• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-faktor psikologis mempengaruhi forgivenness pada istri korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Faktor-faktor psikologis mempengaruhi forgivenness pada istri korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)"

Copied!
168
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR-FAKTOR PSIKOLOGIS YANG M EM PENGARUHI

FORGIVENESS

PADA ISTRI KORBAN KEKERASAN DALAM

RUM AH TANGGA (KDRT)

Disusun Oleh :

NURAN

107070000398

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)

FAKTOR - FAKTOR PSIKOLOGIS YANG M EM PENGARUHI FORGIVENESS PADA ISTRI KORBAN KEKERASAN DALAM RUM AH TANGGA (KDRT)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi syarat-syarat memperoleh

gelar Sarjana Psikologi

Oleh:

NURAN

107070000398

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(3)

FAKTOR - FAKTOR PSIKOLOGIS YANG MEMPENGARUHI

FORGIVENESS PADA ISTRI KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH

TANGGA (KDRT)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi syarat-syarat memperoleh gelar Sarjana Psikologi

Oleh: NURAN NIM: 107070000398

Di bawah bimbingan:

Pembimbing

Jahja Umar, Ph.D NIP: 130 885 522

FAKULTAS PSIKOLOGI

(4)

LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi yang berjudul “Faktor-Faktor Psikologis yang Mempengaruhi

Forgiveness pada Istri Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga” telah diujikan

dalam sidang munaqosyah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta pada tanggal September 2011. Skripsi ini telah diterima

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) pada

Fakultas Psikologi.

Jakarta, 11 Oktober 2011

Sidang Munaqasyah

Dekan/Ketua Pembantu Dekan/

Sekretaris Merangkap Anggota

Jahja Umar, Ph.D Dra.Fadhilah Suralaga, M.Si NIP. 130 885 522 NIP. 19561223 198303 2 001

Anggota:

(5)

PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Nuran NIM : 107070000398

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Faktor-Faktor Psikologis Yang Mempengaruhi Forgiveness pada Istri Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga” adalah benar merupakan karya saya sendiri dan tidak melakukan tindakan plagiat dalam penyusunan skripsi tersebut. Adapun kutipan-kutipan yang ada

dalam penyusunan skripsi ini telah saya cantumkan sumber pengutipannya dalam

daftar pustaka.

Saya bersedia untuk melakukan proses yang semestinya sesuai dengan

Undang-undang jika ternyata skripsi ini secara prinsip merupakan plagiat atau jiplakan dari

karya orang lain.

Demikian pernyataan ini saya buat untuk dipergunakan sebaik-baiknya.

Jakarta,11 Oktober 2011

(6)

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

M otto:

“ B el a j a r a d a l a h per j u a n ga n , per j u a n ga n a d a l a h

pen gor ba n a n , d a n p en gor ba n a n i t u a d a l a h

m en i n gga l k a n ha l -ha l y a n g m en y en a n gk a n "

( J a h j a U m a r )

P er sembahan:

(7)

ABSTRAK

A) Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta B) Oktober 2011

C) Nuran

D) Faktor-Faktor Psikologis Yang Mempengaruhi Forgiveness Pada Istri Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga

E) XV + 123 Halaman (belum termasuk lampiran)

F) Forgiveness merupakan hal yang penting dalam suatu hubungan untuk melakukan perubahan motivasi seseorang yang disakiti sehingga dapat diperbaiki demi kepentingan antar pasangan. Forgiveness adalah peningkatan dorongan ke arah yang lebih baik atau positif, yang ditandai dengan rendahnya dorongan untuk menghindar (avoidance motivations); rendahnya dorongan untuk menyakiti atau membalas dendam (revenge motivations); dan bertambahnya dorongan untuk berperilaku baik. Tingkat forgiveness dipengaruhi oleh beberapa faktor, tiga faktor yang sangat berperan penting adalah tipe kepribadian, kualitas hubungan, dan religiusitas. Tipe kepribadian yang digunakan adalah tipe kepribadian Jung yang terdiri dari ekstrovert dan introvert. Kualitas hubungan yang digunakan terdiri dari komitmen, kepercayaan, keintiman, dan kepuasan hubungan. Religiusitas yang digunakan terdiri dari keyakinan, praktek agama, pengalaman, pengetahuan, dan konsekuensi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh tipe kepribadian ekstrovert-introvert, kualitas hubungan, dan religiusitas terhadap forgiveness pada istri korban kekerasan dalam rumah tangga. Penelitian kuantitatif dengan analisis regresi berganda melibatkan sampel sebanyak 150 orang yang memenuhi kriteria (wanita berusia 20-60 tahun, status menikah, belum cerai, korban KDRT di LBH APIK).Alat ukur forgiveness yang digunakan dalam penelitian ini adalah hasil adaptasi dari alat ukur Measuring Offence-Spesific Forgiveness Scale (MOFS), sedangkan alat ukur tipe kepribadian ekstrovert-introvert yang digunakan adalah adaptasi dari alat ukur Myers Brigss Type Indicator (MBTI), kemudian untuk alat ukur kualitas hubungan yang digunakan berupa skala yang disusun oleh peneliti berdasarkan dimensi yang dikemukakan oleh Guldner & Swesen, dan alat ukur religiusitas yang digunakan adalah hasil adaptasi dari alat ukur Glock & Stark.

(8)

rendah didapatkan independen variabel yang berpengaruh yaitu kualitas hubungan.

Untuk penelitian selanjutnya, peneliti menyarankan agar dalam melakukan penelitian menggunakan variabel yang terkait dengan forgiveness yang tidak dianalisis sebagai IV, seperti tingkat pendidikan, pekerjaan, anak, dsb, kemudian dapat memperkaya penelitian dengan membandingkan antara forgiveness istri dari pasangan normal dan pasangan KDRT, serta lebih banyak menggunakan dan mengembangkan item – item yang lebih valid dalam mengukur konstruk – konstruk psikologisnya.

(9)

KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirrahiim

Syukur Alhamdulillah Peneliti panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala

rahmat, hidayah, dan kekuatan yang diberikan-Nya, sehingga Peneliti dapat

menyelesaikan skripsi dengan judul ”Faktor-Faktor Psikologis Yang Mempengaruhi Forgiveness pada Istri Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga”. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, pemimpin dan tauladan kaum yang beriman, kepada keluarga,

sahabat, dan seluruh umat yang senantiasa mencintainya. Penulisan skripsi ini

dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana

Psikologi pada Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

Selama pengerjaan skripsi ini Peneliti dihadapkan dengan beragam cobaan, kesulitan,

rintangan dan penuh perjuangan serta kesabaran yang telah memberikan banyak

pelajaran hidup yang berarti bagi Peneliti.

Terwujudnya skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena

itu, dalam kesempatan ini Peneliti ingin mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Jahja Umar, Ph.D, Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta dan juga sebagai Dosen Pembimbing. Terima kasih karena telah

meluangkan waktu dalam proses bimbingan skripsi ini, untuk segala ilmu yang

telah Peneliti dapatkan.

2. Dua sosok penyemangat hidup yang sangat peneliti hormati dan kasihi, Papa dan

Mama, Ali Muhammad Abdat dan Hamida Jaff Abdat. Rangkaian kata-kata indah

tak akan dapat melukiskan rasa syukur dan terima kasih Peneliti atas segala jerih

payah, kesabaran, ilmu, dan segala dukungan yang telah Papa dan Mama berikan

bagi Peneliti. Terima kasih, malaikatku.

3. Kepada Pak Ikhwan Luthfi M.Psi, sebagai Dosen Pembimbing Seminar Proposal,

terima kasih atas segala bimbingan, arahan, kritik yang membangun, dan waktu

(10)

Evangeline I Suaidy dan Pak M. Avicenna M.Hsc,. Psy yang telah memberi ilmu

dan menjadi motivator bagi Peneliti dalam mengembangkan ilmu psikologi dan

mengikuti program beasiswa.

4. Seluruh Dosen Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah

banyak memberikan pelajaran kepada Peneliti, baik itu dalam hal akademis

maupun dalam menjalani kehidupan.

5. Kepada Mba Rini & para Staff Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

yang telah banyak membantu Peneliti dalam menjalani perkuliahan dan

menyelesaikan skripsi.

6. Kepada LBH APIK atas izin dan bantuannya dalam pengambilan data di kantor,

dan kepada seluruh responden dari LBH APIK atas kesediaan, serta kerjasamanya

dalam penelitian yang dilakukan oleh Peneliti

7. Kepada Amira, Rayhan, dan Ibel yang sangat Peneliti sayangi, terima kasih untuk

support, nasihat, senyuman, semangat, dan doa yang selalu diberikan. Semoga

kalian dapat lebih baik lagi dari Peneliti dan kita berempat akan selalu jadi

kebanggan terbesar untuk Papa dan Mama.

8. Untuk Sahabat-sahabat Peneliti, yaitu Naya, Icha, Risna, Siro, Camel, Siro, Nurul,

Rifa, Linda, dan Weni atas perjalanan suka dan duka selama 4 tahun kebersamaan

ini, "cerita kita masih panjang, maka jangan sudahi sampai disini". Kemudian,

untuk Sahabat-sahabat Peneliti d'Bibirs, Farah, Laras, Efiy, Anya, Winda, Lala,

Rara, dan Unyil, terima kasih atas tawa, tangis, cerita, dukungan, semangat, dan

segala kebersamaan ini, "terbukti walaupun kita tak selalu bersama tapi justru

kebersamaan ini terus terbangun".

9. Untuk The GH yaitu Iccy, Fara, Laura, Mayang, Ezzat, Epiy, dan Sukria, terima kasih untuk segala cerita cita dan cinta "atas nama persahabatan GH". Untuk

Iki,sahabat juga kakak bagi Peneliti, atas seluruh dukungan dan setiap bantuan,

sungguh terima kasih dari lubuk hati terdalam. Dan untuk Ami, Indah, Imel,

terima kasih telah mengukir banyak cerita dalam hari-hari Peneliti.

10. Untuk Sahabat 'Buavita', yaitu Ogy, Ben, Jali, Chris, Ayu, Desy, Tari, Syiva, dan

(11)

masa depan kita. Kemudian, untuk Putri, Hani, Felya, Tika, Putaw, Mail, dan

teman-teman "Borocks" yang selalu menjadi semangat, motivator, pengingat dan

pesaing Peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini, terima kasih 'sahabat tak akan

terganti'.

11. Untuk Sahabat 'Kita' yaitu Hani, Pras, Rudhi, Aji, Danny, Kak Amal, Rika, Kak

Siro, Kak Isni yang banyak sekali membantu Peneliti dan memberikan arahan

dalam mengerjakan skripsi. Kemudian, untuk Adyo, sahabat dan guru yang

berusaha sabar mengahadapi Peneliti, terima kasih untuk dukungan dan

kesabarannya. Dan untuk sahabat, kakak, adik, saudara, dan calon adik ipar, Dara

Amalia, terima kasih untuk segala kasih, kesabaran, support, nasihat,

kecerewetan, dan segala hal berarti yang sulit untuk dijabarkan.

13. Untuk teman-teman angkatan 2007, khususnya kelas D yang sangat kompak dan

penuh cerita, terimah kasih untuk segala kebersamaan ini. Kemudian, untuk

teman-teman seperjuangan yaitu Aji, Risna, Vfah, Reza, Kak Sarah, "setiap detik

menunggu, setiap semangat yang ditumbuhkan, rasa letih, bingung, dan

kebersamaan dari setiap bimbingan, selamat menikmati kesuksesan ini anak-anak

Pak Jahja"

14. Kepada seluruh pihak yang tidak dapat Peneliti sebutkan satu per satu, terima

kasih untuk segala dukungan dan bantuan yang telah diberikan untuk membantu

Peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.

Akhirnya Peneliti memohon kepada Allah SWT agar seluruh dukungan,

bantuan, bimbingan dari semua pihak dibalas dengan sebaik-baiknya balasan. Selain

itu mengingat kekurangan dan keterbatasan Peneliti, maka segala kritik dan saran

yang bersifat membangun sangat diharapkan Peneliti sebagai bahan penyempurnaan.

Jakarta, 11 Oktober 2011

(12)

DAFTAR ISI

Halaman Judul

Lembar Pengesahan Pembimbing... iii

Lembar Pengesahan Panitia Ujian ... iv

Lembar Orisinalitas ... v

2.1.2 Dimensi yang mendasari forgiveness ... 21

2.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi forgiveness ... 26

2.1.4 Pengukuran forgiveness ... 28

2.2 Kepribadian ... 29

2.2.1 Definisi kepribadian ... 29

(13)

2.2.4 Pengukuran tipe kepribadian ... 37

2.3 Kualitas hubungan dengan pelaku ... 37

2.3.1 Definisi kualitas hubungan ... 37

2.3.2 Dimensi-dimensi kualitas hubungan ... 38

2.3.3 Bentuk kualitas hubungan dengan forgiveness ... 40

2.3.4 Pengukuran kualitas hubungan ... 40

2.4 Religiusitas ... 41

2.4.1 Definisi religiusitas ... ... 41

2.4.2 Dimensi-dimensi religiusitas ... 42

2.4.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi religiusitas ... 44

2.4.4 Pengukuran religiusitas ... 46

2.5 Kerangka Berpikir ... 47

2.6 Hipotesis Penelitian ... 52

BAB 3 Metode Penelitian ... 54

3.1 Populasi dan Sampel ... 54

3.2 Variabel Penelitian ... 54

3.3 Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 55

3.4 Instrumen Penelitian ... 56

3.5 Pengujian Validitas Konstruk ... 62

3.5.1 Uji validitas konstruk forgiveness ... 64

3.5.2 Uji validitas konstruk tipe kepribadian ... 68

3.5.3 Uji validitas konstruk kualitas hubungan ... 72

3.5.4 Uji validitas konstruk religiusitas Glock & Stark ... 75

3.6 Prosedur Pengumpulan Data ... 86

3.7 Metode Analisis Data ... 87

BAB 4 Hasil Penelitian ... 91

4.1 Analisis Deskriptif ... 91

4.2 Uji Hipotesis Penelitian ... 93

4.2.1 Analisis regresi variabel penelitian ... 93

(14)

4.3.1 Analisis sub kelompok ... 107

BAB 5 Kesimpulan, Diskusi dan Saran ... 112

5.1 Kesimpulan ... 112

5.2 Diskusi ... 113

5.3 Saran ... 118

5.3.1 Saran metodologis ... 119

5.3.2 Saran praktis ... 119

Daftar Pustaka ... 121

(15)

Tabel 3.6 Matriks korelasi antar kesalahan pengukuran Forgiveness ... 67

Tabel 3.7 Muatan Faktor dari item Tipe Kepribadian Ekstrovert ... 69

Tabel 3.8 Muatan Faktor dari itemTipe Kepribadian Introvert ... 71

Tabel 3.9 Muatan Faktor dari item Kualitas Hubungan ... 73

Tabel 3.10 Muatan Faktor dari item Keyakinan ... 76

Tabel 3.11 Muatan Faktor dari item Praktek Agama ... 79

Tabel 3.12 Muatan Faktor dari item Pengalaman Keagamaan ... 82

Tabel 3.13 Muatan Faktor dari item Pengetahuan Keagamaan ... 83

Tabel 3.14 Muatan Faktor dari item Konsekuensi Keagamaan ... 85

Tabel 4.1 Subjek berdasarkan usia pernikahan ... 92

Tabel 4.2 Subjek berdasarkan tingkatan forgiveness ... 93

Tabel 4.3 Rsquare Regresi ... 94

Tabel 4.4 Anova dari Analisis Regresi ... 95

Tabel 4.5 Koefisien Regresi ... 96

Tabel 4.6 Penghitungan Proporsi Varians ... 103

Tabel 4.7 Median Usia Pernikahan ... 108

Tabel 4.8 Koefisien Regresi Kelompok Usia Pernikahan Rendah ... 109

(16)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kerangka Berpikir ... 51

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A : Kuisioner

Lampiran B : Contoh Syntax Analisis Faktor Konfirmatorik Analisis Faktor Konfirmatorik Forgiveness

Analisis Faktor Konfirmatorik Tipe Kepribadian Ekstrovert Analisis Faktor Konfirmatorik Tipe Kepribadian Introvert Analisis Faktor Konfirmatorik Kualitas Hubungan

Analisis Faktor Konfirmatorik Keyakinan

Analisis Faktor Konfirmatorik Praktek Agama

Analisis Faktor Konfirmatorik Pengalaman Keagamaan

Analisis Faktor Konfirmatorik Pengetahuan Keagamaan

Analisis Faktor Konfirmatorik Konsekuensi Keagamaan

(18)

BAB 1

PENDAHULUAN

Dalam bab satu ini akan dibahas beberapa hal yaitu, latar belakang masalah, yang di

dalamnya mencakup fenomena yang terjadi, penemuan di lapangan, serta

penelitian-penelitian terdahulu yang memiliki hubungan dengan penelitian-penelitian ini. Kemudian akan

dibahas juga alasan ketertarikan peneliti pada faktor-faktor psikologis yang

mempengaruhi forgiveness. Selain itu dalam bab ini dibahas juga mengenai

perumusan dan pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, dan sistematika

penulisan.

1.1 Latar Belakang

Tindak kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence) merupakan jenis

kejahatan yang kurang mendapatkan perhatian. Tindak kekerasan dalam rumah

tangga pada umumnya melibatkan pelaku dan korban diantara anggota keluarga di

dalam rumah tangga, sedangkan bentuk tindak kekerasan bisa berupa kekerasan fisik

dan kekerasan verbal (ancaman kekerasan). Pelaku dan korban tindak kekerasan

dalam rumah tangga bisa menimpa siapa saja, tidak dibatasi oleh strata, status sosial,

tingkat pendidikan, dan suku bangsa.

Di dalam undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan

kekerasan dalam rumah tangga dikemukakan bahwa kekerasan dalam rumah tangga

(19)

penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,

pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup

rumah tangga (Hanita dkk, 2009).

Kekerasan dalam rumah tangga merupakan masalah sosial serius yang kurang

mendapat tanggapan dari masyarakat karena pertama, KDRT memiliki ruang lingkup

yang relatif tertutup (pribadi) dan dijaga ketat privacy nya karena persoalannya

terjadi dalam area keluarga. Ke dua, KDRT seringkali dianggap wajar karena

diyakini bahwa memperlakukan istri sekehendak suami merupakan hak suami

sebagai pemimpin dan kepala rumah tangga (Hasbianto, 1996). Kenyataan ini

membuat istri merasa terpojok dengan tidak memiliki tempat berkeluh kesah dan

berusaha menyimpan permasalahan dan menahan perasaan yang timbul dalam diri

karena kurangnya pemahaman dalam mengatasi masalah.

Persoalan kekerasan dalam rumah tangga adalah kasus kekerasan berbasis

gender yang paling sering dialami oleh perempuan. Data Komnas Perempuan

menyebutkan kasus kekerasan dalam rumah tangga merupakan kasus yang

menempati urutan tertinggi yang dilaporkan. Pada tahun 2009 angka kasus kekerasan

terhadap istri mencapai 17.772 kasus. Padahal pada tahun 2007 kekerasan terhadap

istri hanya 1.348 kasus.

Dalam tindakan kekerasan akan dikenal istilah korban yaitu orang yang

disakiti dan pelaku sebagai orang yang telah menyakiti. Kekerasan merupakan salah

satu bentuk dari hubungan antar dua individu, dimana individu yang satu merasa

(20)

timbul perasaan-perasaan negatif (marah, benci, ingin balas dendam) pada pelaku

kekerasan yang tak lain ialah suaminya (Komnas perempuan, 2002).

Dari perlakuan menyakiti tersebut selain dapat mengakibatkan perasaan

negatif yang muncul dapat pula selanjutnya menghadirkan sisi positif lain yaitu

kesediaan untuk melakukan forgiveness dari diri korban. Hal ini membutuhkan

proses dan waktu yang cukup lama dan mendalam. Memaafkan sendiri tidak dapat

menghilangkan perasaan sakit, namun setelah memaafkan rasa sakit itu dapat

ditahan. Setelah memaafkan, individu menyadari bahwa kemarahan dan kebencian

dapat membuat keadaan menjadi lebih buruk (Enright, 2001).

Banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga yang berujung dengan

perceraian, namun ada pula yang tetap mempertahankan rumah tangganya dan

memaafkan suami yang telah melakukan kekerasan (Hanita dkk, 2009). Sikap

forgiveness disini terlihat pada beberapa kasus yang banyak menjadi bahan

pembicaraan, sikap ini pasti memiliki alasan yang sangat kuat dengan latar belakang

tertentu dari korban, hingga memunculkan perasaan dapat melakukan forgiveness

pada pelaku.

Dalam kehidupan sehari-hari, memaafkan merupakan sesuatu hal yang

dianggap baik. Dalam Wikipedia (2010) dijelaskan bahwa forgiveness adalah proses

menyimpulkan dendam, marah atau kemarahan sebagai akibat dari perbedaan,

dianggap pelanggaran atau kesalahan, dan atau berhenti untuk menuntut hukuman

atau restitusi dan juga merupakan norma yang diajarkan dalam setiap agama dan

(21)

Namun forgiveness merupakan sesuatu yang sulit dilakukan karena harus

melibatkan dua faktor, yaitu harus menghilangkan motivasi membalas dendam dan

menghilangkan motivasi untuk menjauhi orang yang menyakiti (McCullough, 1999),

karena tidak cukup dikatakan sebagai forgiveness apabila hanya menghilangkan

perasaan negatif saja, namun juga harus mengembalikan perasaan positif terhadap

pelaku kejahatan (Worthington, 1998).

Kebanyakan hasil dari pikiran istri-istri korban kekerasan dalam rumah

tangga adalah mencoba untuk mengungkapkan forgiveness dapat menjadi suatu

pertolongan yang sangat berguna dalam membantu mereka yang telah terluka fisik

dan psikis, menyembuhkan sebuah luka hati akibat dari sakit hati yang telah

dilakukan oleh pasangannya, dan meringankan rasa sakit yang telah mereka terima

sebagai akibat dari perilaku orang lain yang telah berbuat salah kepada mereka.

Dikatakan sulit dilakukan karena hal ini menyangkut perasaan seseorang

yang sangat dalam. Maksudnya ialah ketika seseorang telah siap menyatakan

memaafkan pelaku kejahatan, maka maaf yang diberikan, seharusnya maaf secara

keseluruhan tidak hanya maaf dari sebuah perkataan saja, dan secara otomatis

ditumbuhkan perasaan untuk kembali berhubungan dan berpikiran positif mengenai

pelaku kejahatan tersebut. Akan tetapi, kenyataannya yang terjadi dalam masyarakat

dari forgiveness yang dinyatakan hanyalah sebuah perkataan saja. Hal ini juga

diperkuat dengan hasil survei yang dilakukan oleh peneliti pada tanggal 26-27

november 2010 dengan melakukan wawancara pribadi pada 20 mahasiswa fakultas

(22)

meninggalkan luka di hati, rasa kesal, kecewa, dan emosi negatif lain dalam dirinya,

bahkan kenyataan lain yang ada sangat sulit untuk melakukan forgiveness karena

dirasa beberapa permasalahan yang terjadi sudah terlalu menyakiti diri individu

tersebut.

Secara umum, manusia diharapkan dengan tulus memohon maaf atas

kesalahan mereka dan memberi maaf atas tindakan keliru yang mengena pada

mereka. Saling memaafkan merupakan salah satu bentuk tradisi hubungan antar

manusia, akan tetapi tradisi ini sering kali juga hanya merupakan ritual belaka.

Dengan kata lain, perilaku tersebut dilakukan namun tidak disertai ketulusan yang

sungguh-sungguh. Pada sisi lain, ada mitos yang mengatakan bahwa dengan

memberi maaf maka beban psikologis yang ada akan hilang. Pada kenyataannya

banyak orang yang memberi maaf kepada orang lain kemudian kecewa dengan

tindakan tersebut. Hal ini terjadi karena permintaan maaf sering tidak ditindaklanjuti

dengan perilaku yang konsisten dengan permintaan maaf tersebut.

Mc.Cullough dkk (1997) mendefinisikan forgiveness sebagai suatu perubahan

motivasi, motivasi untuk melakukan pembalasan (revenge motivation) dan motivasi

untuk menghindar (avoidance motivation). Penurunan kedua motivasi tersebut

mencegah respon yang merusak hubungannya dengan pihak yang telah menyakiti

atau melukai melainkan untuk berperilaku konstruktif terhadap pihak tersebut.

McCullough dkk (2000, dalam Synder & Lopez, 2002) menjelaskan bahwa

forgiveness merupakan peningkatan dalam motivasi prososial ke arah lain, yaitu

(23)

rendahnya dorongan untuk menyakiti atau membalas dendam (revenge motivations)

terhadap transgressor tersebut, dan meningkatnya dorongan untuk bertindak positif

(benevolence motivations) terhadap transgressor.

Worthington (1998) menyetujui pendapat yang mengatakan bahwa secara

kesehatan memaafkan memberikan keuntungan psikologis, dan memaafkan

merupakan terapi yang efektif dalam intervensi yang membebaskan seseorang dari

kemarahannya dan rasa bersalah. Selain itu, forgiveness dapat mengurangi marah,

depresi, cemas dan membantu dalam penyesuaian perkawinan. Memaafkan dalam

hubungan interpersonal yang erat juga berpengaruh terhadap kebahagian dan

kepuasan hubungan (Fincham dkk, 2001).

Penelitian ilmuwan Amerika membuktikan bahwa mereka yang mampu

memaafkan adalah lebih sehat baik jiwa maupun raga. Orang-orang yang diteliti

menyatakan bahwa penderitaan mereka berkurang setelah memaafkan orang yang

menyakiti mereka. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa orang yang belajar

memaafkan merasa lebih baik, tidak hanya secara batiniyah namun juga jasmaniah.

Banyak kajian mengenai forgiveness dan telah ditemukan pengaruh yang

positif dari forgiveness. Seperti yang dikatakan oleh Mother Teresa (Fincham, 2009)

"If we really want to love, we must learn how to forgive", lalu pernyataan dari

Reinhold Niebuhr "Memaafkan adalah bentuk keindahan tertinggi dari cinta, sebagai

balasannya Anda akan menerima kedamaian yang tak terkatakan dan kebahagiaan".

Forgiveness terjadi dilatarbelakangi oleh bermacam-macam tingkat

(24)

kelebihan dengan melakukan forgiveness. Kesadaran seperti hal-hal yang telah

dibuktikan lewat beberapa penelitian sebelumnya lebih dibutuhkan untuk mengganti

semua pengalaman negatif menjadi hal positif. Keinginan untuk melakukan

forgiveness ini dipengaruhi oleh beberapa kondisi dan faktor sebelumnya.

Menurut McCullough dkk (1998), terdapat lima aspek yang dapat

mempengaruhi forgiveness, yaitu determinan sosio-kognitif, peristiwa menyakitkan,

tipe kepribadian, dan empati. Penelitian lain dari McCullough dkk (1997)

menunjukkan bahwa forgiveness berhubungan dengan kebahagiaan psikologis,

empati, permohonan maaf dan perspective taking, atribusi dan penilaian kekejaman

orang yang menyakiti.

Secara lebih rinci terdapat beberapa faktor yang berpengaruh terhadap

forgiveness seperti yang dikemukakan oleh McCulllough dkk (1998, dalam Tri &

Faturochman, 2009) faktor-faktor tersebut ialah empati, atribusi terhadap pelaku dan

kesalahannya, tingkat kelukaan, tipe kepribadian, kualitas hubungan, religiusitas.

Faktor-faktor yang telah dijelaskan sebelumnya ialah hal-hal yang berkaitan erat

dengan proses terjadinya forgiveness.

Secara keseluruhan kepribadian mempunyai fungsi sebagai penentu sikap dan

perilaku seseorang yang dalam pembahasan kali ini yaitu forgiveness. Kepribadian

menurut Jung (dalam Feist & Feist, 2010) menjelaskan kepribadian manusia

berdasarkan tujuannya dalam kehidupan yang dipengaruhi oleh masa lalu dan masa

depan manusia. Jung menjelaskan berbagai macam struktur dari psyche, tipologi

(25)

manusia, mekanisme pergerakan energi psikis dan tahap perkembangan

kepribadiannya.

Menurut Jung (dalam Sumadi, 2006), manusia dapat digolongkan dalam dua

tipe, yaitu yang bertipe ekstravers dan manusia yang bertipe introvers. Orang yang

ekstravers dipengaruhi oleh dunia obyektif yaitu dunia di luar dirinya. Orientasi

utama tertuju keluar; pikiran, perasaan, serta tindakannya terutama ditentukan oleh

lingkungannya, baik lingkungan sosial maupun lingkungan non-sosial. Orang yang

ekstravers ini mempunyai sikap yang positif terhadap masyarakat.

Berbeda dengan orang ekstravers, orang yang introvers dipengaruhi oleh

dunia subyektif yaitu dunia di dalam dirinya sendiri. Orientasi utama tertuju ke

dalam; pikiran, perasaan, serta tindakannya terutama ditentukan oleh faktor-faktor

subyektif. Penyesuaian dengan dunia luar pada tipe introvers ini kurang baik,

sebaliknya mempunyai penyesuaian yang baik dengan dirinya sendiri.

Kajian tentang forgiveness mulai menarik untuk diteliti, beberapa pakar

psikologi pun telah turut serta mengkaji mengenai forgiveness secara ilmiah, banyak

hal yang telah diteliti baik mengenai tipe kepribadian, kualitas hubungan, kesehatan

psikis, religiusitas, dan lain sebagainya.

Pemaparan di atas mengenai tipe kepribadian juga didukung oleh penelitian

terdahulu yang dilakukan oleh Wang (2008). Ia telah melihat hubungan antara tipe

kepribadian dan forgiveness. Akan tetapi tipe kepribadian yang diteliti di sini

mengenai tipe kepribadian big five dengan forgiveness dalam dua jurnal penelitian,

yang hasilnya pertama menyatakan bahwa antara kepribadian tipe big five dengan

(26)

negatif pada neuroticism, dan tidak terdapat signifikansi pada consciousness,

extraversion, dan openness. Maka diketahui bahwa terdapat hubungan yang

signifikan antara tipe kepribadian big five dengan forgiveness.

Dari penelitian Wang dapat disimpulkan bahwa terdapat keterkaitan antara

kepribadian seseorang dengan forgiveness. Tipe kepribadian yang dikemukakan yaitu

tipe kepribadian big five, kemudian dari pembahasan mengenai forgiveness

didapatkan bahwa kepribadian sendiri termasuk ke dalam faktor-faktor yang

mempengaruhi forgiveness pada individu. Karena pada dasarnya tipe kepribadian

yang dimiliki setiap individu berbeda-beda dan memiliki pengaruh terhadap

forgiveness.

Menurut McCullough dkk (2001b, dalam Tri & Faturrochman, 2009) tipe

kepribadian tertentu seperti ekstravert menggambarkan beberapa karakter seperti

bersifat sosial, keterbukaan ekspresi, dan asertif. Karakter yang hangat, kooperatif,

tidak mementingkan diri, menyenangkan, jujur, dermawan, sopan dan fleksibel juga

cenderung menjadi empatik dan bersahabat. Karakter lain yang diduga berperan

adalah cerdas, analitis, imajinatif, kreatif, bersahaja, dan sopan. Berdasarkan ciri

tersebut dapat dikatakan individu dengan tipe kepribadian ini memiliki tingkat emosi

yang lebih stabil atau memungkinkan untuk melakukan forgiveness. Dapat diduga

bahwa terdapat hubungan antara kepribadian, tepatnya tipe kepribadian ekstravert

dengan forgiveness.

Penelitian lainnya yaitu penelitian yang mencari tahu mengenai hubungan

(27)

menikah dalam masa pernikahan 1 hingga 5 tahun. Diketahui dari hasil penelitian

tersebut terdapat hubungan yang erat antara trait kepribadian yaitu trait extraversion,

agreeableness, dan openess dengan forgiveness pada pasangan yang menikah (dalam

Arthasari, 2010).

Penelitian lainnya yang berhubungan dengan tipe kepribadian big five factors

yaitu yang dilakukan oleh McCullough (1998) menyatakan bahwa kecenderungan

seseorang untuk melakukan forgiveness memiliki korelasi yang cukup erat dengan

dua buah dimensi big five, yaitu neuroticism dan agreeableness, dimana orang-orang

agreeableness (ramah, memiliki kepribadian yang selalu mengalah, menghindari

konflik) memiliki tingkat emosi yang lebih stabil, lebih cenderung mudah

memaafkan perbuatan menyakitkan yang pernah dilakukan orang lain terhadap

mereka. Bagi orang-orang yang memiliki kepribadian neuroticism (mudah

mengalami kecemasan, rasa marah, depresi, dan memiliki kecenderungan

emotionally reactive), lebih cenderung sulit memaafkan perbuatan menyakitkan

yang pernah dilakukan orang lain terhadap mereka.

Dikarenakan banyaknya penelitian mengenai tipe kepribadian big five factors

yang telah dilakukan terhadap forgiveness dan dirasa masih sedikit penelitian

mengenai tipe kepribadian ekstrovert dan introvert, serta didukung pendapat dari

McCullough mengenai hubungan tipe kepribadian ekstravert dengan forgiveness,

maka berdasarkan hal tersebut peneliti berniat mengangkat tipe kepribadian yang

(28)

Faktor kedua yang mempengaruhi forgiveness ialah kualitas hubungan.

Menurut McCullough dkk (1998), kualitas hubungan menjadi faktor kuat yang

mempengaruhi terjadinya proses forgiveness, karena individu yang memaafkan

kesalahan pihak lain (pasangan) dapat dilandasi oleh komitmen yang tinggi pada

relasi mereka. Di dalamnya terdapat beberapa alasan yang menjadi pemicu bahwa

kualitas hubungan berpengaruh terhadap perilaku memaafkan (forgiveness) dalam

hubungan interpersonal.

Dalam kualitas hubungan, kedekatan antara korban dan pelaku kekerasan,

kadar penderitaan yang dipersepsikan subjek dan keinginan untuk berhubungan baik

kembali mempengaruhi seseorang untuk memaafkan (McCullough dkk., 1998).

Penelitian terdahulu lain yang mendukung kualitas hubungan dengan

forgiveness dikemukakan oleh Fincham (2000) bahwa terdapat banyak faktor yang

mempengaruhi individu dalam bersikap memaafkan terhadap individu lain. Hal ini

biasanya terjadi dikarenakan kualitas hubungan yang dekat antara individu satu

dengan individu lainnya. Dikarenakan kedekatan hubungan antara kedua individu

tersebut, maka dapat memunculkan forgiveness dari dirinya. Di dalam jurnal ini

dijelaskan bahwa individu yang memiliki hubungan kedekatan dengan orang yang

bermasalah dengannya, akan memiliki tingkat forgiveness yang lebih baik atau lebih

tinggi dibandingkan dengan yang kualitas hubungannya tidak dekat.

Dalam penelitian lainnya mengenai kualitas hubungan suami dan istri

dikatakan oleh Fincham dkk (2009) yang memperlihatkan bahwa dengan melakukan

(29)

kesejahteraan suatu hubungan. Hal ini diperkuat oleh kenyataan yaitu rata-rata suami

istri yang mementingkan, mencoba, dan menyetujui forgiveness terjadi pada usia

yang pernikahannya lebih lama, dan dengan melakukan forgiveness pernikahannya

lebih berumur panjang, serta dirasa memuaskan.

Faktor lainnya yang mempengaruhi forgiveness yaitu religiusitas. Religiusitas

menurut Glock & Stark (1974) adalah apa yang diyakini seseorang sebagai

kebenaran religius, apa yang seseorang lakukan sebagai bagian pengamalan

keyakinan, melibatkan emosi atau pengalaman sadar dalam agama yang dianut, yang

diketahui tentang keyakinan, dan bagaimana tingkah laku sehari-hari dipengaruhi

agama. Di dalam religiusitas terdapat beberapa dimensi yang akan diteliti juga dalam

penelitian ini, yaitu dimensi-dimensi menurut Glock & Stark, terdiri dari lima macam

yaitu dimensi keyakinan, praktek agama, pengalaman, pengetahuan, dan

konsekuensi.

Dalam salah satu penelitian yang pernah dilakukan oleh Gorsuch dan Hao

(1993, dalam Batson dkk., 2006) menyimpulkan dalam penelitiannya yang berjudul

Forgiveness: An exploratory factor analysis and its relationships to religious

variables, bahwa "Semakin tinggi tingkat religiusitas seseorang, maka semakin

tinggi pula tingkat forgiveness terhadap orang lain"

Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Rusdi (2009) ditemukan bahwa

terdapat hubungan yang signifikan antara religiusitas dengan forgiveness pada

mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah Dirasat Islamiyah Al-Hikmah Jakarta.

(30)

secara tidak langsung dipengaruhi oleh konsep forgiveness dalam agama Islam,

seperti anjuran forgiveness dalam al-qur'an seperti dalam surat Al-Anfaal ayat 7,

An-Nur ayat 162, Ali Imran ayat 134, serta ayat-ayat lain di dalam al-qur'an yang

menganjurkan untuk forgiveness.

Agama sendiri dalam Wikipedia (2008) tidak hanya Islam, ada banyak agama

lain dan semua agama berbeda-beda dalam mengajarkan mengenai forgiveness, baik

agama Kristen, Yahudi, Hindu, Budha , dan begitu pula pada agama Katolik.

Selain itu Edward (2002, dalam Batson dkk., 2006) menemukan bahwa

terdapat korelasi positif antara konstrak keyakinan (faith) dengan forgiveness, maka

apabila seorang individu memiliki suatu keyakinan dalam beragama yang kuat, maka

kesediaan untuk memaafkan akan berpeluang lebih besar dari yang tidak memiliki

keyakinan kuat.

Kanz (2000, dalam Horn) menyimpulkan bahwa religiusitas merupakan salah

satu variabel yang memiliki korelasi dengan penerimaan untuk forgiveness. Maka

dari teori dan hasil penelitian yang ada menunjukkan terdapat kaitan antara religi dan

keinginan melakukan forgiveness.

Dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa forgiveness merupakan salah

satu cara yang dipilih agar seseorang yang disakiti dapat menyembuhkan luka hati

akibat perbuatan yang dilakukan oleh pelaku. Cara yang ditempuh adalah dengan

menurunkan perasaan-perasaan negatif yang muncul dan meningkatkan motivasi

(31)

Maka diketahui dari beberapa penelian dalam terjadinya forgiveness terdapat

bermacam-macam faktor yang mempengaruhi berlangsungnya dan bersedianya

seseorang melakukan hal tersebut. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, peneliti

ingin mengetahui dan merasa tertarik melakukan penelitian dengan judul

"Faktor-Faktor Psikologis Yang Mempengaruhi Forgiveness Pada Istri Korban

(32)

1.2 Pembatasan Masalah

Untuk menghindari kesimpangsiuran persepsi dan lebih terarahnya pembahasan,

maka penulis membatasi masalah yang akan diteliti yaitu sebagai berikut :

1. Forgiveness merupakan proses perubahan dorongan ke arah perilaku dari diri

individu terhadap pelaku. Pada penelitian ini forgiveness yang dimaksud adalah

peningkatan dalam motivasi prososial ke arah lain, yaitu rendahnya dorongan

untuk menghindari (avoidance motivations) pelaku, rendahnya dorongan untuk

menyakiti atau membalas dendam (revenge motivations) terhadap pelaku, dan

meningkatnya dorongan untuk bertindak positif atau membina hubungan

kembali (benevolence motivations) terhadap pelaku.

2. Tipe kepribadian yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tipe kepribadian

tipologi Jung yaitu tipe kepribadian extrovert dan introvert.

3. Kualitas hubungan merupakan keadaan seberapa baik atau buruk interaksi pada

suatu hubungan. Pada penelitian ini kualitas hubungan yang dimaksud adalah

tingkat baik buruknya kesinambungan interaksi antara dua orang atau lebih yang

mendalam bertujuan memudahkan proses dalam suatu hubungan antara satu

dengan yang lain.

4. Religiusitas merupakan perwujudan individu penganut agama. Pada penelitian ini religiusitas yang dimaksud adalah sistem simbol, sistem keyakinan, sistem nilai dan sistem perilaku yang terlembagakan dan semuanya berpusat pada persoalan yang dihayati sebagai yang paling maknawi (ultimate meaning). Terdapat beberapa dimensi religiusitas, dan dalam penelitian ini religiusitas yang diukur adalah

(33)

praktek agama, pengalaman keagamaan, pengetahuan keagamaan, dan pengamalan keagamaan.

5. Sampel dalam penelitian ini adalah wanita yaitu istri korban kekerasan dalam

rumah tangga (KDRT) di bawah perlindungan LBH APIK yang berusia 20-60

tahun, status menikah dengan usia pernikahan 1-30 tahun.

1.3 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, muncul beberapa masalah yang dapat

diidentifikasikan yaitu:

1. Apakah ada pengaruh yang signifikan tipe kepribadian, kualitas hubungan,

religiusitas, dan usia pernikahan terhadap forgiveness pada istri korban

kekerasan rumah tangga?

2. Variabel manakah yang paling berpengaruh terhadap forgiveness pada istri

korban kekerasan dalam rumah tangga?

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Secara pokok dan prinsip tujuan penelitian ini adalah menjawab pertanyaan

penelitian yang telah peneliti rumuskan di atas. Oleh karenanya tujuan dan manfaat

(34)

1.4.1 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui apakah ada pengaruh tipe kepribadian

ekstrovert-introvert, kualitas hubungan, religiusitas, dan usia pernikahan terhadap

forgiveness pada istri korban kekerasan dalam rumah tangga.

2. Melihat variabel mana yang paling besar mempengaruhi forgiveness pada

istri korban kekerasan dalam rumah tangga.

1.4.2 Manfaat Penelitian

1. Diharapkan penelitian ini secara teoritis dapat menambahkan hasil-hasil

penelitian kualitas hubungan dan religiusitas dimensi konsekuensi terhadap

forgiveness pada korban kekerasan dalam rumah tangga.

2. Diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis,

seperti: mendorong minat teman-teman lainnya yang berkecimpung di

bidang psikologi untuk melakukan penelitian yang berkaitan dengan

forgiveness, dan membantu seseorang dalam konseling pernikahan, psikiater

pernikahan, dan menemukan problem solving pada pasangan yang menikah,

mengingat hal tersebut masih sangat baru sehingga masih banyak hal yang

dapat digali mengenai faktor-faktor yang dapat mempengaruhi forgiveness.

1.5 Sistematika Penulisan

Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai isi dan materi yang

dibahas dalam skripsi ini, maka penulis mengemukakannya dengan sistematika

penulisan sebagai berikut:

(35)

Pada bab ini penulis menguraikan tentang latar belakang,

permasalahan-permasalahan penelitian, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan serta manfaat

penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab 2. Landasan Teori

Pada bab ini berisi teori-teori yang berhubungan dengan permasalahan penelitian,

yakni teori tentang tipe kepribadian, teori kualitas hubungan dengan pelaku, teori

religiusitas, teori forgivenes, dan kerangka berpikir.

Bab 3. Metode Penelitian

Pada bab ini berisi penguraian mengenai, variabel penelitian, populasi dan sampel

penelitian, tekhnik pengambilan dan sampel, desain penelitian, instrumen penelitian,

tekhnik pengambilan data dan tekhnik analisis data yang digunakan dalam penelitian

ini.

Bab 4. Analisis Hasil Penelitian

Pada bab ini peneliti akan membahas mengenai gambaran subjek penelitian,

deskripsi data dan hasil uji hipotesis.

Bab 5. Kesimpulan, Diskusi, dan Saran

Pada bab ini, peneliti akan merangkum keseluruhan isi penelitian dan meyimpulkan

(36)

BAB 2

LANDASAN TEORI

Dalam bab dua ini, akan dibahas semua teori yang dapat menjelaskan masing-masing

variabel penelitian. Terlebih dahulu teori yang akan dibahas adalah mengenai

teori-teori yang berkenaan dengan forgiveness yang dimulai dengan definisi, hingga

teori-teori yang dibahas dari beberapa tokoh yang berbeda. Setelah itu peneliti akan

membahas faktor-faktor psikologis yang dianggap sebagai faktor-faktor yang

mempengaruhi forgiveness pada korban kekerasan dalam rumah tangga.

2.1. Forgiveness

2.1.1 Definisi forgiveness

Forgiveness adalah kesediaan menanggalkan kesalahan yang diakukan oleh

seseorang yang telah menyakiti hati atau melakukan suatu perbuatan salah pada

individu lain (Braumesiter & Exline, dalam McCullough dkk., 2003).

Forgiveness merupakan sikap seseorang yang telah disakiti untuk tidak

melakukan perbuatan balas dendam terhadap orang yang menyakiti, tidak adanya

keinginan untuk menjauhi pelaku. Sebaliknya ada keinginan adanya keinginan untuk

berdamai dan berbuat baik terhadap orang yang menyakiti, walaupun orang yang

telah menyakiti telah berbuat yang menyakitkan terhadap kita. (McCullough, 1997,

dalam McCullough dkk., 2003).

(37)

(revenge motivation) dan motivasi untuk menghindar (avoidance motivation).

Penurunan kedua motivasi tersebut mencegah respon yang merusak hubungannya

dengan pihak yang telah menyakiti atau melukai melainkan untuk berperilaku

konstruktif terhadap pihak tersebut.

Selain itu, McCullough dkk (2000, dalam Synder & Lopez, 2002)

menjelaskan bahwa forgiveness adalah proses perubahan tiga dorongan dalam diri

individu terhadap pelaku. Dikatakan bahwa forgiveness merupakan peningkatan

dalam motivasi prososial ke arah lain, yaitu rendahnya dorongan untuk menghindari

(avoidance motivations) pelaku, rendahnya dorongan untuk menyakiti atau

membalas dendam (revenge motivations) terhadap pelaku, dan meningkatnya

dorongan untuk bertindak positif atau membina hubungan kembali (benevolence

motivations) terhadap pelaku.

Kemudian, Enright (dalam McCullough dkk., 2003) mendefinisikan

forgiveness sebagai sikap untuk mengatasi hal- hal yang negatif dan penghakiman

terhadap orang yang telah menyakiti dengan tidak menyangkal rasa sakit itu sendiri

tetapi dengan rasa kasihan, iba dan cinta kepada pihak yang menyakiti.

Berdasarkan definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa forgiveness

adalah peningkatan dorongan dari arah yang negatuntuk berperilaku ke arah yang

lebih baik, yang ditandai dengan rendahnya dorongan seseorang untuk menghindar,

untuk membalas dendam, dan bertambahnya dorongan dari diri untuk membina

(38)

2.1.2 Dimensi yang mendasari forgiveness

Dimensi forgiveness yang dikemukakan merupakan penjelasan lebih jauh

mengenai definisi McCullough dkk (2000, dalam Synder & Lopez, 2002).

Forgiveness merupakan proses perubahan tiga dorongan dalam diri individu terhadap

transgressor. Tiga dorongan tersebut adalah avoidance motivations, revenge

motivations, dan benevolence motivations, yang selanjutnya juga menjadi dimensi

forgiveness. Penjelasan dari ke tiga dimensi yang mendasari forgiveness ialah

sebagai berikut:

1) Avoidance motivations

Ditandai dengan individu yang menghindar atau menarik diri (withdrawal) dari

pelaku.

2) Revenge motivations

Ditandai dengan dorongan individu untuk membalas perbuatan pelaku yang

ditujukan kepadanya. Dalam kondisi ini, individu tersebut marah dan

berkeinginan untuk membalas dendam terhadap pelaku. Ketika individu dilukai

oleh individu lain (pelaku), maka yang terjadi dalam dirinya adalah peningkatan

dorongan untuk menghindar (avoidance) dan membalas dendam (revenge).

3) Benevolence motivations

Ditandai dengan dorongan untuk berbuat baik terhadap pelaku. Dengan adanya

kehadiran benevolence, berarti juga menghilangkan kehadiran dua dimensi

sebelumnya. Oleh karena itu, individu yang memaafkan, memiliki benevolence

motivations yang tingi, namun di sisi lain memiliki avoidance dan revenge

(39)

Selain dari tiga aspek dimensi yang telah dijelaskan di atas, terdapat

pendapat lain mengenai dimensi yang mendasari forgivenes. Dua aspek yang selalu

hadir dalam setiap definisi forgiveness, yaitu berkurangnya keinginan untuk

menghindari pelaku yang telah menyakiti korban dan berkurangnya keinginan untuk

membalas dendam. Menurut McCullough dkk (1998), terdapat dua aspek sistem

motivasional yang menentukan respons seseorang ketika mengalami transgresi

interpersonal, yaitu perasaan disakiti (feeling of hurts) dan amarah. Perasaan disakiti

merupakan persepsi dan transgresi yang memotivasi seseorang untuk menghindari

orang yang melakukan transgresi tersebut, baik secara fisik maupun psikologis

sedangkan amarah merupakan emosi yang menyebabkan seseorang ingin membalas

dendam.

Ketika individu menyatakan bahwa tidak dapat memaafkan orang lain atas

suatu peristiwa atau tindakan yang menyakitkan, persepsinya terhadap peristiwa atau

tindakan tersebut akan menstimulasi kedua aspek tadi ke arah destruksi hubungan

yang dijalani bersama pasangannya tersebut, yaitu dengan adanya motivasi yang

tinggi untuk menghindar dan motivasi yang tinggi untuk membalas dendam atau

melihat orang yang menyakitinya tadi memperoleh petaka (McCullough dkk, 1998).

Sebaliknya ketika individu tersebut menunjukan indikasi telah memaafkan orang

lain, persepsi akan orang tersebut beserta tindakan atau peristiwa yang menyakitkan

yang telah dilakukan oleh pasangannya tersebut tidak lagi menciptakan motivasi

untuk menghindar maupun membalas dendam, sehingga orang yang memaafkan tadi

(40)

1. Penghindaran (avoidance)

Worthington (1998) menganalogikan transgresi dengan pengkondisian klasik

(classical conditioning) terhadap seorang tikus dalam penelitian eksperimental.

Dalam eksperimen, tikus tersebut membuat sebuah nada (stimulus terkondisi).

Tikus tadi akan mengasosiakan nada dengan sengatan listrik. Asosiasi tersebut

dapat terjadi dalam beberapa kali percobaan jika sengatan listrik relatif lembut.

Dibandingkan dengan individu yang mengalami transgresi dan belum dapat

memaafkan. Pertama, individu tersebut mengalami luka, baik yang disebabkan

oleh kritik, kebohongan, ketidaksetiaan, dan sebagainya. Luka ini sebagai

stimulus yang tak terkondisi, sedangkan pelaku (dalam penelitian ini berarti

pasangan) berperan sebagai stimulus tak terkondisi. Setelah mengalami

transgresi, individu tetap bertemu dengan trangresor. Pertemuan dengan pelaku

akan membuat cemas, serupa dengan reaksi tikus yang menciutkan tubuh dan

mengejang. Setelah itu ia akan berusaha untuk menghindari pelaku. Jika

penghindaran pelaku tidak mungkin untuk dilakukan maka kemarahan,

pembalasan, dan konfrontasi dilancarkan. Apabila kemarahan, pembalasan dan

konfrontasi tersebut merupakan hal yang dianggapnya tidak rasional,

destruktif, atau tidak berguna, individu tadi akan menunjukan tingkah laku

yang serupa dengan tingkah laku submisif yang ditunjukan tikus, yaitu depresi,

yang menunjukan bahwa ia berada dalam posisi yang lemah dan membutuhkan

(41)

2. Pembalasan (revenge)

Ketika penghindaran sudah tidak lagi efektif, seorang individu dapat

menyimpan dendam yang ada, kemudian membalaskannya. Terdapat beberapa

alasan yang mendasari keputusan seseorang untuk membalas dendam, yaitu

diperolehnya keuntungan praktis maupun materi, mencegah terjadinya

persitiwa yang menyakitkan, menghayati konsekuensi dari luka yang

berlangsung dalam jangka waktu yang lama, mempertahankan harga diri, dan

mempertahankan prinsip moral.

Alasan utama yang menyebabkan seseorang untuk memutuskan balas dendam

kepada orang yang telah menyakitinya adalah dapat diperolehnya keuntungan

praktis maupun material dari orang tersebut. Ketika seseorang menyakiti orang

lain, seakan-akan berhutang terhadap orang yang disakitinya itu. Memaafkan

berarti meniadakan hutang tersebut, dan dapat dilakukan jika pihak yang

menyakiti telah menampilkan tingkah laku yang menguntungkan pihak yang

telah disakitinya. Penghilangan hutang juga dapat dilakukan dengan melakukan

balas dendam. Pembalasan dendam dapat mendatangkan kepuasan atas

dicapainya “keadilan” dan keimbangan.

Disimpannya dendam merupakan “alat” untuk mencegah berulangnya luka.

Peristiwa menyakitkan yang pernah terjadi akan lebih mudah terulang.

Kemungkinan untuk kembali terluka dimasa depan akan dipertimbangkan

seseorang, apapun yang dirasakannya ketika dilukai, sehingga individu tersebut

akan bertanya-tanya, “apakah orang yang menyakiti saya ini akan mengulangi

(42)

yang menyakitkan. Dengan memutuskan untuk tidak memaafkan, seseorang

dapat berharap untuk mempengaruhi pihak yang menyakitinya agar tidak

mengulangi lagi perbuatan yang telah melukainya. Tidak memaafkan juga

dapat membuat pihak yang telah menyakiti seseorang terus teringat akan

perbuatannya. Memaafkan tidak memungkinkan seseorang untuk membuat

pihak yang telah menyakitinya terus teringat akan perbuatannya, sebab ketika

pemaafan telah terjadi, peristiwa yang menyakitkan tersebut tidak

diungkit-ungkit kembali, dan tidak ada pula rasa bersalah yang dapat diinduksikan

kepada pihak yang telah menyakiti, sehingga dengan memaafkan kontrol

terhadap tingkah lakunya di masa yang akan datang tidak dapat dilakukan.

Dendam juga akan disimpan jika konsekuensi dari luka yang ditorehkan oleh

pihak yang menyakiti ternyata berlangsung untuk jangka waktu yang panjang.

Pemaafan akan sulit timbul jika konsekuensi dari peristiwa menyakitkan yang

dialami berlangsung hingga masa depan.

Alasan lain disimpannya dendam adalah untuk menjaga harga diri pihak yang

disakiti (Baumister et al, 1998). Banyak peristiwa menyakitkan yang dapat

mengancam harga diri, sehingga pihak yang menjadi korban dalam peristiwa

tersebut menganggap bahwa memaafkan dapat menyebabkan mereka

kehilangan harga diri. Ketidakinginan akan kehilangan harga diri tersebut

membuat individu merasa ingin atau butuh mempertahankan citra bahwa

memiliki kekuatan.

Dari beberapa dimensi yang di paparkan di atas, peneliti akan menggunakan

(43)

motivations, revenge motivations, dan benevolence motivations. Peneliti

menggunakan dimensi tersebut dikarenakan sesuai dengan definisi yang digunakan

dan sesuai dengan skala yang ditemukan dan digunakan.

2.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi forgiveness

Berikut ini dijelaskan secara lebih rinci beberapa faktor yang berpengaruh

terhadap forgiveness yang dikemukakan oleh McCullough dkk (1998, dalam Tri &

Faturrochman, 2009) yaitu:

(1) Empati

Empati adalah kemampuan seseorang untuk ikut merasakan perasaan atau

pengalaman orang lain. Kemampuan untuk empati ini erat kaitannya dengan

pengambilalihan peran. Melalui empati terhadap pihak yang menyakiti,

seseorang dapat memahami perasaan pihak yang menyakiti merasa bersalah

dan tertekan akibat perilaku yang menyakitkan. Dengan alasan itulah

beberapa penelitian menunjukkan bahwa empati berpengaruh terhadap proses

pemaafan. Empati juga menjelaskan variabel sosial psikologis yang

mempengaruhi pemberian maaf yaitu permintaan maaf (apologies) dari pihak

yang menyakiti. Ketika pelaku meminta maaf kepada pihak yang disakiti

maka hal itu bisa membuat korban lebih berempati dan kemudian termotivasi

untuk memaafkannya.

(2) Karakteristik serangan

Faktor ini berkaitan dengan persepsi dari kadar penderitaan yang dialami oleh

orang yang disakiti serta konsekuensi yang menyertainya. Seseorang akan

(44)

bermakna dalam hidupnya. Misalnya, seseorang akan sulit untuk memaafkan

perilaku perselingkuhan yang dilakukan suaminya dibandingkan memaafkan

perilaku orang lain yang tiba-tiba menyelinap antrian. Girard dkk (dalam Tri

& Faturrochman, 2009) menyebutkan bahwa semakin penting dan bermakna

suatu kejadian, maka akan semakin sulit bagi seseorang untuk memaafkan.

(3) Tipe kepribadian

Ciri dari tipe kepribadian tententu seperti ekstravert menggambarkan

beberapa karakter seperti bersifat sosial, keterbukaan ekspresi, dan asertif.

Karakter yang hangat, kooperatif, tidak mementingkan diri, menyenangkan,

jujur, dermawan, sopan dan fleksibel juga cenderung menjadi empatik dan

bersahabat. Karakter lain yang diduga berperan adalah dalam forgiveness

cerdas, analitis, imajinatif, kreatif, bersahaja, dan sopan. Ciri-ciri tersebut

memiliki kecenderungan invidu yang memiliki tipe kepribadian ekstravert

cenderung dapat melakukan forgiveness terhadap pelaku yang menyakiti.

(4) Kualitas hubungan dengan pelaku

Berdasarkan penelitian yang ada, Nelson dkk (dalam Worthington dkk, 1998)

menemukan bahwa korban cenderung memaafkan apabila hubungan antara

korban dan pelaku sebelum peristiwa menyakitkan terjadi, terdapat kepuasan,

komitmen dalam hubungan tersebut.

Seseorang yang memaafkan kesalahan pihak lain dapat dilandasi oleh

komitmen yang tinggi pada relasi mereka. Ada empat alasan mengapa

kualitas hubungan berpengaruh terhadap perilaku memaafkan dalam

(45)

dasarnya mempunyai motivasi yang tinggi untuk menjaga hubungan. Kedua,

dalam hubungan yang erat ada orientasi jangka panjang dalam menlain

hubungan di antara mereka. Ketiga, dalam kualitas hubungan yang tinggi

kepentingan satu orang dan kepentingan pasangannya menyatu. Keempat,

kualitas hubungan mempunyai orientasi kolektivitas yang menginginkan

pihak-pihak yang terlibat untuk berperilaku yang memberikan keuntungan di

antara mereka (McCullough dkk., 1998).

(5) Religiusitas

Studi yang menunjukkan bahwa nilai dan praktek keagamaan berhubungan

positif dengan sikap yang mendukung tindakan memaafkan (Gorsuch &

Hao,1993). Studi lain yang dilakukan Wuthnow (2009) menunjukkan bahwa

kegiatan kelompok agama yang bersifat tradisional seperti sharing dan doa

bersama, terbukti membantu individu memaafkan orang lain.

2.1.5 Pengukuran forgiveness

Dari hasil membaca literatur tentang penelitian-penelitian mengenai

forgiveness, peneliti memperoleh beberapa instrument untuk mengukur

forgiveness, diantaranya yaitu:

1. Marital Offence-Specific Forgiveness Scale (MOFS)

2. Transgression-Related Interpersonal Motivation Scale (TRIM)

3. The Heartland Forgiveness Scale (HFC)

Adapun penjelasan mengenai instrument-instrument tersebut adalah sebagai

(46)

dari 10 item. Item-item dalam alat ukur ini sesuai dengan dua komponen forgiveness

yaitu, resentment-avoidance dan benevolence. Kedua,

Transgression-Related Interpersonal Motivation scale (TRIM). TRIM terdiri dari 12

item. Alat tes ini mengukur tingkat forgiveness berdasarkan dua sub skala yakni

rendahnya tingkat menghindari pelaku (avoidance) dan rendahnya tingkat membalas

(revenge). Ketiga, The Heartland Forgiveness Scale (HFC). Tediri dari 18 item.

Alat tes ini membahas mengenai laporan diri yang mengukur forgiveness

disposisional seseorang (yaitu, kecenderungan umum untuk memaafkan).

Maka dari beberapa alat ukur yang dikemukakan, peneliti menggunakan alat

ukur Marital Offence-Specific Forgiveness Scale (MOFS). Dikarenakan sesuai

dengan kajian teori yang digunakan.

2.2 Kepribadian

2.2.1 Definisi kepribadian

Menurut Pervin dan John (2005) kepribadian mewakili karakteristik individu

yang terdiri dari pola-pola pikiran, perasaan dan perilaku yang konsisten. Definisi

tersebut memiliki arti yang cukup luas yang membolehkan kita untuk fokus pada

banyak aspek yang berbeda pada setiap orang. Pada waktu yang bersamaan, hal

tersebut menganjurkan kita untuk konsisten pada pola tingkah laku dan kualitas

(47)

Menurut Koentjaraningrat kepribadian adalah susunan unsur-unsur akal dan

jiwa yang menentukan perbedaan tingkah laku atau tindakan dari tiap-tiap individu

(http://www.e-dukasi.net).

Freud (dalam Feist, 2010) pada teori kepribadian adalah eksplorasinya ke

dalam dunia tidak sadar dan keyakinan bahwa manusia termotivasi oleh

dorongan-dorongan utama yang belum atau tidak mereka sadari. Freud mengidentifikasikan

tiga angkatan dalam kehidupan mental, yaitu alam tidak sadar, alam bawah sadar,

dan kesadaran. Maka, kepribadian merupakan integrasi dari id, ego, dan superego

(Chaplin, 1999).

Kepribadian menurut Allport (dalam Sumadi, 2006) merupakan organisasi

dinamis dalam individu sebagai sistem psikofisis yang menentukan caranya yang

khas dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan.

Berbeda dengan yang lainnya, Jung tidak berbicara tentang kepribadian

melainkan tentang Psyche. Menurut Jung (dalam Sumadi, 2006) psyche adalah

totalitas segala peristiwa psikis baik yang disadari maupun yang tidak disadari.

Kepribadian yang dijelaskan oleh Jung dalam bentuk psyche adalah integrasi dari

ego, ketidaksadaran pribadi, dan ketidaksadaran kolektif, kompleks-kompleks,

arkhetip-arkhetip (archetypes), persona, dan anima (Chaplin, 1999).

Maka kepribadian adalah mengenai berbagai hal atau segala aktivitas dari

individu, yang mewakili atau memperlihatkan karakteristik asli dari individu baik

(48)

2.2.2 Stuktur kepribadian

Menurut Jung (dalam Sumadi, 2006) jiwa manusia terdiri dari dua alam,

yaitu:

a. Alam sadar (kesadaran) yang berfungsi sebagai penyesuaian terhadap

dunia luar

b. Alam tak sadar (ketidaksadaran) yang berfungsi sebagai penyesuaian

terhadap dunia dalam.

1) Struktur kesadaran

Kesadaran mempunyai dua komponen pokok, yaitu fungsi jiwa dan sikap

jiwa, yang masing-masing mempunyai peranan penting dalam orientasi manusia

dalam dunianya.

a. Fungsi jiwa

Suatu bentuk aktivitas kejiwaan yang secara teori tiada berubah dalam

lingkungan yang berbeda-beda

b. Sikap jiwa

Arah daripada energi psikis umum atau libido yang menjelma dalam

bentuk orientasi manusia terhadap dunianya

c. Tipologi jung

(49)

Tabel 2.1

Tipologi Jung

(Sumber: Sumadi, 2006)

Sikap

Jiwa

Fungsi Jiwa Tipe Ketidaksadarannya

Ekstravers Pikiran Pemikir ekstravers Perasa introvers

Perasaan Perasa ekstravers Pemikir introvers

Pendriaan Pendria ekstravers Intuitif introvers

Intuisi Intuitif ekstravers Pendria introvers

Introvers Pikiran Pemikir introvers Perasa ekstravers

Perasaan Perasa introvers Pemikir ekstravers

Pendriaan Pendria ekstravers Intuitif ekstravers

Intuisi Intuitif introvers Pendria ekstravers

(1) Introversi adalah aliran energi psikis ke arah dalam yang memiliki

orientasi subjektif. Introver memiliki pemahaman yang baik terhadap dunia

dalam diri mereka, dengan semua bias, fantasi, mimpi, dan persepsi yang

bersifat individu. Orang-orang ini akan menerima dunia luar dengan sangat

selektif dan dengan pandangan subjektif mereka, Jung, (dalam Feist, 2010).

Orang yang introvers dipengaruhi oleh dunia subyektif yaitu dunia di dalam

(50)

tindakannya terutama ditentukan oleh faktor-faktor subyektif. Penyesuaian

dengan dunia luar pada tipe introvers ini kurang baik, sebaliknya mempunyai

penyesuaian yang baik dengan dirinya sendiri.

(2) Ekstraversi adalah sebuah sikap yang menjelaskan aliran psikis ke arah

luar sehingga orang yang bersangkutan akan memiliki orientasi objektif dan

menjauh dari subjektif. Ektrover akan lebih mudah untuk dipengaruhi oleh

sekelilingnya dibanding oleh kondisi dirinya sendiri. Mereka cenderung

untuk berfokus pada sikap objektif dan menekan sisi subjektifnya (dalam

Feist & Feist, 2010).

Orang yang ekstravers dipengaruhi oleh dunia obyektif yaitu dunia di luar

dirinya. Orientasi utama tertuju keluar; pikiran, perasaan, serta tindakannya

terutama ditentukan oleh lingkungannya, baik lingkungan sosial maupun

lingkungan non-sosial. Orang yang ekstravers ini mempunyai sikap yang

positif terhadap masyarakat.

(3) Pikiran (thinking)

Aktivitas intelektual logika dapat memproduksi serangkaian ide yang disebut

dengan berpikir (thinking). Orang-orang yang memiliki karakteristik berpikir

extrovert sangat bergantung pada pemikiran yang nyata, tetapi mereka juga

menggunakan ide abstrak jika ide tersebut dapat ditransmisikan kepada

mereka secara langsung. Orang-orang yang memiliki karakteristik berpikir

(51)

terhadap suatu kejadian lebih diwarnai oleh pemaknaan internal yang mereka

bawa dalam dirinya sendiri dibanding dengan fakta objektif yang ada.

(4) Perasaan (feeling)

Jung menggunakan kata perasaan (feeling) untuk mendeskripsikan proses

evaluasi sebuah ide atau kejadian. Orang-orang dengan perasaan extrovert

menggunakan data objektif untuk melakukan evaluasi. Orang-orang dengan

perasaan introvert mendasarkan penilaian mereka sebagian besar pada

persepsi subjektif dibanding dengan fakta objektif.

(5) Sensasi (sensing)

Fungsi yang memungkinkan manusia untuk menerima rangsangan fisik dan

mengubahnya ke dalam bentuk kesadaran perseptual yang disebut dengan

sensasi (sensation). Orang-orang dengan sensing extrovert menerima

rangsangan eksternal secara objektif, kurang lebih sama seperti rangsangan

ini eksis dalam kenyataan. Orang-orang dengan sensing introvert biasanya

sangat dipengaruhi oleh sensasi subjektif akan penglihatan, pendengaran,

rasa, sentuhan, dan lainnya.

(6) Intuisi (intuition)

Intuisi (intuition) meliputi persepsi yang berada jauh di luar sistem kesadaran.

Orang-orang dengan intuisi extrovert selalu berorientasi pada fakta dalam

dunia eksternal. Orang-orang dengan intuisi introvert dipandu oleh persepsi

ketidaksadaran terhadap fakta yang umumnya subjektif dan memiliki sedikit

Gambar

Gambar 2.1 Ilustrasi Kerangka Berpikir
Tabel 3.1
Tabel 3.2 Blue Print Kualitas Hubungan
Tabel 3.3 Blue Print Skala Religiusitas Adaptasi dari Glock & Stark
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian mengenai kesejahteraan psikologis perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga akan digambarkan melalui enam dimensi kesejahteraan psikologis yang

1) Secara umum forgiveness memiliki kontribusi yang signifikan terhadap resiliency pada wanita korban KDRT di UPT P2TP2A Kota Bandung. 2) Tipe emotional forgiveness

bentuk negatif, tetapi ia dapat dengan mudah mengatasi perasaan marah dan kesalnya dengan merubah emosi negatif menjadi emosi positif yaitu perasaan simpati, empati terhadap

Melihat banyaknya kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi dalam lingkup sosial masyarakat, pemerintah kemudian mengeluarkan berbagai undang- undang sebagai jalan untuk

Karakteristik perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga : Kekerasan Dalam Rumah Tangga masih dipandang sebagai ikatan yang sakral, dan lebih dipenuhi

Mekanisme ini didasari oleh dalil mengenai interaksi antara bagaimana sikap orang lain mempengaruhi seseorang dan bagaimana individu memandang dirinya sesuai dengan

Tugas perkembangan remaja juga diungkapkan Hurlock (2002) diantaranya remaja harus memperoleh pedoman hidup yang dapat digunakan sebagai acuan dalam berperilaku yang

Upaya Pencegahan Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Indonesia yang merupakan negara hukum, segala bentuk pelanggaran terhadap hukum termasuk di dalamnya adalah undang-undang dan