i
IONISASI RADIODIAGNOSTIK BERULANG
MOKHAMAD FAKHRUL ULUM
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
i
IONISASI RADIODIAGNOSTIK BERULANG
OLEH
MOKHAMAD FAKHRUL ULUM
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
iii
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis “Studi In-vitro dan In-vivo Efek Radioprotektif Rosela (Hibiscus Sabdariffa Linn.) terhadap Radiasi Ionisasi Radiodiagnostik Berulang” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Tesis ini.
Bogor, Februari 2012
v
The purpose of this study is to determine the natural radioprotective effect of ethanolic extract of roselle (Hibiscus sabdariffa L.) through the vitro and in-vivo study of mice that were exposed by ionizing radiation from recurrent radiodiagnostic. In in-vitro study, splenic lymphocytes were cultured in different concentration of ethanolic extract of roselle. Splenic lymphocytes were divided in two groups; with radiation exposure and without radiation exposure. The numbers of lymphocyte were calculated at 1, 2 and 3 days after radiation of each group. In in-vivo study, mice supplemented with ethanolic extract of roselle dose 50 mg/kg body weight prior to radiation for 60 days and 30 days after recovery for clinical and pathological evaluation. Radiation from radiodiagnostic radiography exposure performs repeated every 2 days. Forty eight adult mice were divided in 4 groups; control (K), radiation (P), roselle (R) and roselle with radiation (RP). Clinical data were collected for live survival, body weight, and peripheral blood characteristic. Pathological data were collected for relative organ weight and histopathological finding of bone marrow and spleen at 4 and 8 weeks after radiation; 8 and 12 weeks after 30 days recovery. The in-vitro study clearly showed that roselle enhances the splenic lymphocyte proliferation and maintained amount of cells (p<0.05). The in-vivo study showed that roselle maintained peripheral blood characteristic (p<0.05), however did not affect the mice live survival and body weight (p>0.05). Pathological evaluation showed that relative organ weight, hematopoietic bone marrow cells, and white pulpa area of spleen were significant different between groups (p<0.05).
vii
Mokhamad Fakhrul Ulum. Studi In-vitro dan In-vivo Efek Radioprotektif Rosela (Hibiscus Sabdariffa Linn.) terhadap Radiasi Ionisasi Radiodiagnostik Berulang. Dibimbing oleh Deni Noviana dan Sri Estuningsih
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat proteksi bahan alam ekstrak etanol rosela (Hibiscus sabdariffa L.) secara in-vitro dan in-vivo terhadap paparan radiasi ionisasi radiodiagnostik berulang. Penelitian dilakukan dengan 2 tahap yaitu secara in-vitro pada kultur sel limfosit dari organ limpa mencit yang dilakukan splenectomy dan secara in-vivo pada hewan coba mencit.
Tanaman rosela (Hibiscus sabdariffa L.) diperoleh dari petani rosela di Dramaga, Bogor, Jawa Barat. Bunga dikeringkan dengan sinar matahari dan dihaluskan. Serbuk halus bunga rosela sebanyak 200 gram diekstrak dengan 96% etanol pada suhu 40⁰C melalui 2 tahap masing-masing 500 ml. Ekstrak dievaporasi hingga kering menjadi ekstrak dasar dan dikeringkan dengan freez drying hingga menjadi kristal. Proses ekstraksi dilakukan di Balitro, proses evaporasi dilakukan di Laboratorium Bioteknologi FPIK IPB dan uji fitokimia dilakukan di Biofarmaka IPB. Proses radiasi dosis rendah berulang diberikan dengan mesin Diagnostic X-Ray. Faktor paparan pada mesin x-ray menggunakan kVp 80, mAs 12 pada ±1 detik dengan dosis 0.2 mSv/paparan dan jarak sumber radiasi pada berkas sinar utama hingga dasar secara tegak lurus 100 cm. Dosis radiasi dimonitor dengan dosimeter digital pada setiap paparan.
Tahap in-vitro melalui kultur sel limfosit limpa mencit dengan konsentrasi rosela berbeda pada kelompok tanpa radiasi dan radiasi. Mencit dibius terlebih dahulu dengan kombinasi ketamin dosis 30 mg/kg berat badan dan xylazin dosis 5mg/kg berat badan secara intraperitoneal. Setelah terbius, secara aseptis dilakukan pengambilan limpa. Limpa diproses untuk diambil sel limfositnya dan selanjutnya diproses untuk dikultur pada media penumbuh. Jumlah sel limfosit diamati pada setiap dosis radiasi hari ke-1, 2 dan 3. Kultur sel limfosit dibagi dalam 4 kelompok sesuai konsentrasi ekstrak berbeda yaitu, 0 µg/ml, 25 µg/ml, 50 µg/ml dan 100 µg/ml dengan 6 ulangan pada masing-masing kelompok. Radiasi dilakukan dengan selang 12-24 jam sebagai waktu pemulihan sel dari radiasi. Jumlah sel dihitung setiap perlakuan dengan hemositometer pada mikroskop inverted.
pada konsentrasi bertingkat mulai konsentrasi 70% hingga absolut. Jaringan ditanam dalam blok parafin dan dipotong setebal 5µm dengan mikrotom untuk diwarnai dengan Hematoksilin-Eosin (HE). Data patologis diamati pada berat relatif organ, gambaran histopatologis sumsum tulang, limpa, lambung dan kolon minggu ke-4 dan 8 setelah radiasi; minggu ke-8 dan 12 setelah pemulihan.
ix
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah,
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
xi
IONISASI RADIODIAGNOSTIK BERULANG
OLEH
MOKHAMAD FAKHRUL ULUM
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister pada
Program Studi Ilmu Biomedis Hewan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
xiii
Judul penelitian : Studi In-vitro dan In-vivo Efek Radioprotektif Rosela (Hibiscus sabdariffa Linn.) terhadap Radiasi Ionisasi Radiodiagnostik Berulang
Nama : Mokhamad Fakhrul Ulum
NRP : B351090021
Mayor : Ilmu Bomedis Hewan (IBH) Strata : Magister Sains (S2)
Menyetujui Komisi Pembimbing
Drh. Deni Noviana, Ph.D Ketua
Dr. drh. Sri Estuningsih, MSi, APVet Anggota
Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Biomedis Hewan
Drh. H. Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr.
xv
Puji syukur alhamdulillah akhirnya penyusunan tugas akhir (thesis) dalam studi pascasarjana jenjang S2 mayor Ilmu Biomedis Hewan di IPB ini dapat diselesaikan. Thesis berjudul “Studi In-vitro dan In-vivo Efek Radioprotektif Rosela (Hibiscus sabdariffa Linn.) terhadap Radiasi Ionisasi Radiodiagnostik Berulang” dibawah bimbingan Drh. Deni Noviana, Ph.D dan Dr. drh. Sri Estuningsih, MSi, APVet dapat ditulis menjadi karya ilmiah. Penelitian ini dibiayai dari dana penelitian Hibah Bersaing DIKTI RI melalui LPPM IPB selama 2 tahun (2010-2011) secara berturut-turut yang penulis usulkan beserta dengan pembimbing dalam 1 tim penelitian. Penelitian tentang bahan herbal sebagai agen proteksi radiasi internal terhadap kerusakan pada jaringan normal akibat paparan radiasi ionisasi dilakukan secara in-vitro dan secara in-vivo. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian agen ekstrak etanol rosela baik secara in-vitro dan in-vivo dapat membantu sel-sel jaringan untuk berproliferasi dan memperbaiki diri dari kerusakan dan kematian akibat paparan radiasi berulang dari sarana radiodiagnostik.
Peneliti menyadari masih banyak kekurangan dalam proses penelitian dan penyusunan makalah ini, masukan, saran, dan kritikan yang membangun untuk kebaikan dan kesempurnaan dimasa yang akan datang dengan lapang dada akan diterima dengan sebaik-baiknya. Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk menambah khasanah ilmiah dan membawa kemaslahatan umat manusia. Harapan kedepan penelitian ini dapat dilanjutkan hingga dapat menjadi produk suplemen anti radiasi secara komersial untuk meningkatkan kesehatan manusia dan hewan.
xvii
Penulis dilahirkan di Lamongan pada 24 Oktober 1982 dari keluarga sederhana pasangan Zaenal Arifin dengan Zunanik Nur Arifah di Kabupaten Lamongan Jawa Timur. Penulis merupakan anak ke-2 dari 3 bersudara, dimana anak pertama sudah almarhum. Penulis sudah dikaruniai 2 (dua) orang anak Shofia Fakharany (putri) tahun 2009 dan Mokhamad Zaini Ilmi Ghozaly (putra) tahun 2010 dari pernikahannya dengan Tia Irmayanty Amalianingsih tahun 2008.
xix
DAFTAR TABEL ……….……….…….. xxi
DAFTAR GAMBAR ……….…….. xxiii
DAFTAR LAMPIRAN ……… xxvii
PENDAHULUAN ………...………. 1
Latar Belakang ……….. 1
Hipotesa ……… 3
Tujuan Penelitian ……….. 3
Manfaat Penelitian ……… 3
TINJAUAN PUSTAKA ………..………..………….. 4
Radiasi Sinar X ………. 4
Pembentukan Sinar X ………... 5
Interaksi Radiasi dengan Material ……… 6
Pemanfaatan Sinar X dalam Dunia Medis ……… 9
Efek Radiasi Ionisasi ……… 11
Dosis Radiasi ……… 16
Batas Dosis Radiasi Ionisasi ………. 19
Proteksi Radiasi Ionisasi ………... 20
Pengembangan Radioproteksi dari Bahan Alami ………. 23
Antioksidan ………... 32
Rosela (Hibiscus sabdariffa Linn.) ………... 35
Phyto Kimia ……….. 36
Pemanfaatan Rosela dalam Dunia Medis ………. 38
Kultur Jaringan ………. 38
Hewan Percobaan ………. 40
Sistem Hematopoetik ……… 41
Darah ……… 41
Sumsum Tulang ……… 43
Limpa ……… 45
BAHAN DAN METODE ………....………..……….. 47
Waktu dan Tempat Penelitian ………... 47
Bahan dan Alat ………. 47
Metode Penelitian ………. 48
Prosedur Penelitian In-vitro ……….. 49
Prosedur Penelitian In-vivo ………... 56
Uji Fitokimia Ekstrak Etanol Rosela ……… 64 Kultur Sel Limfosit ………... 65
Daya Hidup ………... 70
Berat Badan ……….. 71
Gambaran Karakteristik Darah Perifer ………. 73
Berat Organ ………... 84
Gambaran Histopatologi Sumsum Tulang ………... 95 Gambaran Histopatologi Organ Limpa………. 105 Mekanisme Radioproteksi Berbahan Herbal Alam ……….. 109
SIMPULAN DAN SARAN ……..………...…………..…….. 118
DAFTAR PUSTAKA ………...……… 119
xxi
1. Data berbagai jenis gelombang elektromagnetik ………... 5 2. Kontribusi terbesar pada dosis efektif kumulatif radiasi ionisasi dari
prosedur pencitraan radiologi ………. 10 3. Efek radiasi ionisasi berdasarkan waktu ……… 12 4. Jenis dosis dan rumus perhitungan ………. 17
5. Unit dosis radiasi ……… 17
6. Dosis efektif radiasi ionisasi dari pencitraan prosedur medis ………… 18 7. Tingkat paparan radiasi rendah, sedang dan tinggi pada annual dosis
efektif dari pencitraan prosedur medis di Arizona, Dallas, Orlando,
South Florida dan Wisconsin USA pada 1000 orang ………. 18 8. Kontribusi relatif pada tiap jaringan dan organ terhadap kemungkinan
terjadinya kanker dan kerusakan total ……… 19 9 Resiko kumulatif menurut NCRP dan ICRP pada batas paparan …….. 20 10 Tanaman yang memiliki efek radioproteksi ………... 24 11 Tanaman yang memiliki efek radioproteksi (lanjutan) ……….. 25 12 Tanaman yang memiliki efek radioproteksi (lanjutan) ……….. 26 13 Tanaman yang memiliki efek radioproteksi (lanjutan) ……….. 27 14 Efek radioprotektif formulasi beberapa bahan herbal alam …………... 28 15 Efek radioprotektif formulasi beberapa bahan herbal alam (lanjutan) ... 29 16 Efek radioprotektif komponen bahan alam dan semi-alam ……… 30 17 Efek radioprotektif komponen bahan alam dan semi-alam (lanjutan) .. 31 18 Efek radioprotektif komponen bahan alam dan semi-alam (lanjutan) .. 32 19 Komponen senyawa fenolik utama pada tanaman ………. 33 20 Kandungan senyawa kimia dalam bunga rosela ……… 36 21 Kandungan gizi bunga rosela segar per 100 gram ………. 37 22 Aktifitas antioksidant rosela (Hibiscus sabdariffa L.) dengan media
ekstraksi berbeda ……… 37
23 Uji fitokimia ekstrak etanol Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) ………… 64 24 Pengaruh pemberian radioprotektif Rosela (Hibiscus sabdariffa L.)
konsentrasi berbeda pada media penumbuh kultur sel limfosit dengan
radiasi berbeda .……….. 68
25 Pengaruh pemberian radioprotektif rosela (Hibiscus sabdariffa L.) pada daya hidup mencit dengan kumulasi dosis radiasi berbeda dan
setelah masa pemulihan selama 30 hari ……… 70 26 Pengaruh pemberian radioprotektif rosela (Hibiscus sabdariffa L.)
pada berat badan mencit dengan kumulasi dosis radiasi berbeda dan
setelah masa pemulihan selama 30 hari ………….……… 71
27 Pengaruh pemberian radioprotektif rosela (Hibiscus sabdariffa L.) pada jumlah leukosit, persentase premature leukosit, agranulosit dan granulosit mencit dengan kumulasi dosis radiasi berbeda dan setelah
29 Pengaruh pemberian radioprotektif rosela (Hibiscus sabdariffa L.) pada karakteristik sel darah merah mencit dengan kumulasi dosis
radiasi berbeda dan setelah masa pemulihan selama 30 hari ………... 81 30 Pengaruh pemberian radioprotektif Rosela (Hibiscus sabdariffa L.)
pada sel darah tepi mencit dengan kumulasi dosis radiasi berbeda dan
setelah pemulihan selama 30 hari ... 83 31 Pengaruh pemberian radioprotektif rosela (Hibiscus sabdariffa L.)
pada berat relatif organ sistem pencernaan mencit dengan kumulasi
dosis radiasi berbeda dan setelah masa pemulihan selama 30 hari .….. 85 32 Pengaruh pemberian radioprotektif rosela (Hibiscus sabdariffa L.)
pada berat relatif organ sistem sirkulasi mencit dengan kumulasi dosis radiasi berbeda dan setelah pemulihan selama 30 hari ..……… 87 33 Pengaruh pemberian radioprotektif rosela (Hibiscus sabdariffa L.)
pada berat relatif organ sistem urogenital mencit dengan kumulasi
dosis radiasi berbeda dan setelah pemulihan selama 30 hari ………… 90 34 Pengaruh pemberian radioprotektif rosela (Hibiscus sabdariffa L.)
pada berat relatif organ hati dan limpa mencit dengan kumulasi dosis
radiasi berbeda dan setelah pemulihan selama 30 hari ……….. 92 35 Pengaruh pemberian radioprotektif Rosela (Hibiscus sabdariffa L.)
pada berat relatif organ* mencit dengan kumulasi dosis radiasi
berbeda dan setelah pemulihan selama 30 hari ... 94 36 Pengaruh pemberian radioprotektif rosela (Hibiscus sabdariffa L.)
pada perubahan morfologi sumsum tulang mencit dengan kumulasi
dosis radiasi berbeda dan setelah pemulihan selama 30 hari ..………... 96 37 Pengaruh pemberian radioprotektif Rosela (Hibiscus sabdariffa L.)
pada jumlah sel-sel penyusun sumsum tulang mencit dengan kumulasi dosis radiasi berbeda dan setelah pemulihan selama 30 hari ….……… 97 38 Pengaruh pemberian radioprotektif Rosela (Hibiscus sabdariffa L.)
pada ukuran dan persentase area sumsum tulang mencit dengan
kumulasi dosis radiasi berbeda dan setelah pemulihan selama 30 hari.. 101 39 Pengaruh pemberian radioprotektif Rosela (Hibiscus sabdariffa L.)
pada jumlah sel-sel penyusun sumsum tulang mencit dengan kumulasi dosis radiasi berbeda dan setelah pemulihan selama 30 hari... 104 40 Pengaruh pemberian radioprotektif rosela (Hibiscus sabdariffa L.)
pada perubahan morfologi luasan pulpa limpa mencit dengan
xxiii
1. Berbagai jenis radiasi dalam kemampuannya dalam melewati atau
menembus material ……….. 4
2. Gelombang elektromagnetik dengan frekuensi (Hz) dan panjang (m)
yang berbeda ……… 5
3. Proses pembentukan sinar-X ……… 6 4. Interaksi sinar-X dengan material ………..…….. 7 5. Interaksi sinar-X dengan material yang dipapar ……….. 8 6. Proses terjadinya fotodisintregasi ………. 9 7. Jalur penetrasi sinar-X dalam material ………. 12 8. Proses radiolitik pada air dimana terlihat perkembangan secara kimiawi
elektron dengan energy 4-keV pada lintasan media ………. 13 9. Skematis kemungkinan yang terjadi pada jaringan atau sel yang
terpapar radiasi ionisasi………. 15 10. Respon jaringan dan organ terhadap radiasi ionisasi ………... 16 11. Efek yang ditimbulkan oleh radiasi ionisasi pada jaringan ……..……… 21 12. Berbagai unit pelindung radiasi eksternal berlapis Pb dan unit
monitoring radiasi individu ……….. 23 13. Struktur antioksidan ………. 33 14. Struktur dasar flavonoids (C6-C3-C6) dan sistem penomoran atom
karbon pada struktur intinya ………. 34 15. Tanaman rosela (Hibiscus sabdariffa L.) ………. 35 16. Bidang-bidang aplikasi metode kultur sel/jaringan... 39 17. Mencit laboratorium strain ddy ……… 40 18. Perkiraan jumlah darah normal mamalia ………. 42 19. Komponen darah perifer ……….. 43
20. Sumsum tulang ………. 44
21. Histopatologi sumsum tulang dengan pewarnaan Hematoxyline-Eosine. 44 22. Posisi organ limpa dalam rongga abdomen ………. 45 23. Histopatologi limpa dengan pewarnaan Hematoxyline-Eosine (HE) ….. 46
24. Media kultur ………. 49
25 Bahan untuk formulasi media penumbuh ……… 50 26 Prosedur splenectomy pada mencit ……….. 51 27 Preparasi sel limfosit dari limpa mencit ………... 52 28 Skematis proses preparasi sel limfosit dari limpa mencit ……… 52 29 Bagan pembuatan media penumbuh dengan konsentrasi ekstrak rosela
berbeda ………. 53
30 Posisi pengaturan kelompok konsentrasi dan ulangan perlakuan pada
tissue culture plate ………...……… 54 31 Proses paparan radiasi radiodiagnosti sinar-X ………. 55 32 Proses perhitungan sel limfosit pada setiap kelompok perlakuan ……… 56 33 Proses pencekokan / suplementasi ekstrak etanol rosela dan NaCl
fisiologis 0.9%... 57 34 Proses radiasi ionisasi radiodiagnostik pada mencit penelitian ………... 58 35 Pengambilan data klinis dan histopatologis……….. 58
39 Organ dalam larutan BNF 10%... 61 40 Proses embedding sampel organ dalam paraffin ………. 62 41 Proses pemotongan blok parafin dan pewarnaan ………. 62 42 Perangkat elektronik untuk pengolahan foto histopatologi ………. 63 43 Pengamatan mikroskopis secara kasar suspensi sel limfosit pada media
kultur ……… 65
44 Pengamatan sel limfosit pada tissue culture plate hari ke-1 total radiasi
0.2 mSv……….. 65
45 Pengamatan sel limfosit pada tissue culture plate hari ke-2 total radiasi
0.6 mSv……….. 66
46 Pengamatan sel limfosit pada tissue culture plate hari ke-3 total radiasi
1.2 mSv……….. 67
47 Pengaruh pemberian ekstrak etanol rosela (Hibiscus sabdariffa L.) pada media penumbuh kultur sel limfosit dengan konsentrasi berbeda ……... 69 48 Pengaruh pemberian ekstrak etanol rosela (Hibiscus sabdariffa L.) pada
media penumbuh kultur sel limfosit dengan konsentrasi berbeda tanpa
radiasi dan dengan radiasi ……… 69 49 Pengaruh pemberian ekstrak rosela (Hibiscus sabdariffa L.) terhadap
Berat Badan (BB) mencit yang diradiasi 60 hari berselang seluruh
tubuh dan setelah masa pemulihan selama 30 hari ……….. 72 50 Pengaruh pemberian ekstrak rosela (Hibiscus sabdariffa L.) terhadap
karakteristik sel darah putih mencit yang diradiasi 60 hari berselang
seluruh tubuh dan setelah masa pemulihan selama 30 hari ………. 76 51 Pengaruh pemberian ekstrak rosela (Hibiscus sabdariffa L.)
karakteristik trombosit mencit yang diradiasi 60 hari berselang seluruh
tubuh dan setelah masa pemulihan selama 30 hari ……….. 79 52 Pengaruh pemberian ekstrak rosela (Hibiscus sabdariffa L.) terhadap
parameter sel darah merah mencit yang diradiasi 60 hari berselang
seluruh tubuh dan setelah masa pemulihan selama 30 hari……….. 82 53 Pengaruh pemberian ekstrak rosela (Hibiscus sabdariffa L.) selama
radiasi ionisasi berulang dan 30 hari masa pemulihan terhadap Berat
Relatif (BR) sistem pencernaan mencit ……… 86 54 Pengaruh pemberian ekstrak rosela (Hibiscus sabdariffa L.) selama
radiasi ionisasi berulang dan 30 hari masa pemulihan terhadap Berat
Relatif (BR) sistem sirkulasi mencit ……… 88 55 Pengaruh pemberian ekstrak rosela (Hibiscus sabdariffa L.) selama
radiasi ionisasi berulang dan 30 hari masa pemulihan terhadap Berat
Relatif (BR) sistem urogenitalis mencit……… 91 56 Pengaruh pemberian ekstrak rosela (Hibiscus sabdariffa L.) selama
radiasi ionisasi berulang dan 30 hari masa pemulihan terhadap Berat
Relatif (BR) organ hati dan limpa mencit. ………... 93 57 Histopatologi sumsum tulang mencit setelah perlakuan dengan total
paparan radiasi diagnostik 2.9 mSv ……….. 98 58 Histopatologi sumsum tulang mencit setelah perlakuan dengan total
xxv
radiasi ionisasi berulang dan 30 hari masa pemulihan terhadap sumsum
tulang mencit ……… 99
60 Pengaruh pemberian ekstrak rosela (Hibiscus sabdariffa L.) selama radiasi ionisasi berulang dan 30 hari masa pemulihan terhadap sumsum tulang mencit ……… 101 61 Pengaruh pemberian ekstrak rosela (Hibiscus sabdariffa L.) selama
radiasi ionisasi berulang dan 30 hari masa pemulihan terhadap limpa
mencit ……….……….. 107 62 Histopatologi limpa mencit setelah perlakuan dengan total paparan
radiasi diagnostik 2.9 mSv ……….……….………. 108 63 Histopatologi limpa mencit setelah perlakuan dengan total paparan
radiasi diagnostik 5.3 mSv ……….……….. 109 64 Tahapan kejadian yang mengikuti paparan radiasi ……….. 110 65 Mekanisme kerusakan secara langsung dan tidak langsung oleh radiasi
ionisasi pada jaringan……… 111 66 Mekanisme kerja herbal sebagai bahan radioprotektif. X, pemutusan
rantai oleh antioksidan alami dari tanaman atau herbal……… 114 67 Mekanisme radioprotektif antioksidan. X, pemutusan rantai oleh
antioksidan alami dari tanaman atau herbal……….. 114 68 Mekanisme radioprotektif tanaman herbal terhadap radiasi ionisasi …... 115 69 Perbandingan struktur antioksidan yang larut lemak (lipofilik) dan larut
xxvii
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sejak ditemukan sinar-x oleh Wilhelm Conrad Röntgen tahun 1895 dan
radioaktif oleh Hendry Becquerel tahun 1896, bidang radiologi dunia medis
berkembang dengan pesat melalui radiodiagnostik maupun radioterapi. Berbagai
penyakit dan kelainan organ dapat cepat terdeteksi melalui radiodiagnostik dan
dilakukan terapi melalui radioterapi. Efek negatif dari kemudahan ini ternyata
menyebabkan kerusakan pada jaringan karena adanya pengaruh radiasi ionisasi
(McCurnin & Bassert 2006). Pengaruh yang sangat besar akan tampak pada
jaringan yang sangat aktif membelah seperti usus dan sumsum tulang, sebaliknya
pada jaringan yang tidak aktf membelah seperti otot dan tulang akan
memperlihatkan sedikit pengaruhnya (Thrall 2002).
Sinar-X dapat menyebabkan kerusakan yang terjadi secara langsung disebut
dengan deterministic effect dan tertunda untuk kurun waktu tertentu berupa
stochastick effect. Kerusakan oleh radiasi ionisasi akan menyebabkan terjadinya
apoptosis pada sel. Berbagai kerusakan yang disebabkan oleh radiasi dapat terlihat
diantaranya pada kromosom (Mozdarani et al. 2002), DNA (Reynolds & Schecker
1995), sel darah putih perifer (Rask et al. 2008), yang menyebabkan leukemia
(Szkanderova et al. 2003), eritema pada kulit hingga nekrosa (Gerber et al. 2007),
pertumbuhan tumor (Reynolds & Schecker 1995; Thrall 2002), katarak
(Yoshinaga et al. 2005) serta kelainan genetik yang nantinya akan diwariskan
(Wright & Coates 2006).
Lembaga tenaga nuklir dunia IAEA (International Atomic Energy Agency)
dan lembaga proteksi radiasi dunia ICRP (International Commission on
Radiological Protection) memberikan rekomendasi dan pengawasan dalam
penggunaan energi radiasi karena efek samping radiasi ionisasi (IAEA 2002;
ICRP 2007). Penggunaan sarana radiasi ionisasi di Indonesia diawasi oleh Badan
Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) (Ulum & Noviana 2008). Berdasarkan PP
No. 33 tahun 2007 tentang keselamatan radiasi pengion dan keamanan sumber
radioaktif mengatur tentang perlindungan fisik terhadap radiasi eksternal antara
apron, pelindung tiroid, dan kaca mata berlapis Pb. Dinding ruang radiasi juga
harus dilapisi Pb dengan ketebalan minimal 2.7 mm untuk menyerap radiasi agar
tidak menembus keluar ruangan.
Perlindungan secara biologis terhadap radiasi ionisasi internal yang
merupakan efek negatif dari radiofarmakologi maupun radioterapi juga menjadi
permasalahan tersendiri. Efek samping yang terjadi secara internal tidak dapat
diatasi dengan memberikan perlindungan fisik berlapis Pb. Perlindungan biologis
secara internal juga diberikan untuk melindungi pasien terhadap efek samping ini.
Penelitian tentang perlindungan biologis internal sebagai radioprotektif berbahan
tanaman dan herbal sudah banyak dilaporkan (Jagetia 2007). Berbagai laporan
penelitian radioprotektif berbahan tanaman dan herbal seperti halnya sprulina
(Zhang et al. 2001), ginseng (Lee et al. 2010), dan mint (Baliga & Rao 2010).
Tanaman rosela (Hibiscus sabdariffa L.) merupakan tamanan tropis dan di
Indonesia dikenal dengan sebutan Rosela. Masyarakat biasa menggunakan bunga
rosela sebagai teh merah sebagai pelepas dahaga dan dipercaya memiliki khasiat
sebagai bahan obat. Laporan penelitian tentang manfaat Rosela sebagai
hepatoprotektif (Wang et al. 2000), anti hipertensi (Mozaffari-Khosravi et al.
2009), pengobatan infeksi saluran perkemihan (Olaleye 2007), antipiretik
(Reanmongkol & Itharat 2007).
Bunga rosela mengandung alkaloid, citric acid, anthocyanin, l-ascorbic
acid, dan flavonoid (Hirunpanich et al. 2005). Kandungan vitamin C pada bunga
rosela varietas merah sebesar 32.14 mg/100g sedangkan varietas hijau sebesar
27.5 mg/100g (Ogunlesi et al. 2010). Vitamin C memiliki aktifitas sebagai
antioksidan dalam menetralkan kerusakan oleh radiasi (Noviana et al. 2010b).
Antioksidan yang dikandung bunga rosela dapat menetralkan radikal bebas dalam
tubuh (Kijparkorn et al. 2009; Hirunpanich et al. 2005). Potensi antioksidan
dalam tanaman rosela menjadi bahan aktif yang bermanfaat sebagai bahan
radioprotektif sehingga perlu untuk dilakukan penelitian. Penelitian tentang
potensi radioprotektif tanaman rosela (Hibiscus sabdariffa L.) dalam radiasi
ionisasi radiodiagnostik berulang secara vitro pada kultur sel limfosit dan
Hipotesa
1. Tidak ada efek proteksi oleh pemberian suplemen ekstrak rosela (Hibiscus
sabdariffa Linn) terhadap radiasi ionisasi radiodiagnostik.
2. Ada efek proteksi oleh pemberian suplemen ekstrak rosela (Hibiscus
sabdariffa Linn) terhadap radiasi ionisasi radiodiagnostik.
Tujuan Penelitian
Mengetahui efek radioprotektif tanaman rosela (Hibiscus sabdariffa L.)
secara in-vitro terhadap kultur sel limfosit dan secara in-vivo pada daya hidup,
berat badan, gambaran profil sel darah perifer, berat relatif organ, sumsum tulang,
limpa mencit yang di radiasi dengan sarana radiodiagnostik secara berulang.
Manfaat Penelitian
1. Memberikan informasi tambahan tentang manfaat rosela sebagai herbal
radioproteksi dalam dunia medis.
2. Suplemen anti radiasi (radioprotektif) berbahan rosela yang nantinya dapat
TINJAUAN PUSTAKA
Radiasi Sinar-X
Radiasi adalah pemancaran/pengeluaran dan perambatan energi menembus
ruang atau sebuah substansi dalam bentuk gelombang atau partikel. Partikel
radiasi terdiri dari atom atau sub-atom dimana mempunyai massa dan bergerak,
menyebar dengan kecepatan tinggi menggunakan energi kinetik (Gambar 1).
Beberapa contoh dari partikel radiasi adalah elektron, beta, alpha, photon &
neutron (Anonimous 2011a).
Gambar 1 Berbagai jenis radiasi dalam kemampuannya dalam melewati atau menembus material. Sumber: Anonimous 2011b.
Radiasi merupakan proses dimana energi bergerak melalui media atau
ruang. Berdasarkan kemampuan dalam ionisasi, radiasi terbagi dalam dua jenis,
yaitu radiasi ionisasi dan radiasi non-ionisasi. Radiasi ionisasi didefinisikan
sebagai suatu radiasi yang memiliki energi yang cukup untuk memindahkan
elektron dari molekulnya serta mampu merusak ikatan kimia. Radiasi ionisasi
merupakan radiasi elektromagnetik berupa sinar-x dan sinar- atau partikel
sub-atom berupa proton, neutron, dan partikel- (NRC 2006).
Sinar-x merupakan sinar tidak tampak yang pertama kali ditemukan oleh
Wilhelm Conrad Röntgen tahun 1895 dan disebut dengan sinar Röntgen. Radiasi
ionisasi sinar-x termasuk dalam golongan radiasi elektromagnetik. Panjang sinar-x
10-0.01 nm, frekuensi 30 petahertz - 30 exahertz (30 × 1015 Hz to 30 × 1018 Hz)
dan memiliki energi 120 eV - 120 keV (Tabel 1). Gelombang ini lebih pendek dari
Tabel 1 Data berbagai jenis gelombang elektromagnetik*
Band Panjang
Gelombang Frekuensi (Hz) Suhu (K) Energi Quantum (eV)
Radio 600 m - 0.187 m 30 - 1.6x106 2x10-9 - 0.6x10-5
Microwave 187 mm - 1 mm 1 - 300 106 0.6x10-5 - 0.1x10-2
Sub-millimeter 539 - 616 µm 487 - 556x106 2.0x10-3 - 2.3x10-3
Far Infrared 40 - 350 µm 300x106 - 30x1012 11.6 - 140 3.1x10-2 - 0.35x10-2
Mid Infrared 5 - 40 µm 30 - 120x1012 140 - 740 3.1x10-2 - 2.5x10-1
Near Infrared 1 - 5 µm 120 - 440x1012 740 - 3,000 2.5x10-1 - 1.2
Optical 380 - 780 nm 400 - 790x1012 1.59 - 3.3
Ultraviolet 10 - 400 nm 750x1012 - 30x1015 3.1 – 124
X-ray 10 - 0.01 nm 30x1015 - 100x1018 106 - 108 124 - 1.24x105
Gamma-ray 0.01 - 0.000006 nm 100x1018 - 3,862x1021 1.24x105 - 2.07x108
"Cosmic-ray" 10 - 0.000006 nm 30x1015 - 3,862x1021 124 - 2.07x108
*Sumber: Wallace 2009
Gambar 2 Gelombang elektromagnetik dengan frekuensi (Hz) dan panjang (m) yang berbeda. Sumber: Anonimous 2011c.
Pembentukan Sinar-X
Sinar-X dibentuk dalam tabung (chamber) Rontgen hampa udara.
Kumparan anoda molybdenum memijar saat dialiri dengan arus listrik dan
terbentuk awan elektron. Selanjutnya diberikan tegangan berbeda antara anoda
dengan katoda. Perbedaan tegangan menggerakkan elektron-elektron dengan
kecepatan tinggi dari katoda ke anoda. Tumbukan elektron pada anoda yang
terbuat dari tungsten carbide akan menghasilkan 99% energi panas dan 1% yang
akan menjadi sinar-X. Semakin tinggi nomor atom katoda maka makin tinggi
kecepatan elektron, sehingga semakin besar daya tembus sinar-X yang terjadi.
Sinar-X yang terbentuk pada tegangan 100 kV kurang dari 1% dan sebagian besar
berubah menjadi panas. Panas pada tabung dapat didinginkan dengan minyak
karakteristik dan sinar-X Bremsstrahlung (Thrall 2002; Seibert & Boone 2005;
Anonimous 2011).
Sinar-X karakteristik dan Bremsstrahlung terbentuk secara bersamaan saat
elektron menumbuk anoda. Sifat sinar-X karakteristik bersifat diskret
(terputus-putus) dengan panjang gelombang tergantung dari bahan atau material pada anoda
(Gambar 3B). Sinar-X karakteristik tidak bernilai diagnostik dan biasanya tidak
keluar dari mesin sumber sinar-X karena tersaring oleh lempeng alumunium
(Gambar 3A). Sinar-X Bremsstrahlung bersifat kontinyu (tidak terputus) dan
dapat melewati filter alumunium sehingga memiliki nilai diagnostik (Faddegon et
al. 2008).
Gambar 3 Proses pembentukan sinar-X. A. Skematis proses terbentuknya sinar-X, B. Jenis sinar-X yang terbentuk berdasarkan intensitas dan panjang gelombangnya. Sumber: Anonimous 2011d.
Sinar-x dan - sedikit menyebabkan ionisasi karena menghasilkan elektron
bergerak cepat sehingga hanya sedikit ionisasi yang terjadi saat melalui sebuah
sel. Dengan demikian dalam penggolongan linear energy transfer (LET), sinar-x
dan - termasuk dalam golongan radiasi LET-rendah (low-LET radiation).
Sebaliknya, partikel dengan ukuran yang lebih besar menyebabkan ionisasi yang
lebih besar saat melalui sel sehingga digolongkan dalam radiasi LET-tinggi
(high-LET radiation) (NRC 2006).
Interaksi Radiasi dengan Material
Interaksi radiasi (foton) dengan material yang dilewati menghasilkan
beberapa interaksi berupa pembelokan, penyerapan dan diteruskan keluar dari
(1) coherent scattering, (2) photo electric, (3) Compton scattering, (4) pair
production, (5) photo-disintegration (Thrall 2002; Seibert & Boone 2005).
Gambar 4 Interaksi sinar-X dengan material. A. Kemungkinan perjalanan sinar-X dalam pencitraan. B. Interaksi sinar-X dengan material. Sumber: Seibert & Boone 2005.
Coherent scattering. Coherent scattering terjadi pada foton saat terkena
objek atau material, terjadi perubahan sudut tetapi tidak mengalami perubahan
energi baik penyerapan maupun penambahan (Gambar 5A). Kejadian ini sangat
kecil sekitar 5% pada sinar-x pada pasien yang dipapar radiasi baik untuk
radiodiagnostik maupun radioterapi (Thrall 2002; Seibert & Boone 2005).
Photoelectric effect. Photoelectric effect terjadi pada saat semua energi
foton diserap oleh material dan menyebabkan elektron lintasan dalam berpindah
atau lepas dari lintasannya menghasilkan fotoelektron bebas. Fotoelektron bebas
yang terlepas akan digantikan oleh elektron dari kulit luar dalam struktur atom.
Perbedaan jumlah energi dari elektron yang menggantikan akan diimbangi dengan
melepaskan energi berupa foton karakteristik yang memiliki energi lebih rendah
dari foton asalnya (Gambar 5C). Foton karakteristik dan fotoelektron bebas akan
menyebabkan peningkatan jumlah dosis serap radiasi pada pasien. Foton
karakteristik dan fotoelektron bebas akan mengakibatkan ionisasi pada jaringan
yang terpapar. Kejadian ini menyebabkan kerusakan struktur atom menjadi tidak
stabil. Jaringan yang terpapar akan menjadi terionisasi oleh proses ini (Thrall
Gambar 5 Interaksi sinar-X dengan material yang dipapar. A. Rayleigh scatter atau
Coherent scattering, B. Compton effect, C. Photoelectric effect, Compton
scatter dan Pairproduction. Sumber: MPCN 1995.
Compton scattering. Compton scattering terjadi pada saat foton berinteraksi
dengan elektron pada lapisan terluar struktur atom. Elektron akan terlepas (recoil
electron) karena tumbukan oleh foton disertai dengan pembelokan arah foton.
Foton yang dibelokkan mengalami penurunan energi karena tumbukan (Gambar
5B). Foton berenergi lebih rendah dan elektron recoil yang terlepas akan
menyebabkan tumbukan pada atom lainnya. Atom pada kejadian ini akan menjadi
tidak stabil karena ionisasi dan menyebabkan peningkatan jumlah dosis serap
radiasi pada pasien (Thrall 2002; Seibert & Boone 2005).
Pair production. Pair production terjadi pada saat foton berenergi tinggi
melalui atom dan energi yang dimiliki cukup untuk mengeluarkan inti atom dari
struktur atom menjadi pasangan elektron dan positron (Gambar 5C). Struktur
atom akan langsung rusak saat kehilangan inti atomnya. Begitu juga dalam
jaringan yang dilalui foton berenergi tinggi ini akan langsung mengalami
Gambar 6 Proses terjadinya fotodisintregasi. Sumber: Anonimous 2001e.
Photodisintegration atau disebut juga dengan phototransmutation
merupakan proses fisika yang terjadi saat foton berenergi tinggi (Gambar 6)
berinteraksi dengan inti atom dan menyebabkan eksitasi dan hancur hingga
terbentuk partikel sub-atom. Komponen inti atom sperti proton dan neutron akan
keluar atau terlepas dari inti dan keluar dari struktur atom (Seibert & Boone 2005;
Encyclopædia Britannica 2011).
Pemanfaatan Sinar-X dalam Dunia Medis
Energi radiasi sudah dimanfaatkan sebagai sarana radiodiagnostik sekaligus
juga sebagai radioterapi. Ahli radiologi memanfaatkan sinar-X berupa gambaran
diagnostik untuk mendeteksi berbagai kelainan baik pada jaringan lunak maupun
jaringan keras seperti tulang. Dalam dunia kedokteran hewan, sinar-x ini mulai
dimanfaatkan sejak tahun 1970 (Thrall 2002; McCurnin & Bassert 2006). Thomas
Edison kemudian mengembangkan alat fluoroskopi sebagai sarana
radiodiagnostik pada tahun 1896 (NRC 2006).
Hendry Baquerel tahun 1896 menemukan radioaktivitas atau disebut
radioaktif yang menghitamkan film berupa kabut (fog) saat diletakkan berdekatan
dengan Uranium. Marrie dan Piere Currie selanjutnya memurnikan unsur
Uranium ini pada tahun 1898 (NRC 2006). Radioaktifitas selanjutnya
dimanfaatkan secara medis untuk terapi radiasi pada pasien yang menderita
Pencitraan radiologi pada dunia medis di Amerika (USA, United State of
Amerika) meliputi wilayah Arizona, Dallas, Orlando, South Florida dan
Wisconsin sebagaimana dalam Tabel 2. Dosis efektif pada paparan radiasi ionisasi
dalam pencitraan radiologi memberikan kontribusi dosis efektif yang cukup besar
mulai 0.02 - 15.6 mSv dengan persentase 0.6-22.1% (Fazel et al. 2009)
Tabel 2 Kontribusi terbesar pada dosis efektif kumulatif radiasi ionisasi dari prosedur pencitraan radiologi*
No Prosedur Pencitraan Radiologi
Rata-rata
8 CT angiografi regio thorak (noncoronary) 15.00 0.08 3.1 9 Serial saluran cerna bagian atas 6.00 0.06 2.4
10 CT regio kepala atau otak 2.00 0.05 2.0
11 Intervensi koronari perkutan 15.00 0.04 1.8 12 Pencitraan tulang secara nuklir 6.30 0.04 1.4
18 Intravenous urography 3.00 0.01 0.6
19 CT regio leher 3.00 0.01 0.6
20 Cardiac resting ventriculography 7.80 0.01 0.6
*Sumber: Mettler et al. (2008) dalam Fazel et al. (2009)
Terapi radiasi atau disebut radioterapi telah digunakan lebih dari 100 tahun.
Pertamakali sinar-X dimanfaatkan sebagai terapi radiasi untuk kanker dilakukan
oleh Emil Grube (AAAS 1957). Radioterapi merupakan metode yang digunakan
untuk mengkontrol keganasan dan memperpanjang harapan hidup pasien yang
menderita kanker. Radioterapi merupakan metode yang cukup handal dalam terapi
kanker. Manfaat yang cukup besar ini disertai dengan efek samping dengan
derajat yang bervariasi. Terapi sitotoksik dalam melawan kanker dapat
menyebabkan kerusakan pada jaringan normal yang berada disekitar kanker saat
Efek Radiasi Ionisasi
Akhir Desember 1895 dan awal Januari 1896 Dr Otto Walkhoff seorang
dokter gigi Jerman adalah orang pertama yang menggunakan sinar-X pada foto
gigi premolar bawah dengan waktu penyinaran 25 menit, selanjutnya seorang ahli
fisika Walter Koenig menjadikan waktu penyinaran 9 menit dan sekarang waktu
penyinaran menjadi 1/10 second atau sekitar 6 impulses (Anonimous 2011a).
William Rollins adalah orang yang mengerjakan intraoral radiograf pada
tahun 1896 mengalami cedera disebabkan efek pekerjaan dimana kulit tangannya
terbakar. Karena kejadian inilah beliau merekomendasikan untuk memakai
tabir/pelindung baik pada tabung, pada pasien maupun radiografer. Korban lain
adalah dr Max Hermann Knoch (dr Knoch) orang Belanda yang bekerja sebagai
ahli radiologi di Indonesia. Ia bekerja tanpa menggunakan pelindung saat
mengoperasikan mesin sinar-X. Dr Knoch menderita kelainan cukup berat tahun
1904 berupa luka yang tak kunjung sembuh pada kedua belah tangannya. Lama
kelamaan tangan kiri dan kanan jadi nekrosis kemudian diamputasi dan akhirnya
meninggal karena sudah metastase ke paru (Anonimous 2011a). Selain itu juga,
asisten penelitian Thomas Alfa Edison, Mr Dally menderita penyakit degeneratif
pada kulit yang berkembang menjadi karsinoma (NRC 2006).
Perangkat radiologi dengan sumber energi radiasi ionisasi ini baik dalam
radiodiagnostik maupun radioterapi mempunyai efek samping terhadap sel normal
(Bentzen et al. 2003). Jumlah radiasi ionisasi terendah yang mampu menginisiasi
terbentuknya kanker adalah 50 mSv (Thrall 2002). Sinar-x membentuk radikal
bebas secara tidak langsung akan menghilangkan elektron atom dari jaringan yang
terpapar. Elektron bebas yang terbentuk oleh proses ionisasi keluar dan
menyebabkan kerusakan sel yang dilewatinya (NRC 2006). Jalur yang dilewati
sinar-x pada jaringan membentuk kluster cukup banyak sehingga kerusakan yang
terjadi juga cukup banyak. Sinar-x dengan dosis energi 1 Sv dapat membentuk
Gambar 7 Jalur penetrasi sinar-X dalam material. A. Jalur primer dan sekunder yang dilewati oleh elektron menyebabkan terbentuknya kluster ionisasi. Pengukuran jalur lintasan elektron dilakukan pada nukleus berukuran 8µm, terlihat pembesaran arah lintasan terhadap nukleus. B. Proses kerusakan yang disebabkan oleh kluster jalur elektron. Tanda panah menunjukkan kerusakan area molekul DNA yang dilewati jalur kluster (NRC 2006).
Kerusakan yang disebabkan oleh radiasi ionisasi dapat terjadi secara
langsung (direct effect) dan secara tidak langsung (in-direct effect) pada sel yang
terpapar. Kerusakan yang terjadi secara langsung disebabkan oleh radiasi ionisasi
sendiri, sedangkan kerusakan secara tidak langsung disebabkan oleh radikal bebas
yang terbentuk oleh ionisasi (Turner 2007).
Tabel 3 Efek radiasi ionisasi berdasarkan waktu*
Waktu Kejadian Tingkat Fisik
≤ 10-15 detik Terbentuk H2O+, H2O* dan elektron-elektron sub-eksitasi, e-,
pada daerah paparan (≤ 0.1µm) Tingkat Pre-kimia
∼10-15 hingga ∼10-12 detik H3O+ berubah menjadi OH, e-aq, H, dan H2
Tingkat Kimia
∼10-12 hingga ∼10-6 detik H3O+ berubah menjadi OH, e-aq, dan H memanjang dan reaksi
satu dengan lainnya secara menyeluruh. Reaksi akan terjadi secara lengkap hingga ∼10-6 detik pada jalur lintasan yang dilalui. Tingkat Biologi
≤10-3 detik Reaksi radikal dengan molekul biologi secara penuh
≤1detik Perubahan biokimia
Beberapa menit Pembelahan sel terpengaruh
Beberapa hari Sistem pencernaan (gastrointestinal) dan system syaraf pusat mengalami perubahan
Beberapa minggu Perkembangan fibrosis pada paru-paru
Beberapa tahun Berkembang menjadi katarak dan kanker; perubahan genetik pada keturunan
Tubuh terdiri dari ∼70-85% komponen air (Thrall 2002), ∼10-20%
komponen protein, ∼10% komponen karbohidrat dan ∼2-3% tersusun oleh
komponen lemak (Turner 2007). Radiasi ionisasi akan merubah susunan molekul
air membentuk radikal bebas secara aktif (Tabel 3). Jumlah radikal bebas yang
terbentuk akan merusak jaringan baik yang langsung terpapar maupun jaringan
normal yang berada di sekitar (Thrall 2002).
Elektron sekunder yang terbentuk dalam air memiliki energi ∼10-70 eV.
Energi ini akan berkurang dengan cepat (≤10-15 detik) menjadi energi sub-eksitasi
(∼7.4 eV). Energi sub-eksitasi pada jalurnya akan mengubah air menjadi H2O+,
H2O* dan elektron sub-eksitasi yang bebas (Turner 2007). Proses radiolitik pada
molekul air sebagaimana pada Gambar 8.
Gambar 8 Proses radiolitik pada air dimana terlihat perkembangan secara kimiawi elektron dengan energy 4-keV pada lintasan media. Pada daerah lintasan, terjadi proses radiolitik yang memecah molekul air menjadi OH, H3O+, e-aq dan H berdasarkan waktu tempuhnya. Sumber: Turner (2007).
Efek radiasi memiliki sifat kumulatif, dimana setiap pemaparan baru akan
ditambahkan kepada pemaparan sebelumnya untuk menentukan dosis total dan
kemungkinan efeknya pada tubuh. Semakin tinggi dosis atau dosis totalnya, maka
semakin besar kemungkinan timbulnya resiko. Efek kumulatif berbeda dengan
efek jangka panjang dimana efek jangka pendek tidak terlihat dan efek jangka
Efek samping radioterapi terdiri atas beberapa tahapan, diantaranya adalah
1) efek akut, 2) efek tertunda, 3) efek akumulasi, 4) efek pada sistem reproduksi
dan 5) efek kecelakaan radioterapi. Efek samping dengan kejadian yang akut
dapat berupa kerusakan permukaan epitel (kulit mukosa mulut, faring, mukosa
usus dan ureter), perlukaan pada mulut dan esophagus (Hall 2000), gangguan
pencernaan, udema, infertil atau tidak subur (Gutfeld et al. 2007). Efek tertunda
dapat berupa fibrosis, epilasi, kekeringan mukosa dan epitel, lymphedema (Meek
1998), kanker, penyakit jantung (Taylor et al. 2007), dan proktitis. Efek pada
sistem reproduksi menyebabkan teratogenik pada janin usia 2 minggu awal
fertilisasi, dengan dosis tinggi dapat menyebabkan anomali, kegagalan
pertumbuhan dan terjadi penurunan mental yang berkembang menjadi leukemia
pada bayi lahir dan menjadi tumor disaat dewasa (Arnon et al. 2001).
Kecelakaan sarana radioterapi juga dapat menyebabkan kematian karena
kelebihan dosis paparan. Hal ini telah terjadi tahun 1985-1987 pada alat
Therac-6® dan Therac-20® tercatat 6 kecelakaan dimana pasien menerima dosis 100x
lipat dan 2 orang meninggal secara langsung karena kelebihan dosis. Tahun
2005-2010 terjadi kelebihan paparan pada 76 pasien kanker otak yang menjalani
radioterapi Therac-25® di Rumah Sakit di Missouri karena kesalahan kalibrasi
(Bogdanich & Ruiz 2010).
Semua jaringan baik hewan maupun manusia sangat sensitif terhadap
radiasi. Penyerapan radiasi dosis rendah oleh jaringan akan mengakibatkan
perubahan atau kerusakan (McCurnin & Bassert 2006). Sinar-X membentuk
radikal bebas secara tidak langsung akan menghilangkan elektron atom dari
jaringan yang terpapar. Tubuh terdiri dari 70% komponen air dan radiasi ionisasi
akan merubah susunan molekul air membentuk radikal bebas secara aktif. Jumlah
radikal bebas yang terbentuk akan merusak jaringan (Thrall 2002). Radikal bebas
merupakan struktur atom yang tidak stabil karena mengalami kerusakan elektron
pada lapisan kulit luarnya. Kerusakan atau hilangnya elektron menyebabkan atom
menjadi tidak stabil dan sangat reaktif dalam reaksi kimia berupa oksidasi.
Radikal bebas merusak tubuh dengan mengambil elektron dari atom lain yang
Kerusakan yang disebabkan oleh energi radiasi sinar-x dapat dibedakan
dalam dua kategori, diantaranya adalah efek deterministic dan efek stochastic
(Gambar 9). Efek biologi yang langsung terjadi disebut dengan deterministic
effect dan tertunda untuk kurun waktu tertentu berupa stochastic effect (Little
2003).
Gambar 9 Skematis kemungkinan yang terjadi pada jaringan atau sel yang terpapar radiasi ionisasi. Sumber: Rothkamm et al. 2007.
Kecelakaan stokastik dapat menginduksi kanker karena kegagalan perbaikan
DNA pada sel. Hal ini mengakibatkan transformasi/perubahan secara genetik.
Tingkat kerusakan akan meningkat seiring dengan energi radiasi yang diserap
oleh organ dan jaringan berbeda, akan tetapi tingkat keparahannya tergantung
pada total dosis yang diterima (Little 2003; Thierry-Chef et al. 2008; Hall 2009;
NRC 2006 ). Kecelakaan deterministik dalam jumlah besar berpengaruh pada
sel reproduksi yang menjadi steril. Hal ini tidak terlihat secara klinis hingga
sel-sel yang rusak membelah dan berdifferensiasi dalam jumlah besar (Balter et al.
Gambar 10 Respon jaringan dan organ terhadap radiasi ionisasi. A. Frekuensi perubahan secara klinis patologis yang meningkat seiring dengan bertambahnya dosis terhadap populasi individu dengan variasi tingkat sensitifitas berbeda, B. Hubungan dosis-keparahan pada sub-populasi individu dengan variasi sensitifitas berbeda. Sumber: Hendry et al. (2006)
Jaringan dan organ merespon dosis radiasi dengan variasi yang berbeda
(Gambar 10). Secara umum hubungan antara dosis dengan kejadian membentuk
kurva sigmoid (huruf S) pada peningkatan dosis paparan dan frekuensi. Kelainan
patologis meningkat seiring dengan individu yang lebih sensitif (kurva a pada
Gambar 10), sedangkan pada individu yang kurang sensitif memiliki tingkat
keparahan yang lebih rendah (kurva b, c, dan d pada Gambar 10) (Hendry et al.
2006).
Dosis Radiasi
Dosis paparan radiasi diukur berdasarkan jumlah dosis radiasi yang diserap
(absorbed dose). Dosis serap merupakan sejumlah energi yang melalui suatu masa
pada tubuh atau organ yang terpapar radiasi. Satuan dosis dinyatakan dengan joule
per kilogram (J/kg). Terdapat beberapa jenis dosis diantaranya adalah dosis serap
(absorbed dose), dosis ekivalen (equivalent dose), dosis efektif (effective dose),
dosis berat (weighted dose). Dosis ekivalen berkaitan dengan resiko yang
efektif yang digunakan. Satuan yang digunakan untuk dosis ekivalen, dosis efektif
dan dosis berat adalah Sievert (Sv). Sedangkan untuk dosis serap satuan yang
digunakan adalah Gray (Gy) (Tabel 4). Jumlah atau kuantitas radiasi antara
Sievert dan Gray adalah sama (Tabel 5), tetapi penggunaannya yang berbeda.
Satuan Sv digunakan dalam radiasi dosis rendah (low-LET radiation) sedangkan
Gy digunakan pada radiasi dosis tinggi (high-LET radiation). Low-LET radiation
berkisar antara 0-100mSv (NRC 2006; Turner 2007).
Tabel 4 Jenis dosis dan rumus perhitungan*
Dosis Satuan Simbol Rumus perhitungan Dosis paparan Roentgen R R = Q/ m; 1R = 2.58 x 10-4 C/kg
Dosis serap Gray Gy 1 Gy = 1 J/kg = 107erg/103g = 104erg/g = 100 rad 1 R = 2.58 x 10-4 C/kg x 33.97 J/C = 8.76 x 10-3 J/kg (udara)
1 R = 9.5 x 10-3 J/kg (jaringan lunak) Dosis ekivalen Sievert Sv H=QD; 1 Sv = 100 rem
* Sumber: Turner (2007)
Tabel 5 Unit dosis radiasi*
Unita Simbol Faktor konversi Becquerel (SI) Bq 1 disintegration/s = 2.7 x 10-11 Ci
Curie Ci 3.7 x 1010 disintegration/s = 3.7 x 1010 Bq Gray (SI) Gy 1 J/kg = 100 rads
Rad Rad 0.01 Gy = 100 erg/g Sievert (SI) Sv 1 J/kg = 100 rem
Rem rem 0.01 Sv
Dosis ekivalen = dosis serap x Q (faktor kualitas); Gray merupakan nama khusus (J/kg) yang digunakan untuk dosis serap; sievert merupakan nama khusus (J/kg) yang digunakan untuk dosis ekivalen. aUnit Internasional di singkat dengan SI; * Sumber: NRC (2006)
Radiodiagnostik merupakan sarana pencitraan pada kedokteran nuklir. Fazel
et al. (2009) melaporkan bahwa paparan radiasi yang bersumber dari sarana ini
secara akumulatif atau berulang pada pasien di USA rata-rata 2.4 mSv. Dosis
Tabel 6 Dosis efektif radiasi ionisasi dari pencitraan prosedur medis*
Karakteristik Total subjek [jumlah]
Subjek yang menjalani prosedur [jumlah (%)]
Annual dosis efektif (mSv) [rataan±deviasi] Semus subjek 952,420 655,613 (68.8) 2.4±6.0 Jenis kelamin
Laki-laki 453,078 262,552 (57.9) 2.3±6.1
Perempuan 499,342 393,061 (78.7) 2.6±5.9
Umur
South Florida 170,466 124,261 (72.9) 2.8±6.2
Wisconsin 169,600 109,087 (64.3) 2.0±5.3
*Sumber: Fazel et al. (2009)
Hasil penelitian Fazel et al. (2009) menyatakan bahwa dosis paparan
kumulatif tahunan diterima bervariasi dari ≤ 3 mSv/tahun hingga >50 mSv/tahun
(Tabel 7). Data ini diambil dari rumah sakit yang melakukan pelayanan radiologi
di 5 wilayah di USA. Rata-rata paparan medis pencitraan radiologi pernah dialami
sekitar 59-88% dari 1 000 populasi.
Tabel 7 Tingkat paparan radiasi berbeda pada annual dosis efektif dari pencitraan medis di USA pada 1000 orang*
Batas Dosis Radiasi Ionisasi
Di Indonesia penggunaan sinar-x berada dalam pengawasan Badan
Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) (Ulum & Noviana 2008). Disamping
memiliki nilai positif sebagai sarana radiodiagnostik, radiasi ionisasi sinar-x dapat
menyebabkan kerusakan luar biasa pada jaringan tubuh yang terpapar. Jumlah
radiasi ionisasi terendah yang mampu menginisiasi terbentuknya kanker adalah
50mSv (Thrall 2002).
Badan Pengawas Nuklir Amerika Serikat atau disebut NRC (Nuclear
Regulatory Commission) membatasi jumlah dosis okupasional orang dewasa tidak
boleh > 50 mSv/tahun (Thrall 2002; NCRP 2004). Hal ini juga di Indonesia, oleh
BAPETEN mengatur bahwa dosis maksimal pekerja radiasi adalah 20 mSv
rata-rata dalam 5 tahun (SK Ka BAPETEN No 01 tahun 1999; PP No 33 tahun 2007;
Ulum & Noviana 2008).
Tabel 8 Kontribusi relatif pada tiap jaringan dan organ terhadap kemungkinan terjadinya kanker dan kerusakan total*
Organ
Kemungkinan terjadi kanker (10-2/Sv)
Total Kerusakan (10-2/Sv)
Populasi Pekerja Radiasi Populasi Pekerja Radiasi
Kantung kemih 0.30 0.24 0.29 0.23
Kemungkinan terjadi efek genetik yang parah
Gonad 1.00 0.60 1.33 0.80
Total akhir 7.25 5.53
Tabel 9 Resiko kumulatif menurut NCRP dan ICRP pada batas paparan*
Dosis Dosis
Kumulatif
Resiko kumulatif x 10-2
Laki-laki Wanita Rata-rata NCRP (A) Rataan (uniform)
13.6 mSv/tahun
ICRP (A) Rataan (uniform) 20 mSv/tahun
Tujuan proteksi radiasi adalah suatu tindakan untuk mencegah terjadinya
efek deterministik akut maupun kronis oleh paparan radiasi serta mengurangi efek
stokastik pada derajad yang masih dapat diterima untuk manfaat secara individu
maupun komunitas yang terpapar (NCRP 1993).
Terdapat dua kategori yang termasuk dalam lingkup proteksi radiasi, yaitu
efek deterministik dan efek stokastik (Gambar 11). Efek deterministik
didefinisikan sebagai efek somatik yang meningkat keparahannya berdasarkan
peningkatan dosis radiasi diatas nilai batas dosis. Tingkat keparahan ini terjadi
karena kerusakan yang terjadi sangat banyak pada tingkat selular. Efek
deterministik terjadi hanya jika jumlah dosis yang diterima dalam jumlah besar,
melebihi nilai ambang batas dosis dan tingkat keparahannya sangat tergantung
pada respon individu dan faktor lainnya. Efek akan terlihat dengan cepat dalam
beberapa jam hingga hari atau dalam kondisi tertunda terlihat setelah beberapa
bulan hingga tahun setelah terpapar. Efek langsung berupa eritema dan kerusakan
pada kulit. Efek tertunda seperti kekeruhan lensa mata, hilangnya jaringan
Gambar 11 Efek yang ditimbulkan oleh radiasi ionisasi pada jaringan tubuh. Sumber: Köteles 1998.
Efek stokastik didefinisikan sebagai suatu peluang atau kemungkinan efek
terjadi secara terus menerus meningkat seiring dengan jumlah dosis yang diserap.
Efek stokastik merupakan suatu respon yang bersifat all-or-none yang
berhubungan dengan paparan radiasi ionisasi dosis rendah. Efek peluang ini
terjadi pada tingkat sel tunggal atau dalam tatanan sub-struktural seperti gen yang
tidak dibatasi oleh nilai ambang batas dosis. Dosis paparan sangat kecil hingga
mendekati nilai nol akan tetapi masih ada pelung terjadinya efek ini. Efek peluang
terjadinya kanker maupun efek pada genetik termasuk dalam ruang lingkup efek
stokastik (NCRP 1993).
Rekomendasi National Council on Radiation Protection and Measurements
(NCRP) dalam bidang proteksi radiasi terdapat 3 (tiga) rekomendasi yaitu: 1)
justifikasi, 2) as low as responsible acceptable (ALARA) dan 3) limitasi.
Sedangkan dalam ICRP menambahkan adanya 4) optimasi dalam rekomendasi ini
(NCRP 1993). Komisi internasional bidang proteksi radiasi atau disebut dengan
International Commission on Radiological Protection (ICRP) telah
memformulasikan 3 prinsip dasar dalam proteksi terhadap radiasi, yaitu: 1)
justifikasi, 2) optimisasi dalam proteksi, dan 3) limitasi dalam aplikasi dosis
dan pada semua paparan radiasi. Sedangkan prinsip terakhir (ke-3) tidak berlaku
dalam paparan radiasi medis yang dilakukan terhadap pasien (Miller et al. 2010).
Prinsip “justifikasi” merupakan suatu keputusan dalam melakukan paparan
radiasi harus dilakukan dengan manfaat yang didapat lebih besar dari bahaya.
Prinsip “optimisasi dalam proteksi” merupakan suatu tindakan proteksi terhadap
paparan radiasi dengan paparan terendah atau seminimal mungkin terhadap pasien
atau individu berdasarkan pertimbangan pada faktor ekonomi dan sosial. Hal ini
dilakukan dengan pertimbangan area paparan sesedikit mungkin dengan manfaat
sebesar mungkin untuk meminimalkan bahaya (ICRP 2007a; ICRP 2007b,
NCRPM 1993). Prinsip “limitasi dalam aplikasi dosis” tidak berlaku pada paparan
medis karena menurut ICRP: “paparan medis memberikan manfaat utama dalam
diagnosa pasien yang sangat erat kaitannya dengan terapi selanjutnya” (ICRP
2007b). Prosedur intervensi radiologi mempunyai tujuan dalam paparan medis
terutama mempertimbangkan bahwasanya bahaya morbidity dan kematian lebih
besar dari pada resiko yang diakibatkan oleh paparan radiasi (Miller 2008).
Strategi dalam pengembangan sarana radiologi dengan energi radiasi
terdapat 3 hal, diantaranya adalah: 1) membuat radiasi lebih efektif dalam
membunuh sel tumor, 2) memprediksi daya terima pasien pada dosis tertinggi
sehingga paparan dosis tinggi dapat diberikan, 3) mengaplikasikan target secara
selektif langsung terhadap sel tumor (Hendry et al. 2006).
Strategi dalam tindakan proteksi radiasi terhadap bahaya radiasi juga
dilakukan. Proteksi terhadap bahaya radiasi ionisasi dapat dilakukan secara fisik
dan non fisik. Perlindungan secara fisik eksternal dapat dilakukan melalui tiga hal,
diantaranya adalah: 1) menggunakan pelindung berlapis timbal (Pb) seperti apron,
sarung tangan, kaca mata (Gambar 12); 2) menjaga jarak untuk berada sejauh
mungkin dari sumber radiasi ionisasi; 3) mempersingkat waktu terpapar radiasi
(Thrall 2002). Perlindungan secara non fisik dapat dilakukan dengan
menggunakan bahan-bahan aktif yang dapat menetralkan radikal bebas akibat
radiasi ionisasi. Bahan-bahan yang memiliki kandungan antioksidan baik sintetis
Gambar 12 Berbagai unit pelindung radiasi eksternal berlapis Pb dan unit monitoring radiasi individu. A. Perisai, B. Apron, C. Pelindung tiroid, D. Sarung tangan, E. Kaca mata , F. Monitoring TLD (termoluminesence dosimeter), G. Film
badge. Sumber: Saraya.com 2011; Larson 2011.
Bahan sintetis yang memiliki aktifitas antioksidan antara lain amifostine
(Maurya et al. 2006), vitamin C (asam askorbat), vitamin E (tokoferol), -karoten
(Vinson et al. 1995). Maurya et al. (2006) mengelompokkan agen radioprotektor
dalam 3 kelompok, diantaranya adalah 1) radioprotektor kimiawi, 2) adaptogen
dan 3) absorben. Radioprotektor kimiawi terdiri atas bahan yang mengandung
sulfhydryl dan antioksidan. Adaptogen merupakan stimulator radioresisten yang
terdiri atas bahan alam yang secara kimiawi mampu melindungi dari radiasi
ionisasi dosis rendah. Adaptogen bekerja dengan meningkatkan radioresisten,
meningkatkan imunitas dan meningkatkan secara menyeluruh non-spesifik
resisten suatu organisme. Absorben melindungi organisme dari radiasi internal
dan kimia. Absorben didalam tubuh bekerja dengan menyerap radioaktif antara
lain 137Cs, 90Sr dan 239Pu.
Pengembangan Radioproteksi dari Bahan Alami
Penelitian dalam usaha mendapatkan bahan aktif alami untuk menangkal
bahaya radiasi berawal dari “Manhattan Project” yang dilakukan di Walter Reed
Army Research Institute USA. Projek tersebut membuat dan mengeksplorasi
sekitar 4 500 bahan alam dengan tujuan menangkal bahaya yang diakibatkan oleh
kemampuan proteksi dari hasil riset tersebut. Amifostin akan melindungi jaringan
normal dari paparan radiasi ionisasi (toksisitas akut) pada pasien yang menjalani
radioterapi kanker (Maurya et al. 2006).
Penelitian pengembangan obat anti radiasi (radioprotektor) saat ini telah
berjalan lebih dari 6 dekade. Bidang yang turut berperan dalam pengembangan
radioprotektor melingkupi bidang seluler, biologi molekuler, kimia sintetis dan
biokimia. Bahan radioprotektor yang aman dan efektif non-toksik hingga saat ini
terus dikembangkan dan belum satupun bahan maupun kombinasi yang sudah
dihasilkan (Maurya et al. 2006). Data beberapa hasil publikasi penggunaan
tanaman/herbal sebagai bahan anti radiasi sebagaimana pada Tabel 10, Tabel 11,
Tabel 12, dan Tabel 13.
Tabel 10 Tanaman yang memiliki efek radioproteksi*
Tanaman Sifat
Medisinal/manfaat Efek radioprotektif Sumber Acanthopanax
senticosus (Shigoka)
- Melindungi terhadap radiasi
yang menekan hematopoesis
Miyanomae & Friendel (1988)
Acorus calamus - Melindungi terhadap radiasi
pada perkembangan neurofisiologi prenatal
Chetana et al. 2004
Aegel marmelos Efek antikanker Mengurangi gejala kesakitan
radiasi dan meningkatkan daya hidup mencit. Kemungkinan memiliki kemampuan untuk menangkal radikal bebas dan meningkatkan GSH dan enzim antioksidan lainnya
Jagetia et al. 2004
Mengurangi frekuensi
mikronuklei pada sel darah tepi limfosit manusia
Jagetia et al. 2003c
Allium sativum kromoson secara in-vivo pada radiasi sinar-
Singh et al. 1996, Singh et al. 1995
Aloe vera (Gritkumari)
Efek antikanker Melindungi kulit mencit Swiss Gehlot & Saini 2004,
Melindungi usus mencit Swiss terhadap kerusakan mukosa yang terpapar radiasi
Gehlot & Saini 2004,
Aspalanthus linearis (Rooibos tea)
- Mengurangi frekuensi MNRET selama terpapar radiasi sinar-
Shimoi et al. 1996
Tabel 11 Tanaman yang memiliki efek radioproteksi* (lanjutan)
Tanaman Sifat
Medisinal/manfaat Efek radioprotektif Sumber Asparagus protein oksidasi, dan deplesi protein thiol serta tingkat SOD selama terpapar radiasi
Kamat et al. 2000b
Centella asiatica Memiliki sifat
persembuhan jaringan yang sangat baik
Melindungi kehilangan rasa (taste) pada mencit yang dipapar radiasi
Shobi & Goel 2001
Mengurangi kelainan fungsi
otak prenatal saat terpapar radiasi
Sulochana et al. 2004
Meningkatkan daya hidup
mencit yang disuplementasi dosis letal dan mengurangi kehilangan berat badan
Sharma & Sharma 2002
Citrus aurantium var. amara
Kaya vitamin C dan Karotenoid mencit dengan faktor 2.2 dalam melawan efek samping dari radiasi sinar-
- Mencegah kerusakan
hematopoetik yang disebabkan dosis radiasi subletal
Hsu & Lin 1996 perubahan yang merusak pada mukosa usus mencit oleh radiasi
Jindal et al. 2004
Lycium chinense - Melindungi sumsum tulang dari
kematian sel terhadap paparan radiasi
Hsu et al. 1999
Mentha piperata Perisa rasa mint Meningkatkan daya hidup
mencit
Samarth & Kumar 2003b
Sediaan minyak dapat
melindungi persentase daya hidup dan parameter darah mencit
Samarth et al. 2004
Suplementasi peroral sebelum dipapar radiasi sinar- dapat melindungi terhadap kerusakan kromosom sel sumsum tulang dengan nilai DRF 1.78
Samarth & Kumar 2003a
Myristica fragrans - Melindungi testis mencit dari
radiasi sinar- dengan menghambat TBARS dan meningkatkan jumlah GSH
Sharma et al. 2005
Tabel 12 Tanaman yang memiliki efek radioproteksi* (lanjutan)
Tanaman Sifat
Medisinal/manfaat Efek radioprotektif Sumber Ocimum sanctum
(Tulsi)
Antikanker, antimicrobial, stimulan
Ekstrak air mampu meningkatkan daya hidup mencit dengan nilai DMF 1.8
Panax ginseng Kardioprotektif Meningkatkan jumlah kripta
jejunum, terbentuknya koloni endogen limpa, dan mengurangi frekuensi apoptosis oleh induksi radiasi
Kim et al. 2001
Phyllanthus amarus Antidiabetes Meningkatkan total sel darah putih
(WBC), sel-sel sumsum tulang, dan aktifitas -esterase. Meningkatkan enzim-enzim antioksidan seperti CAT, SOD, GST, GPx dan GR baik dalam darah maupun jaringan yang menurun oleh radiasi
Kumar & Kuttan 2004
Melindungi kromosom mencit
terhadap kerusakan oleh radiasi
Uma-Devi et al. 2000b
Podophyllum hexandrum
Antitumor Meningkatkan kadar GST dan SOD hati, kadar SOD usus dan daya hidup mencit
Mittal et al. 2001
Melindungi plasmid pBR 322 DNA dari kerusakan akibat radiasi
Chaudhary et al. 2004
Mencegah kerusakan neuronal tikus postnatal yang dipapar radiasi in-utero
- Suplemetasi peroral ekstrak Rajgira 800mg/kg berat badan/hari selama 15 hari memiliki efektifitas dosis radiasi dengan faktor 1.36
Krishna & Kumar 2005
Rubia cordifolia Mengaktifkan
platelet
Melindungi plasmid pBR 322 DNA dari kerusakan rantai dan kerusakan membran mikrosom dan
mitokondria dari lipid peroksidasi akibat paparan sinar-
Shah et al. 2004
Si-jun-zi-tang Tonik energi Melindungi kripta jejunum dan meningkatkan formasi endogenus limpa, mengurangi frekuensi apoptosis oleh radiasi
Lee et al. 1999
Melindungi sel-sel sumsum tulang mencit
Hsu et al. 1996
Si-wu-tang Suplemen pembangun darah
Melindungi kripta jejunum dan meningkatkan formasi endogenus limpa, mengurangi frekuensi apoptosis oleh radiasi
Lee et al. 1999
Syzygium cumini (Jamun)
Antidiabetes Ekstrak daun dapat mengurangi terbentuknya mikronuklei pada limfosit darah tepi manusia akibat paparan radiasi
Jagetia & Baliga 2002a
Penundaan onset mortality dan mengurangi gejala kesakitan radiasi
Jagetia & Baliga 2003a
Tabel 13 Tanaman yang memiliki efek radioproteksi* (lanjutan)
Tanaman Sifat
Medisinal/manfaat Efek radioprotektif Sumber Terminalia
chebula
Antibakterial, mengurangi efek stres
Melindungi plasmid pBR 322 DNA dan leukosit darah tepi manusia
Gandhi & Nair 2005
Menghambat lipid peroksidasi
dalam kromosom sel hati tikus oleh radiasi sinar- dan kerusakan mitokondria sel hati tikus oleh enzim SOD, kerusakan ikatan plasmid pBR 322 DNA oleh induksi sinar-
Meningkatkan daya hidup mencit dan memodulasi respon makrofag terhadap radiasi
Pahadiya & Sharma 2003
Mengurangi kerusakan sel-sel hati oleh radiasi,
Melindungi mencit Swiss albino terhadap kecelakaan radiasi dan meningkatkan berat badan Suplementasi sebelum radiasi mempertahankan daya hidup hingga 76.3% dalam 30 hari, dimana tanpa suplementasi terjadi 100%
kematian, mencegah kehilangan berat badan.
Mengembalikan jumlah total limfosit dan meningkatkan populasi pada fase-S yang berkurang setelah terpapar 2 Gy radiasi dan mortaliti. Melindungi mencit dari sindrom gastrointestinal dan sumsum tulang
Jagetia et al. 2003a
* Sumber: Maurya et al. (2006)
Formulasi bahan alam di beberapa daerah di India sudah dikombinasikan
dengan memberikan berbagai manfaat yang teruji secara ilmiah pada hewan coba
(Maurya et al. 2006). Bahan alam kombinasi untuk bahan anti radiasi
Tabel 14 Efek radioprotektif formulasi beberapa bahan herbal alam*
radiasi Efek radioprotektif Sumber Abana
Sinar- Mencit yang diterapi dengan beberapa dosis disebabkan oleh radiasi
Kim et
- Mencit yang diterapi dengan beberapa dosis cystone pada 5 hari sebelum diradiasi terjadi
Tabel 15 Efek radioprotektif formulasi beberapa bahan herbal alam* (lanjutan)
radiasi Efek radioprotektif Sumber Mentat
Sinar- Menunda mortality oleh radiasi dan
normal dari pada sel tumor pada kultur sel
Shandhya
Kombinasi bahan alam dengan senyawa sintetis juga mulai dipadukan untuk
memperoleh hasil yang lebih baik dalam tingkat proteksi terhadap berbagai
kerusakan yang diakibatkan oleh radiasi ionisasi. Hasil berbagai pengujian
kombinasi bahan alam dengan senyawa sintetis pada hewan coba sebagaimana