• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model of dengue haemorrhagic fever controlling policy in Indramayu Regency

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Model of dengue haemorrhagic fever controlling policy in Indramayu Regency"

Copied!
206
0
0

Teks penuh

(1)

BERDARAH DENGUE DI KABUPATEN INDRAMAYU

HENRI PERANGINANGIN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Model Kebijakan Pengendalian Penyakit Demam Berdarah Dengue di Kabupaten Indramayu adalah karya saya dengan arahan dari Komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

(3)

ABSTRACT

HENRI PERANGINANGIN. Model of Dengue Haemorrhagic Fever Controlling Policy in Indramayu Regency. Under the Direction of HASIM, BAMBANG PRAMUDYA N., and SRI BUDIARTI.

Dengue haemorrhagic fever (DHF) still becomes a problem in Indramayu regency. The occurance of DHF is linked to a number of factors, including the environment, population, health service, and vector of DHF (Aedes aegypti). The objective of this research is to establish a model of DHF controlling policy in Indramayu regency used quantitative and qualitative analysis, observational, cross sectional, Analytical Hierarchy Process, Interpretative Structural Modelling, and system approach. The location of this research is in six districts: Sindang, Indramayu, Jatibarang, Terisi, Sukagumiwang, and Tukdana. Respondents were 721 persons, consisted of 671 head of families (with random sampling), and 35 officials from government institution and 15 as experts (with purposive sampling). The results of study show that the occurance of DHF is statistically have significant relationship with (1) the health condition of household, (2) the household’s water income, (3) the household’s garbage handling, (4) the respondent’s knowledge of DHF, (5) the healthy behavior of the member of the family, (6) the household’s money income/expenditure per capita, (7) the respondent’s formal education, (8) the schedule to cleaning out the water container, and (9) the rainfall index. The main strategy to control the occurance of DHF, based on Analytical Hierarchy Process, such as the increase of healthy living environment. The key factors to control the occurance of DHF, based on prospective analysis of the Interpretative Structural Modelling outputs, id est: interprogrammer and interinstitutional cooperation at all of government administration level and supporting of environment health education.

The model simulation result can give a description of the real system behavior. Of the three formulated scenarios (optimistic, moderate, and pesimistic), application of optimistic scenario is assumed as the most effective. The DHF controlling policy that need to be implementated is focused to the four factors, id est: (1) the health environment: household garbage handling, waste water, water supplies, space and building sanitation, and mosquito repellent house plant, (2) the demography: population growth; and the community knowledge, attitude, and practice; (3) the health service: cure and health education program; and (4) the vector of DHF: management of the water storage containers, Aedes aegypti eggs, larvaes, pupa, and preventive measure of the Aedes aegypti mosquitos bite.

In order to implement the DHF controlling policy effectively, Indramayu government need to increase (1) the good management of the interprogrammer and interinstitutional cooperation and good management of the controlling DHF team sistematically from the regency to the district administration, (2) the supporting of technologies, funds, facilities, and standard operating procedure of health education, and (3) the service quality of the Public Health Centre.

(4)

ABSTRAK

HENRI PERANGINANGIN. Model Kebijakan Pengendalian Penyakit Demam

Berdarah Dengue di Kabupaten Indramayu. Dibimbing oleh HASIM,

BAMBANG PRAMUDYA N., dan SRI BUDIARTI.

Penyakit demam berdarah dengue (DBD) masih menjadi masalah di Kabupaten Indramayu. Kejadian penyakit DBD berkaitan dengan sejumlah faktor, di antaranya lingkungan, kependudukan, layanan kesehatan, dan vektor (nyamuk penular). Tujuan penelitian ini ialah membangun model kebijakan pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu dengan rancangan analisis kuantitatif dan kualitatif, observasional, Cross Sectional, Analytical Hierarchy Process,

Interpretative Structural Modelling, dan pendekatan sistem. Lokasi penelitian ialah di enam kecamatan: Sindang, Indramayu, Jatibarang, Terisi, Sukagumiwang, dan Tukdana. Responden sebanyak 721 orang terdiri dari 671 Kepala keluarga (random sampling), dan 35 pejabat Dinas/ Instansi serta 15 pakar (purposive sampling).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara statistik kejadian penyakit DBD berhubungan signifikan dengan (1) kesehatan rumah tangga, (2) perolehan air bersih/minum keluarga, (3) pengelolaan sampah rumah tangga, (4)pengetahuan Kepala keluarga tentang penyakit DBD, (5) perilaku sehat anggota keluarga, (6)pendapatan/pengeluaran belanja per kapita keluarga, (7) pendidikan formal Kepala keluarga, (8) keteraturan jadwal pembersihan tempat penampungan air, dan (9)curah hujan. Strategi utama pengendalian DBD berdasarkan Analytical Hierarchy Process ialah peningkatan kesehatan lingkungan permukiman. Faktor kunci utama pengendalian DBD menurut analisis prospektif hasil Interpretative Structural Modelling ialah: (1) kerjasama lintas program dan sektoral di semua tingkat administrasi pemerintahan, dan (2) dukungan teknologi dan dana penyuluhan kesehatan lingkungan.

Hasil simulasi model dapat memberi gambaran perilaku sistem nyata. Dari tiga skenario yang dirumuskan (pesimistik, moderat, dan optimistik); skenario optimistik diasumsikan paling mungkin diterapkan pada situasi dan kondisi daerah saat ini. Kebijakan pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu yang perlu dikembangkan ialah berfokus pada empat faktor yaitu: (1) kesehatan lingkungan: pengelolaan sampah, air limbah, penyediaan air minum, sanitasi ruang dan bangunan, tanaman anti nyamuk; (2) kependudukan: pengendalian pertumbuhan penduduk dan peningkatan pengetahuan, sikap, dan perilaku masyarakat; (3) layanan kesehatan: program pengobatan penderita dan penyuluhan kesehatan; dan (4) vektor penyakit DBD: pengendalian tempat penampungan air, telur, jentik, dan mencegah gigitan nyamuk Aedes aegypti.

Dalam rangka implementasi kebijakan pengendalian penyakit DBD secara efektif, Pemerintah Kabupaten Indramayu seyogyanya meningkatkan: (1)pembinaan kerjasama lintas program dan sektoral serta pengembangan tim pengendalian penyakit DBD secara berjenjang dari tingkat Kabupaten sampai ke tingkat Desa/Kelurahan, (2) dukungan teknologi, dana, sarana, standard operating procedure penyuluhan kesehatan, (3) mutu layanan Pusat Kesehatan Masyarakat.

(5)

HENRI PERANGINANGIN. Model Kebijakan Pengendalian Penyakit Demam Berdarah Dengue di Kabupaten Indramayu. Dibimbing oleh HASIM, BAMBANG PRAMUDYA N., dan SRI BUDIARTI.

Penyakit demam berdarah dengue (DBD) masih menjadi masalah di Kabupaten Indramayu. Incidence rate (IR) DBD (jumlah penderita per 100.000 penduduk) di Kabupaten Indramayu tahun 2004, 2005, 2006, 2007, dan 2008 adalah berturut-turut 49,74; 26,09; 35,92; 60,26; dan 50,01 mendekati IR DBD nasional sebesar 37,01; 52,10; 52,43; 71,78; dan 60,06. Case fatality rate DBD (jumlah meninggal per 100 penderita) dalam periode yang sama adalah berturut-turut sebesar 2,76; 3,41; 5,74; 5,15; dan 4,89 lebih tinggi dari Case fatality rate DBD nasional berturut-turut sebesar 1,20; 1,36; 1,04; 1,01; dan 0,86. Untuk menyelesaikan masalah ini Pemerintah Kabupaten Indramayu, beserta seluruh dinas/instansi dan komponen masyarakat, terus melakukan program pengendalian di seluruh kecamatan, namun masih bersifat parsial atau reduksionisme. Hal ini perlu disempurnakan dengan penerapan pendekatan sistem: berorientasi pada tujuan, secara holistik dan efektif.

Penelitian ini bertujuan membangun model kebijakan pengendalian DBD di Kabupaten Indramayu dengan rancangan analisis kuantitatif dan kualitatif, observasional, Cross Sectional, Analytical Hierarchy Process, Interpretative Structural Modelling, dan pendekatan sistem. Untuk mencapai tujuan itu dilakukan kegiatan: (1) menganalisis peranan faktor lingkungan, kependudukan, layanan kesehatan, dan vektor penyakit DBD, serta kebutuhan stakeholder dalam pengendalian penyakit DBD, dan (2) membangun model pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu dan merumuskan alternatif kebijakan yang tepat.

Penelitian dilakukan selama 6 bulan (dari Mei sampai dengan Oktober 2009) di Kecamatan Sindang, Indramayu, Jatibarang (“tiga besar” IR DBD periode 2004-2008) dan di Kecamatan Terisi, Sukagumiwang, Tukdana (“tiga kecil” IR DBD periode 2004-2008). Responden 721 orang terdiri dari 671 kepala keluarga (random sampling) 35 pejabat dinas/ instansi dan 15 pakar (purposive sampling). Data dikumpulkan menggunakan kuesioner kemudian diolah serta dianalisis dengan uji korelasi dan Chi-square.

Nilai kebaruan dari penelitian ini ialah (1) lebih berfokus pada pentingnya frekuensi dan mutu penyuluhan kesehatan lingkungan dalam pengendalian DBD; (2) lebih berfokus pada pentingnya pendekatan sistem dengan melibatkan stakeholder dalam perumusan strategi pengendalian penyakit DBD Kabupaten Indramayu; (3) menghasilkan model kebijakan pengendalian yang memadukan faktor lingkungan, kependudukan, layanan kesehatan, dan vektor penyakit DBD.

(6)

pekerjaan/mata pencaharian kepala keluarga dengan kejadian DBD signifikan maka di gabungan tiga kecamatan kedua hubungan keduanya tidak signifikan; dan (c) jika di gabungan tiga kecamatan pertama hubungan pendidikan formal kepala keluarga dengan kejadian DBD signifikan maka di gabungan tiga kecamatan kedua hubungan keduanya tidak signifikan. Persamaannya baik di gabungan tiga kecamatan pertama maupun tiga kecamatan kedua ialah faktor-faktor yang berhubungan signifikan dengan kejadian DBD yaitu (a) pengelolaan sampah rumah tangga, (b) pengetahuan kepala keluarga tentang DBD, (c) perilaku sehat penghuni rumah tangga, (d) pendapatan/pengeluaran per kapita keluarga, dan (d) keteraturan pembersihan tempat penampungan air di dalam dan di luar rumah.

Kebutuhan stakeholder dalam rangka pengendalian DBD di antaranya ialah cakupan air bersih/minum meningkat; kesehatan rumah hunian meningkat; limbah padat dan cair domestik dikelola baik; frekuensi layanan penyuluhan dan bimbingan teknis kesehatan lingkungan meningkat; dan populasi nyamuk Aedes aegypti terkendali baik. Strategi utama pengendalian penyakit DBD Kabupaten Indramayu, berdasarkan Analytical Hierarchy Process, ialah peningkatan kesehatan lingkungan permukiman. Faktor kunci utama pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu, berdasarkan Interpretative Structural Modelling, yaitu keadaan rumah hunian masyarakat dan lingkungannya sehat, dukungan teknologi dan peningkatan frekuensi dan mutu penyuluhan kesehatan lingkungan.

Model kebijakan pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu dapat dikembangkan dengan dasar pemikiran bahwa tinggi rendahnya kejadian DBD ditentukan oleh keadaan faktor kesehatan lingkungan, kependudukan, layanan kesehatan, dan vektor DBD. Dari tiga skenario yang dirumuskan: pesimistik, moderat, dan optimistik, penerapan skenario optimistik dinilai paling efektif. Hasil simulasi skenario optimistik menunjukkan: (1) penurunan IR DBD rata-rata 4,68 per tahun (2) cakupan sasaran penyuluhan kesehatan lingkungan rata-rata 223.803 orang per tahun; (3) kenaikan proporsi/ persentasi penduduk berperilaku hidup bersih dan sehat rata-rata 10% per tahun; dan (4) kenaikan tingkat mutu lingkungan rata-rata 1% per tahun. Hasil ini relatif lebih besar dari hasil simulasi skenario pesimistik dan moderat.

Dalam rangka penyempurnaan perumusan dan implementasi kebijakan pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu, selaras dengan kebijakan Pemerintah Pusat, Provinsi Jawa Barat, dan Pemerintah Kabupaten Indramayu serta skenario model yang dibangun, maka prinsip pokok yang perlu dijadikan pedoman dalam perumusan kebijakan ialah bahwa: (1) pengendalian penyakit DBD adalah bagian integral dari program pembangunan kesehatan di Kabupaten Indramayu; oleh karena itu perlu ditangani secara lintas program dan lintas sektoral di semua tingkat administrasi pemerintahan dengan dukungan partisipasi aktif seluruh masyarakat; (2) pengendalian penyakit DBD diselenggarakan dalam kerangka desentralisasi untuk mewujudkan otonomi daerah bidang kesehatan; oleh karena itu pengendalian DBD perlu diarahkan kepada perwujudan kemampuan daerah dan masyarakat untuk mengelola dirinya sendiri dan pengembangan upaya kesehatan bersumber masyarakat hingga tercapai tujuan: (a) Kabupaten Indramayu bebas penyakit DBD, (b) kenyamanan/ ketenteraman

masyarakat meningkat, dan (c) produktivitas masyarakat meningkat; (3) pengendalian penyakit DBD hendaknya berfokus pada faktor-faktor kesehatan

(7)

Dalam rangka implementasi kebijakan pengendalian DBD secara efektif maka perlu dikembangkan strategi yang tepat dan realistis yaitu (1) strategi peningkatan kesehatan lingkungan permukiman, (2) strategi peningkatan kesiapan hidup sehat masyarakat, (3) strategi peningkatan layanan kesehatan kepada masyarakat, dan (4) strategi pengendalian vektor penyakit DBD.

Program-program yang menjadi bagian integral dari strategi peningkatan kesehatan lingkungan permukiman ialah: (1) penyebarluasan informasi peraturan perundang-undangan dan kebijakan bidang kesehatan dan lingkungan hidup; (2) peningkatan pengetahuan dan keterampilan penyelenggara program Pusat Kesehatan Masyarakat (PUSKESMAS) dan Dinas/Instansi lain yang terkait; (3) peningkatan frekuensi dan mutu penyuluhan kesehatan lingkungan berdasarkan standard operating procedure (SOP); (4) pengembangan partisipasi aktif masyarakat dalam bentuk pengembangan desa binaan kesehatan lingkungan.

Program-program yang menjadi bagian integral dari strategi peningkatan kesiapan hidup sehat masyarakat ialah: (1) peningkatan pemberdayaan masyarakat (perempuan, pemuda, mahasiswa/siswa, dan organisasi masyarakat lainnya); (2) pengembangan/peningkatan reward system dan law enforcement.

Program-program yang menjadi bagian integral dari strategi peningkatan layanan kesehatan kepada masyarakat ialah: (1) peningkatan jumlah dan mutu sumberdaya manusia, sarana medis dan non medis di Rumah Sakit (RS) dan PUSKESMAS; (2) pengembangan manajemen penanganan penderita penyakit DBD; (3) pengobatan penderita penyakit DBD berdasarkan SOP; (4) penyuluhan

kesehatan lingkungan sesuai dengan frekuensi dan mutu berdasarkan SOP; (5) pengembangan SOP penyuluhan dan bimbingan teknis kesehatan lingkungan

sebagai penjabaran petunjuk pelaksanaan dari Pusat, Propinsi, dan Kabupaten, mencakup: kategori/kriteria sasaran, jumlah sasaran, materi, frekuensi, tempat, waktu, teknik/metode pelaksanaan, petugas dan pembimbing teknis, sarana, alat peraga, sumber dana dan indikator/ukuran keberhasilan termasuk instrumen penilaian penyuluhan; (6) peningkatan frekuensi bimbingan teknis kesehatan lingkungan oleh Dinas Kesehatan dan PUSKESMAS; dan (7) pertemuan berkala intern petugas RS dan PUSKESMAS untuk perencanaan dan evaluasi program.

(8)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB

(9)

BERDARAH DENGUE

DI KABUPATEN INDRAMAYU

HENRI PERANGINANGIN

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Bidang Minat Kebijakan dan Manajemen Lingkungan Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)

Judul Disertasi : Model Kebijakan Pengendalian Penyakit Demam Berdarah Dengue di Kabupaten Indramayu

Nama : Henri Peranginangin NRP : P062054694

Disetujui : Komisi Pembimbing

Dr. drh. Hasim DEA Ketua

Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya N., M Eng Dr. dr. Sri Budiarti

Anggota Anggota

Diketahui :

Ketua Program Studi Pengelolaan Dekan Sekolah Pascasarjana Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M S Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

(11)
(12)

PRAKATA

Alhamdulillaahirobbil’aalamiin berkat Rahmat dan Kurnia Allah Yang Maha Kuasa akhirnya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan disertasi ini yang berjudul Model Kebijakan Pengendalian Penyakit Demam Berdarah Dengue di Kabupaten Indramayu. Penulisan disertasi ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu persyaratan tugas akhir program Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

(13)

perbuatan baik Bapak-Bapak, Ibu-Ibu, dan Saudara/i mendapat balasan pahala yang berlipat dari Allah Yang Maha Kuasa.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa disertasi ini belum sempurna; oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak. Penulis mengharapkan disertasi ini bermanfaat, terutama bagi Pemerintah, peneliti, dan masyarakat Kabupaten Indramayu dalam rangka pengendalian penyakit demam berdarah dengue.

Akhirnya kepada Allah jualah kita menyerahkan seluruh hasil usaha kita untuk mendapat RidhoNya. Amin.

(14)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Penampen, Kabupaten Karo, Sumatera Utara pada tanggal 20 Julli 1955, anak ke lima dari enam bersaudara dari pasangan Tapel Peranginangin Tanjung (alm) dan Rulut br. Karo (alm).

Penulis menamatkan Sarjana di Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Maulana Yusuf (STIA) di Serang tahun 1986, dan Sarjana (S2) di Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia tahun 2004. Pekerjaan penulis saat ini ialah dosen pada Universitas Al-Zaytun Indonesia dalam mata kuliah Ilmu Kesehatan Masyarakat.

(15)

DAFTAR ISI

Tanda atau Gejala Klinis Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) ... 12

Penularan Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) ... 13

Vektor Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) ... 13

Hubungan antara Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan Lingkungan ... 16

Hubungan antara Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan Partisipasi Masyarakat ... 20

Hubungan antara Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan Kependudukan ... 21

Hubungan antara Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan Pelayanan Kesehatan ... 22

Hubungan antara Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan Pendidikan Kesehatan Lingkungan dan Perilaku Hi- dup Bersih dan Sehat (PHBS) ... 23

(16)

xiii

3.8. Pendekatan Sistem dalam Pencegahan Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) ... 67

3.9. Penyusunan Skenario ... 70

3.10.Perumusan kebijakan ... 70

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 71

4.1. Kabupaten Indramayu ... 71

4.2. Kecamatan Sindang, Indramayu, Jatibarang,Terisi, Sukagumiwang dan Tukdana ... 78

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 79

5.1. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Demam Berda- rah Dengue (DBD) di Kabupaten Indramayu ... 79

5.1.1. Analisis Data Hasil Wawancara dengan Responden Masyara- kat Kecamatan Indramayu, Sindang, dan Jatibarang ... 79

5.1.1.1. Jenis kelamin dan umur responden ... 79

5.1.1.2. Responden/anggota keluarganya yang menderita penya- kit berdarah dengue pada tahun 2007/2008/2009 ... 79

5.1.1.11.Pekerjaan/mata pencaharian responden ... 84

5.1.1.12.Pendapatan/pengeluaran per kapita keluarga responden 84

5.1.1.13.Pendidikan formal responden ... 84

5.1.1.14.Layanan penderita demam berdarah dengue ... 85

5.1.1.15.Layanan penyuluhan dan bimbingan teknis kesehatan 85

5.1.1.16.Pengelolaan tempat penampungan air (TPA) ... 85

5.1.2. Analisis Data Hasil Wawancara dengan Responden Masyara- kat Kecamatan Terisi, Sukagumiwang, dan Tukdana ... 85

5.1.2.1. Jenis kelamin dan umur responden ... 86

(17)

xiv

5.1.2.11.Pekerjaan/mata pencaharian responden ... 91

5.1.2.12.Pendapatan/pengeluaran per kapita keluarga responden 91

5.1.2.13.Pendidikan formal responden ... 91

5.1.2.14.Layanan penderita demam berdarah dengue ... 92

5.1.2.15.Layanan penyuluhan dan bimbingan teknis kesehatan 92

5.1.2.16.Pengelolaan tempat penampungan air (TPA) ... 92

5.1.3. Hubungan Curah Hujan, Suhu Udara dan Kelembaban Udara dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) ... 95

5.1.3.1. Hubungan antara curah hujan dengan kejadian demam berdarah dengue (DBD) ... 95

5.1.3.2. Hubungan antara suhu udara dengan kejadian demam berdarah dengue (DBD) ... 97

5.1.3.3. Hubungan antar kelembaban udara dengan kejadian demam berdarah dengue (DBD) ... 98

5.1.4. Analisis Data Hasil Wawancara dengan Responden Dinas/ Instansi ... 99

5.1.4.1. Umur dan Pendidikan Responden ... 99

5.1.4.2. Pendapat dan Kebutuhan Responden dalam Pengendali- an Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kabu- paten Indramayu ... 99

5.2. Analisis Elemen Pengendalian Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kabupaten Indramayu dengan Pendekatan Analytical Hierarchy Process (AHP) ... 102

5.2.1. Urutan Prioritas Aktor Berdasarkan Fokus ... 102

5.2.2. Urutan Prioritas Faktor Berdasarkan Aktor ... 103

5.2.3. Urutan Prioritas Tujuan Berdasarkan Aktor ... 104

5.2.4. Urutan Prioritas Kriteria Berdasarkan Aktor ... 105

5.2.5. Urutan Prioritas Strategi Berdasarkan Aktor ... 106

5.2.6. Urutan Prioritas Tujuan Berdasarkan Faktor ... 107

5.2.7. Urutan Prioritas Kriteria Berdasarkan Faktor ... 107

5.2.8. Urutan Prioritas Strategi Berdasarkan Faktor ... 108

5.2.9. Urutan Prioritas Kriteria Berdasarkan Tujuan ... 109

5.2.10.Urutan Prioritas Strategi Berdasarkan Tujuan ... 110

5.2.11.Urutan Prioritas Strategi Berdasarkan Kriteria ... 110

5.3. Analisis Pendapat Pakar tentang Pengendalian Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kabupaten Indramayu dengan Pendekatan Interpretative Structural Modelling (ISM) ... 112

5.3.1. Pendapat Pakar tentang “Sub Elemen Tujuan” ... 112

(18)

xv

5.3.3. Pendapat Pakar tentang “Sub Elemen Strategi” ... 118

5.4. Pendekatan Sistem dalam Pencegahan Penyakit Demam Berdarah Dengue ... 121

5.4.1. Analisis Kebutuhan ... 121

5.4.2. Formulasi Permasalahan ... 121

5.4.3. Identifikasi Sistem ... 122

5.4.3.1. Diagram lingkar sebab akibat ... 122

5.4.3.2. Diagram input-output ... 123

5.4.3.3. Diagram alir model kebijakan pengendalian DBD di Kabupaten Indramayu ... 124

5.4.3.3.1. Diagram alir model umum ... 124

5.4.3.3.2. Diagram alir sub model kesehatan lingkungan ... 125

5.4.3.3.3. Diagram alir sub model kependudukan ... 126

5.4.3.3.4. Diagram alir sub model layanan kesehatan ... 127

5.4.3.3.5. Diagram alir sub model vektor penyakit DBD ... 128

5.4.4. Pemodelan sistem ... 129

5.4.5. Validasi Model ... 130

5.4.6. Implementasi ... 131

5.4.6.1. Skenario Pesimistik ... 140

5.4.6.2. Skenario Moderat ... 142

5.4.6.3. Skenario Optimistik ... 144

5.4.6.4. Analisis Perbandingan Penerapan Antar Skenario ... 145

5.5. Kebijakan Pengendalian Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kabupaten Indramayu ... 147

5.5.1. Kebijakan ... 147

5.5.2. Strategi ... 148

5.5.2.1. Strategi peningkatan kesehatan lingkungan permukim- an ... 149

5.5.2.2. Strategi peningkatan kesiapan hidup sehat masyarakat 149 5.5.2.3. Strategi peningkatan layanan kesehatan kepada masya- rakat ... 150

5.5.2.4. Strategi pengendalian vektor penyakit DBD ... 151

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 153

6.1. Kesimpulan ... 153

6.2. Saran ... 154

DAFTAR PUSTAKA ... 156

(19)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Nilai dan definisi pendapat kualitatif dari skala perbandingan menurut

Saaty (1983) ... 46 2. Daftar responden penelitian model kebijakan pengendalian penyakit

DBD di Kabupaten Indramayu ... 58 3. Faktor-faktor dan aspek yang dianalisis dalam membangun model

kebijakan pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu ... 59 4. Perincian data primer yang diperlukan untuk membangun model

pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu ... 60 5. Elemen dan sub elemen “Tujuan” pengendalian penyakit DBD di Ka-

bupaten Indramayu ... 61 6. Elemen dan sub elemen “Kriteria” pengendalian penyakit DBD di Ka-

bupaten Indramayu ... 62 7. Elemen dan sub elemen “Strategi” pengendalian penyakit DBD di Ka-

paten Indramayu ... 63 8. Penderita penyakit yang dilayani dengan rawat jalan di Puskesmas

dan RS Kabupaten Indramayu dalam tahun 2005-2007 ... 76 9. Incidence rate (IR) penyakit DBD di Kabupaten Indramayu dalam ta-

hun 2004-2008 ... 77

10.Case fatality rate (CFR) penyakit DBD di Kabupaten Indramayu dalam

tahun 2004-2008 ... 78 11.Deskripsi responden dan faktor-faktor yang diteliti di Kecamatan Indra-

Indramayu, Sindang, Jatibarang, Terisi, Sukagumiwang, dan Tukdana .. 93 12.Faktor-faktor yang berhubungan secara statistik dengan penyakit DBD

di Kecamatan Indramayu, Sindang, Jatibarang, Terisi, Sukagumiwang, dan Tukdana ... 94 13.Matriks perbandingan antar elemen Aktor berdasarkan Fokus pengen-

dalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu ... 102 14.Matriks perbandingan antar elemen Faktor berdasarkan Aktor pengen-

dalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu ... 103 15.Matriks perbandingan antar elemen Tujuan berdasarkan Aktor pengen-

dalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu ... 104 16.Matriks perbandingan antar elemen Kriteria berdasarkan Aktor pengen-

dalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu ... 105 17.Matriks perbandingan antar elemen Strategi berdasarkan Aktor pengen-

dalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu ... 106 18.Matriks perbandingan antar elemen Tujuan berdasarkan Faktor pengen-

(20)

xvii

dalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu ... 107 19.Matriks perbandingan antar elemen Kriteria berdasarkan Faktor pengen-

dalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu ... 108 20.Matriks perbandingan antar elemen Strategi berdasarkan Faktor pengen-

dalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu ... 109 21.Matriks perbandingan antar elemen Kriteria berdasarkan Tujuan pe-

ngendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu ... 109 22.Matriks perbandingan antar elemen Strategi berdasarkan Tujuan

pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu ... 110 23.Matriks perbandingan antar elemen Strategi berdasarkan Kriteria

pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu ... 110 24.Rekapitulasi nilai driver power dan nilai dependence “sub elemen

tujuan” pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu ... 112 25.Rekapitulasi nilai driver power dan nilai dependence “sub elemen

kriteria” pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu ... 115 26.Rekapitulasi nilai driver power dan nilai dependence “sub elemen

strategi” pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu ... 118 27.Kebutuhan stakeholder dalam pengendalian penyakit DBD di Kabupa-

ten Indramayu ... 121 28.Prediksi perkembangan jumlah penduduk, rumah tangga, TPA,TPN,

vektor, kejadian DBD, penyuluhan kesehatan lingkungan, PHBS ma- syarakat, dan mutu lingkungan di Kabupaten Indramayu tahun 2008-

2018 ... 131 29.Rekapitulasi nilai pengaruh dan ketergantungan faktor kunci berdasar-

analisis prospektif ... 133 30.Keterkaitan antar faktor dan kondisi untuk analisis prospektif ... 139 31.Skenario dan kombinasi keadaan faktor ... 139 32.Perbandingan hasil simulasi skenario pesimistik, moderat, dan opti-

(21)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kerangka pemikiran penelitian ... . 4

2. Keterkaitan sosial, ekonomi, dan ekologis dalam pembangunan ber- kelanjutan ... 8

3. Segitiga konsep pembangunan berkelanjutan ... 10

4. Tahapan kerja dalam pendekatan sistem ... 38

5. Diagram alir metoda AHP ... 47

6. Diagram teknik ISM ... 50

7. Matriks penilaian pengaruh langsung antar faktor dalam analisis pros- pektif ... 69

8. Grafik deskripsi responden dan faktor-faktor yang diteliti di Kecamatan Indramayu, Sindang, dan Jatibarang ... 79

9. Grafik deskripsi responden dan faktor-faktor yang diteliti di Kecamatan Indramayu, Sindang, dan Jatibarang (lanjutan) ... 80

10.Grafik deskripsi responden dan faktor-faktor yang diteliti di Kecamatan Terisi, Sukagumiwang, dan Tukdana ... 86

11.Grafik deskripsi responden dan faktor-faktor yang diteliti di Kecamatan Terisi, Sukagumiwang, dan Tukdana (lanjutan) ... 87

12.Grafik persamaan regresi linier angka kejadian DBD dengan angka curah hujan di Kabupaten Indramayu tahun 2007 ... 96

13.Grafik hubungan antara kejadian DBD dengan angka curah hujan di Kabupaten Indramayu tahun 2007 ... 97

14.Grafik persamaan regresi linier antara kejadian DBD dengan suhu udara di Kabupaten Indramayu tahun 2007 ... 97

15.Grafik hubungan kejadian DBD dengan suhu udara di Kabupaten In- dramayu tahun 2007 ... 98

16.Grafik hubungan kejadian DBD dengan kelembaban udara di Kabu- bupaten Indramayu tahun 2007 ... 98

17.Grafik persamaan regresi linier antara kelembaban udara dengan keja- dian DBD di Kabupaten Indramayu tahun 2007 ... 99

18.Struktur hierarki antar elemen pengendalian penyakit DBD di Ka- bupaten Indramayu ... 111

19.Grafik nilai dan skor keputusan prioritas Strategi kebijakan pengenda- lian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu ... 112

20.Matriks driver power-dependence “sub elemen tujuan” pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu ... 113

(22)

xix

21.Diagram hierarki peringkat nilai “sub elemen tujuan” pengendalian

penyakit DBD di Kabupaten Indramayu ... 114 22.Matriks driver power-dependence “sub elemen kriteria” pengenda-

lian DBD ... 116 23.Diagram hierarki peringkat nilai “sub elemen kriteria” pengendalian

penyakit DBD di Kabupaten Indramayu ... 117 24.Matriks driver power-dependence “sub elemen strategi” pengendalian

DBD di Kabupaten Indramayu ... 119 25.Diagram hierarki peringkat nilai “sub elemen strategi” pengendalian

DBD di Kabupaten Indramayu ... 120 26.Diagram sebab akibat pengendalian penyakit DBD di Kabupaten

Indramayu ... 122 27.Diagram input-output model kebijakan pengendalian penyakit DBD

di Kabupaten Indramayu ... 123 28.Diagram alir model pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indra-

mayu ... 124 29.Diagram alir sub model kesehatan lingkungan ... 125 30.Diagram alir sub model kependudukan ... 126 31.Diagram alir sub model layanan kesehatan ... 127 32.Diagram alir sub model vektor penyakit DBD ... 128 33.Hasil simulasi IR DBD, mutu kesehatan lingkungan,tingkat PHBS dan

cakupan penyuluhan kesehatan lingkungan di Kabupaten Indramayu

pada periode 2008-2018 ... 130 34.Matriks tingkat kepentingan faktor-faktor yang berpengaruh dalam

rangka penyusunan kebijakan pengendalian penyakit DBD di Kabupa-

ten Indramayu ... 135 35.Prediksi IR DBD, tingkat PHBS, dan cakupan penyuluhan kesehatan

lingkungan dalam skenario pesimistik tahun 2008-2018 ... 141 36.Prediksi IR DBD, tingkat PHBS, dan cakupan penyuluhan kesehatan

lingkungan dalam skenario moderat tahun 2008-2018 ... 143 37.Prediksi IR DBD, tingkat PHBS, dan cakupan penyuluhan kesehatan

(23)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Rekapitulasi deskripsi hasil penelitian dalam rangka penyusunan mo- del kebijakan pengendalian penyakit demam berdarah dengue (DBD)

di Kabupaten Indramayu ... 164 2. Hasil perhitungan Kalman Filter (KF) dan tingkat kecocokan model

dari data empirik dan simulasi perkembangan penduduk dan kejadian

DBD di Kabupaten Indramayu ... 170 3. Rekapitulasi hasil analisis bivariat dalam rangka penelitian pengem-

bangan model kebijakan pengendalian penyakit DBD di Kabupaten In-

dramayu ... 171 4. Profil Kecamatan Sindang, Indramayu, Jatibarang, Terisi,

Sukagumi-wang dan Tukdana Kabupaten Indramayu tahun 2007 ... 174 5. Persamaan powersim model kebijakan pengendalian penyakit DBD di

Kabupaten Indramayu ... 178 6. Form pengumpulan data untuk Analytical Hierarchy Process (AHP) .. 181 7. Form matriks penilaian hubungan kontekstual/perbandingan berpasang-

an antar sub elemen variabel untuk Interpretative Structural Modelling 182

(24)

1.1.Latar Belakang

Penyakit demam berdarah dengue (DBD) masih menjadi masalah di Kabupaten Indramayu. Berdasarkan data dalam Profil Kesehatan Kabupaten Indramayu, Incidence rate (IR) DBD (jumlah penderita per 100.000 penduduk) di Kabupaten Indramayu tahun 2004, 2005, 2006, 2007, dan 2008 adalah berturut-turut 49,74; 26,09; 35,92; 60,26; dan 50,01 mendekati IR DBD nasional sebesar 37,01; 52,10; 52,43; 71,78; dan 60,06. Case fatality rate (CFR) DBD (jumlah meninggal per 100 penderita) dalam periode yang sama adalah berturut-turut sebesar 2,76; 3,41; 5,74; 5,15; dan 4,89 lebih tinggi dari CFR DBD nasional berturut-turut sebesar 1,20; 1,36; 1,04; 1,01; dan 0,86. Lima besar kecamatan dengan IR DBD “tinggi” (tahun 2004 sampai 2008) ialah Kecamatan Sindang, Indramayu, Jatibarang, Pasekan, dan Kedokanbunder berturut-turut sebesar 135,57; 103,21; 82,64; 74,10; dan 70,56; sedangkan lima besar kecamatan dengan IR DBD “rendah” ialah Kecamatan Terisi, Sukagumiwang, Tukdana, Gantar, dan Sukra berturut-turut sebesar 7,66; 12,28; 16,84; 15,03; dan 22,00 (Dinkeskab. Indramayu 2008).

(25)

Masalah penyakit DBD di Kabupaten Indramayu perlu diselesaikan oleh Pemerintah dan masyarakat dengan dukungan para pakar atau ilmuwan bidang kesehatan lingkungan dalam kerjasama secara terpadu. Mengingat masalah yang dihadapi bersifat kompleks dan mencakup multi dimensional maka pendekatan yang perlu digunakan ialah pendekatan sistem (sibernetika, holistik, dan efektif): bukan dengan pendekatan yang bersifat parsial dan reduksionisme. Selaras dengan itu perlu dibangun model kebijakan pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu dengan pendekatan sistem berdasarkan pada data/informasi yang relevan dari hasil penelitian.

1.2. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini ialah terbangunnya model kebijakan pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu. Kegiatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan itu ialah: (1) menganalisis peranan faktor lingkungan, kependudukan, layanan kesehatan, dan vektor penyakit DBD dalam pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu; (2) menganalisis kebutuhan stakeholder dalam pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu; dan (3) membangun model dan merumuskan alternatif kebijakan dan strategi yang tepat untuk pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu.

1.3. Kerangka Pemikiran

(26)

penyakit DBD yaitu: pertama, faktor lingkungan (WHO 2003; Blum 1981; Gordon dan Le Richt 1950, diacu dalam Azwar 1999; Gubler 1997; Bohra 2001; Mustafa 2003; Fikri 2005; Sintorini 2006; Sumantri 2008); kedua, faktor kependudukan (WHO 2003; Widyana 1997; Maha et al. 1998; Bohra 2001; Hidajat 2001; Fikri 2005; Fathi et al. 2005; Bhattacharya et al. 2008); ketiga, faktor layanan kesehatan (WHO 2003); keempat, faktor nyamuk penular (vektor) penyakit DBD (WHO 2003; Soedarmo 1988); dan kelima, faktor mutu implementasi kebijakan termasuk law enforcement bidang kesehatan dan lingkungan hidup (Sumantri 2008).

Penyakit DBD adalah penyakit menular berbasis lingkungan; artinya timbul dan mewabahnya penyakit ini pada hakekatnya dapat dicegah dengan metode perbaikan kesehatan lingkungan (WHO 2003; Chakravarti et al. 2005; Renganathan et al. 2003). Perwujudan keadaan lingkungan yang bersih dan sehat sangat tergantung pada tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku sehat masyarakat serta ketersediaan fasilitas dan sarana pendukung yang dibutuhkan. Untuk mencapai tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku sehat masyarakat seperti yang diharapkan diperlukan peningkatan frekuensi dan mutu layanan penyuluhan serta bimbingan teknis kepada masyarakat. penyuluhan yang memadai diperlukan untuk memelihara sistem nilai dan norma sesuai dengan kaidah-kaidah kesehatan dan untuk mengubah sistem nilai dan norma yang tidak sesuai melalui perubahan perilaku individu-individu anggota masyarakat, termasuk upaya pengembangan sarana dan potensi di daerah. Hasil penelitian Kyu et al. (2005) dan Tram et al. (2003) menunjukkan bahwa dampak positif pendidikan kesehatan terhadap pengetahuan, sikap, dan perilaku masyarakat dalam pencegahan penyakit DBD adalah besar. Dalam rangkaian pendidikan kesehatan, sejak beberapa tahun yang lalu di beberapa negara dikembangkan program Communications for behavioral impact (COMBI) yaitu rangkaian kegiatan untuk mengatasi penyakit, termasuk DBD, dengan prinsip dari, oleh, dan untuk masyarakat (Rozhan et al. 2006).

(27)

sistem, validasi model, implementasi, dan tahapan evaluasi (Pramudya 1989). Secara skematis kerangka pemikiran penelitian ini seperti tampak pada Gambar 1.

Kebijakan Pembangunan Nasional Republik Indonesia

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 581/Menkes/SK/VII/1992 tentang Pemberantasan Penyakit Demam Berdarah Dengue

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 004/MENKES/SK/I/2003 tentang Kebijakan dan Strategi Desentralisasi Bidang Kesehatan

Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian Penyakit

Tempat penampungan air rumah tangga / tempat perkembangbiakan

nyamuk Aedes aegypti

Kesehatan Ekonomi

Umur harap

lingkungan permukiman Pengendalian vektor DBD

Model Kebijakan Pengendalian Penyakit DBD di Kabupaten Indramayu Keadaan, potensi, dan masalah yang dihadapi

Angka melek

hu

ruf

Angka rata-rata lama sekolah Pekerjaan/mata pencah

ari

an

(28)

1.4. Perumusan Masalah

Dari data dan informasi di atas diperoleh gambaran bahwa Pemerintah dan masyarakat Kabupaten Indramayu masih menghadapi berbagai masalah yang kompleks berkaitan dengan penyakit DBD yang perlu segera diselesaikan.

Permasalahan yang berkaitan dengan lingkungan fisik di antaranya ialah kesehatan rumah tangga penduduk, ketersediaan air bersih/minum, keadaan curah hujan, keadaan suhu dan kelembaban udara. Konstruksi rumah dan lingkungan yang tidak memenuhi syarat kesehatan merupakan faktor risiko sumber penularan berbagai jenis penyakit. Di Kabupaten Indramayu, pada tahun 2006, dari 177.028 rumah yang diperiksa, proporsi rumah yang memenuhi syarat kesehatan baru mencapai 56%. Jumlah dan mutu air bersih/ air minum yang diperoleh masyarakat belum seluruhnya memadai. Hasil Riset Kesehatan Dasar Jawa Barat (RISKESDAS JABAR) (2007) menunjukkan proporsi penduduk Kabupaten Indramayu pengguna air bersih lebih dari 100 liter per orang per hari sebesar 48,2%; dan antara 20 hingga 99,9 liter sebesar 47,4%; selebihnya menggunakan di bawah 20 liter sebesar 4,4%. Proporsi kualitas fisik air 6,9% keruh; 3,8% berwarna; 9,8% berrasa; 1,4% berbusa; dan 5,6% berbau.

Permasalahan yang berkaitan dengan lingkungan biologik di antaranya ialah masih kurangnya pengembangan budi daya tanaman anti nyamuk Aedes aegypti oleh masyarakat di daerah permukiman.

(29)

pada tahun 2006 baru mencapai 87,2% dengan penyebaran yang tidak merata di tiap kecamatan. Permasalahan lainnya yang dihadapi ialah jumlah keluarga miskin tahun 2005, 2006, dan 2007 masih relatif tinggi. Pada tahun 2005 jumlah keluarga miskin 232.046 atau 50,48% dari jumlah semua keluarga, tahun 2006 adalah 158.646 atau 32,10%, dari jumlah semua keluarga dan tahun 2007 adalah 312.854 atau 61,91% dari jumlah semua keluarga (BPS. Kab. Indramayu 2008). Masih besarnya angka buta huruf dan kemiskinan ini sedikit banyak menjadi hambatan dalam hal penerimaan hal-hal baru atau inovasi baru berkenaan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Masalah layanan kesehatan yang belum terselesaikan di antaranya ialah masalah berkenaan dengan layanan penanganan penderita penyakit DBD, layanan penyuluhan dan bimbingan teknis kesehatan lingkungan kepada masyarakat oleh penyelenggara program. Frekuensi penyuluhan dan bimbingan teknis kesehatan lingkungan dari Pusat Kesehatan Masyarakat (PUSKESMAS) diduga belum memadai akibat keterbatasan sarana, tenaga kesehatan, dan lainnya.

Masalah vektor penyakit DBD yang belum terselesaikan di antaranya ialah berkenaan dengan masih banyaknya tempat penampungan air (TPA) di masyarakat yang tidak bersih atau sehat kemudian menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk (TPN) nyamuk Aedes aegypti.

Permasalahan lain yang penting pula diselesaikan segera ialah permasalahan kebijakan pengendalian penyakit DBD dan implementasinya yang belum sepenuhnya sesuai dengan yang diharapkan.

Berdasarkan tujuan, keadaan serta permasalahan yang dihadapi tersebut, penulis mengajukan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana gambaran peranan faktor lingkungan, kependudukan, layanan kesehatan, dan vektor penyakit DBD serta gambaran kebutuhan stakeholder dalam rangka pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu?

2. Model kebijakan seperti apa yang perlu dibangun dalam rangka pengendalian penyakit DBD di Kabupaten Indramayu?

(30)

1.5. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini penulis harapkan bermanfaat pada masa kini dan masa yang akan datang :

1. Sebagai bahan masukan untuk Pemerintah Kabupaten Indramayu dan masyarakat dalam pengambilan keputusan pengendalian penyakit DBD.

2. Untuk pengembangan ilmu pengetahuan, atau sebagai bahan referensi dan kajian lebih lanjut tentang pengendalian penyakit DBD.

1.6. Kebaruan (Novelty) Penelitian

Adapun kebaruan atau novelty yang terkandung dalam penelitian ini: 1. Fokus penelitian terutama pada kebijakan pengendalian penyakit DBD di

Kabupaten Indramayu berbasis penyuluhan kesehatan lingkungan.

2. Penelitian ini menggunakan pendekatan sistem dengan melibatkan stakeholder dalam perumusan strategi pengendalian penyakit DBD Kabupaten Indramayu. 3. Hasil penelitian berupa model kebijakan dengan mempertimbangkan segi

(31)

Ecological

Sustainability

Social

Economic

2.1. Pembangunan Berkelanjutan

Pembangunan berkelanjutan dipopulerkan melalui laporan Our Common Future yang disiapkan oleh World Commission onEnvironment and Development (WCED) atau Komisi Dunia tentang Lingkungan dan Pembangunan atau dikenal pula dengan nama Komisi Bruntland (1987) (Mitchell et al. 2003).

Pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya (Sustainable development is development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs) (WCED 1987). The term sustainability expresses the human desire for an environment that can provide for our needs now and for future generations. Our collective journey to find a way to live harmoniously with each other and within our social, economic, and ecological environments is a quest for sustainability. Ilustrasi keterkaitan antara sub sistem sosial, ekonomi, dan ekologis satu sama lain dalam sistem pembangunan berkelanjutan adalah seperti tampak pada Gambar 2.

Gambar 2. Keterkaitan sosial, ekonomi, dan ekologis dalam pembangunan berkelanjutan

(32)

Di dalam definisi pembangunan berkelanjutan terkandung dua gagasan penting: (1) gagasan kebutuhan, khususnya kebutuhan esensial kaum miskin se dunia, yang harus diberi prioritas utama; dan (2) gagasan keterbatasan yang bersumber pada kondisi teknologi dan organisasi sosial terhadap kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan kini dan hari depan.

Pemenuhan kebutuhan dan aspirasi manusia adalah tujuan utama pembangunan. Kebutuhan esensial sejumlah besar penduduk di negara-negara berkembang: pangan, sandang, rumah, pekerjaan, belum terpenuhi dan di luar kebutuhan dasar itu orang-orang tersebut mempunyai cita-cita akan kehidupan yang lebih baik. Dunia yang di dalamnya kemiskinan dan kepincangan sudah endemik akan selalu mudah terserang krisis ekologi dan krisis-krisis lainnya. Pembangunan berkelanjutan mengharuskan dipenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar bagi semuanya dan diberinya kesempatan kepada semua untuk mengejar cita-cita akan kehidupan yang lebih baik. Pertumbuhan ekonomi selalu membawa risiko kerusakan lingkungan, karena hal itu meningkatkan tekanan pada sumberdaya–sumberdaya lingkungan (WCED 1987).

Menurut Munasinghe (1992), tiga tujuan pembangunan berkelanjutan yang harus dicapai secara simultan dengan kombinasi ketiganya sesuai dengan kondisi dan tingkat kemajuan masyarakat yaitu (1) tujuan ekonomi: pertumbuhan ekonomi, peningkatan output, pembentukan modal dan peningkatan daya saing; (2) tujuan sosial: kesejahteraan sosial, pemerataan, kenyamanan dan ketenteraman; (3) tujuan ekologis: pemeliharaan dan peningkatan kualitas lingkungan, mengurangi dampak eksternalitas negatif dan mendorong dampak ekternalitas positif dalam proses kegiatan pembangunan.

(33)

menyambung; (d) meningkatkan dan melestarikan kemampuan dan fungsi ekosistem untuk memasok sumber daya alam, melindungi serta mendukung perikehidupan secara terus menerus (Darsono 1995).

World Bank menjabarkan konsep pembangunan berkelanjutan dalam bentuk kerangka segitiga pembangunan berkelanjutan (sustainable development triangle) seperti tampak pada Gambar 3.

Dalam kerangka segitiga tersebut ditunjukkan bahwa suatu kegiatan pembangunan dinyatakan berkelanjutan jika kegiatan tersebut secara ekonomi, ekologi, dan sosial bersifat berkelanjutan (Seregeldin, 1996). Berkelanjutan secara ekonomi berarti bahwa suatu kegiatan pembangunan dapat mewujudkan pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan kapital, dan penggunaan sumberdaya serta investasi secara efisien. Berkelanjutan secara ekologi mengandung arti bahwa kegiatan tersebut dapat memepertahankan intergitas ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan, dan konservasi sumberdaya alam termasuk keanekaragaman hayati. Sedangkan berkelanjutan secara sosial mensyaratkan bahwa suatu kegiatan pembangunan hendaknya dapat menciptakan pemeratan hasil-hasil pembangunan,

EKONOMIEfisiensi Pertumbuhan

SOSIAL EKOLOGI

Sumberdaya alam Pertumbuhan

Keadilan Pemerataan • Penanggulangan

kemiskinan

• Pemerataan

• Kelestrarian

• Kesempatan kerja • Redistribusi pandapatan • Resolusi konflik • Assessmen lingkungan

• Valuasi lingkungan • Internalisasi

• Nilai-nilai budaya • Partisipasi • Konsultasi

(34)

mobilitas sosial, partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat, identitas sosial, dan pengembangan kelembagaan.

Bagi Indonesia, kebijakan berbasis pembangunan berkelanjutan terus ditingkatkan. Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dikembangkan sebagai upaya sadar dan berencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan (UU No. 23/1997).

2.2. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)

Penyakit DBD atau dengue haemorrhagic fever (DHF) adalah salah satu penyakit menular berbasis lingkungan (Sukowati 2007), yang menyerang manusia semua umur, yang dapat menimbulkan wabah dan kematian dengan cepat (Depkes. R.I. 2005a; Nerseri et al. 1998). Hasil penelitian Muchlastriningsih et al. (1998) di Jakarta menunjukkan bahwa tiga golongan umur yang paling banyak terserang penyakit DBD pada tahun 1990-1994 ialah golongan umur 1-5 tahun, diikuti golongan umur > 5-10 tahun, kemudian golongan umur > 10-15 tahun. Penyakit DBD tidak hanya terutama menyerang anak yang secara antropometrik mempunyai status gizi baik, tetapi bisa juga menyerang anak yang mempunyai status gizi kurang dan buruk (Bachtiar 1990). Masalah penyakit DBD adalah masalah kesehatan global, upaya-upaya pencegahan dan pengendalian penyakit DBD yang telah dilakukan hingga saat ini belum efektif, aktivitas-aktivitas pengendalian vektor penyakit DBD belum dapat mencegah penularan penyakit (Sopontammarak 2003; Figueiredo 2003).

(35)

Sulawesi Tenggara, dan Timor Timur. Sampai dengan tahun 1981, ProvinsiTimor Timur merupakan satu-satunya Provinsi yang belum melaporkan terdapatnya kejadian DHF.

Selama 39 tahun dalam periode tahun 1968 sampai dengan akhir tahun 2007, menurut catatan Depkes R.I., jumlah penderita penyakit DBD di Indonesia adalah 1.112.828 orang atau rata-rata 28.534 orang per tahun. Dari jumlah itu penderita yang meninggal adalah 22.905 orang (2,058 %) atau rata-rata 588 orang per tahun.

2.2.1. Penyebab Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)

Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue anggota genus flavivirus dan famili flaviviridae. Virus ini berukuran kecil (50 nm) (WHO 2003). Dengue fever is caused by the dengue virus which belongs to the genus Flavivirus, in the flaviviridae family There are four serotypes of this virus known as 1, DEN-2, DEN-3, and DEN-4 (Sriprom et al. 2003).

Dengue fever (DF), and its more severe form known as dengue haemorrhagic fever (DHF) is the most important arthropod-transmitted viral disease of humans in the world to day with one third of the world’s population at risk (Fakeeh et al. 2003). Dengue virus (DEN) is a mosquito-borne flavivirus and the most prevalent arbovirus in tropical and subtropical regions of the globe (Liu et al. 2003).

2.2.2. Tanda atau Gejala Klinis Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Tanda atau gejala klinis penyakit DBD adalah: pertama, demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus selama 2 sampai 7 hari; kedua, manifestasi perdarahan (petekie, purpura, perdarahan konjungtiva, epistaksis, ekimosis, perdarahan mukosa, perdarahan gusi, hematemesis, melena, hematuri) termasuk uji tourniquet (rumple leede) positif; ketiga, trombositopeni (trombosit ≤ 100.000/μl); keempat, hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit ≥20%); dan kelima, disertai dengan atau tanpa pembesaran hati (hepatomegali) (Depkes. R.I. 2005a).

(36)

characterized by four major clinical manifestations, high fever, haemorrhagic phenomena, often with hepatomegaly and, in severe cases, signs of circulatory failure. Such patients may develop hypovolaemic shock resulting from plasma leakage. This is called dengue shock syndrome (DSS) and can be fatal.

2.2.3. Penularan Penyakit Demam Berdarah Dengue(DBD)

Di negara-negara Asia Tenggara, virus dengue ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan Albopictus (WHO 2003; Lee dan Rohani 2005). Penularan antar manusia melalui tusukan nyamuk Aedes aegypti pada siang hari. Nyamuk yang berperan sebagai agen virus dengue menusuk manusia, mentransfer virus dengue, mengisap darah manusia yang sebenarnya untuk mematangkan telurnya yang dibuahi oleh sperma nyamuk Aedes aegypti jantan (Soedarmo 1988).

Nyamuk Aedes (stegomyia) yang betina biasanya terinfeksi virus dengue pada saat dia menghisap darah dari seseorang yang sedang dalam fase demam akut (viraemial). Setelah melalui periode inkubasi ekstrinsik selama 8 sampai 10 hari kelenjar ludah nyamuk yang bersangkutan akan terinfeksi dan virusnya akan ditularkan ketika nyamuk tersebut menggigit dan mengeluarkan cairan ludahnya ke dalam luka gigitan ke tubuh orang lain. Setelah masa inkubasi di tubuh manusia selama 3 sampai 14 hari (rata-rata 4 sampai 6 hari) timbul gejala awal penyakit secara mendadak, yang ditandai dengan demam, pusing, myalgia (nyeri otot), hilangnya nafsu makan, dan berbagai tanda atau gejala nonspesifik seperti nausea (mual-mual), muntah dan rash (ruam) pada kulit. Viraemia biasanya muncul pada saat atau persis sebelum gejala awal penyakit tampak dan berlangsung selama kurang lima hari setelah dimulainya penyakit. Saat-saat tersebut merupakan masa kritis di mana penderita dalam masa sangat infektif untuk vektor nyamuk yang berperan dalam siklus penularan jika penderita tidak terlindung terhadap kemungkinan digigit nyamuk. Itulah bukti pola penularan virus secara vertikal dengue dari nyamuk-nyamuk betina yang terinfeksi ke generasi berikutnya (WHO 2003).

2.2.4. Vektor Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)

(37)

2002a). Karakteristik nyamuk Aedes aegypti, yaitu pertama, seperti umumnya nyamuk lainnya, namun morfologi tubuhnya dengan bintik-bintik putih dengan pigmen dasar coklat-kehitaman; kedua, habitatnya di sekitar rumah dan bertelur pada air jernih di bak mandi, tempayan yang terbuka, tempat minum hewan peliharaan, dan vas bunga; ketiga, menusuk mangsanya pada siang hari; keempat, nyamuk ini bersembunyi di pakaian yang digantung di ruang rumah (Soedarmo 1988). Aedes aegypti is one of the most efficient mosquito vectors for arboviruses, because it is highly anthropophilic and thrives in close proximity to humans and often lives indoors (WHO 1997).

Tempat perindukan (breeding habit) nyamuk Aedes aegypti berupa genangan-genangan air yang tertampung di suatu wadah yang biasa disebut kontainer dan bukan pada genangan-genangan air di tanah. Kebiasaan menggigit Aedes aegypti ialah pada pagi dan sore hari, yaitu pada pukul 08.00 sampai pukul 12.00 dan pukul 15.00 sampai pukul 17.00. Nyamuk ini lebih banyak menggigit di dalam rumah daripada di luar rumah. Kebiasaan hinggap istirahat, lebih banyak di dalam rumah, yaitu pada benda-benda yang bergantungan, berwarna gelap dan tempat-tempat lain yang terlindung; juga di dalam sepatu. Jarak terbang diperkirakan 50 sampai 100 meter (Depkes. R.I. 2002a).

(38)

hitam. Probosis bersisik hitam, palpi pendek dengan ujung hitam bersisik putih perak. Oksiput bersisik lebar, berwarna putih terletak memanjang. Femur bersisik putih pada permukaan posterior dan setengah basal, anterior dan tengah bersisik putih memanjang, tibia semuanya hitam. Tarsi belakang berlingkaran putih pada segmen basal kesatu sampai keempat dan segmen kelima berwarna putih. Sayap berukuran 2,5–3,0 mm bersisik hitam.

Aedes aegypti bersifat antropofilik (senang sekali kepada manusia) dan hanya nyamuk betina yang menggigit. Nyamuk ini mempunyai kebiasaan menggigit berulang (multiple biters), yaitu menggigit beberapa orang secara bergantian dalam waktu singkat. Hal ini karena nyamuk Aedes aegypti sangat sensitif dan mudah terganggu. Keadaan ini sangat membantu Aedes aegypti dalam memindahkan virus dengue atau DHF di satu rumah. Telur Aedes aegypti berwarna hitam seperti sarang tawon, diletakkan satu demi satu di permukaan atau sedikit di bawah permukaan air dalam jarak ± 2,5 cm dari dinding tempat perindukan. Telur dapat bertahan sampai berbulan-bulan pada suhu –2 (minus dua) sampai 43 derajat Celcius. Namun bila kelembaban terlalu rendah, maka telur akan menetas dalam waktu 4 hari. Dalam keadaan optimal, perkembangan telur sampai menjadi nyamuk dewasa berlangsung selama sekirang-kurangnya 9 hari. Nyamuk betina yang mulai menghisap darah manusia, 3 hari sesudahnya sanggup bertelur sebanyak 100 butir. Dua puluh empat jam kemudian nyamuk itu menghisap darah lagi, selanjutnya kembali bertelur. Walaupun nyamuk betina berumur kira-kira 10 hari, waktu itu cukup bagi nyamuk untuk makan, bagi virus cukup untuk berkembang biak dan selanjutnya menyebarkan virus ke manusia lain. Pada saat nyamuk menghisap darah manusia, yang kebetulan menderita DBD, virus dengue masuk ke saluran pencernaan, kemudian sampai di haemocoelom dan kelenjar ludah (Soedarmo 1988).

(39)

8 sampai 10 hari. Untuk nyamuk bisa mencapai umur lebih dari 10 hari perlu tempat hinggap istirahat yang cocok dengan kelembaban tinggi. Karena nyamuk bernafas dengan spiracle dengan demikian permukaan tubuhnya luas dan menyebabkan penguapan tinggi. Bila kelembaban rendah nyamuk akan mati kering; ketiga, untuk dapat menularkan penyakit dari orang ke orang nyamuk harus menggigit orang/manusia, dengan demikian nyamuk dimusuhi oleh manusia; keempat, untuk bisa bertahan hidup maka jumlah nyamuk harus banyak karena musuhnya banyak, dimusuhi manusia dan sebagai makanan hewan lain; kelima, nyamuk juga harus tahan terhadap virus, karena virus akan memperbanyak diri di dalam tubuh nyamuk dan bergerak dari lambung, menembus dinding lambung dan kelenjar ludah nyamuk. Dari suatu populasi nyamuk yang ada, pada musim penularan hanya beberapa persen saja yang menjadi vektor, mungkin kurang dari lima persen (Depkes. R.I. 2002a).

2.2.5. Hubungan antara Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan Lingkungan

Yang dimaksud dengan lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain (UU 23/1997). Lingkungan alam dapat dibagi menjadi (a) lingkungan fisik dan kimia,(b) lingkungan biologi, dan (c) lingkungan manusia yang meliputi bentuk sosial-ekonomi, sosial-budaya (Suratmo 1991). Lingkungan alam ini dapat pula diartikan sebagai lingkungan fisik dan lingkungan biologik bagi virus dengue, nyamuk Aedes aegypti, dan manusia.

Hasil penelitian para ahli kesehatan masyarakat menunjukkan bahwa ada hubungan yang erat antara lingkungan hidup dengan kesehatan individu atau masyarakat. Baik buruknya keadaan atau kondisi lingkungan hidup akan turut mempengaruhi terhadap tinggi rendahnya angka kesakitan dan angka kematian penduduk yang disebabkan oleh penyakit menular melalui air (water-borne disease), melalui tanah (soil-borne disease), melalui udara (air-borne disease), dan melalui serangga (arthropod-borne disease).

(40)

from one’s experience with one’s environment, is seen as the next largest force affecting health. Medical care services have been segregated out from the environment because our great interest and investment in them. They make a modest contribution to health status. The contribution of heredity to health are harder to judge, but there is no doubt that we are templated at conception as to our basic weaknesses and strengths. Bahwa faktor terbesar yang mempengaruhi tinggi rendahnya derajat kesehatan individu atau masyarakat adalah lingkungan. Faktor besar kedua ialah perilaku, diikuti oleh faktor pelayanan kesehatan dan hereditas.

(41)

menarik keuntungan dari lingkungan, maka orang tersebut berada dalam keadaan sakit (Gordon dan Le Richt 1950, diacu dalam Azwar 1987).

Slamet (1996) mengemukakan bahwasanya lingkungan berpengaruh pada terjadinya penyakit sudah sejak lama diperkirakan orang. Interaksi manusia dengan lingkungan hidupnya merupakan suatu proses yang wajar dan terlaksana sejak manusia itu dilahirkan sampai ia meninggal dunia. Hal ini disebabkan karena manusia memerlukan daya dukung unsur-unsur lingkungan untuk kelangsungan hidupnya. Di dalam lingkungan terdapat faktor-faktor yang dapat menguntungkan manusia (eugenik), ada pula yang merugikan manusia (disgenik). Dalam hubungannya dengan perkembangan kejadian penyakit DBD banyak sekali tempat-tempat di lingkungan kehidupan manusia yang dapat menjadi sarang nyamuk Aedes aegypti, mulai dari jambangan keluarga, kaleng ataupun potongan bambu yang terisi air hujan, sampai pada reservoir air bersih yang tidak tertutup.

Mustafa (2003) mengemukakan bahwa setiap peralihan musim, terutama dari musim kemarau ke musim penghujan, kita menyaksikan berbagai masalah kesehatan melanda tanah air kita, termasuk yang paling sering terjadi adalah wabah demam berdarah (dengue fever). Sebagian masalah ini langsung atau tidak langsung terkait dengan perubahan lingkungan global.

(42)

penyakit DBD. Pola permukiman padat dalam rentang jarak terbang nyamuk Aedes aegypti tempat perkembangbiakannya menjadi hal yang positif penyebab tingginya kejadian penyakit DBD. Laporan tersebut juga menyatakan bahwa pembuangan sampah lebih dari 15 hari sekali mempunyai hubungan positif dengan kejadian penyakit DBD. Jarak pembuangan yang ideal adalah setiap tiga hari sekali sampah diangkut, tetapi jarak satu minggu satu kali sudah dianggap maksimum, dan lebih dari 15 hari sangat mengandung risiko.

Di Asia tenggara ditemukan hubungan yang kuat antara curah hujan dengan kejadian DBD dengan puncak transmisi pada bulan-bulan dengan curah hujan dan suhu tinggi, karena banyaknya wadah sebagai penampung air bersih sebagai tempat hidup jentik Aedes aegypti. Di beberapa tempat, penyakit DBD datang sebelum musim hujan dan meningkat pada saat peralihan cuaca. Dampak curah hujan pada kepadatan vektor tidak sama pada setiap spesies (Gubler 2001, diacu dalam Sintorini 2006). Kenaikan jumlah curah hujan akan diikuti dengan peningkatan jumlah kasus DBD, demikian pula sebaliknya penurunan jumlah curah hujan akan diikuti dengan penurunan jumlah kasus di Kabupaten Pati (Munif 1998). Wahyuni (2004) mengemukakan bahwa penyakit DBD dapat dipastikan selalu muncul di musim penghujan setiap tahun hanya intensitasnya yang berbeda. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian Sejati (2001) di Kota Padang bahwa tidak ada hubungan antara curah hujan dengan penyakit DBD.

Perubahan iklim dan lingkungan secara luas, telah merubah perilaku dan sifat virus dengue maupun nyamuk penyebarnya (ChakravartiandKumaria 2005; Nadesul 2004). Hasil penelitian Sintorini (2006) di Jakarta menyimpulkan bahwa kejadian penyakit DBD dipengaruhi curah hujan (p = 0,000), suhu lingkungan (p=0,000), kelembaban ruang (p = 0,003), kelembaban lingkungan (p = 0,000). Hasil penelitian Sumantri (2008) bahwa faktor-faktor yang berperan dalam pencegahan berbasis lingkungan terhadap penyebaran penyakit DBD di Provinsi DKI Jakarta antara lain ialah: (a) lingkungan, mencakup curah hujan. suhu dan kelembaban, (b) vektor, mencakup TPA, dan (c) manusia, mencakup perilaku hidup bersih dan sehat.

(43)

DBD ialah peubah jenis sarana air bersih (p = 0,003), tempat penampungan air (p = 0,000) dan sampah tergenang air (p = 0,011). Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian Fathi et al. (2000) bahwa sanitasi lingkungan tidak berperan dalam terjadinya KLB penyakit DBD di kota Mataram (Chi-square, p > 0,05). Hal ini disebabkan karena kenyataan di lapangan menunjukkan kondisi sanitasi lingkungan yang tidak jauh berbeda antara daerah KLB penyakit DBD tinggi (daerah studi) dan daerah dengan KLB penyakit DBD rendah (daerah kontrol). Sebenarnya kondisi sanitasi lingkungan berperan besar dalam perkembangbiakan nyamuk Aedes, terutama apabila terdapat banyak kontainer penampungan air hujan yang berserakan dan terlindung dari sinar matahari, apalagi berdekatan dengan rumah penduduk (Sugijanto 2004, diacu dalam Fathi et al. 2000). Adapun antara penyakit DBD dengan kontainer di kota Mataram, terdapat hubungan yang bermakna (Chi-square, p < 0,05) dengan relative risk (RR) adalah 2,96. Keberadaan kontainer sangat berperan dalam kepadatan vektor nyamuk Aedes aegypti, karena semakin banyak kontainer akan semakin banyak tempat perindukan dan akan semakin padat populasi Aedes aegypti. Semakin padat populasi nyamuk Aedes aegypti, maka semakin tinggi pula risiko terinfeksi virus penyakit DBD dengan waktu penyebaran lebih cepat sehingga jumlah kejadian penyakit DBD cepat meningkat yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya KLB penyakit DBD.

2.2.6. Hubungan antara Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan Partisipasi Masyarakat

(44)

Hasyimi (2000) mengemukakan bahwa keikutsertaan masyarakat dalam pelaksanaan PSN sangat menentukan tingkat angka larva nyamuk Aedes aegypti. Demikian pula hasil penelitian Fikri (2005) di kota Bandar Lampung menunjukkan faktor partisipasi masyarakat berhubungan dengan kejadian penyakit DBD; yaitu peubah kebiasaan 3M (p = 0,005) dan kebiasaan membersihkan rumah serta lingkungan (p = 0,016). Penelitian Fathi et al. (2005) mengenai sikap masyarakat terhadap penyakit DBD menyimpulkan bahwa semakin masyarakat bersikap tidak serius dan tidak berhati-hati terhadap penularan penyakit DBD akan semakin bertambah risiko terjadinya penularan penyakit DBD (Chi-square, p < 0,05). Hasil penelitian Fathi et al. (2005) lainnya menunjukkan bahwa tidak ada peran penyuluhan penyakit DBD yang bermakna terhadap KLB DBD di kota Mataram (Chi-square, p > 0,05). Hal ini disebabkan karena baik daerah KLB DBD maupun bukan daerah KLB DBD sama-sama kurang mendapatkan penyuluhan dari Dinas Kesehatan setempat.

2.2.7. Hubungan antara Penyakit Demam Berdarah Dengue dengan Kependudukan

(45)

et al. (2000) menyimpulkan bahwa mobilitas penduduk tidak ikut berperan dalam terjadinya KLB DBD di kota Mataram (Chi-square, p > 0,05). Mobilitas penduduk di daerah yang mengalami KLB DBD sama dengan mobilitas penduduk di daerah yang tidak mengalami KLB DBD. Mengenai faktor lingkungan dan perilaku masyarakat Fathi et al. (2005) menyimpulkan bahwa hanya variabel keberadaan kontainer air di dalam maupun di luar rumah yang berperan terhadap KLB DBD (Chi-square,p < 0,05) dengan relative risk (RR) sama dengan 2,96. 2.2.8. Hubungan antara Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan

Pelayanan Kesehatan

Menurut Blum (1981) faktor pelayanan kesehatan adalah faktor besar ketiga yang mempengaruhi tinggi rendahnya derajat kesehatan masyarakat, setelah dua faktor besar lainnya yaitu lingkungan dan perilaku. Di Indonesia, tingginya angka kematian, terutama kematian ibu dan kematian bayi, serta masih tingginya angka kesakitan yang akhir-akhir ini ditandai dengan munculnya kembali berbagai penyakit lama seperti malaria dan tuberkulosis paru, merebaknya berbagai penyakit baru yang bersifat pandemik seperti HIV (human immunodeficiency virus) atau AIDS (acquired immunodeficiency syndrome) dan flu burung serta belum hilangnya penyakit endemis seperti diare dan DBD menunjukkan masih rendahnya kualitas pelayanan kesehatan. Hasil penelitian Husein (2001) menunjukkan variabel yang paling berpengaruh terhadap cakupan program pencegahan penyakit DBD di kota Palembang adalah supervisi dari PUSKESMAS (p = 0,0434) dan input (p = 0.0157).

Pelayanan kesehatan masyarakat adalah pelayanan yang bersifat publik (public goods) dengan tujuan utama memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit tanpa mengabaikan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan. Pelayanan kesehatan masyarakat di Indonesia antara lain adalah promosi kesehatan, pemberantasan penyakit, penyehatan lingkungan, perbaikan gizi, peningkatan kesehatan keluarga serta program kesehatan lainnya.

(46)

suatu empati, respek dan tanggap akan kebutuhannya; pelayanan harus sesuai dengan kebutuhan mereka, diberikan dengan cara yang ramah pada waktu mereka berkunjung. Mutu pelayanan, bagi petugas kesehatan, berarti bebas melakukan segala sesuatu secara profesional untuk meningkatkan derajat kesehatan pasien dan masyarakat sesuai dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang maju, dan memenuhi standar yang baik (state of the art) (Wijono 1999).

2.2.9. Hubungan antara Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan Pendidikan Kesehatan Lingkungan dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)

Yang dimaksud dengan PHBS disini adalah semua perilaku kesehatan yang dilakukan atas kesadaran sehingga anggota keluarga atau keluarga dapat menolong dirinya sendiri di bidang kesehatan dan berperan aktif dalam kegiatan-kegiatan kesehatan di masyarakat. Sepuluh PHBS di rumah tangga yang perlu diwujudkan yaitu: (1) persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan, (2) memberi

bayi Air Susu Ibu (ASI) eksklusif, (3) menimbang bayi dan balita, (4) menggunakan air bersih, (5) mencuci tangan dengan air bersih dan sabun,

(6) menggunakan jamban sehat, (7) memberantas jentik di rumah, (8) makan buah dan sayur setiap hari, (9) melakukan aktivitas fisik setiap hari, dan (10) tidak merokok di dalam rumah (Depkes. R.I. 2007).

Gambar

Gambar 2.  Keterkaitan sosial, ekonomi, dan ekologis dalam
Gambar 3. Segitiga konsep pembangunan berkelanjutan (Munasinghe 1993)
Gambar 4. Tahapan kerja dalam pendekatan sistem (Pramudya 1989)
Tabel 1.  Nilai dan definisi pendapat kualitatif dari skala perbandingan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Menyimpan project, klik save project beri nama Tugas1Looping.dpr dan klik save as untuk menyimpan coding, beri nama

Untuk mengatasi permasalahan tersebut/ Departemen Sosial mempunyai beberapa cara mengatasi masalah ini// Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie/

retentive an tia menean jaringan luna i)eitarnya.. Motiva)i e#aa #a)ien juga i#erluan untu renana

Penelitian ini menggunakan model persamaan regresi linier berganda untuk mengetahui hubungan antara ukuran dewan komisaris (DK), komisaris independen (KI), opini

Salah satu sektor pertanian yang mampu membangun perekonomian di Indonesia adalah usaha budidaya lebah madu. Luasnya areal pertanian, perkebunan dan kehutanan di Indonesia

Service Advisor akan meminta persetujuan kepada konsumen terlebih dahulu bahwa ada penambahan service yang diperlukan. Setelah disetujui oleh pelanggan, maka

phototransistor dan dipasang dengan sudut 45 0 secara horizontal dengan alasan agar api bisa langsung diketahui posisinya terhadap robot. Robot diaktifkan

A Statement From the Ad Hoc Committee on Guidelines for the Management of Transient Ischemic Attacks, Stroke Council, American Heart Association.. National