EVALUASI KUALITAS
ECOLOGICAL AESTHETICS
LANSKAP KOTA
(Studi Kasus Kecamatan Beji Kota Depok)
KANIA PARWATI
A 352020061
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
RINGKASAN
KANIA PARWATI. Evaluasi Kualitas Ecological Aesthetics Lanskap Kota (Studi Kasus Kecamatan Beji Kota Depok). (Di bawah bimbingan ANDI GUNAWANdan ARIS MUNANDAR)
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kualitas lanskap kota melalui unsur ecological aesthetics, yaitu vision, sound, smell dan tactility. Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai informasi dan acuan untuk menyusun master plan lanskap Kota Depok yang memperhatikan keindahan kawasan dan tetap melindungi fungsi ekologis kawasan.
Dalam penelitian ini dilakukan survey dan analisis ecological aesthetics
menggunakan metoda Scenic Beauty Estimation (SBE) dan semantic differential
(SD) melalui evaluasi slide dan lapangan. Penelitian diawali dengan penentuan tipe lanskap Kecamatan Beji, kemudian dilanjutkan dengan evaluasi kualitas estetika dengan menggunakan metode SBE.
Pada hasil evaluasi survey lapangan terseleksi 24 vantages point yang mewakili 3 tipe lanskap serta menghasilkan 12 unit lanskap, yaitu ruang terbuka (7 slide, 6 unit), perumahan (10 slide, 2 unit) dan area komersil (7 slide, 4 unit). Hasil dari evaluasi slide diperoleh 8 slide yang mempunyai nilai SBE positif. Kedelapan lanskap kemudian dievaluasi menggunakan SBE di ruangan dan di lapangan. Hasil evaluasi dikelompokan kualitas lanskapnya menjadi kualitas estetik, tinggi, sedang dan rendah.
Pada kedelapan lanskap dilakukan pula pengumpulan data ekologi dengan mengukur tujuh parameter yaitu : debu, hidrokarbon (HC), karbon monoksida (CO), nitrogen dioksida (NO), kebisingan, suhu dan kelembaban. Hasil pengujian tujuh parameter kualitas ekologis delapan lanskap masih relatif baik.
Penelitian dilanjutkan dengan penilaian kedelapan lanskap menggunakan (SD) di ruangan dan di lapangan. Hasil penyederhanaan dari 25 kriteria SD diperoleh kriteria untuk faktor ekologi (kering-basah, ramai-tenang, padat-renggang, bising-sunyi, macet-lancar, gaduh-sepi, terasa sesak-terasa segar) dan faktor estetika (tidak teratur-teratur, sembrawut-tertib, tidak terpelihara-terpelihara, kumuh-tertata, suram-jelas). Sama halnya dengan penilaian menggunakan metode SBE, penilaian kedelapan lanskap dengan metode SD di ruangan digunakan responden mahasiswa lanskap sedangkan di lapangan dilakukan responden aparat Pemerintah Kota Depok.
kualitas estetika tinggi hasil penilaian di ruangan dan di lapangan memiliki kesamaan yaitu lanskap hutan kota UI.
Hasil penilaian menggunakan metode SD di ruangan dan di lapangan kedelapan lanskap menunjukkan kualitas estetika yang tidak berbeda. Namun untuk kualitas ekologis lanskap kebun tanaman hias dan lanskap komersil Margonda mempunyai nilai ekologis yang berbeda dari hasil penilaian di ruangan dan di lapangan. Secara umum persepsi kualitas ekologis pada lanskap Kecamatan Beji memiliki kecenderungan ke arah kriteria baik. Hal ini sesuai dengan hasil pengukuran kualitas ekologi kecamatan Beji yang memenuhi Baku Mutu Lingkungan (BML), kecuali kebisingan.
Tidak ada korelasi antara kualitas estetik dan pengukuran kualitas ekologi kedelapan lanskap (HC, NO2, CO, partikel, bising, temperatur dan kelembaban). Hasil metode SD menunjukkan evaluasi langsung di lapangan memberikan korelasi yang lebih baik antara kualitas estetik dan ekologi pada penelitian lapang. Berdasarkan hal tersebut penilaian kualitas estetika dapat dilakukan melalui slide namun penilaian ekologi lebih tepat dilakukan di lapangan. Begitu pula dengan evaluasi ecological aesthetics lanskap kota akan lebih baik dan lebih tepat apabila dilakukan di lapangan.
EVALUASI KUALITAS
ECOLOGICAL AESTHETICS
LANSKAP KOTA
(Studi Kasus Kecamatan Beji Kota Depok)
KANIA PARWATI
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk semperoleh gelar Magister Sains Arsitektur Lanskap pada
Sekolah Pasca Sarjana
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis saya yang berjudul :
EVALUASI KUALITAS ECOLOGICALAESTHETICS LANSKAP KOTA Studi Kasus Kecamatan Beji Kota Depok
adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan
Semua sumber data dan informasi yang dipergunakan telah dinyatakan secara
jelas dan dapat diperiksa kebenarannya
Bogor, Januari 2007
Judul : Evaluasi Kualitas Ecological Aesthetics lanskap Kota
(Studi Kasus Kecamatan Beji Kota Depok)
Nama : Kania Parwati
NRP : A.352020061
Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Andi Gunawan, M.Sc Dr.Ir. Aris Munandar, MS Ketua Anggota
Mengetahui,
2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pasca Sarjana Arsitektur Lanskap
Dr. Ir. Nizar Nasrullah, M.Agr. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 2 Mei 1968 dari pasangan Prof.
Ir. Ridwan Setiamihardja, PhD dan Dr. Kustiwi Tanudimadja. Penulis merupakan
anak pertama dari empat bersaudara.
Penulis lulus SD Santa Maria Bandung pada tahun 1980. Tahun 1980
hingga 1983 penulis melanjutkan pendidikan di SMP Taruna Bakti Bandung.
Tahun 1983 penulis melanjutkan pendidikan di SMU Taruna Bakti Bandung dan
lulus pada tahun 1986. Pada tahun 1986 penulis diterima di Jurusan Kimia
Fakultas MIPA Universitas Padjajaran Melalui Seleksi Penerimaan Mahasiswa
Baru. Tahun 2002 diterima di Sekolah Pasca Sarjana IPB pada Program Studi
Arsitektur Lanskap.
Setelah menyelesaikan kuliah pada akhir tahun 1991, pada awal tahun 1992
penulis bekerja di Biro Penelitian dan Pengembangan Perusahaan Daerah Kerta
Karkim, BUMN Propinsi Jawa Barat yang bergerak dalam bidang industri
pengolahan karet. Pada tahun 1993 penulis menjabat sebagai Pj. Kabag Andal
Biro Pemasaran perusahaan daerag tersebut. Jabatan terakhir di BUMN Propinsi
Jawa Barat adalah Kabag. Riset dan Pengembangan pada tahun 1996.
Pada awal tahun 1996 diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil di Kota
Bandung dan ditempatkan sebagai staf Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
Daerah Kotamadya Bandung. Pada tahun tersebut penulis ditugaskan mengikuti
Indonesia-Netherland Workshop Implementing the Basel Conventions.
Pada akhir tahun 1998 pindah bekerja menjadi PNS Kota Administratif
Depok. Saat terbentuk Kotamadya Depok awal tahun 1999 ditempatkan sebagai
Kasubag Analisa Dampak Lingkungan Bagian Lingkungan Hidup sampai instansi
pengelola lingkungan hidup Kota Depok tersebut berubah menjadi Dinas
Kebersihan dan Lingkungan Hidup pada tahun 2005. Pada Dinas Kebersihan dan
Lingkungan Hidup kembali mendapat tugas pokok yang sama dengan sebelumnya
Kota Depok pada aspek minimalisasi dampak lingkungan yang ditimbulkan
pelaksanaan pembangunan. Saat menjabat sebagai Kasubag Lingkungan Hidup,
penulis ditugaskan mengikuti pelatihan Urban Environmental Management di
Singapura pada akhir 2003. Saat menjabat sebagai Kasi di Dinas Kebersihan dan
Lingkungan Hidup penulis mendapat kesempatan mengikuti International
Workshop on Laboratory Quality Standar Toward Global Competitiveness di
KATA PENGANTAR
Assalamu’laikum Wr. Wb.
Segala puji penulis panjatan kehadirat Allah SWT yang berkenan
memberikan petunjuk dan kasih sayangNya, sehingga tesis yang berjudul
Evaluasi Kualitas Ecological Aesthetics Lanskap Kota (Studi Kasus
Kecamatan Beji Kota Depok) ini dapat terselesaikan dengan baik.
Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister
Sains Arsitektur Lanskap Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Selama melakukan penelitian hingga penuisan tesis ini, penulis
mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Dengan penuh ketulusan hati penulis
ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sedalamnya kepada :
1. Bapak Dr. Ir. Andi Gunawan, MSc., selaku Ketua komisi pembimbing
bersama Bapak Dr. Ir. Aris Munandar, MS atas saran, bimbingan dan
pengarahannya dari awal pelaksanaan penelitian hingga selesainya tesis ini.
2. Bapak Dr. Ir. Nizar Nasrullah, M.Agr beserta Dr. Hadi Susilo Arifin, MS
selaku Ketua Program Studi Arsitektur Lanskap selama penulis
menyelesaikan studi, yang telah memberikan dukungan dan pengarahan
3. Seluruh keluarga besar atas doa dan semangat yang diberikan setiap saat.
4. Pimpinan beserta rekan-rekan di Lingkungan Hidup dan Pemerintahan Daerah
Kota Depok atas dukungan dan perhatiannya.
5. Sahabat-sahabat tercinta dan rekan-rekan arsitektur lanskap atas persahabatan
dan semangat yang diberikan.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena
itu kritik dan saran sangat penulis harapkan. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat.
Bogor, Januari 2007
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ……….. i
DAFTAR TABEL ……….. iii
DAFTAR GAMBAR ………. iv
DAFTAR LAMPIRAN ………. vi
PENDAHULUAN ………. 1
Latar Belakang ……….. 1
Tujuan Penelitian ……….. 2
Manfaat Penelitian ……… 3
Kerangka Pikir Penelitian ………. 3
TINJAUAN PUSTAKA ……… 5
Perkotaan ……….. 5
Estetika ………. 6
Persepsi dan Preferensi ………. 9
Ekologi ………. 11
Pencemaran Udara ……… 13
Suhu dan Kelembaban ……….. 16
Kebijakan Pembangunan Tata Ruang Kota Depok ……….. 17
Perbedaan Rencana & Realisasi Penggunaan Lahan di Kota Depok ………... 22
Rencana Penataan Ruang Bagian Wilayah Kota Beji ... 29
KEADAAN UMUM ... 33
Gambaran Umum Kota Depok ... 33
Kondisi Fisik Alami ... 36
Pelaksanaan Program Kerja ... 37
METODE PENELITIAN ... 39
Waktu dan Tempat... 39
Metode Penelitian ... 40
Persiapan ... 40
Pelaksanaan ... 42
Analisis Korelasi ... 53
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 56
Penentuan Tipe Lanskap ... 56
Kualitas Estetik ... 57
Penilaian Persepsi Kualitas Estetika dan Ekologis ... 85
Aplikasi dalam Pembangunan dan Pengelolaan Wilayah Perkotaan ... 102
KESIMPULAN DAN SARAN ... 107
Simpulan ... 107
Saran ... 107
DAFTAR PUSTAKA ... 109
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Rencana Pemanfaatan Ruang Kota Depok Tahun 2000-2010 ... 24
2. Luasan Kota Depok ... 25
3. Lanskap Kecamatan Beji Berdasarkan Kelompok Kualitas Estetika ... 59
4. Nilai SBE dengan Z Rata-rata sama dengan Nol untuk Ketiga
Penilaian... 68
5. Kelompok Kualitas Estetika Lanskap ... 69
6. Data Nilai SBE dan Hasil Pemeriksaan Udara Embien Kecamatan
Beji Tahun 2004 ……….…… 72
7. Kelompok Koalitas Estética dan Kualitas Ekologis ……….. 82
8. Kriteria-kriteria yang Mewakili Kualitas Estética dan Ekologi ………. 86
9. Kualitas Estética dan Ekologis Hasil Penilaian Semantic Differential
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Alur Penelitian ... 4
2. Studio Alam TVRI-Sukmajaya ... 20
3. Pembangunan Aquatic Centre ... 21
4. Perubahan Kawasan Terbangun dan Ruang Terbuka Hijau Tahun 2000 dan 2004 ... 27
5. Selisih Perubahan Pemanfaatan Lahan dan Ruang di Kota Depok tahun 2000-2004 ... 30
6. Peta Wilayah Depok ………. 34
7. Peta Lokasi Penelitian ……….. 39
8. Bagan Alir Penelitian ……… 41
9. Peta Tipe Lanskap Kecamatan Beji Secara Umum ………... 56
10. Peta Tipe Lanskap Khusus Kecamatan Beji ………. 57
11. Nilai SBE ... 58
12. Lanskap dengan Kualitas Estetik Tinggi ... 60
13. Lanskap dengan Kualitas Estetika Tinggi Hasil Penilaian di Ruangan... 64
14. Lanskap dengan Kualitas Estetika Rendah pada Penilaian di Ruangan... 66
15. Nilai SBE Penilaian di Ruangan dan Lapangan ... 67
16. Lanskap dengan Kualitas Estetika Tinggi pada Penelitian di Lapangan... 70
17. Kualitas Udara Tiap Lanskap ... 73
18. Kebisingan Rata-rata Tiap Lanskap ... 76
21. Kualitas Estetika Ekologis Lanskap Kebun Tanaman Hias Margonda.. 93
22. Kualitas Estetika Ekologis Lanskap Pemukiman Mewah Teratur
Pesona Kayangan Margonda (B) ... 95
23. Kualitas Estetika Ekologis Lanskap Kawasan Komersial Margonda ... 96
24. Kualitas Estetika Ekologis Lanskap Pemukiman Menengah Tidak
Teratur D (Kukusan) ... 97
25. Kualitas Estetika Ekologis Lanskap Hutan Kota UI ... 98
26. Kualitas Estetika Ekologis Lanskap Danau Pladen ... 99
27. Kualitas Estetika Ekologis Pemukiman Menengah Tidak Teratur
(Kukusan) ... 100
28. Kualitas Estetika Ekologis Lanskap Pemukiman A (Daerah
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Nilai SBE Penelitian Awal ... 114
2. Lanskap dengan Nilai SBE positif pada Penelitian Awal ... 123
3. Lanskap dengan Kualitas Estetika Sedang pada Penelitian Tahap Awal... 124
4. Lanskap dengan Kualitas Estetika Rendah pada Penelitian Tahap Awal ... 125
5. Lanskap dengan Kualitas Estetika Tinggi pada Penelitian Ruangan .... 126
6. Lanskap dengan Kualitas Estetika Sedang pada Penelitian Ruangan ... 127
7. Lanskap dengan Kualitas Estetika Rendah pada Penelitian Ruangan ... 128
8. Grafik Gabungan 8 Lanskap Penelitian Kualitas Estética dan Ekologis di ruangan ... 129
9. Kuestioner ………. 130
10. Hasil Uji Lanjut Beda Nyata antara Nilai SBE Penelitian di Ruangan dan di Lapangan ... 132
11. Data Hasil Analisis Korelasi ... 133
12. Data Penilaian SD di Ruangan ... 134
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembangunan di daerah baik regional maupun lokal dilaksanakan di segala
sektor berdasarkan strategi program jangka panjang dan jangka menengah dengan
tujuan mencapai kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik.
Namun seringkali pembangunan cenderung berorientasi kepada ekonomi sehingga
tidak memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Hal tersebut
mengakibatkan tidak terpenuhinya kebutuhan masyarakat akan keindahan dan
kenyamanan.
Pembangunan Kota Depok yang pesat dan merupakan daerah penyangga
ibu kota menjadikannya kota besar di usianya yang masih sangat muda (enam
tahun). Populasi penduduk setiap tahun berkembang dengan pesat hingga
mencapai 3,62%. Total penduduk pada tahun 1997 tercatat 721.556 jiwa dan pada
tahun 2004 tercatat sebanyak 1.369.461 jiwa. Hal ini menunjukkan bahwa dalam
kurun waktu 8 tahun total jumlah penduduk Kota Depok berkembang hampir
mencapai dua kali lipat, dengan kepadatan penduduk 6.837 jiwa/km2 pada tahun
2004. Kepadatan penduduk yang melampaui daya dukung dan daya tampung
lingkungan menyebabkan penurunan kualitas lingkungan. Penurunan kualitas
lingkungan fisik perkotaan dapat berdampak pada kualitas estética dan ekologis
kota secara keseluruhan.
Secara estetik, banyaknya lahan terbangun seringkali kurang memperhatikan
keserasian dengan lingkungan sekitar serta menimbulkan pemandangan yang
kurang baik. Luasan lahan terbangun Kota Depok pada tahun 2002 adalah 6.055
ha sedangkan pada tahun 2004 menjadi 8.197 ha. Visi Kota Depok pada awal
terbentuknya pada tahun 1999 sebagai kota pendidikan, pemukiman, serta
perdagangan dan jasa menyebabkan pertumbuhan pembangunan dilakukan
dengan mengkonversi ruang terbuka hijau. Banyaknya lahan bervegetasi yang
beralih fungsi menjadi lahan terbangun menimbulkan berbagai perubahan dan
mengakibatkan penurunan kualitas ekologis, seperti terjadinya peningkatan suhu,
seperti suhu udara yang meningkat, pencemaran udara, kebisingan, kemacetan dan
pemukiman yang sangat padat (Saputra, 2000).
Penurunan kualitas lingkungan perkotaan secara estetik dan ekologis
menyebabkan berbagai masalah fisik dan psikologis, seperti ketidaknyamanan dan
penurunan keindahan kota sehingga kota tidak lagi mempunyai karakter dan
menjadi tempat yang nyaman untuk ditinggali bahkan dapat menyebabkan stress
bagi manusia yang tinggal di dalamnya. Penurunan kualitas lingkungan dapat
diamati antara lain melalui kualitas kekeruhan beberapa sungai sudah melampaui
baku mutu air bersih yang ditetapkan Permenkes 416 tahun 1990. Kualitas
kebisingan pada beberapa lokasi di Kota Depok menunjukkan pula tingkat
kebisingan di atas nilai ambang batas. Guna meningkatkan kualitas lingkungan
fisik dan kesehatan manusia serta menjamin kelangsungan hidup kota diperlukan
lingkungan yang indah, nyaman dan sehat.
Dalam rangkat merealisasikan peningkatan kualitas lingkungan terutama
dalam hubungannya dengan estetika dan ekologis perlu dilakukan evaluasi
estetika dan ekologis lanskap kota melalui empat unsur (Porteous, 1996) tersebut
di atas. Pendugaan estetik dan ekologis melalui keempat unsur dilakukan melalui
metode semantic diffierential (SD) dilengkapi metode scenic beauty estimation
(SBE).
Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Beji Kota Depok. Hal ini
berdasarkan Peraturan Daerah Kota Depok no. 12 tahun 2001 bahwa Kecamatan
Beji merupakan pusat kota dari Kota Depok yang memiliki pertumbuhan
penduduk dan perkembangan kota yang pesat dengan tipe lanskap yang lengkap.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengevaluasi ecological aesthetics lanskap kota dengan studi kasus Kecamatan Beji Kota Depok. Secara khusus tujuan penelitian ini adalah :
1. Mengevaluasi kualitas ekologis melalui pengukuran parameter yang memiliki
baku mutu berdasarkan Peraturan Pemerintah no. 41 tahun 1999 dan
2. Mengevaluasi kualitas estetika lanskap melalui penilaian persepsi slide dan
lapangan
3. Mengevaluasi kualitas ecological aesthetics berbasis persepsi.
Manfaat Penelitian
Penelitian dimaksudkan menjadi masukan bagi kebijakan pembangunan
kota umumnya. Selain itu juga dapat digunakan dalam kegiatan perencanaan kota
yang memperhatikan nilai estetika serta mempertahankan fungsi ekologis.
Kerangka Pikir Penelitian
Alur pemikiran penelitian secara umum dapat dilihat pada Gambar 1.
Kualitas ecological easthetics suatu lanskap dipengaruhi oleh kondisi biofisik dan estetika. Parameter kondisi biofisik yang dapat diukur serta diatur oleh
Pemerintah Indonesia melalui Undang-undang nomor 23 tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah kualitas udara dan kebisingan. Kualitas
udara yang dominan dan umum mempengaruhi kondisi biofisik lanskap kota
bersumber dari kendaraan bermotor dengan menghasilkan CO, HC dan NOx, serta
debu yang selain ditimbulkan oleh kendaraan bermotor juga oleh aktivitas
masyarakat kota. Faktor lain yang dapat diukur, sangat umum dan mudah
dirasakan oleh manusia adalah suhu dan kelembaban. Adapun estetika suatu
lanskap dipengaruhi oleh persepsi baik persepsi perencana maupun persepsi
pengguna lanskap. Umumnya perencana didominasi oleh pemerintah, sedangkan
perwakilan masyarakat yang memiliki pengetahuan mengenai estetika antara lain
adalah mahasiswa yang mempelajari estetika.
Parameter pada kondisi biofisik tersebut di atas, begitu pula persepsi
masyarakat terhadap estetika suatu lanskap dipengaruhi oleh keberadaan
bangunan, vegetasi dan sirkulasi. Kualitas ecological aesthetics yang baik tidak hanya dipengaruhi dengan keberadaan vegetasi tetapi juga diperlukan adanya
penataan dan pemeliharaan. Kualitas ecological easthetics dapat ditingkatkan ataupun dipertahankan dengan penataan dan pemeliharaan bangunan dan vegetasi
Gambar 1. Alur Penelitian - Bangunan
- Vegetasi - Sirkulasi
- Perencana (pemerintah) - Pengguna
(masyarakat: mahasiswa)
- Suhu - Kelembaban - Kualitas udara
(HC, NO2, CO,
debu - Kebisingan
Biofisik - Penataan
- Pemeliharaan Estetika
TINJAUAN PUSTAKA
Perkotaan
Kawasan perkotaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan
pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan,
pemusatan dan distribusi pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi (UU no 24
tahun 1992 tentang Penataan Ruang).
Kota dapat berfungsi sebagai tempat pelayanan, pemasaran, kegiatan
industri, peribadatan, pendidikan dan sebagainya. Beberapa kota di Indonesia
menampakkan fungsi yang jelas tetapi sebagian besar masih belum demikian.
Pada umumnya kota-kota dengan laju pertumbuhan penduduk tinggi memiliki
lebih dari satu fungsi. (Salim, 1979). Pada mulanya kota lahir di Indonesia sebagai
pusat pemerintahan untuk daerah sekitar (Marbun, 1979). Jika kota ini terletak di
jalur angkutan dan perdagangan yang ramai maka fungsi perdagangan kota juga
menarik pertambahan penduduk. Sehingga pertumbuhan kota ditarik oleh
berkembangnya kegiatan yang berasal dari fungsi kota sebagai pusat
pemerintahan, pusat perdagangan, pusat industri, yang disusul dengan fungsi jasa
lainnya seperti perbankan, keuangan, pendididkan dan lain-lain.
Proses pertumbuhan kota ini lebih diperkuat apabila wilayah belakang
(hinterland) kota ini padat penduduk, sehingga terjadi proses pengepingan tanah dalam jumlah yang semakin kecil. Dalam keadaan seperti itu maka mutu
lingkungan menjadi rendah. Berdasarkan pola tata guna tanah perkotaan yang
berhubungan dengan nilai ekonomi terdapat beberapa teori, yaitu Teori Jalur
Sepusat, Teori Sector dan Teori Pusat Lipatganda.
Adapun berdasarkan pola perkembangannya yang disebabkan oleh keadaan
topografi tertentu atau karena perkembangan sosial ekonominya, terdapat
beberapa pola yaitu pola menyebar, pola sejajar, dan pola merumpun
Kota merupakan cerminan sejarah dari warganya (Budihardjo, 1997) serta
merupakan hasil karya seni sosial. Oleh karena itu, mengingat adanya perbedaan
kultur, agama, etnis, geografis, iklim, teknologi, ideologi dan lain-lain, maka tidak
Kualitas ruang ditentukan oleh terwujudnya keserasian, keselarasan dan
keseimbangan pemanfataan ruang yang mengindahkan faktor-faktor daya dukung
lingkungan, fungsi lingkungan serta estetika lingkungan. Estetika lingkungan
meliputi bentang alam, pertamanan, arsitektur bangunan lokasi dan struktur.
Lanskap kota merupakan suatu lanskap buatan manusia yang terbentuk
akibat aktivitas manusia dalam mengelola kepentingan hidupnya (Simonds,
1983). Menurut Kaplan (1998), perencanaan kawasan kota membagi kawasan
kota menjadi dua untuk alasan keindahan. Kawasan depan (front area) ditujukan untuk kawasan yang visualisasinya menarik dan indah seperti pertokoan,
perkantoran, mal, dan komplek perumahan dan sentra bisnis lainnya. Kawasan ini
cenderung ditata sebaik mungkin sehingga selain bersifat fungsional juga
memiliki nilai estetika yang tinggi. Kawasan depan juga ditujukan untuk
menutupi kawasan belakang (backstage area) yang cenderung lebih padat dan tidak nyaman. Kawasan belakang digunakan untuk perindustrian, pemukiman
padat dan daerah belakang (hinterland).
Guna meningkatkan kualitas estetika dan ekologis kota di Indonesia,
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup menyelenggarakan
progam Bangun Praja. Program Bangun Praja adalah program penilaian estetika
dan ekologi kota melalui penilaian keindahan (taman, penghijauan) dan
kebersihan (pengelolaan sampah, badan perairan) kota. Kota dengan peringkat
kualitas estetika dan ekologis tertinggi memperoleh penghargaan Adipura.
Estetika
Estetika lingkungan adalah hasil dari persepsi dan sikap manusia terhadap
keadaan lingkungannya yang menurut Porteous (1977) dipengaruhi oleh empat
unsur, yaitu vision (pandangan), sound (suara), smell (bau), dan tactility (rasa).
Vision merupakan hal yang dapat dilihat dengan mata dan merupakan sense yang dominan jika dibandingkan dengan sense lainnya. Preferensi visual
dipengaruhi oleh ruang, jarak, kualitas cahaya, warna, bentuk, gradien tekstur dan
secara visual seseorang dapat melakukan penilaian terhadap apa yang dilihatnya
secara langsung tanpa harus menimbulkan respon secara emosional. Bila
dibandingkan dengan binatang yang lebih mengandalkan penciuman dan
pendengaran, manusia lebih banyak mengandalkan penglihatan dalam menilai
suatu lanskap. Penilaian yang dilakukan secara visual adalah proses gabungan dari
proses fisik dan psikis.
Berdasarkan analisis faktor, variabel atau kriteria-kriteria yang ada pada
faktor`ekologi (kering-basah, ramai-tenang, padat-renggang, bising-sunyi,
macet-lancar, gaduh- sepi, terasa sesak-terasa segar) dan faktor estetika (tidak
teratur-teratur, semrawut-tertib, tidak terpelihara-terpelihara, kumuh-tertata, suram-jelas)
pada penelitian Priharyaningsih, 2005, dapat mewakili gambaran kesan atau efek
psikologi yang dapat ditimbulkan secara visual dari suatu lanskap. Menurut Nasar
(1988) kompleksitas merupakan banyaknya bentuk, warna dan garis yang dapat
diamati pada suatu lanskap. Semakin kompleks suatu pemandangan dapat
menimbulkan ketidakteraturan dan ketidaknyamanan bagi pengamat. Pada
dasarnya manusia menyukai segala sesuatu yang tertata dan teratur baik. Pada
penelitian Rahmafitria (2004) kesatuan obyek dengan lingkungan di sekitarnya
(unity) merupakan peubah penentu nilai SBE. Semakin tinggi nilai unity-nya maka nilai SBE pun akan semakin tinggi. Unity atau kesatuan antar elemen dengan lingkungan di sekitarnya menunjukkan adanya keteraturan hubungan yang saling
mengikat dalam menghadirkan pemandangan dengan karakter tertentu.
Pemandangan dengan unity tinggi membuat pengamat lebih mudah
mengidentifikasi dan mengenalnya sehingga menghasilkan persepsi yang baik.
Menurut Eckbo (1964) suatu lanskap memiliki kualitas keindahan. Kualitas
lanskap ini ditentukan oleh reaksi dari manusia yang berlaku sebagai pengamat.
Reaksi dari pengamat ini dipengaruhi oleh latar belakang si pengamat seperti
masa kecilnya, pendidikan, latihan dan pengalaman. Tanpa adanya reaksi yang
diberikan manusia maka kualitas dalam lanskap tidak dapat ditentukan. Hal-hal
seperti pengalaman dan ilmu pengetahuan yang telah diperoleh seseorang dapat
variabel lainnya yang juga dapat mempengaruhi penilaian seperti faktor usia dan
tingkat sosial-ekonomi (Laurie, 1990).
Sound dipelajari dalam istilah lingkungan sebagai soundscape yang menjadi komponen penting dari lingkungan sensor kita. Sound di wilayah perkotaan dapat berupa kebisingan tetapi secara perlahan manusia dapat beradaptasi. Preferensi
sound seseorang dengan yang lainnya dapat berlainan. Namun kualitas kebisingan yang aman untuk manusia di Indonesia dapat diketahui dari pengukuran kemudian
dibandingkan dengan baku mutu yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan
Hidup. Sumber kebisingan di perkotaan adalah kendaraan, mesin pabrik, alat
pembangunan gedung dan lain-lain. Penanaman pohon dan semak dapat
mengurangi tingkat kebisingan (Laurie, 1990) Kualitas penyerapan bunyi pada
beberapa jenis berbeda-beda menurut ukuran dan kepadatan daun
Smell merupakan komponen penting yang dapat memuaskan kebutuhan, kemanan dan afiliasi. Dalam lingkungan smellscape berupa slum area, pabrik, perumahan dan sebagainya. Penelitian mengenai smellscape lebih mengarah kepada polusi udara, tidak kepada pemanfaatan aroma bagi pengguna lingkungan.
Walaupun preferensi smell seseorang dengan yang lainnya mungkin berbeda namun preferensi untuk bau yang ditimbulkan akibat pencemaran seperti dari
Tempat Pembuangan Sampah cenderung sama.
Tactility menghasilkan touchscape yang berkaitan dengan suhu dan kelembaman. Suhu dan kelembaman pada kawasan perkotaan dapat ditata melalui
penataan hardmaterial dan softmaterial.
Estetika lingkungan merupakan bagian atau komponen yang penting serta
merupakan aspek yang menentukan kualitas tata ruang secara mikro. Masalah
estetika lingkungan dipengaruhi juga oleh kesukaan terhadap lingkungan yang
berbeda-beda. Oleh karena itu pada penataan kota seperti diamanatkan oleh
ndang-undang perlu melibatkan masyarakat secara langsung atau setidaknya
didahului dengan penelitian dan kajian sehingga mampu mewadahi perubahan
fungsi dan tuntutan kebutuhan serta perilaku penduduk kotanya (Budihardjo,
1997). Porteous (1977) menyatakan teorinya tentang perencanaan yang turut
hasil perencanaan yang mencapai sasarannya dan berguna bagi masyarakat yang
ada di dalamnya.
Persepsi dan Preferensi
Persepsi adalah bagian dari kognisi masnusia yang merupakan proses yang
terjadi sebagai akibat rangsangan terhadap panca indra. Manusia dikarunia
beberapa indera yang penting bagi kehidupannya seperti penglihatan (vision), pendengaran (sound), penciuman (smell) dan sentuhan (tactility). Persepsi dari individu tergantung pada keadaan psikologisnya yang mempengaruhi kemampuan
penglihatan, rasa, penciuman, pendengaran dan sentuhan (Porteous, 1977).
Persepsi manusia dipengaruhi juga oleh berbagai faktor antara lain usia dan
tingkat kehidupan sosial ekonomi (Laurie, 1990), latar belakang intelektual dan
pengalaman emosional, pergaulan dan sikap seseorang (Eckbo, 1964). Sedangkan
Nasar (1988) menyatakan bahwa persepsi seseorang terhadap kualitas suatu
lanskap ditentukan oleh interaksi yang kuat antara variabel lanskap dan
pengetahuan seseorang terhadap lanskap tersebut.
Preferensi didefinisikan sebagai tindakan untuk memilih ditentukan oleh
banyak faktor. Preferensi seseorang terhadap sesuatu didasarkan atas persepsi.
Apabila seseorang merasa puas melihat obyek maka ia akan menilai obyek
tersebut bagus sedangkan perasaan tidak puas dalam menilai suatu obyek akan
membuat obyek tersebut bernilai tidak bagus dan manusia cenderung untuk
menghindari obyek seperti ini (Nasar, 1988).
Faktor-faktor yang mempengaruhi preferensi masyarakat antara lain adalah
usia, jenis kelamin, tingkat sosial, tingkat pendidikan dan budaya. Preferensi juga
dipengaruhi oleh rasa keterkaitan sesorang terhadap suatu tempat dimana ia biasa
hidup atau tinggal lama di dalamnya. Dengan kata lain preferensi seseorang
dipengaruhi juga oleh rasa familiaritas (Nasar, 1988). Whitmore et al (1995) dan
Gunawan (1994) menyatakan bahwa dasar pendidikan dan pelatihan khusus di
bidang lingkungan dapat mempengaruhi persepsi masyarakat dalam memberikan
pendidikan, dan jenis pekerjaan dalam hasil penelitian Faisal (1997) secara
keseluruhan memiliki kecenderungan yang sama.
Preferensi masyarakat seringkali bertentangan dengan prinsip sustainable
lanskap. Lingkungan alam yang sustainable pada umumnya menampilkan lanskap hutan dengan biodiversitas tinggi tetapi tidak teratur. Menurut Nasar (1988)
masyarakat lebih menyukai lanskap dengan campur tangan manusia yang tinggi.
Selanjutnya Gunawan (1998) menyatakan bahwa masyarakat biasa dan kalangan
perencana memberikan penilaian yang lebih rendah terhadap lanskap hutan
dibandingkan dengan kelompok yang berorientasi lingkungan, sedangkan Daniel
(1976) menyatakan bahwa masyarakat tidak menyukai lanskap alami.
Daniel (1976) menyatakan bahwa kualitas estetika dari suatu ruang
merupakan hasil dari kombinasi penampilan lanskap itu sendiri dengan proses
psikologis (tanggapan, pemahaman dan emosi) dari pengamat lanskap tersebut.
Keindahan suatu lanskap dapat dinikmati dengan mengamati pemandangannya
melalui indera penglihatan. Mengamati suatu lanskap dapat memberikan persepsi
dan perasaan psikologis yang berbeda-beda serta menghadirkan nilai simbolik.
Banyak metode estetika lanskap kuantitatif yang telah dikembangkan di
antaranya adalah metode preferensi lanskap. Guna menemukan apa yang
diinginkan masyarakat terhadap estetika lanskap, perencana harus menanyakan
dan mengamati perilaku mereka. Metode pengamatan perilaku adalah matang,
diasumsikan bahwa perilaku mencerminkan preferensi.
Pendekatan preferensi persepsi hampir sama dalam beberapa hal dengan
cara kerja kuesioner dan survey. Keduanya mengevaluasi lanskap melalui
pendapat observasi manusia. Foto dan slide berwarna biasanya digunakan untuk
menggambarkan lanskap. Agak jarang lanskap yang sesungguhnya dikunjungi
untuk evaluasi. Pada dasarnya penilaian visual melibatkan individu sebagai
subyek, maka penilaian visual tersebut akan dipengaruhi oleh persepsi individu
terhadap obyek. Persepsi seseorang dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor
internal dan eksternal. Faktor internal berupa nilai-nilai dalam diri seseorang
yang dipadukan dengan hal-hal yang ditangkap panca indera pada proses melihat,
kemudian dikombinasikan dengan faktor eksternal yaitu keadaan lingkungan fisik
dan sosial yang kemudian menjadi suatu respon dalam suatu bentuk tindakan
(Porteous, 1977).
Masyarakat cenderung memiliki kesan psikologi yang baik pada lanskap
yang memiliki nilai SBE tinggi sehingga cenderung menilai ke arah positif.
Sebaliknya lanskap yang memiliki nilai SBE rendah cenderung dinilai oleh
masyarakat ke arah negatif. Namun pada penilaian persepsi kualitas ekologi
lanskap, lanskap yang memiliki nilai kualitas estetika tinggi tidak dapat
menggambarkan kualitas ekologi yang baik pula hal ini dapat dilihat dari persepsi
kualitas ekologi yang berbeda pada tiap lanskapnya. (Priharyaningsih, 2005).
Ekologi
Masalah lingkungan merupakan isu yang semakin menonjol dan kompleks
sejalan dengan semakin intensifnya intervensi manusia terhadap lingkungan.
Lingkungan dapat didefinisikan sebagai jumlah total suatu kondisi dalam mahluk
hidup. Di dalamnya terdapat interaksi antara komponen non hidup seperti kimia,
fisik dengan komponen hidup (hayati). Ilmu yang mempelajari hubungan antara
organisme dengan organisme dan organisme dengan lingkungan disebut ekologi
Iverson et al (1993) menyatakan bahwa kualitas visual dari suatu lingkungan
yang alami menjadi rendah karena kehadiran lingkungan terbangun atau adanya
unsur buatan manusia (man-made). Dalam penelitian Faisal 1997 struktur bangunan yang secara visual dinilai padat menimbulkan penilaian bahwa
lingkungan seperti ini memberi kesan sempit, sulit dipelihara dan tidak tertata
dengan baik. Menurut Whitmore et al (1995) area yang relatif dinilai memiliki
kualitas visual rendah dikarenakan adanya gangguan budaya (cultural) seperti kehadiran manusia dengan pemukimannya. Sehingga Iverson et. al. (1993)
mengatakan, beberapa studi tentang penilaian visual yang dilakukan dengan
metode yang berbeda mencapai kesimpulan yang sama bahwa unsur buatan
manusia mempengaruhi kualitas lingkungan. Menurut Sommer et. al. (1993)
dalam menilai suatu lanskap orang akan cenderung lebih menyukai lanskap
Semua mahluk hidup merupakan komponen biotik lingkungan, sedangkan
semua faktor fisik lingkungan dan karakteristiknya misalnya tanah, air, udara,
suhu dan kelembaban merupakan komponen abiotik lingkungan. Komponen
biotik suatu lingkungan saling berinteraksi dengan sesama dan dengan komponen
abiotik membentuk lingkungan hidup hayati. Komponen abiotik lingkungan
berinteraksi dengan sesamanya dan dengan komponen biotik, membentuk
lingkungan hidup non hayati.
Daya dukung lingkungan adalah jumlah optimum individu suatu jenis yang
dapat bertahan hidup di daerah tersebut pada suatu rentang waktu dan tertentu
pada suatu daerah. Pada hakekatnya pembangunan telah mengubah lingkungan
yang dimaksudkan untuk mengurangi resiko lingkungan dan atau memperbesar
manfaat lingkungan. Upaya-upaya tersebut merupakan salah satu bentuk dari
peningkatan daya dukung lingkungan untuk kecukupan manusia, tetapi
perubahan-perubahan tersebut telah memicu terganggunya suatu keseimbangan
lingkungan.
Dalam pengelolaan lingkungan telah banyak digunakan berbagai pendekatan
ilmiah seperti misalnya pendekatan ekosistem, pendekatan ekonomi politik dan
ekologi politik pendekatan ekologi manusia dsb. Pendekatan-pendekatan tersebut
mengacu kepada prinsip dan konsep dari ilmu-ilmu yang mendasarinya seperti
ilmu sosial, politik, ekonomi dan ekologi. Apabila diamati dalam sejarah
perkembangannya ilmu pengelolaan lingkungan yang berkembang pesat adalah
ekologi. Konsep-konsep ekologi banyak melandasi pengertian, karakteristik dan
tujuan dari pengelolaan lingkungan. Namun yang seringkali menjadi masalah
yang sangat mendasar adalah ekologi seringkali tidak mampu untuk melakukan
prediksi dan kadang-kadang dalam pengelolaan lingkungan dilakukan simplifikasi
dalam memahami fenomena lingkungan yang menjadi perdebatan di kalangan ahli
ekologi.
Ekologi yang membahas mengenai struktur dan fungsi dari ekosistem
merupakan dasar dari pengelolaan lingkungan dalam konteks pembangunan.
Perspektif ekologi dalam pembangunan berkelanjutan memberikan wawasan yang
harus dilaksanakan agar kesejahteraan masyarakat dalam jangka panjang dapat
dicapai, dan perlindungan lingkungan dapat dilaksanakan pada saat bersamaan.
Kualitas ekologis lanskap kota dapat dilihat dari parameter kualitas udara, suhu,
kelembaban dan kebisingan.
Gobster (1999) membagi elemen ecological aesthetics sebagai individu, lanskap, interaksi manusia dan lanskap dan manfaat yang diperoleh. Pada bagian
individu, penilaian kualitas estetik dikembangkan dari tingkatan preferensi visual
menjadi konsep yang lebih holistik seperti apresiasi estetik dengan
mengeksplorasi semua sense. Pada bagian lanskap, kenyamanan dikembangkan
dengan mengetahui bagaimana bagian dari suatu lanskap berhubungan dengan
keseluruhan lanskap, contohnya bagaimana sensitif tanaman atau hewan agar
bertahan dalam suatu ekosistem. Pada kedua tahap terakhir yaitu interaksi dan
keuntungan diperlukan pengalaman dengan lanskap sebagai partisipan aktif tidak
hanya pasif mengamati sebagai gambar atau objek tapi dihubungkan sebagai
lanskap kehidupan. Kebijakan publik pada tahun-tahun terakhir mensosialisasikan
kesehatan dan keberlanjutan ekologi dalam lanskap dan ekosistem. Sepänmaa
(1993) mengemukakan ecological aesthetics sebagai bentuk baru dari normatif estetika yang memiliki norma dasar memperhatikan alam. Menurut Gobster
(1999) ecological aesthetics memadukan konsep biological dan ecological dari keberlanjutan dengan apresiasi estetik. Pengalaman merupakan komponen kunci
dari estetika, agar intelektual dan kapasitas individu mengerti, menghargai dan
melaksanakan pencapaian tujuan dengan memperhatikan lingkungan.
Pencemaran Udara
Pencemaran udara seringkali didefinisikan sebagai adanya emisi dari
pengotor udara ke dalam atmosfer baik akibat dari buatan manusia maupun dari
alam. Pengotor udara adalah zat yang tidak normal ada di atmosfer atau ada
dengan konsentrasi yang lebih tinggi dari level normal. Polusi udara utama adalah
partikel, SO2, CO, NO, Pb, HC dan ozon. Polutan diklasifikasikan menjadi
polutan primer dan polutan sekunder. Polutan primer adalah polutan yang
terbentuk dari polutan primer. SO2, NO, CO, Pb, HC dan partikel adalah polutan
primer. Ozon adalah polutan sekunder yang terbentuk dari reaksi kompleks NO
dan HC dengan adanya cahaya matahari yang kuat.
Secara umum, terdapat 2 sumber pencemaran udara, yaitu pencemaran
akibat sumber alamiah (natural sources), seperti letusan gunung berapi, dan yang berasal dari kegiatan manusia (anthropogenic sources), seperti yang berasal dari transportasi, emisi pabrik, dan lain-lain. Di dunia, dikenal 6 jenis zat pencemar
udara utama yang berasal dari kegiatan manusia (anthropogenic sources), yaitu karbon monoksida (CO), oksida sulfur (SOx), oksida nitrogen (NOx), partikulat,
hidrokarbon (HC), dan oksida fotokimia, termasuk ozon.
Menurut Driejana (2004) pencemaran udara daerah perkotaan disebabkan
oleh partikel, NOx, CO, SO2, NH3, O3, HC, Pb. Emisi dari kendaraan bermotor di
perkotaan merupakan sumber yang signifikan dari polusi udara, dengan
menghasilkan CO, HC dan NOx. Adapun industri mengkontribusikan SO2 dan
NOx. Pencemaran udara di lintas batas adalah hujan asam, ozon troposferik dan
eutrofikasi.
Emisi dari kendaraan bermotor yang meberikan kontribusi pada konsentrasi
polusi adalah karbon monoksida (CO), nitrogen oksida, sulfur serta partikel. Pada
konsentrasi yang tinggi polutan tersebut menjadi masalah bagi kesehatan.
Setiap proses pembakaran menghasilkan karbon monoksida (CO) termasuk
memasak dan merokok. Sumber terbesar dari CO adalah kendaraan bermotor.
Bahan bakar kendaraan bermotor mengandung karbon yang menghasilkan karbon
monoksida. Gas beracun ini akan mempengaruhi oksigen dalam darah karena CO
mengikat darah lebih cepat dari oksigen. Hal tersebut akan mengakibatkan
pengiriman oksigen ke seluruh tubuh berkurang begitu pula pengiriman oksigen
ke otak dan organ tubuh lainnya. Sekitar 90 % dari emisi CO di Inggris menurut
Jeremy Colls (2004) berasal dari kendaraan bermotor.
Tahun 1990, NO2 menggantikan asap dan SO2 sebagai indikator utama pada
kualitas udara kota terbelakang. NO dan NO2 terkumpul dalam NOx, yang
kendaraan bermotor adalah NO, namun NO berpotensi bergabung dengan NO2,
sehingga sering digambarkan sebagai NOx.
Di Indonesia, kurang lebih 70% pencemaran udara disebabkan oleh emisi
kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor mengeluarkan zat-zat berbahaya yang
dapat menimbulkan dampak negatif, baik terhadap kesehatan manusia maupun
terhadap lingkungan, seperti timbal/timah hitam (Pb), suspended particulate matter (SPM), oksida nitrogen (NOx), hidrokarbon (HC), karbon monoksida (CO), dan oksida fotokimia (Ox). Kendaraan bermotor menyumbang hampir
100% timbal, 13-44% suspended particulate matter (SPM), 71-89% hidrokarbon, 34-73% NOx, dan hampir seluruh karbon monoksida (CO) ke udara Jakarta.
Sumber utama debu berasal dari pembakaran sampah rumah tangga, di mana
mencakup 41% dari sumber debu di Jakarta. Sektor industri merupakan sumber
utama dari sulfur dioksida. Di tempat-tempat padat di Jakarta konsentrasi timbal
bisa 100 kali dari ambang batas.
Sementara itu, laju pertambahan kendaraan bermotor di Jakarta mencapai
15% per tahun sehingga pada tahun 2005 diperkirakan jumlah kendaraan
bermotor di Jakarta mencapai 2,8 juta kendaraan. Seiring dengan laju
pertambahan kendaraan bermotor, maka konsumsi bahan bakar juga akan
mengalami peningkatan dan berujung pada bertambahnya jumlah pencemar yang
dilepaskan ke udara.
Tahun 1999, konsumsi premium untuk transportasi mencapai 11.515.401
kilo liter [Statistik Perminyakan Indonesia, Laporan Tahunan 1999 Direktorat
Jenderal Minyak dan Gas Bumi]. Dalam setiap liter premium yang diproduksi,
terkandung timbal (Pb) sebesar 0,45 gram sehingga jumlah Pb yang terlepas ke
udara total sebesar 5.181,930 ton. Dengan pertumbuhan penjualan mobil dan
sepeda motor sebesar 300% dan 50% diperkirakan tahun 2001 polusi akibat
timbal (Pb) meningkat.
Menurut penelitian Jakarta Urban Development Project, konsentrasi timbal
di Jakarta akan mencapai 1,7-3,5 mikrogram/meter kubik (μg/m3) pada tahun
4,57 ppm (baku mutu PP 41/1999: 0,24 ppm), NOx mencapai 0,076 ppm (baku
mutu: 0,05 ppm), dan debu mencapai 172 mg/m3 (baku mutu: 150 mg/m3).
Suhu dan kelembaban
Atmosfer berasal dari kata Yunani yaitu atmos berarti uap dan saphaira
berarti bulatan. Jadi atmosfer adalah lapisan gas yang menyelubungi bulatan bumi
Atmosfer selalu dikotori oleh debu. Debu ialah istilah yang dipakai untuk
benda-benda yang sangat kecil sehingga sebagian tidak tampak kecuali dengan
mikroskop. Jumlah debu hanya beberapa ratus partikel tiap cm3, tetapi di
kota-kota besar, daerah industri dan daerah kering, jumlah debu dapat mencapai 5 juta
partikel tiap cm3. Konsentrasi debu pada umumnya berkurang dengan ketinggian,
meskipun debu motorik dapat dijumpai pada lapisan atmosfer atas. Sumber debu
beraneka ragam yaitu asap, abu vulkanik, pembakaran bahan bakar, serbuk dari
tanah yang terhembus ke atas dan lain-lain.
Temperatur udara merupakan unsur iklim yang sangat penting. Temperatur
udara berubah dengan tempat dan waktu. Pada umumnya temperatur maksimum
terjadi sesudah tengah hari, biasanya sekitar jam 14.00 dan temperatur minimum
terjadi jam 06.00 atau sekitar matahari terbit.
Kelembaban nisbi merupakan salah satu besaran untuk menyatakan jumlah
uap air di atmosfer. Kelembaban nisbi dinyatakan dengan perbandingan jenuh
dikalikan dengan 100 persen atau dalam bentuk rumus dapat ditulis sebagai :
RH = e x 100 %
es
RH : kelembaban relatif
e/es : perbandingan jenuh
e : tekanan uap
es : tekanan uap maksimum atau tekanan uap jenuh
Kelembaban nisbi berubah dengan tempat dan waktu. Menjelang tengah hari
kelembaban nisbi berangsur-angsur menjadi turun kemudian pada sore hari
Kota yang berada di pebukitan, di lembah atau di pantai mengalami cuaca
lokal berbeda. Temperatur dan kelembaban berbeda di jalanan, di tanah lapang, di
kebun atau di taman.
Perkembangan kota menyebabkan lapisan atmosfer di atasnya menjadi kotor
oleh partikel debu atau asap disebabkan meningkatnya jumlah kendaraan
bermotor. Partikel ini akan meningkat konsentrasinya pada musim kemarau dan
menurun pada musim hujan. Kenaikan konsentrasi debu dan asap menyebabkan
kenaikan temperatur udara kota dan pencemaran udara dibandingkan dengan
udara sekitarnya.
Temperatur dan kelembaban berpengaruh pada salah satu sense yang
dikemukakan Porteous (1977) yaitu tactility. Tingginya temperatur atau rendahnya kelembaban akan menyebabkan ketidaknyamanan. Sedangkan persepsi
pada keadaan rendahnya temperatur atau tingginya kelembaban akan berbeda
antara yang satu dengan lainnya. Pada seseorang yang dibesarkan pada
lingkungan dengan temperatur yang rendah atau kelembaman tinggi akan terbiasa
dengan kondisi tersebut.
Kebijakan Pembangunan Tata Ruang Kota Depok
Struktur tata ruang Kota Depok direalisasikan dengan melihat kepada aspek
persebaran penduduk, arahan pengembangan utama pembentukkan ruang dan
arahan intensitas ruang yang diarahkan untuk membentuk sistem pelayanan dan
interaksi sistem kegiatan kota agar dapat berdaya guna. Konsep struktur ruang
Kota Depok dikembangkan melalui pengenalan potensi pengembangan
infrastruktur, luasan wilayah dan jenis kegiatan yang akan berkembang sesuai
dengan fungsi kota yang direncanakan. (Perda RTRW Kota Depok tahun
2002-2010)
Berdasarkan pertimbangan pola sebaran kegiatan dan fungsi, secara makro
konsep wilayah pengembangan Kota Depok memiliki ciri sebagai berikut:
1. Wilayah barat : fungsi jasa perdagangan/agribisnis dan pergudangan,
2. Wilayah tengah : fungsi perdagangan dan jasa perkantoran, pergudangan,
pendidikan, wisata dan permukiman kepadatan sedang
sampai tinggi.
3. Wilayah timur : fungsi permukiman kepadatan rendah, sedang dan
tinggi, perdagangan dan jasa pergudangan, perkantoran,
wisata dan industri yang ramah lingkungan.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Bappeda Kota Depok, untuk
pemanfaatan ruang dibagi dalam 9 (sembilan) kawasan fungsional yaitu :
1. Kawasan Perumahan
Kawasan perumahan dijumpai diseluruh kawasan kecamatan di Kota
Depok, dengan peran serta swasta dalam pembangunannya, karena
pengembang merasakan kebutuhan tempat tinggal di Kota Depok sebagai
peluang bisnis. Untuk pembangunan perumahan ke depan perlu dilakukan
hati-hati terutama pada kawasan lahan basah. Peraturan untuk tidak
mengijinkan pembangunan perumahan di lahan basah perlu
diimplementasikan.
2. Kawasan Perdagangan dan Jasa
Kawasan perdagangan dan jasa dapat dilihat di sepanjang jalan. Untuk di
daerah pinggiran kota seperti di Kecamatan Limo yang berbatasan dengan
DKI Jakarta tumbuh kawasan perdagangan dan jasa karena kawasan pinggir
Jakarta sudah jenuh. Disamping itu pedagang informal tumbuh di kawasan
pendidikan, kawasan pemukiman sehingga pada saat ini perlu diantisipasi
kebutuhan sarana dan prasarananya.
3.
Kawasan IndustriKonsentrasi kawasan industri berada di Kecamatan Sukmajaya dan
Kecamatan Cimanggis di sekitar Jalan Raya Jakarta Bogor, karena akses ke
Jalan Raya Jakarta Bogor relatif mudah. Keberadaan industri kecil dan
menengah di daerah Kecamatan Cimanggis berpotensi menimbulkan
dempak negatif terhadap lingkungan karena pemanfaatan air tanah dan
konservasi maka perluasan industri bersifat mengisi lahan yang belum terisi
dan tidak diperkenankan untuk diperluas, sesuai dengan Keputusan Presiden
Nomor 114 tahun 1999.
4. Kawasan Hijau
Kawasan yang perlu dilestarikan meliputi :
a. Kawasan disepanjang Sungai Ciliwung dengan bentuk meander dan
rawan erosi, perlu dipelihara beberapa anak sungai/sumber air yang
bermuara ke Sungai Ciliwung.
b. Kawasan situ dapat mengamankan ketersediaan air tanah.
c. Kawasan lereng di Kota Depok dalam melestarikan kondisi fisik kota,
sehingga terhindar dari bencana longsor.
d. Kawasan taman kota yang berfungsi sebagai paru-paru kota perlu
dilestarikan termasuk kawasan “Welcome Area” masuk ke Kota Depok.
5. Kawasan Khusus
Terdapat beberapa kawasan khusus antara lain Taman Hutan Raya Pancoran
Mas, Studio Alam TVRI, Kawasan Pemancar RRI, Kawasan Divif I
Kostrad, Kawasan Brigade Mobil
6. Kawasan Pendidikan
Kawasan pendidikan di Kota Depok, meliputi kawasan Universitas
Indonesia – Beji, Universitas Gunadarma Beji – Cimanggis, Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” – Limo, Universitas Jayabaya -
Cimanggis, STIK Purnama – Depok, Fajal – Depok, STIAMI Depok, STIK
Arramiyah – Sawangan, STAI – Alhamidiyah – Pancoran Mas.
7. Kawasan Potensial untuk Pariwisata.
Kawasan pariwisata/rekreasi yang perlu dikembangkan adalah : Lapangan
Golf Emeralda, Lapangan Golf Sawangan, Kolam Renang Tirta Maya dan
Tirta Sari I di Kecamatan Sawangan, THR Pancoran Mas, Studio Alam
Ket. : Salah satu kawasan khusus berfungsi sebagai daerah resapan air dan
daerah hijau kota serta dapat dijadikan obyek pariwisata alam serta ruang
[image:35.612.135.514.70.310.2]publik.
Gambar 2. Studio Alam TVRI – Sukmajaya
8. Kawasan Strategis Potensial
Kawasan yang mempunyai keunggulan kompetitif untuk perdagangan dan
jasa. Identifikasi kawasan strategis potensial diidentifikasi 2 (dua) bagian
yaitu Bagian Utara dan Bagian Tengah.
1. Bagian Utara, dibagi 3 (tiga) Bagian Wilayah Kota (BWK), yaitu :
a BWK Barat Laut di sebagian Kecamatan Sawangan batas
Kabupaten Tangerang.
b BWK Utara terletak di Kecamatan Beji berbatasan dengan DKI
Jakarta.
c BWK Timur Laut terletak di Kecamatan Cimanggis berbatasan
dengan DKI Jakarta.
2. Bagian Tengah, meliputi Bagian Wilayah Kota Pusat Kota sebagian di
Ket. : Telaga Golf Sawangan dapat berfungsi sebagai obyek pariwisata
Gambar 3. Pembangunan Aquatic Centre
Pada kawasan strategis potensial ini diidentifikasi pertumbuhannya
akan cepat (fast growing areas) pada kurun waktu 5 (lima) tahun
mendatang, karena di kawasan tersebut akan tumbuh pemukiman baru.
9. Kawasan Andalan sebagai Pusat Pertumbuhan
Kawasan andalan yang dipakai sebagai pusat pertumbuhan agar tidak terjadi
kesenjangan pertumbuhan diidentifikasi sebagai berikut:
a. BWK Utara di Kelurahan Kukusan.
b. BWK Barat Laut di Kelurahan Limo dan Kelurahan Kedaung sebagai
sub pusat pertumbuhan..
c. BWK Timur Laut di Kelurahan Harjamukti.
d. BWK Pusat Kota di Kelurahan Depok.
e. BWK Tenggara di Kelurahan Tapos dan Kelurahan Cilangkap sebagai
sub pusat pertumbuhan.
f. BWK Selatan di Kelurahan Cilodong dan Kelurahan Bojong Pondok
g. BWK Barat di Kelurahan Sawangan dan Kelurahan Pasir Putih
sebagai sub pusat pertumbuhan.
Perbedaan Rencana dan Realisasi Penggunaan Lahan di Kota Depok
Berdasarkan kepada Undang-undang Nomor 15 Tahun 1999 tentang
Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Depok dan Kotamadya Daerah
Tingkat II Cilegon ditegaskan bahwa Pemerintah Kota Depok harus menetapkan
tata ruang wilayahnya secara terpadu dan tidak terpisahkan dengan penataan
ruang nasional, wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat dan wilayah
Kabupaten/Kota disekitarnya. Menindaklanjuti kondisi tersebut dirasakan
perlunya penyusunan suatu rencana kota yang strategis guna mewujudkan
perencanaan Kota Depok yang terpadu dan terarah.
Dengan adanya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan
Ruang dan penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional serta Rencana Tata Ruang Wilayah
Propinsi Jawa Barat maka strategi dan arahan kebijakan pemanfaatan ruang
wilayah nasional dan propinsi perlu dijabarkan dalam bentuk Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) Kota Depok.
Penyusunan RTRW Kota Depok mengacu kepada azas pemanfaatan ruang
bagi seluruh kepentingan secara terarah dan terpadu, berdayaguna dan berhasil
guna, serasi, selaras, seimbang dan berkelanjutan serta mengandung nilai-nilai
transparansi, persamaan, keadilan dan perlindungan hukum.
Dalam peninjauan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional tahun 2002 telah
ditetapkan bahwa di Propinsi Jawa Barat terdapat 8 (delapan) Kawasan Andalan.
Review RTRWN menyatakan bahwa Kota Depok termasuk dalam kawasan
Penyangga (buffer cities) Daerah Khusus Ibukota dan termasuk juga dalam Kawasan Bopunjur dan sekitarnya yang berfungsi sebagai kawasan resapan air.
Namun demikian arahan Kota Depok menjadi kota penyangga tetap harus
memperhatikan dan mempertimbangkan semangat otonomi daerah dan
kemandirian kota menuju kota yang mampu berkembang secara mandiri dan
pengembangan Kota Depok untuk diarahkan sebagai kota yang memiliki fungsi
penyeimbang dengan menekankan pelayanan kota baik internal maupun antar
wilayah. Kondisi tersebut diharapkan akan memacu terciptanya ketergantungan
yang saling menguntungkan untuk Kota Depok dan wilayah yang berada
disekitarnya.
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Depok 2000-2010 adalah penjabaran
dan strategi dari arahan kebijakan pemanfaatan ruang wilayah nasional dan
propinsi ke dalam strategi dan struktur pemanfaatan ruang wilayah yang meliputi:
1. Kebijakan, pendekatan dan strategi pengembangan tata ruang untuk
tercapainya tujuan pemanfaatan ruang yang berkualitas ;
2. Tujuan pemanfaatan ruang wilayah Kota Depok untuk peningkatan
kesejahteraan masyarakat;
3. Struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah Kota Depok;
4. Pedoman pengedalian pemanfaatan ruang wilayah Kota Depok.
Adapun Rencana pemanfaatan ruang Kota Depok hingga tahun 2010
ditentukan berdasarkan RTRW Kota Depok Tahun 2000-2010 seperti terlihat
dalam Tabel 1.
Perencanaan pemanfaatan ruang dan lahan berdasarkan RTRW Kota Depok
Tahun 2000-2010 merupakan rencana yang memuat penjabaran strategi dan
arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang wilayah nasional dan propinsi (Propinsi
Jawa Barat dan Propinsi DKI Jakarta). RTRW Kota Depok berfungsi sebagai
pedoman bagi pelaksanaan perencanaan, pemanfaatan ruang wilayah dan
pengendalian pemanfaatan ruang dalam wilayah Kota Depok Sampai Tahun 2010.
Tujuan dari penyusunan RTRW Kota Depok Tahun 2000-2010 adalah
sebagai berikut:
1. Meningkatkan keseimbangan dan keserasian perkembangan antar wilayah
serta keserasian pembangunan antar sektor melalui pemanfaatan ruang
kawasan secara serasi, selaras dan seimbangan serta berkelanjutan.
2. Mengarahkan pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan bagi
3. Meningkatkan kualitas lingkungan hidup serta mencegah timbulnya
kerusakan fungsi dan tatanannya.
4. Memuat kebijakan perencanaan dan pemanfaatan ruang serta pengendalian
pemanfaatan ruang dan wilayah.
Tabel 1. Rencana Pemanfaatan Ruang Kota Depok tahun 2000-2010
2000 2005 2010
Jenis Penggunaan
ha % ha % ha %
A. Kawasan Terbangun 8.640 43,14 9.300 46,43 9.990 49,88
1. Perumahan + Kampung 7.084 35,37 7.455 37,22 7.919 39,54
2. Pendidikan Tinggi 224 1,12 336 1,68 448 2,24
3. Jasa dan Perdagangan 125 0,63 241 1,20 296 1,48
4. Industri 980 4,89 1.040 5,19 1.100 5,49
5. Kawasan Tertentu (Gandul, Brimob 227 1,13 227 1,13 227 1,13
Depo KRL, Radar AURI)
B. Ruang Terbuka Hijau 11.389 56,86 10.730 53,57 10.040 50,12
1. Sawah Teknis & Non Teknis 1.313 6,56 1.313 6,56 1.313 6,56 2. Tegalan /Ladang 4.630 23,11 3.808 19,01 3.360 16,78
3. Kebun 3.131 15,63 2.826 14,11 2.507 12,52
4. Rumput/Tanah Kosong 1.635 8,16 457 2,28 457 2,28
5. Situ & Danau 119 0,60 131 0,65 139 0,69
6. Pariwisata dan Lap.Olahraga 311 1,55 767 3,83 836 4,18
7. Hutan Kota 7 0,04 7 0,04 7 0,04
8. Kawasan Tertentu (TVRI,RRI) 242 1,21 242 1,21 242 1,21
TOTAL 20.029 100 20.029 100 20.028 100,00
Sumber : RTRW KOTA DEPOK 2000-2010
Berdasarkan Peraturan Daerah No.12 Tahun 2001 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Kota Depok Tahun 2000-2010 disebutkan bahwa luas Kota
Depok adalah 20.029 ha sedangkan menurut hasil kegiatan Identifikasi
Pemanfaatan Ruang Kota Depok per Desember tahun 2004 dinyatakan bahwa luas
Perbedaan luas wilayah Kota Depok berdasarkan hasil pengujian dan
RTRW Kota Depok Tahun 2000-2010 adalah sebesar 242 ha. Adanya perbedaan
jumlah luasan ini menurut metoda dan teknik penghitungan yang dilakukan
teridentifikasi sebagai luasan badan perairan (sungai dan kali).
Tabel 2. Luasan Kota Depok
Luas Pemanfaatan Ruang Kota Depok
Jenis Pemanfaatan Ruang
RTRW Identifikasi 2004
Luas (ha)* % Luas (ha)** %
A. Kawasan Terbangun 8,640.00 43.14 11,924.21 58.82
1. Perumahan + Kampung 7,084.00 35.37 10,305.02 50.84
2. Pendidikan Tinggi 224.00 1.12 228.26 1.13
3. Jasa dan Perdagangan 125.00 0.62 171.18 0.84
4. Industri 980.00 4.89 992.44 4.90
5.Kawasan Tertentu (Gandul,
Brimob, Depo KRL, Radar AURI) 227.00 1.13 227.31 1.12
B. Ruang Terbuka Hijau 11,389.00 56.86 8,346.70 41.18
1. Sawah Teknis & Non Teknis 1,313.00 6.56 917.47 4.53
2. Tegalan /Ladang 4,631.00 23.12 4,051.31 19.99
3. Kebun 3,131.00 15.63 2,062.64 10.18
4. Rumput/Tanah Kosong 1,635.00 8.16 522.79 2.58
5. Situ & Danau 119.00 0.59 163.85 0.81
6. Pariwisata dan Lap.Olahraga 311.00 1.55 379.04 1.87
7.Hutan Kota 7.00 0.03 7.20 0.04
8. Kawasan Tertentu (TVRI,RRI) 242.00 1.21 242.40 1.20
9. Luasan Lainnya 0.00
TOTAL 20,029.00 100.00 20,270.91 100.00
Sumber: * RTRW Kota Depok Tahun 2000-2010, 2001
** Identifikasi Pemanfaatan Ruang Kota Depok Tahun 2004
Perbedaan tersebut tampak pada luasan badan air sebagai berikut :
1. Sungai Ciliwung (dengan variasi lebar antara sungai 10-20 m)
2. Kali Pesanggrahan (dengan variasi lebar sungai antara 10-20 m) berbatasan
3. Sungai Cikeas (dengan variasi lebar sungai antara 10-20 m), berbatasan
langsung dengan Kabupaten Bogor.
4. Kali Angke (lebar rata-rata sungai 6 m) berbatasan langsung dengan
Kabupaten Bogor.
Seiring dengan perkembangan dan pembangunan wilayah di Kota Depok
dari tahun 2000 hingga tahun 2004 yang tumbuh dengan pesat maka pemanfaatan
sumber daya alam terutama lahan dan air menjadi sangat tinggi. Kondisi ini
kemudian memicu atas terjadinya alih fungsi pemanfaatan ruang seperti terlihat
dalam Tabel 2 dan Gambar 4 Perbandingan Perubahan pemanfaatan ruang di Kota
Depok Tahun 2000-2004.
Luasan penggunaan tanah sebagai kawasan terbangun mengacu kepada
RTRW Kota Depok Tahun 2000-2010 dinyatakan sebesar 8.640 ha atau sekitar
43,14 % dari luas Kota Depok . Dengan membandingkan kepada hasil
penghitungan terakhir pada bulan Desember tahun 2004 dimana luasan
penggunaan tanah sebagai kawasan terbangun telah mencapai 11.924,41 atau
sekitar 59,53 % dari luasan Kota Depok didapatkan pertambahan luas sekitar 16
%. Sehingga dapat diasumsikan terjadi pertambahan luasan kawasan terbangun
sebesar 4 % tiap tahunnya. Pertambahan jumlah luasan kawasan terbangun
berakibat terhadap pengurangan jumlah luasan ruang kawasan terbuka hijau/
ruang terbuka terhijau (RTH), hal ini diindikasikan dengan berkurangnya jumlah
RTH pada tahun 2000 dari 11.389 ha (56,86 %) menjadi 8.588,70 ha (40,69 %)
pada tahun 2004. Sehingga pengurangan kawasan terbuka hijau menjadi kawasan
terbangun dari tahun 2000 hingga 2004 mencapai luasan sekitar 16 % seperti
terlihat dalam Gambar 5.
Secara lebih jelas detil perubahan luasan pemanfaatan ruang dari Tahun
2000 hingga 2004 di Kota Depok dapat terlihat pada gambar 6. Pertambahan
luasan kawasan terbangun selama 4 tahun terakhir di dominasi oleh pemanfaatan
ruang untuk permukiman yang teratur (perumahan yang terencana) dan
permukiman tidak teratur sebesar 3.221 ha atau sekitar 16 % dari total luas Kota
Depok. Perubahan pemanfaatan ruang selama empat tahun hingga tahun 2004
pemanfaatan ruang dalam kategori kebun (1.068 ha atau 5,58 %), tegalan/ladang
(579 ha atau 3,37 %) dan lahan sawah (395,53 ha atau 2,08).
2000 2004
58.82
43.14 41.18
56.86
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
1 TAHUN 2
P
E
R
S
E
N
T
A
S
E
(
%
)
[image:42.612.111.502.111.605.2]KAWASAN TERBANGUN KAWASAN TERBUKA HIJAU
Distribusi pertambahan pemanfaatan ruang menjadi permukiman teratur dan
tidak teratur pada 9 (sembilan) Bagian Wilayah Kota di Kota Depok adalah
sebagai berikut:
1. BWK Tugu seluas 192,06 ha
2. BWK Mekarsari seluas 230,42 ha
3. BWK Sukatani seluas 455,24 ha
4. BWK Mekarjaya seluas 138,25 ha
5. BWK Jatijajar seluas 475,02 ha
6. BWK Sukmajaya seluas 428,32 ha
7. BWK Pancoran Mas seluas 398,85 ha
8. BWK Sawangan seluas 310,31 ha
9. BWK Bojongsari seluas 426,85 ha
Faktor penyebab (pressure) perbedaan eksisting penggunaan lahan/ pemanfaatan ruang dengan rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kota Depok
disebabkan oleh beberapa hal , antara lain ;.
1. Keterbatasan data base pemanfaatan ruang dan wilayah Kota Depok yang
paling akhir seperti foto udara dan foto penginderaan jarak jauh (ICONOS).
Hal ini menyebabkan proses perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian
pemanfaatan ruang di Kota Depok belum mencapai hasil yang maksimal.
2. Belum tersosialisasinya materi RTRW Kota Depok dengan baik kepada
seluruh stakeholder (pemerintahan, swasta dan masyarakat), terutama dalam konteks pemanfaatan ruang dan lahan untuk pembangunan yang
berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.
3. Tingkat kesadaran dan pemahaman masyarakat terhadap RTRW Kota
Depok masih perlu diupayakan untuk ditingkatkan
4. Perilaku yang tidak bertanggung jawab dari pelaku pembangunan dengan
maksud mengambil keuntungan pribadi dalam pemanfaatan ruang dan
lahan. Hal ini diindikasikan dengan adanya kegiatan pemanfaatan ruang
5. Penyalahgunaan Pemanfaatan kawasan konservasi seperti (sempadan sungai,
kali, situ) oleh masyarakat dan swasta (pelaku bisnis) sebagai kawasan
permukiman dan usaha.
6. Upaya pengendalian pemanfaatan ruang dan penegakkan hukum terhadap
pelaku pelanggaran pemanfaatan ruang masih perlu ditingkatkan di masa
depan.
Adanya Konflik kepentingan pemanfaatan ruang pada suatu lokasi tertentu,
sehingga menimbulkan ketidakserasian di dalam pemanfaatan lahan.
Rencana Penataan Ruang Bagian Wilayah Kota Beji
Permasalahan pengembangan yang ada di BWK Beji merupakan dasar
dalam proses penganalisisan dan perumusan rencana. Berikut ini merupakan isu
pokok yang berada dalam lingkup perencanaan BWK Beji yang harus
diselaraskan fungsinya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Isu-isu
pokok tersebut di antaranya :
1. Pemanfaatan lahan
Perkembangan komersil jasa Kota Depok terkonsentrasi dan berkembang di
sepanjang jalan Margonda. Namun belum ada pengaturan yang jelas untuk
pengalokasian fungsi kegiatan. Keadaan ini disebabkan adanya strata
ekonomi dualistik.
Gagasan penanganan diarahkan untuk mewujudkan dualistik ekonomi secara
berdampingan dan berkembang dalam ruang kota.
2. Fungsi dan Penggunaan Bangunan
Perkembangan yang ada cenderung terjadi pengkaplingan untuk tiap
penggunaan lahan. Keadaan ini akan menyebabkan sulitnya terbentuk blok
kegiatan yang padu.
Gagasan penataan diarahkan untuk membuat klarifikasi jenis kegiatan yang
memang tidak boleh berada di pusat kota serta bertentangan dengan kegiatan
Gambar
Dokumen terkait
Untuk medan gaya Coulomb, kuat medan listrik adalah vektor gaya Coulomb yang bekerja pada satu satuan.. muatan yang kita letakkan pada suatu titik dalam medan gaya ini,
Salon kecantikan rambut saat ini sangat digemari khususnya bagi orang perempuan yang lebih mengutamakan penampilan rambut agar terlihat menarik begitu pula dengan kaum laki-laki
Sebagai makhluk pribadi manusia dikaruniai kebebasan atas segala kehendak kemanusiaannya, hal inilah yang merupakan suatu kebebasan asasi yang merupakan karunia
Dibandingkan dengan atasan anda ( Kepala bagian akuntansi), Anda yang memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai hubungan input-output yang ada dalam operasi internal
Pertemuan terakhir yang dihadiri (pm11) File: hh_pm1 Overview Type: Discrete Format: numeric Width: 2 Decimals: 0 Range: 1-95 Valid cases: 1376 Invalid: 4306 Minimum: 1 Maximum:
Pemikiran komunisme Karal Marx sebagai pemikiran yang menciptakan gerakan sosial di Jerman karena, ke tidak adilan dan ketertindasan kaum buruh oleh kaum kapitalis menjadi inspirasi
Observasi dilakukan terhadap aktivitas siswa di dalam kelas. Pengamatan dan penilaian terhadap proses pembelajaran pada kegiatan belajar mengajar dengan penggunaan media
Iklan adalah sebuah produk yang dibuat untuk memenuhi kebutuhan pemasang iklan, karena itulah pengiklan memanfaatkan kekuatan pencitraan terhadap suatu produk atau gaya yang