FAKTOR-FAKTOR PSIKOLOGIS YANG M EM PENGARUHI
FORGIVENESS
PADA ISTRI KORBAN KEKERASAN DALAM
RUM AH TANGGA (KDRT)
Disusun Oleh :
NURAN
107070000398
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FAKTOR - FAKTOR PSIKOLOGIS YANG M EM PENGARUHI FORGIVENESS PADA ISTRI KORBAN KEKERASAN DALAM RUM AH TANGGA (KDRT)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi syarat-syarat memperoleh
gelar Sarjana Psikologi
Oleh:
NURAN
107070000398
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
FAKTOR - FAKTOR PSIKOLOGIS YANG MEMPENGARUHI
FORGIVENESS PADA ISTRI KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH
TANGGA (KDRT)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi syarat-syarat memperoleh gelar Sarjana Psikologi
Oleh: NURAN NIM: 107070000398
Di bawah bimbingan:
Pembimbing
Jahja Umar, Ph.D NIP: 130 885 522
FAKULTAS PSIKOLOGI
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi yang berjudul “Faktor-Faktor Psikologis yang Mempengaruhi
Forgiveness pada Istri Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga” telah diujikan
dalam sidang munaqosyah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta pada tanggal September 2011. Skripsi ini telah diterima
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) pada
Fakultas Psikologi.
Jakarta, 11 Oktober 2011
Sidang Munaqasyah
Dekan/Ketua Pembantu Dekan/
Sekretaris Merangkap Anggota
Jahja Umar, Ph.D Dra.Fadhilah Suralaga, M.Si NIP. 130 885 522 NIP. 19561223 198303 2 001
Anggota:
PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Nuran NIM : 107070000398
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Faktor-Faktor Psikologis Yang Mempengaruhi Forgiveness pada Istri Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga” adalah benar merupakan karya saya sendiri dan tidak melakukan tindakan plagiat dalam penyusunan skripsi tersebut. Adapun kutipan-kutipan yang ada
dalam penyusunan skripsi ini telah saya cantumkan sumber pengutipannya dalam
daftar pustaka.
Saya bersedia untuk melakukan proses yang semestinya sesuai dengan
Undang-undang jika ternyata skripsi ini secara prinsip merupakan plagiat atau jiplakan dari
karya orang lain.
Demikian pernyataan ini saya buat untuk dipergunakan sebaik-baiknya.
Jakarta,11 Oktober 2011
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
M otto:
“ B el a j a r a d a l a h per j u a n ga n , per j u a n ga n a d a l a h
pen gor ba n a n , d a n p en gor ba n a n i t u a d a l a h
m en i n gga l k a n ha l -ha l y a n g m en y en a n gk a n "
( J a h j a U m a r )
P er sembahan:
ABSTRAK
A) Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta B) Oktober 2011
C) Nuran
D) Faktor-Faktor Psikologis Yang Mempengaruhi Forgiveness Pada Istri Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga
E) XV + 123 Halaman (belum termasuk lampiran)
F) Forgiveness merupakan hal yang penting dalam suatu hubungan untuk melakukan perubahan motivasi seseorang yang disakiti sehingga dapat diperbaiki demi kepentingan antar pasangan. Forgiveness adalah peningkatan dorongan ke arah yang lebih baik atau positif, yang ditandai dengan rendahnya dorongan untuk menghindar (avoidance motivations); rendahnya dorongan untuk menyakiti atau membalas dendam (revenge motivations); dan bertambahnya dorongan untuk berperilaku baik. Tingkat forgiveness dipengaruhi oleh beberapa faktor, tiga faktor yang sangat berperan penting adalah tipe kepribadian, kualitas hubungan, dan religiusitas. Tipe kepribadian yang digunakan adalah tipe kepribadian Jung yang terdiri dari ekstrovert dan introvert. Kualitas hubungan yang digunakan terdiri dari komitmen, kepercayaan, keintiman, dan kepuasan hubungan. Religiusitas yang digunakan terdiri dari keyakinan, praktek agama, pengalaman, pengetahuan, dan konsekuensi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh tipe kepribadian ekstrovert-introvert, kualitas hubungan, dan religiusitas terhadap forgiveness pada istri korban kekerasan dalam rumah tangga. Penelitian kuantitatif dengan analisis regresi berganda melibatkan sampel sebanyak 150 orang yang memenuhi kriteria (wanita berusia 20-60 tahun, status menikah, belum cerai, korban KDRT di LBH APIK).Alat ukur forgiveness yang digunakan dalam penelitian ini adalah hasil adaptasi dari alat ukur Measuring Offence-Spesific Forgiveness Scale (MOFS), sedangkan alat ukur tipe kepribadian ekstrovert-introvert yang digunakan adalah adaptasi dari alat ukur Myers Brigss Type Indicator (MBTI), kemudian untuk alat ukur kualitas hubungan yang digunakan berupa skala yang disusun oleh peneliti berdasarkan dimensi yang dikemukakan oleh Guldner & Swesen, dan alat ukur religiusitas yang digunakan adalah hasil adaptasi dari alat ukur Glock & Stark.
rendah didapatkan independen variabel yang berpengaruh yaitu kualitas hubungan.
Untuk penelitian selanjutnya, peneliti menyarankan agar dalam melakukan penelitian menggunakan variabel yang terkait dengan forgiveness yang tidak dianalisis sebagai IV, seperti tingkat pendidikan, pekerjaan, anak, dsb, kemudian dapat memperkaya penelitian dengan membandingkan antara forgiveness istri dari pasangan normal dan pasangan KDRT, serta lebih banyak menggunakan dan mengembangkan item – item yang lebih valid dalam mengukur konstruk – konstruk psikologisnya.
KATA PENGANTAR
Bismillahirahmanirrahiim
Syukur Alhamdulillah Peneliti panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala
rahmat, hidayah, dan kekuatan yang diberikan-Nya, sehingga Peneliti dapat
menyelesaikan skripsi dengan judul ”Faktor-Faktor Psikologis Yang Mempengaruhi Forgiveness pada Istri Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga”. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, pemimpin dan tauladan kaum yang beriman, kepada keluarga,
sahabat, dan seluruh umat yang senantiasa mencintainya. Penulisan skripsi ini
dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana
Psikologi pada Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Selama pengerjaan skripsi ini Peneliti dihadapkan dengan beragam cobaan, kesulitan,
rintangan dan penuh perjuangan serta kesabaran yang telah memberikan banyak
pelajaran hidup yang berarti bagi Peneliti.
Terwujudnya skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena
itu, dalam kesempatan ini Peneliti ingin mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Jahja Umar, Ph.D, Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dan juga sebagai Dosen Pembimbing. Terima kasih karena telah
meluangkan waktu dalam proses bimbingan skripsi ini, untuk segala ilmu yang
telah Peneliti dapatkan.
2. Dua sosok penyemangat hidup yang sangat peneliti hormati dan kasihi, Papa dan
Mama, Ali Muhammad Abdat dan Hamida Jaff Abdat. Rangkaian kata-kata indah
tak akan dapat melukiskan rasa syukur dan terima kasih Peneliti atas segala jerih
payah, kesabaran, ilmu, dan segala dukungan yang telah Papa dan Mama berikan
bagi Peneliti. Terima kasih, malaikatku.
3. Kepada Pak Ikhwan Luthfi M.Psi, sebagai Dosen Pembimbing Seminar Proposal,
terima kasih atas segala bimbingan, arahan, kritik yang membangun, dan waktu
Evangeline I Suaidy dan Pak M. Avicenna M.Hsc,. Psy yang telah memberi ilmu
dan menjadi motivator bagi Peneliti dalam mengembangkan ilmu psikologi dan
mengikuti program beasiswa.
4. Seluruh Dosen Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah
banyak memberikan pelajaran kepada Peneliti, baik itu dalam hal akademis
maupun dalam menjalani kehidupan.
5. Kepada Mba Rini & para Staff Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah banyak membantu Peneliti dalam menjalani perkuliahan dan
menyelesaikan skripsi.
6. Kepada LBH APIK atas izin dan bantuannya dalam pengambilan data di kantor,
dan kepada seluruh responden dari LBH APIK atas kesediaan, serta kerjasamanya
dalam penelitian yang dilakukan oleh Peneliti
7. Kepada Amira, Rayhan, dan Ibel yang sangat Peneliti sayangi, terima kasih untuk
support, nasihat, senyuman, semangat, dan doa yang selalu diberikan. Semoga
kalian dapat lebih baik lagi dari Peneliti dan kita berempat akan selalu jadi
kebanggan terbesar untuk Papa dan Mama.
8. Untuk Sahabat-sahabat Peneliti, yaitu Naya, Icha, Risna, Siro, Camel, Siro, Nurul,
Rifa, Linda, dan Weni atas perjalanan suka dan duka selama 4 tahun kebersamaan
ini, "cerita kita masih panjang, maka jangan sudahi sampai disini". Kemudian,
untuk Sahabat-sahabat Peneliti d'Bibirs, Farah, Laras, Efiy, Anya, Winda, Lala,
Rara, dan Unyil, terima kasih atas tawa, tangis, cerita, dukungan, semangat, dan
segala kebersamaan ini, "terbukti walaupun kita tak selalu bersama tapi justru
kebersamaan ini terus terbangun".
9. Untuk The GH yaitu Iccy, Fara, Laura, Mayang, Ezzat, Epiy, dan Sukria, terima kasih untuk segala cerita cita dan cinta "atas nama persahabatan GH". Untuk
Iki,sahabat juga kakak bagi Peneliti, atas seluruh dukungan dan setiap bantuan,
sungguh terima kasih dari lubuk hati terdalam. Dan untuk Ami, Indah, Imel,
terima kasih telah mengukir banyak cerita dalam hari-hari Peneliti.
10. Untuk Sahabat 'Buavita', yaitu Ogy, Ben, Jali, Chris, Ayu, Desy, Tari, Syiva, dan
masa depan kita. Kemudian, untuk Putri, Hani, Felya, Tika, Putaw, Mail, dan
teman-teman "Borocks" yang selalu menjadi semangat, motivator, pengingat dan
pesaing Peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini, terima kasih 'sahabat tak akan
terganti'.
11. Untuk Sahabat 'Kita' yaitu Hani, Pras, Rudhi, Aji, Danny, Kak Amal, Rika, Kak
Siro, Kak Isni yang banyak sekali membantu Peneliti dan memberikan arahan
dalam mengerjakan skripsi. Kemudian, untuk Adyo, sahabat dan guru yang
berusaha sabar mengahadapi Peneliti, terima kasih untuk dukungan dan
kesabarannya. Dan untuk sahabat, kakak, adik, saudara, dan calon adik ipar, Dara
Amalia, terima kasih untuk segala kasih, kesabaran, support, nasihat,
kecerewetan, dan segala hal berarti yang sulit untuk dijabarkan.
13. Untuk teman-teman angkatan 2007, khususnya kelas D yang sangat kompak dan
penuh cerita, terimah kasih untuk segala kebersamaan ini. Kemudian, untuk
teman-teman seperjuangan yaitu Aji, Risna, Vfah, Reza, Kak Sarah, "setiap detik
menunggu, setiap semangat yang ditumbuhkan, rasa letih, bingung, dan
kebersamaan dari setiap bimbingan, selamat menikmati kesuksesan ini anak-anak
Pak Jahja"
14. Kepada seluruh pihak yang tidak dapat Peneliti sebutkan satu per satu, terima
kasih untuk segala dukungan dan bantuan yang telah diberikan untuk membantu
Peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.
Akhirnya Peneliti memohon kepada Allah SWT agar seluruh dukungan,
bantuan, bimbingan dari semua pihak dibalas dengan sebaik-baiknya balasan. Selain
itu mengingat kekurangan dan keterbatasan Peneliti, maka segala kritik dan saran
yang bersifat membangun sangat diharapkan Peneliti sebagai bahan penyempurnaan.
Jakarta, 11 Oktober 2011
DAFTAR ISI
Halaman Judul
Lembar Pengesahan Pembimbing... iii
Lembar Pengesahan Panitia Ujian ... iv
Lembar Orisinalitas ... v
2.1.2 Dimensi yang mendasari forgiveness ... 21
2.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi forgiveness ... 26
2.1.4 Pengukuran forgiveness ... 28
2.2 Kepribadian ... 29
2.2.1 Definisi kepribadian ... 29
2.2.4 Pengukuran tipe kepribadian ... 37
2.3 Kualitas hubungan dengan pelaku ... 37
2.3.1 Definisi kualitas hubungan ... 37
2.3.2 Dimensi-dimensi kualitas hubungan ... 38
2.3.3 Bentuk kualitas hubungan dengan forgiveness ... 40
2.3.4 Pengukuran kualitas hubungan ... 40
2.4 Religiusitas ... 41
2.4.1 Definisi religiusitas ... ... 41
2.4.2 Dimensi-dimensi religiusitas ... 42
2.4.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi religiusitas ... 44
2.4.4 Pengukuran religiusitas ... 46
2.5 Kerangka Berpikir ... 47
2.6 Hipotesis Penelitian ... 52
BAB 3 Metode Penelitian ... 54
3.1 Populasi dan Sampel ... 54
3.2 Variabel Penelitian ... 54
3.3 Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 55
3.4 Instrumen Penelitian ... 56
3.5 Pengujian Validitas Konstruk ... 62
3.5.1 Uji validitas konstruk forgiveness ... 64
3.5.2 Uji validitas konstruk tipe kepribadian ... 68
3.5.3 Uji validitas konstruk kualitas hubungan ... 72
3.5.4 Uji validitas konstruk religiusitas Glock & Stark ... 75
3.6 Prosedur Pengumpulan Data ... 86
3.7 Metode Analisis Data ... 87
BAB 4 Hasil Penelitian ... 91
4.1 Analisis Deskriptif ... 91
4.2 Uji Hipotesis Penelitian ... 93
4.2.1 Analisis regresi variabel penelitian ... 93
4.3.1 Analisis sub kelompok ... 107
BAB 5 Kesimpulan, Diskusi dan Saran ... 112
5.1 Kesimpulan ... 112
5.2 Diskusi ... 113
5.3 Saran ... 118
5.3.1 Saran metodologis ... 119
5.3.2 Saran praktis ... 119
Daftar Pustaka ... 121
Tabel 3.6 Matriks korelasi antar kesalahan pengukuran Forgiveness ... 67
Tabel 3.7 Muatan Faktor dari item Tipe Kepribadian Ekstrovert ... 69
Tabel 3.8 Muatan Faktor dari itemTipe Kepribadian Introvert ... 71
Tabel 3.9 Muatan Faktor dari item Kualitas Hubungan ... 73
Tabel 3.10 Muatan Faktor dari item Keyakinan ... 76
Tabel 3.11 Muatan Faktor dari item Praktek Agama ... 79
Tabel 3.12 Muatan Faktor dari item Pengalaman Keagamaan ... 82
Tabel 3.13 Muatan Faktor dari item Pengetahuan Keagamaan ... 83
Tabel 3.14 Muatan Faktor dari item Konsekuensi Keagamaan ... 85
Tabel 4.1 Subjek berdasarkan usia pernikahan ... 92
Tabel 4.2 Subjek berdasarkan tingkatan forgiveness ... 93
Tabel 4.3 Rsquare Regresi ... 94
Tabel 4.4 Anova dari Analisis Regresi ... 95
Tabel 4.5 Koefisien Regresi ... 96
Tabel 4.6 Penghitungan Proporsi Varians ... 103
Tabel 4.7 Median Usia Pernikahan ... 108
Tabel 4.8 Koefisien Regresi Kelompok Usia Pernikahan Rendah ... 109
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir ... 51
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A : Kuisioner
Lampiran B : Contoh Syntax Analisis Faktor Konfirmatorik Analisis Faktor Konfirmatorik Forgiveness
Analisis Faktor Konfirmatorik Tipe Kepribadian Ekstrovert Analisis Faktor Konfirmatorik Tipe Kepribadian Introvert Analisis Faktor Konfirmatorik Kualitas Hubungan
Analisis Faktor Konfirmatorik Keyakinan
Analisis Faktor Konfirmatorik Praktek Agama
Analisis Faktor Konfirmatorik Pengalaman Keagamaan
Analisis Faktor Konfirmatorik Pengetahuan Keagamaan
Analisis Faktor Konfirmatorik Konsekuensi Keagamaan
BAB 1
PENDAHULUAN
Dalam bab satu ini akan dibahas beberapa hal yaitu, latar belakang masalah, yang di
dalamnya mencakup fenomena yang terjadi, penemuan di lapangan, serta
penelitian-penelitian terdahulu yang memiliki hubungan dengan penelitian-penelitian ini. Kemudian akan
dibahas juga alasan ketertarikan peneliti pada faktor-faktor psikologis yang
mempengaruhi forgiveness. Selain itu dalam bab ini dibahas juga mengenai
perumusan dan pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, dan sistematika
penulisan.
1.1 Latar Belakang
Tindak kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence) merupakan jenis
kejahatan yang kurang mendapatkan perhatian. Tindak kekerasan dalam rumah
tangga pada umumnya melibatkan pelaku dan korban diantara anggota keluarga di
dalam rumah tangga, sedangkan bentuk tindak kekerasan bisa berupa kekerasan fisik
dan kekerasan verbal (ancaman kekerasan). Pelaku dan korban tindak kekerasan
dalam rumah tangga bisa menimpa siapa saja, tidak dibatasi oleh strata, status sosial,
tingkat pendidikan, dan suku bangsa.
Di dalam undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga dikemukakan bahwa kekerasan dalam rumah tangga
penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup
rumah tangga (Hanita dkk, 2009).
Kekerasan dalam rumah tangga merupakan masalah sosial serius yang kurang
mendapat tanggapan dari masyarakat karena pertama, KDRT memiliki ruang lingkup
yang relatif tertutup (pribadi) dan dijaga ketat privacy nya karena persoalannya
terjadi dalam area keluarga. Ke dua, KDRT seringkali dianggap wajar karena
diyakini bahwa memperlakukan istri sekehendak suami merupakan hak suami
sebagai pemimpin dan kepala rumah tangga (Hasbianto, 1996). Kenyataan ini
membuat istri merasa terpojok dengan tidak memiliki tempat berkeluh kesah dan
berusaha menyimpan permasalahan dan menahan perasaan yang timbul dalam diri
karena kurangnya pemahaman dalam mengatasi masalah.
Persoalan kekerasan dalam rumah tangga adalah kasus kekerasan berbasis
gender yang paling sering dialami oleh perempuan. Data Komnas Perempuan
menyebutkan kasus kekerasan dalam rumah tangga merupakan kasus yang
menempati urutan tertinggi yang dilaporkan. Pada tahun 2009 angka kasus kekerasan
terhadap istri mencapai 17.772 kasus. Padahal pada tahun 2007 kekerasan terhadap
istri hanya 1.348 kasus.
Dalam tindakan kekerasan akan dikenal istilah korban yaitu orang yang
disakiti dan pelaku sebagai orang yang telah menyakiti. Kekerasan merupakan salah
satu bentuk dari hubungan antar dua individu, dimana individu yang satu merasa
timbul perasaan-perasaan negatif (marah, benci, ingin balas dendam) pada pelaku
kekerasan yang tak lain ialah suaminya (Komnas perempuan, 2002).
Dari perlakuan menyakiti tersebut selain dapat mengakibatkan perasaan
negatif yang muncul dapat pula selanjutnya menghadirkan sisi positif lain yaitu
kesediaan untuk melakukan forgiveness dari diri korban. Hal ini membutuhkan
proses dan waktu yang cukup lama dan mendalam. Memaafkan sendiri tidak dapat
menghilangkan perasaan sakit, namun setelah memaafkan rasa sakit itu dapat
ditahan. Setelah memaafkan, individu menyadari bahwa kemarahan dan kebencian
dapat membuat keadaan menjadi lebih buruk (Enright, 2001).
Banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga yang berujung dengan
perceraian, namun ada pula yang tetap mempertahankan rumah tangganya dan
memaafkan suami yang telah melakukan kekerasan (Hanita dkk, 2009). Sikap
forgiveness disini terlihat pada beberapa kasus yang banyak menjadi bahan
pembicaraan, sikap ini pasti memiliki alasan yang sangat kuat dengan latar belakang
tertentu dari korban, hingga memunculkan perasaan dapat melakukan forgiveness
pada pelaku.
Dalam kehidupan sehari-hari, memaafkan merupakan sesuatu hal yang
dianggap baik. Dalam Wikipedia (2010) dijelaskan bahwa forgiveness adalah proses
menyimpulkan dendam, marah atau kemarahan sebagai akibat dari perbedaan,
dianggap pelanggaran atau kesalahan, dan atau berhenti untuk menuntut hukuman
atau restitusi dan juga merupakan norma yang diajarkan dalam setiap agama dan
Namun forgiveness merupakan sesuatu yang sulit dilakukan karena harus
melibatkan dua faktor, yaitu harus menghilangkan motivasi membalas dendam dan
menghilangkan motivasi untuk menjauhi orang yang menyakiti (McCullough, 1999),
karena tidak cukup dikatakan sebagai forgiveness apabila hanya menghilangkan
perasaan negatif saja, namun juga harus mengembalikan perasaan positif terhadap
pelaku kejahatan (Worthington, 1998).
Kebanyakan hasil dari pikiran istri-istri korban kekerasan dalam rumah
tangga adalah mencoba untuk mengungkapkan forgiveness dapat menjadi suatu
pertolongan yang sangat berguna dalam membantu mereka yang telah terluka fisik
dan psikis, menyembuhkan sebuah luka hati akibat dari sakit hati yang telah
dilakukan oleh pasangannya, dan meringankan rasa sakit yang telah mereka terima
sebagai akibat dari perilaku orang lain yang telah berbuat salah kepada mereka.
Dikatakan sulit dilakukan karena hal ini menyangkut perasaan seseorang
yang sangat dalam. Maksudnya ialah ketika seseorang telah siap menyatakan
memaafkan pelaku kejahatan, maka maaf yang diberikan, seharusnya maaf secara
keseluruhan tidak hanya maaf dari sebuah perkataan saja, dan secara otomatis
ditumbuhkan perasaan untuk kembali berhubungan dan berpikiran positif mengenai
pelaku kejahatan tersebut. Akan tetapi, kenyataannya yang terjadi dalam masyarakat
dari forgiveness yang dinyatakan hanyalah sebuah perkataan saja. Hal ini juga
diperkuat dengan hasil survei yang dilakukan oleh peneliti pada tanggal 26-27
november 2010 dengan melakukan wawancara pribadi pada 20 mahasiswa fakultas
meninggalkan luka di hati, rasa kesal, kecewa, dan emosi negatif lain dalam dirinya,
bahkan kenyataan lain yang ada sangat sulit untuk melakukan forgiveness karena
dirasa beberapa permasalahan yang terjadi sudah terlalu menyakiti diri individu
tersebut.
Secara umum, manusia diharapkan dengan tulus memohon maaf atas
kesalahan mereka dan memberi maaf atas tindakan keliru yang mengena pada
mereka. Saling memaafkan merupakan salah satu bentuk tradisi hubungan antar
manusia, akan tetapi tradisi ini sering kali juga hanya merupakan ritual belaka.
Dengan kata lain, perilaku tersebut dilakukan namun tidak disertai ketulusan yang
sungguh-sungguh. Pada sisi lain, ada mitos yang mengatakan bahwa dengan
memberi maaf maka beban psikologis yang ada akan hilang. Pada kenyataannya
banyak orang yang memberi maaf kepada orang lain kemudian kecewa dengan
tindakan tersebut. Hal ini terjadi karena permintaan maaf sering tidak ditindaklanjuti
dengan perilaku yang konsisten dengan permintaan maaf tersebut.
Mc.Cullough dkk (1997) mendefinisikan forgiveness sebagai suatu perubahan
motivasi, motivasi untuk melakukan pembalasan (revenge motivation) dan motivasi
untuk menghindar (avoidance motivation). Penurunan kedua motivasi tersebut
mencegah respon yang merusak hubungannya dengan pihak yang telah menyakiti
atau melukai melainkan untuk berperilaku konstruktif terhadap pihak tersebut.
McCullough dkk (2000, dalam Synder & Lopez, 2002) menjelaskan bahwa
forgiveness merupakan peningkatan dalam motivasi prososial ke arah lain, yaitu
rendahnya dorongan untuk menyakiti atau membalas dendam (revenge motivations)
terhadap transgressor tersebut, dan meningkatnya dorongan untuk bertindak positif
(benevolence motivations) terhadap transgressor.
Worthington (1998) menyetujui pendapat yang mengatakan bahwa secara
kesehatan memaafkan memberikan keuntungan psikologis, dan memaafkan
merupakan terapi yang efektif dalam intervensi yang membebaskan seseorang dari
kemarahannya dan rasa bersalah. Selain itu, forgiveness dapat mengurangi marah,
depresi, cemas dan membantu dalam penyesuaian perkawinan. Memaafkan dalam
hubungan interpersonal yang erat juga berpengaruh terhadap kebahagian dan
kepuasan hubungan (Fincham dkk, 2001).
Penelitian ilmuwan Amerika membuktikan bahwa mereka yang mampu
memaafkan adalah lebih sehat baik jiwa maupun raga. Orang-orang yang diteliti
menyatakan bahwa penderitaan mereka berkurang setelah memaafkan orang yang
menyakiti mereka. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa orang yang belajar
memaafkan merasa lebih baik, tidak hanya secara batiniyah namun juga jasmaniah.
Banyak kajian mengenai forgiveness dan telah ditemukan pengaruh yang
positif dari forgiveness. Seperti yang dikatakan oleh Mother Teresa (Fincham, 2009)
"If we really want to love, we must learn how to forgive", lalu pernyataan dari
Reinhold Niebuhr "Memaafkan adalah bentuk keindahan tertinggi dari cinta, sebagai
balasannya Anda akan menerima kedamaian yang tak terkatakan dan kebahagiaan".
Forgiveness terjadi dilatarbelakangi oleh bermacam-macam tingkat
kelebihan dengan melakukan forgiveness. Kesadaran seperti hal-hal yang telah
dibuktikan lewat beberapa penelitian sebelumnya lebih dibutuhkan untuk mengganti
semua pengalaman negatif menjadi hal positif. Keinginan untuk melakukan
forgiveness ini dipengaruhi oleh beberapa kondisi dan faktor sebelumnya.
Menurut McCullough dkk (1998), terdapat lima aspek yang dapat
mempengaruhi forgiveness, yaitu determinan sosio-kognitif, peristiwa menyakitkan,
tipe kepribadian, dan empati. Penelitian lain dari McCullough dkk (1997)
menunjukkan bahwa forgiveness berhubungan dengan kebahagiaan psikologis,
empati, permohonan maaf dan perspective taking, atribusi dan penilaian kekejaman
orang yang menyakiti.
Secara lebih rinci terdapat beberapa faktor yang berpengaruh terhadap
forgiveness seperti yang dikemukakan oleh McCulllough dkk (1998, dalam Tri &
Faturochman, 2009) faktor-faktor tersebut ialah empati, atribusi terhadap pelaku dan
kesalahannya, tingkat kelukaan, tipe kepribadian, kualitas hubungan, religiusitas.
Faktor-faktor yang telah dijelaskan sebelumnya ialah hal-hal yang berkaitan erat
dengan proses terjadinya forgiveness.
Secara keseluruhan kepribadian mempunyai fungsi sebagai penentu sikap dan
perilaku seseorang yang dalam pembahasan kali ini yaitu forgiveness. Kepribadian
menurut Jung (dalam Feist & Feist, 2010) menjelaskan kepribadian manusia
berdasarkan tujuannya dalam kehidupan yang dipengaruhi oleh masa lalu dan masa
depan manusia. Jung menjelaskan berbagai macam struktur dari psyche, tipologi
manusia, mekanisme pergerakan energi psikis dan tahap perkembangan
kepribadiannya.
Menurut Jung (dalam Sumadi, 2006), manusia dapat digolongkan dalam dua
tipe, yaitu yang bertipe ekstravers dan manusia yang bertipe introvers. Orang yang
ekstravers dipengaruhi oleh dunia obyektif yaitu dunia di luar dirinya. Orientasi
utama tertuju keluar; pikiran, perasaan, serta tindakannya terutama ditentukan oleh
lingkungannya, baik lingkungan sosial maupun lingkungan non-sosial. Orang yang
ekstravers ini mempunyai sikap yang positif terhadap masyarakat.
Berbeda dengan orang ekstravers, orang yang introvers dipengaruhi oleh
dunia subyektif yaitu dunia di dalam dirinya sendiri. Orientasi utama tertuju ke
dalam; pikiran, perasaan, serta tindakannya terutama ditentukan oleh faktor-faktor
subyektif. Penyesuaian dengan dunia luar pada tipe introvers ini kurang baik,
sebaliknya mempunyai penyesuaian yang baik dengan dirinya sendiri.
Kajian tentang forgiveness mulai menarik untuk diteliti, beberapa pakar
psikologi pun telah turut serta mengkaji mengenai forgiveness secara ilmiah, banyak
hal yang telah diteliti baik mengenai tipe kepribadian, kualitas hubungan, kesehatan
psikis, religiusitas, dan lain sebagainya.
Pemaparan di atas mengenai tipe kepribadian juga didukung oleh penelitian
terdahulu yang dilakukan oleh Wang (2008). Ia telah melihat hubungan antara tipe
kepribadian dan forgiveness. Akan tetapi tipe kepribadian yang diteliti di sini
mengenai tipe kepribadian big five dengan forgiveness dalam dua jurnal penelitian,
yang hasilnya pertama menyatakan bahwa antara kepribadian tipe big five dengan
negatif pada neuroticism, dan tidak terdapat signifikansi pada consciousness,
extraversion, dan openness. Maka diketahui bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara tipe kepribadian big five dengan forgiveness.
Dari penelitian Wang dapat disimpulkan bahwa terdapat keterkaitan antara
kepribadian seseorang dengan forgiveness. Tipe kepribadian yang dikemukakan yaitu
tipe kepribadian big five, kemudian dari pembahasan mengenai forgiveness
didapatkan bahwa kepribadian sendiri termasuk ke dalam faktor-faktor yang
mempengaruhi forgiveness pada individu. Karena pada dasarnya tipe kepribadian
yang dimiliki setiap individu berbeda-beda dan memiliki pengaruh terhadap
forgiveness.
Menurut McCullough dkk (2001b, dalam Tri & Faturrochman, 2009) tipe
kepribadian tertentu seperti ekstravert menggambarkan beberapa karakter seperti
bersifat sosial, keterbukaan ekspresi, dan asertif. Karakter yang hangat, kooperatif,
tidak mementingkan diri, menyenangkan, jujur, dermawan, sopan dan fleksibel juga
cenderung menjadi empatik dan bersahabat. Karakter lain yang diduga berperan
adalah cerdas, analitis, imajinatif, kreatif, bersahaja, dan sopan. Berdasarkan ciri
tersebut dapat dikatakan individu dengan tipe kepribadian ini memiliki tingkat emosi
yang lebih stabil atau memungkinkan untuk melakukan forgiveness. Dapat diduga
bahwa terdapat hubungan antara kepribadian, tepatnya tipe kepribadian ekstravert
dengan forgiveness.
Penelitian lainnya yaitu penelitian yang mencari tahu mengenai hubungan
menikah dalam masa pernikahan 1 hingga 5 tahun. Diketahui dari hasil penelitian
tersebut terdapat hubungan yang erat antara trait kepribadian yaitu trait extraversion,
agreeableness, dan openess dengan forgiveness pada pasangan yang menikah (dalam
Arthasari, 2010).
Penelitian lainnya yang berhubungan dengan tipe kepribadian big five factors
yaitu yang dilakukan oleh McCullough (1998) menyatakan bahwa kecenderungan
seseorang untuk melakukan forgiveness memiliki korelasi yang cukup erat dengan
dua buah dimensi big five, yaitu neuroticism dan agreeableness, dimana orang-orang
agreeableness (ramah, memiliki kepribadian yang selalu mengalah, menghindari
konflik) memiliki tingkat emosi yang lebih stabil, lebih cenderung mudah
memaafkan perbuatan menyakitkan yang pernah dilakukan orang lain terhadap
mereka. Bagi orang-orang yang memiliki kepribadian neuroticism (mudah
mengalami kecemasan, rasa marah, depresi, dan memiliki kecenderungan
emotionally reactive), lebih cenderung sulit memaafkan perbuatan menyakitkan
yang pernah dilakukan orang lain terhadap mereka.
Dikarenakan banyaknya penelitian mengenai tipe kepribadian big five factors
yang telah dilakukan terhadap forgiveness dan dirasa masih sedikit penelitian
mengenai tipe kepribadian ekstrovert dan introvert, serta didukung pendapat dari
McCullough mengenai hubungan tipe kepribadian ekstravert dengan forgiveness,
maka berdasarkan hal tersebut peneliti berniat mengangkat tipe kepribadian yang
Faktor kedua yang mempengaruhi forgiveness ialah kualitas hubungan.
Menurut McCullough dkk (1998), kualitas hubungan menjadi faktor kuat yang
mempengaruhi terjadinya proses forgiveness, karena individu yang memaafkan
kesalahan pihak lain (pasangan) dapat dilandasi oleh komitmen yang tinggi pada
relasi mereka. Di dalamnya terdapat beberapa alasan yang menjadi pemicu bahwa
kualitas hubungan berpengaruh terhadap perilaku memaafkan (forgiveness) dalam
hubungan interpersonal.
Dalam kualitas hubungan, kedekatan antara korban dan pelaku kekerasan,
kadar penderitaan yang dipersepsikan subjek dan keinginan untuk berhubungan baik
kembali mempengaruhi seseorang untuk memaafkan (McCullough dkk., 1998).
Penelitian terdahulu lain yang mendukung kualitas hubungan dengan
forgiveness dikemukakan oleh Fincham (2000) bahwa terdapat banyak faktor yang
mempengaruhi individu dalam bersikap memaafkan terhadap individu lain. Hal ini
biasanya terjadi dikarenakan kualitas hubungan yang dekat antara individu satu
dengan individu lainnya. Dikarenakan kedekatan hubungan antara kedua individu
tersebut, maka dapat memunculkan forgiveness dari dirinya. Di dalam jurnal ini
dijelaskan bahwa individu yang memiliki hubungan kedekatan dengan orang yang
bermasalah dengannya, akan memiliki tingkat forgiveness yang lebih baik atau lebih
tinggi dibandingkan dengan yang kualitas hubungannya tidak dekat.
Dalam penelitian lainnya mengenai kualitas hubungan suami dan istri
dikatakan oleh Fincham dkk (2009) yang memperlihatkan bahwa dengan melakukan
kesejahteraan suatu hubungan. Hal ini diperkuat oleh kenyataan yaitu rata-rata suami
istri yang mementingkan, mencoba, dan menyetujui forgiveness terjadi pada usia
yang pernikahannya lebih lama, dan dengan melakukan forgiveness pernikahannya
lebih berumur panjang, serta dirasa memuaskan.
Faktor lainnya yang mempengaruhi forgiveness yaitu religiusitas. Religiusitas
menurut Glock & Stark (1974) adalah apa yang diyakini seseorang sebagai
kebenaran religius, apa yang seseorang lakukan sebagai bagian pengamalan
keyakinan, melibatkan emosi atau pengalaman sadar dalam agama yang dianut, yang
diketahui tentang keyakinan, dan bagaimana tingkah laku sehari-hari dipengaruhi
agama. Di dalam religiusitas terdapat beberapa dimensi yang akan diteliti juga dalam
penelitian ini, yaitu dimensi-dimensi menurut Glock & Stark, terdiri dari lima macam
yaitu dimensi keyakinan, praktek agama, pengalaman, pengetahuan, dan
konsekuensi.
Dalam salah satu penelitian yang pernah dilakukan oleh Gorsuch dan Hao
(1993, dalam Batson dkk., 2006) menyimpulkan dalam penelitiannya yang berjudul
Forgiveness: An exploratory factor analysis and its relationships to religious
variables, bahwa "Semakin tinggi tingkat religiusitas seseorang, maka semakin
tinggi pula tingkat forgiveness terhadap orang lain"
Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Rusdi (2009) ditemukan bahwa
terdapat hubungan yang signifikan antara religiusitas dengan forgiveness pada
mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah Dirasat Islamiyah Al-Hikmah Jakarta.
secara tidak langsung dipengaruhi oleh konsep forgiveness dalam agama Islam,
seperti anjuran forgiveness dalam al-qur'an seperti dalam surat Al-Anfaal ayat 7,
An-Nur ayat 162, Ali Imran ayat 134, serta ayat-ayat lain di dalam al-qur'an yang
menganjurkan untuk forgiveness.
Agama sendiri dalam Wikipedia (2008) tidak hanya Islam, ada banyak agama
lain dan semua agama berbeda-beda dalam mengajarkan mengenai forgiveness, baik
agama Kristen, Yahudi, Hindu, Budha , dan begitu pula pada agama Katolik.
Selain itu Edward (2002, dalam Batson dkk., 2006) menemukan bahwa
terdapat korelasi positif antara konstrak keyakinan (faith) dengan forgiveness, maka
apabila seorang individu memiliki suatu keyakinan dalam beragama yang kuat, maka
kesediaan untuk memaafkan akan berpeluang lebih besar dari yang tidak memiliki
keyakinan kuat.
Kanz (2000, dalam Horn) menyimpulkan bahwa religiusitas merupakan salah
satu variabel yang memiliki korelasi dengan penerimaan untuk forgiveness. Maka
dari teori dan hasil penelitian yang ada menunjukkan terdapat kaitan antara religi dan
keinginan melakukan forgiveness.
Dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa forgiveness merupakan salah
satu cara yang dipilih agar seseorang yang disakiti dapat menyembuhkan luka hati
akibat perbuatan yang dilakukan oleh pelaku. Cara yang ditempuh adalah dengan
menurunkan perasaan-perasaan negatif yang muncul dan meningkatkan motivasi
Maka diketahui dari beberapa penelian dalam terjadinya forgiveness terdapat
bermacam-macam faktor yang mempengaruhi berlangsungnya dan bersedianya
seseorang melakukan hal tersebut. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, peneliti
ingin mengetahui dan merasa tertarik melakukan penelitian dengan judul
"Faktor-Faktor Psikologis Yang Mempengaruhi Forgiveness Pada Istri Korban
1.2 Pembatasan Masalah
Untuk menghindari kesimpangsiuran persepsi dan lebih terarahnya pembahasan,
maka penulis membatasi masalah yang akan diteliti yaitu sebagai berikut :
1. Forgiveness merupakan proses perubahan dorongan ke arah perilaku dari diri
individu terhadap pelaku. Pada penelitian ini forgiveness yang dimaksud adalah
peningkatan dalam motivasi prososial ke arah lain, yaitu rendahnya dorongan
untuk menghindari (avoidance motivations) pelaku, rendahnya dorongan untuk
menyakiti atau membalas dendam (revenge motivations) terhadap pelaku, dan
meningkatnya dorongan untuk bertindak positif atau membina hubungan
kembali (benevolence motivations) terhadap pelaku.
2. Tipe kepribadian yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tipe kepribadian
tipologi Jung yaitu tipe kepribadian extrovert dan introvert.
3. Kualitas hubungan merupakan keadaan seberapa baik atau buruk interaksi pada
suatu hubungan. Pada penelitian ini kualitas hubungan yang dimaksud adalah
tingkat baik buruknya kesinambungan interaksi antara dua orang atau lebih yang
mendalam bertujuan memudahkan proses dalam suatu hubungan antara satu
dengan yang lain.
4. Religiusitas merupakan perwujudan individu penganut agama. Pada penelitian ini religiusitas yang dimaksud adalah sistem simbol, sistem keyakinan, sistem nilai dan sistem perilaku yang terlembagakan dan semuanya berpusat pada persoalan yang dihayati sebagai yang paling maknawi (ultimate meaning). Terdapat beberapa dimensi religiusitas, dan dalam penelitian ini religiusitas yang diukur adalah
praktek agama, pengalaman keagamaan, pengetahuan keagamaan, dan pengamalan keagamaan.
5. Sampel dalam penelitian ini adalah wanita yaitu istri korban kekerasan dalam
rumah tangga (KDRT) di bawah perlindungan LBH APIK yang berusia 20-60
tahun, status menikah dengan usia pernikahan 1-30 tahun.
1.3 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, muncul beberapa masalah yang dapat
diidentifikasikan yaitu:
1. Apakah ada pengaruh yang signifikan tipe kepribadian, kualitas hubungan,
religiusitas, dan usia pernikahan terhadap forgiveness pada istri korban
kekerasan rumah tangga?
2. Variabel manakah yang paling berpengaruh terhadap forgiveness pada istri
korban kekerasan dalam rumah tangga?
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Secara pokok dan prinsip tujuan penelitian ini adalah menjawab pertanyaan
penelitian yang telah peneliti rumuskan di atas. Oleh karenanya tujuan dan manfaat
1.4.1 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui apakah ada pengaruh tipe kepribadian
ekstrovert-introvert, kualitas hubungan, religiusitas, dan usia pernikahan terhadap
forgiveness pada istri korban kekerasan dalam rumah tangga.
2. Melihat variabel mana yang paling besar mempengaruhi forgiveness pada
istri korban kekerasan dalam rumah tangga.
1.4.2 Manfaat Penelitian
1. Diharapkan penelitian ini secara teoritis dapat menambahkan hasil-hasil
penelitian kualitas hubungan dan religiusitas dimensi konsekuensi terhadap
forgiveness pada korban kekerasan dalam rumah tangga.
2. Diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis,
seperti: mendorong minat teman-teman lainnya yang berkecimpung di
bidang psikologi untuk melakukan penelitian yang berkaitan dengan
forgiveness, dan membantu seseorang dalam konseling pernikahan, psikiater
pernikahan, dan menemukan problem solving pada pasangan yang menikah,
mengingat hal tersebut masih sangat baru sehingga masih banyak hal yang
dapat digali mengenai faktor-faktor yang dapat mempengaruhi forgiveness.
1.5 Sistematika Penulisan
Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai isi dan materi yang
dibahas dalam skripsi ini, maka penulis mengemukakannya dengan sistematika
penulisan sebagai berikut:
Pada bab ini penulis menguraikan tentang latar belakang,
permasalahan-permasalahan penelitian, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan serta manfaat
penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab 2. Landasan Teori
Pada bab ini berisi teori-teori yang berhubungan dengan permasalahan penelitian,
yakni teori tentang tipe kepribadian, teori kualitas hubungan dengan pelaku, teori
religiusitas, teori forgivenes, dan kerangka berpikir.
Bab 3. Metode Penelitian
Pada bab ini berisi penguraian mengenai, variabel penelitian, populasi dan sampel
penelitian, tekhnik pengambilan dan sampel, desain penelitian, instrumen penelitian,
tekhnik pengambilan data dan tekhnik analisis data yang digunakan dalam penelitian
ini.
Bab 4. Analisis Hasil Penelitian
Pada bab ini peneliti akan membahas mengenai gambaran subjek penelitian,
deskripsi data dan hasil uji hipotesis.
Bab 5. Kesimpulan, Diskusi, dan Saran
Pada bab ini, peneliti akan merangkum keseluruhan isi penelitian dan meyimpulkan
BAB 2
LANDASAN TEORI
Dalam bab dua ini, akan dibahas semua teori yang dapat menjelaskan masing-masing
variabel penelitian. Terlebih dahulu teori yang akan dibahas adalah mengenai
teori-teori yang berkenaan dengan forgiveness yang dimulai dengan definisi, hingga
teori-teori yang dibahas dari beberapa tokoh yang berbeda. Setelah itu peneliti akan
membahas faktor-faktor psikologis yang dianggap sebagai faktor-faktor yang
mempengaruhi forgiveness pada korban kekerasan dalam rumah tangga.
2.1. Forgiveness
2.1.1 Definisi forgiveness
Forgiveness adalah kesediaan menanggalkan kesalahan yang diakukan oleh
seseorang yang telah menyakiti hati atau melakukan suatu perbuatan salah pada
individu lain (Braumesiter & Exline, dalam McCullough dkk., 2003).
Forgiveness merupakan sikap seseorang yang telah disakiti untuk tidak
melakukan perbuatan balas dendam terhadap orang yang menyakiti, tidak adanya
keinginan untuk menjauhi pelaku. Sebaliknya ada keinginan adanya keinginan untuk
berdamai dan berbuat baik terhadap orang yang menyakiti, walaupun orang yang
telah menyakiti telah berbuat yang menyakitkan terhadap kita. (McCullough, 1997,
dalam McCullough dkk., 2003).
(revenge motivation) dan motivasi untuk menghindar (avoidance motivation).
Penurunan kedua motivasi tersebut mencegah respon yang merusak hubungannya
dengan pihak yang telah menyakiti atau melukai melainkan untuk berperilaku
konstruktif terhadap pihak tersebut.
Selain itu, McCullough dkk (2000, dalam Synder & Lopez, 2002)
menjelaskan bahwa forgiveness adalah proses perubahan tiga dorongan dalam diri
individu terhadap pelaku. Dikatakan bahwa forgiveness merupakan peningkatan
dalam motivasi prososial ke arah lain, yaitu rendahnya dorongan untuk menghindari
(avoidance motivations) pelaku, rendahnya dorongan untuk menyakiti atau
membalas dendam (revenge motivations) terhadap pelaku, dan meningkatnya
dorongan untuk bertindak positif atau membina hubungan kembali (benevolence
motivations) terhadap pelaku.
Kemudian, Enright (dalam McCullough dkk., 2003) mendefinisikan
forgiveness sebagai sikap untuk mengatasi hal- hal yang negatif dan penghakiman
terhadap orang yang telah menyakiti dengan tidak menyangkal rasa sakit itu sendiri
tetapi dengan rasa kasihan, iba dan cinta kepada pihak yang menyakiti.
Berdasarkan definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa forgiveness
adalah peningkatan dorongan dari arah yang negatuntuk berperilaku ke arah yang
lebih baik, yang ditandai dengan rendahnya dorongan seseorang untuk menghindar,
untuk membalas dendam, dan bertambahnya dorongan dari diri untuk membina
2.1.2 Dimensi yang mendasari forgiveness
Dimensi forgiveness yang dikemukakan merupakan penjelasan lebih jauh
mengenai definisi McCullough dkk (2000, dalam Synder & Lopez, 2002).
Forgiveness merupakan proses perubahan tiga dorongan dalam diri individu terhadap
transgressor. Tiga dorongan tersebut adalah avoidance motivations, revenge
motivations, dan benevolence motivations, yang selanjutnya juga menjadi dimensi
forgiveness. Penjelasan dari ke tiga dimensi yang mendasari forgiveness ialah
sebagai berikut:
1) Avoidance motivations
Ditandai dengan individu yang menghindar atau menarik diri (withdrawal) dari
pelaku.
2) Revenge motivations
Ditandai dengan dorongan individu untuk membalas perbuatan pelaku yang
ditujukan kepadanya. Dalam kondisi ini, individu tersebut marah dan
berkeinginan untuk membalas dendam terhadap pelaku. Ketika individu dilukai
oleh individu lain (pelaku), maka yang terjadi dalam dirinya adalah peningkatan
dorongan untuk menghindar (avoidance) dan membalas dendam (revenge).
3) Benevolence motivations
Ditandai dengan dorongan untuk berbuat baik terhadap pelaku. Dengan adanya
kehadiran benevolence, berarti juga menghilangkan kehadiran dua dimensi
sebelumnya. Oleh karena itu, individu yang memaafkan, memiliki benevolence
motivations yang tingi, namun di sisi lain memiliki avoidance dan revenge
Selain dari tiga aspek dimensi yang telah dijelaskan di atas, terdapat
pendapat lain mengenai dimensi yang mendasari forgivenes. Dua aspek yang selalu
hadir dalam setiap definisi forgiveness, yaitu berkurangnya keinginan untuk
menghindari pelaku yang telah menyakiti korban dan berkurangnya keinginan untuk
membalas dendam. Menurut McCullough dkk (1998), terdapat dua aspek sistem
motivasional yang menentukan respons seseorang ketika mengalami transgresi
interpersonal, yaitu perasaan disakiti (feeling of hurts) dan amarah. Perasaan disakiti
merupakan persepsi dan transgresi yang memotivasi seseorang untuk menghindari
orang yang melakukan transgresi tersebut, baik secara fisik maupun psikologis
sedangkan amarah merupakan emosi yang menyebabkan seseorang ingin membalas
dendam.
Ketika individu menyatakan bahwa tidak dapat memaafkan orang lain atas
suatu peristiwa atau tindakan yang menyakitkan, persepsinya terhadap peristiwa atau
tindakan tersebut akan menstimulasi kedua aspek tadi ke arah destruksi hubungan
yang dijalani bersama pasangannya tersebut, yaitu dengan adanya motivasi yang
tinggi untuk menghindar dan motivasi yang tinggi untuk membalas dendam atau
melihat orang yang menyakitinya tadi memperoleh petaka (McCullough dkk, 1998).
Sebaliknya ketika individu tersebut menunjukan indikasi telah memaafkan orang
lain, persepsi akan orang tersebut beserta tindakan atau peristiwa yang menyakitkan
yang telah dilakukan oleh pasangannya tersebut tidak lagi menciptakan motivasi
untuk menghindar maupun membalas dendam, sehingga orang yang memaafkan tadi
1. Penghindaran (avoidance)
Worthington (1998) menganalogikan transgresi dengan pengkondisian klasik
(classical conditioning) terhadap seorang tikus dalam penelitian eksperimental.
Dalam eksperimen, tikus tersebut membuat sebuah nada (stimulus terkondisi).
Tikus tadi akan mengasosiakan nada dengan sengatan listrik. Asosiasi tersebut
dapat terjadi dalam beberapa kali percobaan jika sengatan listrik relatif lembut.
Dibandingkan dengan individu yang mengalami transgresi dan belum dapat
memaafkan. Pertama, individu tersebut mengalami luka, baik yang disebabkan
oleh kritik, kebohongan, ketidaksetiaan, dan sebagainya. Luka ini sebagai
stimulus yang tak terkondisi, sedangkan pelaku (dalam penelitian ini berarti
pasangan) berperan sebagai stimulus tak terkondisi. Setelah mengalami
transgresi, individu tetap bertemu dengan trangresor. Pertemuan dengan pelaku
akan membuat cemas, serupa dengan reaksi tikus yang menciutkan tubuh dan
mengejang. Setelah itu ia akan berusaha untuk menghindari pelaku. Jika
penghindaran pelaku tidak mungkin untuk dilakukan maka kemarahan,
pembalasan, dan konfrontasi dilancarkan. Apabila kemarahan, pembalasan dan
konfrontasi tersebut merupakan hal yang dianggapnya tidak rasional,
destruktif, atau tidak berguna, individu tadi akan menunjukan tingkah laku
yang serupa dengan tingkah laku submisif yang ditunjukan tikus, yaitu depresi,
yang menunjukan bahwa ia berada dalam posisi yang lemah dan membutuhkan
2. Pembalasan (revenge)
Ketika penghindaran sudah tidak lagi efektif, seorang individu dapat
menyimpan dendam yang ada, kemudian membalaskannya. Terdapat beberapa
alasan yang mendasari keputusan seseorang untuk membalas dendam, yaitu
diperolehnya keuntungan praktis maupun materi, mencegah terjadinya
persitiwa yang menyakitkan, menghayati konsekuensi dari luka yang
berlangsung dalam jangka waktu yang lama, mempertahankan harga diri, dan
mempertahankan prinsip moral.
Alasan utama yang menyebabkan seseorang untuk memutuskan balas dendam
kepada orang yang telah menyakitinya adalah dapat diperolehnya keuntungan
praktis maupun material dari orang tersebut. Ketika seseorang menyakiti orang
lain, seakan-akan berhutang terhadap orang yang disakitinya itu. Memaafkan
berarti meniadakan hutang tersebut, dan dapat dilakukan jika pihak yang
menyakiti telah menampilkan tingkah laku yang menguntungkan pihak yang
telah disakitinya. Penghilangan hutang juga dapat dilakukan dengan melakukan
balas dendam. Pembalasan dendam dapat mendatangkan kepuasan atas
dicapainya “keadilan” dan keimbangan.
Disimpannya dendam merupakan “alat” untuk mencegah berulangnya luka.
Peristiwa menyakitkan yang pernah terjadi akan lebih mudah terulang.
Kemungkinan untuk kembali terluka dimasa depan akan dipertimbangkan
seseorang, apapun yang dirasakannya ketika dilukai, sehingga individu tersebut
akan bertanya-tanya, “apakah orang yang menyakiti saya ini akan mengulangi
yang menyakitkan. Dengan memutuskan untuk tidak memaafkan, seseorang
dapat berharap untuk mempengaruhi pihak yang menyakitinya agar tidak
mengulangi lagi perbuatan yang telah melukainya. Tidak memaafkan juga
dapat membuat pihak yang telah menyakiti seseorang terus teringat akan
perbuatannya. Memaafkan tidak memungkinkan seseorang untuk membuat
pihak yang telah menyakitinya terus teringat akan perbuatannya, sebab ketika
pemaafan telah terjadi, peristiwa yang menyakitkan tersebut tidak
diungkit-ungkit kembali, dan tidak ada pula rasa bersalah yang dapat diinduksikan
kepada pihak yang telah menyakiti, sehingga dengan memaafkan kontrol
terhadap tingkah lakunya di masa yang akan datang tidak dapat dilakukan.
Dendam juga akan disimpan jika konsekuensi dari luka yang ditorehkan oleh
pihak yang menyakiti ternyata berlangsung untuk jangka waktu yang panjang.
Pemaafan akan sulit timbul jika konsekuensi dari peristiwa menyakitkan yang
dialami berlangsung hingga masa depan.
Alasan lain disimpannya dendam adalah untuk menjaga harga diri pihak yang
disakiti (Baumister et al, 1998). Banyak peristiwa menyakitkan yang dapat
mengancam harga diri, sehingga pihak yang menjadi korban dalam peristiwa
tersebut menganggap bahwa memaafkan dapat menyebabkan mereka
kehilangan harga diri. Ketidakinginan akan kehilangan harga diri tersebut
membuat individu merasa ingin atau butuh mempertahankan citra bahwa
memiliki kekuatan.
Dari beberapa dimensi yang di paparkan di atas, peneliti akan menggunakan
motivations, revenge motivations, dan benevolence motivations. Peneliti
menggunakan dimensi tersebut dikarenakan sesuai dengan definisi yang digunakan
dan sesuai dengan skala yang ditemukan dan digunakan.
2.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi forgiveness
Berikut ini dijelaskan secara lebih rinci beberapa faktor yang berpengaruh
terhadap forgiveness yang dikemukakan oleh McCullough dkk (1998, dalam Tri &
Faturrochman, 2009) yaitu:
(1) Empati
Empati adalah kemampuan seseorang untuk ikut merasakan perasaan atau
pengalaman orang lain. Kemampuan untuk empati ini erat kaitannya dengan
pengambilalihan peran. Melalui empati terhadap pihak yang menyakiti,
seseorang dapat memahami perasaan pihak yang menyakiti merasa bersalah
dan tertekan akibat perilaku yang menyakitkan. Dengan alasan itulah
beberapa penelitian menunjukkan bahwa empati berpengaruh terhadap proses
pemaafan. Empati juga menjelaskan variabel sosial psikologis yang
mempengaruhi pemberian maaf yaitu permintaan maaf (apologies) dari pihak
yang menyakiti. Ketika pelaku meminta maaf kepada pihak yang disakiti
maka hal itu bisa membuat korban lebih berempati dan kemudian termotivasi
untuk memaafkannya.
(2) Karakteristik serangan
Faktor ini berkaitan dengan persepsi dari kadar penderitaan yang dialami oleh
orang yang disakiti serta konsekuensi yang menyertainya. Seseorang akan
bermakna dalam hidupnya. Misalnya, seseorang akan sulit untuk memaafkan
perilaku perselingkuhan yang dilakukan suaminya dibandingkan memaafkan
perilaku orang lain yang tiba-tiba menyelinap antrian. Girard dkk (dalam Tri
& Faturrochman, 2009) menyebutkan bahwa semakin penting dan bermakna
suatu kejadian, maka akan semakin sulit bagi seseorang untuk memaafkan.
(3) Tipe kepribadian
Ciri dari tipe kepribadian tententu seperti ekstravert menggambarkan
beberapa karakter seperti bersifat sosial, keterbukaan ekspresi, dan asertif.
Karakter yang hangat, kooperatif, tidak mementingkan diri, menyenangkan,
jujur, dermawan, sopan dan fleksibel juga cenderung menjadi empatik dan
bersahabat. Karakter lain yang diduga berperan adalah dalam forgiveness
cerdas, analitis, imajinatif, kreatif, bersahaja, dan sopan. Ciri-ciri tersebut
memiliki kecenderungan invidu yang memiliki tipe kepribadian ekstravert
cenderung dapat melakukan forgiveness terhadap pelaku yang menyakiti.
(4) Kualitas hubungan dengan pelaku
Berdasarkan penelitian yang ada, Nelson dkk (dalam Worthington dkk, 1998)
menemukan bahwa korban cenderung memaafkan apabila hubungan antara
korban dan pelaku sebelum peristiwa menyakitkan terjadi, terdapat kepuasan,
komitmen dalam hubungan tersebut.
Seseorang yang memaafkan kesalahan pihak lain dapat dilandasi oleh
komitmen yang tinggi pada relasi mereka. Ada empat alasan mengapa
kualitas hubungan berpengaruh terhadap perilaku memaafkan dalam
dasarnya mempunyai motivasi yang tinggi untuk menjaga hubungan. Kedua,
dalam hubungan yang erat ada orientasi jangka panjang dalam menlain
hubungan di antara mereka. Ketiga, dalam kualitas hubungan yang tinggi
kepentingan satu orang dan kepentingan pasangannya menyatu. Keempat,
kualitas hubungan mempunyai orientasi kolektivitas yang menginginkan
pihak-pihak yang terlibat untuk berperilaku yang memberikan keuntungan di
antara mereka (McCullough dkk., 1998).
(5) Religiusitas
Studi yang menunjukkan bahwa nilai dan praktek keagamaan berhubungan
positif dengan sikap yang mendukung tindakan memaafkan (Gorsuch &
Hao,1993). Studi lain yang dilakukan Wuthnow (2009) menunjukkan bahwa
kegiatan kelompok agama yang bersifat tradisional seperti sharing dan doa
bersama, terbukti membantu individu memaafkan orang lain.
2.1.5 Pengukuran forgiveness
Dari hasil membaca literatur tentang penelitian-penelitian mengenai
forgiveness, peneliti memperoleh beberapa instrument untuk mengukur
forgiveness, diantaranya yaitu:
1. Marital Offence-Specific Forgiveness Scale (MOFS)
2. Transgression-Related Interpersonal Motivation Scale (TRIM)
3. The Heartland Forgiveness Scale (HFC)
Adapun penjelasan mengenai instrument-instrument tersebut adalah sebagai
dari 10 item. Item-item dalam alat ukur ini sesuai dengan dua komponen forgiveness
yaitu, resentment-avoidance dan benevolence. Kedua,
Transgression-Related Interpersonal Motivation scale (TRIM). TRIM terdiri dari 12
item. Alat tes ini mengukur tingkat forgiveness berdasarkan dua sub skala yakni
rendahnya tingkat menghindari pelaku (avoidance) dan rendahnya tingkat membalas
(revenge). Ketiga, The Heartland Forgiveness Scale (HFC). Tediri dari 18 item.
Alat tes ini membahas mengenai laporan diri yang mengukur forgiveness
disposisional seseorang (yaitu, kecenderungan umum untuk memaafkan).
Maka dari beberapa alat ukur yang dikemukakan, peneliti menggunakan alat
ukur Marital Offence-Specific Forgiveness Scale (MOFS). Dikarenakan sesuai
dengan kajian teori yang digunakan.
2.2 Kepribadian
2.2.1 Definisi kepribadian
Menurut Pervin dan John (2005) kepribadian mewakili karakteristik individu
yang terdiri dari pola-pola pikiran, perasaan dan perilaku yang konsisten. Definisi
tersebut memiliki arti yang cukup luas yang membolehkan kita untuk fokus pada
banyak aspek yang berbeda pada setiap orang. Pada waktu yang bersamaan, hal
tersebut menganjurkan kita untuk konsisten pada pola tingkah laku dan kualitas
Menurut Koentjaraningrat kepribadian adalah susunan unsur-unsur akal dan
jiwa yang menentukan perbedaan tingkah laku atau tindakan dari tiap-tiap individu
(http://www.e-dukasi.net).
Freud (dalam Feist, 2010) pada teori kepribadian adalah eksplorasinya ke
dalam dunia tidak sadar dan keyakinan bahwa manusia termotivasi oleh
dorongan-dorongan utama yang belum atau tidak mereka sadari. Freud mengidentifikasikan
tiga angkatan dalam kehidupan mental, yaitu alam tidak sadar, alam bawah sadar,
dan kesadaran. Maka, kepribadian merupakan integrasi dari id, ego, dan superego
(Chaplin, 1999).
Kepribadian menurut Allport (dalam Sumadi, 2006) merupakan organisasi
dinamis dalam individu sebagai sistem psikofisis yang menentukan caranya yang
khas dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan.
Berbeda dengan yang lainnya, Jung tidak berbicara tentang kepribadian
melainkan tentang Psyche. Menurut Jung (dalam Sumadi, 2006) psyche adalah
totalitas segala peristiwa psikis baik yang disadari maupun yang tidak disadari.
Kepribadian yang dijelaskan oleh Jung dalam bentuk psyche adalah integrasi dari
ego, ketidaksadaran pribadi, dan ketidaksadaran kolektif, kompleks-kompleks,
arkhetip-arkhetip (archetypes), persona, dan anima (Chaplin, 1999).
Maka kepribadian adalah mengenai berbagai hal atau segala aktivitas dari
individu, yang mewakili atau memperlihatkan karakteristik asli dari individu baik
2.2.2 Stuktur kepribadian
Menurut Jung (dalam Sumadi, 2006) jiwa manusia terdiri dari dua alam,
yaitu:
a. Alam sadar (kesadaran) yang berfungsi sebagai penyesuaian terhadap
dunia luar
b. Alam tak sadar (ketidaksadaran) yang berfungsi sebagai penyesuaian
terhadap dunia dalam.
1) Struktur kesadaran
Kesadaran mempunyai dua komponen pokok, yaitu fungsi jiwa dan sikap
jiwa, yang masing-masing mempunyai peranan penting dalam orientasi manusia
dalam dunianya.
a. Fungsi jiwa
Suatu bentuk aktivitas kejiwaan yang secara teori tiada berubah dalam
lingkungan yang berbeda-beda
b. Sikap jiwa
Arah daripada energi psikis umum atau libido yang menjelma dalam
bentuk orientasi manusia terhadap dunianya
c. Tipologi jung
Tabel 2.1
Tipologi Jung
(Sumber: Sumadi, 2006)
Sikap
Jiwa
Fungsi Jiwa Tipe Ketidaksadarannya
Ekstravers Pikiran Pemikir ekstravers Perasa introvers
Perasaan Perasa ekstravers Pemikir introvers
Pendriaan Pendria ekstravers Intuitif introvers
Intuisi Intuitif ekstravers Pendria introvers
Introvers Pikiran Pemikir introvers Perasa ekstravers
Perasaan Perasa introvers Pemikir ekstravers
Pendriaan Pendria ekstravers Intuitif ekstravers
Intuisi Intuitif introvers Pendria ekstravers
(1) Introversi adalah aliran energi psikis ke arah dalam yang memiliki
orientasi subjektif. Introver memiliki pemahaman yang baik terhadap dunia
dalam diri mereka, dengan semua bias, fantasi, mimpi, dan persepsi yang
bersifat individu. Orang-orang ini akan menerima dunia luar dengan sangat
selektif dan dengan pandangan subjektif mereka, Jung, (dalam Feist, 2010).
Orang yang introvers dipengaruhi oleh dunia subyektif yaitu dunia di dalam
tindakannya terutama ditentukan oleh faktor-faktor subyektif. Penyesuaian
dengan dunia luar pada tipe introvers ini kurang baik, sebaliknya mempunyai
penyesuaian yang baik dengan dirinya sendiri.
(2) Ekstraversi adalah sebuah sikap yang menjelaskan aliran psikis ke arah
luar sehingga orang yang bersangkutan akan memiliki orientasi objektif dan
menjauh dari subjektif. Ektrover akan lebih mudah untuk dipengaruhi oleh
sekelilingnya dibanding oleh kondisi dirinya sendiri. Mereka cenderung
untuk berfokus pada sikap objektif dan menekan sisi subjektifnya (dalam
Feist & Feist, 2010).
Orang yang ekstravers dipengaruhi oleh dunia obyektif yaitu dunia di luar
dirinya. Orientasi utama tertuju keluar; pikiran, perasaan, serta tindakannya
terutama ditentukan oleh lingkungannya, baik lingkungan sosial maupun
lingkungan non-sosial. Orang yang ekstravers ini mempunyai sikap yang
positif terhadap masyarakat.
(3) Pikiran (thinking)
Aktivitas intelektual logika dapat memproduksi serangkaian ide yang disebut
dengan berpikir (thinking). Orang-orang yang memiliki karakteristik berpikir
extrovert sangat bergantung pada pemikiran yang nyata, tetapi mereka juga
menggunakan ide abstrak jika ide tersebut dapat ditransmisikan kepada
mereka secara langsung. Orang-orang yang memiliki karakteristik berpikir
terhadap suatu kejadian lebih diwarnai oleh pemaknaan internal yang mereka
bawa dalam dirinya sendiri dibanding dengan fakta objektif yang ada.
(4) Perasaan (feeling)
Jung menggunakan kata perasaan (feeling) untuk mendeskripsikan proses
evaluasi sebuah ide atau kejadian. Orang-orang dengan perasaan extrovert
menggunakan data objektif untuk melakukan evaluasi. Orang-orang dengan
perasaan introvert mendasarkan penilaian mereka sebagian besar pada
persepsi subjektif dibanding dengan fakta objektif.
(5) Sensasi (sensing)
Fungsi yang memungkinkan manusia untuk menerima rangsangan fisik dan
mengubahnya ke dalam bentuk kesadaran perseptual yang disebut dengan
sensasi (sensation). Orang-orang dengan sensing extrovert menerima
rangsangan eksternal secara objektif, kurang lebih sama seperti rangsangan
ini eksis dalam kenyataan. Orang-orang dengan sensing introvert biasanya
sangat dipengaruhi oleh sensasi subjektif akan penglihatan, pendengaran,
rasa, sentuhan, dan lainnya.
(6) Intuisi (intuition)
Intuisi (intuition) meliputi persepsi yang berada jauh di luar sistem kesadaran.
Orang-orang dengan intuisi extrovert selalu berorientasi pada fakta dalam
dunia eksternal. Orang-orang dengan intuisi introvert dipandu oleh persepsi
ketidaksadaran terhadap fakta yang umumnya subjektif dan memiliki sedikit