121
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku
A.K., Syahmin, Hukum Perjanjian Internasional Menurut Konvensi Wina 1969,
Armico, Bandung, 1985.
Buck, Trevor, International Child Law,Cavendish Publishing Limited, London,
2005.
Coppola, Damon P., Introduction to International Disaster Management,
Butterworth-Heinemann, Burlington-USA, 2007.
Delaney,Stephanie, Melindungi Anak-Anak dari Eksploitasi Seksual & Kekerasan
Seksual dalam Situasi Bencana & Gawat Darurat, ECPAT Internasional, Medan, 2006.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta, 1988.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia: Edisi Ketiga,
Balai Pustaka, Jakarta, 2007.
Pasaribu, J E Gunarso, Aspek Hukum Internasional dalam Perlindungan Hak-Hak
Anak, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2011.
Harper, Erica, International Law and Standard Applicable in Natural Disaster
Situation = Perlindungan Hak-Hak Warga Sipil dalam Situasi Bencana, Grasindo, Jakarta, 2009.
Joni, Muhammad dan Zulchaina Z. Tanamas, Aspek Hukum Perlindungan Anak
Kodoatie, Robert J. dan Roestam Sjarief, Pengelolaan Bencana Terpadu, Yarsif Watampone, Jakarta, 2006.
Kuper, Jenny, International Law Concerning Child Civilians in Armed Conflict,
Clarendon Press Oxford, New York, 1997.
Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia: Pengembangan Konsep Diversi
dan Restorative Justice, Refika Aditama, Bandung, 2009.
Mauna, Boer, Hukum Internasional Pengertian, Peranan, dan Fungsi Dalam Era
Dinamika Global, Alumni, Bandung, 2005.
Nurrachman, Nani, Pemulihan Trauma: Panduan Praktis Pemulihan Trauma
Akibat Bencana Alam, LPSP3 Fakultas Psikologi UI, Jakarta, 2007.
Prinst, Darwan, Hukum Anak Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997.
Ramli, Soehatman, Pedoman Praktis Manajemen Bencana (Disaster
Management), PT Dian Rakyat, Jakarta, 2010.
Rozaki, Abdur, dkk, Mengembangkan Gampong Peduli Hak Anak, IRE
Yogyakarta, Yogyakarta, 2009.
Saraswati, Rika, Hukum Perlindungan Anak di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2009.
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 2005.
Sudibyakto, Manajemen Bencana di Indonesia Ke Mana?, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, 2011.
Suharto, Edi, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis
123
Susanto, A. B., Sebuah Pendekatan Strategic Management: Disaster Management
di Negeri Rawan Bencana, PT Aksara Grafika Pratama, Jakarta, 2006.
Susilowati, Ima, dkk, Pengertian Konvensi Hak Anak, UNICEF, Jakarta, 2003.
UNICEF, Pengembangan Hak Anak –Pedoman Pelatihan tentang Konvensi Hak
Anak, Jakarta, 1996.
Waluyadi, Hukum Perlindungan Anak, Mandar Maju, Bandung, 2009.
2. Internet
“Bencana Alam
2014.
“E-Newsletter Wahana Visi Indonesi
diakses pada 12 Juni 2014.
“FAQS: UNICEF IN EMERGENCIES”
“ISDR Informs, Edisi 2, 2006” pada 10 Mei 2014.
“KPAI Selenggarakan Pertemuan Koordinasi “Perlindungan Anak dalam Situasi Bencana””, 2014.
“Karakteristik dan Manajemen Bencana April 2014.
“Melindungi Anak dalam Situasi Emergency(Pengalaman PKPA dalam respon
tanggap darurat di Indonesia)
diakses pada 7 Juni 2014.
“Mengenal Bencana”
Muhammad Joni, Hak-Hak Anak dalam UU Perlindungan Anak dan Konvensi
PBB tentang Hak Anak: Beberapa Isu Hukum Keluarga, Jakarta: Komisi Nasional Perlindungan Anak, 2008, hal 2,
Natalia Yeti Puspita, Legal Analysis of Human Rights Protection in Times of
Natural Disaster and Its Implementation in Indonesia, Working Paper Series No. 013, The Asian Law Institute, 2010, hal 3,
“Penanganan Anak dalam Masa Tanggap Darurat Bencana Alam: Tinjauan Konvensi Hak Anak dan Undang-Undang Perlindungan Anak”, http://
125
“Perlindungan Anak Berdasarkan Undang-Undang di Indonesia dan Beijing
Rules”,
“Perlindungan Anak dalam Situasi Bencana
2014.
“Perlindungan Anak dalam Situasi Bencana (Kajian Perumusan Pedoman Praktis
Tanggap Darurat Berperspektif Anak)
“Rausya dan Agenda Perlindungan Anak” 20 Maret 2014.
“REKOMENDASI SYMPOSIUM INTERNASIONAL “Pembahasan Aspek Hukum Internasional dalam Penanganan Bencana” (Dalam rangka memberikan input RUU PB) Jakarta, 11 April 2006”, http://www.mpbi. org/files/pustaka/rekomendasi%20Simposium%20Internasional_%20final.
pdf diakses pada tanggal 20 Mei 2014.
“Ten-year review of the Yokohama Strategy and Plan of Action”,
7 Mei 2014.
“Topan Haiyan menghancurkan Filipina, bantuan besar-besaran sedang
berlangsung”,
2014.
“UNICEF Annual Report 2013”,
“UNICEF appeals for $34 million for the children of the Philippines, as Yolanda
crisis deepens
diakses pada 12 Juni 2014.
BAB III
TINJAUAN UMUM TERHADAP BENCANA
DAN MANAJEMEN PENANGGULANGANNYA
A.Pengertian dan Jenis-Jenis Bencana
Istilah bencana dapat diartikan sebagai sesuatu yang menimbulkan
kesusahan, kerugian, penderitaan, malapetaka, kecelakaan dan mara
bahaya.47Bencana merupakan kejadian yang luar biasa, diluar kemampuan normal
seseorang menghadapinya, menakutkan dan juga mengancam keselamatan
jiwa.Akibatnya, berbagai bangunan penting hancur, korban jiwa berjatuhan dan
mempengaruhi kondisi psikologis dari mereka yang terkena dampak bencana.48
Menurut Pasal 1 Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana, bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa
yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang
disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor
manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis. Bencana merupakan
pertemuan dari tiga unsur, yaitu ancaman bencana, kerentanan, dan kemampuan
yang dipicu oleh suatu kejadian. Menurut ISDR/International Strategy for
Disaster Reduction (2004), bencana merupakan suatu gangguan serius terhadap keberfungsian suatu masyarakat, sehingga menyebabkan kerugian yang meluas
47
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), hal 100.
48
pada kehidupan manusia dari segi materi, ekonomi atau lingkungan danyang
melampaui kemampuan masyarakat yang bersangkutan untuk mengatasi dengan
menggunakan sumberdaya mereka sendiri.49
Ada sebuah perbedaan penting antara peristiwa dan bencana.Tidak semua
peristiwa yang merugikan adalah bencana, hanya peristiwa-peristiwa yang
melebihi kemampuan tanggap darurat.Sebagai contoh, sebuah rumah yang
mengalami kebakaran biasa membutuhkan tanggapan oleh departemen kebakaran
di jurisdiksinya. Tentu ada kerugian harta benda, dan kemungkinan kemungkinan
akan luka-luka atau hilangnya nyawa. Namun karena kebakaran merupakan
kejadian rutin yang mudah untuk ditangani, kebakaran biasanya tidak dianggap
sebagai bencana.Pada kebakaran besar di Chicago tahun 1871, di sisi lain, lebih
dari 2000 hektar lahan perkotaan hancur dalam tiga hari. Secara keseluruhan,
kerusakan termasuk 28 mil jalan, 120 mil trotoar, 2000 tiang lampu, dan 18.000
bangunan, total seluruh kerusakan properti lebih dari $200 juta (sepertiga dari
nilai seluruh properti di kota Chicago pada saat itu). Antara 200 sampai 300 orang
meninggal dunia.Saat kedua peristiwa tersebut sama-sama merupakan kebakaran,
hanya kebakaran Chicago yang dapat disebut bencana.50
Dengan demikian, maka dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan
bahwa pengertian bencana yaitu suatu peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
dapat menimbulkan ancaman dan gangguan terhadap keberfungsian suatu
masyarakat melebihi batas kemampuannya, sehingga mengakibatkan kerusakan,
49
“Karakteristik dan Manajemen Bencana”, sebagaimana dimuat dalam
50
52
kerugian serta penderitaan bahkan sampai jatuhnya korban jiwa, baik terjadi
karena alam ataupun non-alam (seperti oleh manusia) ataupun karena faktor
keduanya.
Bencana ada bermacam-macam menurut sumber atau penyebabnya.United
Nation for Development Program (UNDP) mengelompokkan bencana atas 3
(tiga) jenis yaitu bencana alam, bencana non alam, dan bencana sosial.51 Menurut
Undang-Undang No. 24 Tahun 2007, bencana diklasifikasi atas 3 jenis sebagai
berikut.52
1. Bencana Alam
Yaitu bencana yang bersumber dari fenomena alam seperti gempa bumi,
letusan gunung api, meteor, pemanasan global, banjir, topan dan tsunami
2. Bencana non alam
Adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non
alam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi dan
wabah penyakit
3. Bencana sosial
Adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa
yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok
atau antar komunitas masyarakat dan teror.
51
Soehatman Ramli, Op. Cit., hal 17.
52
Kemudian dalam Disaster Management Handbook, jenis bencana yaitu gempa bumi, letusan gunung berapi, tsunami, angin topan, banjir, tanah longsor,
kebakaran, kekeringan, wabah/epidemik, kecelakaan besar, kerusuhan massal.53
Cara lain yang dapat dipergunakan adalah dengan membedakan
bagaimana bencana tersebut berkembang dari waktu ke waktu, yaitu: bencana
yang terjadi secara perlahan (seperti kekeringan, kelaparan atau ketegangan yang
meningkat antara fraksi-fraksi politik yang beroposisi) atau bencana yang terjadi
secara cepat (seperti gempa bumi atau tanah longsor).
Bencana yang menimbulkan ancaman dan kerugian bagi umat manusia
juga dapat diklasifikasikan sebagai berikut: geologi (gempa bumi, tsunami,
longsor, gerakan tanah, hidro-meteorologi (banjir, topan, banjir bandang,
kekeringan), biologi (epidemi, penyakit tanaman, hewan), teknologi (kecelakaan
transportasi, industri), lingkungan (kebakaran, kebakaran hutan, penggundulan
hutan), sosial (konflik, terorisme).
54
B.Penyebab serta Dampak-Dampak Bencana
Ada banyak penyebab terjadinya bencana, yang mana terkadang
dipandang oleh masyarakat tradisional sebagai hukuman dari Tuhan atas
pelanggaran yang dilakukan manusia terhadap kebiasaan masyarakat.Beberapa
melihat bencana sebagai fenomena alam murni, sistem alam terhadap check and
balances, dirancang untuk mengendalikan populasi dunia, sementara yang lainnya menghubungkan bencana pada kehendak Tuhan.Bagaimanapun manusia
53
Robert J. Kodoatie dan Roestam Sjarief, Pengelolaan Bencana Terpadu, (Jakarta: Yarsif Watampone, 2006), hal 5.
54
54
memandang bencana, sudah jelas bahwa peristiwa-peristiwa alam membutuhkan
keterlibatan manusia untuk menjadi suatu bencana alam.55
Penyebab bencana dapat dibagi menjadi dua yaitu alam dan manusia
(dapat juga karena faktor keduanya). Secara alami bencana akan selalu terjadi di
muka bumi, misalnya tsunami, gempa bumi, gunung meletus, jatuhnya
benda-benda dari langit ke bumi, tidak adanya hujan pada suatu lokasi dalam waktu yang
relatif lama sehingga menimbulkan bencana kekeringan atau sebaliknya curah
hujan yang sangat tinggi di suatu lokasi menimbulkan bencana banjir dan tanah
longsor. Bencana oleh aktivitas manusia adalah terutama akibat eksploitasi yang
berlebihan, alih tata guna lahan meningkat, pertumbuhan penduduk yang
mengakibatkan kebutuhan pokok dan non pokok meningkat, kebutuhan
insfrastruktur pun meningkat.56
BAKORNAS PBP (Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana
dan Pengungsi) dalam “Panduan Pengenalan Karakter Bencana dan Upaya
Mitigasi di Indonesia” menjelaskan empat faktor utama yang dapat menimbulkan
terjadinya bencana, yaitu kekurangan pemahaman terhadap karakteristik bahaya
(hazard), sikap atau perilaku yang mengakibatkan penurunan kualitas sumber
daya alam (vulnerability), kurangnya informasi atau peringatan dini (early
Bencana yang dikarenakan ulah manusia, antara
lain dapat pula disebabkan oleh gencarnya pembangunan fisik terutama di kota,
yang tidak atau kurang memperhatikan aspek kelestarian dan keseimbangan alam.
55
Natalia Yeti Puspita, Legal Analysis of Human Rights Protection in Times of Natural Disaster and Its Implementation in Indonesia, Working Paper Series No. 013, The Asian Law Institute, 2010, hal 3, sebagaimana dimuat dalam diakses pada 19 April 2014.
56
warning) yang menyebabkan ketidaksiapan dan ketidakmampuan/
ketidakberdayaan dalam menghadapi ancaman bahaya.57
Dampak bencana yaitu pengaruh atau segala sesuatu yang terjadi akibat
bencana. Berbagai dampak yang ditimbulkan akibat terjadinya bencana adalah
kematian, luka-luka, kerusakan, kehilangan dan kehancuran harta benda, sumber
mata pencaharian dan hasil pertanian, gangguan proses produksi, gangguan gaya
hidup, kehilangan tempat tinggal, kerusakan infrastruktur, gangguan sistem
pemerintahan, kerugian ekonomi, dampak psikologi, dll.58
Dampak bencana bervariasi tergantung pada kondisi, kerentanan
lingkungan dan masyarakat.Namun seiring dengan berjalannya waktu, dampak
bencana secara fisik perlahan teratasi dengan berbagai program bantuan dari
berbagai organisasi, baik pemerintah maupun LSM.59
Bencana selalu menyebabkan kerugian hebat.Kerugian ini mencakup
semua aspek kehidupan manusia, menghasilkan suatu dampak fisik, psikologis,
ekonomi dan dampak kebudayaan.Dampak fisik berbentuk kematian dan cedera,
serta kerusakan lingkungan dan hancurnya bangunan-bangunan dan
infrastruktur.Dampak psikologis berbentuk trauma, yang mana diderita oleh
banyak korban selamat. A. B. Susanto, seorang ahli manajemen bencana
Indonesia, telah menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang membuat
konsekuensi bencana bahkan lebih buruk. Dalam hal ini termasuk kemiskinan,
populasi padat dan urbanisasi, semua hal yang membuatnya sangat sulit untuk
57
A. B. Susanto, Sebuah Pendekatan Strategic Management: Disaster Management di Negeri Rawan Bencana, (Jakarta: PT Aksara Grafika Pratama, 2006), hal 3.
58
Robert J. Kodoatie dan Roestam Sjarief, Op. Cit., hal 146.
59
56
mendapatkan bantuan yang cukup untuk sejumlah besar orang, yang tidak
mempunyai tempat lain untuk pergi ketika bencana terjadi. Selain itu, perusakan
lingkungan melalui deforestasi dan penebangan dapat menyebabkan banjir, dan
kurangnya informasi dan kesadaran juga dapat memperburuk situasi yang sudah
sulit setelah peristiwa alam.Terlebih lagi, kurangnya mekanisme penegakan
hukum dapat menghambat manajemen bencana.60
Para korban selamat saat terjadi bencana mengalami persoalan dalam
penyesuaian diri terhadap kondisi fisik, psikologis dan sosial yang ada setelah
terjadinya bencana.Seringkali kondisi tersebut memunculkan konflik batin bagi
korban yang bersangkutan untuk bisa menerima kenyataan bahwa kondisi kini
sudah tidak seperti dulu.Bencana sebagai suatu pengalaman traumatik, karena
dalam waktu sekejap perubahan di lingkungan dan diri sendiri terjadi secara
sangat bermakna.61
Bencana juga merupakan salah satu faktor besar yang dapat menghambat
lajunya pembangunan nasional. Dalam pembangunan terdapat fungsi-fungsi
pembangunan dimana fungsi tersebut mempunyai tugas yang harus dilaksanakan
yaitu peningkatan pertumbuhan ekonomi (economic growth), perawatan
masyarakat (community care) dan pengembangan manusia (human
development).62
60
Natalia Yeti Puspita, Op. Cit., hal 4.
61
Nani Nurrachman, Op. Cit., hal 4.
62
Edi Suharto, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial & Pekerjaan Sosial, (Bandung: Refika Aditama, 2005), hal 5.
Semua fungsi pembangunan tersebut dapat terhambat atau bahkan
hilang apabila terjadi suatu bencana.Bencana juga merupakan salah satu faktor
unsur terkait harus menjadikan pengurangan resiko bencana sebagai prioritas
pembangunan nasional, sehingga bencana dapat dicegah atau paling tidak dapat
dikurangi dampaknya.
C.Manajemen Penanggulangan Bencana (Disaster Management)
Bencana telah secara negatif mempengaruhi manusia sejak awal
keberadaan manusia.Dalam menanggapinya, individu-individu dan masyarakat
sama-sama telah melakukan banyak percobaan untuk mengurangi kerentanan
mereka terhadap konsekuensi dari bencana-bencana ini, mengembangkan
langkah-langkah untuk mengatasi dampak awal, serta tanggap pasca-bencana dan
kebutuhan pemulihan. Terlepas dari pendekatan yang diterapkan, keseluruhan
upaya ini memiliki tujuan yang sama: manajemen bencana.63
Konsep yang mendorong yang mempedomani manajemen bencana
tersebut, yaitu pengurangan bahaya terhadap kehidupan, properti, dan lingkungan,
sebagian besar sama di seluruh dunia. Namun, kemampuan untuk melaksanakan
misi ini tidak berarti seragam. Baik karena alasan politik, kebudayaan, ekonomi,
atau alasan-alasan lainnya, realitas yang disayangkan adalah bahwa beberapa
negara dan beberapa daerah lebih mampu daripada negara atau daerah yang lain
untuk mengatasi masalah tersebut. Tetapi, tidak ada satu bangsa pun, terlepas dari
kemakmuran atau pengaruhnya, yang sejauh ini terdepan seperti menjadi kebal
secara penuh dari pengaruh negatif bencana.Terlebih lagi, munculnya ekonomi
63
58
global membuatnya lebih dan lebih sulit lagi untuk menahan konsekuensi dari
bencana apapun dalam batas-batas suatu negara.64
Mengelola bencana tidak bisa dilakukan hanya dengan cara dadakan atau
insidentil, tetapi harus dilakukan secara terencana dengan manajemen yang baik,
jauh sebelum suatu bencana terjadi melalui suatu proses yang disebut manajemen
bencana. Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya
yang meliputi penetapan kebijaksanaan pembangunan yang berisiko timbulnya
bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.65
Manajemen bencana membahas tentang bagaimana mengelola resiko
bencana.Meliputi persiapan, pemberian dukungan dan pembangunan kembali
masyarakat ketika bencana terjadi. Manajemen bencana adalah sebuah proses
yang berkelanjutan dimana setiap individu, kelompok dan masyarakat mengelola
bahaya dalam sebuah usaha untuk menghindari dan mengatasi pengaruh bencana
sebagai akibat dari bencana tersebut. Manajemen bencana adalah sebuah proses
yang terus-menerus dimana pemerintah, dunia usaha dan masyarakat sipil
merencanakan dan mengurangi pengaruh bencana, mengambil tindakan segera
setelah bencana terjadi dan mengambil langkah-langkah untuk pemulihan. Prinsip
manajemen bencana adalah bagaimana mengatasi keterbatasan manusia dalam
memprediksi dan menghadapi bencana, yang kemudian dituangkan dalam strategi
dan kebijakan dalam mengantisipasi, mencegah dan menangani bencana melalui
tahapan penanggulangan bencana.66
64
Ibid.
65
Soehatman Ramli, Op. Cit., hal 27.
66
Menurut UU No. 24 Tahun 2007, manajemen bencana adalah serangkaian
upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya
bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, rehabilitasi dan
rekonstruksi. Manajemen bencana pada dasarnya dapat dibagi atas tiga tingkatan
yaitu pada tingkat lokasi, tingkat unit atau daerah dan tingkat nasional atau
korporat.Untuk tingkat lokasi disebut manajemen insiden (incident management),
pada tingkat daerah atau unit disebut manajemen darurat (emergency
management) dan pada tingkat yang lebih tinggi disebut manajemen krisis (crisis management).67
Manajemen insiden (incident management) yaitu penanggulangan kejadian
di lokasi atau langsung di tempat kejadian. Biasanya dilakukan oleh tim tanggap
darurat yang dibentuk oleh petugas-petugas lapangan sesuai dengan keahliannya
masing-masing. Penanggulangan bencana pada tingkat ini bersifat
teknis.Manajemen darurat (emergency management) yaitu upaya penanggulangan
bencana di tingkat yang leih tinggi yang mengkoordinir lokasi
kejadian.Manajemen krisis (crisis management) berada di tingkat yang lebih
tinggi misalnya tingkat nasional atau tingkat korporat bagi suatu perusahaan yang
mengalami bencana.Perbedaan tugas dan tanggung jawab pada ketiga tingkatan
ini adalah berdasarkan fungsinya yaitu taktis (tactic) dan strategis (strategic).
Pada tingkat manajemen insiden, tugas dan tanggung jawab lebih banyak bersifat
taktis, dan semakin ke atas tugasnya akan lebih banyak menangani hal-hal yang
67
60
strategis.68Salah satu hal yang sangat penting dalam pengelolaan bencana adalah
penegakan hukum (law enforcement).Peraturan perundangan telah banyak
diterbitkan, namun pada implementasinya sering dilanggar.Pelanggaran tidak
diikuti dengan sanksi maupun hukuman yang tegas walaupun sudah dinyatakan
dalam aturan.Sehingga ada istilah yaitu low law enforcement.69
Manajemen bencana merupakan suatu proses terencana yang dilakukan
untuk mengelola bencana dengan baik dan aman melalui 3 (tiga) tahapan sebagai
berikut:70
1. Pra Bencana
Tahapan manajemen bencana pada kondisi sebelum kejadian atau pra bencana
meliputi:
a. Kesiagaan
Kesiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah
yang tepat guna dan berdaya guna.
Membangun kesiagaan adalah unsur penting, namun tidak mudah dilakukan
karena menyangkut sikap mental dan budaya serta disiplin di tengah
masyarakat.Kesiagaan adalah tahapan yang paling strategis karena sangat
menentukan ketahanan anggota masyarakat dalam menghadapi datangnya
suatu bencana.
b. Peringatan dini
68
Ibid., hal 28-29.
69
Robert J. Kodoatie dan Roestam Sjarief, Op. Cit., hal 93.
70
Langkah lainnya yang perlu dipersiapkan sebelum bencana terjadi adalah
peringatan dini. Langkah ini diperlukan untuk memberi peringatan kepada
masyarakat tentang bencana yang akan terjadi sebelum kejadian seperti
banjir, gempa bumi, tsunami, letusan gunung api, atau badai.
Peringatan dini disampaikan dengan segera kepada semua pihak, khususnya
mereka yang potensi terkena bencana akan kemungkinan datangnya suatu
bencana di daerahnya masing-masing. Peringatan didasarkan berbagai
informasi teknis dan ilmiah yang dimiliki, diolah atau diterima dari pihak
berwenang mengenai kemungkinan akan datangnya suatu bencana.
c. Mitigasi bencana
Mitigasi bencana adalah upaya untuk mencegah atau mengurangi dampak
yang ditimbulkan akibat suatu bencana.Dari batasan ini sangat jelas bahwa
mitigasi bersifat pencegahan sebelum kejadian. Mitigasi bencana harus
dilakukan secara terencana dan komprehensif melalui berbagai upaya dan
pendekatan antara lain:
1. Pendekatan teknis
Secara teknis mitigasi bencana dilakukan untuk mengurangi dampak
suatu bencana.
2. Pendekatan manusia
Pendekatan secara manusia ditujukan untuk membentuk manusia yang
paham dan sadar mengenai bahaya bencana.
62
Pemerintah atau pimpinan organisasi dapat melakukan pendekatan
administratif dalam manajemen bencana, khususnya di tahap mitigasi.
4. Pendekatan kultural
Masih ada anggapan dikalangan masyarakat bahwa bencana itu adalah
takdir sehingga harus diterima apa adanya. Hal ini tidak sepenuhnya
benar, karena dengan kemampuan berpikir dan berbuat, manusia dapat
berupaya menjauhkan diri dari bencana dan sekaligus mengurangi
keparahannya.Oleh karena itu, diperlukan pendekatan kultural untuk
meningkatkan kesadaran mengenai bencana.Melalui pendekatan kultural,
pencegahan bencana disesuaikan dengan kearifan masyarakat lokal yang
telah membudaya sejak lama.
2. Saat bencana
Tahapan paling krusial dalam sistem manajemen bencana adalah saat bencana
sesungguhnya terjadi.Oleh karena itu diperlukan langkah-langkah seperti
tanggap darurat untuk dapat mengatasi dampak bencana dengan cepat dan tepat
agar jumlah korban atau kerugian dapat diminimalkan.
a. Tanggap darurat
Tanggap darurat bencana (response) adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani
dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan
evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan,
pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan
mengatasi kejadian bencana. Tindakan ini dilakukan oleh tim
penanggulangan bencana yang dibentuk di masing-masing daerah atau
organisasi.
b. Penanggulangan bencana
Selama kegiatan tanggap darurat, upaya yang dilakukan adalah
menanggulangi bencana yang terjadi sesuai dengan sifat dan
jenisnya.Penanggulangan bencana memerlukan keahlian dan pendekatan
khusus menurut kondisi dan skala kejadian.Tim tanggap darurat diharapkan
mampu menangani segala bentuk bencana. Oleh karena itu tim tanggap
darurat harus diorganisir dan dirancang untuk dapat menangani berbagai
jenis bencana.
3. Pasca bencana
Setelah bencana terjadi dan setelah proses tanggap darurat dilewati, maka
langkah berikutnya adalah melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi.
a. Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik
atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pascabencana
dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar
semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah
pascabencana.
Di tingkat industri atau perusahaan, fase rehabilitasi dilakukan untuk
64
terjadi.Upaya rehabilitasi misalnya memperbaiki peralatan yang rusak dan
memulihkan jalannya perusahaan seperti semula.
b. Rekonstruksi
Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua prasarana dan sarana,
kelembagaan pada wilayah pascabencana, baik pada tingkat pemerintahan
maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya
kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban,
dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan
bermasyarakat pada wilayah pascabencana.
Proses rekonstruksi tidak mudah dan memerlukan upaya keras dan
terencana dan peran serta semua anggota masyarakat. Sebagai contoh,
rekonstruksi Aceh pasca tsunami memerlukan waktu tidak kurang dari 5
tahun agar kondisi fisik dan mental, lingkungan dan teknis, serta prasarana
ekonomi dibangun kembali dan diharapkan akan lebih baik dibanding
kondisi sebelum bencana.
Manajemen bencana harus dikembangkan dan dilaksanakan secara
terencana dan sistematis.Penerapannya tidak sederhana namun membutuhkan
berbagai aktivitas yang saling terkait satu dengan lainnya.Manajemen bencana
juga harus mencakup seluruh fase dimulai dari pra bencana, bencana dan pasca
bencana.71
71
Ibid., hal 39.
Masing-masing tahapan dalam upaya penanggulangan bencana tidak
dapat dipisah-pisah secara nyata (ketat dan kaku), tetapi diantara tahapan tersebut
Banyak sekali tugas atau kegiatan yang harus dilakukan dalam setiap fase
tersebut. Untuk itu manajemen bencana memerlukan berbagai elemen yang
mendukung penerapannya antara lain:72
1. Kebijakan Manajemen
2. Identifikasi Keadaan Darurat
3. Perencanaan Awal
4. Prosedur Tanggap Darurat
5. Organisasi Tanggap Darurat
6. Sumberdaya dan Sarana
7. Pembinaan dan Pelatihan
8. Komunikasi
9. Inspeksi dan Audit
10. Investigasi dan Pelaporan
Kesepuluh elemen ini sangat diperlukan untuk mendukung keberhasilan
penerapan manajemen bencana.73
D.Aspek Hukum Internasional Dalam Penanganan Bencana
Beberapa tahun belakangan ini telah ada keterlibatan internasional yang
lebih besar dalam manajemen bencana, khususnya keterlibatan pasukan
militer.Sejumlah organisasi dan lembaga manajemen bencana nasional dan
internasional telah berkembang sebagai reaksi terhadap kebutuhan peningkatan
kapasitas pekerja kemanusiaan untuk mempunyai keterampilan yang dibutuhkan
72
Soehatman Ramli, Loc. Cit.
73
66
dan untuk membantu masyarakat mempersiapkan diri sebelum datangnya
bencana.Kadang-kadang ada keterlibatan swasta, khususnya dalam bidang
rekonstruksi.74
Perhatian masyarakat dunia sangat tinggi terhadap semakin meningkatnya
bencana alam di negara-negara sedang berkembang yang penduduknya sangat
padat. Konferensi Dunia pada Reduksi Bencana (World Conference on Disaster
Reduction) 18-22 Januari 2005 di Kobe, Jepang maupun Simposium I Geo-Informasi untuk Manajemen Bencana di Delft, Belanda sepakat untuk
meningkatkan penelitian dan aplikasi teknologi serta memberdayakan masyarakat
lokal untuk sadar bencana. Bahkan lembaga donor melalui Asia-Link tahun 2005
akan mengalokasikan dana sebesar 13,2 juta euro (15 milyar rupiah) untuk
pengembangan sumberdaya manusia termasuk pendidikan bidang manajemen
bencana alam.75
Beberapa kali setiap tahunnya, kebutuhan terhadap respon peristiwa
bencana melebihi kemampuan manajemen bencana suatu negara atau beberapa
negara. Dalam hal ini, pemerintah negara-negara yang terkena dampak
menyerukan kepada sumber daya dari masyarakat tanggap internasional. Respon
internasional yang kooperatif ini adalah, menurut definisi, manajemen bencana
internasional.76
Seiring waktu dan melalui pengulangan, suatu proses yang diakui dan
sistemik untuk menanggapi bencana internasional telah mulai muncul. Standar
74
Stephanie Delaney, Op. Cit., hal 16.
75
Sudibyakto, Manajemen Bencana di Indonesia Ke Mana?, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2011), hal 63.
76
tanggap darurat telah dikembangkan oleh berbagai sumber, dan suatu kelompok
partisipan khusus yang diakui telah diidentifikasi. Adapun partisipan khusus
manajemen bencana internasional tersebut adalah: korban, responden lokal
pertama, pemerintah negara yang terkena bencana, pemerintah negara lain,
organisasi internasional, institusi keuangan internasional, organisasi dan asosiasi
regional, organisasi non-profit, organisasi privat–bisnis dan industri, serta donor
lokal dan regional. Melalui praktek dan penelitian, rumusan, proses yang metodis
untuk menilai baik kerusakan negara yang terkena dampak dan berbagai
kebutuhan tanggap darurat mereka telah didentifikasi, dicoba, dan diperbaiki. Apa
yang hanya 20 tahun lalu masih kacau, reaksi ad hoc terhadap bencana
internasional telah berkembang dengan kecepatan yang luar biasa menjadi suatu
mesin yang sangat efektif.77
Penting untuk menambahkan bahwa bencana tidak menjadi internasional
hanya karena bencana tersebut melebihi kapasitas suatu negara untuk
menanggapinya. Harus ada suatu komitmen dari pihak partisipan untuk mengenali
kebutuhan akan keterlibatan internasional dan untuk menerima seruan seperti
yang dibuat oleh pemerintah negara yang bersangkutan. Kebenaran yang
menyedihkan adalah bahwa, dalam prakteknya, tidak semua bencana memperoleh
perhatian dan tanggapan internasional di tingkatan yang sama, baik karena
kelemahan donor, perhatian media, prioritas yang dialihkan, atau peristiwa
lainnya yang mungkin mencairkan perhatian masyarakat. Banjir Mozambik tahun
77
68
2000 adalah salah satu contoh dari situasi dimana masyarakat internasional telah
dituduh duduk berpangku tangan ketika ratusan orang meninggal dunia.78
Tanggapan dan pemulihan saja, bagaimanapun, bukan merupakan cara
yang efektif dalam menangani bencana jika keduanya dilakukan tanpa adanya
suatu rejimen yang komprehensif dari kegiatan kesiapsiagaan dan mitigasi. Suatu
pergeseran fokus penting diantara organisasi-organisasi penanggulangan bencana
internasional dunia, lembaga-lembaga, dan kelompok kepentingan dari tanggap
bencana untuk pencegahan bencana adalah bukti akan pengakuan dan penerimaan
luas terhadap hal ini. Meskipun banyak pemerintah nasional, terutama di negara
berkembang, belum melakukan suatu upaya yang berdedikasi untuk memulai atau
meningkatkan kegiatan manajemen pra-bencana mereka, banyak badan-badan
pembangunan dan penanggulangan bencana internasional berkerja untuk
mengatasi masalah ini. PBB, yang para anggotanya terdiri dari hampir setiap
negara di dunia, telah melakukan suatu upaya berkelanjutan untuk memimpin
negara-negara anggotanya dalam menangani kekurangan mereka—pertama
dengan mendedikasikan IDNDR tahun 1990-an (menghasilkan Strategi
Yokohama dan Rencana Aksi untuk Dunia yang Lebih Aman), dan kemudian
diikuti dengan Strategi Internasional untuk Pengurangan Bencana (ISDR) untuk
memastikan bahwa momentum ke depan dipertahankan.79
Pada 11 Desember 1987, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa
menyatakan tahun 1990-an sebagai “Dekade Internasional untuk Pengurangan
Bencana Alam” (IDNDR). Tindakan ini diambil untuk mempromosikan secara
78
Ibid.
79
internasional upaya-upaya terkoordinasi untuk mengurangi kerugian materi serta
gangguan sosial dan ekonomi yang disebabkan oleh bencana alam, khususnya di
negara-negara berkembang.Misi yang dinyatakan oleh IDNDR adalah untuk
meningkatkan kapasitas setiap negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
untuk mencegah atau mengurangi efek yang merugikan dari bencana alam dan
menetapkan pedoman untuk menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
ada untuk mengurangi dampak bencana alam.80
Pada 22 Desember, 1989, melalui resolusi PBB 44/236, Majelis Umum
menetapkan tujuan yang ingin mereka capai selama IDNDR. Disamping untuk
mendirikan sebuah kantor khusus PBB di Jenewa untuk mengkoordinasikan
kegiatan IDNDR, resolusi tersebut menyerukan kepada berbagai badan PBB
untuk:81
1. Meningkatkan kemampuan setiap negara untuk mengurangi dampak bencana
alam secara tepat dan efektif, memberikan perhatian khusus untuk membantu
negara-negara berkembang dalam penaksiran potensi kerusakan bencana dan
dalam pembentukan sistem peringatan dini dan struktur tahan-bencana kapan
dan dimana diperlukan;
2. Merancang pedoman yang tepat dan strategi untuk menerapkan pengetahuan
ilmiah dan teknis yang ada, dengan memperhatikan keragaman budaya dan
ekonomi diantara bangsa-bangsa;
80
Ibid.,hal 5.
81
70
3. Memelihara upaya-upaya ilmiah dan rekayasa yang bertujuan untuk menutup
kesenjangan kritis dalam pengetahuan guna mengurangi hilangnya nyawa dan
harta benda;
4. Menyebarluaskan informasi teknis yang sudah ada dan yang terbaru yang
terkait dengan langkah-langkah untuk pengkajian, prediksi, dan mitigasi
bencana alam;
5. Mengembangkan langkah-langkah untuk pengkajian, prediksi, pencegahan,
dan pengurangan bencana alam melalui program bantuan teknis dan transfer
teknologi, proyek percontohan, serta pendidikan dan pelatihan, disesuaikan
pada bencana dan lokasi tertentu, dan untuk mengevaluasi efektivitas dari
program-program tersebut.
Pada Mei 1994, negara-negara anggota PBB bertemu di Konferensi Dunia
tentang Pengurangan Bencana Alam (World Conference on Natural Disaster
Reduction) di Yokohama, Jepang, untuk menilai kemajuan yang dicapai oleh IDNDR. Pada pertemuan ini mereka mengembangkan Strategi dan Rencana Aksi
Yokahama untuk Dunia yang Lebih Aman.82 Beberapa isu dan tantangan yang
teridentifikasi dalam strategi Yokohama antara lain:83
a) Tata pemerintahan, organisasi, hukum dan kerangka kebijakan
b) Identifikasi risiko, pengkajian, monitoring, dan peringatan dini
c) Pengetahuan dan pendidikan
d) Mengurangi faktor-faktor penyebab risiko bencana
e) Persiapan tanggap darurat dan pemulihan yang efektif
82
Ibid., hal 6.
Sejak itu, serangkaian pertemuan regional dan tematik berlangsung dari
1995-1999 pada isu-isu mulai dari sistem peringatan dini, aplikasi ruang untuk El
Niño.Pada akhir dekade tahun 1999, Forum Program IDNDR diadakan di Jenewa
untuk menarik hasil pembelajaran dari IDNDR.Pada kesempatan itu, masyarakat
internasional menyepakati Mandat Jenewa dan Strategi untuk Dunia yang Lebih
Aman di Abad 21, sebagai tindaklanjut dari Strategi Yokohama.Selanjutnya pada
tahun 2000, Strategi Internasional untuk Pengurangan Bencana (ISDR)
diluncurkan sebagai rencana penerus untuk meneruskan pekerjaan IDNDR dan
berusaha keras untuk pengimplementasian terhadap rekomendasi yang terdapat
dalam Rencana Aksi Yokohama.84
Resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial PBB Nomor 63 Tahun 1999 tentang
Dekade Pengurangan Risiko Bencana Internasional (IDNDR) yang memfokuskan
tindakan kepada pelaksanaan Strategi Internasional untuk Pengurangan Risiko
Bencana (International Strategy for Disaster Reduction/ISDR). Sasaran utama
ISDR adalah untuk: (1) mewujudkan ketahanan masyarakat terhadap dampak
bencana alam, teknologi dan lingkungan; (2) mengubah pola perlindungan
terhadap bencana menjadi manajemen risiko bencana dengan melakukan
penggabungan strategi pencegahan risiko ke dalam kegiatan pembangunan
84
“Ten-year review of the Yokohama Strategy and Plan of Action”, sebagaimana dimuat dalam
72
berkelanjutan.85 Strategi Internasional Pengurangan Risiko Bencana dilakukan
dengan tujuan:86
a. Meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap bencana alam, teknologi
lingkungan dan bencana sosial.
b. Mewujudkan komitmen pemerintah dalam mengurangi risiko bencana terhadap
manusia, kehidupan manusia, infrastruktur sosial dan ekonomi serta sumber
daya lingkungan.
c. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan pengurangan
risiko bencana melalui peningkatan kemitraan dan perluasan jaringan upaya
pengurangan risiko bencana.
d. Mengurangi kerugian ekonomi dan sosial akibat bencana.
Saat ini, Badan PBB untuk Strategi Internasional Pengurangan Bencana
(UNISDR) memandu upaya misi penanggulangan bencana masyarakat
internasional secara keseluruhan.Secara khusus, UNISDR berupaya membangun
“masyarakat yang tahan bencana dengan memajukan peningkatan kesadaran akan
pentingnya pengurangan bencana sebagai suatu komponen integral dari
pembangunan berkelanjutan, dengan tujuan mengurangi kerugian manusia, sosial,
ekonomi dan lingkungan akibat bencana alam serta bencana teknologi dan
lingkungan terkait”.87
Resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial PBB No. 63 tahun 1999
ditindaklanjuti oleh Majelis Umum dengan mengeluarkan Resolusi Nomor 56/195
86
Ibid.
87
tanggal 21 Desember 2001.88Hari Pengurangan Bencana Alam
Internasional dirancang oleh
mendorong masyarakat dan pemerintah untuk ambil bagian dalam membangun
komunitas dan masyarakat yang tahan terhadap bencana alam, yang pada awalnya
diperingati setiap Rabu kedua di bulan Oktober.Hari peringatan ini merupakan
bagian dari proklamasi
dimulai pada tahun 1990.Pada tahun 2002, resolusi lebih lanjut dari Majelis
Umum PBB memutuskan untuk mempertahankan upaya pengurangan dampak
dan mitigasi bencana alam global dengan membuat hari peringatan internasional
yang diperingati setiap tahun. Dan pada tahun 2009, Majelis Umum PBB
menetapkan89
Pada Januari 2005, di Hyogo, Jepang, PBB kembali menyelenggarakan
Konferensi Dunia tentang Pengurangan Bencana (theWorld Conference on
Disaster Reduction). Lebih dari 4000 peserta hadir, termasuk perwakilan dari 168 negara, 78 badan khusus PBB dan organisasi pengamat, 161 organisasi
non-pemerintah, dan 562 jurnalis dari 154 media. Forum publik menarik lebih dari
40.000 pengunjung.90 Empat dokumen kunci berikut, yang disetujui oleh 168
negara anggota PBB yang hadir di Konferensi, adalah hasil utama dari Konferensi
Dunia tentang Pengurangan Bencana kedua bulan Januari 2005:91
89
“Hari Pengurangan Bencana Alam Internasional”, sebagaimana dimuat dalam Mei 2014.
90
Damon P. Coppola, Op. Cit., hal 9-10.
91
ISDR Informs, Edisi 2, 2006, sebagaimana dimuat dalam
74
1. Tinjauan tentang Strategy Yokohama dan Rencana Kegiatan untuk Dunia
yang lebih aman (Review of the Yokohama Strategy and Plan of Action for a
Safer World). Yokohama Review adalah suatu analisa tentang kemajuan yang dicapai sejak tahun 1994 (saat Konferensi Yokohama dilaksanakan) sampai
saat ini. Dokumen ini mencerminkan kondisi kesadaran saat ini dan
kemajuannya, batasan-batasan yang ada serta menggambarkan observasi yang
kuat tentang pengurangan resiko bencana global.
2. Hyogo Framework of Action 2005-2015: Membangun Ketahanan Negara dan Masyarakat terhadap Bencana. Berdasarkan pelajaran yang diambil dan
adanya gap yang teridentifikasi dalam proses review terhadap Strategi
Yokohama, Hyogo Framework mengidentifikasi lima prioritas dan beberapa
kegiatan yang kongkret dan spesifik yang perlu diterapkan di tingkat lokal,
nasional dan internasional pada kurun waktu 2005- 2015.
3. Deklarasi Hyogo: Deklarasi ini mencerminkan suatu kehendak politis untuk
meningkatkan perhatian terhadap pengurangan bencana dan menyadari
pentingnya menterjemahkan Hyogo Framework for Action kedalam tindakan
kongkret pada semua level untuk mengurangi resiko dan kerawanan bencana.
4. Statemen Umum dari Sesi Khusus tentang Bencana Samudera Hindia:
Pengurangan Resiko untuk Masa Depan yang Lebih Aman. Pernyataan ini
“menekankan kebutuhan akan Strategi Internasional untuk Pengurangan
Bencana guna mengidentifikasi, meneliti dan menyebarluaskan semua
pelajaran yang dapat diambil dari bencana Tsunami baru-baru ini.” Statemen
Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (UN Economic and Social Council - ECOSOC) dan sesi ke-60 Majelis Umum PBB. Statemen tersebut juga
“meminta Dewan Ekonomi dan Sosial untuk memasukkan mekanisme
pengurangan bencana regional ke dalam agenda sesi inti dari segmen
pertemuan kemanusiaan tahun 2005.”
Empat dokumen tersebut mencerminkan suatu komitmen yang kuat dari
masyarakat internasional untuk melakukan usaha pengurangan bencana dan mulai
bekerja dengan sebuah rencana kegiatan tertentu yang berorientasi hasil untuk
kurun waktu tahun 2005-2015. Deklarasi Hyogo, Hyogo Framework for Action
2005-2015 dan Statemen Umum adalah bagian dari laporan pelaksanaan
konferensi.
Kerangka Hyogo merupakan hasil dari konferensi berupa 24-halaman
“kerangka kerja aksi”, yang diadopsi oleh semua negara anggota, yang
menguraikan tekad anggota untuk mengikuti “pengurangan substansial terhadap
kerugian yang terjadi karena bencana, baik kerugian karena kehilangan nyawa
maupun karena kehilangan aset-aset sosial, ekonomi, dan aset lingkungan
masyarakat dan negara pada 2015”. Kerangka tersebut menguraikan 3 tujuan
strategis untuk mencapai hal ini:92
(1) Integrasi yang lebih efektif terhadap pertimbangan resiko bencana ke dalam
kebijakan pembangunan berkelanjutan, perencanaan, dan pemrograman di
semua tingkatan, dengan penekanan khusus pada pencegahan bencana,
mitigasi, kesiapsiagaan, dan pengurangan kerentanan
92
76
(2) Pengembangan dan penguatan lembaga, mekanisme, dan kapasitas di semua
tingkatan, khususnya pada tingkat masyarakat, yang dapat secara sistematis
berkontribusi untuk membangun ketahanan terhadap bahaya
(3) Penggabungan secara sistematis terhadap pendekatan-pendekatan
pengurangan resiko ke dalam desain dan pelaksanaan program-program
kesiapsiagaan terhadap keadaan darurat, tanggap darurat, dan pemulihan
dalam rekonstruksi masyarakat yang terkena dampak.
Kerangka kerja tersebut juga menguraikan pertimbangan umum dan
kegiatan utama dalam lima bidang berikut, diidentifikasi sebagai prioritas untuk
tahun 2005-2015:93
(1) Memastikan bahwa pengurangan resiko bencana merupakan sebuah prioritas
nasional dan lokal dengan dasar kelembagaan yang kuat untuk
pelaksanaannya
(2) Mengidentifikasi, menjajaki, dan memonitor resiko-resiko bencana dan
meningkatkan peringatan dini
(3) Menggunakan pengetahuan, inovasi, dan pendidikan untuk membangun suatu
budaya keselamatan dan ketahanan di semua tingkatan
(4) Mengurangi faktor-faktor resiko yang mendasari
(5) Memperkuat kesiapsiagaan terhadap bencana demi respon yang efektif di
semua tingkatan.
Dengan pengadopsian kerangka kerja ini, yang bertepatan dengan
beberapa bahaya dan bencana yang paling dahsyat dalam ingatan belum lama ini
93
(termasuk tsunami di Asia pada Desember 2004, gempa bumi berkekuatan 7,6
skala richter pada 8 Oktober 2005 di Pakistan, kerusuhan di Perancis pada
November 2005, dan menghadapi kemungkinan pandemi flu burung yang sedang
berlangsung), penanggulangan bencana internasional telah naik ke garis depan
agenda kebijakan internasional. Selama bertahun-tahun, bangsa-bangsa di dunia
telah menyaksikan negara demi negara, baik kaya dan miskin, menderita akibat
bencana yang mengerikan.Namun, belum hingga baru-baru ini para pemimpin
dunia telah mulai memahami sepenuhnya bahwa banyak dari konsekuensi ini bisa
saja dikurangi melalui upaya mitigasi dan kesiapsiagaan yang lebih baik dan
kemampuan tanggap darurat yang lebih efektif. Akibatnya, bidang
penanggulangan bencana internasional saat ini dalam posisi untuk mempengaruhi
para pemimpin ini dengan cara yang sebelumnya tidak mungkin.94
Pada tahun 2011, Majelis Umum PBB meminta UNISDR untuk
memfasilitasi pengembangan kerangka kerja pengurangan risiko bencana
pasca-2015.Pada tahun 2012, Majelis memutuskan untuk mengadakan Konferensi Dunia
ke-3 tentang Pengurangan Risiko Bencana untuk meninjau pelaksanaan Kerangka
Aksi Hyogo dan untuk mengadopsi kerangka kerja pengurangan risiko bencana
pasca-2015.Majelis juga meminta UNISDR untuk menjadi sekretariat Konferensi
Dunia ke-3 dan mengkoordinasikan kegiatan persiapan dengan berkonsultasi
dengan semua pihak terkait.95
Resolusi Majelis Umum PBB memutuskan untuk mengadakan Konferensi
Dunia ke-III tentang Pengurangan Resiko Bencana pada tahun 2015 di Jepang,
94
Ibid., hal 11-12.
78
menyambut tawaran Jepang untuk menjadi tuan rumah. Pada Sesi Keempat
Platform Global Pengurangan Risiko Bencana Mei 2013, Pemerintah Jepang
mengumumkan akan menjadi tuan rumah Konferensi Dunia di Sendai. Tanggal
yang diusulkan adalah 14-18 Maret 2015. Konferensi Dunia ke-III tentang
Pengurangan Resiko Bencana pada Maret 2015 diperkirakan dapat menarik
sekitar 8.000 peserta dengan beberapa ribu peserta lagi berpartisipasi dalam
acara-acara publik terkait yang berhubungan dengan Konferensi Dunia.96
Selain di tingkat global, di tingkat regional juga dibentuk suatu kerangka
kerja yang disebut Kerangka Aksi Beijing. Penyusunan Aksi Beijing untuk
Pengurangan Risiko Bencana di Asia (Beijing Action for Disaster Risk Reduction
in Asia) 27-29 September 2005 memberikan suatu platform bagi negara-negara
Asia untuk:97
a) Memastikan bahwa pengurangan risiko bencana menjadi sebuah prioritas
nasional dan lokal dengan dasar kelembagaan yang kuat untuk pelaksanaannya
b) Mengidentifikasi, mengkaji dan memantau risiko bencana dan meningkatkan
peringatan dini
c) Menggunakan pengetahuan, inovasi, dan pendidikan untuk membangun suatu
budaya keselamatan dan ketahanan di semua tingkat
d) Mengurangi faktor-faktor risiko yang mendasar
e) Memperkuat kesiapsiagaan terhadap bencana demi respon yang efektif di
semua tingkat.
96
Ibid.
Setiap negara berhak atas kedaulatannya dan tak satupun negara boleh
campur tangan dalam penyelesaian berbagai masalah yang terjadi. Sementara
hukum internasional hanya akan menjadi komplementer dan menundukkan diri
bila memasuki wilayah kedaulatan suatu negara kecuali pada kondisi-kondisi
tertentu, misalnya pada saat terjadi bencana atau perang.98
98
REKOMENDASI SYMPOSIUM INTERNASIONAL “Pembahasan Aspek Hukum Internasional dalam Penanganan Bencana” (Dalam rangka memberikan input RUU PB) Jakarta, 11 April 2006, sebagaimana dimuat dalam
BAB IV
PERLINDUNGAN ANAK-ANAK KOBAN BENCANA DITINJAU
DARI KONVENSI HAK-HAK ANAK DAN HUKUM NASIONAL
A.Perlindungan Anak-Anak Korban Bencana Menurut Konvensi Hak-Hak
Anak
Dalam situasi gawat darurat, secara alamiah usaha bantuan lebih
difokuskan pada usaha-usaha penyelamatan dan pemberian bantuan kepada
penduduk.Karena secara umum anak-anak memiliki posisi yang rentan dan fakta
bahwa kemungkinan para pengasuh utama mereka hilang atau meninggal, maka
anak-anak sangat beresiko untuk menghadapi bahaya.Karena alasan ini maka
penting untuk menjamin bahwa telah dilakukan langkah-langkah untuk
melindungi anak-anak dari bahaya dan kekerasan lebih lanjut serta meminimalisir
dampak trauma dan dampak lebih lanjut dari trauma tersebut.99
Tentu sangat jelas bahwa kebutuhan-kebutuhan dasar anak-anak seperti
perumahan, makanan, air, sanitasi dan layanan kesehatan harus dipandang sebagai
sesuatu yang sangat penting dan dalam situasi bencana biasanya diberikan
perhatian terhadap hal ini. Tetapi, kebutuhan-kebutuhan ini harus dipenuhi dengan
cara-cara yang sesuai dengan usia dan perkembangan anak (seperti pemberian
makanan dan tingkat gizi yang layak). Penting untuk menjamin bahwa jika ada
99
keluarga-keluarga yang dikepalai oleh anak-anak pasca terjadinya bencana maka
mereka juga harus mendapatkan akses terhadap bantuan situasi gawat darurat.100
Oleh karena itu, penting untuk melakukan kajian yang hati-hati tentang
kebutuhan anak-anak untuk menjamin bahwa kebutuhan-kebutuhan ini dapat
terpenuhi.Tetapi, sebagaimana yang telah diketahui bersama bahwa pasca
terjadinya situasi gawat darurat sepertinya tidak mungkin untuk dapat melakukan
hal ini secara sistematis.Oleh sebab itu, untuk dapat memenuhi
kebutuhan-kebutuhan dasar yang diperlukan untuk bisa bertahan hidup maka ada beberapa
langkah yang harus dilakukan terkait dengan anak-anak.101
1. Non diskriminasi, yaitu bertindak adil dan tidak membeda-bedakan pada
semua anak.
Anak-anak yang terjebak dalam keadaan darurat memiliki hak yang sama
dengan anak-anak lainnya. Konvensi tentang Hak-hak Anak terus berlaku
sepenuhnya, bahkan selama keadaan darurat.Anak dalam situasi tanggap darurat
menurut Konvensi Hak-hak Anak dikategorikan sebagai kelompok anak yang
membutuhkan perlindungan khusus.Perlindungan anak dalam situasi darurat
bertujuan untuk menjamin adanya lingkungan protektif bagi setiap anak yang
melindungi mereka dari perlakuan salah, eksploitasi, kekerasan, penelantaran dan
diskriminasi. Berdasarkan Konvensi Hak-hak Anak (KHA), penangananan anak
korban bencana secara cepat dan tepat perlu memperhatikan 4 prinsip KHA, yaitu:
100
Ibid.
101
82
2. Kepentingan terbaik anak, yaitu mengupayakan semua keputusan, kegiatan,
dan dukungan dari para pihak yang berpengaruh semata-mata untuk
kepentingan terbaik anak.
3. Mengutamakan anak akan hidup, kelangsungan hidup, dan tumbuh
kembang, yaitu kegiatan disusun untuk meningkatkan perkembangan anak
berdasarkan kemampuan dan tugas-tugas perkembangannya.
4. Menghormati pandangan anak, yaitu memperhatikan dan memasukkan
pandangan anak dalam setiap proses pembahasan dan pengambilan keputusan
setiap kegiatan.
Lebih lanjut berdasarkan pada Konvensi Hak-hak Anak, pelayanan anak
dalam situasi darurat bencana mengacu pada prinsip-prinsip sebagai berikut:102
1. Semua anak memiliki hak atas keluarga dan keluarga memiliki hak untuk
mengasuh anak-anak mereka. Anak-anak menerima pengasuhan yang terbaik
ketika mereka berada dalam lingkungan keluarga dan tetap dalam agama,
budaya, komunitas, dan keluarga mereka.
2. Menempatkan anak agar berada dalam lingkungan yang mereka kenal. Di
antara orang-orang yang mereka kenal membantu mereka merasa aman dan
membantu mereka mempertahankan keluarga, komunitas, budaya, dan
identitas agamanya. Mencabut atau memindahkan anak dari lingkungan
sekeliling yang mereka kenal akan meningkatkan kecemasan dan dapat
menghalangi pemulihan mereka.
102
3. Anak-anak memerlukan perhatian, kasih sayang, dan perlindungan. Mereka
khususnya rentan dalam krisis yang ada sekarang sehingga upaya-upaya
khusus diperlukan untuk menjamin bahwa mereka menerima perlindungan
dan pengasuhan yang semestinya.
4. Semua upaya harus dilakukan untuk menjamin bahwa anak-anak tetap berada
dengan keluarga dan komunitas mereka. Keterpisahan anak dari keluarga
harus dihindari sejauh mungkin dengan mengupayakan untuk memperkuat
pengasuhan anak di dalam keluarga atau dalam keluarga besar atau kerabat.
5. Bantuan-bantuan kemanusiaan dari lembaga nasional maupun internasional
baik dalam bentuk pendanaan, layanan, maupun barang harus disediakan
untuk tujuan memperkuat kapasitas keluarga untuk mengasuh anak.
Termasuk pengasuhan bagi anak yang salah satu atau keduanya meninggal
karena bencana.
6. Perangkat pemerintah dari tingkat RT sampai dengan Kabupaten/Kota harus
membuat pencatatan tentang perubahan status dan situasi anak yang
mencakup keberadaan orang tua mereka, situasi pengasuhan, dengan siapa
anak tinggal, kecacatan, perubahan tempat tinggal, dan sebagainya.
7. Pengkajian terhadap anak-anak yang terpisah atau tidak terdampingi
hendaknya mencakup tujuan penelusuran anggota-anggota keluarga dan
kerabat dalam upaya untuk menyatukan mereka.
8. Penempatan anak korban bencana di panti asuhan dan institusi lainnya
84
dilakukan untuk jangka waktu yang sangat pendek dan secepat mungkin
harus direview untuk menemukan pengasuhan berbasis keluarga.
9. Penempatan anak di panti asuhan dalam keadaan darurat harus disupervisi
dan dilaporkan secara teratur kepada Dinas Sosial Kabupaten/Kota setempat.
10. Perubahan status hukum tetap anak dalam keadaan darurat seperti
pengangkatan anak atau pemindahan anak ke propinsi lain atau ke luar negeri
yang untuk tinggal bukan dengan anggota keluarganya tidak diperkenankan
sampai keadaan di mana Dinas Sosial berjalan dan berfungsi secara penuh
agar keputusan yang dimuat benar-benar berdasarkan kepentingan terbaik
untuk anak.
11. Pendirian panti asuhan baru pada situasi bencana tidak diizinkan kecuali
dengan asesmen terlebih dahulu yang benar-benar menunjukkan adanya
kebutuhan untuk mendirikan panti asuhan baru dan diakui oleh pemerintah
setempat bahwa hal tersebut memang dibutuhkan.
12. Program layanan untuk anak-anak korban bencana harus termasuk
pencegahan anak-anak dari tindakan kekerasan dan eksploitasi yang
mengambil keuntungan dari kerentanan mereka baik secara fisik, seksual,
maupun ekonomi.
13. Perhatian khusus dalam pendekatan dan intervensi pelayanan dalam keadaan
darurat hendaknya diberikan kepada anak-anak yang mempunyai kebutuhan
berbeda. Seperti anak-anak balita, anak-anak perempuan, anak-anak yang
14. Anak-anak hendaknya dilibatkan dalam proses pemulihan dan rekonstruksi
serta dalam proses pengambilan keputusan tentang pengasuhan dan
program-program layanan yang akan diberikan kepada mereka dan keluarga mereka
sesuai dengan kematangan mereka.
15. Pembangunan dan penyediaan tempat-tempat penampungan sementara untuk
pengungsi hendaknya dibangun atau dipersiapkan dengan memperhatikan
keamanan dan kenyamanan untuk anak-anak serta dengan tujuan untuk
mengembalikan mereka secepatnya ke lingkungan yang berbasis keluarga dan
komunitas sebelumnya dimana mereka tinggal.
16. Anak-anak hendaknya dikembalikan secara cepat kepada situasi kehidupan
biasa bersama orang tua, saudara, kerabat, dan warga komunitas sebelum
bencana untuk mendukung pemulihan mereka. Termasuk kembali ke
lingkungan sekolah, pertemanan, dan kegiatan-kegiatan olahraga dan
rekreasi.
Secara umum ada lima kluster pengelompokan hak anak yang harus
dipenuhi dalam konteks tanggap darurat bencana mengacu kepada Konvensi Hak
Anak yaitu:103
1. Hak sipil dan kemerdekaan
Ada dua hak dasar anak yang harus diperhatikan terkait dengan hak sipil dan
kemerdekaan dalam situasi tanggap darurat bencana yaitu:
103
86
a) Hak atas pendaftaran kelahiran dan bentuk-bentuk dokumen lainnya104
Pendaftaran kelahiran adalah catatan resmi atas kelahiran seorang anak oleh
negara.Kebanyakan yusrisdiksi memiliki undang-undang yang mengatur
pendaftaran kelahiran, tetapi bentuk informasi yang dikumpulkan serta
cakupannya bervariasi tergantung pada tingkat pembangunan infrastruktur
negara tersebut, kapasitas administrasi dan aksesibilitas penduduk.Di
negara-negara yang sedang berkembang, pendaftaran kelahiran sering kali
kurang berjalan dan sangat tidak lengkap.Hal ini menjadi mimpi buruk
dalam situasi bencana alam, dimana pendaftaran mungkin tidak dianggap
sebagai hal yang prioritas oleh pemerintah atau keluarga. Pendaftaran
kelahiran minimal harus mencakupi nama anak, jenis kelamin, tempat dan
tanggal lahir serta nama, alamat dan kewarganegaraan orang tua. Di negara
tertentu, pihak berwenang mengumpulkan informasi tambahan seperti sidik
jari dan pengenal fisik lainnya seperti tanda lahir.Informasi tambahan ini
dapat berperan sebagai pelindung terhadap perdagangan anak dan
pengadopsian illegal, serta dapat membantu reunifikasi keluarga.105
Hambatan utama terhadap pendaftaran kelahiran mencakup biaya yang
tinggi dibandingkan dengan penghasilan, persyaratan administratif–orang
tua mungkin tidak mempunyai dokumen yang diperlukan seperti akte
kelahiran mereka sendiri–keterbatasan akses ke fasilitas pendaftaran,
hancurnya infrastruktur pemerintah dalam keadaan bencana, diskriminasi
terhadap kelompok etnis minoritas tertentu serta penggunaan bahasa resmi
104
Lihat pasal 7 KHA.
105
yang eksklusif dalam formulir pendaftaran. Hambatan penting lainnya
adalah kurangnya kesadaran mengenai proses pendaftaran serta manfaat dan
perlindungan dari pendaftaran kelahiran.106
b) Hak atas Kebebasan Beragama107
Dalam situasi bencana, bantuan kemanusiaan baik fisik maupun bersifat
dukungan psikologis harus ditujukan kepada semua anak/orang dewasa
tanpa memandang keyakinan dan agama. Situasi pasca bencana sangat
mudah dijumpai pemberian bantuan dan dukungan kemanusiaan yang lain
dimanfaatkan baik secara langsung maupun terselubung untuk memaksakan
keyakinan agama pada korban, termasuk anak-anak. Oleh karena itu, setiap
program yang dilaksanakan haruslah menghormati keyakinan dan agama
yang dianut oleh penerima manfaat program, sehingga program yang
dilaksanakan tidak dijadikan media untuk mengubah keyakinan anak.Dalam
konteks ini, peran masyarakat dan pemerintah menjadi penting sekali untuk
memantau setiap program yang mempunyai maksud dan tujuan tersembunyi
untuk mengubah agama para penerima manfaat.
2. Lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif
a) Hak anak atas bimbingan orang tua108
Dalam situasi bencana, kehidupan yang serba darurat sering membuat
orangtua kehilangan kontrol atas pengasuhan dan bimbingan terhadap
anak-anak mereka.Keadaan ini dapat mengancam perkembangan mental, moral
106
UNICEF, The “Rights” Start to Life: A Statistical Analysis of Birth Registration, no. 7, 2005, hal 2. Dalam buku Erica Harper, Op. Cit., hal 208.
107
Lihat pasal 27 KHA.
108
88
dan sosial anak sekaligus menempatkan anak dalam posisi rentan terhadap
kemungkinan tindak eksploitasi, penculikan, kekerasan dan
perdagangan.Perhatian dari orang tua mengambil peran penting dalam
membantu anak melewati masa-masa krisis setelah bencana. Oleh karena
itu, menjadi penting untuk setiap stakeholder melibatkan peran orang tua
dalam melakukan pendampingan terhadap anak-anak mereka sesuai dengan
kapasitas yang bisa diperankan oleh mereka. Peran paling sederhana yang
bisa diperankan oleh orang tua adalah bersikap tenang karena anak-anak
secara psikologis melihat tanda dari apa yang diperlihatkan oleh orang tua
mereka. Mereka akan menjadi semakin panik dan stress ketika orang tua
mereka menunjukkan kepanikan dan stress. Oleh karena itu orang tua dan
pemangku kepentingan yang lain harus mendampingi anak dan meyakinkan
mereka bahwa keluarga dan masyarakat akan memperhatikan mereka dan
keadaan akan kembali normal. Disamping itu, orang tua adalah teman anak
yang dapat mendorong anak untuk mengungkapkan perasaan dan perhatian
mereka terkait dengan bencana. Kemampuan mendengarkan dan berempati
dari orang tua menjadi kekuatan yang luar biasa dalam membantu anak
melewati masa-masa krisis akibat bencana.
b) Hak untuk tidak dipisahkan dan penyatuan kembali dengan orang tua109
Selama keadaan darurat bencana, semua anak memiliki hak atas
keluarganya dan keluarga memiliki hak untuk menjaga anak mereka. Dalam
situasi bencana, anak-anak dapat terpisahkan dari orangtua mereka.
109
Kemungkinan situasi keterpisahan bersifat permanen (orangtua meninggal
atau tidak pernah ditemukan) atau temporer hingga orangtua kelak
ditemukan. Seorang anak yang orang tua/pengasuh utamanya meninggal,
yang terpisah dari keluarga/pengasuh utamanya berisiko bagi mereka,
berhak atas perawatan alternatif yang sesuai.110 Menurut pasal 20 KHA,
pilihan untuk perawatan alternatif mencakup perawatan asuh, kafala,
pengadopsian dan penitipan dalam lembaga. Pemindahan dari lingkungan
keluarga harus dianggap sebagai langkah sementara dari pilihan terakhir,
karena anak-anak tanpa pemeliharaan orang tua, khususnya mereka yang di
lembaga, berisiko lebih tinggi terhadap diskriminasi, pemeliharaan yang
tidak memadai, penyiksaan, ekploitasi, dan kematian dini. Situasi yang
ideal adalah anak untuk sementara waktu dipelihara oleh anggota keluarga.
Jika keluarga besarnya tidak dapat atau tidak mau memberikan perawatan,
pilihan terbaik berikutnya adalah keluarga asuh pengganti yang diseleksi
terlebih dahulu.111
110
Ibid., hal 214.
111
UNICEF, Child Protection Handbook, no. 6, 2004, hal 120. Dalam buku Erica Harper,
Ibid.,hal 215.
Hanya ketika pilihan-pilihan tersebut tidak dapat
dilakukan, maka seorang anak ditempatkan di pemeliharaan lembaga. Ada
dua pengecualian: (i) anak-anak dibawah 5 tahun tidak boleh ditempatkan
dalam pemeliharaan lembaga; dan (ii) anak-anak yang lebih tua mungkin
lebih suka tinggal dalam sebuah keluarga kecil yang dibantu atau dalam
90
UNICEF lebih lanjut menyarankan bahwa keputusan pemeliharaan alternatif
jangka panjang harus didasarkan pada prinsip berikut:112
1. Solusi berbasis keluarga umumnya lebih disukai daripada penitipan
dalam lembaga;
2. Solusi permanen lebih disukai daripada solusi temporer;
3. Solusi nasional lebih disukai daripada solusi internasional.
Mengenai adopsi, sesuai dengan pasal 21 KHA mengatakan bahwa adopsi
internasional hanya dapat dipertimbangkan ketika anak tidak dapat
ditempatkan dalam keluarga adopsi atau dalam pengasuhan di negara asal
mereka. Konvensi ini juga menyatakan bahwa anak harus menikmati
pengamanan dan standar yang sama dengan hal-hal yang ada dalam hal
adopsi nasional dan bahwa semua tindakan yang sesuai harus diambil untuk
menjamin bahwa penempatan tersebut tidak mengakibatkan keuntungan
finansial yang tidak pantas. Meskipun bertujuan baik untuk mengadopsi
misalnya terkadang hal tersebut dapat merampas hak anak untuk
mendapatkan pengasuhan langsung dari orang tua mereka. Oleh karena itu,
prioritas utama program yang dapat dilakukan adalah program reunifikasi
atau mempertemukan anak dengan orang tua dan keluarganya.
3. Kesehatan dan kesejahteraan dasar
a) Hak khusus anak difabel/orang dengan kecacatan113
Anak-anak penyandang cacat menikmati semua hak asasi manusia dan
kebebasan dasar atas dasar kesetaraan dengan anak-anak lain. Pada saat dan
112
Erica Harper, Op. Cit., hal 215.
113
pasca bencana, anak-anak difabel berada dalam kerentanan khusus karena
situasi kecacatan mereka. Saat terjadi bencana mereka mengalami kesulitan
untuk menyelamatkan diri. Di samping itu, peristiwa bencana dapat
mengakibatkan anak menjadi difabel baru. Saat pasca bencana kebutuhan
khusus mereka seringkali terabaikan oleh bantuan masa tanggap darurat
yang disalurkan. Oleh karena itu menjadi penting untuk merancang program
yang memperhatikan kebutuhan khusus dari anak-anak difabel baik karena
bencana atau tidak. Selain di dalam Konvensi Hak Anak, lebih lanjut
Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Cacat (CRPD) menyediakan bagi
anak penyandang cacat hak-hak khusus yang mencerminkan kerentanan
mereka yang meningkat. Anak-anak perempuan penyandang cacat selalu
berisiko lebih besar baik di dalam maupun di luar rumah terhadap
kekerasan, cedera atau penyiksaan, pengabaian atau perlakuan dengan lalai,
penganiayaan atau pengeksploitasian. Risiko tersebut meningkat dalam
situasi bencana alam karena pengasuh institusi atau perorangan mungkin
telah meninggal, penyandang cacat mungkin terpisahkan dari keluarga
mereka, dan pelayanan bantuan komunitas mungkin terhenti beroperasi.
CRPD mengharuskan bahwa negara pihak menetapkan undang-undang dan
kebijakan untuk menjamin bahwa kejadian-kejadian eksploitasi, kekerasan
dan pelecehan terhadap para penyandang cacat, khususnya wanita dan
anak-anak, diidentifikasi, diinvestigasi, dan apabila perlu, diadili.114
114
92
b) Hak atas layanan kesehatan115
Pada saat dan pasca bencana, anak-anak dihadapkan pada situasi yang dapat
mengancam tingkat kesehatan mereka. Hancur dan rusaknya fasilitas
sanitasi, luka-luka akibat bencana alam ataupun lingkungan buruk pasca
bencana alam menyebabkan dapat menurunkan tingkat kesehatan anak. Di
sisi lain, hilangnya kemampuan orang tua memberikan asupan gizi yang
layak dalam jangka panjang dapat mempengaruhi perkembangan fisik dan
kesehatan anak. Oleh karena itu, program yang memberikan layanan
kesehatan gratis bagi korban anak sangat dibutuhkan dalam situasi tanggap
darurat. Pengalaman penanganan bencana selama ini menunjukan banyak
sekali program-program layanan kesehatan yang disediakan untuk korban
bencana baik anak-anak maupun orang dewasa baik dari unsur pemerintah
dan non-pemerintah.
c) Hak atas standar penghidupan yang layak116
Dalam situasi pasca bencana, standar kehidupan yang layak bagi
perkembangan jasmani, mental, spiritual, moral and sosial anak yang dalam
situasi normal disediakan oleh orangtua/wali tidak terpenuhi akibat
kerusakan sarana prasarana.Stakeholder khususnya negara wajib
memberikan bantuan material serta program dukungan, khususnya
menyangkut nutrisi, pakaian dan penampungan sementara. Menyangkut
bantuan tersebut, anak-anak memiliki kebutuhan sangat khusus terutama
berkaitan dengan tingkat usia mereka. Pemenuhan hak dasar inilah dalam
115
Lihat pasal 6 dan 24 KHA.