• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan Lingkungan

SOSIAL EKOLOGI

2.2. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)

2.2.5. Hubungan antara Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan Lingkungan

Yang dimaksud dengan lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain (UU 23/1997). Lingkungan alam dapat dibagi menjadi (a) lingkungan fisik dan kimia,(b) lingkungan biologi, dan (c) lingkungan manusia yang meliputi bentuk sosial-ekonomi, sosial-budaya (Suratmo 1991). Lingkungan alam ini dapat pula diartikan sebagai lingkungan fisik dan lingkungan biologik bagi virus dengue, nyamuk Aedes aegypti, dan manusia.

Hasil penelitian para ahli kesehatan masyarakat menunjukkan bahwa ada hubungan yang erat antara lingkungan hidup dengan kesehatan individu atau masyarakat. Baik buruknya keadaan atau kondisi lingkungan hidup akan turut mempengaruhi terhadap tinggi rendahnya angka kesakitan dan angka kematian penduduk yang disebabkan oleh penyakit menular melalui air (water-borne disease), melalui tanah (soil-borne disease), melalui udara (air-borne disease), dan melalui serangga (arthropod-borne disease).

Blum (1981) mengemukakan : ….Clearly, the largest aggregate of forces resides in the person’s environment.One’s own behavior, in great part derived

from one’s experience with one’s environment, is seen as the next largest force affecting health. Medical care services have been segregated out from the environment because our great interest and investment in them. They make a modest contribution to health status. The contribution of heredity to health are harder to judge, but there is no doubt that we are templated at conception as to our basic weaknesses and strengths. Bahwa faktor terbesar yang mempengaruhi tinggi rendahnya derajat kesehatan individu atau masyarakat adalah lingkungan. Faktor besar kedua ialah perilaku, diikuti oleh faktor pelayanan kesehatan dan hereditas.

Gordon dan Le Richt (1950) mengemukakan bahwa timbul atau tidaknya penyakit pada manusia dipengaruhi oleh tiga faktor utama yakni: pertama, faktor penjamu (host); kedua, faktor bibit penyakit (agent); dan ketiga, faktor lingkungan (environment). Faktor penjamu ialah semua faktor yang terdapat pada diri manusia yang dapat mempengaruhi timbulnya serta perjalanan suatu penyakit, antara lain: faktor keturunan, mekanisme pertahanan tubuh, umur, jenis kelamin, ras, status perkawinan, pekerjaan, dan kebiasaan hidup. Bibit penyakit (agent) ialah suatu substansi atau elemen tertentu yang kehadiran atau tidak kehadirannya dapat menimbulkan atau mempengaruhi perjalanan suatu penyakit, meliputi: golongan nutrien, golongan kimia, golongan fisik, golongan mekanik, dan golongan biologik. Lingkungan ialah agregat dari seluruh kondisi dan pengaruh-pengaruh luar yang mempengaruh-pengaruhi kehidupan dan perkembangan suatu organisasi, meliputi lingkungan fisik, lingkungan nonfisik. Peranan lingkungan dalam menyebabkan timbul atau tidaknya penyakit dapat bermacam-macam. Salah satu di antaranya ialah sebagai reservoir bibit penyakit. Hubungan antara penjamu, bibit penyakit dan lingkungan dalam menimbulkan suatu penyakit amat kompleks dan majemuk. Disebutkan bahwa ketiga faktor ini saling mempengaruhi di mana penjamu dan bibit penyakit saling berlomba untuk menarik keuntungan dari lingkungan. Hubungan antara penjamu, bibit penyakit dan lingkungan ini diibaratkan seperti timbangan. Disini penjamu dan bibit penyakit berada di ujung masing-masing tuas, sedangkan lingkungan sebagai penumpunya. Seseorang disebut berada dalam keadaan sehat, jika tuas penjamu berada dalam keadaan seimbang dengan tuas bibit penyakit. Sebaliknya bila bibit penyakit lebih berhasil

menarik keuntungan dari lingkungan, maka orang tersebut berada dalam keadaan sakit (Gordon dan Le Richt 1950, diacu dalam Azwar 1987).

Slamet (1996) mengemukakan bahwasanya lingkungan berpengaruh pada terjadinya penyakit sudah sejak lama diperkirakan orang. Interaksi manusia dengan lingkungan hidupnya merupakan suatu proses yang wajar dan terlaksana sejak manusia itu dilahirkan sampai ia meninggal dunia. Hal ini disebabkan karena manusia memerlukan daya dukung unsur-unsur lingkungan untuk kelangsungan hidupnya. Di dalam lingkungan terdapat faktor-faktor yang dapat menguntungkan manusia (eugenik), ada pula yang merugikan manusia (disgenik). Dalam hubungannya dengan perkembangan kejadian penyakit DBD banyak sekali tempat-tempat di lingkungan kehidupan manusia yang dapat menjadi sarang nyamuk Aedes aegypti, mulai dari jambangan keluarga, kaleng ataupun potongan bambu yang terisi air hujan, sampai pada reservoir air bersih yang tidak tertutup.

Mustafa (2003) mengemukakan bahwa setiap peralihan musim, terutama dari musim kemarau ke musim penghujan, kita menyaksikan berbagai masalah kesehatan melanda tanah air kita, termasuk yang paling sering terjadi adalah wabah demam berdarah (dengue fever). Sebagian masalah ini langsung atau tidak langsung terkait dengan perubahan lingkungan global.

Hasil penelitian Bohra (2001), di wilayah Jalor, India, terdapat delapan variabel yang efektif berkontribusi terhadap kejadian penyakit DBD, yaitu frekuensi membersihkan wadah penampung air, pola permukiman, penggunaan pendingin air, frekuensi membersihkan pendingin air, wadah air yang tidak tertutup, penggunaan pelindung nyamuk baik berupa kawat nyamuk, penyemprotan insektisida dan penggunaan obat oles penolak nyamuk, frekuensi pengisian persediaan air dan frekuensi pembuangan sampah. Membersihkan wadah penampungan air mempunyai hubungan positif dengan kejadian penyakit DBD. Penelitian Bohra (2001) tersebut menyebutkan jika membersihkan wadah air lebih dari delapan hari maka positif berkontribusi pada kejadian penyakit DBD, dan mengganti air satu atau dua kali satu minggu mengurangi resiko tersebut. Demikian pula dengan wadah air yang tidak tertutup berhubungan positif dengan kejadian penyakit DBD. Dalam laporan tersebut juga dikatakan infrastruktur buruk termasuk salah satu penyebab mudahnya transmisi kejadian

penyakit DBD. Pola permukiman padat dalam rentang jarak terbang nyamuk

Aedes aegypti tempat perkembangbiakannya menjadi hal yang positif penyebab tingginya kejadian penyakit DBD. Laporan tersebut juga menyatakan bahwa pembuangan sampah lebih dari 15 hari sekali mempunyai hubungan positif dengan kejadian penyakit DBD. Jarak pembuangan yang ideal adalah setiap tiga hari sekali sampah diangkut, tetapi jarak satu minggu satu kali sudah dianggap maksimum, dan lebih dari 15 hari sangat mengandung risiko.

Di Asia tenggara ditemukan hubungan yang kuat antara curah hujan dengan kejadian DBD dengan puncak transmisi pada bulan-bulan dengan curah hujan dan suhu tinggi, karena banyaknya wadah sebagai penampung air bersih sebagai tempat hidup jentik Aedes aegypti. Di beberapa tempat, penyakit DBD datang sebelum musim hujan dan meningkat pada saat peralihan cuaca. Dampak curah hujan pada kepadatan vektor tidak sama pada setiap spesies (Gubler 2001, diacu dalam Sintorini 2006). Kenaikan jumlah curah hujan akan diikuti dengan peningkatan jumlah kasus DBD, demikian pula sebaliknya penurunan jumlah curah hujan akan diikuti dengan penurunan jumlah kasus di Kabupaten Pati (Munif 1998). Wahyuni (2004) mengemukakan bahwa penyakit DBD dapat dipastikan selalu muncul di musim penghujan setiap tahun hanya intensitasnya yang berbeda. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian Sejati (2001) di Kota Padang bahwa tidak ada hubungan antara curah hujan dengan penyakit DBD.

Perubahan iklim dan lingkungan secara luas, telah merubah perilaku dan sifat virus dengue maupun nyamuk penyebarnya (ChakravartiandKumaria 2005; Nadesul 2004). Hasil penelitian Sintorini (2006) di Jakarta menyimpulkan bahwa kejadian penyakit DBD dipengaruhi curah hujan (p = 0,000), suhu lingkungan (p=0,000), kelembaban ruang (p = 0,003), kelembaban lingkungan (p = 0,000). Hasil penelitian Sumantri (2008) bahwa faktor-faktor yang berperan dalam pencegahan berbasis lingkungan terhadap penyebaran penyakit DBD di Provinsi DKI Jakarta antara lain ialah: (a) lingkungan, mencakup curah hujan. suhu dan kelembaban, (b) vektor, mencakup TPA, dan (c) manusia, mencakup perilaku hidup bersih dan sehat.

Hasil penelitian Fikri (2005) di Kota Bandar Lampung menunjukkan bahwa faktor sanitasi lingkungan yang berhubungan dengan kejadian penyakit

DBD ialah peubah jenis sarana air bersih (p = 0,003), tempat penampungan air (p = 0,000) dan sampah tergenang air (p = 0,011). Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian Fathi et al. (2000) bahwa sanitasi lingkungan tidak berperan dalam terjadinya KLB penyakit DBD di kota Mataram (Chi-square, p > 0,05). Hal ini disebabkan karena kenyataan di lapangan menunjukkan kondisi sanitasi lingkungan yang tidak jauh berbeda antara daerah KLB penyakit DBD tinggi (daerah studi) dan daerah dengan KLB penyakit DBD rendah (daerah kontrol). Sebenarnya kondisi sanitasi lingkungan berperan besar dalam perkembangbiakan nyamuk Aedes, terutama apabila terdapat banyak kontainer penampungan air hujan yang berserakan dan terlindung dari sinar matahari, apalagi berdekatan dengan rumah penduduk (Sugijanto 2004, diacu dalam Fathi et al. 2000). Adapun antara penyakit DBD dengan kontainer di kota Mataram, terdapat hubungan yang bermakna (Chi-square, p < 0,05) dengan relative risk (RR) adalah 2,96. Keberadaan kontainer sangat berperan dalam kepadatan vektor nyamuk Aedes aegypti, karena semakin banyak kontainer akan semakin banyak tempat perindukan dan akan semakin padat populasi Aedes aegypti. Semakin padat populasi nyamuk Aedes aegypti, maka semakin tinggi pula risiko terinfeksi virus penyakit DBD dengan waktu penyebaran lebih cepat sehingga jumlah kejadian penyakit DBD cepat meningkat yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya KLB penyakit DBD.

2.2.6. Hubungan antara Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan