• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Efektivitas Kelembagaan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) Di Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bandung Utara Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Efektivitas Kelembagaan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) Di Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bandung Utara Jawa Barat"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN

PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (PHBM)

DI KESATUAN PEMANGKUAN HUTAN (KPH) BANDUNG UTARA

JAWA BARAT

BAHRUZIN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Efektivitas Kelembagaan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) Di Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bandung Utara Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

BAHRUZIN. Analisis Efektivitas Kelembagaan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) di Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bandung Utara Jawa Barat. Dibimbing oleh ACENG HIDAYAT dan EKA INTAN KUMALA PUTRI

Penetapan Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) dirumuskan melalui Surat Keputusan (SK) Perhutani No. 136/KPTS/DIR/2001. PHBM adalah suatu sistem pengelolaan hutan yang dilakukan bersama oleh Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan dengan pihak yang berkepentingan (stakeholder). Pengaruh masyarakat desa hutan (MDH) terhadap aspek sosial dan ekonomi masyarakat Jawa Barat cukup signifikan (Heryawan 2011).

Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis proses terbentuknya kelembagaan PHBM dan stakeholder yang terlibat; Menganalisis efektivitas kelembagaan PHBM dalam mencapai tujuannya; Menganalisis dampak PHBM terhadap aspek perekonomian dan ekologi bagi masyarakat desa hutan. Penelitian dilakukan di KPH Bandung Utara. LMDH yang dijadikan sampel penelitian adalah LMDH yang terdekat dengan hutan (LMDH Cipada dan Kertawangi) dan LMDH yang berada paling jauh dengan hutan (LMDH Cikole dan Cihideung). Penentuan lokasi LMDH yang diteliti dilakukan secara purposive sampling. Responden dalam penelitian ini sebanyak 15 stakeholder responden key person dan 420 orang petani. Teknik pemilihan responden stakeholder melalui teknik snowball sampling dan pemilihan responden MDH dilakukan dengan menggunakan random sampling.

Jenis data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis data yaitu data primer dan data sekunder (Sugiyono 2008). Data primer, yakni data yang diperoleh secara langsung di lapangan untuk mengetahui proses pembentukan kelembagaan PHBM, efektivitas kelembagaan PHBM dan dampaknya terhadap ekonomi dan ekologi. Data tersebut diperoleh melalui kuesioner, wawancara mendalam (depth interview), Focus Group Discussion (FGD) dan pengamatan lapangan (observasi). Adapun data sekunder dalam penelitian ini adalah data laporan kegiatan PHBM, dokumen perjanjian kerjasama Perhutani dengan LMDH, peta wilayah KPH Bandung Utara, peraturan perundangan terkait sistem PHBM, dan laporan tahunan LMDH. Analisis data menggunakan metode analisis deskritif kualitatif, analisis stakeholder, analisis struktur pendapatan rumah tangga MDH, analisis persepsi dan analisis Importance Permormance Analysis (IPA).

(5)

dan masyarakat. Pemetaan dilakukan untuk mengetahui peran masing-masing stakeholder dalam sistem PHBM di KPH Bandung Utara. Posisi kuadran A (subject) ditempati oleh perguruan tinggi. Posisi kuadran B (player) ditempati oleh Perum Perhutani, Pemerintah LMDH, LSM, Masyarakat, Pengurus LMDH, Tokoh Masyarakat, RPH, Mandor, dan Investor. Posisi kuadran C (by stander) ditempati oleh Dinas Kehutanan, BP3K, dan BKSDA. Posisi kuadran D (actor) ditempati oleh Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Kecamatan. Analisis efektivitas kelembagaan PHBM dilihat dengan beberapa indikator prasyarat kelembagaan yaitu struktur organisasi, pembagian kerja, peraturan, tujuan organisasi, program kerja, transparasi dan akuntabilitas, partisipasi dan pengambilan keputusan, pengawasan, sanksi, skema evaluasi serta mekanisme petanggungjawaban. Selain terdapat aturan formal, dalam LMDH juga terdapat boundary rule. Pembubaran LMDH hanya dapat dilaksanakan oleh musyawarah anggota.

PHBM berkontribusi positif terhadap pendapatan rumah tangga petani masyarakat desa hutan dan terhadap ekologi hutan di KPH Bandung Utara. Kegiatan PHBM menyumbang pendapatan masyarakat berkisar antara 52% hingga 85% dari total pendapatan masyarakat desa hutan. Adapun dampak ekologi dari pelaksanaan PHBM yaitu bertambahnya tutupan lahan, semakin baiknya kondisi hidrologi, berkurangnya gangguan hutan, serta bertambahnya jumlah pohon pada kawasan hutan. Hasil analisis IPA menunjukkan bahwa pengaruh sistem PHBM bagi masyarakat telah memenuhi indikator kepuasan masyarakat. Hal ini ditunjukkan oleh pemetaan tingkat ketersediaan sumberdaya hutan dan tingkat kepentingan sumberdaya hutan bagi masyarakat seluruhnya berada pada Kuadran II, yaitu memiliki tingkat ketersediaan dan kepentingan yang tinggi. Kesimpulan dari penelitian ini diantaranya adalah kelembagaan PHBM di KPH Bandung Utara sudah cukup efektif dalam mencapai tujuannya, PHBM berkontribusi positif terhadap pendapatan rumah tangga masyarakat desa hutan, dampak ekologi dari pelaksanaan PHBM adalah bertambahnya tutupan lahan, semakin baiknya kondisi hidrologi, berkurangnya gangguan hutan, serta bertambahnya jumlah pohon pada kawasan hutan, kelembagaan LMDH dapat direplikasi pada kawasan hutan lindung lainnya dengan payung hukum yang jelas dan pelibatan stakeholder yang lebih luas.

(6)

SUMMARY

BAHRUZIN. Institutional Effectiveness Analysis of The Community Based Forest Management (PHBM) in Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) of North Bandung, West Java. Supervised by ACENG HIDAYAT and EKA INTAN KUMALA PUTRI

Determination of Joint Forest Management Program (PHBM) formulated by Decree Perhutani No 136/KPTS/DIR/2001. PHBM is a system of forest management is conducted jointly by Perum Perhutani and forest villagers with interested parties (stakeholders). Influence of forest villagers (MDH) to the social and economic aspects of West Java is quite significant (Heryawan 2011).

The purpose of this study was to analyze the process of formation of PHBM institutions and stakeholders involved; Analyzing the PHBM institutional effectiveness in achieving its objectives; Analyzing the impact of PHBM on aspects of the economy and ecology of the forest villagers. The study was conducted in KPH of North Bandung. Study sampled villages are located in the upper village forest (Cipada Village and Kertawangi Village) and downstream villages in the forest (Cikole Village and Cihideung Village). Determination of the villages surveyed by purposive sampling. Respondents in this study were 15 stakeholder respondents 420 key persons and farmers. Respondent selection technique stakeholders and MDH conducted through snowball sampling technique.

Type of data that collected in this study consists of two types of data are primary data and secondary data (Sugiyono 2008). Primary data, is data obtained directly in the field to know the process of institutional formation PHBM, PHBM institutional effectiveness and its impact on economy and ecology. The data obtained through questionnaires, in-depth interviews, Focus Group Discussion (FGD) and field observations. The secondary data in this research is the data report PHBM activities, document collaboration agreement with LMDH Perhutani, maps areas of North Bandung, legislation related to PHBM systems, and annual reports LMDH. Data analysis using descriptive qualitative analysis, stakeholder analysis, structural analysis MDH household income, the analysis of perception and Importance Permormance Analysis (IPA).

(7)

Leaders, RPH, foreman, and Investors. Position quadrant C (by stander) occupied by the Forest Service BP3K, and BKSDA. Position quadrant D ( actor ) is occupied by the district and sub-district government. Analysis of PHBM institutional effectiveness seen with several indicators of institutional prerequisites that organizational structure, division of labor, regulatory, organizational goals, work programs, transparency and accountability, participation and decision-making, supervision, sanctions, and evaluation schemes petanggungjawaban mechanism. In addition there are formal rules, in LMDH also a boundary rule. LMDH dissolution can only be carried out by members of deliberation.

Activities PHBM contributed income household villagers forest range between 52 % to 85 % of total revenue villagers the forest. The ecological impact of the implementation of PHBM is increasing land cover, the good hydrological conditions, reduced forest disturbance, and increased the number of trees in the forest. IPA analysis results indicate that the effect of PHBM systems for the community has met the public satisfaction indicators. This is demonstrated by mapping the level of availability of forest resources and the importance of forest resources for the community as a whole are in quadrant II, which has a level of high availability and interests. Quadrant II is an achievement defend quadrant, where the indicator is located in this quadrant are considered important and its availability in accordance with the expectations of society. The conclusion of this study include institutional PHBM in KPH of North Bandung has been quite effective in achieving its objectives, the ecological impact of the implementation of PHBM is increasing land cover, the good hydrological conditions, reduced forest disturbance, and increased the number of trees in the forest area, institutional LMDH can be replicated in other protected forest areas with a clear legal framework and broader stakeholder involvement .

Advice can be given in this study is the role of communities in forest resource management can be optimized through coaching and empowerment LMDH, both in terms of capital, human resources and institutional. PHBM development must be done in an integrated, comprehensive, continuous and gradual and should be based on the needs, potentials and capabilities of the PHBM through appropriate development strategy on the basis of mutually beneficial cooperation.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)
(10)
(11)

ANALISIS EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN

PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (PHBM)

DI KESATUAN PEMANGKUAN HUTAN (KPH) BANDUNG UTARA

JAWA BARAT

BAHRUZIN

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)
(13)

Judul Tesis : Analisis Efektivitas Kelembagaan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) Di Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bandung Utara Jawa Barat

Nama : Bahruzin NIM : H351100124

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Aceng Hidayat, MT Ketua

Dr Ir Eka Intan Kumala Putri, Msi Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Prof Dr Ir Akhmad Fauzi, MSc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(14)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2013 ini ialah

kelembagaan, dengan judul “Analisis Efektivitas Kelembagaan Pengelolaan

Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) di Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH)

Bandung Utara Jawa Barat”. Penelitian ini membahas mengenai proses

pembentukan kelembagaan PHBM, stakeholder yang terlibat, dan efektivitas kelembagaan PHBM. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 59 LMDH yang berada di KPH Bandung Utara 47 LMDH termasuk pada kategori aktif, 12 LMDH dorman dan tidak terdapat LMDH yang tergolong collapse. Sistem PHBM terbentuk berdasarkan kebutuhan pengelolaan hutan yang lestari dan berkelanjutan, adapun aktor yang terlibat dalam pembentukan PHBM adalah Perum Perhutani, Masyarakat dan stakeholder. Penerapan sistem PHBM di KPH Bandung Utara berdampak terhadap peningkatan kondisi ekonomi rumahtangga. Adapun dampak ekologi dari pelaksanaan PHBM yaitu bertambahnya tutupan lahan, semakin baiknya kondisi hidrologi, berkurangnya gangguan hutan, serta bertambahnya jumlah pohon pada kawasan hutan. Untuk selanjutnya dapat dibaca dalam isi tesis ini.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberi bantuan dan dukungan selama proses penyusunan tesis ini, terutama kepada Prof Dr Ir Akhmad Fauzi, MSc, sebagai Ketua Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana IPB beserta staf. Dr Ir Aceng Hidayat, MT, dan Dr Ir Eka Intan Kumala Putri, MSi, sebagai Komisi Pembimbing yang banyak memberikan masukan, arahan, saran ilmiah dan bimbingan serta dorongan bagi penulis untuk terus maju dan mengatasi berbagai kendala yang muncul dalam menyelesaikan tesis ini. Secara khusus penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada DR (HC) H Ahmad Heryawan, Lc, yang telah memberikan fasilitas sehingga penulis dapat menimba ilmu di Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana IPB, Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Barat dan Balai Tahura Dago, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten, KPH Bandung Utara beserta jajarannya, ketua LMDH, KTH dan Masyarakat Desa Hutan di Desa Cipada, Kertawangi, Cihideung dan Cikole yang telah membantu penulis dalam melaksanakan penelitian ini. Semoga para pembaca dapat mengambil manfaat dari karya ilmiah ini.

Bogor, Juni 2014

(15)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL x

DAFTAR GAMBAR xi

DAFTAR LAMPIRAN xii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 4

Tujuan Penelitian 6

Manfaat Penelitian 6

Ruang Lingkup Penelitian 6

2 TINJAUAN PUSTAKA 7

Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung 7

Hak Kepemilikan Hutan (Property Right) 8

Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) 10

Pelestarian Hutan dan Lingkungan 12

Teori Efektivitas Kelembagaan 16

Teori Pemangku Kepentingan (Stakeholder) 17

Penelitian Terdahulu 19

Kerangka Pemikiran 21

3 METODE PENELITIAN 25

Lokasi dan Waktu Penelitian 25

Jenis dan Sumber Data 25

Metode Pengambilan Sample 27

Metode Pengolahan dan Analisis Data 27

4 GAMBARAN UMUM 34

Kondisi Umum Wilayah Penelitian 34

Pengelolaan Hutan di KPH Bandung Utara 37

Kelembagaan PHBM di KPH Bandung Utara 38

Pelibatan Masyarakat Dalam Pelaksanaan Program PHBM 39

Proses Pembentukan Kelembagaan PHBM 41

Karakteristik Responden 43

5 ANALISIS EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN PHBM 44

Stakeholder dalam Kelembagaan PHBM 44

Indikator Prasyarat Kelembagaan PHBM 49

Dampak PHBM terhadap Ekonomi Rumah Tangga Masyarakat

Desa Hutan 53

Dampak PHBM terhadap Ekologi Hutan 59

Deskripsi Implementasi Program PHBM 65

Deskripsi Efektivitas Kelembagaan PHBM 69

Implikasi Kebijakan PHBM 71

6 SIMPULAN DAN SARAN 73

Simpulan 73

Saran 73

DAFTAR PUSTAKA 74

LAMPIRAN 77

(16)

DAFTAR TABEL

1 Luas hutan Jawa Barat Tahun 2011 2

2 Luas hutan KPH Bandung Utara Jawa Barat Tahun 2011 2 3 Jenis ganggungan dan kerusakan hutan di Propinsi Jawa Barat

Tahun 2007-2011 2

4 Jumlah, sebaran dan kegiatan usaha LMDH di KPH Bandung Utara

Tahun 2011 4

5 Penelitian terdahulu 21

6 Matrik metode penelitian 27

7 Skala indikator untuk analisis presepsi 28

8 Skor persentase indikator pada analisis presepsi 28

9 Analisis stakeholder pada kelembagaan PHBM 29

10 Metode dan analisis proses dan peran aktor dalam pembentukan PHBM 30 11 Metode dan analisis efektivitas kelembagaan PHBM 31 12 Metode dan analisis dampak PHBM terhadap ekonomi dan ekologi 33 13 Jenis kegiatan dan tahun berdiri LMDH di LMDH penelitian 37 14 Data hasil hutan bukan kayu (HHBK) KPH Bandung Utara

Tahun 2011-2012 38

15 Identifikasi terbentuknya PHBM di KPH Bandung Utara 41 16 Karakteristik responden pada masing-masing LMDH di lokasi

penelitian 43

17 Identifikasi nilai kepentingan dan pengaruh masing-masing stakeholder

pada sistem PHBM di KPH Bandung Utara 44

18 Tingkat keterlibatan masing-masing stakeholder pada sistem PHBM di

KPH Bandung Utara 46

19 Tahapan kegiatan pelaksanaan PHBM 50

20 Aturan internal LMDH 52

21 Rata-rata penerimaan on farm, off farm dan non farm (Rp/tahun)

di LMDH Cipada 55

22 Rata-rata penerimaan on farm, off farm dan non farm (Rp/tahun)

di LMDH Kertawangi 56

23 Rata-rata penerimaan on farm, off farm dan non farm (Rp/tahun)

di LMDH Cikole 57

24 Rata-rata penerimaan on farm, off farm dan non farm (Rp/tahun)

di LMDH Cihideung 58

25 Kontribusi PHBM terhadap penerimaan masyarakat desa hutan 59 26 Persepsi Masyarakat terhadap PHBM dan dampak ekonomi di LMDH

Cipada 60

27 Persepsi Masyarakat terhadap PHBM dan dampak ekologi di LMDH

Cipada 61

28 Persepsi Masyarakat terhadap PHBM dan dampak ekonomi di LMDH

Kertawangi 61

29 Persepsi Masyarakat terhadap PHBM dan dampak ekologi di LMDH

Kertawangi 62

30 Persepsi Masyarakat terhadap PHBM dan dampak ekonomi di LMDH

(17)

31 Persepsi Masyarakat terhadap PHBM dan dampak ekologi di LMDH

Cihideung 63

32 Persepsi Masyarakat terhadap PHBM dan dampak ekonomi di LMDH

Cikole 65

33 Persepsi Masyarakat terhadap PHBM dan dampak ekologi di LMDH

Cikole 65

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran penelitian 24

2 Peta lokasi penelitian 25

3 Tingkat dan pengaruh stakeholder 30

4 Kuadran Importance-Performance Analysis 33

5 Pemetaan masing-masing stakeholder sistem PHBM

di KPH Bandung Utara 45

6 Keterkaitan antara stakeholder 47

7 Grafik kartesius IPA persepsi masyarakat terhadap sumberdaya hutan

dan dampak ekonomi bagi masyarakat desa hutan 66 8 Grafik kartesius IPA persepsi masyarakat terhadap sumberdaya hutan

dan dampak ekologi hutan 67

DAFTAR LAMPIRAN

1 Data LMDH di KPH Bandung Utara tahun 2013 77

2 Status kelembagaan LMDH di KPH Bandung Utara 80

3 Aspek penghambat LMDH di KPH Bandung Utara 81

(18)
(19)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1) undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Menurut Undang-undang tersebut, Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungan, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Sedangkan kawasan hutan lebih lanjut dijabarkan dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. 70/Kpts-II/2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, perubahan status dan fungsi kawasan hutan, yaitu wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Untuk menjamin diperolehnya manfaat yang sebesar-besarnya dari hutan dan berdasarkan kebutuhan sosial ekonomi masyarakat serta berbagai faktor pertimbangan fisik, hidrologi dan ekosistem, maka luas wilayah yang minimal harus dipertahankan sebagai kawasan hutan adalah 30% dari luas daratan. Pembagian kawasan hutan berdasarkan fungsi-fungsinya dengan kriteria dan pertimbangan tertentu, ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah RI No. 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan Pasal 5 ayat (2). Fungsi hutan berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 34 tahun 2002 dimaksud adalah sebagai hutan lindung, hutan produksi dan hutan konservasi.

Hutan lindung merupakan kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah. Menurut Direktorat Bina Program Kehutanan (1981), hutan lindung didefinisikan sebagai kawasan hutan yang karena keadaan dan sifat fisik wilayahnya perlu dibina dan dipertahankan sebagai hutan dengan penutupan vegetasi secara tetap untuk kepentingan hidrologi (mengatur tata air, mencegah banjir dan erosi, serta memelihara keawetan dan kesuburan tanah) baik dalam kawasan hutan yang bersangkutan maupun di luar kawasan hutan yang di pengaruhinya. Apabila hutan lindung diganggu, maka hutan tersebut akan kehilangan fungsinya sebagai pelindung, bahkan akan menimbulkan bencana alam, seperti banjir, erosi, maupun tanah longsor.

(20)

2

Apabila dibandingkan dengan keseluruhan wilayah di Jawa Barat yang mencapai 3.711.516,50 Ha, maka luas hutan wilayah Provinsi Jawa Barat mencakup 22,01%. Data luasan hutan di Jawa Barat pada tahun 2011 tersaji pada Tabel 1. Tabel 1 Luas hutan Jawa Barat Tahun 2011

No Fungsi Kawasan Hutan Luas Kawasan Hutan (Ha)

Persentase (%)

1 Hutan Konservasi 147.714,89 3,98

2 Hutan Lindung 271.161,19 7,31

3 Hutan Produksi Tetap 209.547,70 5,65

4 Hutan Produksi Terbatas 191.723,68 5,16

Jumlah 820.147,46 22,10

5 Areal Penggunaan Lainnya 2.891.369,04 77,90

Jumlah Total 3.711.516,50 100,00

Sumber :Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat 2012

Hutan yang terdapat di KPH Bandung Utara terdiri dari hutan produksi, hutan produksi terbatas, dan hutan lindung. Hutan lindung mendominasi fungsi hutan sebesar 78,60%, fungsi hutan produksi tetap 14,94 % dan hutan produksi terbatas 6,46%. Data luas hutan KPH Bandung Utara pada tahun 2011 tersaji pada Tabel 2.

Tabel 2 Luas hutan KPH Bandung Utara Jawa Barat Tahun 2011

No Fungsi Kawasan Hutan Luas Kawasan Hutan (Ha)

Persentase (%)

1 Hutan Produksi Tetap 3.071,80 14,94

2 Hutan Produksi Terbatas 1.328,38 6,46

3 Hutan Lindung 16.160,18 78,60

Jumlah 20.560,36 100,00

Sumber :Data Kehutanan, Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat Tahun 2012

Data perkembangan jenis gangguan dan kerusakan hutan di Jawa Barat pada tahun 2007-2011 secara umum menunjukan penurunan. Data jenis gangguan dan kerusakan hutan di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2007-2011 dapat dilihat pada Tabel 3 (Perum Perhutani Unit III, BBKSDA Jawa Barat 2011).

Tabel 3 Jenis gangguan dan kerusakan hutan di Provinsi Jawa Barat Tahun 2007-2011

Sumber: Perum Perhutani Unit III, BBKSDA Jawa Barat 2012

(21)

3 Upaya Pemerintah maupun Perum Perhutani untuk melibatkan masyarakat kawasan sekitar hutan dalam sistem Pengelolaan sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) berdasarkan SK Direksi Perum Perhutani No. 136/Kpts/Dir/2001 tahun 2001 maupun Peraturan Daerah (Perda) Pemerintah Propinsi Jawa Barat No. 10 Tahun 2011 adalah suatu usaha untuk menyelamatkan sumberdaya hutan dan lingkungan yang sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. Keberadaan PHBM di KPH Bandung Utara merupakan solusi terhadap berkurangnya akses masyarakat terhadap hutan sebagai konsekuensi terbitnya SK Menteri Kehutanan No. 195 tahun 2003 tentang Re-scoring Kawasan Hutan. SK Menteri Kehutanan No. 195 tahun 2003 berakibat luas hutan yang berfungsi sebagai hutan produksi di KPH Bandung Utara menjadi berkurang. Awalnya 70% hutan di KPH Bandung Utara adalah hutan produksi. Berdasarkan re-scoring berubah hutan produksi menjadi 30% dan 70%nya adalah hutan lindung.

Penetapan Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) dirumuskan melalui Surat Keputusan (SK) Direksi Perhutani No. 136/KPTS/DIR/2001. PHBM adalah suatu sistem pengelolaan yang dilakukan bersama oleh Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan dengan pihak yang berkepentingan (stakeholder). Sistem pengelolaan PHBM menempatkan kepentingan bersama untuk mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan dapat diwujudkan secara optimal dan proporsional. Lebih dari itu PHBM merupakan solusi terhadap lemahnya akses masyarakat desa hutan dalam pemanfaatan sumber daya hutan. Secara khusus sistem pengelolaan PHBM di KPH Bandung Utara menjadi solusi terhadap berkurangnya lahan hutan produksi sebagai konsekuensi terbitnya Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan No. 195/Kpts-II/2003.

Pengaruh masyarakat desa hutan (MDH) terhadap aspek sosial dan ekonomi masyarakat Jawa Barat cukup signifikan. Hal itu disebabkan oleh jumlah desa hutan di Jawa Barat meliputi seperempat dari jumlah desa (1.370 desa) dengan jumlah penduduk mencapai 7.826.914 jiwa. Menanggapi keadaan tersebut, Pemerintah Provinsi Jawa Barat menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) No. 10 Tahun 2011 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan. Penerbitan peraturan tersebut diharapkan menjadi solusi terhadap hambatan akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan. Pemanfaatan hutan oleh masyarakat dimaksudkan untuk mengoptimalkan fungsi hutan melalui lembaga pengelolaan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat desa hutan secara berkeadilan, dengan tetap menjaga kelestarian hutan (Heryawan 2011).

(22)

4

Tabel 4 Jumlah, sebaran dan kegiatan LMDH di KPH Bandung Utara Tahun 2011

No Kabupaten Jumlah Kecamatan

Jumlah LMDH

Jumlah Anggota

(jiwa)

Kegiatan/Usaha

HMT MPTS Kayu Air Wisata Lainnya

1 Bandung 3 9 836 6 7 - 4 1 -

2 Bandung

Barat 7 31 6.608 12 19 2 13 7 8

3 Subang 3 3 1.214 - 16 2 - 1 2

4 Purwakarta 4 16 285 - 3 - - - -

JUMLAH 17 59 8.943 18 45 4 17 9 10

Sumber: Perum Perhutani Unit III, 2012

Selama kurun waktu 5 tahun PHBM di KPH Bandung Utara memiliki peran signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat desa hutan. Keberadaannya mampu membuka lapangan kerja dan usaha bagi MDH. Kondisi ini berdampak positif terhadap kesejahteraan masyarakat desa hutan. Peranan PHBM di KPH Bandung Utara diperkirakan akan semakin meningkat pada masa yang akan datang. Memperhatikan peran signifikan PHBM bagi masyarakat desa hutan di KPH Bandung Utara maka peneliti memandang perlunya dilakukan penelitian terhadap efektivitas kelembagaan PHBM. Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan rekomendasi dalam peningkatan efektivitas kelembagaan LMDH dalam rangka peningkatan peran kelembagaan PHBM bagi masyarakat desa hutan di KPH Bandung Utara dan hutan lindung lainnya. Judul yang diajukan pada penelitian ini, yaitu: ”Analisis Efektivitas Kelembagaan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) di KPH Bandung Utara”.

Perumusan Masalah

Keterbatasan akses masyarakat desa hutan terhadap sumber daya hutan terutama di hutan lindung berakibat tidak adanya kesempatan bagi penduduk untuk memanfaatkan keberadaan hutan, yang secara ekonomi dapat dimanfaatkan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat desa hutan. KPH Bandung Utara menduduki posisi yang penting dalam pengembangan masyarakat desa hutan. Hal ini karena KPH Bandung Utara memliki peran yang vital untuk menjaga ekosistem cekungan Bandung dan memiliki sumberdaya hutan yang dapat dimanfaatkan dalam peningkatan kesejahteraan hidup. Keterlibatan masyarakat desa hutan dalam pemanfaatan sumber daya hutan menjadi penting karena dapat menjaga kelestarian hutan.

Keberadaan PHBM di KPH Bandung Utara merupakan solusi terhadap berkurangnya akses masyarakat terhadap hutan sebagai konsekuensi terbitnya SK Menteri Kehutanan No. 195 tahun 2003 tentang Re-scoring Kawasan Hutan. SK Menteri Kehutanan No. 195 tahun 2003 berakibat luas hutan yang berfungsi sebagai hutan produksi berkurang karena berubah menjadi hutan lindung, akibatnya akses masyarakat desa hutan terhadap sumber daya hutan berkurang. Hal ini berdampak terhadap penurunan kesejahteraan masyarakat desa hutan. Keadaan ini berdampak pula terhadap keterjaminan kelestarian ekologi hutan.

(23)

5 Masyarakat (PHBM) dirumuskan melalui Surat Keputusan (SK) Direksi Perhutani No. 136/KPTS/DIR/2001. PHBM adalah suatu sistem pengelolaan yang dilakukan bersama oleh Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan dengan pihak yang berkepentingan (stakeholder). Melalui program PHBM ini diharapkan masyarakat masih tetap dapat memanfaatkan hutan kesejahteraannya. Sementara bagi Perum Perhutani keberadaan program PHBM diharapkan dapat mengembangkan partisipasi masyarakat dalam pelerstarian hutan sehingga ekologi hutan tidak terganggu.

PHBM di KPH Bandung Utara berpengaruh signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat desa hutan. Keberadaannya mampu membuka lapangan kerja dan usaha bagi masyarakat desa hutan. Kondisi ini berdampak positif terhadap kesejahteraan masyarakat desa hutan. Peranan PHBM di KPH Bandung Utara diperkirakan akan semakin meningkat pada masa yang akan datang. Memperhatikan peran signifikan PHBM bagi masyarakat desa hutan di KPH Bandung Utara maka peneliti memandang perlunya dilakukan penelitian terhadap efektivitas kelembagaan PHBM. Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan rekomendasi atau pengembangan kelembagaan LMDH dalam rangka peningkatan fungsi dan peran kelembagaan PHBM bagi masyarakat desa hutan di KPH Bandung Utara dan hutan lindung lainnya.

Saat ini pengembangan PHBM di KPH Bandung Utara masih terkendala dalam lima aspek kelembagaan, yaitu: organisasi, administrasi, permodalan, usaha produktif dan akseptasi. Kendala pada aspek organisasi diantaranya adalah keterbatasan sumberdaya manusia yang mampu tidak berfungsinya struktur organisasi. Kendala adminstrasi pada LMDH diantaranya adalah tidak adanya pengarsipan baik untuk surat-menyurat maupun pelaporan, pencatatan keanggotaan ataupun sarana adminstrasi lainnya. Kendala permodalan adalah susahnya kelembagaan mengakses lembaga keuangan karena bentuk kelembagaan yang tidak sesuai dengan skema pembiayaan/bantuan yang ada. Sedangkan kendala usaha produktif adalah belum banyaknya kegiatan yang menghasilkan secara ekonomi, keterbatasan pengetahuan budidaya dan teknologi dalam kegiatan usaha, dan juga lemahnya akses dan informasi pasar. Sementara itu kendala akseptasi adalah tidak semuanya masyarakat desa hutan menerima kelembagaan PHBM. Kelima aspek tersebut menjadi permasalahan utama dalam pengembangan PHBM di KPH Bandung Utara yang menjadi penyebab tidak optimalnya perkembangan PHBM.

Penelitian ini penting dilakukan untuk mengetahui permasalahan dan peran kelembagaan PHBM dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat desa hutan dan pelestarian hutan (ekologi) di KPH Bandung Utara. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis efektivitas kelembagaan PHBM dalam mencapai tujuannya. Berdasarkan uraian diatas maka disusun beberapa rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana proses terbentuknya kelembagaan PHBM dan siapa sajakah stakeholder yang terlibat?

2. Bagaimana efektivitas kelembagaan PHBM dalam mencapai tujuannya?

3. Berapa besar dampak keberadaan PHBM terhadap pendapatan rumah tangga petani anggota PHBM?

(24)

6

Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan umum untuk menganalisis efektivitas kebijakan PHBM di hutan lindung KPH Bandung utara. Adapun secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menganalisis proses terbentuknya kelembagaan PHBM dan stakeholder yang terlibat.

2. Menganalisis efektivitas kelembagaan PHBM dalam mencapai tujuannya. 3. Menganalisis kontribusi PHBM terhadap pendapatan rumah tangga petani

anggota PHBM.

4. Menganalisis dampak PHBM terhadap ekologi hutan.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat desa hutan, Perhutani, pemerintah daerah, dan mahasiswa. Adapun manfaatnya adalah sebagai berikut :

1. Bagi Masyarakat

Masyarakat sekitar hutan memahami hak dan kewajiban dalam pemanfaatan sumber daya hutan untuk pencapaian kesejahteraan.

2. Bagi Perhutani

Perhutani mengetahui tingkat keberhasilan pengelolaan hutan melalui pola PHBM yang selanjutnya akan dijadikan bahan masukan dalam penentuan kebijakan dan pengembangan model pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang sesuai dengan kebutuhan.

3. Bagi Pemerintah Daerah

Pemerintah Daerah mengetahui manfaat PHBM bagi kesejahteraan masyarakat desa hutan dan menjadi bahan masukan dalam penyusunan kebijakan terkait pemanfaatan hutan bagi masyarakat.

4. Bagi Mahasiswa

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi penelitian-penelitian sejenis selanjutnya.

Ruang Lingkup Penelitian

(25)

7

2 TINJAUAN PUSTAKA

Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung

Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, dan memelihara kesuburan tanah (UU RI No 41 tahun 1999). Menurut Direktorat Bina Program Kehutanan (1981), hutan lindung didefinisikan sebagai kawasan hutan yang karena keadaan dan sifat fisik wilayahnya perlu dibina dan dipertahankan sebagai hutan dengan penutupan vegetasi secara tetap untuk kepentingan hidrologi (mengatur tata air, mencegah banjir dan erosi, serta memelihara keawetan dan kesuburan tanah) baik dalam kawasan hutan yang bersangkutan maupun di luar kawasan hutan yang di pengaruhinya. Apabila hutan lindung di ganggu, maka hutan tersebut akan kehilangan fungsinya sebagai pelindung, bahkan akan menimbulkan bencana alam, seperti banjir, erosi, maupun tanah longsor. Fungsi dan tujuan pengelolaan hutan lindung: sebagai pengatur tata air, pencegah bencana banjir dan erosi, memelihara kesuburan tanah dan sebagai kawasan perlindungan system penyangga kehidupan, sedangkan tujuan pengelolaannya adalah terjaminnya keutuhan kawasan hutan lindung dan tercapainya pendayagunaan fungsi dan peranan hutan lindung dengan terkendalinya tata air dan terwujudnya system penyangga kehidupan yang berkualitas.

Prinsip dasar pengelolaan kawasan hutan lindung. Pendayagunaan potensi hutan lindung untuk kegiatan pemanfaatan air, pemuliaan, pengkayaan dan penangkaran, wisata alam, penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, penyediaan plasma nutfah untuk budidaya oleh masyarakat setempat, diupayakan tidak merubah luas dan fungsi kawasan. Dalam kawasan hutan lindung diperkenankan adanya kegiatan pemanfaatan tradisional berupa hasil hutan non kayu dan jasa lingkungan. Sesuai fungsinya, dalam kawasan hutan lindung dapat di tempatkan alat-alat pengukur klimatologi, misalnya penakar hujan dan stasiun pengamat aliran sungai (SPAS). Dalam hutan lindung di bangun sarana dan prasarana pengelolaan, penelitian dan wisata alam terbatas. Jika dijumpai adanya kerusakan vegetasi dan penurunan populasi satwa yang dilindungi undang-undang, dapat dilakukan kegiatan :Pembinaan habitat dan pembinaan kawasan untuk kepentingan peningkatan fungsi lindung, Rehabilitasi kawasan dengan jenis tunbuhan yang cocok dengan kondisi dan tipe tanah dan Pengurangan atau penambahan jumlah populasi suatu jenis, baik asli atau bukan asli kedalam kawasan hutan lindung.

Undang-undang No. 22 Tahun 1999 maupun PP No. 25 Tahun 2000

menegaskan “Kewenangan Daerah Atas Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung.

Pada Undang-undang No. 22 Tahun 1999 Pasal 10 dapat disimpulkan, bahwa daerah berwenang mengelola sumberdaya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggungjawab untuk memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; Keputusan Presiden RI No 32/1990

tentang “Pengelolaan Kawasan Lindung” dapat disimpulkan bahwa untuk

(26)

8

pelaksanaannya dilakukan oleh Pemda Propinsi yang mengumumkan kawasan-kawasan tertentu sebagai kawasan-kawasan lindung. Berdasarkan pada Peraturan Pemerintah No. 25/2000 menyatakan bahwa untuk pengelolaan kawasan hutan lindung yang terletak di pemerintahan kabupaten/kotamadya, Pemda Kabupaten atau Kotamadya dapat segera membuat Perda ataupun untuk sementara SK Kepala Daerah.

Penebangan liar atau illegal logging merupakan permasalahan nasional yang menyebabkan kerusakan dan turunnya nilai hutan. Penebangan liar ini tidak hanya terjadi pada kawasan hutan produksi saja, melainkan telah menjarah kawasan cagar alam, taman nasional maupun hutan lindung Gambut. Permasalahan illegal logging ini berawal dari suatu faktor penyebab sosial dan ekonomi. Sebagian para penebang liar merupakan orang yang produktif dan tidak memiliki peluang kerja. Sehingga salah satu cara yang paling cepat dan memungkinkan dilakukan mereka adalah dengan masuk ke hutan dan mengambil kayu sebagai penebang liar. Sementara itu, permintaan kayu di pasaran relatif tinggi yang menyebabkan pemasaran kayu hasil penebangan liar menjadi mudah. Di lain pihak, tidak ada syarat yang berat untuk menjadi seorang penebang liar. Banyak sekali para Toke (pemodal) yang bersedia memberikan modal, sarana, dan prasarana untuk kegiatan penebangan liar ini.

Pengelolaan sumberdaya hayati di kawasan alami yang dilindungi meliputi seluruh proses yang berjalan dalam ekosistem. Ini memerlukan pemahaman prinsip ekologi, suatu apresiasi terhadap proses ekologi yang berjalan dalam kawasan yang di lindungi dan penerimaan konsep bahwa pengelolaan kawasan yang dilindungi merupakan suatu bentuk pengelolaan tanah. Pengelolaan ditentukan oleh tujuan yang ditetapkan bagi kawasan tertentu. Unsur-unsur yang ingin di lestarikan oleh para pengelola dalam kawasan yang di lindungi dapat hilang dengan mudah tanpa adanya pengelolaan. Jelas bahwa sejumlah pengelolaan aktif diperlukan untuk memelihara kualitas yang ingin di awetkan dalam kawasan yang dilindungi. Tetapi perlu di tekankan bahwa campur tangan terhadap proses alam penuh dengan resiko. Pengelolaan yang keliru dapat berakibat lebih buruk dibandingkan tanpa pengelolaan.

Hak Kepemilkan Hutan (Property Right)

Hutan merupakan salah satu sumberdaya yang bersifat common pool resources (CPRs) yang sering menimbulkan konflik pemanfaatan (Schlager dan Ostrom, 2005). Persoalan kelembagaan tersebut menyebabkan biaya ekslusi yang tinggi. Ostrom (2008) menjelaskan bahwa pengelolaan hutan yang dilaksanakan oleh Negara banyak yang berhasil akan tetapi menghadapi banyak tantang konflik dengan masyarakat dan membutuhkan biaya yang cukup tinggi. Menurut North (1990) hak relatif mudah ditegakkan apabila aliran manfaat dapat diketahui dan konstan, atau aliran manfaat bervariasi tetapi dapat diprediksi. Hak tidak mudah ditegakkan (biaya penegakan mahal) apabila aliran manfaat dengan mudah dapat dinikmati pihak lain dan aliran manfaat bervariasi dan tidak dapat diprediksi.

(27)

9 memerlukan biaya penegakan dan biaya eksklusi; dan (d) Karakteristik manfaat sumberdaya menentukan tingkat kesulitan penegakannya. Rejim hak kepemilikan (property regime/institutional arrangement) terdiri dari : (a) hak milik pribadi (private property), (b) milik Negara (state property), (c) hak milik bersama/komunal/adat/ulayat (communal property), (d) milik umum (public property), (e) hak atas manfaat (user rights), dan (f) tidak berpemilik (open access property or noproperty right). Syarat kesempurnaan hak kepemilikan adalah (a) dapat diperjual belikan (tradable), (b) dapat dipindah tangankan (transferable); (c) dapat mengeluarkan pihak yang tidak berhak (excludable) dan (d) dapat ditegakkan hak‐haknya (enforceable). Semakin banyak syarat terpenuhi, semakin sempurna hak kepemilikannya, sehingga semakin dapat diharapkan efisiensi alokasinya dan kelestarian pengelolaannya.

Hak property bukan bermakna sempit sebagai hak kepemilikan (ownership) saja, yang sering sekali menjadi isu yang sensitif ketika kita membicarakannya dalam konteks pengelolaan sumberdaya hutan di Indonesia. Hak property mencakup pengertian yang luas dan tidak sekedar hak, tetapi juga kewajiban dan aturan (Ostrom, 2008). Untuk mendapat legitimasi, klaim atas sumberdaya tersebut harus diakui secara kolektif oleh masyarakat. Konflik akan muncul ketika terdapat klaim yang berbeda atas sumberdaya tertentu yang ditopang oleh sumber legitimasi yang berbeda.

Menurut Irimie and Essmann (2009), property right tidak statis tetapi selalu berubah berdasarkan perode ekonomi, politik dan perubahan sosial. Transformasi property right hutan dari common property menjadi state property dan akhirnya dituntut kembali oleh masyarakat menjadi private property namun ada aturan secara komunal di dalamnya. Menurut Battacharya and Lueck, (2009) regim property right akan berubah sepanjang waktu dari yang kurang efisien menjadi lebih efisien. Jauh sebelum ditetapkan sebagai kawasan hutan, masyarakat etnis

Da‟a dan etnis kulawi sudah berinteraksi dengan hutan di daerah tersebut dengan mengambil damar rotan dan hasil hutan lainnya. Pemberian izin konsesi HPH pada tahun 1970-an pada awalnya memang memberi peningkatan pendapatan kepada masyarakat lokal, tetapi tanpa disadari telah menggeser nilai-nilai lokal masyarakat. Akses masyarakat tersebut setelah ditetapkan sebagai hutan lindung menjadi semakin terbatas.

Kebijakan yang menyerahkan sumberdaya dari status traditional common property yang dimiliki oleh komunal lokal menjadi property pemerintahan negara telah terbukti menjadi predesen yang buruk bagi keberlanjutan sumberdaya alam. Di berbagai tempat, pemerintah yang diberi kewenangan sering sekali tidak memiliki personil di level bawah yang cukup terlatih untuk mengawasi sumberdaya. Masalah yang muncul adalah terjadinya biaya yang cukup tinggi untuk membatasi dan mencegah akses pengguna potensial ( Rustiadi et.al., 2009).

(28)

10

kekuasaan negara dan c). pemanfaatan sumberdaya terjebak pada kondisi deface open akses dan kecenderungannnya para pihak berlomba untuk memanfaatkan sumberdaya sebesar-besarnya untuk kepentingan masing-masing.

Hutan merupakan salah satu wujud common pool resources (CPRs). Karakteristik khusus bagi CPRs dan penggunanya akan mempengaruhi institusi dalam mengatur penggunaan sumberdaya tersebut. Semakin seragam, sederhana dan semakin kecil skala sumberdaya dan ukuran kelompok, maka semakin mudah merancang institusi (Simpson et.al., 2012). Menurut Rustiadi et.al., (2009) karakteristik yang kondusif bagi keberhasilan penatalaksanaan meliputi: berukuran kecil, memiliki batas sumberdaya yang jelas, memiliki eksternalitas negatif yang kecil, kemampuan pengguna untuk memonitor cadangan dan aliran sumberdaya, tingkat penggunaan yang moderat (tidak berlebihan) sumberdaya tidak digunakan melebihi kemampuan dalam mencegahnya dari kerusakan, dan dinamika sumberdaya alam dipahami dengan baik oleh pengguna

Gibson and Koontz (1998) meyakini masyarakat mampu menciptakan tatanan agar tidak terjadi over eksploitasi. Mereka mengatakan bahwa banyak bukti‐bukti empiris menunjukkan bahwa para pemanfaat CPRs sering menciptakan tatanan kelembagaan yang dapat melindungi sumberdaya CPRs yang dimilikinya dan mengatur alokasi pemanfaatan hasil-hasilnya secara efisien dan lestari melalui aksi‐aksi kolektif yang mereka bangun (Nugroho dan Kartodihardjo 2009)

Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM)

Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) adalah suatu program pengelolaan sumber daya hutan yang dilakukan bersama dengan jiwa berbagi antara Perhutani, masyarakat desa hutan, dan pihak yang berkepentingan untuk mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumber daya hutan. Menurut Suharjito, et.al., (2004), pengertian PHBM adalah pengelolaan hutan bersama masyarakat yang berarti masyarakat menjadi pelaku utama pengelolaan hutan. Masyarakat yang dimaksud adalah kelompok masyarakat yang bertempat tinggal di desa hutan dan bergantung kepada hutan untuk memenuhi kehidupannya (ekonomi, politik, religius, dan lainnya). Kata kunci bersama menunjuk pada peran atau partisipasi masyarakat sebagai satu kesatuan yang membangun institusi dan pola hubungan sosial sehingga pengelolaan hutan berjalan menuju pada pencapaian kelestarian hutan, keadilan sosial, dan kemakmuran ekonomi.

Dasar Hukum Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat

(29)

11 Penetapan PHBM dirumuskan melalui SK Direksi Perhutani No. 136/KPTS/DIR/2001 yang menyatakan bahwa PHBM adalah suatu sistem pengelolaan yang dilakukan bersama oleh Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan dengan pihak yang berkepentingan (stakeholder) dengan jiwa berbagi sehingga kepentingan bersama untuk mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan dapat diwujudkan secara optimal dan proporsional.

Program PHBM bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta menjaga kelestarian hutan. Sasaran dari program PHBM adalah 1) keberhasilan pembangunan hutan dan optimalisasi fungsi-funginya; 2) menjadikan pemberdayaan masyarakat khususnya lembaga masyarakat desa hutan (LMDH) sebagai sumber solusi dan peningkatan kesejahteraan rakyat; 3) keberhasilan pembangunan desa hutan menuju masyarakat mandiri yang sadar lingkungan; dan 4) memadukan sistem pengelolaan hutan yang dilaksanakan oleh Perum Perhutani dengan kebijakan pembangunan daerah (SK Direksi Perum Perhutani No. 136/KPTS/DIR/2001).

Keberadaan PHBM di wilayah Jawa Barat diperkuat dengan terbitnya Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 10 Tahun 2011. Peraturan daerah ini merupakan salah satu upaya untuk mengurangi laju penurunan produktivitas hutan melalui pengembangan hutan hak/hutan rakyat. Hutan rakyat telah sejak puluhan tahun yang lalu dan terbukti sangat bermanfaat, tidak hanya bagi pemiliknya, tapi juga masyarakat dan lingkungannya. Keberadaan peraturan daerah ini juga merupakan solusi terhadap hambatan masyarakat desa hutan terhadap sumberdaya hutan.

Prinsip-Prinsip dalam Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat

Upaya pemerintah maupun Perum Perhutani untuk melibatkan masyarakat kawasan sekitar hutan dalam sistem PHBM berdasar SK Direksi Perum Perhutani No. 136/KPTS/DIR/2001 tahun 2001 adalah suatu usaha untuk menyelamatkan sumberdaya hutan dan lingkungan yang sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. Sistem pengelolaan sumberdaya hutan bersama masyarakat menjadi salah satu bentuk pengelolaan hutan yang digunakan selama ini. Pelaksanaan PHBM tersebut dilakukan dengan prinsip: keterbukaan, kebersamaan, keadilan, demokratis, pembelajaran bersama dan saling memahami, diselenggarakan dengan cara pemberdayaan ekonomi kerakyatan dan prosedur yang sederhana, kerjasama dilakukan antar lembaga yaitu antara LMDH dengan Perum Perhutani. Pelaksanaan PHBM berdasarkan Keputusan tersebut sesuai dengan konsep pembangunan yang berkelanjutan.

(30)

12

tidak langsung mempunyai pengaruh terhadap kehidupan masyarakat desa hutan (SK Direksi Perum Perhutani No. 136/KPTS/DIR/2001).

Program PHBM didesain sebagai co-management antara masyarakat desa hutan dan Perhutani. Konsep co-management setidaknya mengandung dua hal, yaitu pertama, co-management harus mengikutsertakan berbagai institusi baik bersifat vertikal maupun horisontal mengingat betapa kompleksnya persoalan kelangsungan lingkungan (cross scale interaction); dan kedua, bahwa pada hakikatnya co-management adalah proses evolusioner yang mensyaratkan kemauan saling belajar dan saling percaya. Perhutani sebagai pihak yang dominan dalam melaksanakan konsep co-management pada PHBM selain harus memiliki kapasitas teknis (internal capacity) dalam menjalankan pengelolaan hutan juga mensyaratkan kapasitas Perhutani untuk bekerja sama, berkoordinasi, dan menegosiasikan konflik dalam jejaring negara dan masyarakat sipil (interactive capacity) (Berkes 2002).

Pelestarian Hutan dan Lingkungan

Ancaman kerusakan hutan dari hari ke hari semakin meningkat, sebagian besar kerusakan hutan adalah karena adanya pembukaan lahan baru yang tidak mengikuti kaidah ekologi atau lingkungan. Banyak sekali hutan dirusak hanya untuk kepentingan tertentu dari individu maupun kelompok atau institusi tanpa ada pertimbangan untuk pelestariannya. Adanya pengembangan wilayah pemukiman, atau daerah pemekaran yang membutuhkan lahan baru untuk pembangunan daerahnya akan mengakibatkan dibukanya hutan. Akibat dari semuanya ini akan merusak keseimbangan ekosistem lingkungan, hutan yang sudah banyak rusak akan memberi pengaruh buruk pada lingkungan (Mubyarto 2004).

Melestarikan hutan berarti melestarikan lingkungan hidup. Hal itu berarti dengan menyelamatkan hutan dapat berdampak menyelamatkan semua komponen kehidupan. Pengetahuan mengenai sesuatu potensi alam dan faktor-faktor yang membatasinya perlu diketahui untuk menentukan penggunaan terbaik. Ekosistem-ekosistem baru yang berkembang yang diciptakan manusia, seperti pertanian padang rumput, gurun pasir yang diairi, penyimpanan-penyimpanan air, pertanian tropika akan bertahan untuk jangka waktu lama hanya jika keseimbangan-keseimbangan material dan energi tercapai antara komponen-komponen biotik dan fisik. Karena itu penting sekali untuk melestarikan hutan (Soemarwoto 1983).

(31)

13

Keberlanjutan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat

Soetomo (2006) menyatakan bahwa keberlanjutan ditunjukkan dengan adanya keberlanjutan sosial melalui penguatan institusi sosial yang mendukung keberlanjutan aktivitas bersama, keberlanjutan ekonomi berupa dipertahankan bahkan bertambahnya kemanfaatan ekonomi yang dirasakan warga masyarakat serta keberlanjutan sumber daya alam dalam bentuk semakin tumbuhnya kesadaran masyarakat untuk memelihara kelestarian sumber alam dan lingkungan hidup. Semua itu bermuara pada peningkatan taraf hidup masyarakatnya.

Menurut Awang (2008), keberlanjutan pengelolaan hutan dapat dikaji dari aspek ekologi, sosial, ekonomi dan kelembagaan. Aspek kelangsungan fungsi ekologi adalah dipertahankannya sistem-sistem penunjang kehidupan dan terpeliharanya keanekaragam hayati. Aspek kelangsungan fungsi sosial, terjaminnya akses terhadap perolehan sumberdaya, adanya jaminan manfaat hutan bagi masyarakat lokal dan terjaminnya peran serta/partisipasi masyarakat. Partisipasi merupakan unsur yang mutlak dalam pengelolaan sumber daya yang berbasis komunitas (Soetomo 2006). Partisipasi merupakan keterlibatan/ keikutsertaan masyarakat secara aktif baik secara individu mapun kelompok pada semua tahapan kegiatan tanpa paksaan dari pihak luar (Zulkarnain 1999).

Menurut Ritchie et al. (2001), keberlanjutan ekologi ditunjukkan dengan indikator antara lain: 1) sumberdaya air dilindungi; 2) minimasi erosi tanah dan kualitas tanah dipelihara; 3) ditetapkannya tata guna lahan yang menjamin keanekaragaman hayati; dan 4) jenis tumbuhan dan satwa terancam punah dilindungi. Keberlanjutan sosial ditunjukkan dengan indikator 1) partisipasi aktif masyarakat; 2) pengambilan keputusan secara partisipatif; 3) mekanisme penyelesaian konflik; dan 4) akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan terjamin. Keberlanjutan ekonomi ditunjukkan dengan indikator 1) kepentingan ekonomi yang berasal dari sumberdaya hutan; dan 2) adanya keuntungan yang diperoleh sebagai mata pencaharian tetap yang berasal dari agroforestry. Beberapa indikator kelembagaan masyarakat yang berkelanjutan adalah: 1) Tata kelola organisasi yang baik; 2) Manajemen organisasi yang baik; 3) Manajemen

keuangan yang baik; 4) Sistem pelayanan terhadap anggota yang baik; 5) Hubungan luar organisasi yang baik.

Teori Kelembagaan

(32)

14

Pengertian Kelembagaan

Para ilmuwan mendefinisikan kelembagaan secara beragam menurut sudut pandang keilmuwanannya. North mendefinisikan kelembagaan sebagai batasan-batasan yang dibuat untuk membentuk pola interaksi yang harmonis antara individu dalam melakukan interaksi politik, sosial dan ekonomi (North, 1990). North mengartikan kelembagaan sebagai sejumlah peraturan yang berlaku dalam sebuah masyarakat, kelompok atau komunitas, yang mengatur hak, kewajiban, tanggung jawab, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok. Sedangkan menurut Schotter (1981), kelembagaan merupakan regulasi atas tingkah laku manusia yang disepakati oleh semua anggota masyarakat dan merupakan penata interaksi dalam situa tertentu yang berulang.

Jauh sebelum ilmuwan di atas, Veblen (1899) mengartikan kelembagaan sebagai cara berfikir, bertindak dan mendistribukan hasil kerja dalam sebuah komunitas. Mirip dengan definisi ini diuangkapkan oleh Hamilton (1932) yang menganggap kelembagaan merupakan cara berfikir dan bertindak yang umum dan berlaku, serta telah menyatu dengan kebiasaan dan budaya masyarakat tertentu. Menurut Knight (1992), kelembagaan adalah serangkaian peraturan yang membangun struktur interkasi dalam sebuah komunitas.

Kelembagaan adalah suatu tatanan dan pola hubungan antara anggota masyarakat dalam suatu organisasi yang memiliki faktor pembatas dan pengikat berupa norma, aturan formal, maupun non formal untuk mencapai tujuan bersama (Djogo et al. 2003). Lebih lanjut dinyatakan bahwa kelembagaan mempunyai 10 unsur penting, yaitu: institusi, norma tingkah laku, peraturan, aturan dalam masyarakat, kode etik, kontrak, pasar, hak milik, organisasi, dan insentif. Sedangkan Ostrom (1990) mengartikan kelembagaan sebagai aturan yang berlaku dalam masyarakat (arena) yang menentukan siapa yang berhak membuat keputusan, tindakan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, aturan apa yang berlaku umum di masyarakat, prosedur apa yang harus diikuti, informasi apa yang mesti atau tidak boleh disediakan dan keuntungan apa yang individu akan terima sebagai buah dari tindakan yang dilakukannya. Singkatnya, kelembagan adalah aturan main yang berlaku dalam masyarakat yang disepakati oleh anggota masyarakat tersebut sebagai sesuatu yang harus diikuti dan dipatuhi (memiliki kekuatan sanksi) dengan tujuan terciptanya keteraturan dan kepastian interaksi di antara sesama anggota masyarakat. Interaksi yang dimaksud terkait dengan kegiatan ekonomi, politik maupun sosial.

Komponen Kelembagaan

(33)

15 1. Aturan formal, meliputi konstitusi, statuta, hukum dan seluruh regulasi pemerintah lainnya. Aturan formal membentuk sistem politik (struktur pemerintahan, hak-hak individu), sistem ekonomi (hak kepemilikan dalam kondisi kelangkaan sumberdaya, kontrak), dan sistem keamanan (peradilan, polisi)

2. Aturan informasi, meliputi pengalaman, nilai-nilai tradisional, agama dan seluruh faktor yang mempengaruhi bentuk persepsi subjektif individu tentang dunia tempat hidup masyarakat; dan

3. Mekanisme penegakan, semua kelembagaan tersebut tidak akan efektif apabila tidak diiringi dengan mekanisme penegakan

Berbagai definisi yang telah diungkapkan oleh para ahli terlihat bahwa sebenarnya definisi kelembagaan tergantung dari mana orang melihatnya, makro atau mikro. Sekian banyak pembatasan kelembagaan, minimal ada tiga lapisan kelembagaan sebagai norma-norma dan konversi, kelembagaan sebagai aturan main, dan kelembagaan sebagai hubungan kepemilikan (Deliarnov 2006).

Kelembagaan sebagai Norma-norma dan Konvensi

Kelembagaan sebagi norma-norma dan konvensi ini lebih diartikan sebagai aransemen berdasarkan konsesus atau pola tingkah laku dan norma yang disepakati bersama. Norma dan konvensi umumnya bersifat informal, ditegakkan oleh keluarga, masyarakat, adat, dan sebagainya (Deliarnov 2006). Hampir semua aktivitas manusia memerlukan konvensi-konvensi pengaturan yang memfasilitasi proses-proses sosial, dan begitu juga dalam setiap setting masyarakat diperlukan seperangkat norma-norma tingkah laku untuk membatasi tindakan-tindakan yang diperbolehkan. Jika aturan diikuti, proses-proses sosial bisa berjalan baik. Namun, jika dilanggar maka yang akan timbul hanya kekacauan dalam masyarakat.

Kelembagaan sebagai Aturan Main

Bogason (2000) mengemukakan beberapa ciri umum kelembagaan, antara lain adanya sebuah struktur yang didasarkan pada interaksi diantara para aktor, adanya pemahaman bersama tentang nilai-nilai dan adanya tekanan untuk berperilaku sesuai dengan yang telah disepakati. Lebih lanjut, Bogason (2000) menyatakan ada tiga level aturan, yaitu level aksi, level aksi kolektif, dan level konstitusi. Pada level aksi, aturan secara langsung mempengaruhi aksi nyata, pada level ini biasanya ada standar atau rules of conduct.

Level aksi kolektif, mendefinisikan aturan untuk aksi-aksi pada masa yang akan datang. Aktivitas penetapan aturan seperti ini sering juga disebut kebijakan. Adapun pada level konstitusi mendefinisikan prinsip-prinsip bagi pengambilan keputusan kolektif masa yang akan datang, seperti prinsip-prinsip demokrasi. Aturan-aturan pada level konstitusi ini biasanya ditulis secara formal dan dikodifikasi.

Kinerja Kelembagaan

(34)

16

Pertama, kondisi lingkunagn eksternal. Lingkungan sosial dimana suatu kelembagaan hidup merupakan faktor pengaruh yang dapat menjadi pendorong dan sekaligus pembatas seberapa jauh suatu kelembagaan dapat beroperasi. Lingkungan yang dimaksud berupa kondisi politik dan pemerintahan, sosiokultural, teknologi, kondisi perekonomian, berbagai kelompok kepentingan, infrastruktur, serta kebijakan terhadap pengelolaan sumberdaya alam. Seluruh komponen lingkungan tersebut dipelajari dan dianalisis bentuk pengaruhnya terhadap kelembagaan.

Kedua, motivasi kelembagaan. Kelembagaan dipandang sebagai suatu unit kajian yang memiliki jiwanya sendiri. Terdapat empat aspek yang dipelajari untuk mengetahui motivasi kelembagaan, yaitu sejarah kelembagaan, misi yang diembannya, kultur yang menjadi pegangan dalam bersikap dan perilaku anggotanya, serta pola penghargaan yang dianut.

Ketiga, kapasitas kelembagaan. Pada bagian ini dipelajari bagaimana kemampuan kelembagaan untuk mencapai tujuan-tujuannya. Kemampuan tersebut diukur dalam lima aspek, yaitu: strategi kepemimpinan yang dipakai, perencanaan program, manajemen dan pelaksanaannya, alokasi sumberdaya yang dimiliki, dan hubungan dengan pihak luar yaitu terhadap clients, partners, government policymakers, danexternal donors.

Keempat, kinerja kelembagaan. Terdapat tiga hal pokok yang harus diperhatikan yaitu keefektifan kelembagaan dalam mencapai tujuannya, efisiensi penggunaan sumberdaya, dan keberlanjutan kelembagaan berinteraksi dengan para kelompok kepentingan luarnya.

Teori Efektivitas Kelembagaan

Efektivitas merupakan unsur pokok untuk mencapai tujuan atau sasaran yang telah ditentukan dalam setiap organisasi. Efektivitas disebut juga efektif, apabila tercapainya tujuan atau sasaran yang telah ditemukan sebelumnya. Bernard (1992) mengemukakan bahwa efektifitas adalah kemampuan untuk memilih tujuan yang tepat untuk pencapaian tujuan yang telah ditetapkan, dengan kata lain bahwa seorang pimpinan efektif dapat memilih pekerjaan yang harus dilakukan atau metoda (cara) yang tepat untuk pencapaian tujuan.

Menurut Cambel (1989) pengukuran efektivitas secara umum dan yang paling menonjol adalah:

1. Keberhasilan program 2. Keberhasilan sasaran 3. Kepuasan terhadap program 4. Tingkat input dan output 5. Pencapaian tujuan menyeluruh

(35)

17 Menurut Steers (1985), efektivitas merupakan suatu tingkatan kemampuan organisasi untuk dapat melaksanakan seluruh tugas-tugas pokoknya atau pencapaian sasarannya. Efektivitas dalam dunia riset ilmu-ilmu sosial dijabarkan dengan penemuan atau produktivitas, dimana bagi sejumlah sarjana sosial efektivitas seringkali ditinjau dari sudut kualitas pekerjaan atau program kerja. Dari pendapat beberapa ahli di atas dapat disimpulkan pengertian efektivitas, yaitu keberhasilan suatu aktivitas atau kegiatan dalam mencapai tujuan (sasaran) yang telah ditentukan sebelumnya. Mengingat keanekaragaman pendapat mengenai sifat dan komposisi dari efektivitas, maka tidaklah mengherankan jika terdapat sekian banyak pertentangan pendapat sehubungan dengan cara meningkatnya, cara mengatur dan bahkan cara menentukan indikator efektivitas, sehingga, dengan demikian akan lebih sulit lagi bagaimana cara mengevaluasi tentang efektivitas.

Selanjutnya Steers (1985) menyatakan bahwa pengertian yang memadai mengenai tujuan ataupun sasaran organisasi, merupakan langkah pertama dalam pembahasan efektivitas, dimana seringkali berhubungan dengan tujuan yang ingin dicapai. Dalam usaha mengukur efektivitas yang pertama sekali adalah memberikan konsep tentang efektivitas itu sendiri. Berdasarkan beberapa uraian di atas, dapat dijelaskan bahwa efektivitas merupakan kemampuan untuk melaksanakan aktifitas-aktifitas suatu lembaga secara fisik dan non fisik untuk mencapai tujuan serta meraih keberhasilan maksimal.

Menurut Gibson (1984), terdapat tiga pendekatan dalam efektivitas, yaitu: 1. Pendekatan tujuan. Pendekatan tujuan untuk mendefinisikan dan mengevaluasi

efektivitas dalam mencapai suatu tujuan tertentu.

2. Pendekatan teori sistem. Teori ini menggambarkan hubungan organisasi terhadap sistem yang lebih besar. Teori sistem menekankan pada pertahanan elemen dasar masukan-proses-pengeluaran dalam beradaptasi terhadap lingkungan yang menopang organisasi.

3. Pendekatan Multiple Constituency. Pendekatan ini menekankan pada pentingnya hubungan relatif diantara kepentingan kelompok dan individual dalam suatu organisasi.

Teori Pemangku Kepentingan (Stakeholder)

Istilah stakeholder atau dinamakan pemangku kepentingan adalah kelompok atau individu yang dukungannya diperlukan demi kesejahteraan dan kelangsungan hidup organisasi. Pemangku kepentingan adalah seseorang, organisasi atau kelompok dengan kepentingan terhadap suatu sumberdaya alam tertentu, stakeholder is a person who has something to gain or lose through the outcomes of a planning process, programme or project (Brown, 2001). Pemangku kepentingan mencakup semua pihak yang terkait dalam pengelolaan terhadap sumberdaya. Pemangku kepentingan juga termasuk semua orang dari politisi lokal dan nasional dan tokoh atau pemimpin masyarakat, penguasa, kelompok paramiliter, LSM dan badan-badan internasional.

(36)

18

oleh tindakan organisasi, tujuan, dan kebijakan. Meskipun para pelaku biasanya melegitimasi dirinya sebagai stakeholder, tetapi semua pemangku kepentingan tidak sama dan memiliki kedudukan yang berbeda. Misalnya, pelanggan perusahaan berhak untuk praktek perdagangan yang adil tetapi tidak berhak untuk mendapat pertimbangan yang sama sebagai karyawan perusahaan. Pemangku kepentingan kunci lain dalam organisasi bisnis diantaranya kreditor, pelanggan, direksi, karyawan, pemerintah (dan badan-badannya), pemilik (pemegang saham), pemasok, serikat pekerja, dan masyarakat dari mana bisnis menarik sumber daya yang dimiliki.

Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pemangku kepentingan adalah seluruh pihak yang terkait dengan isu dan permasalahan yang menjadi fokus kajian atau perhatian. Seorang pemangku kepentingan adalah seseorang yang mempunyai sesuatu yang dapat ia peroleh atau akan kehilangan akibat dari sebuah proses perencanaan atau proyek. Dalam banyak siklus, para pihak disebut sebagai kelompok kepentingan, dan bisa mempunyai posisi yang kuat dalam menentukan hasil suatu proses politik. Seringkali akan sangat bermanfaat bagi proyek penelitian untuk mengidentifikasi dan menganalisis kebutuhan dan kepedulian berbagai pemangku kepentingan, terutama jika proyek diracang bertujuan mempengaruhi kebijakan.

Tipologi Pemangku Kepentingan

Secara umum pemangku kepentingan dapat dibagi dalam dua jenis, yaitu: Pertama, pemangku kepentingan primer atau „key stakeholder‟ adalah pihak yang pada akhirnya terpengaruh, baik secara positif atau negatif oleh tindakan organisasi. Kedua, pemangku kepentingan sekunder: adalah „perantara‟, yaitu, orang atau organisasi yang secara tidak langsung dipengaruhi oleh tindakan organisasi. Hal yang sama diungkapkan oleh Clarkson and Dan (1994) yang membagi pemangku kepentingan menjadi dua.

Pemangku kepentingan primer adalah pihak di mana tanpa partisipasinya yang berkelanjutan organisasi tidak dapat bertahan. Contohnya adalah pemegang saham, investor, pekerja, pelanggan, dan pemasok. Menurut Clarkson and Dan (1994), suatu perusahaan atau organisasi dapat didefinisikan sebagai suatu sistem pemangku kepentingan primer yang merupakan rangkaian kompleks hubungan antara kelompok-kelompok kepentingan yang mempunyai hak, tujuan, harapan, dan tanggung jawab yang berbeda. Sementara, pemangku kepentingan sekunder didefinisikan sebagai pihak yang mempengaruhi atau dipengaruhi oleh perusahaan, tapi tidak terlibat dalam transaksi dengan perusahaan dan tidak begitu penting untuk kelangsungan hidup perusahaan. Contohnya adalah media dan berbagai kelompok kepentingan tertentu. Perusahaan tidak bergantung pada kelompok ini untuk kelangsungan hidupnya, tapi bisa mempengaruhi kinerja perusahaan dengan mengganggu kelancaran bisnis perusahaan.

Nilai-nilai Pelibatan Pemangku Kepentingan

(37)

19 untuk menjelaskan siapa pemangku kepentingan, apa yang inginkan dan yang terhubung ke siapa. Ketiga, menemukan cara untuk membangun jaringan informasi melalui data link untuk kepentingan kinerja operasi, mengintegrasikan informasi tersebut ke dalam sistem manajemen risiko (integrated risk management) dari pada memper-lakukannya sebagai kategori secara terpisah. Keempat, berinteraksi dengan para pemangku kepentingan di tingkat masyarakat dengan cara yang asli dan adil; merespon kekhawatiran dan koneksi bentuk dari pada hanya menulis cek. Kelima, menemukan cara untuk menyebarkan informasi tentang proyek yang sedang berlangsung secara kredibel dan transparan.

Porter (2008), memperkenalkan konsep “menciptakan nilai bersama”, dalam rangka memberikan jalan inovasi bagi praktisi secara keberlanjutan. Menciptakan nilai bersama dikemas ulang dari prinsip-prinsip keberlanjutan, dimana peran dan keterlibatan pemangku kepentingan dalam membangun nilai-nilai bersama sangat penting dalam membangun produk dan inovasi daya sain dalam pasar yang semakin kompetitif. Munculnya pemain lain mengisyaratkan penting nilai-nilai bersama yang perlu disepakati sebagai acuan bisnis untuk menghindari dampak dalam jangka panjang. Tetapi juga menekankan pentingnya mendekati keterlibatan pemangku kepentingan sebagai perluasan dari sistem berfikir.

Penelitian Terdahulu

Penelitian Meilya (2005) yang berjudul “Peluang Peningkatan Peranan Hutan Produksi KPH Randublatung Terhadap Peningkatan Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Sekitar Hutan” meneliti peran hutan produksi ditinjau dari aspek ekonomi Hutan Produksi KPH Randublatung dari masyarakat sekitar hutan. Kesimpulan dari penelitian ini adalah hutan telah membantu masyarakat dalam peningkatan pendapatannya, membantu masyarakat sekitar hutan untuk membuka lapangan kerja dan hutan berpengaruh terhadap ekonomi LMDH di lokasi produksi KPH Randublatung.

Penelitian Rohman (2010) berjudul “Kajian Dampak Sertifikasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML) terhadap Pengelolaan Hutan Rakyat (Studi kasus: Pengelolaan Hutan Rakyat oleh Koperasi Wana Manunggal Lestari,

Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)”. Tipe penelitian ini adalah

deskriptif dengan memadukan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pemilihan responden dilakukan dengan metode simple random sampling. Pengambilan data primer dilakukan dengan metode observasi, wawancara mendalam, dan kuesioner. kemudian data dianalisis dengan metode deskriptif kuantitatif maupun kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pemberian sertifikasi PHBML memberikan dampak positif terhadap peningkatan pendapatan masyarakat sebesar 1,94%, peningkatan kapasitas masyarakat sebesar 52,76% dan peningkatan tutupan hutan sebesar 3,38%. Faktor-faktor yang berpengaruh adalah partisipasi aktif anggota UMHR, keaktifan lembaga pengelola hutan, tingkat pemasaran produk sertifikasi dan dukungan stakholder.

Penelitian Suhaendah (2010) berjudul “Keberlanjutan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) di KPH Ciamis (Studi kasus: LMDH Pamarican,

Gambar

Tabel 5  Penelitian terdahulu
Gambar 1  Kerangka pemikiran penelitian
Gambar 2. Peta lokasi penelitian
Tabel 6  Matriks metode penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tingkat persepsi, motivasi, dan partisipasi masyarakat terhadap PHBM termasuk dalam kategori tinggi yaitu tingkat persepsi sebesar 73.33 % secara umum dipengaruhi oleh

Dalam penelitian yang berjudul ”Peranan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) dalam Upaya Pengendalian Kebakaran Hutan di KPH Cepu, Perum Perhutani Unit I,

Pembangunan KPH ditujukan untuk menjawab kebutuhan akan perlunya unit pengelolaan hutan di tingkat tapak dan organisasi pengelolanya untuk mencapai kelestarian (Kartodihardjo et

Berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis, diperoleh hasil bahwa implementasi kebijakan PHBM Perum Perhutani Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan Temanggung dalam

Di antara banyak persoalan tersebut di atas, paper ini akan difokuskan untuk mengupas perlunya kelembagaan dan organisasi pengelola di tingkat tapak, karena

Biaya transaksi yang dikeluarkan oleh masyarakat terdiri dari (a) biaya untuk penanaman dan pemeliharaan pohon eucalyptus, (b) biaya pengamanan dan perlindungan

Pemberdayaan bina manusia yang dilakukan di LMDH Wonosari Lestari meliputi kejelasan pemahaman tentang Sistem PHBM, keterlibatan dalam proses perencanaan,

Peta fungsi hutan di KPH Bandung Utara Kegiatan pengelolaan Sumber Daya Hutan yang dilakukan Perhutani bersama Masyarakat antara lain kegiatan Pemanfaatan Lahan Dibawah Tegakan PLDT