhadap peserta latihan.

g. Keterampilan Problem-Solving

(42)

harus melibatkan komponen problem solving. Problem-solving adalah kegiatan atau dimensi aksi yang membawa perubahan perilaku.

Pemecahan masalah yang efektif adalah sangat mungkin terjadi namun setelah

konselor dan klien mengeksplorasi dan memahami semua dimensi persoalan. Ketika hal ini telah terpenuhi, maka klien berada dalam posisi membuat komitmen untuk suatu perubahan perilaku. Latihan keterampilan ini perlu diajarkan secara

lengkap kepada peserta karena hal ini sangat menunjang dari keterampilan yang lain. Setidak-tidaknya pengetahuan megenai salah satu posedur problem solvingharus mereka kuasai, sehingga dalam proses memberikan bantuan mereka dapat membantu dengan baik.

Menurut Tindall dan Gray (dalam Wahono, 2009:32), model prosedur problem

solving ini secara umum mencakup tujuh tahapan, yaitu: 1. Eksplorasi terhadap permasalahan

2. Pemahaman terhadap masalah 3. Penjelasan terhadap masalah

4. Brainstorming terhadap semua alternatif pemecahan masalah 5. Mengevaluasi alternatif pemecahan masalah

6. Menetapkan alternatif pemecahan masalah yang terbaik 7. Menerapkan alternatif pemecahan masalah

Setelah mengetahui prosedur latihan problem solving diharapkan konselor sebaya

terampil dalam melaksanakan keterampilan problem solving.

6. Pelaksanaan Konseling Sebaya

(43)

tahap pertengahan, dan tahap akhir konseling. Akan tetapi yang membedakan pada konselor sebaya adalah yang menjadi konselor merupakan remaja yang relatif sebaya atau seusia dengan klien. Dan konselor sebaya ini akan membantu

temannya memecahkan permasalahan yang dihadapi.

Menurut Willis (2004:138), secara umum proses konseling dibagi atas tiga tahapan, yaitu tahap awal, pertengahan, dan tahap akhir.

Pada tahap awal konselor melakukan:

a. Membangun hubungan konseling yang melibatkan klien b. Memperjelas dan mendefinisikan masalah

c. Membuat penafsiran dan penjajakan d. Menegosiasi kontrak

Pada tahap pertengahan atau tahap kerja, konselor melakukan:

a. Mengeksplorasi masalah

b. Menjaga hubungan tetap terpelihara c. Menjaga sesuai kontrak

Pada tahap akhir, konselor mengakhiri konseling dengan persetujuan dari klien dan meminta klien untuk:

a. Membuat kesimpulan mengenai proses konseling b. Mengevaluasi jalannya konseling

c. Membuat perjanjian untuk pertemuan berikutnya Evaluasi yang dilakukan klien meliputi:

a. Menilai rencana perilaku yang dibuatnya

b. menilai perubahan perilaku yang terjadi pada dirinya c. menilai proses dan tujuan konseling

(44)

atau ide-ide, bertanya, mendefinisikan masalah klien, dan dorongan minimal. Pada tahap pertengahan konfrontasi, memberi informasi, bertanya terbuka, dan menyimpulkan sementara. Tahap akhir konselor perlu melakukan menyimpulkan,

memimpin, merencanakan dan mengevaluasi bersama klien. a. Langkah-langkah dalam Konseling Sebaya

Langkah-langkah dalam konseling sebaya, menurut Fatonah, dkk (2008:30):

1. Salam, memberi perhatian dan menciptakan hubungan dan situasi nyaman. 2. Tanya, mengajukan pertanyaan untuk mengetahui kebutuhan dan perasaan

klien tentang masalah yang dihadapi dan latarbelakangnya, identifikasi efek masalah terhadap klien dan hal lain.

3. Uraikan dan tawarkan informasi umum mengenai alternatif pemecahan masalah untuk pengambilan keputusan.

4. Bantu klien untuk mengambil keputusan yang diinginkan.beri waktu dan dorong klien untuk berpendapat.

5. Jelaskan secara rinci mengenai alternatif pemecahan masalah yang telah dipilih klien, konsekuensi-konsekuensi yang mungkin dihadapi. ajukan pertanyaan apakah klien sudah mengerti apa yang disampaikan agar bisa membuat keputusan tanpa tekanan.

6. Rencanakan kunjungan ulang atau rujuk ketempat pelayanan konseling bila diperlukan.

Dengan mengetahui langkah-langkah dalam pelaksanaan konseling sebaya, hal ini dimaksudkan agar konseling sebaya berjalan terarah, efektif dan mendapatkan hasil

yang sesuai dengan harapan, yaitu permasalahan klien terselesaikan. Di samping itu juga langkah-langkah pelaksanaan konseling sebaya ini berguna sebagai arahan agar pada saat sesi konseling pembicaraan tidak melebar ke arah lain yang tidak

(45)

Mengenai tempat konseling sebaya, menurut Fatonah (2008:29) dapat dilakukan dimana saja dengan syarat, sebagai berikut:

a. Terjamin privacy b. Nyaman, tidak bising c. Tenang

d. Disepakati bersama

Hal ini dimaksudkan agar klien merasa nyaman dan aman saat bercerita. Pemilihan tempat yang tepat mengurangi kecemasan pada klien, sehingga klien bebas mengungkapkan permasalahannya tanpa khawatir akan diketahui orang lien. Jika

klien sudah mampu bercerita dengan nyaman maka akan memudahkan konselor dalam memberikan bantuan atau penanganan yang tepat terhadap klien.

C. Kaitan Konseling Sebaya dengan Penyesuaian Sosial

Teman sebaya atau rekan sebaya adalah individu yang relatif memiliki pengalaman, gaya hidup, nilai-nilai, dan usia yang sama dengan diri kita. Memiliki pengalaman yang relatif sama menunjukkan bahwa perkembangan individu dalam tahap perkembangan yang sama.

Begitu juga dengan gaya hidup, dan nilai-nilai tertentu melekat pada seseorang, melekat juga pada teman atau rekan sebayanya. Ada yang sukses dalam hidup, dan ada juga yang kurang sukses dalam hidup karena pengaruh dari temannya. Remaja harus membuat banyak penyesuaian baru untuk mencapai tujuan dari pola sosialisasi dewasa. Yang terpenting dan

tersulit adalah penyesuaian sosial dengan meningkatnya pengaruh kelompok sebaya, perubahan dalam perilaku sosial, pengelompokan sosial yang baru, nilai-nilai baru dalam seleksi persahabatan, nilai-nilai baru dalam dukungan dan penolakan sosial, dan sebagainya.

(46)

hubungan yang baru dan lebih masak dengan teman sebaya baik sesama jenis maupun lawan jenis dalam upaya penyesuaian sosial siswa.

Peran teman sebaya penting bagi penyesuaian sosial siswa. Interaksi yang harmonis antar

teman, akan mengubah cara berpikir dan pola tingkah laku temannya menjadi lebih baik lagi. Dan melalui pelatihan konseling sebaya, peran ini pun dapat semakin efektif. Dikatakan efektif karena di dalam pelatihan, mereka para (konselor sebaya) telah mendapatkan

pengetahuan dan keterampilan dalam berinteraksi dengan orang-orang yang sebaya. Diantaranya antara lain keterampilan mengundang pembicaraan, empati, dan problem solving.

Keterampilan mengundang pembicaraan akan membantu kita untuk membuka percakapan,

dan membantu klien dalam menunjukkan permasalahannya dengan tepat dan juga membantu mengeskplorasi aspek-aspek masalahnya. Sementara itu, keterampilan empati akan membantu dalam memahami dunia pribadi seseorang (klien). Dengan memperhatikan dan

mendengarkan keluhan klien, konselor dapat menembus depresi (aspek perasaan) dan pengalaman yang melatarbelakanginya (aspek pengalaman) serta mampu menyampaikan pemahamannya kepada klien. Dan keterampilan problem solving akan membuat proses

pemberian bantuan kepada klien menjadi lebih efektif. Pemecahan masalah yang efektif adalah sangat mungkin terjadi bila telah melakukan eksplorasi dan memahami dimensi permasalahan. Dan bila hal ini terpenuhi, maka klien berada dalam posisi membuat

(47)
(48)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. 1 Siswa Yang Dikategorikan Memiliki Penyesuaian Sosial Rendah...4

3.1 Alternatif Jawaban Angket ...49

3.2 Kisi-kisi Angket Penyesuaian Sosial ...49

3.3 Siswa Kelas XII SMA Negeri 9 Bandar Lampung 2011/2012 Yang

Penyesuaian Sosialnya Rendah Berdasarkan Hasil Sosiogram ...56

3.4Calon Konselor Sebaya, Siswa Kelas XII SMA Negeri 9 Bandar Lampung 2011/2012 ...56

3.5 Calon Konselor Sebaya Dan Kliennya, Siswa Kelas XII XMA Negeri 9 Bandar Lampung 2011/2012...57

(49)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang dan Masalah

1. Latar Belakang

Masa remaja merupakan suatu tahapan yang harus dilalui seorang individu untuk bergerak ke arah masa dewasa. Seringkali pada masa remaja timbul kegalauan seperti gangguan emosi

dan gangguan perilaku sebagai akibat dari tekanan-tekanan yang dialami remaja karena perubahan-perubahan yang terjadi pada dirinya maupun akibat perubahan lingkungan.

Sejalan dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam diri remaja, mereka juga

dihadapkan pada tugas-tugas yang berbeda dari tugas pada masa kanak-kanak. Sebagaimana diketahui, dalam setiap fase perkembangan, termasuk pada masa remaja, individu memiliki tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhi. Apabila tugas-tugas tersebut berhasil

diselesaikan dengan baik, maka akan tercapai kepuasan, kebahagian dan penerimaan dari lingkungan. Keberhasilan individu memenuhi tugas-tugas itu juga akan menentukan keberhasilan individu memenuhi tugas-tugas perkembangan pada fase berikutnya.

Hurlock (dalam Retnowati, 2007:1) memberi batasan masa remaja berdasarkan usia

(50)

Menurut Havighurst (dalam Sarwono, 2002:32),

Pada usia remaja, tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut: 1. Menerima kondisi fisik dan memanfaatkan tubuhnya secara efektif.

2. Menerima hubungan yang lebih matang dengan teman sebaya dari jenis kelamin yang manapun.

3. Menerima peran jenis kelamin masing-masing (laki-laki atau perempuan).

4. Berusaha melepaskan diri dari ketergantungan emosi terhadap orangtua dan orang dewasa lainnya.

5. Mempersiapkan karir ekonomi.

6. Mempersiapkan perkawinan dan kehidupan berkeluarga. 7. Merencanakan tingkah laku sosial yang bertanggungjawab.

8. Mencapai sistem nilai dan etika tertentu sebagai pedoman tingkah lakunya.

Tidak semua remaja dapat memenuhi tugas-tugas tersebut dengan baik. Menurut Hurlock

(dalam Sarwono, 2002:36) ada beberapa masalah yang dialami remaja dalam memenuhi tugas-tugas tersebut, yaitu:

1. Masalah pribadi, yaitu masalah-masalah yang berhubungan dengan situasi dan kondisi di rumah, sekolah, kondisi fisik, penampilan, emosi, penyesuaian sosial, tugas dan nilai-nilai.

2. Masalah khas remaja, yaitu masalah yang timbul akibat status yang tidak jelas pada remaja, seperti masalah pencapaian kemandirian, kesalahpahaman atau penilaian berdasarkan stereotip yang keliru, adanya hak-hak yang lebih besar dan lebih sedikit kewajiban dibebankan oleh orangtua.

Seperti yang telah disebutkan, salah satu permasalahan yang dihadapi oleh para remaja saat tugas-tugas perkembangannya tidak berjalan dengan baik adalah masalah penyesuaian sosial. Hurlock (dalam Santrock, 1995:286 ) menyatakan bahwa penyesuaian sosial merupakan

keberhasilan seseorang untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada umumnya dan terhadap kelompok pada khususnya. Menurut Jourad (dalam Santrock, 1995:287 ) salah satu indikasi penyesuaian sosial yang berhasil adalah kemampuan untuk menetapkan hubungan yang dekat dengan seseorang.

(51)

sosial yang baik pula antar siswa, begitupun sebaliknya.Disinilah peran guru Bimbingan dan Konseling (BK) dipandang sangat penting mengingat fungsinya yang strategis. Fungsi tersebut menurut Sarlito (dalam Wahono, 2007:3) adalah mendampingi siswa yang tengah

memasuki tahapan remaja dan melewati masa-masa kritis pubertas yang ditandai dengan perubahan fungsi biologis, fisik dan psikologis dengan berbagai akibat bawaan yang menyertainya tersebut.

Namun seringkali kita dapati bahwa pada praktiknya, meski siswa mengetahui bahwa dirinya sedang membutuhkan bantuan atas permasalahannya, siswa enggan melakukan konsultasi atau sekedar menceritakan permasalahannya kepada guru BK. Beberapa faktor penyebab ada

yang menyatakan karena adanya persepsi siswa terhadap guru BK yang masih dianggap sebagai polisi sekolah. Ada juga siswa yang beranggapan bahwa tugas guru BK adalah semata-mata memberi hukuman atau menangani kasus siswa yang nakal, sehingga menurut

mereka tidak ada ruang untuk mengungkapkan permasalahannya tersebut kepada guru Bimbingan dan Konseling.

Kompleksitas permasalahan yang dialami seiring perkembangan zaman itu membuat para

guru BK, harus menambah siasat layanan konselingnya melalui konseling sebaya. Kecenderungan siswa dalam mengungkapkan segenap informasi dan permasalahan-permasalahannya melalui rekan sebayanya akan mengalir dengan deras, daripada kepada orang yang lebih dewasa, termasuk guru BK-nya sekalipun.

(52)

kelas XII terdapat 2.85 % siswa yang dikategorikan memiliki penyesuaian sosial di sekolah yang rendah, seperti yang terlihat dalam Tabel 1.1

Tabel 1.1 Siswa Yang Dikategorikan Memiliki Penyesuaian Sosial Yang Rendah

No. Nama Siswa Perilaku Yang Dimiliki

1 Riska Mulyana Sari Saat berbicara sering menyakiti perasaan temannya, suka mengintimidasi teman dan tutur katanya kasar.

2 Jimmy Alfian

Sensitif, pelit, suka meminta apa saja yang dimiliki temannya, suka mengejek, egois, tidak bisa kompak dan tidak bisa menghargai orang lain.

3 Seno Nugraha

Biang ribut di kelas, jahil, perilakunya seperti anak kecil, jika meminjam barang temannya suka tidak dikembalikan, dan suka membuat kesal teman-temannya.

4 Sangbimo Aditya R Suka mengganggu temannya, biang ribut di kelas, suka meledek dan suka membuat kesal teman-temannya.

5 Rachmat Wahyu D Sombong, emosian, biang ribut dan suka membuat kesal teman-temannya. 6 Rakhmat Sombong, biang ribut, egois dan suka omong besar. 7 M. Sabil Ryandika Pembohong, suka mengajarkan teman-temannya merokok, suka mengejek, dan bermuka dua.

8 Luthfi Waindira Suka mengejek, perilakunya tidak sopan terhadap guru, suka asal bicara, sensitif dan tidak bisa menjaga pembicaraan.

9 Jhonny Hidayat Suka memaksa, pelit, tidak bersahabat dan suka membuat kesal teman-temannya.

Dengan demikian, dapat diketahui bahwa rekan sebaya berperan penting dalam mencapai hubungan yang baru dan lebih masak dengan teman sebaya baik sesama jenis maupun lawan

jenisdalam upaya meningkatkan penyesuaian sosial siswa di sekolah.

Gambar

Gambar 3.1 One Group Pretest-Posttest Design
Tabel 3.1 Alternatif Jawaban Angket
Tabel 3. 3  Siswa Kelas XII SMAN 9 Bandarlampung 2011/2012 yang    Penyesuaian Sosialnya  Rendah Berdasarkan Hasil Sosiogram
Tabel 3.5     Calon Konselor Sebaya dan Kliennya, Siswa Kelas XII SMAN 9
+3

Referensi

Dokumen terkait

Setelah dilaksanakan konseling dengan dua siklus tindakan, masing-masing klien dapat mengatasi permasalahannya dengan merubah cara berpikir yang lebih rasional sehingga

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui apakah stres sekolah dapat ditingkatkan melalui konseling individu dengan pendekatan rasional emotif.. Jenis penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui penurunan kecemasan siswa dalam pemilihan karier sebelum dan setelah diberi layanan konseling Trait and Factor pada

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat perilaku konsumtif siswa sebelum memperoleh perlakuan berupa layanan konseling kelompok rata-rata persentasenya sebesar 66,04%

Permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah apakah ada pengaruh layanan konseling individual dengan menggunakan teknik empty chair dalam mengubah sikap antisosial siswa

Program Bimbingan dan Konseling Pribadi-Sosial untuk Meningkatkan Kepercayaan Diri Siswa (Studi Pra Eksperimen pada Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Cipatat Bandung Barat Tahun Ajaran

Permasalahan yang ingin dikaji dalam penelitian ini adalah mengetahui pemahaman siswa kelas IX tentang resiko perilaku seksual pra nikah sebelum dan setelah diberi

Siswa Dalam Menghadapi UN Kelas XII Sma 5 Pekanbaru Tahun Ajaran 2012/2013 “. Tujuan Penelitian ini adalah : 1) Untuk mengetahui gambaran kecemasan siswa dalam menghadapi UN