KAJIAN TINGKAT EROSI, SEKUESTRASI KARBON
DAN DAYA SIMPAN AIR PADA BERBAGAI TIPE
PENGGUNAAN LAHAN DI SUB DAS
JENNEBERANG HULU
ANDI MASNANG
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Kajian Tingkat Erosi, Sekuestrasi Karbon dan Daya Simpan Air pada Berbagai Tipe Penggunaan Lahan di Sub DAS Jenneberang Hulu adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka.
Bogor, Desember 2010
ABSTRACT
ANDI MASNANG.
Study on Erosion Rate, C-Sequestration and Water Holding Capacity of Various Land Uses in the Upper Jenneberang Sub Watershed. Under supervison of NAIK SINUKABAN, SUDARSONO, and A. NGALOKEN GINTINGS.The objective of this research were to assess the level of run off and erosion, carbon sequestration, and water holding capacity in various types of land use in the Upper Jenneberang Sub Watershed. Transformation of natural ecosystems into agricultural ecosystems generally increase soil erosion. Soil carbon or organic matter is an important component of soil constitute as a function of soil quality. Soil carbon can enhance and improve the quality of the soil physical properties; it can increase infiltration rate, aggregate stability, soil structure, water-holding capacity, and in turn decrease run off and erosion. This study was carried out from December 2006 through March 2007 at the Upper Jenneberang watershed, Saluttoa Village, Tinggimoncong Sub District, Gowa District, South Sulawesi Province. Based on the preliminary study there were found four types of land used and were treated as observation units: 1) Natural forest, 2) Agroforestry dominated by gamal tree (Gliricidia sepium) (AF1), 3) Agroforestry dominated by coffee tree (AF2), 4) Maize monoculture. To meet the purpose of this research all experiment at units were arranged in Randomized Block Design. Data collected in this experiment includes soil physical characteristics (bulk density, permeability, aggregate stability, water holding capacity), as well as the rate of infiltration, run off and erosion, the amount of rain fall, total biomass, C-biomass content and watershed water holding capacity. Results of this study indicated that the rate of infiltration and the permiability were significantly higher on natural forest compared with other land utilizations due to its higher porosity and organic matter content. When convertion of the natural forest takes place, the agroforestry systems and maize monoculture significantly increased the run off and consequently soil erosion. The magnitude of run off were increased three times when the land use were converted into agroforesty dominated by coffee tree and increased seven times when it was converted into maize monoculture. The magnitude of erosion were increased seven times when the land use were converted into agroforesty dominated by coffee tree and increased eleven times when it was converted into maize monoculture. The biomass and C-biomass in natural forest were significantly higher than that in the agroforestry systems (AF1 and AF2). The total biomass and C-biomass of each type of land utilization were in line with the the total C-organic in the soil. The concentration of C-organic on maize plot was significantly lower. The activity of soil microorganism in the natural forest was significantly higher than that in agroforestry systems and maize monoculture. The magnitude of water-holding capacity of soil were decreased 21% when the land use were converted into agroforesty dominated by coffee tree and decreased 39% when it was converted into maize monoculture. Simulation analysis showed that the total water-holding capacity of the Upper Jenneberang Sub Watershed was as much as 795.4 mm or equal to 39% of total precipitation.
RINGKASAN
ANDI MASNANG. Kajian Tingkat Erosi, Sekuestrasi Karbon dan Daya Simpan Air pada Berbagai Tipe Penggunaan Lahan di Sub DAS Jeneberang Hulu, dibawah bimbingan NAIK SINUKABAN, SUDARSONO, dan A. NGALOKEN GINTINGS.
Penelitian bertujuan untuk mengkaji tingkat erosi, sekuestrasi karbon, dan daya simpan air pada berbagai tipe penggunaan lahan di Sub DAS Jenneberang Hulu. Perubahan ekosistem alam menjadi ekosistem pertanian umumnya meningkatkan erosi tanah. Sekuestrasi karbon tanah dapat juga menurun melalui erosi. Karbon organik tanah merupakan komponen yang sangat penting dalam menentukan kualitas tanah. Karbon organik dapat meningkatkan kualitas sifat fisik tanah antara lain; dapat meningkatkan laju infiltrasi, stabilitas agregat, struktur tanah, kapasitas tanah menyimpan air, dan menurunkan aliran permukaan dan erosi. Penelitian ini dilakukan mulai dari bulan Desember 2006 sampai dengan Maret 2007 di Sub DAS Jenneberang Hulu, Desa Saluttoa, Kecamatan Tinggimoncong, Kabupaten Gowa, Propinsi Sulawesi Selatan. Berdasarkan survey dan pengamatan di lapang ditemukan empat tipe penggunaan lahan sebagai satuan lahan pengamatan yaitu : 1) Hutan alam (HA), 2) Agroforestri yang didominasi pohon gamal (AF-1), 3) Agroforestri yang didominasi pohon kopi (AF-2), dan 4) Monokultur jagung (J). Untuk mencapai tujuan penelitian susunan plot pengamatan diatur dalam pola Rancangan Acak Kelompok (RAK). Data yang dikumpulkan meliputi; karakteristik sifat fisik tanah (bobot isi, permeabilitas, indeks stabilitas agregat, kapasitas tanah menahan air), laju infiltrasi, jumlah curah hujan, aliran permukaan dan erosi, total biomassa, kandungan C biomassa dan kapasitas DAS menyimpan air. Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju infiltrasi secara nyata lebih tinggi pada hutan alam dibandingkan dengan penggunaan lahan lainnya yaitu AF1 dan AF2. Aliran permukaan dan erosi nyata meningkat apabila hutan alam dikonversi menjadi sistem agroforestri dan monokultur jagung. Besarnya aliran permukaan meningkat tiga kali jika dikonversi menjadi agroforestri yang didominasi tanaman kopi dan meningkat tujuh kali apabila dikonversi menjadi lahan pertanian monokultur jagung. Besarnya erosi meningkat tujuh kali apabila dikonversi menjadi agroforestri dominan kopi dan meningkat sebelas kali bila dikonversi menjadi monokultur jagung. Biomassa dan karbon biomassa nyata lebih tinggi pada hutan alam (HA) dibandingkan dari pada lahan agroforestri yang didominasi pohon gamal (AF1) dan pohon kopi (AF2). Total biomassa dan karbon biomassa pada penggunaan lahan hutan alam dan agroforestri sejalan dengan jumlah karbon organik tanah. Konsentrasi karbon tanah nyata lebih rendah pada monokultur jagung dibandingkan dengan hutan alam dan agroforestri. Aktivitas mikroorganisme tanah nyata lebih tinggi pada hutan alam dari pada agroforestri dan monokultur jagung. Besarnya kapasitas tanah menyimpan air nyata menurun 21% apabila terjadi konversi penggunaan lahan hutan alam menjadi agroforestri yang dominan kopi dan nyata menurun sebesar 39% apabila terjadi konversi menjadi lahan pertanian monokultur jagung. Analisis simulasi menunjukkan bahwa kapasitas simpan air di sub DAS Jenneberang hulu sebesar 795.4 mm atau 39% dari total curah hujan.
@Hak Cipta milik IPB tahun 2011 Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
KAJIAN TINGKAT EROSI, SEKUESTRASI KARBON
DAN DAYA SIMPAN AIR PADA BERBAGAI TIPE
PENGGUNAAN LAHAN DI SUB DAS
JENNEBERANG HULU
ANDI MASNANG
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr.Ir.Suria Darma Tarigan, M.Sc.
Dr. Ir. Undang Kurnia, M.Sc. Penguji pada Ujian Terbuka : Dr. Ir. Harry Santoso
Judul Disertasi : Kajian Tingkat Erosi, Sekuestrasi Karbon dan Daya Simpan Air pada Berbagai Tipe Penggunaan Lahan di Sub DAS Jenneberang Hulu
Nama Mahasiswa : Andi Masnang NIM : A262020061/DAS
Disetujui Komisi Pembimbing
Ketua
Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban, M.Sc.
Prof. Dr. Ir. Sudarsono, M.Sc.
Anggota Anggota
Dr. Ir. A. Ngaloken Gintings, M.S.
Mengetahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban, M.Sc. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.
PRAKATA
Penulis memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT atas berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. Penelitian mengambil tema Kajian Tingkat Erosi, Sekuestrasi Karbon, dan Daya Simpan Air pada Berbagai Tipe penggunaan Lahan Di Sub DAS Jenneberang Hulu.
Sebagian dari hasil penelitian dan disertasi ini akan diterbitkan dalam Jurnal Tanah Tropika (Journal of Tropical Soils) Vol. 16 No. 2 Edisi Mei 2011 berjudul Study of Erosion Level, C-Sequestration and Water Holding Capacity on Various Types of Land Use in The Upper Jeneberang Sub Watershed, Gowa Regency, South Sulawesi Province.
Penulis menyadari bahwa banyak hambatan dan tantangan dalam proses persiapan rencana penelitian, pelaksanaan penelitian hingga penyusunan disertasi ini. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih dan menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban, M.Sc. sebagai ketua komisi pembimbing maupun sebagai pribadi. Prof. Dr. Ir. H. Sudarsono dan Dr. Ir. A. Ngaloken Gintings, MS, sebagai anggota komisi pembimbing maupun sebagai pribadi yang telah banyak memberikan bimbingan, petunjuk dan nasehat sejak penyusunan rencana penelitian hingga penyusunan disertasi ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada masyarakat Desa Salluttoa, Kecamatan Tinggi Moncong, Kabupaten Gowa yang telah mendukung penulis dalam melaksanakan penelitian lapang.
Ungkapan terima kasih yang tulus kepada Ibunda tercinta Sitti Hadidjah (almarhumah) dan Ayahanda H. Andi Makkasau, Kedua mertua saya bapak Prof. Dr. Ibrahim Manwan, M. Sc dan Ibu Hj. Sitti Rohanah, serta seluruh keluarga atas segala kasih sayang, motivasi dan doa restu dalam menuntut ilmu.
Semoga disertasi ini bermanfaat.
Bogor, Desember 2010
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas rachmat dan karunia serta perlindungan-Nya yang senantiasa dilimpahkan sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Sekolah Pascasarjana IPB.
Penulis amat menyadari bahwa banyak pihak baik secara pribadi maupun institusi yang telah membantu penulis selama melaksanakan pendidikan, penyusunan rencana penelitian, pelaksanaan penelitian dan penyusunan disertasi ini. Penulis dengan tulus mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban, M.Sc. sebagai ketua komisi pembimbing maupun sebagai pribadi. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Sudarsono dan Bapak Dr. Ir. A. Ngaloken Gintings, MS, sebagai anggota komisi pembimbing maupun sebagai pribadi yang telah banyak memberikan bimbingan, petunjuk dan nasehat sehingga penyusunan disertasi ini dapat selesai. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Harry Santoso dan Bapak Dr. Ir. Suria Darma Tarigan, M.Sc selaku penguji luar komisi.
2. Bapak Prof. Dr. Ir. Sitanala Arsyad, M.Sc. yang telah memberikan rekomendasi, motivasi dan kemudahan untuk mengikuti program studi doktor pada Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
3. Rektor, Dekan SPs, Ketua Program Studi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai IPB yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Doktor pada Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
4. Rektor Universitas Haluoleo, Dekan Fakultas Pertanian dan ketua Jurusan Budidaya Pertanian yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Doktor pada Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
6. Seluruh Laboran pada Laboratorium Fisika dan Kimia Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB yang telah membantu melakukan analisis tanah.
7. Ir. Hj. Saidah Wahid, M.Si. (Mantan kepala Laborarium Fisika dan Kimia Tanah, Program Studi Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Muslim Indonesia) yang telah memberi kesempatan menggunakan fasilitas laboratorium untuk melakukan analisis tanah.
8. Bapak Daeng Hamadang (Ketua Kelompok Tani Desa Salluttoa), Daeng Bunga dan Daeng Tombong beserta keluarga yang telah membantu penulis selama pengamatan lapang.
9. Dr. Ir. Sitti Marwah, M.Si., Ir. Laode Alwi, M.Si., Ir. Henny H, M. Si. Atas kerja sama dan bantuannya selama penulis menempuh studi.
Kehadapan Ibunda tercinta Sitti Hadidjah (almarhumah), Ayahanda H. Andi Makkasau, kedua mertua saya bapak Prof. Dr. Ibrahim Manwan, M. Sc dan Ibu Hj. Sitti Rohanah serta Ibunda Hj. St. Djawariah, Ananda mengucapkan terima kasih yang tak terhingga atas segala kasih sayang, motivasi dan doa restu dalam menuntut ilmu.
Kepada kakak-kakak saya beserta keluarga Hj. Andi Ida Mausani, Dr. Ir. H. Andi Mappaona, MS dan Dr. Ir. Hj. Ida Hanarida Somantri, MS., Hj. Andi Maswati dan Drs. H. Andi Pammusureng, Dr. Hj. Andi Maudari, SpS dan Drs. H. Muchlis Muin, MBA, Drs. Andi Mandala dan Dra. Hj. Andi Herlina Sakawati, MSi, dan adinda Dra. Hj. Andi Maunarni dan Muh. Iqbal, SKm saya ucapkan terima kasih atas dukungannya.
Terima kasih yang tulus juga disampaikan kepada yang tercinta suami Muhammad David Ibrahim, SH dan ananda Muhammad Fadhil, Muhammad Muflih Rizqullah dan Muhammad Rohadi Roid atas kesabaran, pengertian dan pengorbanan yang diberikan kepada penulis selama mengikuti pendidikan program Doktor di IPB.
Terima kasih pula kepada rekan-rekan dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu dalam penyelesaian studi penulis.
Akhirnya penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan saran dan kritik untuk kesempurnaan tulisan ini.
Semoga disertasi ini bermanfaat bagi kehidupan masyarakat. Amin.
Bogor, Desember 2010
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Masewali, Watan Soppeng, Sulawesi Selatan pada tanggal 19 Nopember 1965 sebagai anak ke enam dari tujuh bersaudara dari Ibunda Sitti Hadidjah (almarhumah) dan Ayahanda H. Andi Makkasau.
Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SD Negeri 5 Mattiropole Watan Soppeng pada tahun 1978, sekolah menengah pertama di SMP Negeri 1 Watan Soppeng pada tahun 1981 dan sekolah menengah atas di SMA Negeri 200 Watan Soppeng 1984. Pada tahun 1985, penulis melanjutkan pendidikan di Universitas Hasanuddin, Fakultas Pertanian, Jurusan Ilmu Tanah yang berhasil diselesaikan pada tahun 1990 dibawah bimbingan Dr. Ir. Sikstus Gusli, M.Sc. dan Ir. Noho Kadir, SU. Pada tahun 1991 penulis diterima di Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Program Studi Ilmu Tanah bidang keahlian Konservasi Tanah dan Air dan menyelesaikan pada tahun 1995 dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban, M.Sc., Prof. Dr. Ir. Sitanala Arsyad, M.Sc. dan Dr. Ir. Soleh Sukmana, M.Sc. Kesempatan untuk melanjutkan ke program Doktor pada Program Studi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (PDAS) pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor diperoleh pada tahun 2002.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ……… xv
DAFTAR GAMBAR ………... xvi
LAMPIRAN GAMBAR ……….. xvii
TABEL LAMPIRAN ……….. xviii
PENDAHULUAN Latar Belakang ……….. 1
Perumusan Masalah ..……… 2
Kerangka Pemikiran ………. 3
Tujuan dan Kegunaan ……… 5
TINJAUAN PUSTAKA Peranan Hutan Tropis dalam Siklus Karbon ……… 6
Dinamika Karbon dalam Tanah Pertanian ……….. Potensi Peningkatan Karbon pada Lahan Pertanian ..………. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kandungan C-Organik Tanah … 12 Penurunan Intensitas Pengolahan Tanah ……….……… 13
Intensifikasi Sistem Pertanaman ……….……… 14
Aplikasi Tindakan Agronomi …...………….……… 15
Jenis Tanaman dan Pola Tanam ……….……… 16
Pengertian, Potensi dan Kendala Agroforestry……… 18
Pengertian ……….……… 18
Potensi ……….………. 18
Kendala ………. 24
Pengaruh Agroforestry terhadap Neraca Air dan Kapasitas Simpanan Air (Water Holding Capacity) ………. 24
Pengaruh Konservasi Tanah dan Air terhadap Kualitas Tanah, Erosi dan Daya Simpan Air ………. 26
BAHAN DAN METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ……… 30
Data dan Peralatan ……..……… 30
Metode Penelitian …..……….. 30
Cara Pengambilan Sampel dan Pengamatan……..……...…. 32
Sifat Fisik Tanah …..…………...……… 32
Laju Infiltrasi ………….………. 33
Pengukuran Curah Hujan, Aliran Permukaan dan Erosi ……….. 33
Total Biomassa dan Karbon Vegetasi……… 34
Produksi dan Laju Dekomposisi Serasah ………..…… 34
Pengamatan C-Organik Tanah dan Emisi Karbon Tanah ………... 36
Analisis Data ………..………. 37
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak dan Luas Sub DAS Jeneberang Hulu ……… 38
Jenis Tanah ……….. 38
Penggunaan Lahan ………. 38
Topografi ……… 39
Iklim ……… 39
HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Fisik Tanah pada Berbagai Penggunaan Lahan……….... 40
Laju Infiltrasi, Aliran permukaan dan Erosi ……….. 47
Total Biomassa dan Total Karbon Biomassa... 56
Produksi dan Laju Dekomposisi Serasah………... 58
C-Organik Tanah dan Respirasi tanah……….. 64
Kadar Lengas Tanah dan Kapasitas Tanah Menyimpan Air (Water Holding Capacity) pada Berbagai Penggunaan Lahan……… 68
Pengaruh Tipe Penggunaan Lahan terhadap Kapasitas DAS Jenneberang Hulu Menyimpan Air…………..………... 70
KESIMPULAN ……… 73
SARAN ……… 74
PUSTAKA ………. 75
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Intersepsi air hujan oleh tajuk Eucalyptus. ………. 29 Tabel 2. Komposisi jenis komoditas penyusun empat tipe penggunaan lahan di Sub DAS Jenneberang, tahun 2007 ……….……. 31
Tabel 3. Jenis tanah yang terdapat di Sub DAS Jeneberang Hulu ……… 38
Tabel 4. Pola penggunaan/penutupan lahan di Sub DAS Jeneberang Hulu ……….. 38
Tabel 5. Keadaan topografi wilayah Sub DAS Jeneberang Hulu…….….. 39
Tabel 6 Indeks stabilitas agregat (ISA), bobot isi (BI), porositas, permeabilitas dan bahan organik tanah pada berbagai
penggunaan lahan di Sub DAS Jenneberang Hulu ……….. 40
Tabel 7. Pengaruh tipe penggunaan lahan terhadap laju infiltrasi,
aliran permukaan dan erosi di Sub DAS Jenneberang Hulu……. 48
Tabel 8. Pengaruh tipe penggunaan lahan terhadap total biomassa, karbon biomassa dan karbon organik tanah (0-30 cm) di
Sub DAS Jenneberang Hulu... 57
Tabel 9. Rataan produksi serasah daun pada hutan alam (langsat hutan/Aglaia argentea), AF1
dan AF
(gamal/Gliricidia sepium)
2
.
(kopi/Coffea,spp). ….………. 59 Tabel 10. Analisis keragaman produksi serasah langsat hutan (LH),
gamal(GM) dan pohon kopi (KP) ……… 60
Tabel 11. Bobot serasah dan laju dekomposisi serasah setiap 2 minggu…..63
Tabel 12 Pengaruh tipe penggunaan lahan terhadap kandungan C-organik tanah dan respirasi tanah pada empat tipe
penggunaan lahan di Sub DAS Jenneberang Hulu ... 65
Tabel 13 Kadar lengas dan kapasitas tanah menahan air pada beberapa penggunaan lahan di Sub DAS Jenneberang
Hulu ……….……… 68
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 Kerangka pemikiran dalam melakukan penelitian ……… 4
Gambar 2 Bagan peredaran karbon di dalam dan di luar tanah …………. 10
Gambar 3 Hubungan antara indeks stabilitas agregat dengan
tingkat porositas tanah (%) ………... 42
Gambar 4 Hubungan antara tingkat porositas tanah (%) dengan
permeabilitas tanah (cm/jam)………... 45
Gambar 5 Hubungan antara kandungan bahan organik tanah (%) dengan bobot isi (a), porositas (b), dan permeabilitas (cm/jam) (c) ….. 47
Gambar 6 Hubungan antara tingkat porositas (%) dengan laju
infiltrasi (cm/jam)... 49
Gambar 7 Hubungan antara kandungan bahan organik tanah (%)
dengan laju infiltrasi (cm/jam)... 50
Gambar 8 Hubungan antara laju infiltrasi (%) dengan aliran
permukaan (mm)... 51
Gambar 9 Data curah hujan (mm) (a) dan pengaruh tipe penggunaan lahan terhadap aliran permukaan (% CH) (b) dan erosi
per minggu (c) dari Desember 2006-Maret 2007………. 53
Gambar 10 Hubungan produksi serasah (gram/m2
hutan (LH), gamal (GM) dan pohon kopi (KP) dan curah /mg) langsat
hujan (mm/minggu) ……… 60
Gambar 11 Bobot serasah daun langsat hutan, gamal dan kopi setiap 2 minggu yang didekomposisi selama 16
minggu (8 periode)………..… 63
Gambar 12 Hubungan antara kandungan bahan organik tanah (%)
LAMPIRAN GAMBAR
Halaman
Gambar Lampiran. 1 Unit petak, sub petak dan sub-sub petak pengamatan untuk jenis tanaman dan diameter
batang ………. 83
Gambar Lampiran 2 Letak dan bentuk petak erosi.……… 84
Gambar Lampiran 3 Peta Sulawesi Selatan ……….. 85
Gambar Lampiran 4 Peta DAS Jenneberang ……… 86
Gambar Lampiran 5 Peta Administrasi Wliayah Sub DAS Jenneberang Hulu ………... 87
Gambar Lampiran 6 Peta jenis tanah Sub DAS Jenneberang Hulu……… 88
Gambar Lampiran 7 Peta penggunaan lahan Sub DAS Jenneberang Hulu ………. 89
Gambar Lampiran 8 Peta kelas lereng Sub DAS Jenneberang Hulu ……. 90
TABEL LAMPIRAN
Halaman
Tabel Lampiran 1 Metode analisis tanah ……… 91
Tabel Lampiran 2 Komposisi jenis komoditas dan biomassa pohon. (kg).. 92
Tabel Lampiran 3
Rataan produksi serasah daun kering
pada hutan alam (langsat hutan/
Aglaia
argentia
dan AF2 (kopi/
Coffea
spp)……….
95), AF1 (gamal/
Gliricidia sepium
)
Tabel Lampiran 4 Bobot serasah dan laju dekomposisi serasah setiap 2 minggu ………... 96
Tabel Lampiran 5 Data sifat fisik tanah pada empat tipe penggunaan lahan ……….……….. 96
Tabel Lampiran 6 Data curah hujan (mm) per minggu selama penelitian Desember 2006 – Maret 2007………..…………. . 97
Tabel Lampiran 7 Jumlah aliran permukaan (mm) per minggu selama penelitian Desember 2006 – Maret 2007………... 97
Tabel Lampiran 8 Aliran permukaan (persen curah hujan) per minggu selama penelitian Desember 2006 – Maret 2007…….. 98
Tabel Lampiran 9 Total erosi (ton/ha) per minggu selama penelitian
Desember 2006 – Maret 2007……… 98
Tabel Lampiran 10 Curah hujan periode 2 minggu selama penelitian
Desember 2006-Maret 2007………. 99
Tabel Lampiran 11 Pengaruh Tipe Penggunaan Lahan terhadap
Kapasitas Simpan Air (berdasarkan total pori (%vol)) di Sub DAS Jenneberang Hulu ……….. 100
Tabel Lampiran 12 Pengaruh Tipe Penggunaan Lahan terhadap Kapasitas Simpan Air (berdasarkan pada kadar air pF1) di Sub DAS Jenneberang Hulu……… 101
Tabel Lampiran 13 Data bobot isi (gr/cm3) kedalaman 0-30 cm …... 102
Tabel Lampiran 14 Sidik ragam bobot isi (gr/cm3) kedalaman 0-30 cm .. 102
Tabel Lampiran 16 Sidik ragam bobot isi (gr/cm3) kedalaman >30 cm… 102
Tabel Lampiran 17 Data porositas (%) kedalaman 0-30 cm……….. 103
Tabel Lampiran 18 Sidik ragam porositas (%) kedalaman 0-30 cm……. 103
Tabel Lampiran 19 Data porositas (%) kedalaman >30 cm ………. 103
Tabel Lampiran 20 Sidik ragam porositas (%) kedalaman >30 cm……. 103
Tabel Lampiran 21 Data pori drainase lambat (% volume) kedalaman 0-30 cm……… 104
Tabel Lampiran 22 Sidik ragam pori drainase lambat (% volume)
kedalaman 0-30 cm ... 104
Tabel Lampiran 23 Data pori drainase lambat (% volume) kedalaman >30 cm………. 104
Tabel Lampiran 24 Sidik ragam pori drainase lambat (% volume)
kedalaman >30 cm………. 104
Tabel Lampiran 25 Data pori drainase cepat (% volume) kedalaman
0-30 cm………. 105
Tabel Lampiran 26 Sidik ragam pori drainase cepat (% volume)
Kedalaman 0-30 cm……… 105
Tabel Lampiran 27 Data pori drainase cepat (% volume) kedalaman
>30 cm ………. 105
Tabel Lampiran 28 Sidik ragam pori drainase cepat (% volume)
kedalaman >30 cm……… 105
Tabel Lampiran 29 Data pori air tersedia (% volume) kedalaman
0-30 cm ……… 106
Tabel Lampiran 30 Sidik ragam pori air tersedia (% volume) kedalaman 0-30 cm………. 106
Tabel Lampiran 31 Data pori air tersedia (% volume) kedalaman
>30 cm………... 106
Tabel Lampiran 32 Sidik ragam pori air tersedia (% volume) kedalaman >30 cm ……….. 106
Tabel Lampiran 33 Data kadar air kedalaman 0-30 cm (% volume)…… 107
Tabel Lampiran 34 Sidik ragam kadar air kedalaman 0-30 cm
(% volume) ……….…… 107
Tabel Lampiran 36 Sidik ragam indeks stabilitas agregat……… 107
Tabel Lampiran 37 Data permeabilitas (cm/jam) kedalaman 0-30 cm …… 108
Tabel Lampiran 38 Sidik ragam permeabilitas (cm/jam) kedalaman 0-30 cm……….. 108
Tabel Lampiran 39 Data permeabilitas (cm/jam) kedalaman >30 cm …… 108
Tabel Lampiran 40 Sidik ragam permeabilitas (cm/jam) kedalaman >30 cm……… 108
Tabel Lampiran 41 Data laju infiltrasi (cm/jam)………. 109
Tabel Lampiran 42 Sidik ragam laju infiltrasi (cm/jam) ………..…. 109
Tabel Lampiran 43 Data aliran permukaan (mm) ………. 109
Tabel Lampiran 44 Sidik ragam aliran permukaan (mm)………... 109
Tabel Lampiran 45 Data jumlah erosi (ton/ha)……….... 110
Tabel Lampiran 46 Sidik ragam erosi (ton/ha)……… 110
Tabel Lampiran 47 Data biomassa total vegetasi (ton/ha) ……… 110
Tabel Lampiran 48 Sidik ragam biomassa total vegetasi (ton/ha) ……. 110
Tabel Lampiran 49 Data kadar C- vegetasi (ton/ha) ……… 111
Tabel Lampiran 50 Sidik ragam kadar C-vegetasi (ton/ha) ……… 111
Tabel Lampiran 51 Data C-organik tanah (%) kedalaman 0-30 cm ….. 111
Tabel Lampiran 52 Sidik ragam C-organik tanah (%) kedalaman 0-30 cm 111 Tabel Lampiran 53 Data C-organik tanah (%) kedalaman 30-60 cm …. 112
Tabel Lampiran 54 Sidik ragam C-organik tanah (%) kedalaman 30-60 cm ……… 112
Tabel Lampiran 55 Data C-organik tanah (%) kedalaman 60-90 cm …. 112 Tabel Lampiran 56 Sidik ragam C-organik tanah (%) kedalaman 60-90 cm………. 112
Tabel Lampiran 57 Data C-organik tanah (%) hutan alam pada berbagai kedalaman tanah (cm)……… 113
Tabel Lampiran 59 Data C-organik tanah (%) agroforestri gamal pada
berbagai kedalaman tanah (cm)………. 113
Tabel Lampiran 60 Sidik ragam C-organik tanah (%) agroforestri gamal pada berbagai kedalaman tanah (cm)……….. 113
Tabel Lampiran 61 Data C-organik tanah (%) agroforestri kopi pada
berbagai kedalaman tanah (cm) ……… 114
Tabel Lampiran 62 Sidik ragam C-organik tanah (%) agroforestri kopi
pada berbagai kedalaman tanah (cm)……… 114
Tabel Lampiran 63 Data C-organik tanah (%) monokultur jagung pada berbagai kedalaman tanah (cm)……… 114
Tabel Lampiran 64 Sidik ragam C-organik tanah (%) monokultur jagung pada berbagai kedalaman tanah (cm)……….. 114
Tabel Lampiran 65 Data bahan organik tanah (%)……….. 115
Tabel Lampiran 66 Sidik ragam bahan organik tanah ……… 115
Tabel Lampiran 67 Kapasitas tanah menyimpan air (0-60 cm)………… 115
Tabel Lampiran 68 Sidik ragam kapasitas tanah menyimpan air
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ……… iii
DAFTAR GAMBAR ………... iv
PENDAHULUAN
Latar Belakang ……….. 1
Perumusan Masalah ..……… 2
Tujuan Kegiatan ………. 3
Keluaran yang Diharapkan ……… 3
METODOLOGI
Tempat dan Waktu Penelitian ……… 4 Analisis Data ………..……… 6
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Tipe Penggunaan Lahan terhadap Sifat Fisik Tanah … 7 Laju Infiltrasi, Aliran permukaan dan Erosi ……… 13 Total Biomassa dan Total Karbon Biomassa... 20 Sekuestrasi Karbon dan Respirasi tanah ……….. 23
Kapasitas Tanah Menyimpan Air (Water Holding Capacity)……… 27
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hutan tropis di Indonesia meliputi areal seluas 143 juta hektar dengan
berbagai tipe dan peruntukan (Murdiyarso dan Satjaprapdja, 1997). Kerusakan
hutan (deforestasi)
Deforestasi yang tidak terkendali akan menyebabkan rendahnya luasan
penutupan lahan oleh berbagai jenis vegetasi. Hal ini menyebabkan
berkurangnya pasokan biomassa pohon maupun tanaman bawah yang
merupakan sumber karbon tanah. Peranan karbon tanah dapat menentukan
kondisi sifat fisik tanah. Menurunnya kualitas sifat fisik tanah dapat dicirikan oleh
meningkatnya bobot isi dan menurunnya indeks stabilitas agregat tanah akibat
rendahnya karbon tanah. Hal ini yang memicu terjadinya aliran permukaan dan
erosi.
masih tetap menjadi ancaman di Indonesia. Menurut data
laju deforestasi (kerusakan hutan) periode 2003-2006 laju deforestasi di
Indonesia mencapai 1,17 juta hektar pertahun (Departemen Kehutanan, 2006).
Perubahan penggunaan lahan hutan menjadi lahan pertanian intensif
merupakan penyebab utama terjadinya degradasi hutan dan lahan di Daerah
Aliran Sungai (DAS).
Terjadinya erosi akan menyebabkan hilangnya lapisan atas tanah yang
mengandung bahan organik dan unsur hara, serta sifat fisik maupun biologi
yang lebih baik dari lapisan bawahnya. Apabila erosi tidak ditekan akan
menimbulkan kemunduran kondisi sifat fisik tanah yang tercermin antara lain
menurunnya kemampuan tanah menahan air yang pada gilirannya lahan
mengalami degradasi.
Degradasi lahan di hulu DAS menyebabkan menurunnya kesuburan
tanah dan daya dukung lahan untuk menyimpan air yang mengakibatkan
kemunduran produktivitas tanah atau meluasnya lahan kritis. Dibagian hilir
kerusakan diakibatkan oleh sedimentasi yang menyebabkan pendangkalan
saluran air dan sungai. Akibatnya, cadangan air tanah menjadi sangat terbatas,
sehingga pada musim kemarau mengalami kekeringan dan sebaliknya pada
musim hujan menyebabkan banjir di wilayah hilir.
DAS Jenneberang Hulu penting karena menjadi pemasok air bagi Kota
yang ada di hilir yaitu Kota Gowa, Makassar dan sekitarnya yang memiliki dam
akan memberikan dampak di daerah di mana kegiatan tersebut berlangsung,
tetapi juga akan menimbulkan dampak di daerah hilir dalam bentuk fluktuasi
debit, transpor sedimen serta material yang terlarut dalam aliran sungai. Oleh
karena itu sistem penggunaan lahan yang diterapkan di bagian hulu DAS akan
mempengaruhi kuantitas dan kualitas air pada wilayah hilir.
Hasil penelitian Mustafa et al. (1995) menunjukkan fluktuasi debit aliran Sungai Jaleko (DAS Jenneberang) sangat berbeda nyata antara musim
penghujan dan kemarau sepanjang tahun (1992-1994). Debit maksimum
mencapai sekitar 422 m3/detik dan debit minimum 2.6 m3
Akibat dari tuntutan masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya maka
hutan yang ada di DAS Jenneberang Hulu, sangat rentan untuk dikonversi
menjadi daerah pertanian lahan kering atau wanatani (agroforestri). Bentuk atau
tipe penggunaan lahan yang diusahakan sangat mempengaruhi tingkat
sekuestrasi karbon dan daya simpan air pada lahan tersebut. Hal ini dapat
dijelaskan karena setiap bentuk penggunaan lahan memiliki perbedaan dalam
hal jumlah dan jenis vegetasi, kapasitas intersepsi air hujan, kapasitas
genangan (daya tampung permukaan) sehingga mempengaruhi tingkat infiltrasi
atau kemampuan tanah menyerap air dan dapat menentukan kapasitas
memegang air (water holding capacity) di suatu DAS.
/detik. Kondisi hidrologi
Sungai Jenneberang ini dapat menurunkan jumlah energi yang bisa dihasilkan
oleh Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di dam Bili-Bili yang menyangga
penyediaan energi listrik dan sebagai sumber air bagi perusahaan air minum
daerah (PDAM) di wilayah hilir yaitu Kotamadya Makassar.
Untuk mengatasi masalah yang telah dikemukakan sebelumnya
diperlukan penerapan pola penggunaan lahan dalam bentuk agroforestri.
Sistem agroforestri diperkirakan dapat mewujudkan cirri-ciri pertanian yang
berkelanjutan pada areal pertanian karena dapat menghasilkan suatu kondisi
yang hampir menyerupai hutan alami multistrata.. Secara teknis konservasi,
adanya variasi antara tanaman pertanian (pangan, hortikultura) dengan rumput
di antara tegakan tanaman tahunan, akan meningkatkan penutupan lahan yang
lebih memadai. Sistem agroforestri dengan tajuk yang multistrata melindungi
tanah terhadap kerusakan yang disebabkan oleh energi kinetik butir-butir hujan.
Dengan demikian agroforestri mengurangi daya transportasi aliran permukaan,
evaporasi sehingga meningkatkan ketersediaan air tanah, dan meningkatkan
cadangan air di musim kemarau.
Selain itu asupan residu organik yang berasal dari guguran daun
tanaman pohon dan semak akan berfungsi sebagai mulsa dan hasil
dekomposisinya akan mempertahankan kandungan bahan organik serta unsur
hara dalam tanah. Dengan demikian, selain mereduksi laju aliran permukaan,
erosi dan sedimentasi, sistem agroforestri juga dapat meningkatkan kualitas sifat
fisik dan kimia tanah.
Vegetasi yang berbeda mempunyai karakter yang berbeda dalam
kemampuan menambat karbon dan kemampuan berinteraksi dengan tanah
menghasilkan bahan organik tanah. Interaksi bahan organik dan
mikroorganisme tanah dapat memperbaiki agregat dan struktur tanah. Struktur
tanah yang baik dapat meningkatkan laju infiltrasi tanah, sehingga dapat
memperbaiki fungsi hidrologi suatu DAS. Dengan demikian fungsi hidrologi
yang baik dapat meningkatkan kapasitas suatu DAS menampung air ( Gambar
Perubahan Pengg. Lahan
Tan. Pangan Daerah Aliran Sungai (DAS)
Daya Simpan Air DAS Agroforestri
Sekuestrasi C
Gambar 1. Kerangka pemikiran dalam melakukan penelitian Penutupan Vegetasi :
- Biomassa Total - C-Organik Tanah
Sifat Fisik Tanah: - Agregat - Infiltrasi
Aliran Perm. & Erosi
Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah untuk mengkaji tingkat erosi, sekuestrasi karbon
dan daya simpan air pada berbagai tipe penggunaan lahan di Sub DAS
Jenneberang Hulu.
Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi
pemerintah daerah dan petani dalam menentukan tipe penggunaan lahan dan
agroteknologi yang diterapkan berdasarkan kondisi biofisik wilayah setempat.
Hipotesis
1. Perubahan penggunaan lahan dari lahan hutan alam menjadi bentuk
agroforestri akan meningkatkan aliran permukaan dan erosi, menurunkan
kualitas sifat fisik tanah, sekuestrasi karbon dan daya simpan air dalam
tanah.
2. Tingkat sekuestrasi karbon tanah akan berkorelasi dengan bobot isi
tanah, porositas, permeabilitas dan daya simpan air tanah.
3. Perubahan penggunaan lahan hutan alam menjadi bentuk agroforestri
dan usaha tani tanaman pangan akan menurunkan daya simpan air
dalam suatu DAS.
TINJAUAN PUSTAKA
Peranan Hutan Tropis dalam Siklus Karbon dan Fungsi Hidrologi
Peranan hutan tropis dalam neraca karbon atmosfer ditunjukkan oleh
banyaknya karbon yang tersimpan di dalam biomassa dan jumlah yang
tersirkulasikan per tahun. Sirkulasi karbon melalui ekosistem hutan tropis
berlangsung amat cepat. Jumlah karbon yang besar tersimpan dalam biomassa
dikeluarkan melalui respirasi ke atmosfer (Murdiyarso dan Satjapradja, 1997;
ESA, 2000). Pemasukan karbon berlangsung melalui fotosintesa yang
dipercepat oleh faktor lingkungan yang memadai dan pengelolaan hutan yang
baik.
Penebangan hutan secara fisik merupakan kegiatan yang mengubah
sifat permukaan dan tataguna lahan. Kegiatan ini secara langsung akan
menimbulkan dampak terhadap transfer bahang (heat) dan massa (mass) dari dan ke permukaan yang berubah sifatnya. Dampak langsung ini selanjutnya
akan mempengaruhi neraca energi, neraca air dan neraca hara (Murdiyarso dan
Satjapradja, 1997).
Neraca energi terpengaruh dengan berubahnya albedo. Pada awalnya
albedo akan berubah karena berubahnya sifat geometrik dan optik atmosfer
yang dicemari asap dan aerosol yang dihasilkan proses pembakaran.
Sementara perubahan albedo juga ditentukan oleh sifat optik permukaan yang
baru yang dapat meneruskan radiasi sampai ke permukaan tanah.
Perubahan neraca energi selanjutnya akan memicu perubahan neraca
air, karena transfer uap air atau bahang laten dikendalikan oleh ketersediaan
energi. Jika terjadi penurunan evaporasi dapat mengakibatkan limpasan
permukaan meningkat. Peningkatan limpasan permukaan dan tiadanya
vegetasi penutup tanah berakibat pada peningkatan erosi. Suhu tanah yang
meningkat akibat peningkatan energi yang diserap tanah akan mempercepat
mineralisasi bahan organik.
Untuk meningkatkan penyimpanan karbon dalam tanah, metode
pengelolaan lahan yang baru haruslah: (1) meningkatkan jumlah karbon masuk
ke dalam tanah dalam bentuk residu tanaman, dan (2) menekan kecepatan
dekomposisi bahan organik tanah. Jumlah karbon yang masuk ke dalam tanah
merupakan fungsi dari produksi tanaman dan proporsi produksi tanaman yang
Kecepatan dekomposisi dikontrol oleh keadaan lingkungan tanah seperti suhu,
kelembaban, ketersediaan oksigen dan komposisi bahan organik, posisi bahan
organik dalam profil tanah dan tingkat perlindungan fisik agregat tanah (Bruce et al., 1999).
Beberapa hasil pengukuran C tersimpan pada berbagai system
penggunaan lahan oleh tim peneliti Alternatives to Slash and Burn (ASB phase 1
dan 2) di Jambi (Tomich et al., 1998), adalah sebagai berikut:
- Hutan alam menyimpan C tertinggi sekitar 497 ton/ha dibandingkan
system penggunaan lahan lainnya. Lahan ubi kayu monokultur
penyimpan C terendah (sekitar 49 ton/ha).
- Gangguan hutan alami menyebabkan hutan kehilangan C sekitar 250
ton/ha, dimanan kehilangan terbesar terjadi karena hilangnya pohon,
sedangkan C dalam tanah relative kecil.
- Bila hutan sekunder terus dikonversi ke sistem ubi kayu monokultur,
maka kehilangan C di atas permukaan tanah bertambah menjadi
300-350 ton/ha.
- Tingkat kehilangan C dapat diperkecil bila hutan dikonversi menjadi
sistem agroforestri berbasis karet sekitar 290 ton C/ha di bagian atas
tanah, dan sekitar 370 ton C/ha bila dikonversi menjadi hutan
tanaman industry (HTI) sengon.
- Penyimpanan C rata-rata per siklus tanaman bervariasi tergantung
umur tanaman. Semakin banyak dan semakin lama C tersimpan
dalam biomassa pohon semakin baik.
- Lahan hutan yang telah terganggu, agroforestri multistrata
(bermacam jenis pohon) dan agroforestri sederhana (tumpangsari
pohon dan tanaman pangan) menimbun C dalam biomassa rata-rata
sekitar 2.5 ton/ha/th. Sedangkan penimbunan C dalam lahan
pertanian semusim ubi kayu-rumput-rumputan dapat diabaikan,
karena kebanyakan C hilang oleh adanya pembakaran.
- Besarnya penyimpanan C dalam suatu lahan dipengaruhi oleh tingkat
kesuburan tanahnya. Penyisipan pohon leguminose dalam system
agroforestri meningkatkan jumlah C tersimpan dalam biomassa.
Penyimpanan karbon di dalam tanah berubah karena erosi, yang
menyebabkan redistribusi karbon pada permukaan tanah. Pemecahan agregat
terlindung dalam agregat. Selain peranan dalam penyimpanan karbon hutan
juga berfungsi dalam pengaturan hidrologi.
Setidaknya ada enam aspek pengaruh hutan terhadap fungsi hidrologi
wilayah (Calder, 1998) yang dapat dicatat sebagai berikut:
1. Hutan meningkatkan curah hujan: Walaupun awalnya sulit dibuktikan, saat ini
dapat ditunjukkan bahwa hilangnya hutan juga diikuti oleh berkurangnya
curah hujan seperti yang dialami oleh Pulau Jawa. Pengurangan hutan yang
nyata dalam kawasan yang luas dalam tiga dekade terakhir ini telah
menurunkan jumlah curah hujan tahunan sampai 1.000 mm/tahun atau 25%
lebih rendah dari kondisi awal abad ini. Implikasi lebih serius dapat terjadi
dengan hilangnya kawasan hutan
2. Hutan meningkatkan aliran sungai: Yang terjadi adalah vegetasi hutan juga
mengkonsumsi air dalam jumlah yang besar, sehingga hutan justru
cenderung menurunkan aliran sungai. Walaupun untuk hutan yang mapan,
telah terjadi keseimbangan hidrologi wilayah, sehingga penurunan ini tidak
terasa lagi. Sebaliknya, dengan hilangnya hutan maka aliran sungai akan
meningkat dan banjir diwaktu musim penghujan, sampai tercapai
keseimbangan hidrologi yang baru setelah jangka waktu yang panjang
(ratusan tahun).
3. Hutan berperan dalam mengatur dan memperkecil fluktuasi debit sungai.
Apabila fluktusi debit sungai kecil maka air yang keluar dapat dimanfaatkan
secara maksimal.
4. Hutan mengurangi erosi: Hal ini sangat bergantung pada situasi dan kondisi,
seperti intensitas hujan, kelerengan lahan, dan faktor geologi batuan, serta
metode pengelolaan yang dipilih. Pengalaman di Jawa, hutan jati
menunjukkan tingkat erosi yang tinggi.
5. Hutan mengurangi banjir: Terdapat pengalaman dan pemberitaan media
massa membenarkan pernyataan ini, sementara kajian hidrologi umumnya
yang menunjukkan lemahnya hubungan penggunaan lahan dengan banjir
dan menyimpulkan kurangnya bukti ilmiah yang mendukung laporan bahwa
deforestasi meningkatkan banjir. Secara bertahap deforestasi menyebabkan
menurunnya daya infiltrasi tanah.
6. Hutan meningkatkan mutu pasokan air: Kecuali pada daerah dengan iklim
yang tercemar berat yang menghasilkan hujan asam. Mutu air lazimnya lebih
pengelolaan hutan itu sendiri. Saat ini DAS berhutan menjadi andalan untuk
menjamin pasokan air bersih kota-kota metropolitan dunia.
Dinamika Karbon dalam Tanah Pertanian
Tanah merupakan pool karbon yang penting di dunia yang meliputi 1.500
– 2.000 Pg (1 Pg = petagram = 1 milyar ton) dan 800 – 1000 Pg sebagai karbon
inorganik tanah dalam bentuk karbonat (Bruce et al., 1999). Kandungan karbon organik tanah umumnya tinggi dalam tanah alami di bawah vegetasi rumput atau
hutan. Konversi hutan dan padang rumput menjadi areal pertanian dan
peternakan mengakibatkan hilangnya karbon organik tanah. Lahan padang
rumput dan hutan mengalami kehilangan karbon organik tanah 20–50 % dari
kandungan awalnya setelah diolah selama 40–50 tahun. Kehilangan karbon
organik tanah dari masa lalu suatu areal sering berkaitan dengan tingkat
produksi yang rendah, pengolahan tanah yang intensif, penggunaan pupuk dan
amelioran organik yang kurang memadai dan kurangnya perlindungan tanah
dari erosi dan proses degradasi lahan yang lain (Bruce et al., 1999).
Besarnya jumlah C tersimpan di atas tanah ditentukan oleh besarnya
jumlah C tersimpan dalam tanah, melalui peran bahan organik tanah dalam
mempertahankan kimia tanah (ketersediaan hara), kondisi fisik tanah
(mempertahankan berat isi dan aerasi tanah) (Mutuo et al., 2005).
Sebagian besar kehilangan karbon tanah pertanian terjadi selama
dekade awal setelah pengolahan tanah. Dengan waktu, kecepatan kehilangan
karbon menurun sejalan dengan semakin menurunnya pool karbon yang mudah
terdekomposisi dan adanya perbaikan pengelolaan lahan. Sebagai
konsekuensinya, sebagian besar tanah pertanian sekarang hampir netral dalam
kaitannya dengan emisi atau penyerap karbon. Berdasarkan hasil simulasi
komputer (Smith et al., 1997) menunjukkan bahwa kehilangan karbon tanah dari tanah pertanian di Kanada rata-rata hanya 40 kg/ha/th pada tahun 1990 dan
rata-rata kehilangan tersebut terus menurun.
Bruce et al. (1999) menyatakan bahwa perubahan kandungan karbon tanah merupakan refleksi dari hasil bersih dari input karbon (dari bahan
tanaman) dan kehilangan karbon melalui dekomposisi. Dekomposisi berarti
perombakan yang dilakukan oleh sejumlah mikroorganisme (unsur biologi dalam
tanah) dari senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana. Oleh karena itu
meningkatkan jumlah karbon tanah melalui residu tanaman atau 2) menekan
laju dekomposisi karbon tanah. Laju dekomposisi dapat dikontrol oleh kondisi
tanah (misalnya kelembaban, temperatur dan kecukupan oksigen), komposisi
bahan organik, penempatan bahan organik di antara profil tanah, dan tingkat
proteksi secara fisik (misalnya di antara agregat tanah).
Simpanan karbon tanah juga dapat berubah karena erosi, di mana
terdapat redistribusi karbon pada permukaan tanah. Beberapa bagian pada
permukaan tanah dapat terjadi kehilangan karbon dan di lain tempat dapat
terjadi penambahan karbon. Sequester C dalam tanah dapat juga dihitung
berdasarkan input C dari sisa tanaman dan sumber lain dan jumlah pelepasan
C menjadi CO2. Jadi jumlah bersih sequstrasi C sama dengan besarnya input C
(sisa tanaman) dikurangi output C (pelepasan C sebagai CO2) dengan asumsi
kehilangan akibat erosi dan pencucian diabaikan (Duiker dan Lal. 2000).
Pengolahan tanah dengan mengikuti prinsip konservasi dapat berperan
dalam menjaga residu tanaman pada permukaan tanah, vegetasi penutup
tanah, dan rotasi tanaman. Bahan organik tanah (OM) dan karbon organik
tanah (OC) keduanya menentukan karbon dalam tanah.
Bentuk bahan organik menunjukkan bahan organik yang berasal dari
sisa tanaman yang dimulai dengan proses dekomposisi. Konversi dari bahan
organik menjadi karbon organik umumnya berkisar antara 1.70-1.72 kg bahan
organik akan mengandung 1 kg karbon organik (Rickman et al. 2001).
Karbon merupakan penyusun bahan organik, oleh karena itu
peredarannya selama pelapukan jaringan tanaman sangat penting. Sebagian
besar dari energi yang diperlukan oleh flora dan fauna tanah berasal dari
oksidasi karbon. Sebagai akibat dari hal tersebut maka CO2 terus menerus
terbentuk. Berbagai perubahan yang terjadi dan menyertai reaksi karbon
tersebut dalam atau di luar tanah disebut peredaran karbon yang ditunjukkan
Tumbuhan
CO2
Udara Binatang
Pupuk hijau Pupuk kandang
sisa tanaman Reaksi tanah
CO3-2 HCO3
Kegiatan jasad mikro
CO2
-Hilang karena drainase meliputi:
CO2, karbonat dan bikarbonat-Ca, Mg, K, dll.
Gambar 2 Bagan peredaran karbon di dalam dan di luar tanah (Buckman dan Nyle, 1982)
Pembebasan karbon organik menghasilkan CO2. Proses tersebut
merupakan sumber CO2 tanah, disamping CO2 yang dikeluarkan akar tumbuhan
dan terbawa oleh air hujan. Karbon dioksida yang dihasilkan tanah akhirnya
akan dibebaskan ke atmosfer, yang kemudian akan digunakan lagi oleh
tanaman. Dengan demikian peredaran karbon akan terus berlangsung seperti
tersebut di atas.
Sejumlah kecil CO2 bereaksi dalam tanah membentuk asam karbonat,
Ca-, Mg- dan K-karbonat atau bikarbonat. Garam-garam tersebut mudah larut
dan mudah hilang terikut dalam air drainase atau diserap tumbuhan. Dengan
demikian Ca, Mg dan K juga menjadi tersedia bagi tumbuhan.
Potensi Peningkatan Karbon pada Lahan Pertanian
Tingkat perolehan karbon setelah mengadopsi metode perbaikan
pengelolaan tanah sangat bervariasi tergantung jenis tanah (Paustian et al., 1997b). Variasi respon dapat disebabkan oleh beberapa faktor:
1. Status karbon tanah awal. Tanah yang telah mengalami penurunan
[image:35.595.172.482.80.319.2]baik di masa lampau. Jika tanah dikelola dengan lebih baik, potensial
penyerapan karbon di dalam tanah menjadi lebih besar.
2. Kondisi iklim. Tingkat penyerapan karbon jauh lebih tinggi apabila
terjadi di lingkungan dengan produktivitas yang tinggi. Tingkat
penyerapan karbon terhambat di dalam lingkungan yang
produktivitasnya terhambat karena iklim yang dingin ataupun iklim
yang kering.
3. Variabel agronomi. Jumlah karbon yang dapat diperoleh sebagai
respon dari pengelolaan tanah-minimum dan tanpa olah tanah juga
ditentukan oleh praktek agronomi yang lain seperti aplikasi pupuk
dan cara penanaman.
Disamping respon yang bervariasi, rata-rata akumulasi karbon dapat
diperkirakan dengan akurasi yang dapat diterima dari data jangka panjang
sekitar 0.3 Mg/ha/th. Untuk memperkirakan potensial akumulasi karbon di
dalam tanah selama dekade awal hingga 2020, dengan asumsi menerapkan
teknologi konservasi tanah, pada lahan yang tidak terdegradasi dengan
hambatan iklim kering dan dingin sebesar 0.2 Mg/ha/th.
Pada lahan yang dikonversi dari lahan pertanian menjadi padang rumput
atau ditanami tanaman tahunan penutup tanah umumnya menghasilkan
penyerapan karbon yang tinggi. Sequestrasi karbon pada lahan rumput
bervariasi menurut jenis tanah. Tanah yang bertekstur pasir kurang sensitif
daripada yang bertekstur halus pada daerah yang beriklim panas dan
persentase konsentrasi C-organik tanah menurun menurut kedalaman tanah
serta tingkat akumulasi karbon akan menurun dengan waktu, sebagian besar
penyerapan karbon dalam bentuk akar dan serasah tanaman (Potter et al., 2001).
Paustian et al.,(1997b), memperkirakan rata-rata tingkat penyerapan karbon pada tanah pertanian yang dikonversi ke rumput dan tanaman tahunan
sekitar 0.8 Mg/ha/th pada tahap awal setelah konversi. Di daerah tropika
penanaman lahan pertanian dengan tanaman penutup tanah dapat
meningkatkan penyerapan karbon 250 – 500 kw/ha dalam jangka waktu 4 – 12
bulan tergantung pada jenis tanaman penutup tanah yang digunakan (Arsyad,
2000).
Bruce et al. (1999) mengemukakan beberapa strategi untuk meningkatkan karbon yang diklasifikasikan ke dalam empat pendekatan utama :
1) mengurangi intensitas pengolahan tanah, 2) intensifikasi sistem pertanaman,
3) adopsi metode peningkatan hasil, seperti perbaikan sistem pemupukan, dan
4) penggunaan tanaman tahunan.
Penurunan Intensitas Pengolahan Tanah
Pengolahan tanah dapat meningkatkan kehilangan karbon tanah melalui
penurunan bahan organik tanah hingga 30-50 % pada kegiatan pertanian yang
terus-menerus, disebabkan beberapa faktor yaitu: 1) merusak agregat tanah
yang melindungi bahan organik tanah dari dekomposisi, 2) meningkatnya output
yang mempercepat dekomposisi akibat pencampuran pada waktu olah tanah,
dan 3) hilangnya partikel berukuran debu yang mengandung bahan organik
tanah akibat erosi oleh air atau angin.
Pengolahan tanah dapat menyebabkan tanah lebih mudah tererosi,
mengakibatkan hilangnya karbon melalui erosi. Menurut Hussain et al. (1999) selama delapan tahun pengolahan tanah terjadi penurunan secara nyata
kemantapan agregat lapisan 0 – 5 cm, sebaliknya pada tanpa olah tanah
memiliki tingkat makroagregasi dan kandungan C tinggi dengan tanpa olah
tanah dalam waktu yang cukup lama. Peningkatan kemantapan agregat
disebabkan meningkatnya POM dan asosiasi fraksi mineral dan bahan organik
pada tanpa olah tanah. Penurunan intensitas olah tanah mempunyai proporsi
luas terhadap rendahnya laju dekomposisi dan C/N ratio, sedangkan pada olah
tanah intensif berperanan terhadap rendahnya kemantapan agregat.
Rendahnya kadar C organik dalam makroagregat pada olah tanah
mengakibatkan tanah lebih mudah tererosi oleh air, sebab terjadi penurunan
ketahanan terhadap slaking (penghancuran agregat tanah). Pengolahan tanah menghancurkan fraksi bahan organik yang tidak terlindungi secara fisik dalam
makroagregat berupa pemantap agregat sementara yang berfungsi mengikat
mikroagregat menjadi makroagregat (Balesdent et al.,2000).
Pengolahan tanah dapat mempercepat kehilangan karbon tanah melalui
beberapa mekanisme yaitu: agregat tanah terganggu, yang melindungi bahan
organik dari dekomposisi; dapat menstimulasi aktivitas mikroba dengan
kondisi untuk dekomposisi sering lebih baik daripada di permukaan (Bruce et al., 1999).
Hasil pengamatan Bayer et al. (2000) menyimpulkan bahwa simpanan bahan organik tanah pada jenis tanah Acrisol Lempung Liat Berpasir dapat lebih
besar tergantung sistem olah tanah serta pertanaman dan pengaruhnya
terhadap laju kehilangan dan penambahan bahan organik. Tanpa olah tanah
menyebabkan total karbon organik (TOC) yang tinggi pada profil tanah dengan
kedalaman 0-30 cm dibanding pengolahan tanah konvensional. Selanjutnya,
konsentrasi TOC terbatas pada lapisan permukaan 0-5 cm untuk sistem
pertanaman O/M (gandum dan jagung); 0-12.5 cm pada O+V/M+C
(gandum+pupuk kandang/jagung+cowpea). Perbedaan konsentrasi TOC pada
tanah tanpa olah tanah (NT) pada (O/M) pada tanah kedalaman 0-30 cm
sebesar 4.6 Mg/ha lebih besar (49.2 Mg/ha) dari jumlah TOC pada sistem olah
tanah konvensional (CT) sebesar (44.6 Mg/ha). Sedangkan pada sistem
O+V/M+C masing-masing 56.6 Mg/ha (NT) dan 50.2 Mg/ha (CT) atau lebih
tinggi sebesar 6.4 Mg/ha pada NT.
Akumulasi karbon dalam tanah terjadi di antara agregat (Bernoux et al., 2006). Perbedaan akumulasi TOC dalam tanah antara CT dan NT pada kedua
sistem pertanaman tersebut kemungkinan disebabkan oleh tingginya laju
dekomposisi bahan organik tanah pada CT. Menurut Bayer et al. (2000), kehilangan C tinggi setelah dilakukan pengolahan tanah dengan cara
pembajakan. Pada NT, sebagian besar residu tanaman tinggal pada permukaan
tanah, dengan jumlah yang sedikit kontak langsung dengan tanah. Akibatnya
dekomposisi residu berjalan dengan lambat, juga dapat menyebabkan
rendahnya temperatur pada permukaan tanah (Reicosky et al. 1999) dan dapat merupakan proteksi permukaan tanah dari erosi (Bayer et al. 2000) .
Intensifikasi Sistem Pertanaman
Untuk kelansungan hidupnya tumbuhan memerlukan sinar matahari, gas
asam arang (CO2) yang diserap dari udara serta air dan hara yang diserap dari
dalam tanah. Melalui proses fotosintesis, CO2 di udara diserap oleh tanaman
dan diubah menjadi karbohidrat, selanjutnya disebarkan keseluruh tubuh
tanaman dan akhirnya ditimbun di seluruh bagian tubuh tanaman. Proses
pengurangan CO2 di udara oleh tanaman hidup tersebut dinamakan proses
disimpan dalam tubuh tanaman hidup (biomassa) pada suatu lahan dapat
menggambarkan banyaknya CO2 di atmosfer yang diserap oleh tanaman.
Sedangkan pengukuran C yang masih tersimpan dalam bagian tumbuhan yang
telah mati (nekromasa) secara tidak langsung menggambarkan CO2 yang tidak
dilepaskan ke udara lewat pembakaran (Hairiah et al., 2004).
Beberapa sistem pertanaman dapat diintensifkan untuk meningkatkan
aktifitas photosintesis. Penggunaan tanaman penutup tanah rumput-rumputan,
semak dan terutama pohon-pohonan dapat meningkatkan karbon tanah karena
tanaman tersebut meningkatkan periode pertumbuhan aktif dan menghasilkan
proporsi yang lebih besar karbon dalam tanah (Paustian et al, 1997a). Intensifikasi sistem pertanaman tidak hanya meningkatkan jumlah karbon yang
masuk ke dalam tanah, tetapi juga menekan laju dekomposisi melalui
pendinginan akibat penaungan.
Aplikasi Tindakan Agronomi
Aplikasi pemupukan dan pemberian amelioran bahan organik
meningkatkan penyerapan karbon dengan peningkatan produksi dan jumlah
residu yang dikembalikan ke dalam tanah. Tindakan agronomi yang lain yang
mampu meningkatkan produksi termasuk perbaikan varietas tanaman,
pengendalian hama yang lebih baik, cara pemberian pupuk yang lebih efisien,
dan perbaikan pengelolaan air dapat meningkatkan karbon tanah dengan
menyediakan jumlah residu yang lebih besar yang dapat dikembalikan ke dalam
tanah.
Bahan organik memiliki peran penting dalam menentukan kemampuan
tanah untuk mendukung tanaman, sehingga jika kadar bahan organik tanah
menurun, kemampuan tanah dalam mendukung produktivitas tanaman juga
menurun. Menurunnya kadar bahan organik merupakan salah satu bentuk
kerusakan tanah yang umum terjadi. Kerusakan tanah merupakan masalah
penting bagi negara berkembang karena intensitasnya yang cenderung
meningkat sehingga tercipta tanah-tanah rusak yang jumlah maupun
intensitasnya meningkat.
Bahan organik memiliki peranan cukup penting di dalam sistem
memperbaiki sifat-sifat tanah, ketahanan tanah menahan daya pelarutan dan
pemecahan oleh air serta daya penghancuran agregat (slaking).
Hasil penelitian Sudarsono (1988), dengan pembenaman jerami ke
dalam tanah Renzina setiap tahun dan setiap dua tahun meningkatkan kadar
C-organik tanah pada periode 1962-1973 di Champagne Berrichone, Perancis.
Tetapi C-organik hampir tidak berubah dan C/N menurun pada periode
berikutnya 1973-1985. Namun nisbah C/N pada 1985 selalu lebih tinggi
daripada 1962. Dibandingkan dengan pembakaran jerami, pembenaman jerami
membawa perubahan-perubahan bahan organik tanah baik secara kuantitatif
maupun kualitatif.
Tanah tropika masam umumnya memerlukan kapur sebagai bahan
amelioran untuk mengatasi kemasaman tanah yang tinggi, dan juga untuk
menyediakan Ca bagi tanaman. Selain berpengaruh terhadap kesuburan tanah,
penambahan kapur juga mempengaruhi secara nyata kemantapan agregat
terhadap daya merusak air pada kadar C yang sama. Hasil penelitian Chan dan
Heenan (1999) menunjukkan pemberian kapur mengakibatkan tingkat
kemantapan agregat yang diperoleh pada kadar C yang lebih rendah,
sedangkan pada tingkat kemantapan agregat 50 % (>250 µm) maka total C organik pada tindakan pengapuran sebesar 13.0 g/kg sedangkan tanpa
pengapuran 17.8 g/kg.
Jenis Tanaman dan Pola Tanam
Jenis tanaman mempengaruhi kemantapan agregat. Angers dan Groux
(1996) menunjukkan bahwa penanaman jagung memberikan hasil penurunan
terhadap kemantapan agregat makro di samping meningkatkan kemantapan
agregat mikro dibanding dengan penanaman padang rumput pakan ternak.
Kondisi kemantapan agregat berhubungan dengan meningkatnya kadar C pada
agregat >2.000 µm di padang rumput adalah sebesar 30.0 g C/kg dibandingkan penanaman jagung hanya 17.7 g C/kg. Sebaliknya pada agregat mikro padang
rumput memiliki kandungan C 18.1 g C/kg sedangkan pada penanaman jagung
adalah sebesar 29.3 g C/kg. Tingginya kadar C pada agregat makro
menunjukkan ketahanan terhadap penghancuran agregat.
Pool karbon organik tanah (SOC) merupakan fungsi dari jumlah residu
tergantung pada kuantitas dan kualitas residu, sifat-sifat tanah dan pengelolaan.
Keseimbangan tingkat kandungan karbon organik tanah sering berhubungan
linear dengan jumlah residu tanaman yang diaplikasikan pada tanah.
Kandungan lignin pada residu dapat berdampak positif terhadap akumulasi
karbon organik tanah (Lal et al. 1999). Sitompul, et al. (1996) melaporkan bahwa keadaan tanah yang optimal bagi pertumbuhan tanaman diperlukan
adanya bahan organik tanah di lapisan atas paling sedikit 2 %.
Menurut Hairiah (2004) sebagian besar CO2 di udara dipergunakan oleh
tanaman selama fotosintesis dan memasuki ekosistem melalui serasah tanaman
yang jatuh dan akumulasi C dalam biomasa (tajuk) tanaman. Separuh dari
jumlah C yang diserap dari udara bebas tersebut diangkut ke bagian akar
berupa karbohidrat dan masuk ke dalam tanah melaui akar-akar yang mati.
Selanjutnya dikemukakan bahwa ada 3 pool utama pemasok C ke dalam tanah
yaitu: 1) tajuk tanaman pohon dan tanaman semusim yang masuk sebagai
serasah dan sisa panen; 2) akar tanaman, melalui akar yang mati, ujung-ujung
akar, eksudasi akar dan respirasi akar; dan 3) biota. Serasah dan akar mati
yang masuk ke dalam tanah akan segera dirombak oleh biota heterotrop, dan
selanjutnya memasuki pool bahan organik tanah.
Bahan organik merupakan salah satu komponen penyusun tanah yang
sangat penting bagi ekosistem tanah, yaitu sebagai sumber 'source' dan pengikat 'sink' hara dan sebagai substrat bagi mikroba tanah. Macam BOT dapat diklasifikasikan ke dalam fraksi berdasarkan ukuran, berat jenis, dan sifat
kimianya. Peranan BOT terhadap perbaikan lingkungan pertumbuhan tanaman.
mikroorganisma dan fauna tanah dapat membantu terjadinya agregasi tanah
sehingga dapat meningkatkan ketersediaan air tanah dan mengurangi terjadinya
erosi.
Tanah pertanian di daerah tropik basah umumnya memiliki kandungan
bahan organik yang sangat rendah di lapisan atas. Sementara pada tanah yang
masih tertutup vegetasi permanen (hutan), umumnya kadar bahan organik di
lapisan atas masih sangat tinggi. Perubahan hutan menjadi lahan pertanian
mengakibatkan kadar bahan organik tanah menurun dengan cepat. Hal ini
antara lain disebabkan oleh beberapa hal yaitu: (a) pelapukan (dekomposisi) bahan organik berlangsung sangat cepat, sebagai akibat tingginya suhu udara
dan tanah serta curah hujan yang tinggi, (b) pengangkutan bahan organik keluar
pengembalian sisa-sisa panen dan pemasukan dari luar, sehingga tanah
kehilangan potensi masukan bahan organik.
Pengertian, Potensi dan Kendala Agroforestri
Pengertian
Konsepsi agroforestri telah mengemuka jauh sebelum masuknya
perubahan iklim dalam agenda politik internasional. Berbagai pengertian yang
berkaitan dengan agroforestri, namun antara satu dengan lainnya secara
substansial relatif tidak berbeda. International Council for Research in Agroforestry mendefinisikan Agro forestry sebagai suatu sistem pengelolaan lahan yang berasaskan kelestarian, untuk meningkatkan hasil lahan secara
keseluruhan, melalui kombinasi produksi (termasuk tanaman pohon-pohonan)
dan tanaman hutan dan atau hewan secara bersamaan atau berurutan pada unit
lahan yang sama, dan menerapkan cara-cara pengelolaan yang sesuai dengan
kebudayaanpenduduk setempat.
Menurut Leakey (1996), agroforestri merupakan sistem yang
memadukan tanaman tahunan dengan tanaman pangan dan atau tanaman
pakan ternak untuk mempertahankan atau meningkatkan kesuburan tanah,
produksi tanaman, dan pengendalian erosi melalui penanaman pohonan
multi-guna yang dapat memberikan sumbangan terhadap penerimaan usahatani.
Sistem agroforestri memberikan alternatif yang berkelanjutan pada areal
pertanian dimana kepadatan penduduk meningkat pesat hingga pengelolaan
lahan dalam skala yang luas tidak mungkin lagi dilakukan sehingga lahan-lahan
marjinal pun terpaksa diusahakan (Fujisaka, 1997).
Potensi
Menurut Hairiah (2004) dalam sistem agroforestri terjadi proses saling
mempengaruhi, baik yang menguntungkan maupun yang merugikan, antar
komponen penyusun sering disebut dengan ‘interaksi’. Salah satu kunci
keberhasilan usaha agroforestri terletak pada usaha meningkatkan pemahaman
terhadap interaksi antar tanaman (tujuan jangka pendek) dan dampaknya
terhadap perubahan kesuburan tanah (tujuan jangka panjang).
Di dalam ekosistem, hubungan tanah, tanaman, hara dan air merupakan
untuk dipergunakan dalam proses metabolisme dalam tubuhnya. Sebaliknya
tanaman memberikan masukan bahan organik melalui serasah yang tertimbun
di permukaan tanah berupa daun dan ranting serta cabang yang rontok. Bagian
akar tanaman memberikan masukan bahan organik melalui akar-akar dan
tudung akar yang mati serta dari eksudasi akar. Di dalam system agroforestri
sederhana, misalnya sistem budidaya pagar, pemangkasan cabang dan ranting
tanaman pagar memberikan masukan bahan organik tambahan. Bahan organik
yang ada di permukaan tanah ini dan bahan organik yang telah ada di dalam
tanah selanjutnya akan mengalami dekomposisi, mineralisasi dan melepaskan
hara tersedia ke dalam tanah. Istilah siklus hara ini di dalam sistem agroforestri
sering diartikan sebagai penyediaan hara secara terus menerus (kontinyu) bila
ditinjau dari konteks hubungan tanaman-tanah. Dalam konteks yang lebih luas,
penyediaan hara secara kontinyu ini melibatkan juga masukan dari hasil
pelapukan mineral tanah, aktivitas biota, dan transformasi lain yang ada di
biosfir, lithosfir dan hidrosfir.
Hara hasil mineralisasi dari bahan organik tanah (BOT), mineral tanah
dan pemupukan memasuki pool hara tersedia dalam tanah. Hara tersedia
selanjutnya dapat diserap oleh tanaman. Hara tersedia yang berada di dalam
larutan tanah dapat terangkut oleh pergerakan air tanah keluar dari jangkauan
perakaran tanaman sehingga menjadi tidak tersedia bagi tanaman.
Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan akhir-akhir ini pada sistem
agroforestri, ada 3 proses utama yang terlibat dalam siklus hara : (1) Fiksasi N
dari udara: peningkatan jumlah N hasil penambatan dari udara bila tanaman
legume yang ditanam, (2) Mineralisasi bahan organik: peningkatan jumlah hara
dari hasil mineralisasi serasah dan dari pohon yang telah mati, (3) ‘Serap ulang’
hara: peningkatan jumlah serapan hara dari lapisan bawah oleh akar pepohonan
yang menyebar cukup dalam. Akar pepohonan juga mengurangi jumlah
kehilangan hara melalui erosi dengan jalan memperlambat laju aliran
permukaan dan meningkatkan air infiltrasi karena adanya perbaikan porositas
tanah.
Selanjutnya dikemukakan bahwa untuk menghindari kegagalan
agroforestri, ada tiga hal utama yang perlu diperhatikan yaitu: 1) proses
terjadinya interaksi, 2) faktor penyebab terjadinya interaksi, dan 3) jenis
Interaksi Positif (Facilitation):
Daun dari pepohonan yang gugur ke tanah sebagai serasah berguna
sebagai penutup permukaan tanah (mulsa), meningkatkan penyedian N dan
hara lainnya yang berguna bagi tanaman semusim. Tingkat penyediaan N dari
hasil mineralisasi serasah pepohonan tersebut sangat dipengaruhi oleh
kualitasnya (kandungan hara).
Serasah yang berkualitas rendah (konsentrasi N rendah, konsentrasi
lignin dan polipfenol tinggi) justru merugikan untuk jangka pendek karena
adanya immobilisasi N, tetapi menguntungkan untuk jangka waktu panjang.
· Akar pepohonan membantu dalam daur ulang hara (recycled nutrient)
melalui beberapa jalan yaitu:
1. Akar pohon menyerap hara di lapisan atas dengan jalan berkompetisi
dengan tanaman semusim, sehingga mengurangi pencucian hara ke
lapisan yang lebih dalam. Namun pada batas tertentu kompetisi ini akan
merugikan tanaman semusim.
2. Akar pohon berperan sebagai ‘jaring penyelamat hara’ yaitu menyerap
hara yang tercuci ke lapisan bawah selama musim pertumbuhan.
3. Akar pohon berperan sebagai ‘pemompa hara’ terutama pada tanah
subur, yaitu menyerap hara hasil pelapukan mineral/batuan pada lapisan
bawah. Namun hal ini masih bersifat hipothesis, dan masih perlu
penelitian lebih lanjut.
4. Akar yang telah membusuk ini akan menetralisir keracunan Al pada
lapisan yang lebih dalam, sehingga akar tanaman lain dapat tumbuh
mengikuti bekas lubang akar tersebut. Pensuplai Nitrogen tersedia bagi
akar tanaman semusim, baik melalui pelapukan akar yang mati
selama pertumbuhan, maupun melalui fiksasi N-bebas dari udara
(untuk tanaman legume ). Penyediaan N melalui fiksasi ini dapat
dimanfaatkan langsung oleh akar tanaman semusim yang tumbuh
berdekatan. Menekan populasi gulma melalui penaungan, dan pada
musim kemarau mengurangi resiko kebakaran karena kelembaban yang
lebih terjaga.· Menjaga kestabilan iklim mikro (mengurangi kecepatan
angin, meningkatkan kelembaban tanah dan memberikan naungan
parsial (misalnya Erythrina pada kebun kopi). Mempertahankan kandungan bahan organik tanah dan memperbaiki struktur tanah, dapat
Vegetasi melindungi tanah terhadap kerusakan yang disebabkan oleh
energi kinetik butir