• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Demam Berdarah Dengue

SOSIAL EKOLOGI

2.3. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Demam Berdarah Dengue

(DBD)

Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD, Depkes R.I. telah menetapkan kegiatan-kegiatan pokok di tingkat Pusat, Propinsi, Kabupaten, Kota, dan PUSKESMAS mencakup (a) membuat standardisasi, menyusun atau mendistribusikan pedoman atau petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknis program; (b) menyediakan dan mendistribusikan: bahan/alat laboratorium/ diagnostik, cairan infus, mesin fog, mesin ultra low volume, insektisida, larvasida, pembersihan sarang nyamuk kit, bahan penyuluhan, kendaraan operasional khusus, dan lainnya; (c) menyelenggarakan pertemuan atau pelatihan atau training of trainer pengelola program Provinsi, Kabupaten, Kota, Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Kantor Kesehatan Pelabuhan; (d) menyelenggarakan pertemuan atau pelatihan atau training of trainer klinisi (dokter ahli penyakit anak & penyakit dalam) Rumah Sakit (RS) Provinsi atau Kabupaten atau Kota; (e) menyelenggarakan pertemuan atau pelatihan atau

training of trainer petugas laboratorium Balai Latihan Kerja dan Balai Teknik Kesehatan Lingkungan; (f) melaksanakan penyuluhan melalui media massa; (g) memfasilitasi pertemuan lintas program dan lintas sektor, pertemuan regional Kelompok Kerja Nasional, secara berkala, dan lain-lain; (h) mengembangkan metode pemberantasan sarang nyamuk Aedes aegypti sesuai dengan situasi dan kondisi masing-masing daerah atau local area specific berdasarkan hasil survei atau penelitian; (i) melaksanakan surveilans epidemiologi penyakit DBD; (j) melaksanakan sistim kewaspadaan dini dan penanggulangan KLB; (k) melaksanakan supervisi atau pembinaan teknis program. (l) melaksanakan

pemantauan dan evaluasi program serta pelaporan; (m) mengobati atau merawat atau merujuk tersangka atau penderita penyakit DBD ke RS; (n) melaksanakan pemeriksaan jentik berkala setiap tiga bulan; (o) menyelenggarakan pelatihan

petugas penyemprot di Desa atau Kelurahan; (p) menyelenggarakan pertemuan atau pelatihan atau pembinaan kader dan juru pemantau jentik atau jumantik dalam penggerakan PSN DBD (Depkes. R.I. 2005a).

Metode pengendalian vektor penyakit DBD, yang dikemukakan oleh Renganathan et al. (2003) adalah : (a) Environmental sanitation measures to reduce mosquito breeding sites, such as the physical management of water containers (e.g. mosquito-proof covers for water storage containers, polystyrene beads in water tanks) better designed and reliable water supplies, and recycling of solid waste such as discarded tyres, bottles, and cans, (b) biological methods (e.g. fish, copepods, small crustaceans that feed on mosquito larvae) to kill or reduce larval mosquito populations in water containers, (c) chemical methods against the mosquito’s aquatic stages for use in water containers (e.g.temephos sand granules). (d) chemical methods directed against adult mosquitoes, such as insecticide space sprays or residual applications, (f) personal protection through use of repellents, vaporizers, mosquito coils, and insecticide-treated screens, curtains, and bednets (for daytime use against Aedes). Metode yang dikemukakan ialah metode pemeliharaan kesehatan lingkungan, pengendalian dengan metode biologik, pengendalian dengan metode kimia, dan pengendalian dengan metode perlindungan perorangan. Di antara metode-metode ini yang paling diyakini ialah penyemprotan insektisida untuk mengendalikan nyamuk dewasa. Metode ini harus diulang pada interval yang sering, biayanya tinggi, dan keberhasilannya bervariasi.

Sejak beberapa tahun belakangan di Indonesia mulai dikembangkan pula suatu program yang dikenal dengan COMBI, singkatan dari Communications for Behavioral Impact, yaitu program pencegahan dan pengendalian penyakit DBD. Konsep ini adalah pendekatan baru yang dikembangkan oleh WHO untuk mengendalikan penyakit penyakit menular yang dipengaruhi oleh perilaku masyarakat. Metode COMBI adalah suatu rangkaian kegiatan untuk mengatasi dan pencegahan penyakit DBD dengan prinsip kegiatan dari, oleh dan untuk masyarakat. Di Hulu Langat, Malaysia program ini berhasil dengan sukses menurunkan indeks nyamuk Aedes. Pendekatan COMBI di Hulu Langat mempertunjukkan bahwa dengan identifikasi masalah dengan tepat yang

tersinergi dengan keikutsertaan masyarakat secara potensial dapat mengurangi perkembangan Aedes dan kesakitan DBD. The COMBI approach in Hulu Langat successfully demonstrated that correct problem identification synergized with community engagement can potentially reduce Aedes proliferation and dengue morbidity (Rozhan S. et al. 2006).

Menurut Depkes. R.I. (1976) prinsip yang tepat dalam pencegahan penyakit DBD ialah: (1) memanfaatkan perubahan keadaan nyamuk akibat pengaruh alamiah dengan melaksanakan pemberantasan vektor pada saat sedikit terdapatnya kejadian DBD, (2) memutuskan lingkaran penularan dengan menahan kepadatan vektor pada tingkat yang sangat rendah untuk memberikan kesempatan penderita viremi sembuh secara spontan, (3) mengusahakan pemberantasan vektor di pusat daerah penyebaran, yaitu sekolah dan RS, termasuk pula daerah penyangga sekitarnya, dan (4) mengusahakan pemberantasan vektor di semua daerah yang berpotensi penularan tinggi (Depkes. R.I. 1976, diacu dalam Soedarmo 1988).

WHO (2003) mengemukakan bahwa pencegahan penyakit DBD di Indonesia didasarkan pada prinsip pemutusan rantai penularan, karena sampai saat ini belum ada vaksin yang efektif terhadap virus dengue. Komponen-komponen yang terlibat dalam mata rantai penularan tersebut meliputi virus dengue (agent),

Aedes aegypti (vektor) dan manusia (host). Dalam kaitan ini Sholihin (2004) mengemukakan bahwa keberadaan virus dengue bisa ditemukan di tubuh manusia dan di Aedes aegypti; oleh karena itu pencegahan dan pemberantasan DBD ditujukan pada dua sasaran pokok yaitu manusia dan vektor. Strategi yang direkomendasikan oleh WHO (2002) ialah pemantauan vektor terus menerus sehingga dapat memutuskan rantai penularan. Strategi ini telah dijabarkan dengan Kepmenkes R.I. Nomor: 581/MENKES/SK/-VII/1992, tentang Pemberantasan Penyakit DBD; dengan penegasan bahwa pemberantasan dilaksanakan oleh Pemerintah dan masyarakat di Desa atau kelurahan melalui kelompok kerja (POKJA) DBD dan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) yang dibina oleh kelompok kerja nasional (POKJANAL) Tim Pembina LKMD tingkat kecamatan sampai tingkat pusat. Untuk keperluan perencanaan pencegahan penyakit DBD, dapat digunakan semi average method yakni memperkirakan

jumlah kasus pada masa akan datang berdasarkan jumlah penderita pada tahun sebelumnya (Atmosukarto 1993).

Upaya pemberantasan penyakit DBD yang telah dilaksanakan sampai saat ini dengan cara penanganan penderita dan pengendalian vektornya. Beberapa cara untuk menurunkan padat populasi telah dilaksanakan, yaitu untuk nyamuk tingkat dewasa dengan pengasapan (fogging) malathion dan tingkat pra-dewasa dilakukan dengan menggunakan larvisida seperti abate @ (temephos) serta PSN; bahkan PSN dengan program 3M telah dimodifikasi menjadi 3M Plus, antara lain dengan memelihara ikan, menghindari gigitan nyamuk, kemungkinan memasang ovitrap

dan menyemprotkan insektida (Hasyimi et al. 2005). Meskipun dua cara terakhir ini telah menjadi program pemberantasan DBD secara nasional tetapi belum berhasil menurunkan angka kesakitan, terbukti setiap tahun masih terjadi KLB di beberapa kota (Hasyimi et al. 2000). Solusi terbaik untuk mengurangi masalah DHF di Jakarta adalah melalui intervensi public health (Siahaan 2002).

Dalam program pencegahan penyakit DBD dilakukan pengamatan epidomiologi untuk menemukan kejadian secara cepat sehingga dapat dilakukan penanggulangan secepatnya (Bhattacharya et al. 2008). Survei vektor mencakup survei jentik dan survei nyamuk dewasa. Karena praktisnya, metodologi survei jentik adalah yang paling umum dipakai dibandingkan dengan metodologi survei telur atau survei nyamuk dewasa. Survei jentik dilakukan di semua rumah, jika wilayah kecil, atau pada minimal 50 rumah jika meliputi wilayah yang luas. Angka yang dihitung adalah indeks rumah atau house index (HI), indeks kontainer (container index) dan indeks breteau (breteau index) (Depkes. R.I. 2002). House index (HI) ialah persentase antara rumah ditemukan jentik terhadap seluruh rumah yang diperiksa. Container index (CI) ialah persentase antara kontainer yang ditemukan jentik terhadap seluruh kontainer yang diperiksa. Breteau index

(BI) ialah jumlah kontainer yang positif per seratus rumah yang diperiksa.

Banyak hal yang perlu diperhatikan dalam survei jentik nyamuk penular DBD. Kesalahan dalam menghitung ABJ harus dihindari. Hasyimi (1999) mengemukakan adakalanya kesalahan dalam menghitung ABJ disebabkan oleh kurang telitinya kader atau petugas. Hal ini berkaitan dengan faktor bentuk

formulir pemantauan jentik berkala (PJB) kurang tepat atau faktor belum memadainya pengetahuan kader dan masyarakat luas tentang Aedes aegypti.

Dalam rangka upaya pencegahan dan pemberantasan DBD dikenal istilah AHJ (angka hinggap per jam) yaitu jumlah nyamuk Aedes aegypti dewasa yang tertangkap pada umpan orang per jam penangkapan dikalikan jumlah kolektor. Penghitungan ini dapat untuk mengetahui bagaimana populasi nyamuk dewasa di suatu wilayah. Pengukuran dilakukan satu minggu satu kali. Selain itu perlu diketahui pula istilah nyamuk istirahat per rumah (NIR) adalah jumlah nyamuk aedes dewasa tertangkap pada saat hinggap per jumlah rumah yang disurvei.

Pemberantasan nyamuk dewasa yang menggunakan bahan kimia (thermal fogging) hingga saat ini masih dianggap sebagai strategi penting untuk memberantas nyamuk, namun berdampak kecil bagi upaya pemberantasan DBD jangka panjang. Fogging dilakukan jika ditemukan sekurangnya tiga penderita panas tanpa sebab dan kepadatan jentik tinggi. Campuran bahan kimia untuk pengasapan adalah malathion atau fenitrothion dalam dosis 438 gram per hektar dilarutkan dalam 4% solar atau minyak tanah, dilakukan minimal dua kali dalam jarak 10 hari di rumah penderita dan pada jarak 100 meter di sekelilingnya (Soedarmo 1988). Program pengasapan rumah dengan malathion untuk pengendalian Aedes aegypti telah dilakukan sejak tahun 1972 (Boesri et al. 1993), namun sampai saat ini vektor DBD belum dapat dikendalikan dengan baik.

Pembasmian dengan larvasida dianggap lebih ekonomis dan lebih berkesinambungan karena memberantas jentik nyamuk. Larvasida yang digunakan adalah butir-butir abate 1% SG (sodium glutamate) yang ditaburkan pada tempat penyimpanan air dengan dosis satu ppm (part per million) yaitu 10 gram untuk 100 liter air. Pengulangan pada jarak dua atau tiga bulan kemudian (Soedarmo 1988).

Dalam rangka pencegahan penyakit DBD dapat pula dikembangkan populasi binatang predator nyamuk Aedes aegypti dan jentiknya serta tumbuh-tumbuhan anti nyamuk Aedes aegypti. Dari semua predator jentik nyamuk, yang terpenting adalah ikan pemakan jentik. Bermacam-macam jenis ikan pemakan jentik dan telah dikenal dan telah pula digunakan untuk pemberantasan jentik dengan sukses di berbagai negara untuk mengatasi masalah nyamuk. Di antara

vertebrata, anak katak dapat memangsa jentik nyamuk terutama di tempat perkembangbiakan yang kecil dengan air yang dangkal. Ikan pemakan jentik yaitu ikan kepala timah (panchax-panchax), beunteur (puntius binotatus), cecereh (rasbora lesteristriata), gendol jantan (poecilia recticulata), gendol betina (poecelia recticulata), julung-julung (dermogenys pusilus), cupang (ctenops vittatus), sepat (trichogaster trichopterus) (Depkes. R.I. 2004). Ekstrak tanaman yang dapat dimanfaatkan sebagai penangkal nyamuk, antara lain minyak serai, minyak sitrun dan minyak neem (WHO 2003).

Mengenai efektifitas cara pencegahan penyakit DBD, hasil penelitian Fathi et al. (2000) menunjukkan bahwa 3M berperan positif terhadap pencegahan terjadinya KLB penyakit DBD di kota Mataram (Chi-square, p > 0,05) dengan

relative risk (RR) = 2,65; demikian pula tindakan abatisasi (Chi-square, p > 0,05) dengan relative risk (RR) = 2,51; namun tidak tampak peran tindakan fogging

(Chi-square, p > 0,05) dan juga tidak nampak adanya peran kepadatan vektor terhadap KLB penyakit DBD (Fischer’s exact probability test, p > 0,05). Penelitian Martomijoyo (1996) di Kecamatan Indramayu dan Kecamatan Sindang Kabupaten Indramayu Jawa Barat menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna antara angka bebas jentik (ABJ) desa atau kelurahan yang mendapatkan fogging massal dengan desa atau kelurahan yang tidak mendapatkan kegiatan fogging massal.