• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan Efikasi Terapi Kombinasi Sulfadoksin-Pirimetamin + Artesunat Dengan Sulfadoksin-Pirimetamin + Amodiakuin Pada Penderita Malaria Falciparum Tanpa Komplikasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perbandingan Efikasi Terapi Kombinasi Sulfadoksin-Pirimetamin + Artesunat Dengan Sulfadoksin-Pirimetamin + Amodiakuin Pada Penderita Malaria Falciparum Tanpa Komplikasi"

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

PERBANDINGAN EFIKASI TERAPI KOMBINASI

SULFADOKSIN-PIRIMETAMIN + ARTESUNAT

DENGAN SULFADOKSIN-PIRIMETAMIN + AMODIAKUIN PADA

PENDERITA MALARIA FALCIPARUM TANPA KOMPLIKASI

TESIS

Oleh

PHILIP DARMAWAN SONY

047027007/KT

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

PERBANDINGAN EFIKASI TERAPI KOMBINASI

SULFADOKSIN-PIRIMETAMIN + ARTESUNAT

DENGAN SULFADOKSIN-PIRIMETAMIN + AMODIAKUIN PADA

PENDERITA MALARIA FALCIPARUM TANPA KOMPLIKASI

TESIS

Untuk memperoleh gelar Magister Kedokteran Tropis dalam Program Studi Ilmu Kedokteran Tropis pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Di Medan

Oleh

PHILIP DARMAWAN SONY

047027007/KT

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Tesis : PERBANDINGAN EFIKASI TERAPI

KOMBINASI SULFADOKSIN-PIRIMETAMIN + ARTESUNAT DENGAN SULFADOKSIN-

PIRIMETAMIN + AMODIAKUIN PADA

PENDERITA MALARIA FALCIPARUM TANPA KOMPLIKASI

Nama Mahasiswa : PHILIP DARMAWAN SONY

Nomor Pokok : 047027007

Program Studi : Ilmu Kedokteran Tropis

Menyetujui

Komisi Pembimbing

dr. Yosia Ginting,SpPD-KPTI

Ketua

dr. Umar Zein, DTM&H, SpPD-KPTI Drs. Saib Suwilo, MSc.,PhD.

Anggota Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,

Prof.Dr.dr.Syahril Pasaribu, Prof.Dr.Ir.T.Chairun Nisa B.,MSc.

(4)

Tanggal lulus : 18 Juni 2007.

Telah diuji pada

Tanggal : 18 Juni 2007.

PANITIA PENGUJI TESIS

KETUA : dr. Yosia Ginting, SpPD-KPTI

ANGGOTA : 1. dr. Umar Zein, DTM&H, SpPD-KPTI

2. Drs. Saib Suwilo, MSc.,PhD.

3. dr. Datten Bangun, MSc.

(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Allah yang Maha Pengasih dan

Penyayang atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga tesis ini dapat penulis selesaikan.

Penulis menyadari bahwa penelitian dan penulisan tesis ini masih jauh dari

kesempurnaan sebagaimana yang diharapkan. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati,

penulis sangat mengharapkan masukan yang berharga dari semua pihak untuk kebaikan di

masa mendatang.

Dengan selesainya penulisan tesis yang merupakan tugas akhir penulis dalam

menyelesaikan pendidikan Magister Ilmu Kedokteran Tropis di Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara Medan, perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan terima

kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. H. Chairuddin P. Lubis DTM&H,

SpA(K) atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk

mengikuti dan menyelesaikan pendidikan program Magister Ilmu Kedokteran

Tropis.

2. Direktur Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang dijabat oleh Prof.

Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc. atas kesempatan menjadi mahasiswa Program

Magister Ilmu Kedokteran Tropis pada Program Pascasarjana Universitas Sumatera

Utara.

3. Ketua Program Studi Magister Ilmu Kedokteran Tropis, Prof. Dr. dr. Syahril

Pasaribu, DTM&H, MSc.(CTM), SpA(K) dan juga dr. R. Lia Kusumawati, MS.,

(6)

bimbingan, dorongan serta petunjuk selama penulis mengikuti pendidikan dan

pelaksanaan penelitian serta penulisan tesis ini.

4. dr. Yosia Ginting, SpPD-KPTI, dr. Umar Zein, DTM&H, SpPD-KPTI dan Drs.

Saib Suwilo, MSc.,PhD. selaku komisi pembimbing yang telah banyak

memberikan bimbingan, bantuan dan saran yang sangat berharga dalam penelitian

dan penulisan tesis ini.

5. dr. Datten Bangun, MSc. dan dr. Endang Haryanti Gani, DTM&H, SpParK. selaku

komisi pembanding yang telah banyak membimbing dan memberikan saran yang

sangat berharga kepada penulis dalam penelitian dan penyempurnaan penulisan

tesis ini.

6. Kepala Dinas Kesehatan Tingkat II Kabupaten Nias Selatan, dr. Margan R.P.

Sibarani, Mkes. beserta staf, Bapak Bupati Kabupaten Nias Selatan yang telah

memberi izin, penyediaan fasilitas, sarana dan bantuan tenaga dalam pelaksanaan

penelitian ini.

7. Seluruh staf pengajar program studi Magister Ilmu Kedokteran Tropis di Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan yang telah banyak membimbing

penulis selama mengikuti pendidikan.

8. Direktur Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan, Kepala SMF

Penyakit Dalam, Kepala SMF Penyakit Anak beserta seluruh staf yang telah

memberikan fasilitas dan sarana selama penulis mengikuti pendidikan.

9. dr. Indira Julia, dr. Titik Yuniarti dan dr. Lambok Siahaan atas persahabatan

dan kerjasama yang telah terjalin selama penulis mengikuti pendidikan,

melakukan penelitian hingga selesainya penulisan tesis ini.

(7)

Tropis Universitas Sumatera Utara lainnya serta semua pihak yang tidak

dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan

dalam pelaksanaan pendidikan dan penelitian serta penulisan tesis ini.

Kepada yang tercinta istri saya dr. Juniar Djunaidy, anak-anak saya tersayang Eric Hartawan

Sony dan Cynthia Eliza Sony, begitu juga kepada kedua orang tua tercinta, ibunda Indriaty

Elly dan ayahanda Drs. Joseph Amran Sony, serta saudara-saudaraku yang selalu

mendoakan , memberi dorongan, bantuan moril dan materil selama penulis mengikuti

pendidikan ini. Semoga budi baik yang telah diberikan mendapat imbalan dari Tuhan Yang

Maha Kuasa.

Akhirnya, penulis mengharapkan semoga penelitian dan tulisan ini dapat bermanfaat

bagi kita semua.

Medan, Juni 2007.

(8)

RIWAYAT HIDUP

Nama lengkap : Philip Darmawan Sony

Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 4 Maret 1966

Alamat : Jl. Letjend. S. Parman Blok DD No. 2

Medan Bisnis Center – Medan 20112

Telepon/Fax : 4565395 / 4157105

Riwayat Pendidikan :

1. Sekolah Dasar : SD Katolik Budi Murni Medan

Tahun 1972 s/d 1978.

2. Sekolah Menengah Pertama : SMP Katolik Budi Murni Medan

Tahun 1978 s/d 1981.

3. Sekolah Menengah Atas : SMA Katolik St. Thomas Medan

Tahun 1981 s/d 1984.

4. Universitas : Fakultas Kedokteran

Universitas Methodist Indonesia Medan

Tahun 1984 s/d 1993.

Ujian Negara di Universitas Diponegoro

Semarang Tahun 1992/1993.

5. Pendidikan/latihan lain : Kursus Ilmu Akupunktur

FK - UI Tahun 1993.

Pendidikan Intensif Seksologi FK-Univ.

(9)

Riwayat Pekerjaan :

1. Dokter jaga di Rumah Sakit Martha Friska Medan Tahun 1991 s/d 1992.

2. Dokter jaga di Rumah Sakit Deli Medan Tahun 1993 s/d 1994.

3. Dokter PTT di Puskesmas Serbalawan Kab. Simalungun Propinsi Sumatera

Utara Tahun 1994 s/d 1997.

4. Dokter jaga di Rumah Sakit Vita Insani P.Siantar Tahun 1994 s/d 1997.

5. Anggota Ikatan Dokter Indonesia Cabang Medan Tahun 1993 hingga sekarang.

6. Anggota Perhimpunan Dokter Ahli Akupunktur Indonesia Tahun 1993 hingga

sekarang.

7. Anggota Lions Club Medan Oriental Tahun 1995 hingga sekarang.

8. Dokter Asisten Bedah Ortopedi dan Bedah Plastik dalam program sosial

yang diselenggarakan oleh Pusat Rehabilitasi Harapan Jaya Pematang

Siantar tahun 1996 - 1998.

9. Dokter residen (RMO) di Rumah Sakit Umum Materna Medan Tahun 1998

hingga sekarang dan menjabat sebagai :

- Kepala Instalasi Rawat Jalan RSU Materna.

- Kepala Tim Audit Medik RSU Materna.

- Sekretaris Komite Medik Umum RSU Materna.

10. Wakil Ketua Komite Pelayanan Kesehatan, Diabetes dan Donor Darah Lions

(10)

RINGKASAN

Malaria merupakan penyakit infeksi menular yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia dan di beberapa negara di dunia sampai saat ini. Di seluruh dunia setiap tahunnya ditemukan 500 juta kasus malaria yang mengakibatkan 1 juta orang meninggal dunia. Di wilayah tropis seperti Indonesia, malaria merupakan penyakit yang cukup banyak diderita terutama pada bayi, anak balita dan ibu melahirkan (15 juta kasus dengan 38.000 kematian setiap tahunnya).

Penyakit menular ini disebabkan oleh protozoa yang bernama Plasmodium, yang ditularkan melalui gigitan nyamuk jenis tertentu yaitu nyamuk Anopheles. Dari ke empat spesies yang biasanya menginfeksi manusia, 95% disebabkan oleh Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax.

Cepatnya penyebaran resistensi terhadap obat antimalaria yang digunakan selama ini merupakan tantangan yang serius dalam strategi pengendalian penyakit malaria. Resistensi obat antimalaria merupakan masalah serius dan kendala dalam pemberantasan penyakit malaria di Indonesia. Salah satu upaya untuk mengurangi cepatnya perkembangan resistensi adalah dengan penggunaan obat secara kombinasi.

WHO tahun 2001 menganjurkan pengobatan malaria falciparum dengan menggunakan kombinasi obat antimalaria yang berbasis artemisinin.

Tujuan penelitian ini dilakukan untuk mencari efikasi penggunaan obat antimalaria kombinasi Artesunat + Sulfadoksin-pirimetamin dan Amodiakuin + Sulfadoksin-pirimetamin terhadap malaria falciparum.

Penelitian ini merupakan uji klinis terbuka (open trial) yang dilakukan di 11 desa dalam 3 kecamatan (kecamatan Lahusa, kecamatan Teluk Dalam dan kecamatan Amandraya) di Kabupaten Nias Selatan mulai bulan September 2006 sampai bulan Desember 2006. Populasi penelitian adalah penduduk yang bertempat tinggal di Kecamatan Teluk Dalam, Lahusa dan Amandraya, Kabupaten Nias Selatan, Propinsi Sumatera Utara. Sedangkan subjek penelitian adalah penderita malaria falciparum yang ditemukan melalui pemeriksaan mikroskopis, yaitu dengan cara menemukan Plasmodium falciparum saja pada sediaan darahnya (monoinfeksi) serta memenuhi kriteria inklusi. Dari sebanyak 826 orang penduduk yang diperiksa dari 11 desa dalam 3 kecamatan di kabupaten Nias Selatan, hanya sebanyak 723 orang yang memenuhi persyaratan umur, gejala dan tanda klinis untuk dilakukan pemeriksaan darah. Sebanyak 311 orang (43%) didiagnosa menderita penyakit malaria dengan perincian : infeksi P. falciparum 238 orang (76,5%), infeksi P. vivax 7 orang (2,3%) dan infeksi campuran (P. falciparum dan P. vivax) sebanyak 66 orang (21,2%).

(11)

Sulfadoksin-pirimetamin. Dua orang lainnya dikeluarkan dari penelitian oleh karena pindah ke kota lain yaitu dari kelompok pengobatan Amodiakuin + Sulfadoksin-pirimetamin.

Walaupun terjadi perubahan yang bermakna terhadap komponen hematologi seperti kadar gula darah, hemoglobin, lekosit, eritrosit dan trombosit (p<0,05) sebelum dan sesudah pengobatan pada masing-masing kelompok pengobatan, namun berdasarkan hasil uji statistik yang membandingkan kelompok pengobatan AR+SP dengan kelompok pengobatan AQ+SP terhadap perubahan komponen hematologi tersebut ternyata secara umum tidak dijumpai adanya perbedaan yang bermakna, baik pada kelompok pengobatan dengan kombinasi AR+SP maupun kombinasi AQ+SP (p>0,05). Efek samping pengobatan yang sering timbul pada kedua kelompok pengobatan adalah sakit kepala (40,5% pada kelompok pengobatan AR+SP, 75% pada kelompok pengobatan AQ+SP). Terjadi penurunan kepadatan parasit yang signifikan (100%) pada masing-masing kelompok pengobatan (p<0,05). Namun dari hasil uji statistik yang membandingkan efek penurunan kepadatan parasit terhadap kelompok pengobatan AR+SP dengan AQ+SP tidak ada perbedaan yang bermakna (p>0,05). Tidak dijumpai adanya kegagalan pengobatan baik Early Treatment Failure (ETF) maupun Late Treatment Failure (LTF).

Dapat diambil kesimpulan, pengobatan malaria falciparum tanpa komplikasi dengan kombinasi Artesunat + pirimetamin dan kombinasi Amodiakuin + Sulfadoksin-pirimetamin memberikan efikasi yang sama.

Kata kunci : malaria falciparum tanpa komplikasi, kombinasi Artesunat + Sulfadoksin-pirimetamin dan Amodiakuin + Sulfadoksin-pirimetamin,

(12)

SUMMARY

Malaria, an acute infectious disease, still remains a problem of community or public health in Indonesia and several countries until these days. In tropical countries like Indonesia, malaria remains a leading cause of morbidity and mortality in infants, children and delivery mothers (Fifteen million cases with thirty-eight thousand people died every year). Globally, there were 500 million malaria cases that causes almost one million people died.

This infectious disease caused by protozoa genus Plasmodium and transmitted by the bite of Anopheles mosquitoes. From the four Plasmodiumspecies that infect humans, 95% caused by Plasmodium falciparum and Plasmodium vivax. The spread of antimalaria drug resistant in Indonesia poses a serious challenge and remains a serious problem to the management of malaria infections in Indonesia. WHO in 2001 suggested to use artemisinin-based combination therapy for malaria falciparum to decrease resistancy to other antimalaria drugs.

The aim of this study is to find the efficacy of the combination of Sulfadoxine-pyrimethamine with Artesunate or Amodiaquine for the treatment of uncomplicated malaria falciparum. We performed an open trial clinical study which was conducted from September 2006 to December 2006 in the 11 rural districts in the district of Lahusa, Teluk Dalam and Amandraya in the South Nias Regency, North Sumatera Province.

The study was carried out for the people who lived in the district of Lahusa, Teluk Dalam and Amandraya in the South Nias Regency, and the subject of this study is the people who were positive only with Plasmodium falciparum (mono infection) and fulfilled the inclusion criteria. A total of 826 people who underwent a complete physical examination, only 723 people were fulfilled the condition of age, clinical symptoms and signs to proceed with blood sample collection. 311 people (43%) were diagnosed for malaria disease with the description : P.falciparum 238 people (76,5%), P.vivax 7 people (2,3%) and mix-infection 66 people (21,2%). From the 238 people who infected with Plasmodium falciparum, only 85 people who meet the inclusion criteria and randomly divided into two groups of treatment. 46 people in the group of Artesunate + Sulfadoxine-pyrimethamine (AR+SP) and 39 people in the group of Amodiaquine + Sulfadoxine-pyrimethamine (AQ+SP). Peripheral blood examination were performed at day 0, 1, 2, 3, 7, 14 and 28 to monitor the parasite density. Blood glucosa level and complete blood count were performed at day 0 and 14.

During the study, 3 people were drop out because of not taking the medicine at day 2 (AR+SP group), 2 people were drop out because of lost to follow up (1 from AR+SP group and 1 from AQ+SP group) and another 2 people were drop out because of moving to other city (AQ+SP group).

Even though there was a significant changes of hematologic component such as blood glucosa level, haemoglobin, leucocyte, erythrocyte and thrombocyte (p<0,05) before and after treatment in each group of treatment, statistically shows no significantly different between these two group of treatment (p>0,05). Headache was found in both groups of treatment (40,5% in AR+SP group, 75% in AQ+SP group). The decrease of parasite density was significantly different in each group of treatment (p<0,05) but statistically not significantly different in the comparison of both groups of treatment (p>0.05). No early treatment failure (ETF) and late treatment failure (LTF) were found in this study.

(13)

Key words : uncomplicated malaria falciparum, combination of Artesunate +

(14)
(15)

III.5.1. Kerangka Kerja ... 27

III.5.2. Cara Kerja ... 28

III.5.3. Kelompok Perlakuan ... 30

III.6. Variabel Yang Diamati ... 30

III.6.1. Variabel tergantung/dependen ... 30

III.6.2. Variabel bebas/independen ... 30

III.7. Analisa Data ... 31

III.8. Definisi Operasional ... 31

BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN... 34

IV.1. Hasil Penelitian ... 34

IV.2. Pembahasan ... 43

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN... 47

V.1. Kesimpulan ... 47

V.2. Saran ... 48

(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Kerangka Konsep Penelitian ... 8

Gambar 2. Peta Kabupaten Nias Selatan ... 10

Gambar 3. Sepuluh Besar Data Kesakitan Kabupaten Nias Selatan Tahun 2005 ... 12

Gambar 4. Skema Siklus Hidup Plasmodium ... 16

Gambar 5. Struktur Kimia Sulfadoksin-pirimetamine ... 19

Gambar 6. Struktur Kimia Amodiakuin ... 21

Gambar 7. Struktur Kimia Artesunat ... 22

Gambar 8. Kerangka Kerja Penelitian ... 27

Gambar 9. Alur Pemeriksaan Pasien ... 36

(17)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Data Jumlah Penduduk Kabupaten Nias Selatan Berdasarkan Jumlah Puskesmas Tahun 2006 Pada Daerah Penelitian (Kecamatan Teluk Dalam, Kecamatan Amandraya dan

Kecamatan Lahusa) ... 13

Tabel 2. Karakteristik Dasar Sampel Penelitian Sebelum Pengobatan

Berdasarkan Kelompok Umur ... 26

Tabel 3. Karakteristik Dasar Sampel Penelitian Sebelum Pengobatan

Berdasarkan Gejala Klinis ... 38

Tabel 4. Nilai Rata-Rata Kepadatan Plasmodium Sebelum dan Sesudah Pengobatan ... 39

Tabel 5. Gambaran Perubahan Hematologi Sebelum dan Sesudah

Pengobatan ... 41

(18)

DAFTAR SINGKATAN

ACPR : Adequate Clinical and Parasitological Response

AMI : Annual Malaria Incidence

API : Annual Parasite Incidence

AR : Artesunat

AQ : Amodiakuin

BB : Berat Badan

Depkes RI : Departemen Kesehatan Republik Indonesia

Depkes : Departemen Kesehatan

dkk : dan kawan-kawan

Et al : et alliance

ETF : Early Treatment Failure

FCT : Fever Clearance Time

Hb : Hemoglobin

HIA : High Incidence Area

kg : kilogram

KGD : Kadar Gula Darah

LCF : Late Clinical Failure

LPF : Late Parasitological Failure

LTF : Late Treatment Failure

mg : miligram

NaHCO3 : Natrium Bikarbonat

(19)

SD : Standard Deviation

SP : Sulfadoksin-pirimetamin

SPR : Slide Positivity Rate

SPSS : Statistical Programme for Social Science

USU : Universitas Sumatera Utara

(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Formulir Anamnesa ... 52

Lampiran 2 Formulir Catatan Medis ... 53

Lampiran 3 Hasil Pemeriksaan Laboratorium ... 57

Lampiran 4 Surat Pernyataan Kesediaan (Informed Consent) ... 58

Lampiran 5 Persetujuan Komite Etik Penelitian Kesehatan ... 59

Lampiran 6 Naskah Penjelasan Untuk Mendapatkan Persetujuan Subjek Penelitian ... 60

Lampiran 7 Hasil Pemeriksaan Kepadatan Plasmodium ... 62

Lampiran 8 Hasil Pemeriksaan Laboratorium Darah Rutin H0 dan H14 ... 66

Lampiran 9 Formulir Pemeriksaan Fisik Diagnostik ... 70

(21)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. LATAR BELAKANG

Malaria merupakan penyakit infeksi menular yang masih menjadi masalah kesehatan

masyarakat di Indonesia dan di beberapa negara di dunia sampai saat ini. Di seluruh dunia

setiap tahunnya ditemukan 500 juta kasus malaria yang mengakibatkan satu juta orang

meninggal dunia. Di wilayah tropis seperti Indonesia, malaria merupakan penyakit yang

cukup banyak diderita terutama pada bayi, anak balita dan ibu melahirkan (Davis, 2002;

Depkes RI, 2005).

Di Indonesia terdapat 15 juta kasus malaria dengan 38.000 kematian setiap tahunnya

(Survei Kesehatan Rumah Tangga, 2001). Diperkirakan 35% penduduk Indonesia tinggal di

daerah yang beresiko tertular malaria. Dari 293 kabupaten/kota yang ada di Indonesia, 167

kabupaten/kota merupakan wilayah endemik malaria (Depkes RI, 2005).

Penyakit menular ini disebabkan oleh protozoa yang bernama Plasmodium, yang

ditularkan melalui gigitan nyamuk jenis tertentu yaitu nyamuk Anopheles. Dari ke empat

spesies yang biasanya menginfeksi manusia, 95% disebabkan oleh Plasmodium falciparum

dan Plasmodium vivax (Depkes RI, 2005).

Prinsip strategi global dalam mengontrol malaria antara lain berupa diagnosa dini dan

pengobatan sesegera mungkin. Penggunaan yang rasional dan efektif dari penggunaan obat

antimalaria tidak hanya mengurangi resiko penyakit menjadi berat yang akhirnya

menyebabkan kematian, serta juga memperpendek masa sakit, tetapi juga menghambat

(22)

terhadap obat antimalaria yang digunakan selama ini merupakan tantangan yang serius dalam

strategi pengendalian penyakit malaria (WHO, 2001).

Demikian juga halnya di Indonesia, resistensi obat antimalaria merupakan masalah serius

dan kendala dalam pemberantasan penyakit malaria di Indonesia (Tjitra, 1996), dimana

klorokuin salah satu obat antimalaria yang banyak dilaporkan telah resisten. Kasus resistensi

obat antimalaria di Indonesia, terutama klorokuin penyebarannya tidak merata dan tidak saja

terdapat di daerah tertentu, namun semua propinsi telah melaporkan kasus resistensi obat

tersebut.

Melihat begitu banyak kasus kegagalan pengobatan malaria dengan klorokuin telah

teridentifikasi sejak lama ( in vivo maupun in vitro ), maka perlu diuji penggunaan kombinasi

obat antimalaria mengganti klorokuin yang selama ini masih digunakan dalam pengobatan

malaria falciparum tanpa komplikasi. Pengobatan monoterapi selama ini digunakan sebagai

pengobatan untuk penderita malaria di Kabupaten Nias Selatan sudah tidak dianjurkan lagi

karena dapat mempercepat terjadinya resistensi. Sebagai alternatif pengobatan, Depkes RI

menganjurkan penggunaan kombinasi derivat artemisinin untuk pengobatan malaria

falciparum tanpa komplikasi, seperti kombinasi dengan menggunakan artesunat ataupun

amodiakuin. WHO tahun 2001 menganjurkan pengobatan malaria falciparum dengan

menggunakan kombinasi obat antimalaria yang berbasis artemisinin. (Bloland, 2001 ; Yeka

dkk, 2005 ; RBM, 2003). Artemisin telah direkomendasikan oleh Departemen Kesehatan R.I.

dan telah beredar dalam jumlah terbatas, berupa kombinasi artesunat dengan meflokuin dan

artesunat dengan amodiakuin. Uji klinik kedua kombinasi ini di Indonesia belum banyak

(23)

Pemberian antimalaria secara monoterapi tidak disarankan lagi. Pemberian kombinasi

antimalaria merupakan pola pengobatan yang dianut saat ini. Hal ini dilakukan untuk

’memperlambat’ terjadinya resistensi terhadap obat antimalaria (WHO, 2006).

Lebih lanjut, penelitian yang dilakukan Tjitra dkk pada tahun 2001 di Irian Jaya dengan

pengobatan kombinasi artesunat dan sulfadoksin-pirimetamin pada malaria falciparum tanpa

komplikasi menunjukkan adanya peningkatan efikasi sulfadoksin-pirimetamin (Tjitra dkk,

2001).

Di Kabupaten Nias Selatan penggunaan obat antimalaria yang berbasis artemisinin

(artesunat-amodiakuin) untuk pengobatan malaria falciparum sedang dikembangkan. WHO

dan organisasi kesehatan dunia lainnya telah menyediakan obat-obat antimalaria kombinasi

artesunat dan amodiakuin (Arsucam®, Artesdiaquine®) untuk digunakan di Kabupaten Nias

Selatan. Penggunaan obat kombinasi ini masih belum berjalan dengan baik di daerah ini. Hal

ini disebabkan oleh karena kurangnya sosialisasi kepada masyarakat dan adanya penolakan

dari masyarakat terhadap cara penggunaan obat kombinasi antimalaria tersebut antara lain

jumlah tablet yang terlalu banyak dan adanya efek samping yang tidak menyenangkan yang

ditimbulkan akibat obat antimalaria kombinasi ini.

Penelitian di Uganda, Afrika pada tahun 2001 dengan menggunakan kombinasi antara

amodiakuin dengan sulfadoksin-pirimetamin dan artesunat dengan sulfadoksin-pirimetamin

menunjukkan hasil yang lebih baik dan lebih efektif dibandingkan dengan pengobatan tunggal

dengan menggunakan amodiakuin saja (92,3%, 82,7% dan 74,5%), dan secara keseluruhan

didapati bahwa kombinasi amodiakuin dengan sulfadoksin-pirimetamin lebih efektif

dibandingkan dengan kombinasi artesunat dengan sulfadoksin-pirimetamin (p=0,02)

(24)

Sedangkan penelitian oleh Taylor dkk pada tahun 1998 dengan membandingkan

pengobatan kombinasi artesunat dengan sulfadoksin-pirimetamin dan pengobatan tunggal

dengan sulfadoksin-pirimetamin menunjukkan bahwa angka keberhasilan pengobatan

kombinasi lebih tinggi daripada pengobatan tunggal (58,6% dan 38,2% , p=0,001) (Taylor

dkk, 2003).

Penelitian yang dilakukan oleh Vreugdenhil dkk. terhadap penderita malaria falciparum

dengan menggunakan amodiakuin dan sulfadoksin-pirimetamin menunjukkan bahwa telah

terjadi penurunan sensitivitas obat sulfadoksin-pirimetamin dibandingkan dengan amodiakuin.

Pada penelitian yang sama juga telah dianjurkan untuk menggunakan pengobatan kombinasi

dengan memakai amodiakuin dan artesunat sedangkan untuk daerah dengan tingkat resistensi

yang rendah dianjurkan untuk menggunakan pengobatan kombinasi amodiakuin dan

sulfadoksin-pirimetamin (Vreugdenhil dkk, 2004).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Dorsey dkk pada tahun 2000 di Kampala, Uganda

menunjukkan bahwa kombinasi obat sulfadoksin-pirimetamin dengan amodiakuin

memberikan hasil yang lebih efektif (99%) dibandingkan dengan pengobatan tunggal dengan

sulfadoksin-pirimetamin (Dorsey dkk, 2002).

Pengobatan dengan artesunat yang dikombinasikan dengan sulfadoksin-pirimetamin

pada penderita malaria falciparum tanpa komplikasi selain dapat meningkatkan efikasi dan

mengurangi resistensi, diharapkan penggunaan kombinasi obat ini secara teknis dapat berjalan

baik karena diketahui sulfadoksin-pirimetamin merupakan obat antimalaria yang sudah

dikenal dengan baik disamping harganya yang murah dan penggunaannya dengan dosis

tunggal. Pada penelitian ini, efikasi pengobatan diukur dari penurunan kepadatan Plasmodium,

hilangnya tanda dan gejala klinis malaria, perubahan dan perbaikan komponen hematologi

(25)

I.2. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas maka permasalahan yang muncul pada

penelitian ini adalah sebagai berikut :

Apakah kombinasi Amodiakuin dengan Sulfadoksin-pirimetamin mempunyai efikasi

yang lebih baik dibanding dengan kombinasi Artesunat dengan Sulfadoksin-pirimetamin pada

penderita malaria falciparum tanpa komplikasi di Kabupaten Nias Selatan.

I.3. HIPOTESA

Obat kombinasi Amodiakuin + Sulfadoksin-pirimetamin lebih efektif dibandingkan

dengan kombinasi obat Artesunat + Sulfadoksin-pirimetamin pada penderita malaria

falciparum tanpa komplikasi di Kabupaten Nias Selatan.

I.4. TUJUAN PENELITIAN I.4.1. Tujuan Umum

Untuk mencari efikasi penggunaan obat antimalaria kombinasi terhadap malaria

falciparum di Kabupaten Nias Selatan.

I.4.2. Tujuan Khusus

I.4.2.1. Untuk mengetahui apakah kombinasi Amodiakuin + Sulfadoksin-

pirimetamin dapat digunakan untuk meningkatkan keberhasilan

pengobatan malaria falciparum di Kabupaten Nias Selatan.

I.4.2.2. Untuk mengetahui efikasi masing-masing kombinasi obat antimalaria

(26)

I.5. MANFAAT PENELITIAN

- Untuk mendapatkan terapi alternatif mana yang bisa dipakai untuk pengobatan

penderita malaria falciparum tanpa komplikasi di daerah yang resisten terhadap

obat-obat antimalaria standar.

- Sebagai masukan bagi kalangan praktisi dalam menentukan obat antimalaria

alternatif yang lebih efektif untuk menentukan kebijakan dalam pengobatan

malaria falciparum di Kabupaten Nias Selatan khususnya dan Indonesia pada

umumnya.

I.6. KERANGKA KONSEP

Penelitian ini dilakukan pada penderita malaria falciparum tanpa komplikasi dengan

melakukan pengamatan pada perubahan kepadatan Plasmodium serta efek samping obat

antimalaria kombinasi yang dipergunakan dalam penelitian ini.

Pengamatan dilakukan pada saat sebelum makan obat dan beberapa kali setelah makan

obat. Penderita malaria falciparum tersebut dikelompokkan menjadi dua kelompok pengobatan

secara random sederhana, yaitu kelompok penderita yang mendapatkan kombinasi pengobatan

Artesunat + Sulfadoksin-pirimetamin dan kelompok penderita yang mendapatkan kombinasi

pengobatan Amodiakuin + Sulfadoksin-pirimetamin.

Kombinasi Artesunat + Sulfadoksin-pirimetamin maupun kombinasi Amodiakuin +

Sulfadoksin-pirimetamin adalah merupakan salah satu terapi kombinasi dengan derivat

(27)

TERAPI KOMBINASI ARTESUNAT +

SULFADOKSIN-PIRIMETAMIN

TERAPI KOMBINASI AMODIAKUIN + SULFADOKSIN-

PIRIMETAMIN MALARIA FALCIPARUM

TANPA KOMPLIKASI

• KEPADATAN PLASMODIUM

• EFEK SAMPING OBAT

(28)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. EPIDEMIOLOGI MALARIA

Malaria masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara-negara yang sedang

berkembang terutama di negara-negara tropis seperti Indonesia. Setiap tahunnya dijumpai

hampir sebanyak 120 juta kasus malaria di dunia. Malaria merupakan penyakit infeksi

sistemik yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina.

Plasmodium yang dapat mengenai manusia adalah Plasmodium malariae, Plasmodium

vivax, Plasmodium ovale dan Plasmodium falciparum (Gunawan, 2000). Plasmodium

falciparum merupakan jenis Plasmodium yang paling berbahaya dan dapat mengakibatkan

kematian.

Di Indonesia angka kejadian malaria masih sangat tinggi, yaitu terdapat 15 juta kasus

malaria dengan 38 ribu kematian setiap tahunnya (Survei Kesehatan Rumah Tangga, 2001). Di

Jawa dan Bali misalnya, angka kejadian parasit tahunan (Annual Parasite Incidence – API)

meningkat dari 0,12 per 1000 penduduk pada tahun 1997 menjadi 0,3 per 1000 penduduk pada

tahun 1998, 0,62 per 1000 penduduk pada tahun 1999, 0,81 per 1000 penduduk pada tahun

2000 dan 0,62 per 1000 penduduk pada tahun 2001. Di luar Jawa Bali terjadi peningkatan

Annual Clinical Malaria Incidence (AMI) dari 16,06 per 1000 penduduk pada tahun 1997

menjadi 21,97 per 1000 penduduk pada tahun 1998, 24,9 per 1000 penduduk pada tahun 1999,

(29)

II.2. DATA DEMOGRAFI KABUPATEN NIAS SELATAN

Pulau Nias terletak 125 km sebelah barat Pulau Sumatera. Pulau Nias terletak di Lautan

Hindia, dan merupakan bagian dari propinsi Sumatera Utara. Dilihat dari letak geografis,

Pulau Nias seluas 5.625 km2 termasuk tidak menguntungkan karena terletak di belakang Pulau

Sumatera, di luar jalur kegiatan ekonomi. Keadaan ini menjadikan Pulau Nias termasuk daerah

terisolir, jauh dari pusat pemerintahan dan pusat kegiatan ekonomi. Pulau Nias terbagi dalam 2

kabupaten yaitu Kabupaten Nias (12 kecamatan) dan Kabupaten Nias Selatan (8 kecamatan).

Gambar 2. Peta Kabupaten Nias Selatan

Kabupaten Nias Selatan merupakan pemekaran dari Kabupaten Nias yang berada di

bagian selatan Pulau Nias dan merupakan bagian dari Propinsi Sumatera Utara. Malaria

(30)

(AMI) di seluruh Kabupaten Nias Selatan sangat berfluktuatif. Pada tahun 2005 terjadi

peningkatan AMI yang melebihi tahun sebelumnya yaitu 105‰ dan dari 7,36% kasus malaria

klinis yang diperiksa darah, diperoleh angka Slide Positivity Rate (SPR) sebesar 11,46%

sehingga dapat dikategorikan sebagai High Incidence Area (HIA) (Hakim, 2006).

Kabupaten Nias Selatan adalah salah satu wilayah di Indonesia yang mempunyai kasus

malaria cukup tinggi. Apalagi semenjak terjadinya bencana gempa bumi dan tsunami pada

bulan Maret tahun 2005. Bencana ini menyebabkan terjadinya wabah ( outbreak ) dan

munculnya daerah-daerah endemik. Hal ini terjadi akibat banyaknya terbentuk

cekungan-cekungan, kolam, dan parit yang bercampur dengan air laut yang masuk saat bencana gempa

bumi dan tsunami sehingga menjadi tempat perindukan nyamuk malaria (Depkes RI, 2005).

Berdasarkan data sepuluh besar penyakit di Kabupaten Nias Selatan tahun 2005 yang

diperoleh dari sumber Dinas Kesehatan Kabupaten Nias Selatan dapat dilihat bahwa penyakit

yang paling banyak dijumpai adalah malaria klinis (sebanyak 42.626 kasus).

10 BESAR DATA KESAKITAN

Sumber : Dinas Kesehatan Kab. Nias Selatan

Keterangan : 1. Malaria klinis

2. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) 3. Anemia

(31)

6. Infeksi penyakit usus yang lain (Gastritis) 7. Diare

8. Bronkitis 9. Asma 10. Skabies

Gambar 3. Sepuluh Besar Data Kesakitan Kabupaten Nias Selatan Tahun 2005

(32)
(33)

E. P U S K E S M A S L A H U S A

Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Nias Selatan

II.3. SIKLUS HIDUP PLASMODIUM MALARIA

Plasmodium falciparum mempunyai 2 siklus hidup, yaitu siklus aseksual yang terjadi di

dalam tubuh manusia yang disebut skizogoni dan siklus seksual yang terjadi di tubuh nyamuk

yang disebut sporogoni.

Pada siklus aseksual, sporozoit yang terdapat pada kelenjar ludah nyamuk Anopheles

betina masuk ke dalam peredaran darah manusia melalui gigitan nyamuk tersebut. Kemudian

dalam waktu singkat masuk ke sel-sel parenkim hati dan memulai stadium eksoeritrositik.

Dalam sel hati, parasit tumbuh menjadi skizon dan berkembang menjadi merozoit. Sel hati

yang mengandung parasit pecah dan merozoit keluar dengan bebas dan sebagian difagosit,

proses ini disebut stadium preeritrositik (eksoeritrositik). Siklus eritrositik dimulai saat

merozoit memasuki sel-sel darah merah membentuk tropozoit dan berkembang menjadi skizon

muda, kemudian berkembang menjadi skizon matang dan membelah diri menjadi merozoit.

(34)

sebagian masuk dalam sel darah merah lain untuk mengulang siklus skizogoni dan sebagian

membentuk gametosit yaitu bentuk seksual yang siap dihisap oleh nyamuk (Nugroho, 2000 ;

Schema Life Cycle Malaria).

Siklus seksual terjadi dalam tubuh nyamuk. Di dalam tubuh nyamuk terjadi perkawinan

antara sel gamet jantan dan betina yang disebut zigot. Zigot berubah menjadi ookinet,

kemudian masuk ke lambung nyamuk berubah menjadi ookista. Ookista matang dan pecah,

keluar sporozoit dan masuk ke kelenjar liur nyamuk dan siap ditularkan kepada manusia

(Nugroho, 2000; Schema of the Life Cycle Malaria).

Gambar 4. Skema siklus hidup Plasmodium(Nugroho,2000 Schema of the Life Cycle Malaria)

II.4. RESISTENSI OBAT ANTIMALARIA

Saat ini obat-obatan antimalaria yang dapat dijumpai di Indonesia hanya terbatas pada

klorokuin, sulfadoksin-pirimetamin, primakuin, dan kina (Tjitra, 2000). Antibiotika yang

(35)

Kloramfenikol, Azitromisin, Sulfametoksasol-trimetoprim dan Quinolon. Obat ini umumnya

bersifat skizontosida darah untuk P.falciparum, kerjanya sangat lambat dan kurang efektif..

Oleh sebab itu, obat ini digunakan bersama obat antimalaria lain yang kerjanya cepat dan

menghasilkan efek potensiasi yaitu antara lain dengan kina (Tjitra, 1996).

Oleh karena banyaknya faktor, telah terjadi resistensi pada kebanyakan antimalaria,

terutama di wilayah Asia Tenggara, begitu pula dengan Indonesia. Resistensi antimalaria

menjadi suatu tantangan besar dalam pengendalian malaria pada masa kini. Resistensi obat ini

berimplikasi pada penyebaran malaria ke daerah-daerah baru dan munculnya kembali pada

daerah yang dulunya telah dieradikasi. Resistensi obat juga memegang peranan penting dalam

terjadinya epidemi dan memberatnya manifestasi penyakit pada beberapa daerah. Perpindahan

penduduk juga menyebabkan munculnya resistensi parasit pada suatu wilayah yang dulunya

tidaklah demikian (Depkes, 2002).

Resistensi antimalaria terjadi karena kemampuan adaptasi Plasmodium untuk terus hidup

dalam tubuh manusia, berkembang biak dan menimbulkan gejala penyakit meskipun telah

diberikan pengobatan secara teratur baik dengan dosis standar maupun dosis yang lebih tinggi

(yang masih bisa ditolerir oleh pemakai obat) (Sutisna, 2004 ; Tjitra, 2000).

Secara umum mekanisme resistensi parasit malaria terhadap obat anti malaria

disebabkan oleh mutasi spontan dari gen parasit. Keadaan ini menyebabkan penurunan

sensitivitas parasit terhadap obat atau kelompok obat yang digunakan. Mutasi ini tidak

menyebabkan peningkatan kemampuan hidup atau perkembangbiakan parasit, tetapi menekan

pengaruh obat terhadap parasit. Proses resistensi ini terjadi karena penggunaan antimalaria

secara monoterapi atau juga kombinasi yang tidak rasional serta ketidakpatuhan dalam

(36)

Kombinasi antimalaria adalah pemakaian dua jenis atau lebih antimalaria yang bersifat

skizontosida serta mempunyai cara kerja farmakologi yang berbeda. Tujuan pemakaian

kombinasi antimalaria, selain untuk meningkatkan efek obat, secara sinergis dan aditif, juga

mencegah timbulnya resisten. Hal ini diperkirakan karena dengan penggunaan secara

kombinasi, peluang untuk menjadi resisten terhadap kedua obat yang dikombinasikan itu

semakin kecil yaitu hasil perkalian peluang masing-masing obat itu untuk menjadi resisten bila

digunakan secara tunggal. Pada saat ini penggunaan kombinasi derivat artemisinin, telah

terbukti efektif dalam mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat penyakit malaria

(WHO,2006 ; White, 1999 ; Bloland, 2001 ; Kremsner dkk, 2004).

II.4.1. Sulfadoksin-pirimetamin

Sulfadoksin-pirimetamin merupakan obat antimalaria kombinasi antara sulfonamida atau

sulfon dengan diaminopirimidin yang bersifat skizontosida jaringan Plasmodium falciparum,

skizontosida darah dan sporontosida untuk keempat jenis Plasmodium manusia (Tjitra, 2000).

Kombinasi obat ini menghambat pembentukan asam folat dengan mengikat enzim parasit

yaitu dihydropteroate synthase dan dihydrofolate reductase. Asam folat dibutuhkan oleh

parasit untuk pembentukan asam nukleat yang berguna untuk pembentukan inti parasit. Obat

ini sangat praktis karena dapat diberi dalam dosis tunggal, namun obat ini mempunyai

kelemahan karena mudah menimbulkan resisten. Oleh karena itu, kombinasi obat ini

digunakan secara selektif untuk pengobatan radikal malaria falciparum di daerah yang resisten

terhadap antimalaria klorokuin (Tjitra, 2000).

(37)

Pyrimethamine

Gambar 5. Struktur kimia Sulfadoksin-pirimetamin (WHO, 2006)

Secara farmakologis pirimetamin bekerja dengan cara menghambat enzim dihydrofolate

reductase dari Plasmodium sehingga menghalangi pembentukan asam nukleat pada parasit

malaria. Sedangkan sulfadoksin bekerja berkompetisi dengan enzim dihydropteroate synthase

sehingga pembentukan asam folat yang diperlukan oleh parasit tidak terbentuk (WHO, 2006).

Di Indonesia obat ini tersedia hanya dalam bentuk tablet untuk pemberian per-oral dan

setiap tabletnya mengandung 500 mg sulfadoksin atau sulfalen dan 25 mg pirimetamin.

Konsentrasi puncak dalam darah dicapai dalam 2 – 4 jam. Dengan waktu paruh sulfadoksin

adalah 180 jam dan pirimetamin adalah 90 jam. Dosis yang digunakan untuk sulfadoksin

adalah 25 mg/kg BB dan pirimetamin 1,25 mg/kg BB.

Saat ini kombinasi sulfadoksin-pirimetamin merupakan pilihan pertama (first line drug)

untuk kasus malaria falciparum tanpa komplikasi yang resisten klorokuin atau daerah yang

telah dinyatakan resisten terhadap klorokuin. Efek samping yang pernah dilaporkan adalah

(38)

II.4.2. Amodiakuin

Amodiakuin merupakan obat antimalaria golongan 4 aminokuinolin yang mempunyai

struktur dan aktifitas yang sama dengan klorokuin. Obat ini mempunyai efek antipiretik dan

antiinflamasi dan mempunyai efek skizontosidal.

Gambar 6. Struktur kimia Amodiakuin (WHO, 2006)

Amodiakuin tersedia dalam bentuk tablet dan sirup hidroklorida atau klorohidrat untuk

pemberian oral. Satu tablet amodiakuin mengandung 200 mg dan 600 mg basa amodiakuin

hidroklorida atau 151,1 mg basa amodiakuin klorohidrat, sedangkan 1 ml sirup mengandung

10 mg basa amodiakuin hidroklorida atau klorohidrat.

Dosis amodiakuin untuk pengobatan malaria falciparum tanpa komplikasi adalah seperti

klorokuin yaitu 25-35 mg basa/kgBB/3 hari.

Efek samping yang sering dijumpai sama seperti klorokuin yaitu berupa mual, muntah,

sakit perut, diare, sakit kepala dan gatal-gatal. Sedangkan efek samping yang berat dapat

menyebabkan hepatitis toksik dan agranulositosis yang fatal sehingga obat ini tidak boleh

diberikan pada penderita dengan gangguan fungsi hati, dan tidak digunakan untuk profilaksis

(39)

II.4.3. Artesunat

Artesunat merupakan obat antimalaria yang bersifat skizontosidal dan gametosidal yang

bekerja dengan cara menghambat enzim Calcium AdenosineTriphosphatase.

Gambar 7. Struktur kimia Artesunat (WHO, 2006)

Obat ini tersedia dalam bentuk tablet untuk pemberian peroral, dan dalam bentuk serbuk

kering dalam ampul dengan pelarut 5% NaHCO3 untuk pemberian secara parenteral

(intravena atau intramuskular). Dosis untuk pengobatan malaria falciparum tanpa komplikasi

yang resisten multidrug, peroral adalah 2 mg/kgBB/dosis, 2 kali sehari pada hari pertama,

kemudian dilanjutkan 2 mg/kg BB dosis tunggal pada 4 hari selanjutnya. Sedangkan untuk

pemakaian kombinasi dengan obat antimalaria lainnya digunakan dosis 4 mg/kgBB/dosis

selama 3 hari.

Efek samping yang pernah dilaporkan adalah gangguan saluran pencernaan berupa mual

dan muntah, bercak merah di kulit, gatal-gatal, rambut rontok dan demam obat (Tjitra, 2000;

(40)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

III.1. TEMPAT DAN WAKTU PENELITAN

Penelitian ini dilakukan di 11 desa dalam 3 kecamatan (kecamatan Lahusa, kecamatan

Teluk Dalam dan kecamatan Amandraya) di Kabupaten Nias Selatan mulai bulan September

2006 sampai bulan Desember 2006.

III.2. ALAT DAN BAHAN

III.2.1. Peralatan Pemeriksaan Fisik dan Klinis

Peralatan pemeriksaan fisik dan klinis yang digunakan pada subjek penelitian adalah stetoskop, timbangan badan, termometer suhu tubuh (WHO, 2003).

III.2.2. Peralatan, Bahan Laboratorium, dan Obat-Obatan

Pembuatan sediaan darah tebal dan darah tipis serta pemeriksan secara mikroskopis

membutuhkan peralatan dan bahan laboratorium antara lain sebagai berikut : mikroskop

binokuler, object glass, cover glass, slide box, rak pewarnaan, rak tabung reaksi, kertas tissue,

kapas, aquadest, pipet tetes, pipet 10ml, gelas ukur 10ml, dan 100ml, baker glass 100 ml dan

500 ml, hair dryer, minyak imersi, larutan Giemsa, metanol, alkohol dan larutan buffer

(WHO,2003).

Sedangkan obat-obatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

- Sulfadoksin-pirimetamin, yang merupakan kombinasi antara sulfonamida dengan

(41)

pirimetamin. Sediaan ini merupakan sediaan generik buatan PT. Indofarma dengan

nomor Batch 0505005 dan kadaluarsa 06/2009.

- Artesdiaquine®, yang merupakan kombinasi dari Artesunat 50 mg dan Amodiakuin

200 mg. Sediaan ini merupakan produksi dari Beijing Wanhui Double Crane

Pharmaceutical yang diimpor oleh PT. Trimitra Sehati, Indonesia dengan tanggal

produksi 08042006, kadaluarsa 04/2009 dan nomor Batch 050406. Setiap kotak

berisi 12 buah tablet artesunat @ 50 mg dan 12 buah tablet amodiaquine @ 200 mg

(setara dengan 153 mg amodiaquine basa) dalam kemasan blister yang digunakan

untuk pemakaian dengan dosis harian yang sama selama 3 hari.

- Parasetamol tablet 500 mg buatan PT. Indofarma yang diberikan bila suhu aksila

pasien >38,50C, sebagai pengobatan simptomatis.

III.3. DESAIN PENELITIAN

Penelitian dilakukan secara uji klinis terbuka (open trial) pada penderita malaria

falciparum tanpa komplikasi.

III.4. POPULASI PENELITAN

Populasi penelitian adalah penduduk yang bertempat tinggal di Kecamatan Teluk

Dalam, Lahusa dan Amandraya, Kabupaten Nias Selatan, Propinsi Sumatera Utara. Sedangkan

subjek penelitian adalah penderita malaria falciparum yang ditemukan melalui pemeriksaan

mikroskopis, yaitu dengan cara menemukan Plasmodium falciparum saja pada sediaan

darahnya (monoinfeksi).

III.4.1. Kriteria Inklusi

(42)

• Didiagnosa sebagai penderita malaria falciparum, dengan kepadatan parasit 100 –

100.000/µl.

• Temperatur aksila ≥ 37,5 0 C atau dengan riwayat demam dalam 1 minggu terakhir.

• Tidak pernah mengkonsumsi obat anti malaria dalam 2 minggu terakhir.

• Bersedia ikut serta dalam penelitian dan mengikuti prosedur yang ditetapkan

(informed consent).

III.4.2. Kriteria Eksklusi

• Terdapat gejala dan tanda malaria berat.

• Pada pemeriksaan darah tepi dijumpai Plasmodiumjenis lain, selain falciparum.

• Pernah/sedang mendapat pengobatan antimalaria.

• Mempunyai riwayat alergi terhadap obat-obatan yang akan diteliti dan munculnya

reaksi alergi terhadap obat-obatan yang digunakan selama proses penelitian.

• Adanya gangguan fungsi hati, ginjal, dan jantung yang diketahui dari pemeriksaan

anamnesa, fisik diagnostik dan laboratorium.

• Demam yang disebabkan oleh penyakit lain.

• Ibu hamil / menyusui.

• Tidak mengikuti prosedur penelitian yang ditetapkan dan mengundurkan diri dari

penelitian.

III.4.3. Perkiraan Besar Sampel (Sudigdo, 2002)

n1=n2=

(

)

(43)

amodiakuin dan sulfadoksin-pirimetamin = 99% = 0,99 (Dorsey dkk,2000).

P2 : Proporsi kesembuhan penderita malaria falciparum tanpa komplikasi dengan

artesunat dan sulfadoksin-pirimetamin = 82% = 0,82 (Clinical Judgement).

Q1 = 1 – P1 = 0,01 Q = 1 – P = 1 – 0,905 = 0,095

Q2 = 1 – P2 = 0,18

= 0,05 z = 1,645

= 0,20 z = 0,842

Dari perhitungan di atas didapatkan besarnya sampel pada masing-masing kelompok yaitu

sebanyak 36 orang, dan untuk mengantisipasi adanya drop out, diambil jumlah sampel

(44)

III.5. PELAKSANAAN PENELITIAN III.5.1. Kerangka Kerja

Pemeriksaan Darah Tepi Pemeriksaan fisik

Malaria falciparum tanpa komplikasi

Kriteria Eksklusi

Randomisasi Populasi Terjangkau

Artesunat + Sulfadoksin-pirimetamin Amodiakuin + Sulfadoksin-pirimetamin

Gambar 8. Kerangka Kerja Penelitian Plasmodium falciparum dalam darah

Toleransi dan Efek Samping Obat Pemeriksaan Darah Tepi dan

Pemeriksaan Fisik H-0,1,2,3,7,14,28 Kriteria Eksklusi :

efek samping

Kriteria Eksklusi : efek samping

drop out drop out

pindah t.tin

(45)

III.5.2. Cara Kerja

Semua penderita yang datang dengan keluhan dan tanda-tanda klinis malaria dilakukan

pemeriksaan yang meliputi anamnese sampai pemeriksaan fisik dan dilanjutkan dengan

pemeriksaan darah tepi malaria, sediaan tebal dan tipis untuk menghitung kepadatan parasit

malaria dalam darah.

Pada pemeriksaan darah tebal, mula-mula jari penderita dibersihkan dengan kapas

alkohol dan dikeringkan, kemudian tusuk dengan lancet steril, darah tetes pertama dibuang

dan tetes kedua diletakkan di bagian tengah gelas objek sebanyak ± 2 tetes. Kemudian

keringkan pada suhu kamar. Setelah kering tuangi Giemsa 10% dan biarkan selama 10-15

menit, lalu bilas dengan air kran yang mengalir. Keringkan pada suhu kamar dan periksa di

bawah mikroskop dengan pembesaran objektif 100x untuk mendapatkan Plasmodium spp

(Harijanto,2000). Pada sediaan darah tipis, cara pengecatannya sama dengan pemeriksaan

darah tebal tetapi sebelum dilakukan pengecatan sediaan darah difiksasi dengan metanol.

Bila dari pemeriksaan tersebut hanya ditemukan infeksi parasit P.falciparum dan

penderita memenuhi kriteria inklusi lainnya maka dipilih sebagai subjek penelitian. Bila tidak

memenuhi kriteria inklusi maka penderita akan diobati sesuai dengan penyakit yang

dideritanya. Kemudian penderita dijadikan 2 kelompok yang selanjutnya secara random

diberikan pengobatan sesuai nomor obat yang telah dibuat secara random dengan

menggunakan tabel random.

Kepadatan parasit diperiksa pada hari ke 0,1,2,3,7,14, dan 28 setelah pengobatan.

Semua sediaan hapus darah tepi penderita yang diteliti, dikonfirmasi di Bagian Parasitologi

Fakultas Kedokteran USU Medan terhadap diagnostik jenis spesies Plasmodium dan

(46)

Setiap penderita dari masing-masing kelompok pengobatan akan dinilai respon

klinisnya, yang diklasifikasikan dengan Early Treatment Failure (ETF), Late Treatment

Failure (LTF), dan Adequate Clinical and Parasitological Response (ACPR).

Selama pengobatan penderita difollow-up terhadap kepatuhan, efek samping, komplikasi

malaria ataupun keadaan klinis lain yang dianggap penting. Bila dalam follow-up terjadi

komplikasi pada penderita atau menunjukkan tanda-tanda malaria berat atau parasitemia pada

hari ke-3 tidak menurun atau meningkat, maka penderita segera diberikan pengobatan malaria

yang lebih intensif dengan kinine dihidroklorida drip, dengan cara loading dose 20 mg/kgBB

dalam dekstrosa 5% atau NaCl fisiologis diberikan dalam 4 jam. Dilanjutkan dengan 10

mg/kgBB dalam 4 jam setiap 8 jam berikutnya sampai penderita dapat minum obat (Tjitra,

2000), dan dirawat di puskesmas atau rumah sakit dan dikeluarkan dari penelitian.

III.5.3. Kelompok Perlakuan

Penelitian ini terdiri dari 2 kelompok perlakuan sebagai berikut :

1. Kelompok I : diberikan pengobatan dengan kombinasi artesunat dengan

sulfadoksin-pirimetamin dengan dosis artesunat sebanyak 4 tablet yang diberikan

pada hari pertama, kedua dan ketiga, sedangkan sulfadoksin-pirimetamin

diberikan sebanyak 3 tablet dosis tunggal pada hari pertama.

2. Kelompok II : diberikan pengobatan kombinasi amodiakuin dengan

sulfadoksin-pirimetamin dengan dosis amodiakuin sebanyak 4 tablet yang

diberikan pada hari pertama, kedua dan ketiga, sedangkan sulfadoksin-pirimetamin

diberikan sebanyak 3 tablet dosis tunggal pada hari pertama.

Semua obat diminum bersamaan pada hari pertama pengobatan sesuai dengan kelompok

(47)

Bila didapati penderita muntah setengah jam setelah makan obat, maka penderita diberikan

obat kembali dengan dosis yang sama sesuai dengan kelompok pengobatan masing-masing.

Penderita yang demam (temperatur ≥ 37,50 C) diberikan obat antipiretik Parasetamol 500 mg

dengan dosis 3 kali sehari 1 tablet secara per-oral.

III.6. VARIABEL YANG DIAMATI III.6.1. Variabel tergantung/dependen

Variabel tergantung/dependen adalah Plasmodium falciparum.

III.6.2. Variabel bebas/independen

Variabel bebas/independen adalah kelompok pengobatan.

III.7. ANALISA DATA

Data yang mempunyai skala nominal atau ordinal akan dianalisa dengan menggunakan

Uji Chi-Square. Uji normalitas digunakan uji Kolmogorov-Smirnov (uji non parametrik).

Untuk data numerik yang berdistribusi normal (parametrik) akan diuji dengan Uji ”t”

berpasangan dan tidak berpasangan. Sementara itu data numerik tidak berdistribusi normal

(non parametrik) akan diuji dengan Uji Mann-Whitney. Analisa statistik dilakukan dengan

menggunakan Program SPSS versi 10.0.05.

III.8. DEFINISI OPERASIONAL

1. Pasien malaria falciparum tanpa komplikasi adalah pasien dengan gejala klinis malaria dan

pada pemeriksaan darah tepi dengan metode standar ditemukan bentuk Plasmodium

falciparum aseksual dan penderita tidak menunjukkan tanda dan gejala malaria berat sejak

(48)

2. Malaria berat adalah suatu kondisi malaria dengan faktor pemberat seperti : penurunan

kesadaran, anemia berat (Hb < 5 gr % atau hematokrit < 15%), gagal ginjal akut (urine <

400 ml/24 jam atau < 12 ml/kgBB atau kreatinin > 3 mg %), edema paru, hipoglikemia (

KGD < 40 mg%), syok, perdarahan spontan, kejang, hemoglobinuria, hiperparasitemia >

5% pada daerah hipoendemik, ikterus (bilirubin > 3 mg% dan hiperpireksia (temperatur

rektal > 400C) (PAPDI, 2003).

3. Pemeriksaan apusan darah tepi adalah tehnik pemeriksaan standar untuk menegakkan

diagnosa malaria, yaitu dengan menentukan Plasmodium dalam darah penderita.

4. Kepadatan parasit adalah jumlah Plasmodiumper-200 lekosit atau per-1000 eritrosit yang

ditemukan pada pemeriksaan apusan darah tepi.

5. H0 adalah hari pertama pengamatan dan didiagnosa sebagai penderita malaria.

6. H1,H2,H3,H7,H14,H28 adalah hari ke-n pemberian obat dan pengamatan lanjutan pada

penderita malaria.

7. Parasite Clearance Time (PCT) adalah lamanya waktu yang diperlukan sampai tidak

ditemukannya lagi Plasmodium dalam bentuk aseksual dalam darah penderita.

8. Demam adalah suatu kenaikan suhu tubuh >37,50C yang diukur dengan termometer pada

aksila (WHO, 2003).

9. Anemia adalah suatu penurunan kadar Hb darah di bawah nilai standar normal yang diukur

dengan menggunakan metode cyan. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode

Sahli.

10. Komponen hematologi pasien diperoleh dengan melakukan pemeriksaan darah rutin untuk

melihat kadar eritrosit, leukosit,trombosit, eosinofil, hematokrit dan beberapa komponen

(49)

11. Hipoglikemi adalah suatu keadaan penurunan kadar gula darah < 40 mg% (PAPDI, 2003).

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan alat ACCU-CHEK® Active buatan Roche

Mannheim Germany.

12. Early Treatment Failure (ETF), bila terjadi salah satu kriteria di bawah ini (WHO, 2003;

PAPDI, 2003) :

a. Ditemukan tanda-tanda bahaya / malaria berat pada HI, H2, dan H3 serta

dijumpai parasitemia ≥ 5%.

b. Kepadatan parasit (parasitemia) pada H2 > H0.

c. Kepadatan parasit (parasitemia) pada H3 dengan bentuk seksual masih positif

disertai dengan temperatur aksila ≥ 37,5 0 C.

d. Kepadatan parasit (parasitemia) pada H3 ≥ 25% H0.

13. Late Treatment Failure (LTF), dibagi atas dua golongan, yaitu (PAPDI, 2003) :

a. Late Clinical and Parasitological Failure (LCPF)

Bila terjadi salah satu kriteria di bawah ini pada hari ke 4 sampai ke 28 :

Terjadi gejala malaria berat.

Masih terdapat gametosit disertai demam (>37,50C).

b.Late Parasitological Failure (LPF)

Bila masih terdapat parasit bentuk aseksual pada hari ke 7, 14, 21 dan 28 walaupun tidak

disertai dengan demam.

14. Adequate Clinical and Parasitological Response (ACPR)

Penderita yang pada kunjungan ulangan/kontrol (H3, H7, dan H28) tidak ada keluhan

(50)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1. HASIL PENELITIAN

Dari sebanyak 826 orang penduduk yang diperiksa dari 11 desa dalam 3 kecamatan di

kabupaten Nias Selatan, hanya sebanyak 723 orang yang memenuhi persyaratan umur, gejala

dan tanda klinis untuk dilakukan pemeriksaan darah. Sebanyak 311 orang (43%) didiagnosa

menderita penyakit malaria dengan perincian : infeksi P. falciparum 238 orang (76,5%),

infeksi P. vivax 7 orang (2,3%) dan infeksi campuran (P. falciparum dan P. vivax) sebanyak

66 orang (21,2%).

Sebanyak 238 orang yang terinfeksi dengan P. falciparum, 85 orang yang memenuhi

kriteria dibagi dalam 2 kelompok pengobatan secara random sederhana yaitu 46 orang pada

kelompok pengobatan Artesunat + Sulfadoksin-pirimetamin (AR+SP) dan 39 orang pada

kelompok pengobatan Amodiakuin + Sulfadoksin-pirimetamin (AQ+SP).

Selama penelitian berlangsung ada sebanyak 7 orang yang dikeluarkan dari penelitian.

Tiga orang berasal dari kelompok pengobatan Artesunat + Sulfadoksin-pirimetamin oleh

karena tidak makan obat pada hari ke-2. Dua orang dikeluarkan dari penelitian karena tidak

bersedia lagi mengikuti pemeriksaan ulangan yaitu 1 orang dari kelompok Artesunat +

Sulfadoksin-pirimetamin dan 1 orang lagi dari kelompok pengobatan Amodiakuin +

Sulfadoksin-pirimetamin. Dua orang lainnya dikeluarkan dari penelitian oleh karena pindah ke

kota lain yaitu dari kelompok pengobatan Amodiakuin + Sulfadoksin-pirimetamin. Sehingga

jumlah sampel diakhir penelitian adalah 78 orang yaitu 42 orang pada kelompok pengobatan

Artesunat + Sulfadoksin-pirimetamin dan 36 orang pada kelompok pengobatan Amodiakuin +

(51)

Pasien yang diperiksa

Kombinasi AR+SP 46 orang Kombinasi AQ+SP 39 orang

Jumlah pasien pada awal

Eksklusi 4 orang Eksklusi 3 orang

Jumlah pasien pada akhir pemeriksaan

36 orang

(52)

KARAKTERISTIK DASAR SAMPEL PENELITIAN

Tabel 2. Karakteristik Dasar Sampel Penelitian Sebelum Pengobatan Berdasarkan Kelompok Umur, Jenis Kelamin dan Suhu Tubuh

Dari tabel 2 di atas dapat dilihat bahwa distribusi sampel penelitian sebelum pengobatan

yang terbanyak dijumpai adalah kelompok umur ≥ 55 tahun (28,6%) pada kelompok

pengobatan AR+SP dan kelompok umur 45 – 54 tahun (30,6%) pada kelompok pengobatan

AQ+SP, dengan jenis kelamin perempuan dan suhu tubuh

< 37,50C dimana pada penelitian ini tidak dijumpai perbedaan yang bermakna diantara kedua

(53)

Tabel 3. Karakteristik Dasar Sampel Penelitian Sebelum Pengobatan Berdasarkan Gejala Klinis

Karakteristik AR+SP AQ+SP p )

(n=42) (n=36)

Gejala Klinis

a. Demam 19 (45,2%) 11 (30,6%) 0,184 b. Menggigil 7 (16,7%) 12 (33,3%) 0,087 c. Pusing 8 (19,1%) 3 (8,3%) 0,175 d. Badan Pegal 8 (19,1%) 22 (61,1%) 0,000* e. Lemas 5 (11,9%) 4 (11,1%) 0,913 f. Gangguan Pencernaan 4 (9,5%) 11 (30,6%) 0,019*

Keterangan : AR = Artesunat AQ = Amodiakuin SP = Sulfadoksin-pirimetamin ) Uji Chi-Square

* Signifikan

Gejala klinis yang muncul pada awal pemeriksaan adalah demam, menggigil, pusing,

pegal, lemas dan gangguan pencernaan. Dalam penelitian ini dijumpai perbedaan yang

bermakna (p<0,05) terhadap gejala badan pegal dan gangguan pencernaan pada kedua

kelompok pengobatan, sedangkan penderita demam yang diikutkan dalam penelitian ini hanya

sebesar 19 orang (45,2 %) dari kelompok pengobatan AR+SP dan 11 orang (30,6 %) dari

kelompok pengobatan AQ+SP (Tabel 3). Sebahagian besar penderita yang diikutkan dalam

penelitian ini mempunyai riwayat demam dalam 1 minggu terakhir baik pada kelompok

(54)

Tabel 4. Nilai Rata-Rata Kepadatan Plasmodium Sebelum Dan Sesudah Pengobatan

Kepadatan Plasmodium sebelum pengobatan (H0) pada umumnya rendah dengan nilai

rata-rata 344,762 Plasmodium/µl pada kelompok pengobatan AR+SP dan 283,333

Plasmodium/µl pada kelompok pengobatan AQ+SP.

Pada tabel 4 di atas dapat dilihat bahwa terjadi penurunan kepadatan Plasmodium yang

signifikan pada masing-masing kelompok pengobatan, dan dengan uji Friedman diperoleh

nilai p=0,000 yang menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna terhadap penurunan

kepadatan Plasmodium sebelum dan sesudah pengobatan baik pada kelompok pengobatan

AR+SP maupun kelompok pengobatan AQ+SP. Namun dari hasil uji statistik dengan

(55)

pengobatan AR+SP dengan kelompok pengobatan AQ+SP menunjukkan tidak ada perbedaan

Sementara itu pada respon pengobatan sampai hari ke-28 tidak terjadi kegagalan

pengobatan dimana tidak dijumpai lagi Plasmodium dalam sediaan darah penderita. Hal ini

menunjukkan bahwa pada kedua kelompok pengobatan tidak ada yang mengalami kegagalan

pengobatan, baik itu Early Treatment Failure (ETF) maupun Late Treatment Failure (LTF).

Semua subjek penelitian mengalami kesembuhan baik secara klinis maupun parasitologis

(56)

Tabel 5. Gambaran Perubahan Hematologi Sebelum Dan Sesudah Pengobatan

Pada tabel 5 di atas dapat dilihat bahwa walaupun terjadi perubahan yang bermakna

terhadap komponen hematologi seperti kadar gula darah, hemoglobin, lekosit, eritrosit dan

trombosit (p<0,05) sebelum dan sesudah pengobatan pada masing-masing kelompok

pengobatan, namun berdasarkan hasil uji statistik yang membandingkan kelompok pengobatan

(57)

tersebut ternyata secara umum tidak dijumpai adanya perbedaan yang bermakna, baik pada

kelompok pengobatan dengan kombinasi AR+SP maupun kombinasi AQ+SP (p>0,05).

Tabel 6. Distribusi Efek Samping Obat

Efek samping yang timbul pada hari kedua setelah makan obat adalah tremor, gangguan

pencernaan, lemas dan sakit kepala, dimana frekwensi yang terbanyak adalah sakit kepala,

baik pada kelompok pengobatan AR+SP maupun AQ+SP. Dari hasil uji Chi-Square diperoleh

nilai p<0,05 pada gejala tremor dan sakit kepala, hal ini berarti ada perbedaan yang bermakna

pada kedua kelompok pengobatan dimana gejala tersebut lebih sering ditemukan pada

kelompok pengobatan AQ+SP dibandingkan dengan kelompok pengobatan AR+SP (Tabel 6).

IV.2. PEMBAHASAN

Malaria falciparum merupakan jenis malaria yang paling sering menimbulkan kematian

dan resisten terhadap beberapa jenis obat antimalaria diantaranya klorokuin. Masalah

resistensi obat antimalaria merupakan suatu masalah yang serius dan kendala dalam

(58)

Penelitian ini dilakukan di 11 desa dalam 3 kecamatan (kecamatan Lahusa, Teluk Dalam

dan Amandraya) di Kabupaten Nias Selatan, Propinsi Sumatera Utara dengan memakai

metode uji klinis terbuka (open trial). Kombinasi obat Artesunat + Sulfadoksin-pirimetamin

dan Amodiakuin + Sulfadoksin-pirimetamin merupakan pilihan obat yang peneliti gunakan

dalam penelitian ini.

Dari 78 sampel penelitian yang diteliti berdasarkan kelompok umur yang terbanyak

dijumpai adalah kelompok umur ≥ 55 tahun (28,6%) pada kelompok pengobatan AR+SP dan

kelompok umur 45 – 54 tahun (30,6%) pada kelompok pengobatan AQ+SP sedangkan

berdasarkan jenis kelamin, jumlah perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki pada kedua

kelompok pengobatan.

Perubahan terhadap komponen hematologi seperti kadar gula darah, hemoglobin, lekosit,

eritrosit dan trombosit sebelum dan sesudah pengobatan pada masing-masing kelompok

pengobatan adalah bermakna (p<0,05), namun berdasarkan hasil uji statistik yang

membandingkan kelompok pengobatan AR+SP dengan kelompok pengobatan AQ+SP

terhadap perubahan komponen hematologi tersebut ternyata secara umum tidak dijumpai

adanya perbedaan yang bermakna, baik pada kelompok pengobatan dengan kombinasi AR+SP

maupun kombinasi AQ+SP (p>0,05).

Pada efek samping obat seperti tremor, gangguan pencernaan dan sakit kepala lebih

sering muncul pada kelompok pengobatan Amodiakuin + Sulfadoksin-pirimetamin, sedangkan

efek samping lainnya seperti lemas lebih sering dijumpai pada kelompok pengobatan

Artesunat + Sulfadoksin-pirimetamin. Keluhan lemas ini semakin mengganggu terutama pada

hari ketiga pengamatan, namun secara statistik tidak ada perbedaan yang bermakna terhadap

(59)

Basco dkk dalam suatu penelitian di Kamerun Afrika yang membandingkan efikasi

pengobatan terhadap beberapa macam obat antimalaria juga mendapatkan efek samping lemas

dan sakit kepala pada kombinasi pengobatan Amodiakuin + Sulfadoksin-pirimetamin (Basco

dkk, 2002).

Pada penelitian ini dijumpai kepadatan Plasmodium yang rendah dan tidak dijumpainya

bentuk seksual (gametosit) pada pemeriksaan darah tepi serta pada pemeriksaan fisik tidak

dijumpai adanya pembesaran limpa, sehingga hal ini menunjukkan bahwa daerah tempat

penelitian dapat dikategorikan sebagai Low Transmission Area (WHO, 2006). Penurunan

kepadatan Plasmodium ini dijumpai pada kedua kelompok pengobatan, dimulai sejak H1 dan

menghilang pada H3 sampai H28.

Hasil perbandingan dalam uji normalitas terhadap kepadatan Plasmodium pada H0, H1,

H2, H3, H7, H14, dan H28 pada kedua kelompok pengobatan adalah tidak berdistribusi

normal. Untuk melihat perubahan kepadatan Plasmodium pada masing-masing kelompok

pengobatan dipakai uji Non Parametrik (Uji Friedman) dan didapati hasil :

1. Terdapat perbedaan yang bermakna terhadap perubahan kepadatan Plasmodium

sebelum dan sesudah pengobatan pada kelompok pengobatan AR+SP

(p=0,000).

2. Terdapat perbedaan yang bermakna terhadap perubahan kepadatan Plasmodium

sebelum dan sesudah pengobatan pada kelompok pengobatan AQ+SP

(p=0,000).

Namun dari hasil uji statistik dengan Mann-Whitney Test yang membandingkan efek

penurunan kepadatan Plasmodium pada kelompok pengobatan AR+SP dengan kelompok

(60)

Dalam penelitian ini semua subjek penelitian tidak mengalami kegagalan pengobatan,

baik itu Early Treatment Failure maupun Late Treatment Failure. Semua subjek penelitian

mengalami kesembuhan (100%), baik secara klinis maupun parasitologis. Hal ini

menunjukkan bahwa kedua kelompok kombinasi obat antimalaria ini, baik itu kombinasi

Artesunat + pirimetamin maupun kombinasi Amodiakuin +

Sulfadoksin-pirimetamin merupakan obat yang sangat efektif dalam pengobatan penyakit malaria

falciparum. Tetapi bila dilihat dari efek samping obat selama penelitian ini, maka kombinasi

Artesunat + Sulfadoksin- pirimetamin lebih unggul dibandingkan dengan kombinasi

Amodiakuin + Sulfadoksin-pirimetamin.

Pada penelitian ini tidak dijumpai adanya hipoglikemia pada awal pengobatan. Hal ini

dipengaruhi oleh rendahnya kepadatan Plasmodium dan dapat juga dipengaruhi oleh beberapa

faktor lain yang dapat meningkatkan kadar gula darah.

Secara umum tidak dijumpai adanya anemia pada awal penelitian sebelum pengobatan

pada kedua kelompok pengobatan. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain

rendahnya kepadatan Plasmodium, gizi yang baik, tidak adanya penyakit kronis sebelumnya

serta metode pengukuran hemoglobin dengan cara Sahli yang masih sangat subjektif

penilaiannya. Peningkatan kadar hemoglobin sesudah pengobatan berkaitan dengan hilangnya

Plasmodium dalam darah.

Van den Broek dkk (2003) pada penelitian di Sudan juga telah mengemukakan adanya

peningkatan kadar hemoglobin pada pengobatan kombinasi AR+SP.

Peningkatan kadar eritrosit pada penelitian ini seiring dengan meningkatnya kadar

hemoglobin dan penurunan kepadatan Plasmodium yang merupakan salah satu faktor

terjadinya anemia. Peningkatan kadar eritrosit ini terjadi baik pada kelompok pengobatan

(61)

Namun dari hasil uji statistik tidak dijumpai perbedaan yang bermakna terhadap kadar eritrosit

pada kedua kelompok pengobatan.

Dalam penelitian ini dijumpai peningkatan kadar trombosit sesudah pengobatan. Hal ini

dipengaruhi oleh sistim imun tubuh terhadap P.falciparum. Hal ini menunjukkan bahwa

penurunan kepadatan Plasmodium berakibat pada peningkatan kadar trombosit pada

masing-masing kelompok pengobatan.

Pada kebanyakan infeksi parasit, peninggian kadar eosinofil sering ditemukan, tapi pada

penelitian ini tidak dijumpai perbedaan yang bermakna pada kadar eosinofil baik sebelum

Gambar

Gambar   1. Kerangka Konsep Penelitian ........................................................
Tabel 1. Data Jumlah Penduduk Kabupaten Nias Selatan Berdasarkan
Gambar 1. Kerangka Konsep Penelitian
Gambar 2. Peta Kabupaten Nias Selatan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penentuan zat warna sintetis pada minuman ringan bertujuan untuk mengetahui apakah minuman ringan yang diedarkan dipasaran mengandung zat warna sintetis atau

Introduction Thomas Clark Oden is a distinguished world scholar with almost 200 publications to his name.1 In 2011 he wrote a second ground-breaking work in a series of three on the

Dari kegiata pembelajaran meliputi: (1) kegiatan awal: melakukan apersepsi, menyampaikan tujuan pembelajaran dan bila dianggap perlu, memberikan pretest; (2) kegiatan

Risa T.Mukti: Analisis pembiayaan asuransi produk unggulan, 2007 USU e-Repository © 2008... Risa T.Mukti: Analisis pembiayaan asuransi produk unggulan, 2007 USU e-Repository

Wahyuni: Analisa Rasio Likuiditas Pada PT.. J\HJLtI

Pada periode ketiga ini, pendidikan Kewarganegaraan Jepang sebagian besar diterapkan sebagai “kewarganegaraan ( civics )” dalam sekolah tingkat atas, dan sebagai “ studi

Memecahkan masalah dalam perluasan jangkauan pemasaran produk-produk yang ada pada Toko Batik Lamongan dengan menggunakan sistem transaksi online ( E-Commerce ). Digunakannya

Animal biotechnology development is strongly related to the historical context of animal production in a country and the receiving environment, particularly social environment of

Dalam masyarakat jawa mereka sudah mengetahui dengan adanya malaikat, walaupun belum pernah melihat dengan kepala mata sendiri. Malaikat merupakan salah satu makhluk di