EKSPRESI p38 MITOGEN ACTIVATED PROTEIN KINASE
(MAPK)
PADA PENDERITA KARSINOMA NASOFARING
DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
Tesis
Oleh:
dr. Merza Maulana Muzakkir
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS
ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
EKSPRESI p38 MITOGEN ACTIVATED PROTEIN KINASE
(MAPK)
PADA PENDERITA KARSINOMA NASOFARING
DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
Tesis
Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Spesialis dalam Bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Bedah Kepala Leher
Oleh:
dr. Merza Maulana Muzakkir
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS
ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
EKSPRESI p38 MITOGEN ACTIVATED PROTEIN KINASE
(MAPK)
PADA PENDERITA KARSINOMA NASOFARING
DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
Medan, Agustus 2012Tesis dengan judul
Telah disetujui dan diterima baik oleh Komisi Pembimbing
Ketua Anggota
dr. Farhat, Sp.THT-KL(K)
NIP: 19700316200212 1 002 NIP: 19651030199903 2 001 dr. Siti Nursiah, SpTHT-KL
Diketahui oleh
Ketua Departemen Ketua Program Studi
Prof.Dr.dr.Abdul Rachman Saragih,Sp.THT-KL(K) dr.T.Siti Hajar Haryuna,Sp.THT-KL
NIP: 19471130 198003 1 002 NIP: 19790620 200212 2 003
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala atas rahmat, karunia
dan hidayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini sebagai salah satu tugas
dan syarat untuk mencapai gelar Spesialis dalam bidang Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara Medan.
Berkat dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak, akhirnya tesis ini
dapat diselesaikan. Untuk itu perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan terima
kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :
Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Sjahril Pasaribu, Dr, dr,
Sp.A (K), DTM&H yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Bedah Kepala Leher di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Medan.
Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Prof. Gontar
Alamsyah Siregar, dr, Sp.PD-KGEH yang telah memberikan kesempatan kepada
penulis untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara Medan.
Bapak Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan yang
telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk belajar dan bekerja di Rumah Sakit
Prof. Dr. Abdul Rachman Saragih, dr, Sp.THT-KL(K) sebagai Kepala
Departemen THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan yang telah memberikan
kesempatan, bimbingan dan arahan sejak penulis mengikuti pendidikan di Departemen
THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan.
Yang terhormat, dr. T. Siti Hajar Haryuna, Sp. THT-KL sebagai Ketua
Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis di Departemen THT-KL FK USU/ RSUP
H. Adam Malik Medan, atas bimbingan dan dorongan semangat yang diberikan
sehingga menimbulkan rasa percaya diri, baik dalam bidang keahlian maupun
pengetahuan umum lainnya.
Yang terhormat dr. Farhat, SpTHT-KL(K) sebagai ketua pembimbing tesis,
dr. Siti Nursiah, Sp. THT-KL sebagai anggota pembimbing tesis, yang telah banyak
memberikan petunjuk, perhatian serta bimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan
tesis Spesialis ini. Penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang
setinggi-tingginya atas waktu dan bimbingan yang telah diberikan selama dalam penelitian dan
penulisan tesis ini.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya saya tujukan kepada semua
guru-guru di Departemen THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan, Prof.
Ramsi Lutan, dr. Sp.THT-KL (K); dr. Yuritna Haryono, Sp.THT-KL (K); Prof.
Askaroellah Aboet, dr, Sp.THT-KL (K); Prof. Dr. Abdul Rachman Saragih, dr,
Sp.THT-KL (K); dr. Muzakkir Zamzam, Sp.THT-KL (K); dr. Mangain Hasibuan,
Sp.THT-KL; dr. T. Sofia Hanum, Sp.THT-KL (K); Prof. Dr. Delfitri Munir, dr.
Sp.THT-KL (K); dr. Linda I Adenin, Sp.THT-KL; Alm. dr. Hafni, Sp.THT-KL (K); dr.
Asnir, KL(K), dr. Siti Nursiah, KL; dr. Andrina YM Rambe,
Sp.THT-KL; dr. Harry Agustaf A, Sp.THT-Sp.THT-KL; dr. Farhat, Sp.THT-KL(K); dr. T. Siti Hajar
Haryuna, Sp.THT-KL, dr. Aliandri, Sp.THT-KL; dr. Ashri Yudhistira, Sp.THT-KL; dr.
Devira Zahara, Sp.THT-KL, dr.H.R.Yusa Herwanto, Sp.THT-KL, dr.M. Pahala Hanafi
Hrp, Sp.THT-KL dan dr. Ferryan Sofyan, M.Kes, Sp.THT-KL yang telah memberikan
bimbingan, ilmu dan pengetahuan di bidang THT-KL yang bermanfaat bagi penulis di
kemudian hari.
Yang terhormat dr. Putri C Eyanoer, MSEpid., Ph.D yang telah banyak
membantu saya di bidang metodologi penelitian dalam pengolahan data tesis ini.
Yang terhormat perawat / paramedis dan seluruh karyawan / karyawati
RSUP H. Adam Malik Medan, khususnya Departemen / SMF THT-KL yang selalu
membantu dan bekerjasama dengan baik dalam menjalani tugas pendidikan dan
pelayanan kesehatan selama ini.
Yang mulia dan tercinta Ibunda dr. Hj. Erliana Malik Miraza, SpA,
Ayahanda dr. H. Muzakkir Zamzam, SpTHT-KL(K) dan tante Kis Suryaningsih Ngesti
Utami, ananda sampaikan rasa hormat dan terimakasih yang tak terhingga serta
penghargaan yang setinggi-tingginya atas kasih sayang yang telah diberikan dan
dilimpahkan kepada ananda sejak dalam kandungan dan dengan segala daya upaya telah
mengasuh, membesarkan dan membimbing dengan penuh kasih sayang semenjak kecil
sehingga penulis dewasa agar menjadi anak yang berbakti kepada kedua orang tua,
agama, bangsa dan Negara. Dengan memanjatkan do’a kehadirat Allah SWT,
ampunilah dosa kedua orang tua penulis serta sayangilah mereka sebagaimana mereka
Yang tercinta Bapak mertua Dr. dr. H. Nazaruddin Umar, SpAn-KNA dan
Ibu mertua dr. Hj. Tity Rosnila Harahap yang telah memberikan dorongan dan restu
untuk selalu menuntut ilmu setinggi-tingginya.
Kepada istriku tercinta Irmayani, S.Si, tiada kata yang lebih indah yang
dapat saya ucapkan selain ucapan terimakasih yang setulus-tulusnya atas pengorbanan
tiada tara, kesabaran, ketabahan dan dorongan semangat yang tiada henti-hentinya
sehingga dengan ridho Allah SWT akhirnya kita sampai pada saat yang berbahagia ini.
Kepada Abang dan Adik-Adik, H. Muzliansyah Muzakkir, ST., M.Sc.,
MBA, dr. Munarza Muzakkir, Dimas Surya Utama Muzakkir, Azzahra Sekar Putri
Muzakkir. Kakak dan Adik-adik ipar, Ayu Mayangsari, SE., drg. Rini Wahyuni,
Abdullah Edi Suranta Tarigan, SH, dr. M. Budi Kurniawan, dr. Karlina Putri Siregar,
penulis mengucapkan terimakasih atas limpahan kasih sayang dan tak henti-hentinya
memberikan dorongan serta doa kepada penulis.
Yang tercinta teman-teman sejawat peserta Program Pendidikan Dokter
Spesialis Ilmu Kesehatan THT-Bedah Kepala dan Leher yang telah bersama-sama, baik
dalam suka maupun dalam duka, saling membantu sehingga terjalin persaudaraan yang
erat, dengan harapan teman-teman lebih giat lagi sehingga dapat menyelesaikan studi
Semoga segala bantuan dan bimbingan yang diberikan kepada penulis
menjadi amal ibadah. Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat
bagi semua pihak, dan semoga Allah Subhanahu Wata’ala selalu melimpahkan rahmat
dan hidayahNya kepada kita semua.
Medan, Agustus 2012
Ekspresi p38 Mitogen Activated Protein Kinase (MAPK) Pada Penderita Karsinoma Nasofaring
Di RSUP H. Adam Malik Medan
Abstrak
Latar Belakang: Penelitian secara biologi molekuler pada karsinoma nasofaring telah banyak dilakukan, seperti ekspresi VEGF, EGFR, COX-2 dan lain sebagainya. Hasil penelitian tersebut dapat membantu dalam menentukan prognosis pada penderita karsinoma nasofaring, dan dapat membantu dalam memberikan terapi tambahan pada karsinoma nasofaring. MAPK berperan dalam pertumbuhan sel seperti proliferasi, diferensiasi, dan apoptosis, terutama berperan dalam ekspresi gen, dimana jalur p38 MAPK paling sering dikaitkan dengan fungsi anti apoptosis dan aktifnya jalur p38 MAPK menyebabkan transformasi sel.
Tujuan: Mengetahui ekspresi p38 MAPK pada karsinoma nasofaring.
Metode: Rancangan penelitian bersifat deskriptif di Departemen THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan dan Departemen Patologi Anatomi FK USU. Penelitian dilakukan mulai bulan Desember 2011 sampai dengan Mei 2012 pada seluruh penderita yang didiagnosis karsinoma nasofaring pada divisi onkologi Departemen THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan yang memenuhi kriteria populasi.
Hasil: Pada penelitian ini jaringan karsinoma nasofaring yang diperiksa dengan immunohistokimia sebanyak 30 jaringan. Sampel paling banyak ditemukan pada laki-laki (73,3%), kelompok umur terbanyak adalah 41-60 tahun (60,0%), jenis histopatologi terbanyak adalah karsinoma sel skuamosa tidak berkeratinisasi (53,3%), proporsi overekspresi p38 MAPK pada jaringan karsinoma nasofaring adalah 70% dan tidak ditemukan perbedaan yang signifikan antara ekspresi p38 MAPK dengan tipe histopatologi, ukuran tumor primer, ukuran kelenjar getah bening dan stadium klinis
Expression of p38 Mitogen Activated Protein Kinase (MAPK) In Patiens with Nasoharyngeal Carcinoma
In RSUP H. Adam Malik Medan
Abstract
Background: Research of molecular biology such as expression of VEGF, EGFR, COX-2 and others in nasopharyngeal carcinoma has been widely done. The results of these studies may help in determining prognosis and additional therapy in patients with nasopharyngeal carcinoma. MAPK plays a role in cell growth such as proliferation, differentiation, and apoptosis, especially in gene expression, where by p38 MAPK pathway is most commonly associated with anti-apoptotic function and activated p38 MAPK pathway causes cell transformation.
Purpose: To know the expression of p38 MAPK in nasopharyngeal carcinoma.
Methods: The design of this study is descriptive. It was done in THT-KL Department of FK USU/RSUP Haji Adam Malik, Medan and Patology Anatomical Department of FK USU. The study was conducted from December 2011 to May 2012 on patients which is diagnosed with nasopharyngeal carconima in the oncology division of THT-KL Department FK USU/ RSUP Haji Adam Malik, Medan which has full filled the population criteria.
Results: In this study 30 tissues of nasopharyngeal carcinoma were examined with immunohistochemical. Most sampel were found in men (73.3%) with the largest age group of 41 – 60 years old (60.0%), histopatological type of non-keratinizing squamous cell carcinoma (53.3%), the propotion of overexpression of p38 MAPK on nasopharyngeal carcinoma tissues were 70%. There were no significant difference between the expression of p38 with histopathogic type, size of primary tumor, size of lymph nodes, and the clinical staging.
DAFTAR ISI
BAB 2 Tinjauan Pustaka
2.1 Karsinoma Nasofaring
2.2 Mitogen Activated Protein Kinase
2.3 Jalur p38 MAPK
2.4 p38 MAPK Pada Keganasan
2.5 p38 MAPK Pada Karsinoma Nasofaring
2.6 Kerangka Konsep
BAB III Metode Penelitian
3.1. Jenis Penelitian
3.2. Waktu dan Tempat Penelitian
3.3. Populasi dan Sampel
3.3.1. Populasi
3.3.2. Sampel
3.3.3. Teknik Pengambilan Sampel
3.4. Variabel Penelitian
3.5. Defenisi operasional
3.6. Bahan Penelitian
3.7. Instrumen Penelitian
3.8. Prosedur Kerja Pemeriksaan Immunohistokimia p38 MAPK
3.9. Pengumpulan data
3.10. Analisis data
3.11. Kerangka kerja
BAB 4 Hasil
BAB 5 Pembahasan
5.1. Distribusi Frekuensi Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Umur
5.2. Distribusi Frekuensi Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Jenis kelamin
5.3. Distribusi Frekuensi Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Tipe
Histopatologi
5.4. Distribusi Frekuensi Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Ekspresi p38
MAPK
5.5. Distribusi Frekuensi Tipe Histopatologi Karsinoma Nasofaring
Berdasarkan Ekspresi p38 MAPK
5.6. Distribusi Frekuensi Ukuran Tumor Primer (T) Karsinoma Nasofaring
Berdasarkan Ekspresi p38 MAPK
5.7. Distribusi frekuensi Ukuran kelenjar getah bening (N) karsinoma
nasofaring berdasarkan p38 MAPK
5.8. Distribusi frekuensi stadium klinis karsinoma nasofaring berdasarkan
ekspresi p38 MAPK
BAB 6 Kesimpulan dan Saran
DAFTAR TABEL
Distribusi Frekuensi Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Umur
Distribusi Frekuensi Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Jenis
kelamin
Distribusi Frekuensi Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Tipe
Histopatologi
Distribusi Frekuensi Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Ekspresi
p38 MAPK
Distribusi Frekuensi Tipe Histopatologi Karsinoma Nasofaring
Berdasarkan Ekspresi p38 MAPK
Distribusi Frekuensi Ukuran Tumor Primer (T) Karsinoma
Nasofaring Berdasarkan Ekspresi p38 MAPK
Distribusi frekuensi Ukuran kelenjar getah bening (N) karsinoma
nasofaring berdasarkan p38 MAPK
Distribusi frekuensi stadium klinis karsinoma nasofaring berdasarkan
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1
Gambar 2
Gambar 3
Gambar 4
Anatomi Nasofaring
Penyebaran karsinoma nasofaring dan gejala yang ditimbulkan
Jalur pengaktifan COX-2 oleh EGF dan EGFR melalui jalur p38
MAPK pada Glioma
Jalur transduksi sinyal dan jaringan komunikasi silang antara gen
tumor supresor yang terlibat pada karsinoma nasofaring
5
9
19
Ekspresi p38 Mitogen Activated Protein Kinase (MAPK) Pada Penderita Karsinoma Nasofaring
Di RSUP H. Adam Malik Medan
Abstrak
Latar Belakang: Penelitian secara biologi molekuler pada karsinoma nasofaring telah banyak dilakukan, seperti ekspresi VEGF, EGFR, COX-2 dan lain sebagainya. Hasil penelitian tersebut dapat membantu dalam menentukan prognosis pada penderita karsinoma nasofaring, dan dapat membantu dalam memberikan terapi tambahan pada karsinoma nasofaring. MAPK berperan dalam pertumbuhan sel seperti proliferasi, diferensiasi, dan apoptosis, terutama berperan dalam ekspresi gen, dimana jalur p38 MAPK paling sering dikaitkan dengan fungsi anti apoptosis dan aktifnya jalur p38 MAPK menyebabkan transformasi sel.
Tujuan: Mengetahui ekspresi p38 MAPK pada karsinoma nasofaring.
Metode: Rancangan penelitian bersifat deskriptif di Departemen THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan dan Departemen Patologi Anatomi FK USU. Penelitian dilakukan mulai bulan Desember 2011 sampai dengan Mei 2012 pada seluruh penderita yang didiagnosis karsinoma nasofaring pada divisi onkologi Departemen THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan yang memenuhi kriteria populasi.
Hasil: Pada penelitian ini jaringan karsinoma nasofaring yang diperiksa dengan immunohistokimia sebanyak 30 jaringan. Sampel paling banyak ditemukan pada laki-laki (73,3%), kelompok umur terbanyak adalah 41-60 tahun (60,0%), jenis histopatologi terbanyak adalah karsinoma sel skuamosa tidak berkeratinisasi (53,3%), proporsi overekspresi p38 MAPK pada jaringan karsinoma nasofaring adalah 70% dan tidak ditemukan perbedaan yang signifikan antara ekspresi p38 MAPK dengan tipe histopatologi, ukuran tumor primer, ukuran kelenjar getah bening dan stadium klinis
Expression of p38 Mitogen Activated Protein Kinase (MAPK) In Patiens with Nasoharyngeal Carcinoma
In RSUP H. Adam Malik Medan
Abstract
Background: Research of molecular biology such as expression of VEGF, EGFR, COX-2 and others in nasopharyngeal carcinoma has been widely done. The results of these studies may help in determining prognosis and additional therapy in patients with nasopharyngeal carcinoma. MAPK plays a role in cell growth such as proliferation, differentiation, and apoptosis, especially in gene expression, where by p38 MAPK pathway is most commonly associated with anti-apoptotic function and activated p38 MAPK pathway causes cell transformation.
Purpose: To know the expression of p38 MAPK in nasopharyngeal carcinoma.
Methods: The design of this study is descriptive. It was done in THT-KL Department of FK USU/RSUP Haji Adam Malik, Medan and Patology Anatomical Department of FK USU. The study was conducted from December 2011 to May 2012 on patients which is diagnosed with nasopharyngeal carconima in the oncology division of THT-KL Department FK USU/ RSUP Haji Adam Malik, Medan which has full filled the population criteria.
Results: In this study 30 tissues of nasopharyngeal carcinoma were examined with immunohistochemical. Most sampel were found in men (73.3%) with the largest age group of 41 – 60 years old (60.0%), histopatological type of non-keratinizing squamous cell carcinoma (53.3%), the propotion of overexpression of p38 MAPK on nasopharyngeal carcinoma tissues were 70%. There were no significant difference between the expression of p38 with histopathogic type, size of primary tumor, size of lymph nodes, and the clinical staging.
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Karsinoma nasofaring (KNF) adalah karsinoma yang berasal dari epitel
nasofaring (Brennan, 2006; Wei, 2006). Letak nasofaring yang tersembunyi
menyebabkan karsinoma nasofaring sulit didiagnosis dan sering terlambat
penanganannya. Penelitian secara biologi molekuler pada karsinoma nasofaring
telah banyak dilakukan, seperti ekspresi VEGF, EGFR, COX-2 dan lain
sebagainya. Hasil penelitian tersebut dapat membantu dalam menentukan
prognosis pada penderita karsinoma nasofaring, dan dapat membantu dalam
memberikan terapi tambahan pada karsinoma nasofaring.
MAPK (mitogen-activated protein kinase) adalah enzim yang berperan
dalam rangsangan ekstraseluler seperti perpindahan hormon pertumbuhan ke
nukleus, dan juga berfungsi mengatur ekspresi hampir pada seluruh gen pada
tubuh manusia. MAPK berperan dalam pertumbuhan sel seperti proliferasi,
diferensiasi, dan apoptosis, terutama berperan dalam ekspresi gen. MAPK
mempunyai tiga jalur dalam proses transduksi yaitu ERK, JNK dan p38
(Guiyuan, Minghua, Xiayu & Xiaoling, 2009), dimana jalur p38 MAPK paling
sering dikaitkan dengan fungsi anti apoptosis dan aktifnya jalur p38MAPK
Penelitian Kim et al (2010), menemukan kemungkinan keterlibatan jalur
p38 MAPK untuk meningkatkan reaksi apotosis sel pada kanker rongga mulut
setelah pemberian asam tolfenamic (Kim et al, 2010).
Karsinoma nasofaring yang disebabkan oleh infeksi laten virus Epstein
Bar, menyebabkan terjadi perubahan pada sel epitel nasofaring. Penelitian Fung
Lo et al (2006) dengan metode Polimerase Chain Reaction (PCR), ditemukan
supresi p38 MAPK pada epitel nasofaring yang menyebabkan pertumbuhan sel
kanker (Lo et al, 2006).
Berdasarkan penelusuran kepustakaan, belum ada penelitian mengenai
ekspresi p38 MAPK secara immunohistokimia pada karsinoma nasofaring
sehingga peneliti tertarik untuk melakukan penelitian guna mengetahui ekspresi
MAPK pada karsinoma nasofaring.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan di atas, dapat
dirumuskan masalah penelitian yaitu bagaimana ekspresi p38 MAPK pada
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui ekspresi p38 MAPK pada karsinoma nasofaring
1.3.2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui distribusi frekuensi karsinoma nasofaring berdasarkan umur.
b. Mengetahui distribusi frekuensi karsinoma nasofaring berdasarkan jenis
kelamin.
c. Mengetahui distribusi frekuensi karsinoma nasofaring berdasarkan tipe
histopatologi.
d. Mengetahui distribusi frekuensi karsinoma nasofaring berdasarkan skor luas,
skor intensitas dan skor imunoreaktif ekspresi p38 MAPK
e. Mengetahui distribusi frekuensi tipe histopatologi karsinoma nasofaring
berdasarkan ekspresi p38 MAPK.
f. Mengetahui distribusi frekuensi ukuran tumor primer (T) karsinoma
nasofaring berdasarkan ekspresi p38 MAPK.
g. Mengetahui distribusi frekuensi ukuran kelenjar getah bening (N) karsinoma
nasofaring berdasarkan ekspresi p38 MAPK.
h. Mengetahui distribusi frekuensi stadium klinis karsinoma nasofaring
berdasarkan ekspresi p38 MAPK.
1.4. Manfaat Penelitian
a. Untuk mengetahui ekspresi p38 MAPK pada karsinoma nasofaring.
b. Sebagai rujukan penelitian berikutnya yang berkaitan dengan p38 MAPK.
c. Untuk data dasar penelitian berikutnya, seperti penggunaan p38 MAPK
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Karsinoma Nasofaring
Nasofaring merupakan ruang yang terletak dibelakang rongga hidung,
berbentuk trapezoid, dengan ukuran tinggi 4 cm, lebar 4 cm dan dimensi
anteroposterior 3 cm. Mukosa nasofaring dilapisi oleh pseudostratified columnar
respiratory type epithelium dan non keratinizing stratified squamous epithelium.
Dinding anterior nasofaring dibentuk oleh koana dan ujung posterior septum
nasi. Lantai nasofaring dibentuk oleh permukaan atas palatum mole. Bagian atap
dan dinding posterior nasofaring dibentuk oleh daerah yang menyatu berupa
permukaan melandai yang dibatasi oleh badan sphenoid, dasar oksiput dan
vertebra cervical I dan II sampai ke batas palatum mole. Di dinding lateral
nasofaring terdapat muara tuba eustachius (Cottrill & Nutting, 2003; Wei, 2006).
Gambar 1. Anatomi Nasofaring (Forastiere & Marur, 2008)
Pada daerah barat (Amerika dan Eropa) kejadian KNF jarang dengan
leher. Di Amerika Utara terdapat keratinizing squamous cell carcinoma pada
60% kasus, sementara di timur tengah lebih 95% merupakan WHO tipe 2-3.
Insidensi WHO tipe 3 juga tinggi di Eskimo, Alaska dan juga meningkat di
Malaysia, Afrika Utara dan Eropa Selatan (Cotrill & Nutting, 2003). Karsinoma
nasofaring jarang ditemukan pada orang kulit putih, India dan Jepang tapi
banyak ditemukan di Asia pada ras Mongoloid (Punagi, 2007).
Karsinoma nasofaring di Indonesia menempati urutan ke-5 dari 10 besar
tumor ganas di seluruh tubuh, sedangkan di bagian penyakit telinga, hidung dan
tenggorok, kanker nasofaring menempati urutan pertama. Hampir 60% tumor
ganas kepala dan leher merupakan kanker nasofaring (Punagi, 2007). Data
kanker pada Depkes (2007), KNF termasuk 10 jenis kanker terbanyak di
Indonesia pada tahun 2004-2006 dan terus mengalami peningkatan jumlah
penderita selama periode tersebut, dimana pada tahun 2004 dijumpai 1.039
penderita dari 25.055 seluruh penderita keganasan (proporsi 4,15%) dan pada
tahun 2006 meningkat menjadi 1.633 penderita dari 31.155 seluruh penderita
(proporsi 5,24%). Dari sejumlah 2.007 kasus keganasan di bidang Telinga
Hidung Tenggorok-Kepala Leher (THT-KL) yang dikumpulkan antara tahun
1990-2001 di bagian THT-KL FK UI RSCM Jakarta, tercatat karsinoma
nasofaring sebanyak 1.247 (62,13%) penderita (Munir, 2007). Tan (2010)
melaporkan bahwa insidensi KNF di Indonesia mengalami peningkatan menjadi
6 per 100.000 penduduk setiap tahunnya dengan rata-rata 12.000 kasus baru per
tahun. Pada daerah endemik insiden meningkat sejak usia 20 tahun dan
terbanyak pada dekade lima dan enam tapi masih terdapat insidensi yang
signifikan pada usia dibawah 30 tahun sehingga didapati distribusi usia bimodal
dengan puncak awalnya antara usia 15-25 tahun. Karsinoma nasofaring lebih
sering dijumpai pada pria, dengan perbandingan pria dan wanita 3:1 (Cottrill &
Nutting, 2003). Umur penderita bervariasi mulai kurang dari 10 tahun hingga
lebih 80 tahun, dengan puncak insiden pada usia 40-50 tahun (Lee, 2003)
ataupun 40-60 tahun (Thompson, 2005). Ditemukan kecendrungan penderita
KNF laki-laki lebih banyak dari wanita. Insiden KNF di Malaysia Juli 2007
sampai Februari 2008 antara laki-laki dengan wanita berbanding 3:1 (Pua et al,
2008). Penelitian case series, di RSUP dr. M. Djamil Padang dan RSUD dr.
Achmad Muchtar Bukittinggi selama tahun 2006-2008 ditemukan 45 kasus KNF
dengan 32 kasus laki-laki dan 13 kasus wanita dengan kelompok umur tersering
pada umur 51-60 tahun (Yenita, 2009).
Penyebab pasti dan spesifik KNF sampai saat ini masih belum diketahui,
namun faktor genetik dan lingkungan, seperti infeksi Epstein Barr virus dan
konsumsi ikan asin diyakini sebagai penyebab (Zou, 2007).
Tanda dan gejala awal KNF tidak khas dan tidak spesifik dan nasofaring
merupakan area yang sulit untuk diperiksa. Sehingga KNF sering didiagnosa
saat stadium lanjut dibandingkan keganasan kepala leher lainnya. Nasofaring
banyak memiliki suplai limfatik, sehingga metastasis servikal sering dijumpai
pada tampilan awal (Plant, 2009). Gejala yang sering timbul pada penderita KNF
dikelompokkan menjadi 4 kelompok yaitu gejala hidung, telinga, keterlibatan
2010). Gejala hidung berupa epistaksis ringan dan obstruksi hidung. Perdarahan
yang terjadi berjumlah sedikit dan bercampur ingus serta timbul berulang-ulang
(Ahmad, 2002; Cottrill & Nutting, 2003; Aziza et al, 2005). Gangguan pada
telinga biasanya merupakan gejala dini yang timbul karena asal karsinoma
nasofaring dekat dengan mura tuba Eustachius (Roezin, 1995). Lokasi khas
penyebaran karsinoma nasofaring ke kelenjar getah bening leher adalah daerah
yang terletak di bawah angulus mandibula di dalam otot sternokleidomastoideus.
Keluhan saraf yang paling sering ditemukan adalah keluhan diplopia, keluhan
baal di pipi dan wajah yang biasanya unilateral dan sakit kepala hebat. Organ
yang sering terkena akibat metastase jauh adalah tulang, paru dan hati (Aziza et
al, 2005).
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap diperlukan pada pasien
dengan keluhan pada telinga, hidung dan tenggorok, khususnya pasien dari
populasi dengan peningkatan insiden KNF (Her, 2001; Jeyakumar, 2006).
Konfirmasi pasti diagnosis KNF diperoleh dari hasil biopsi positif yang diambil
dari tumor di nasofaring (Chew, 1997; Wei, 2006).
Klasifikasi histopatologi KNF yang diajukan oleh World Health
Organization (WHO) pada tahun 1978 mengklasifikasikan KNF menjadi 3
kelompok, yaitu:
Tipe 1: keratinizing squamous cell carcinoma, dengan jembatan interseluler,
mirip dengan yang ditemukan pada saluran pernapasan atas.
Tipe 2 : non keratinizing squamous cell carcinoma, sel tumor menunjukkan
maturasi, dimana diferensiasi skuamosa tidak terlihat jelas.
Tipe 3 : undifferentiated carcinoma, sel-sel tumor memiliki batas sel tidak jelas
dengan inti sel yang hiperkromatik.
WHO tipe 2 dan 3 paling banyak dijumpai di daerah endemik KNF,
seperti di Cina Selatan, Asia Tenggara dan Afrika Utara. Sementara WHO tipe 1
lebih sering dijumpai di Eropa dengan prognosis yang lebih buruk (Licitra et al,
2003; Guigay et al, 2006). KNF tipe 2 dan tipe 3 memiliki hubungan dengan
Virus Epstein-Barr (Wei, 2006; Lutzky et al, 2008 ). Penelitian tentang
karsinoma nasofaring di RSUP H. Adam Malik Medan yaitu Harahap (2009)
menemukan tipe 2 adalah tipe tersering (50%), begitu juga dengan Hidayat
(2009) menemukan tipe 2 adalah tipe tersering (63,6%). Hasil yang berbeda di
(58,3%), diikuti WHO tipe 2 (37,5%) dan WHO tipe 1 (4,2%), diikuti Delfitri M
(2007) mendapatkan WHO tipe 3 sebesar 54,6%, diikuti WHO tipe 1 (29,1%)
dan WHO tipe 2 (16,4%).
Pemeriksaan radiologi yang lebih baik untuk KNF adalah CT-Scan
dengan kontras dan MRI dengan enhancement (Jayekumar et al, 2006 ).
Radioterapi telah menjadi modalitas terapi primer untuk KNF selama
bertahun-tahun. Ini disebabkan karena nasofaring berdekatan dengan struktur
penting dan sifat infiltrasi KNF, sehingga pembedahan terhadap tumor primer
sulit dilakukan. KNF umumnya tidak dapat dioperasi, lebih responsif terhadap
radioterapi dan kemoterapi dibandingkan tumor ganas kepala leher lainnya
(Guigay et al, 2006; Wei, 2006). Pemberian radioterapi telah berhasil
mengontrol tumor T1 dan T2 pada 75-90% kasus dan tumor T3 dan T4 pada
50-75% kasus. Kontrol kelenjar leher mencapai 90% pada pasien dengan N0 dan
N1, tapi tingkat kontrol regional berkurang menjadi 70% pada kasus N2 dan N3
(Wei, 2006). Kemoterapi berfungsi sebagai radiosensitisizer dan membantu
dalam mengurangi metastase jauh (Mould & Tai, 2002; Wei, 2006).
Pembedahan hanya sedikit berperan dalam penatalaksanaan KNF. Pembedahan
penyelamatan (salvage treatment) dilakukan pada kasus rekurensi di nasofaring
atau kelenjar leher tanpa metastase jauh (Chew, 1997; Wei, 2003; Wei, 2006;
2.2. Mitogen Activated Protein Kinase
MAPK (mitogen-activated protein kinase) adalah enzim yang berperan
dalam rangsangan ekstraseluler seperti perpindahan hormon pertumbuhan ke
nukleus dan juga berfungsi mengatur ekspresi hampir pada seluruh gen pada
tubuh manusia. MAPK berperan dalam pertumbuhan sel seperti proliferasi,
diferensiasi, dan apoptosis, terutama berperan dalam ekspresi gen. MAPK
mempunyai 3 jalur dalam proses transduksi yaitu ERK, JNK dan p38 (Guiyuan,
Minghua, Xiayu & Xiaoling, 2009). Mitogen-activated protein kinase kinase 4
(MKK4) adalah anggota dari kelompok MAP kinase yang secara langsung
memposporilasi dan mengaktifkan c-Jun N-terminal kinase (JNK) yang berperan
stress selular dan sitokin pro inflamasi. MKK4, seperti MKK3 juga
memposporilasi dan mengaktifkan p38/HOG kinase. MKK4 mengaktifkan
mitogen-activated protein kinases (MAPKs) yang berperan dalam transduksi
sinyal ekstraseluler untuk faktor pertumbuhan yang menghasilkan pertumbuhan
dan diferensiasi sel. MKK4 mRNA dilaporkan banyak diekspresikan dalam
jaringan, termasuk otot rangka dan otak, ekspresi lebih rendah ditemukan pada
jantung, ginjal, hati, pankreas dan dalam sitoplasma dan inti dari epitel lambung
normal. Delesi dan mutasi gen MKK4, dilaporkan pada paru-paru, pankreas,
payudara, testis dan kanker kolorektal, yang menunjukkan bahwa MAPK
mungkin berperan sebagai supresor dari tumorigenesis atau metastasis.
Jalur p38 adalah salah satu cabang dari jalur MAPK, yang berperan baik
dalam proses fisiologi maupun proses patologi seperti inflamasi, cell stress,
bervariasi menyebabkan reaksi rantai fosforilasi dari sistem MAPK dan reaksi
ini mengatur proliferasi, diferensiasi, apoptosis dan interaksi sel, berdasarkan
fungsi MAPK tersebut beberapa peneliti menduga adanya peran MAPK dalam
pertumbuhan kanker (Ji, Ren, & Xu, 2010).
p38 MAPK menghubungkan signal ekstraseluler ke intraseluler yang
mengatur segala proses seluler. p38 MAPK bersamaan dengan c-Jun N-terminal
kinase (JNK) dikenal sebagai stress-activated protein kinase (SAPK), diaktifkan
oleh stress lingkungan dan sitokin yang memicu inflamasi. Reaksi inflamasi
yang berlebihan menyebabkan beberapa penyakit pada manusia, hal ini
menyebabkan MAPK sebagai target terapi anti inflamasi (Kaminska B. 2005).
2.3 Jalur p38 MAPK
p38 MAPK berawal dari stimulasi lipolisakarida sel monosit yang
memodulasi produksi tumour necrosis factor alpha (TNFα). p38 MAPK
mempunyai 4 bentuk isoform yaitu α, β, γ and δ yang banyak ditemukan pada
jaringan, dimana ekspresinya berbeda pada tiap jaringan yang mempunyai sifat
activator dan efektor. Isoform-isoform tersebut mempunyai beberapa perbedaan,
p38α dan p38β diekspresikan pada banyak jaringan dan sensitif terhadap
inhibitor pyridinyl imidazole, sedangkan p38γ dan p38δ diekspresikan dengan
pola yang terbatas dan tidak sensitive terhadap inhibitor. Isoform yang bervariasi
telah ditemukan di kompartemen yang berbeda pada sel yang sama, dimana
masing-masing variasi dapat mempunyai efek yang berlawanan jika disatukan
fungsi spesifik dari isoform-isoform pada proses fisiologi dan patologi belum
dapat ditemukan. Pada tikus, ablasi genetik dari p38α dan p38β menyebabkan
kematian embrio pada saat embrio berusia 10.5-11.5 hari, gangguan
pertumbuhan plasenta, angiogenesis abnormal pada yolk sak dan embrio (Jiang
et al, 1997; Raman et al. 2007; Cuenda & Rousseau, 2007).
p38 MAPK dapat di fosforilasi oleh berbagai rangsangan ekstraseluler
melalui jalur klasik MAPK kinase kinase (MAP3K)-MAP kinase kinase (MKK).
p38 MAPK belum aktif pada saat keadaan non-fosforilasi, dan diaktifkan dengan
cepat melalui jalur MKK-dependent yang memfosforilasi Thr-Gly-Tyr yang
ditemukan pada siklus di subdomains VII dan VIII. Fosforilasi ini menyebabkan
perubahan pada protein, ATP dan substrat untuk berikatan. MKK menyebabkan
fosforilasi dari p38 MAPK tergantung dari rangsangan seluler dan tipe sel.
MKK3 dan MKK6 memfosforilasi p38 MAPK beberapa menit setelah diaktivasi
oleh sinyal. Lamanya fosforilasi sangat penting dalam menentukan nasib sel,
fosforilasi yang panjang biasanya sering dihubungkan dengan kejadian
apoptosis, sebaliknya fosforilasi yang singkat berhubungan dengan faktor
pertumbuhan yang menginduksi ketahanan sel (Owens & Keyse, 2007;
Coulthard, White, Jones, McDermott & Burchill, 2009).
Durasi sinyal diatur oleh enzim phosphate, termasuk phospatase 1,
protein phosphatase 2A atau phosphatase MAPK. Enzim-enzim ini diaktifkan
oleh p38 MAPK yang difosforilasi, yang menyebabkan umpan balik negatif
pada siklus yang mengatur p38 MAPK. Interaksi antara berbagai jalur sinyal
sel. p38 MAPK yang difosforilasi mengaktifkan substrat spektrum luas, yang
termasuk didalamnya faktor transkripsi, protein kinase, protein nukleus dan
sitoplasma, sehingga p38 MAPK ini berhubungan respon inflamasi, diferensiasi
sel, fase istirahat siklus sel, apoptosis, produksi sitokin dan mengatur pemisahan
RNA (Coulthard, White, Jones, McDermott & Burchill, 2009).
2.4 p38 MAPK pada Keganasan
Fenotipe karsinoma ditandai oleh adanya kegagalan apoptosis, replikasi
yang tidak terbatas, invasi dan metastase, angiogenesis, perkembangan resistansi
obat. Sinyal MAPK berpengaruh pada proses-proses tersebut, dimana jalur p38
MAPK paling sering dikaitkan dengan fungsi anti apoptosis dan aktif nya jalur
p38MAPK menyebabkan transformasi sel (Han & Sun, 2007).
Aktivitas anti apoptosis dari p38 MAPK sangat banyak dikaitkan dengan
efek inhibisi dari isoform p38α dan p38β pada sikus sel fase G0, G1/S, dan
G2/M, untuk proliferasi sel dan menggagalkan apoptosis. Jalur p38 MAPK yang
aktif akan mendorong transformasi selulular dengan mengatur secara negative
ketahanan dan proliferasi. Hipotesis ini didukung oleh meningkatnya potensi
tumorigenik pada fibrolast tikus, dimana MKK3, MKK6 atau p38 MAPK telah
rusak dan ketergantungan transformasi sel-sel pemicu Ras pada penekanan dari
fungsi p38 MAPK (Coulthard, White, Jones, McDermott & Burchill, 2009).
Mengingat p38 MAPK diperkirakan memiliki fungsi anti apoptosis,
maka aktivasinya akan meningkatkan fenotipe keganasan. Pada sel
dan menghambat diferensiasi terminal. Namun, kemampuan p38 MAPK untuk
memicu pertumbuhan tumor tidak selalu berhubungan dengan proliferasi sel atau
kegagalan apoptosis, akan tetapi selalu sejalan dengan peran-peran anti apoptosis
alternatif untuk p38 MAPK yang memodulasi migrasi sel dan implantasi. Sejalan
dengan fungsi anti apoptosisnya, kegagalan apoptosis oleh kemoterapi yang
resisten, sebagian dipengaruhi melalui aktivasi p38 MAPK. hal ini
mengisyaratkan bahwa dengan hadirnya penghambat jalur p38 MAPK bisa
menentukan strategi generik baru untuk mendorong keberhasilan dari beberapa
terapi konvensional. Keberhasilan dari strategi demikian akan tergantung pada
apakah sel-sel kanker lebih rentan terhadap p38 MAPK perantaraan apoptosis
daripada sel-sel non-neoplastik. Maka dari itu, aktivitas p38 MAPK dilaporkan
menjadi meningkat pada beberapa tipe tumor dibandingkan dengan yang ada
pada jaringan normal dan SCIO-469 adalah suatu penghambat molekul kecil
pada p38 MAPK yang sekarang sedang dilakukan penelitian tahapan II dari
multiple myeloma. Namun, penelitian lebih luas mengenai p38 MAPK,
isoformnya yang berbeda dan fungsi-fungsi khususnya pada tumor manusia
diperlukan untuk ditetapkan apabila hal ini merupakan jalur anti apoptosis pada
keganasan (Junttila et al, 2007; Estrada et al, 2009).
Huang et al (2000) menemukan peningkatan aktivitas p38 MAPK
endogen berhubungan dengan sifat invasif dan metastase pada karsinoma
payudara. Mereka menduga bahwa jalur p38 MAPK berkaitan dengan protein
Penelitian di Houston tahun 2011, menemukan peningkatan ekspresi
PPAR-γ melalui ekspresi p38 MAPK pada karsinoma paru yang menyebabkan
metastasis dan invasi sel tumor, dengan memberikan supresor p38 MAPK maka
terjadi penurunan ekspresi PPAR-γ akan berakibatnya berkurangnya invasi dan
metastase sel tumor (Ahn et al, 2011).
Ekspresi p38 MAPK mengalami peningkatan pada karsinoma gaster,
dimana dari 30 sampel karsinoma gaster ditemukan overekspresi p38 MAPK
sebanyak 14 sampel dan level protein yang ditemukan lebih tinggi ditemukan
pada jaringan karsinoma gaster dibandingkan dengan mukosa normal. Penelitian
ini juga menemukan tidak ada hubungan yang signifikan antara p38 MAPK
dengan umur, jenis kelamin, stadium klinis dan tipe histopatologi. Pada Kelenjar
Getah Bening (KGB) tidak ditemukan perbedaan level protein p38 MAPK yang
signifikan dengan mukosa normal ataupun jaringan karsinoma gaster (p>0,05)
(Liang et al, 2005).
Sullivan, Wang & Redmond (2009) melakukan penelitian pada sel
adenokarsinoma yang diberikan p38 MAPK inhibitor secara in vitro dan in vivo.
Secara in vitro setelah diberikan p38 MAPK inhibitor menyebabkan peningkatan
apoptosis dan mengurangi proliferasi dimana jalur VEGF diduga terlibat dalam
proses ini, sebaliknya secara in vivo setelah diberikan p38 MAPK inhibitor
menyebabkan pembesaran ukuran tumor primer.
TGF-β dapat menyebabkan terjadinya invasi dan metastase pada
karsinoma payudara melalui peningkatan p38 MAPK dan ERK, dimana
penurunan ekspresi p38 MAPK dan ERK (p<0,05) setelah diberikan inhibitor
TGF-β (Gomez et al, 2012). Penelitian pada karsinoma payudara juga dilakukan
oleh Sivarama et al (1997) yang menemukan overekspresi p38 MAPK pada
tumor primer dan metastase KGB.
Penelitian di Beijing tahun 2009 menemukan p38 MAPK terlibat
terhadap resistensi terapi cisplatin pada karsinoma ovarium, dimana terjadi
peningkatan ekspresi dari p38 MAPK pada sel epitel karsinoma ovarium (Wang,
Zhou, Zhang, Wu, 2009).
Wang et al (2011) melakukan penelitian pada karsinoma sel skuamosa
paru di Hangzhou, menemukan ketidakseimbangan p38 MAPK dengan ERK
memegang peranan penting dalam perkembangan karsinoma sel skuamosa dan
kedua molekul ini dapat menjadi target terapi dan prognosis pada karsinoma sel
skuamosa.
Penelitian Shu dan Xu (2007), menemukan peningkatan expresi COX-2
melalui jalur p38 MAPK setelah diaktifasi oleh Epidermal Growth Factor
Receptor (EGFR) pada keganasan glioma, efek yang ditimbulkan adalah
peningkatan angiogenesis, penurunan apoptosis dan meningkatkan resistensi
Gambar 3: jalur pengaktifan COX-2 oleh EGF dan EGFR melalui jalur p38 MAPK pada Glioma
2.5 p38 MAPK pada Karsinoma Nasofaring
Penelitian ekspresi p38 MAPK pada nasofaring belum banyak dilakukan.
Penelitian ekspresi p38 MAPK pada karsinoma nasofaring lebih banyak
dilakukan dengan PCR bukan dengan immunohistokia, dan hasilnya masih
bersifat dugaan, hal ini disebabkan banyaknya jalur yang terkait dengan
tumorigenesis dan jalur p38 MAPK diduga terlibat didalamnya.
Penelitian Kim et al (2010), menemukan kemungkinan keterlibatan jalur
p38 MAPK untuk meningkatkan reaksi apotosis sel pada kanker rongga mulut
Penelitian Fang et al (2008), menemukan adanya keterlibatan beberapa
protein dalam proses apoptosis pada pasien kanker nasofaring seperti p38
MAPK, VEGF dan reseptor sel B. Protein tersebut juga berperan dalam proses
proses pertumbuhan sel, transduksi sinyal dan aktivasi system imunitas. Pada
penelitian ini ditemukan hasil yang signifikan terhadap keterlibatan jalur p38
MAPK terhadap proses apoptosis, dimana ditemukan 19 gen jalur MAPK
dengan pemeriksaan PCR pada pasien kanker nasofaring (Fang et al, 2008).
Karsinoma nasofaring yang disebabkan oleh infeksi laten virus Epstein
Bar, menyebabkan terjadi perubahan pada sel epitel nasofaring. Penelitian Fung
Lo et al (2006) dengan metode Polimerase Chain Reaction (PCR), ditemukan
supresi p38MAPK pada epitel nasofaring yang menyebabkan pertumbuhan sel
kanker (Lo et al, 2006).
Sinyal ekstraseluler menuju nukleus siklus sel melalui jalur sinyal yang
berbeda-beda, dimana jalur MEK/ERK/MAPK adalah jalur yang paling sering
diteliti. Overekpresi BRD7 pada sel NPC merupakan hasil regulasi turun dari
c-jun, p-MEK sehingga terjadi pertumbuhan tumor. Jalur p38 MAPK juga diduga
berperan dalam metastase NPC ke kelenjar getah bening regional melalui
Gambar 4: Jalur transduksi sinyal dan jaringan komunikasi silang antara gen tumor supresor yang terlibat pada karsinoma nasofaring
Penelitian di Cina tahun 2010, pada penderita karsinoma nasofaring yang
diberikan terapi Diallyl trisulfide (DATS), menunjukkan adanya keterlibatan p38
MAPK dan caspase-8 dalam proses apoptosis pada sel epitel karsinoma
nasofaring (Ji, Ren & Xu, 2010).
Penelitian aktivitas preklinik obat anti kanker Gefitinib pada karsinoma
nasofaring non keratinizing, menunjukkan supresi epidermal growth factor yang
diinduksi oleh aktivasi p-EGFR, p-MAPK dan p-STAT3 (Ma et al, 2010).
Penelitian Wan et al 2008, tentang jalur MAPK dan protein Aur-A
dengan metode PCR, menemukan bahwa overekspresi MAPK menyebabkan
overekspresi dari protein Aur-A, yang merupakan protein yang menyebabkan
invasi intrakranial dan peningkatan stadium dari karsinoma nasofaring.
Pemberian inhibitor Aur-A menyebabkan penurunan fosforilasi MAPK,
2.6 Kerangka Konsep
= variable yang akan diteliti
KNF Umur Jenis Kelamin
Histopatologi Ukuran Tumor (T) Ukuran Kelenjar Bening (N)
Stadium klinis Infeksi EBV
Inflamasi
MAPK EGFR
JNK ERK p38 MAPK
NF-κB
TNF-α VEGF COX-2
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif. Penelitian ini tidak memberikan
perlakuan terhadap variabel, namun hanya melihat ekspresi imunohistokimia
p38 MAPK pengukuran variabelnya dilakukan hanya satu kali dan pada satu
saat.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di RSUP. H. Adam Malik Medan dan Departemen
Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran USU. Penelitian dilakukan mulai bulan
Desember 2011-Mei 2012.
3.3 Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel
3.3.1 Populasi
Populasi adalah penderita yang didiagnosis KNF berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiologi dan hasil biopsi histopatologi yang
berobat ke Divisi Onkologi-Bedah Kepala Leher Departemen THT-KL FK
Kriteria Populasi
1. Penderita yang didiagnosis KNF, baik laki-laki maupun perempuan.
2. Penderita yang belum pernah mendapat pengobatan dengan radioterapi,
kemoterapi atau kombinasi keduanya.
3. Bersedia diikutsertakan dengan menandatangani informed consent
3.3.2 Sampel
Sampel pada penelitian ini adalah total populasi penelitian.
3.3.3 Teknik Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel penelitian adalah dengan secara non probability
consecutive sampling
3.4 Variabel Penelitian
Variabel pada penelitian ini adalah :
1. Karsinoma nasofaring
2. Umur
3. Jenis kelamin
4. Tipe histopatologi
5. Ukuran tumor primer (T)
6. Ukuran pembesaran kelenjar getah bening (N)
7. Stadium klinis
3.5 Defenisi Operasional
1. Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas berasal dari sel epitel yang
melapisi permukaan nasofaring yang ditegakkan berdasarkan hasil
pemeriksaan histopatologi dan dinilai berdasarkan kriteria WHO.
2. Jenis kelamin sesuai dengan yang tercatat pada rekam medis yaitu:
a. Laki-laki
b. Perempuan
3. Umur adalah usia yang dihitung dalam tahun dan perhitungannya
berdasarkan kalender masehi. Umur penderita karsinoma nasofaring sesuai
dengan yang tercatat pada rekam medis, dikelompokkan atas:
a. ≤20 tahun
b. 21-40 tahun
c. 41-60 tahun
d. >60 tahun
4. Tipe histopatologi karsinoma nasofaring adalah jenis dari suatu tumor ganas
yang sediaannya diambil dari jaringan nasofaring dan dilihat dibawah
mikroskop oleh ahli patologi anatomi yang hasil pemeriksaannya
dikelompokkan berdasarkan kriteria WHO:
Tipe 1 : Keratinizing Squamous cell carcinoma
Tipe 2: Non keratinizing squamous cell carcinoma
5. Tumor primer (T) karsinoma nasofaring adalah besar dan perluasan tumor
primer sesuai kriteria AJCC tahun 2010 yang diukur oleh ahli Radiologi
dengan memakai CT-Scan.
Hasil ukur : 1, 2, 3, 4
T1: Tumor terbatas di nasofaring atau tumor meluas ke orofaring
dan/kavum nasi tanpa perluasan ke parafaring.
T2: Tumor dengan perluasan ke daerah parafaring.
T3: Tumor melibatkan struktur tulang dasar tengkorak dan/atau sinus
paranasal
T4: Tumor dengan perluasan intrakranial dan/atau terlibatnya syaraf
kranial, hipofaring, orbita atau dengan perluasan ke fossa
infratemporal/ruang mastikator.
6. Ukuran kelenjar getah bening leher (N) adalah ukuran kelenjar getah
bening leher sesuai kriteria AJCC tahun 2010 yang diukur oleh ahli
Radiologi dengan memakai CT-Scan.
Hasil ukur : 0,1,2,3
N0: Tidak ada metastase ke KGB regional
N1: Metastase kelenjar getah bening leher unilateral dengan diameter
terbesar 6 cm atau kurang, di atas fossa supraklavikular, dan/atau
unilateral atau bilateral kelenjar getah bening retrofaring dengan
diameter terbesar 6 cm atau kurang.
N2: Metastase kelenjar getah bening bilateral dengan diameter terbesar 6
N3: Metastase pada kelenjar getah bening diatas 6 cm dan/atau pada fossa
supraklavicular.
7. Stadium karsinoma nasofaring adalah penentuan stadium penyakit
berdasarkan klasifikasi AJCC tahun 2010 yang dikelompokkan: I, II, III, IV
8. Ekspresi p38 MAPK adalah Pada pewarnaan immunohistokimia p38 MAPK
ditemukan pewarnaan coklat pada sitoplasma dan inti sel. Untuk skor akhir
digunakan skor imunoreaktif. Skor imunoreaktif diperoleh dengan
mengalikan skor luas dengan skor intensitas. Kontrol positif yang digunakan
berasal dari jaringan plasenta yang dilakukan pewarnaan immunohistokimia.
Kontrol negatif yang digunakan berasal dari jaringan karsinoma nasofaring
yang dilakukan pewarnaan immunohistokimia tanpa memberikan antibody
p38 MAPK.
Ekspresi p38 MAPK negatif : 0 – 3
Ekspresi p38 MAPK positif / overekspresi : 4 – 9
3.6 Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah jaringan nasofaring
dalam bentuk blok parafin yang didiagnosis sebagai karsinoma nasofaring.
Bahan ini diperiksa secara immunohistokimia dengan menilai immunoreaktivitas
antibodi MAPK.
0 : berarti negatif Skor luas dinilai :
2 : pewarnaan positif 10-50% jumlah sel
3 : pewarnaan positif > 50% jumlah sel
0 : berarti negatif
Skor intensitas dihitung :
1 : lemah
2 : moderat
3 : kuat
Untuk skor akhir digunakan skor imunoreaktif. Skor imunoreaktif
diperoleh dengan mengalikan skor luas dengan skor intensitas. Skor
imunoreaktif 4 atau lebih dinilai positif atau overekspresi p38 MAPK.
Hasil ukur : 0, 1, 2, 3, 4, 6, 9
3.7 Instrumen Penelitian
Penelitian ini membutuhkan beberapa peralatan dan reagen sebagai berikut:
a. Catatan medis penderita dan status penelitian penderita
b. Formulir persetujuan ikut penelitian
c. Reagen untuk pemeriksaan hispatologi: formalin 10%, blok paraffin, aqua
destillata, hematoxyllin-eosin.
d. Reagen untuk pemeriksaan immunohistokimia: xylol, alkohol absolut,
alkohol 95%, alkohol 80%, alkohol 70%, H202 0,5% dalam methanol, Tris
Buffer Saline (TBS), antibody MAPK, Envision, Choromogen Diamino
Benzidine (DAB). Lathium Carbonat jenuh, Tris EBTA, Hematoxylin, aqua
e. Alat untuk biopsy: blakesley nasal foscep lurus/bengkok, endoskopi kaku, 4
mm, 00.
f. Alat untuk pemeriksaan immunohistokimia: Sistem visualisasi
immunohistokimia (Envision kit), mesin pemotong jaringan (microtome),
silanized slide.
3.8 Prosedur Kerja Pemeriksaan Immunohistokimia p38 MAPK:
1. Deparafinisasi slide (Xylol 1, Xylol 2, Xylol 3) @ 5 menit
2. Rehidrasi (Alkohol absolute, Alk 96%, Alk 80%, Alk 70%) @ 4 menit
3. Cuci dengan air mengalir 5 menit
4. Masukkan slide ke dalam PT Link Dako Epitope Retrieval : set up
Preheat 65°C, Running time 98°C selama 15 menit.
± 1 jam
5. Pap Pen. Segera masukkan dalam Tris Buffered Saline (TBS) pH
7,4
5 menit
6. Blocking dengan peroxidase block 5-10 menit
7. Cuci dalam Tris Buffered Saline (TBS) pH 7,4 5 menit
8. Blocking dengan Normal horse Serum (NHS) 3 % 15 menit
9. Cuci dalam Tris Buffered Saline (TBS) pH 7,4 5 menit
10. Inkubasi dengan Antibodi p38 MAPK dengan pengenceran 1:40 1 jam
11. Cuci dalam Tris Buffered Saline (TBS) pH 7,4 /Tween 20 5 menit
12. Dako Real Envision Rabbit/Mouse 30 menit
13. Cuci dalam Tris Buffered Saline (TBS) pH 7,4 /Tween 20 5-10 menit
14. DAB+Substrat Chromogen solution dengan pengenceran 20 µL
DAB : 1000 µL substrat (tahan 5 hari di suhu 2-8°C setelah di-mix)
5 menit
15. Cuci dengan air mengalir 10 menit
16. Counterstain dengan Hematoxylin 3 menit
17. Cuci dengan air mengalir 5 menit
19. Cuci dengan air mengalir 5 menit
20. Dehidrasi (Alk 80%, Alk 96%, Alk Abs) @5 menit
21. Clearing (Xylol 1, Xylol 2, Xylol 3) @5 menit
22. Mounting + cover glass
3.9 Cara Pengumpulan Data
Data diambil dari hasil pemeriksaan di Departemen THT-KL FK
USU/RSUP H. Adam Malik Medan dan pemeriksaan histopatologi dan
imunohistokimia di Departemen Patologi Anatomi FK USU.
3.10 Cara Analisis Data
Data yang telah terkumpul dideskripsikan untuk menjelaskan distribusi
frekuensi umur, jenis kelamin dan tipe histopatologi pada KNF. Untuk menilai
kebermaknaan antara variabel yang diteliti, maka dilakukan uji Chi-square dan
BAB 4
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Pengambilan sampel penelitian
didapat dari jaringan nasofaring dengan tindakan biopsi pada penderita karsinoma
nasofaring di poliklinik THT-KL RSUP. H. Adam Malik Medan. Kemudian sampel
penelitian dikirim ke Departemen Patologi Anatomi FK USU untuk pemeriksaan
histopatologi dan immunohistokimia. Data penelitian adalah seluruh kasus karsinoma
nasofaring yang memenuhi kriteria populasi.
Tabel 1. Distribusi frekuensi karsinoma nasofaring berdasarkan umur
Umur (tahun) n %
Distribusi frekuensi tertinggi ditemukan pada kelompok umur 41-60 tahun
sebanyak 18 orang (60,0%), sedangkan yang terendah pada kelompok umur ≤ 20 tahun
sebanyak 1 orang (3,3%). Umur termuda adalah 16 tahun dan tertua berumur 71 tahun
Tabel 2. Distribusi frekuensi karsinoma nasofaring berdasarkan jenis kelamin
Penelitian ini menemukan penderita karsinoma nasofaring terbanyak adalah
jenis kelamin laki-laki sebanyak 22 orang (73,3%) sedang jenis kelamin perempuan
sebanyak 8 orang (26,7%).
Tabel 3. Distribusi frekuensi karsinoma nasofaring berdasarkan tipe histopatologi
Tipe Histopatologi n %
Keratinizing squamous cell carcinoma Non keratinizing squamous cell carcinoma Undifferentiated carcinoma
Berdasarkan tabel di atas diketahui tipe histopatologi penderita karsinoma
nasofaring terbanyak adalah tipe non keratinizing squamous cell carcinoma yaitu
sebanyak 16 jaringan karsinoma nasofaring (53,3%) dan kelompok terendah adalah tipe
keratinizing squamous cell carcinoma yaitu sebanyak 1 jaringan karsinoma nasofaring
Tabel 4. Distribusi frekuensi karsinoma nasofaring berdasarkan skor luas, skor intensitas dan skor immunoreaktif ekspresi p38 MAPK
Skor N %
Skor immunoreaktif dari 30 jaringan karsinoma nasofaring ditemukan
overekspresi p38 MAPK pada 21 jaringan karsinoma nasofaring (70%), dengan skor
immunoreaktif nilai 9 paling banyak ditemukan yaitu 10 jaringan karsinoma nasofaring
Tabel 5. Distribusi frekuensi tipe histopatologi karsinoma nasofaring berdasarkan
Keratinizing squamous cell carcinoma 0 0 1 11,1
Non keratinizing squamous cell carcinoma 12 57,1 4 44,4
Undifferentiated carcinoma 9 42,9 4 44,4
Total 21 100,0 9 100,0
p=0,283
Nilai overekspresi p38 MAPK paling banyak dijumpai pada tipe histopatologi
non keratinizing squamous cell carcinoma sebanyak 12 jaringan karsinoma nasofaring
(57,1%), diikuti tipe histopatologi undifferentiated carcinoma sebanyak 9 jaringan
karsinoma nasofaring (42,9%), dengan uji Chi-Square didapatkan nilai p=0,283.
Tabel 6. Distribusi frekuensi ukuran tumor primer (T) karsinoma nasofaring berdasarkan ekspresi p38 MAPK
Ukuran tumor primer (T)
Ekspresi p38 MAPK
(38,1%) dan terendah ditemukan pada ukuran tumor primer T2 yaitu sebanyak 3
jaringan karsinoma nasofaring (14,3%), dengan uji Mann Whithey didapatkan nilai
p=0,926.
Tabel 7. Distribusi frekuensi ukuran kelenjar getah bening (N) karsinoma nasofaring berdasarkan ekspresi p38 MAPK
Ukuran KGB leher (N)
Ekspresi p38 MAPK
Overekspresi Negatif
n % n %
0 1 4,8 0 0
1 6 28,6 2 22,2
2 5 23,8 3 33,3
3 9 42,9 4 44,4
Total 21 100,0 9 100,0
p=0,513
Penelitian ini menunjukkan overekspresi p38 MAPK paling banyak ditemukan
pada ukuran kelenjar getah bening N3 yaitu sebanyak 9 jaringan karsinoma nasofaring
(42,9%) dan terendah ditemukan pada ukuran kelenjar getah bening N0 yaitu sebanyak
1 jaringan karsinoma nasofaring (4,8%), dengan uji Mann Whithey didapatkan nilai
Tabel 8. Distribusi frekuensi stadium klinis karsinoma nasofaring berdasarkan ekspresi p38 MAPK
Stadium Klinis
Ekspresi p38 MAPK
Overekspresi Negatif
n % n %
1 0 0,0 0 0,0
2 1 4,8 2 22,2
3 5 23,8 2 22,2
4 15 71,4 5 55,6
Total 21 100,0 9 100,0
p=0,151
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa peningkatan overekspresi p38
MAPK paling banyak ditemukan pada stadium 4 yaitu sebanyak 15 jaringan karsinoma
nasofaring (71,4%), dan terendah ditemukan pada stadium 2 yaitu sebanyak 1 jaringan
BAB 5
PEMBAHASAN
Penelitian ini menggunakan 30 jaringan nasofaring yang didapat dari tindakan
biopsi pada penderita karsinoma nasofaring di poliklinik THT-KL RSUP. H. Adam
Malik Medan dan dilakukan pemeriksaan histopatologi dan immunohistokimia oleh
Departemen Patologi Anatomi FK USU.
5.1 Distribusi Frekuensi Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Umur
Pada penelitian ini ditemukan kelompok umur terbanyak pada karsinoma
nasofaring adalah umur 41-60 tahun yaitu sebanyak 18 orang (60,0%),
sedangkan yang terendah pada kelompok umur ≤ 20 tahun yaitu sebanyak 1
orang (3.33%).
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian oleh Cottrill & Nutting
(2003) yang menemukan bahwa pada daerah endemik insiden karsinoma
nasofaring meningkat sejak usia 20 tahun dan mencapai puncak pada dekade
empat dan lima. Pada daerah resiko rendah usia terbanyak pada dekade lima dan
enam tapi masih terdapat insidensi yang signifikan pada usia dibawah 30 tahun
sehingga didapati distribusi usia bimodal dengan puncak awalnya antara usia
15-25 tahun.
Lee (2003) dalam penelitiannya juga menemukan puncak insindensi
KNF pada usia 40-50 tahun, begitu pula Thompson (2005) menemukan insidensi
Hasil penelitian Puspitasari (2011) juga menemukan hasil yang hampir
sama yaitu kelompok umur pada KNF paling banyak dijumpai adalah kelompok
umur 41-50 tahun (26,5%) dan kelompok umur 51-60 tahun (26,35%).
Hal ini disebabkan karena sistem mekanisme perbaikan DNA yang
mengalami mutasi (DNA repair) sudah kurang berfungsi dengan baik dan
penurunan daya tahan tubuh pada usia lebih dari 40 tahun. Mekanisme perbaikan
DNA dibutuhkan guna memperbaiki rangkaian asam amino pada kode genetik
DNA yang mengalami mutasi. Jika mekanisme perbaikan DNA ini mengalami
kegagalan dalam menjalankan fungsinya maka mutasi gen DNA yang sudah
terjadi akan menyebabkan pertumbuhan sel tidak terkendali (Soehartono et al,
2007)
5.2 Distribusi Frekuensi Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Jenis kelamin
Penelitian ini menemukan jenis kelamin penderita karsinoma nasofaring
terbanyak adalah laki-laki sebanyak 22 orang (73,3%) dengan perbandingan
laki-laki dengan perempuan adalah 2.7:1.
Hasil ini hampir sama dengan penelitian oleh Cottrill & Nutting (2003),
Pua et al (2008), Yenita (2009) yang menemukan perbandingan laki-laki dan
perempuan pada KNF adalah 3;1.
Hal ini diduga dari pekerjaan dan kebiasaan hidup laki-laki yang sering
terpapar zat karsinogen seperti paparan uap, asap debu, gas kimia, paparan
Selain itu faktor hormonal seperti hormon testosteron yang dominan pada
laki-laki dicurigai mengakibatkan penurunan respon imun dan survaillance
tumor sehingga laki-laki lebih rentan terhadap infeksi EBV dan kanker (Munir,
2009).
5.3 Distribusi Frekuensi Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Tipe
Histopatologi
Penelitian ini menemukan tipe histopatologi penderita karsinoma
nasofaring terbanyak adalah tipe non keratinizing squamous cell carcinoma
sebanyak 16 jaringan karsinoma nasofaring (53,3%) dan tipe histopatologi
terendah adalah tipe keratinizing squamous cell carcinoma yaitu sebanyak 1
jaringan karsinoma nasofaring (3,3%).
Hasil ini senada dengan penelitian Puspitasari (2011), Harahap (2009)
dan Hidayat (2009) yang menemukan tipe non keratinizing squamous cell
carcinoma paling banyak dijumpai pada KNF, dengan proporsi masing-masing
sebesar 46,6%, 50,0% dan 63,6%.
Hasil yang berbeda di dapatkan oleh Zahara (2007) dan Delfitri M (2007)
yang menemukan tipe Undifferentiated Carcinoma paling banyak dijumpai pada
KNF, dengan proporsi masing-masing sebesar 58,3% dan 54,6%
Karsinoma nasofaring tipe non keratinizing squamous cell carcinoma
dan Undifferentiated Carcinoma paling banyak dijumpai di daerah endemik
tipe 1 lebih sering dijumpai di Eropa dengan prognosis yang lebih buruk (Licitra
et al. 2003; Guigay et al. 2006).
5.4 Distribusi Frekuensi Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Ekspresi p38
MAPK
Jalur p38 adalah salah satu cabang dari jalur MAPK yang aktif setelah
difosforilasi oleh rangsangan ekstraseluler dan berperan baik dalam proses
fisiologi maupun proses patologi seperti inflamasi, cell stress, apoptosis, siklus
sel dan pertumbuhan sel (Ji, Ren, & Xu, 2010).
Pada penelitian ini didapatkan overekspresi p38 MAPK pada 21 jaringan
karsinoma nasofaring (70%) dari 30 jaringan karsinoma nasofaring, dengan nilai
skor immunoreaktif terbanyak ditemukan adalah nilai 9 (33,3%).
Penelitian yang kami lakukan tampaknya sejalan dengan hasil beberapa
penelitian, misalnya: Ji, Ren, & Xu, (2010) dalam penelitiannya menduga
adanya keterlibatan p38 MAPK dan caspase-8 dalam proses apoptosis pada sel
epitel karsinoma nasofaring.
Penelitian Liang et al (2005) menemukan overekspresi p38 MAPK pada
karsinoma gaster, dimana dari 30 sampel karsinoma gaster ditemukan
overekspresi p38 MAPK sebanyak 14 sampel dan level protein yang ditemukan
lebih tinggi ditemukan pada jaringan karsinoma gaster dibandingkan dengan
mukosa normal.
Penelitian oleh Fang et al (2008) juga mendukung hasil penelitian yang
MAPK terhadap proses apoptosis, dimana ditemukan 19 gen jalur MAPK
dengan pemeriksaan PCR pada pasien karsinoma nasofaring.
Hasil yang hampir sama ditemukan pada karsinoma rongga mulut yaitu
penelitian Kim et al (2010) yang menemukan kemungkinan keterlibatan aktivasi
p38 MAPK untuk meningkatkan reaksi apotosis sel pada kanker rongga mulut
setelah pemberian asam tolfenamic.
Hasil penelitian ini agak berbeda dengan hasil penelitian oleh Lo, et al
(2006) dengan metode PCR, menemukan supresi p38 MAPK pada epitel
nasofaring yang menyebabkan pertumbuhan sel kanker.
Menurut peneliti, hasil yang berbeda ini dikarenakan metode yang
digunakan pada penelitian tersebut berbeda dan hanya melihat aktif atau tidak
aktifnya jalur tersebut secara kualitatif, sedangkan penelitian yang kami lakukan
bersifat kuantitatif.
5.5 Distribusi Frekuensi Tipe Histopatologi Karsinoma Nasofaring
Berdasarkan Ekspresi p38 MAPK
Karsinoma nasofaring adalah karsinoma sel skuamosa yang berkembang
pada epitel nasofaring, dimana salah satu dugaan etiologi adalah proses
inflamasi dan infeksi yang sering terjadi pada saluran pernafasan atas yang
disebabkan oleh Epstein Barr Virus (EBV) (Chan & Tao, 2007). Infeksi EBV
sebagai salah satu faktor risiko KNF memiliki masa laten untuk
mempertahankan episom EBV dalam epitel nasofaring yang terinfeksi, sekitar
kumpulan sel target pada nasofaring yang rentan terhadap paparan karsinogen
lingkungan serta perubahan genetik selanjutnya pada onkogen dan gen
suppressor tumor yang berperan dalam transformasi keganasan menjadi KNF
(Richardson, 2005).
Pada penelitian ini kami temukan nilai overekspresi p38 MAPK paling
banyak dijumpai pada tipe histopatologi non keratinizing squamous cell
carcinoma sebanyak 12 jaringan karsinoma nasofaring (57,1%) diikuti tipe
histopatologi undifferentiated carcinoma sebanyak 9 jaringan karsinoma
nasofaring (42,9%). Jika dilihat dari distribusi overekspresi p38 MAPK
berdasarkan tipe histopatologi dapat kita temukan overekspresi p38 MAPK
banyak dijumpai pada tipe histopatologi yang berkaitan dengan inflamasi,
namun dengan uji Chi-Square menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan
antara ekspresi p38 MAPK dengan tipe histopatologi karsinoma nasofaring
(p=0,283).
Hasil ini sejalan dengan penelitian Liang et al (2005) pada karsinoma
gaster, yang menemukan tidak ada hubungan yang signifikan antara p38 MAPK
dengan tipe histopatologi karsinoma gaster (p>0,05).
p38 MAPK berhubungan dengan respon inflamasi, diferensiasi sel, fase
istirahat siklus sel, apoptosis, produksi sitokin dan mengatur pemisahan RNA
yang berhubungan dengan infeksi EBV (Coulthard, White, Jones, McDermott &
Burchill, 2009). Pada karsinoma nasofaring tipe non keratinizing squamous cell
carcinoma dan undifferentiated carcinoma mempunyai hubungan yang
pada penelitian kami, tipe non keratinizing squamous cell carcinoma dan
undifferentiated carcinoma banyak ditemukan overekspresi p38 MAPK.
5.6 Distribusi Frekuensi Ukuran Tumor Primer (T) Karsinoma Nasofaring
Berdasarkan Ekspresi p38 MAPK
Penelitian ini menemukan overekspresi p38 MAPK paling banyak
ditemukan pada karsinoma nasofaring dengan ukuran tumor primer T4 sebanyak
8 jaringan karsinoma nasofaring (38,1%) dan terendah ditemukan pada ukuran
tumor primer T2 yaitu sebanyak 3 jaringan karsinoma nasofaring (14,3%).
Pada penelitian ini dapat kita lihat distribusi overekspresi p38 MAPK
semakin meningkat sejalan dengan membesarnya ukuran tumor yaitu T2 sampai
T4, namun dengan uji Mann Whitney menunjukkan tidak ada perbedaan yang
signifikan antara ekspresi p38 MAPK dengan ukuran tumor primer karsinoma
nasofaring (p=0,926).
Hasil ini hampir sama dengan penelitian uji klinis oleh Sullivan, Wang &
Redmond (2009) pada karsinoma kolon yang menemukan adanya peran p38
MAPK pada terjadinya perluasan tumor. Pada penelitiannya mereka
memberikan inhibitor p38 MAPK, yang menyebabkan peningkatan apoptosis
dan berkurangnya proliferasi sel tumor.
Penelitian uji klinis Biagetti et al (2012) pada karsinoma kolorektal yang
diberikan kemoterapi cetuximab-irinocetan, menduga adanya keterlibatan p38
Liang et al (2005) dalam penelitian case-control antara jaringan normal
dengan jaringan karsinoma gaster, menemukan tidak ada hubungan yang
signifikan antara p38 MAPK dengan umur ukuran tumor karsinoma gaster.
Hal ini diduga karena p38 MAPK tidak bekerja sendiri dan bergantung
pada jalur MAPK yang lain seperti ERK dan JNK, seperti pada penelitian
case-control Wang et al (2011) pada karsinoma sel skuamosa paru di Hangzhou,
menemukan ketidakseimbangan p38 MAPK dengan ERK memegang peranan
penting dalam perkembangan karsinoma sel skuamosa dan kedua molekul ini
dapat menjadi target terapi dan prognosis pada karsinoma sel skuamosa.
5.7 Distribusi frekuensi Ukuran kelenjar getah bening (N) karsinoma
nasofaring berdasarkan p38 MAPK
Fenotipe karsinoma ditandai oleh adanya kegagalan apoptosis, replikasi
yang tidak terbatas, invasi dan metastasis, angiogenesis, perkembangan
resistansi obat (Han & Sun, 2007). Pada KNF metastasis regional yang muncul
adalah metastase ke kelenjar getah bening leher.
Pada penelitian ini ditemukan overekspresi p38 MAPK paling banyak
dijumpai pada ukuran kelenjar getah bening N3 yaitu sebanyak 9 jaringan
karsinoma nasofaring (42,9%), dan terendah pada ukuran kelenjar getah bening
N0 sebanyak 1 jaringan karsinoma nasofaring (4,8%).
Jika kita melihat tabel distribusi frekuensi ukuran kelenjar getah bening
berdasarkan ekspresi p38 MAPK, dapat kita jumpai distribusi overekspresi