MODEL PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI
KARET ALAM TERINTEGRASI
FAHMI RIADI
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
i
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul “Model
Pengembangan Agroindustri Karet Alam Terintegrasi” adalah karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun
kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dari kutipan
karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
Disertasi ini.
Bogor, Januari 2012
ii ABSTRACT
Fahmi Riadi. Integrated Natural Rubber Agroindustry Model Development. Supervised by Dr. Ir. Machfud, MS as the advisory committee chairman, Dr. Ir. Tajuddin Bantacut, M.Sc., Dr. Ir. Illah Sailah, MS, and Prof. Dr. Ir. Marimin, M.Sc. as the members.
This study was aimed to develop an integrated and sustainable model for natural rubber agroindustry. Agroindustrial development was very strategic when integrated and sustainably managed i.e. there’s linkage among upstream and downstream sectors synergically and productively, and also there’s linkage among regionals, sectors and commodities. Industrial integration and agglomeration had been known for long time to save transportation and transaction cost, proximity to supplier and market, labor market pooling, and optimizing comparative advantages. Development factors were gained from experts judgment aggregated using pairwise comparation and analytical hierarchy process (AHP) technique. Institutions interaction and development constraints analyzed using interpretive structural modeling (ISM) technique. Investment feasibility on each business unit partially showed that all activities were feasible to be conducted and integration of every stage of business activities vertically showed improving of all feasibility indicators such as NPV, IRR, Net B/C and PBP and also saved total initial investments. The local government was the most influence key element followed by rubber industry and finance institution. The main constraint were lack of government policy support then inadequate of capitals and absence of farmer adviser. This study concluded that direct contract farming model combined with rubber agroforestry system (RAS-1) in replanting was preferred and more profitable for the integrated and sustainable agroindustrial development based on latex and rubberwood. The farmers had a chance to participate and invest their capitals even playing the main role in the project. This study also introduced a new perspective and approach on agroindustrial integration theories.
Keywords: integrated, agroindustry, natural rubber, rubberwood, furniture development
iii RINGKASAN
Fahmi Riadi. Model Pengembangan Agroindustri Karet Alam Terintegrasi. Dibawah bimbingan: Dr. Ir. Machfud, MS sebagai ketua komisi Pembimbing, Dr. Ir. Tajuddin Bantacut, M.Sc., Dr. Ir. Illah Sailah, MS, dan Prof. Dr. Ir. Marimin, M.Sc. sebagai anggota komisi pembimbing.
Meski memiliki lahan karet terluas di dunia (3,4 juta ha), produktivitas karet alam Indonesia hanya 862 kg karet kering/ha/tahun. Lebih rendah dibandingkan produsen lain seperti Thailand (1.875 kg), India (1.727 kg), Vietnam (1.483 kg) dan Malaysia (1.330 kg). Hal ini terutama disebabkan oleh rendahnya produktivitas di tingkat petani karena kebanyakan masih menggunakan bahan tanaman asalan, banyaknya pohon karet tua dan rusak yang mencapai 400.000 hektar (12%). Tidak seperti Malaysia dan Thailand, industri di Indonesia umumnya belum menggunakan kayu karet sebagai bahan baku industri. Sekitar 80% produk furniture buatan Malaysia dan Thailand menggunakan kayu karet dengan nilai ekspor mencapai USD 1.1 milyar. Salah satu kunci sukses Malaysia dan Thailand mengembangkan industri dan ekspor berbasis kayu karet adalah kebijakan pemerintah terhadap produksi kayu karet, termasuk dukungan finansial dan bantuan teknis terhadap industri hilir pengolahan kayu karet.
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model pengembangan agroindustri karet alam terintegrasi dan berkelanjutan berbasis lateks dan kayu karet sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik daerah penelitian. Basis integrasi dicirikan oleh ko-operasi, kolaborasi, berbagi informasi, kepercayaan, kemitraan, penyebaran teknologi, pergeseran dari proses individual ke proses rantai terintegrasi. Keberkelanjutan terkait aspek sosial, ekonomi dan lingkungan serta ada kolaborasi dan interaksi dengan pemangku kepentingan.
Penelitian dilakukan di Kabupaten Barito Utara Kalimantan Tengah. Data diperoleh melalui observasi, wawancara, pengisian quisioner, instansi terkait, pabrik karet dan PTPN XIII. Analisis faktor-faktor pengembangan diperoleh melalui agregasi pendapat pakar dengan teknik perbandingan berpasangan. Penentuan pola kemitraan dan lokasi agroindustri menggunkan teknik analitical hierarchy process (AHP). Analisis kelembagaan dan kendala pengembangan menggunakan metode
interpretive structural modelling (ISM), dan kelayakan investasi berdasarkan Net
B/C, NPV, IRR, dan PBP serta analisis sensitivitas.
Urutan faktor pengembangan berdasarkan AHP adalah aspek pasar, modal, informasi, bahan baku. Tujuan pegembangan adalah kelangsungan usaha, kontinuitas bahan baku, kepastian harga dan kualitas, pembagian nilai tambah yang pantas dan informasi. Alternatif kemitraan adalah contract farming dan lokasi agroindustri di Kecamatan Teweh Tengah.
Kendala utama pengembangan adalah: kurangnya dukungan kebijakan pemerintah daerah, kekurangan modal, tidak ada pendampingan, serta minimnya akses informasi. Kodisi ini mengakibatkan para petani tetap menggunakan bahan tanaman asalan, kuatnya dominasi pedagang perantara, serta para petani tidak tahu perkembangan fluktuasi harga yang berdampak pada tidak adanya insentif bagi para petani serta rendahnya produktivitas petani dan rendahnya kualitas bokar.
iv
peremajaan 10.000 hektar secara bertahap dengan sistem wanatani. Dengan asumsi produksi kayu 150 m3/ha dan harga kayu karet bulat Rp. 300.000/m3 maka diperoleh hasil peremajaan Rp. 45 juta. Jumlah dana yang diperlukan untuk peremajaan Rp. 16.275.000 per hektar (selisih positif Rp. 28,7 juta). Peremajaan bertahap 37 batang/ha/tahun, akan menghasilkan 370.000 batang/tahun atau kayu bulat sebanyak 100.000 m3/tahun (nilai Rp 30 milyar/tahun) atau Rp. 450 milyar dalam 15 tahun, dipotong biaya peremajaan maka diperoleh kas positif sebesar Rp. 28,7 milyar. Pola kemitraan dapat menjamin harga jual kayu di tingkat petani mendukung upaya peremajaan karet rakyat.
Klon yang digunakan dalam kegiatan ini adalah IRR-112 yang dilepas sebagai benih bina dengan SK Mentan Nomor. 511/kpts/SR 1209/2007. Keunggulan klon IRR-112 yaitu sebagai klon unggul baru penghasil Lateks-Kayu. Rata-rata laju pertumbuhan lilit batang disaat TBM yaitu 13 cm/tahun dan 6 cm/tahun disaat TM. Penyadapan dapat dilakukan pada umur 3,5 tahun, kulitnya relatif tebal, cukup resisten terhadap Corynespora dan Colletotrichum. Potensi produksi rata-rata 2.546 kg/ha/thn dan kumulatif produksi sampai umur 9 tahun 22.493 kg.
Untuk mencegah persaingan memperoleh bahan baku karet, pabrik karet remah dirancang beroperasi pada skala menengah (18.000 ton/tahun) SIR 20. Berdasarkan skema contract farming, dari sisi petani, harga bokar per kilogram akan disesuaikan dengan harga standar FOB SIR 20, naik dari Rp. 15.000 jadi Rp. 20.400/kg karet kering. Petani wajib menyerahkan bokar dengan spesifikasi sesuai SNI pada waktu yang ditetapkan. Dari sisi perusahaan pengolahan yang bokar menerapkan konsep produksi bersih dengan kapasitas produksi 18.000 ton/tahun, pihak pabrik menghemat setidaknya Rp. 240 juta/tahun sehingga terjadi kenaikan indikator kelayakan yang signifikan bagi petani maupun industri karet remah. Integrasi petani-pabrik karet menghasilkan indikator kelayakan NPV Rp. 103,5 milyar, IRR 30%, Net B/C 1,87 dan PBP 3,4 tahun dengan total kebutuhan investasi Rp. 118,7 milyar selama 15 tahun. Analisis sensitivitas menunjukkan bahwa pola ini aman terhadap perubahan faktor penting hingga 45 %.
Dari ketersediaan bahan baku kayu karet hasil peremajaan sebanyak 10% (10.000 m3/tahun) digunakan sebagai bahan baku untuk satu unit industri pengolahan kayu karet dengan produk berupa kayu olahan 20 m3/hari. Harga jual kayu olahan Rp. 2,8 juta/m3. Selebihnya dijual dalam bentuk kayu bulat untuk modal dan pengembalian pinjaman. Peningkatan nilai tambah dilakukan melalui pengolahan kayu menjadi furniture berkapasitas 20 m3/hari. Integrasi total dari peremajaan – industri kayu gergajian – industri furnitur menghasilkan indikator kelayakan investasi NPV Rp. 16,8 milyar, IRR 93% PBP 1,4 tahun Net B/C 4,54 dan periode usaha 6 tahun; menurunkan biaya investasi sebesar Rp. 906 juta untuk investasi awal dibandingkan integrasi industri kayu gergajian – industri furnitur. Kebutuhan bahan baku 10.000 m3 diperoleh dari peremajaan seluas 88 hektar dengan biaya Rp. 1,8 milyar/tahun dan melibatkan 44 orang petani karet.
v
menunjukkan kinerja kelayakan investasi yang lebih baik dan lebih efisien daripada dijalankan secara terpisah. Integrasi agroindustri karet alam berbasis lateks dan kayu membutuhkan dana sekitar Rp 123,5 milyar dengan indikator kelayakan NPV Rp. 134,8 milyar, IRR 34%, PBP 3,18 tahun dan Net B/C 3,1 untuk periode usaha 15 tahun. Dalam kegiatan ini para petani dapat memiliki saham sebesar 15,4% dan melibatkan 338 orang petani.
vi © Hak Cipta milik IPB, Tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya penulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumber.
a. Penggunaan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya
ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB.
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
vii
MODEL PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI
KARET ALAM TERINTEGRASI
FAHMI RIADI
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
viii
Penguji pada ujian tertutup : 1. Dr. Ir. Uhendi Haris, M.Si
2. Prof. Dr. Erliza Noor
Penguji pada ujian terbuka : 1. Dr. Ir. Sapta Raharja, DEA
ix
Judul Disertasi : Model Pengembangan Agroindustri Karet Alam
Terintegrasi
Nama : Fahmi Riadi
NRP : F361050071
Program Studi : Teknologi Industri Pertanian
Disetujui
Komisi Pembimbing,
Dr. Ir. Machfud, MS Ketua
Dr. Ir. Illah Sailah, MS Anggota
Prof. Dr. Ir. Marimin, M.Sc Anggota
Dr. Ir. Tajuddin Bantacut, M.Sc Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian,
Dr. Ir. Machfud, MS
Dekan Sekolah Pascasarjana,
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
xi PRAKATA
Puji dan syukur hanyalah milik Allah SWT, Tuhan alam semesta, pemilik segala ilmu dan kekuasaan, yang atas kehendak dan izin-Nya penulis dapat menyelesaikan pendidikan S3 di Program Studi Teknologi Industri Pertanian IPB Bogor. Pada kesempatan ini, penulis menghaturkan terima kasih yang tak terhingga khususnya kepada:
1. Para pembimbing Bapak Dr. Ir. Machfud, MS, Bapak Dr. Ir. Tajuddin Bantacut,
M.Sc, Ibu Dr. Ir. Illah Sailah, MS dan Bapak Prof. Dr. Ir. Marimin, M.Sc selaku pembimbing yang senantiasa memberikan bimbingan, arahan, masukan dengan sabar dan penuh perhatian selama melaksanakan penelitian dan penulisan. 2. Keluargaku, istriku tercinta Erni Irmawati serta anak-anakku yang senantiasa
menanti dengan sabar dan mendo’kan agar tugas belajar ini dapat selesai. 3. Pemerintah Kabupaten Barito Utara yang memberi kesempatan bagi penulis
untuk menempuh pendidikan dan membebaskan penulis dari tugas-tugas rutin. 4. Bapak Dr. Ir. Uhendi Haris, M.Si dan Ibu Prof. Dr. Erliza Noor sebagai penguji
luar komisi pada ujian tertutup.
5. Bapak Dr. Ir. Sapta Raharja, DEA dan Bapak Dr. Ir. Bambang Dradjat, M.Ec selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka.
6. Rekan-rekan di Program Studi Teknologi Industri Pertanian IPB Bogor
khususnya angkatan 2005 yang menyertai penulis dalam menjalani pendidikan dan group bimbingan Pak Marimin yang selalu kompak, saling dukung dan saling berbagi dalam proses penyelesaian studi.
7. Semua pihak yang memberikan kontribusi dalam penyusunan karya tulis ini yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa karya tulis ini masih memiliki banyak kekurangan dan dengan lapang dada akan menerima segala bentuk masukan, saran dan kritik dari semua pihak.
Bogor, Januari 2012
xii
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Kabupaten Barito Utara pada tanggal 1 Nopember 1969, putra
ketiga dari delapan bersaudara dari pasangan Bapak Kubra dan Ibu Hasiah (almh).
Menikah dengan Erni Irmawati pada tahun 1995 dan dikaruniai lima orang anak
masing-masing Rasyid (1996), Arina (1997), Salma (1999), alm. Abdurrahman
(2004) dan Fajar (2005). Penulis bekerja sebagai PNS di lingkungan Pemerintah
Kabupaten Barito Utara sejak tahun 1997. Perjalanan karir dimulai dari Kantor
Inspektorat Wilayah Kabupaten Barito Utara (1997 – 1999), Dinas Pembangunan
Masyarakat Desa (1999 – 2001), Bagian Pembangunan Setdakab Barito Utara (2001
– 2005). Sejak Januari 2005 sampai sekarang ditempatkan di Badan Lingkungan
Hidup Kabupaten Barito Utara. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Mekanisasi
Pertanian IPB (1988 – 1993). Mendapat kesempatan tugas belajar S2 di Program
Studi Teknologi Pascapanen IPB (2001 – 2003), dan tugas belajar S3 di Program
Studi Teknologi Industri Pertanian sejak tahun 2005. Selama pendidikan penulis
menghasilkan dua jurnal yang merupakan bagian dari karya tulis ini dengan judul
“Model Pengembangan Agroindustri Karet Alam Terintegrasi” dan “Kelayakan
Integrasi Pengembangan Agroindustri Karet Alam” pada Jurnal Teknologi Industri
xiii DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR GAMBAR ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ... xv
1 PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar belakang ... 1
1.2 Tujuan penelitian ... 5
1.3 Manfaat penelitian ... 5
1.4 Ruang lingkup penelitian ... 6
2 PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI TERINTEGRASI DAN BERKELANJUTAN ... 7
2.1 Integrasi industri ... 7
2.2 Integrasi manajemen rantai pasok ... 10
2.3 Aspek keberlanjutan ... 14
2.4 Aspek lokasi dalam integrasi industri ... 17
2.5 Model kelembagaan agroindustri ... 23
2.6 Rantai nilai agroindustri ... 30
2.7 Kendala Pengembangan Agroindustri ... 35
3 PENDEKATAN SISTEM ... 39
3.1 Pengertian sistem ... 39
3.2 Berfikir sistem ... 42
3.3 Model dan simulasi ... 42
4 METODOLOGI PENELITIAN ... 47
4.1 Kerangka pemikiran ... 47
4.2 Tahapan penelitian ... 49
4.3 Metode pengumpulan dan analisis data ... 53
5 ANALISIS SITUASIONAL AGROINDUSTRI KARET ALAM ... 71
5.1 Industri karet alam Indonesia... 71
5.2 Potensi kayu karet sebagai bahan baku industri ... 75
xiv
6 DISAIN MODEL PENGEMBANGAN ... 81
6.1 Analisis kebutuhan ... 81
6.2 Identifikasi sistem ... 83
6.3 Formulasi permasalahan ... 85
6.4 Faktor, tujuan dan pemangku kepentingan ... 85
6.5 Penentuan pola kemitraan ... 90
6.6 Struktur kendala pengembangan ... 95
6.7 Analisis struktur persaingan ... 98
6.8 Ketersediaan bahan baku ... 102
7 MODEL AGROINDUSTRI TERINTEGRASI ... 105
7.1 Integrasi agroindustri karet remah dan kebun karet rakyat ... 103
7.2 Integrasi agroindustri berbasis kayu karet ... 110
7.3 Integrasi agroindustri karet alam ... 117
7.4 Struktur kelembagaan ... 119
7.5 Sumber pembiayaan ... 125
7.6 Lokasi agroindustri terintegrasi ... 128
7.7 Validasi model ... 130
8 BANGUNAN TEORI INTEGRASI AGROINDUSTRI ... 131
9 SIMPULAN DAN SARAN ... 137
9.1 Simpulan ... 137
9.2 Saran ... 138
DAFTAR PUSTAKA ... 139
xv DAFTAR TABEL
2.1. Proses bisnis yang dapat diintegrasikan dalam rantai pasok ... 12
2.2. Pendekatan teoritis dan kunci pendekatan integrasi lokasi industri .. 24
3.1. Kegiatan untuk melakukan simulasi yang sahih ... 50
4.1. Pengumpulan, analisis dan pengolahan data ... 59
4.2. Penilaian kriteria dan alternatif pada AHP ... 64
5.1. Realisasi produksi pengolahan karet remah PTPN XIII ... 72
5.2. Export karet alam menurut tipe dan mutu (dalam ton) ... 74
5.3 Karakteristik klon penghasil lateks – kayu anjuran 2006 – 2010 ... 79
6.1 Kebutuhan para pelaku pengembangan agroindustri karet alam ... 81
6.2. Hasil pembobotan faktor-faktor pengembangan ... 85
6.3. Hasil pembobotan tujuan pengembangan ... 85
6.4. Hasil pembobotan tingkat kepentingan pelaku pengembangan ... 85
6.5. Spesifikasi persyaratan mutu bokar (SNI Bokar) ... 87
6.6. Model-model kontrak tani ... 92
6.7. Kelebihan dan kekurangan kontrak tani... 93
6.8. Rekapitulasi hasil penilaian pakar terhadap intensitas persaingan .... 96
6.9. Luas Areal dan Produksi Perkebunan Karet Rakyat di Kabupaten Barito Utara (2007 – 2008) ... 99
6.10. Proyeksi produksi hasil peremajaan per hektar ... 101
6.11. Pendapatan usaha tani dari hasil peremajaan ... 102
7.1. Analisis sensitivitas agroindustri karet alam dengan pola kontrak tani 106 7.2. Perbandingan kinerja sebelum dan sesudah integrasi unit usaha ... 115
7.3. Sub-elemen kunci pengembangan agroindustri ... 119
xvi
DAFTAR GAMBAR
2.1. Tekanan ekonomi terhadap perusahaan ... 8
2.2. Rantai pasok sederhana ... 10
2.3. Level strategi integrasi rantai pasok ... 11
2.4. Model Berlian Porter ... 21
2.5. Model kelembagaan agroindustri dengan intervensi pemerintah ... 29
2.6. Mekanisme proyek kemitraan terpadu ... 29
2.7. Ilustrasi rantai nilai dan rantai pasok ... 32
2.8. Rantai nilai produk pertanian ... 35
2.9. Rantai nilai karet alam Indonesia ... 36
3.1. Pengertian sistem ... 43
3.2. Tahapan analisis sistem ... 45
3.3. Tahap-tahap simulasi model ... 47
3.4. Proses pemodelan, verifikasi dan validasi ... 48
3.5 Proses pengembangan model, verifikasi dan validasi ... 49
3.6. Tujuh tahap simulasi ... 50
4.1 Kerangka pemikiran pengembangan agroindustri karet alam ... 53
4.2. Tahapan penelitian pengembangan agroindustri karet alam ... 55
4.3. Diagram Alir Teknik ISM ... 60
4.4. Lima Kekuatan Persaingan ... 68
5.1. Pohon industri karet ... 71
6.1. Diagram lingkar sebab-akibat ... 82
6.2. Diagram input-output ... 83
6.3. Pemilihan alternatif pola kemitraan ... 89
6.4. Struktur hierarki dan faktor kunci kendala pengembangan ... 90
7.1. Peningkatan kinerja integrasi vertikal industri berbasis kayu karet .. 110
7.2. Peningkatan kinerja integrasi vertikal industri berbasis karet ... 112
7.3. Struktur hierarki dan faktor kunci kelembagaan ... 114
7.4. Model kelembagaan pengembangan agroindustri karet alam ... 117
7.5. Pemilihan lokasi dengan teknik AHP ... 123
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
1. Kualifikasi pakar yang digunakan dalam penelitian ... 155
2. Petunjuk pengoperasian program ISM... 157
3. Petunjuk pengoperasian program Expert Choice 2000 ... 161
4. Hasil pembobotan dengan teknik perbandingan berpasangan ... 167
5. Hasil penilaian pakar terhadap faktor-faktor pengembangan ... 168
6. Hasil penilaian pakar terhadap tujuan pengembangan ... 169
7. Hasil penilaian pakar terhadap pelaku pengembangan ... 170
8. Proyeksi arus kas usaha kebun karet... 171
9. Indikator kelayakan usaha kebun karet ... 172
10. Proyeksi arus kas peremajaan kebun karet ... 173
11. Indikator kelayakan kegiatan peremajaan kebun karet ... 174
12. Biaya investasi agroindustri karet remah ... 175
13. Perincian biaya bahan olah, bahan pendukung, tenaga kerja dan utilitas 177 14. Kebutuhan tenaga kerja dan gaji ... 178
15. Biaya penyusutan dan pemeliharaan... 179
16. Rencana pengembalian pinjaman ... 180
17. Biaya operasional pabrik karet ... 182
18. Ringkasan modal kerja awal pabrik karet ... 183
19. Proyeksi laba rugi pabrik karet ... 184
20. Proyeksi arus kas pabrik karet ... 185
21. Kriteria kelayakan investasi pabrik karet ... 186
22. Kriteria kelayakan investasi agroindustri karet dengan pola kontrak tani ... 187
23. Biaya investasi industri kayu gergajian ... 188
24. Uraian biaya industri kayu gergajian ... 189
25. Rencana pengembalian pinjaman industri kayu gergajian ... 190
26. Proyeksi laba-rugi industri kayu gergajian ... 191
27. Proyeksi arus kas industri kayu gergajian ... 192
28. Indikator kelayakan usaha industri kayu gergajian ... 193
29. Biaya investasi industri furniture ... 194
xviii
31. Biaya operasional industri furniture ... 196
32. Rencana pembayaran angsuran kredit modal kerja dan investasi ... 198
33. Volume produksi dan nilai penjualan furniture ... 199
34. Proyeksi laba rugi industri furniture ... 200
35. Proyeksi arus kas industri furniture ... 201
36. Kriteria kelayakan investasi industri furniture ... 202
37. Proyeksi laba-rugi integrasi peremajaan dan industri kayu gergajian 203 38. Proyeksi arus kas integrasi peremajaan dan industri kayu gergajian 204 39. Indikator kelayakan integrasi peremajaan dan industri kayu gergajian ... 205
40. Indikator kelayakan integrasi industri kayu gergajian dan furnitur .. 206
41. Indikator kelayakan integrasi peremajaan, industri kayu gergajian dan furnitur ... 207
42. Indikator kelayakan integrasi agroindustri lateks dan kayu ... 208
xix
DAFTAR ISTILAH (GLOSSARY)
Istilah Arti
Agglomerasi Konsentrasi geografis, baik manusia dan atau kegiatannya. Konsep ekonomi agglomerasi merujuk pada penghematan atau manfaat yang didapat dari pengelompokan (clustering) aktivitas eksternal perusahaan sebagai bagian dari ekonomi eksternal. Konsep ini diperkenalkan oleh Alfred Marshall (1890) dalam buku Principles of Economics guna menghemat biaya transportasi karena kedekatan pada pemasok maupun konsumen, menyatukan pasar pekerja, serta memanfaatkan keunggulan komparatif.
Agribisnis Seluruh kegiatan di sektor pertanian berikut seluruh industri dan jasa yang terdiri dari rantai pasok dari usaha tani melalui pengolahan, grosir dan ritel hingga konsumen. Agribisnis terdiri dari empat kelompok: 1) Industri produksi pra-panen, 2) agroindustri, 3) sarana pengolahan bahan baku pertanian, 4) berbagai jasa di sektor pertanian.
Agroforestry system (Sistem wanatani)
Sistem penggunaan lahan terintegrasi yang memadukan elemen pertanian dan kehutanan dalam suatu sistem produksi berkelanjutan dengan mendorong fungsi keragaman hayati yang seimbang antara produktivitas dan perlindungan lingkungan.
Agroindustri Kegiatan yang memanfaatkan hasil pertanian sebagai bahan baku, merancang dan menyediakan peralatan, serta jasa untuk kegiatan tersebut. Produk Agroindustri ini dapat merupakan produk akhir yang siap dikonsumsi ataupun sebagai produk bahan baku industri lainnya.
Agropolitan (kawasan) Kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumber daya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarki keruangan satuan sistem permukiman dan sistem agribisnis. (UU No. 26 TH. 2007 Tentang Penataan Ruang)
Agropolitan (konsep) Pendekatan pembangunan kawasan perdesaan berbasis agribisnis. Pengembangan agropolitan merupakan kegiatan terpadu lintas sektor dengan pendekatan bottom up. Agro-processing Bagian dari aktivitas manufakturing yang mengolah bahan
baku dan produk antara yang dihasilkan dari sektor pertanian. Istilah ini juga digunakan untuk agroindustri. AHP (Analytical Hierarchy
Proces)
Teknik terstruktur untuk mengorganisasi dan menganalisis keputusan-keputusan kompleks berbasis matematika dan psikologi yang dikembangkan oleh Thomas L. Saaty pada tahun 1970an.
xx
Istilah Arti
Bahan olah karet (bokar) Lateks dan atau gumpalan yang dihasilkan pekebun kemudian diolah lebih lanjut secara sederhana sehingga menjadi bentuk lain yang bersifat lebih tahan untuk disimpan serta tidak tercampur dengan kontaminan. Bokar terdiri dari lateks kebun, sit angin, slab dan lump.
Cleaner production (Industri bersih)
Aplikasi strategi pencegahan secara kontinyu terhadap proses dan produk guna meningkatkan efisiensi, mencegah polusi udara, air dan lahan, mengurangi limbah di sumbernya dan meminimalkan risiko terhadap manusia dan lingkungan.
Cluster (klaster) Konsentrasi geografis perusahaan, pemasok spesialis, penyedia jasa, usaha industri terkait, dan kumpulan lembaga seperti perguruan tinggi, lembaga standarisasi, asosiasi pengusaha yang saling terkait pada bidang tertentu, dimana selain berkompetisi mereka juga bekerja sama (Porter, 1990)
Contract farming (kontrak tani)
Kesepakatan petani dan perusahaan agribisnis untuk menghasilkan dan memasok produk pertanian berdasarkan kesepakatan waktu, mutu dan harga yang telah ditentukan Dayasaing Tingkat kemampuan suatu negara untuk menghasilkan
barang dan jasa yang sesuai dengan tuntutan pasar internasional pada saat yang sama kemampuan menciptakan kesejahteraan berkelanjutan bagi warganya.
Dinamis Berubah menurut waktu
Face Validity Pengujian validas sebuah model/konsep berdasarkan penilaian pakar/ahli yang dianggap memiliki pengetahuan tentang model/konsep yang dikembangkan.
Green Suply Chain Management
Integrasi konsep kelestarian lingkungan ke dalam SCM yang meliputi disain produk, pemilihan sumber bahan baku, proses pengolahan, penyampaian produk akhir kepada konsumen dan pengaturan habis masa habis pakai.
Growth pole theory (Teori kutub pertumbuhan)
Gagasan inti teori ini adalah bahwa perkembangan ekonomi atau pertumbuhan tidak seragam di seluruh wilayah, melainkan terjadi pada kutub tertentu khususnya wilayah perkotaan. Kutub ini sering dicirikan oleh industri kunci dikelilingi oleh industri-industri terkait lainnya sebagai efek langsung maupun tidak langsung. Perluasan industri kunci akan berimplikasi pada ekspansi output, lapangan kerja, investasi terkait dan juga teknologi baru dan sektor lainnya. Holistik/holism Berasal dari bahasa Yunani holos (whole/ keseluruhan) yang
secara filosofis berarti certain whole is greater than the sum of their parts (kesatuan secara utuh lebih besar dari jumlah semua bagian). Pendekatan ini berbeda dengan pendekatan reduksionis (analisis) ini menggunakan basis aksioma the whole is equal to the sum of its parts.
Integrasi Menjadi satu kesatuan secara utuh.
xxi
Istilah Arti
Integrasi hilir (forward) Upaya untuk meningkatkan kontrol terhadap para distributor dan pengecer (retailer).
Integrasi horizontal Penggabungan beberapa perusahaan yang menghasilkan produk yang sama dengan tingkat proses produksi yang sama. Biasanya berbentuk merjer, akuisisi atau take over.
Integrasi hulu (backward) Strategi yang mengupayakan kepemilikan atau meningkat-kan kontrol terhadap perusahaan pemasok.
Integrasi internal Integrasi dalam konteks rantai pasok perusahaan untuk memenuhi permintaan pelanggan dan berinteraksi secara efisien dengan pemasok
Integrasi vertikal Integrasi urutan fungsi produksi dan pemasaran di bawah pemilikan atau kendali oleh satu organisasi manajemen yang bertujuan meningkatkan posisi tawar perusahaan, sekaligus memperoleh profit margin dari hulu maupun hilir. ISM (Interpretive
structural modeling)
Proses pembelajaran yang dibantu oleh komputer yang memungkinkan individu atau kelompok mengembangkan peta hubungan yang kompleks antara banyak elemen yang terlibat dalam situasi yang kompleks. Diperkenalkan pertama kali oleh JN Warfield tahun 1973.
Kelompok tani kumpulan petani yang dibentuk atas dasar kesamaan kepentingan, kesamaan kondisi lingkungan (sosial, ekonomi, sumber daya) dan keakraban untuk meningkatkan dan mengembangkan usaha anggota
Kemitraan usaha Kerjasama usaha antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah dan atau dengan Usaha Besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh Usaha Menengah dan atau Usaha Besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan (PP 44/1997).
Keunggulan komparatif Keunggulan alami yang diperoleh suatu negara karena dapat memproduksi dengan biaya relatif yang lebih murah karena kekayaan alam dan tenaga kerja yang melimpah, iklim, lokasi yang strategis dll.
Keunggulan kompetitif (keunggulan bersaing)
Keunggulan atas para pesaing karena mampu menawarkan nilai lebih kepada para konsumen baik melalui harga yang lebih rendah (cost advantage) atau manfaat atau jasa yang lebih tinggi (differentiation advantage) sebagai pembenaran harga yang lebih tinggi. Keunggulan bersaing dapat diciptakan melalui peningkatan efisiensi, mutu, inovasi dan cepat tanggap terhadap pelanggan.
Kompleks Kerumitan sistem karena adanya interaksi antar elemen, meski tidak selalu berarti sulit difahami
Kompleksitas sistem Besarnya informasi yang dibutuhkan untuk menjelaskan suatu sistem. Kompleksitas ini tergantung pada tingkat rincian yang dibutuhkan untuk deskripsi tersebut.
xxii
Istilah Arti
Model ini dapat dikelompokkan menjadi kuantitatif (matematik, statistik, komputer), kualitatif (gambar, diagram atau matriks hubungan antar elemen), dan ikonik (tiruan dalam skala yang lebih kecil)
Pakar (expert) Ahli. Orang yang menguasai/menekuni suatu bidang atau memiliki ketrampilan tertentu yang tergolong jarang dimiliki orang lain.
Probabilistik Bersifat tidak pasti Rubber agroforestry
system (RAS)
Sistem wanatani karet, atau wanatani kompleks berbasis karet.
Rubber agroforestry system 1 (RAS – 1)
Sistem wanatani karet-1. Sistem wanatani karet ekstensif yang pengelolaannya setara dengan hutan karet rakyat, dimana karet asalan diganti dengan karet klonal yang mampu tumbuh dan beradaptasi dengan baik pada lingkungan yang menyerupai hutan sekunder seperti pada sistem wanatani.
Rubber agroforestry system 2 (RAS – 2)
Sistem wanatani karet-2. Sistem wanatani kompleks dengan pengelolaan cenderung intensif, dimana karet klonal di tanam secara tumpangsari dengan tanaman pangan, buah-buahan dan tanaman penghasil kayu, rotan atau resin. Rubber agroforestry
system 3 (RAS – 3)
Sistem wanatani karet-3. Sistem wanatani kompleks yang dibangun untuk merehabilitasi lahan alang-alang dengan penanaman karet bersama dengan jenis tanaman lain yang cepat tumbuh dan mampu menghambat pertumbuhan alang-alang.
Simulasi Peniruan perilaku gejala atau proses yang bertujuan membuat analisis dan peramalan perilaku gejala atau proses tersebut di masa depan.
Sistem Keseluruhan interaksi antar unsur dari sebuah obyek dalam batas lingkungan tertentu yang bekerja mencapai tujuan. Karakteristik penting dalam suatu sistem adalah berorientasi pada tujuan (cybernetic) bukan pada prosedur, menyeluruh (holistic) bukan parsial, dan menekankan efektivitas bukan efisiensi.
Sub-sistem Sistem yang dibangun dari sistem-sistem independen yang dikelola secara terpisah dari suatu sistem yang lebih besar Supply chain
management (Manajemen rantai pasok)
Sistem yang terdiri dari beberapa elemen berupa pemasok bahan baku, fasilitas produksi, jasa distribusi, kaitan pelanggan bersama melalui aliran bahan ke hilir dan umpan balik aliran informasi ke hulu. Integrasi merupakan tema kunci dalam kajian SCM.
Sustainability (Keberlanjutan)
xxiii
Istilah Arti
Sustainable development (Pembangunan
berkelanjutan)
Pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi berikutnya untuk memenuhi kebutuhannya (WCED, 1987).
Sustainable Suply Chain Management
SSC tidak sebatas “green”. Rantai pasok dikatakan sustainable jika dioperasikan dengan struktur finansial yang realistik dan berkontribusi memberikan nilai bagi masyarakat (funded & valued). Dan definisi sustainable SCM harus dikaitkan dengan faktor ekonomi, sosial dan lingkungan.
Triple helix Model atau konsep yang menggambarkan hubungan antara universitas-industri-pemerintah yang bersinergi mencipta-kan inovasi serta transfer teknologi dan informasi. Masing-masing elemen bersifat independen terhadap yang lain dalam konteks transfer pengetahuan dan inovasi dan memiliki peran yang setara sebagai penghasil inovasi. Validasi Proses untuk memastikan bahwa model cukup akurat sesuai
tujuan rancangan; atau membuat model yang benar
Value chain (rantai nilai) Rangkaian kegiatan yang saling terkait untuk menciptakan nilai.
Value-added (nilai tambah)
Peningkatan nilai produk setelah melalui pengolahan atau perubahan bentuk.
1
1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Agroindustri adalah aktivitas pasca panen yang meliputi transformasi,
pengawetan dan penyiapan produk pertanian, perikanan dan kehutanan menjadi
produk antara atau konsumsi akhir. Seluruh aktivitas agroindustri berisi tiga
subsistem utama; yaitu penyediaan bahan baku, pengolahan dan pemasaran.
Pengolahan dalam agroindustri merupakan merupakan langkah awal menuju
industrialisasi (Wilkinson dan Rocha, 2008; Henson dan Cranfield, 2009).
Berdasarkan klasifikasi International Standard Industrial Classification (ISIC),
agroindustri mencakup enam kelompok produk: 1) makanan dan minuman, 2)
tembakau, 3) kertas dan kayu, termasuk furnitur 4) tekstil, alas kaki dan pakaian,
5) kulit, dan 6) karet.
Berdasarkan Simposium Nasional Agroindustri I tahun 1983, agroindustri
adalah kegiatan yang memanfaatkan hasil pertanian sebagai bahan baku,
merancang dan menyediakan peralatan, serta jasa untuk kegiatan tersebut. Produk
Agroindustri ini dapat merupakan produk akhir yang siap dikonsumsi ataupun
sebagai produk bahan baku industri lainnya. Agroindustri merupakan bagian dari
kompleks industri pertanian sejak produksi bahan pertanian primer, industri
pengolahan atau transformasi sampai penggunaannya oleh konsumen
(Mangunwidjaja dan Sailah, 2009). Agroindustri dengan demikian mencakup
Industri Pengolahan Hasil Pertanian, Industri Peralatan dan Mesin Pertanian, dan
Industri Jasa Sektor Pertanian.
Agroindustri menghasilkan keterkaitan kuat antara sektor hulu dan hilir,
mendorong permintaan dan nilai tambah produk pertanian primer serta
menciptakan lapangan kerja dan pendapatan sepanjang rantai pengolahan hingga
distribusi sebagai efek ganda (Hithcock, 2008; Wilkinson dan Rocha, 2008;
Henson dan Cranfield, 2009). Diversifikasi produk akan memberikan nilai
tambah semakin signifikan. Kelapa sawit misalnya, produk CPO memberikan
nilai tambah sekitar 30% dari nilai TBS. Pengolahan selanjutnya memberikan
nilai tambah berbasis TBS masing-masing: minyak goreng (50%), asam lemak
2
kosmetik (600 – 1000%) (Didu, 2003). Produk kayu olahan menghasilkan nilai
tambah minimal empat kali dibandingkan kayu log, dan 12 kali dalam bentuk
furnitur (Hierold, 2010).
Pengembangan agroindustri sangat strategis jika dikelola secara
terintegrasi dan berkelanjutan. Terintegrasi artinya ada kaitan usaha sektor hulu
dan hilir (integrasi vertikal) secara sinergis dan produktif serta ada kaitan antar
wilayah, antar sektor bahkan antar komoditas (Djamhari, 2004). Integrasi adalah
“to make into a whole” baik dari sisi permintaan maupun pasokan (Frohlich dan
Westbrook, 2002). Basis integrasi dicirikan oleh ko-operasi, kolaborasi, berbagi
informasi, kepercayaan, kemitraan, penyebaran teknologi, pergeseran dari proses
individual ke proses rantai terintegrasi (Power, 2005; Rahman et al., 2008).
Manajemen perishablility dan ketidakpastian merupakan topik yang
menonjol dalam integrasi manajemen rantai pasok atau supply chain management
(SCM) agroindustri karena dapat mempengaruhi produktivitas atau pelayanan
konsumen pada satu proses atau lebih dalam rantai pasok, dan relatif sulit karena
keterbatasan umur simpan (Chande et al., 2005; Vorst et al., 2007). Jumlah dan
mutu bahan baku ini merupakan kendala utama pengembangan agroindustri
(Ghandi dan Jain, 2011).
Berkelanjutan dari sisi bisnis menyangkut aspek sosial, ekonomi dan
lingkungan serta konsisten dengan prinsip 3P (planet, people, profit) (Amatucci
dan Grim, 2011), serta ada kolaborasi dan interaksi dengan pemangku
kepentingan (Stubs dan Cocklin, 2008; D’Amato et al., 2009). Sustainability
didefinisikan sebagai kepedulian terhadap lingkungan dan masyarakat yang
merupakan fondasi dari suatu model proses bisnis (Timmons dan Spinelli, 2009).
Dimensi keberlanjutan bersifat multidisipliner. Kajian keberlanjutan meliputi
pembangunan, manusia, sosial, ekologis, dan lingkungan yang dikaitkan dengan
tanggung jawab sosial perusahaan (Maloni dan Brown, 2006; Stubbs dan
Cocklin, 2008).
Pengertian di atas dapat diterjemahkan secara lebih operasional bahwa
keberlanjutan memiliki tiga dimensi yakni ekonomi (bisnis), sosial (kesejahteraan)
dan lingkungan (produksi). Keberlanjutan akan terjadi jika bisnis dapat dikelola
3 kepentingan dan ditopang oleh produksi berkelanjutan dan kelestarian lingkungan.
Integrasi dimaksudkan untuk mengoptimalkan pertemuan tiga dimensi dalam
sistem produksi, pengolahan dan pemasaran.
Dari perspektif keberlanjutan mata pencarian, menurut Viswanathan
(2008), sistem usaha tani karet terintegrasi di India dan Thailand mampu
meningkatkan kemampuan dan kesejahteraan para petani gurem namun harus
dilakukan peningkatan skala usaha melalui aksi kolektif guna mendapatkan akses
informasi dan akses modal. Model ini dapat digunakan untuk mengatasi
ketidakpastian pasar dan perubahan kebijakan.
Informasi yang asimetris berdampak pada dominasi pihak-pihak tertentu
dalam aliran rantai pasok komoditas seperti pengumpul dan pedagang besar
(Birthal et al., 2007). Pada kasus rantai pasok karet alam di Indonesia misalnya,
peran pedagang perantara sangat dominan dan cenderung memutus integrasi rantai
pasok dari pihak petani ke pabrik atau eksportir. Akibatnya, para petani hanya
menerima nilai 30 – 40% dari nilai FOB SIR 20. Dengan demikian keuntungan
terakumulasi di pihak pedagang dan pabrik, tidak ditransmisikan kepada petani
karet dan penyadap (Arifin, 2005; Peramune dan Budiman, 2007). Ketentuan
Permentan No. 38/2008 tentang Pedoman Pengolahan dan Pemasaran Bahan Olah
Karet menyebutkan harga bokar sekurang-kurangnya adalah 75% dari harga FOB
per kilogram karet kering di tingkat unit pengolahan dan pemasaran bokar (UPPB)
dan 85% di tingkat pabrik.
Meski memiliki lahan karet terluas di dunia (3,4 juta ha), produktivitas karet
alam Indonesia relatif rendah, rata-rata 862 kg karet kering/ha/tahun. Lebih
rendah dibandingkan produsen lain seperti Thailand (1.875 kg/ha/tahun), India
(1.727 kg/ha/tahun), Vietnam (1.483 kg/ha/tahun) dan Malaysia (1.330
kg/ha/tahun) (Peramune dan Budiman, 2007). Produksi pada tahun 2008 adalah
2,9 juta ton sama dengan produksi Thailand tahun 2005 (Parhusip, 2008; Rahman
and Haris, 2010). Komposisi pemilikan kebun terdiri atas 85% perkebunan
rakyat, 8% perkebunan besar swasta dan 7% perkebunan negara pada tahun 2009
menyerap sedikitnya 2,3 juta tenaga kerja. Indonesia memasok 28% produksi
4
Pada tingkat petani, masalah pokok yang dihadapi adalah rendahnya
produktivitas dan kualitas pasokan bokar. Hal ini terutama disebabkan oleh
(Arifin, 2005; Utomo et al., 2008 dan Akiefnawati et al. (2008):
1) Rendahnya produktivitas kebun karet plasma karena kebanyakan
menggunakan tanaman asalan dan banyak pohon karet yang sudah tua dan
rusak. Penggunaan bibit klon unggul rata-rata baru mencapai 40%.
2) Permintaan bahan baku dari industri karet remah yang tidak mendorong
perbaikan kualitas bokar.
3) Dominasi pedagang perantara yang sudah lama terbentuk.
4) Belum berjalannya pola kemitraan yang saling menguntungkan antara pabrik
karet remah dengan petani.
5) Akses petani karet yang sangat terbatas terhadap teknologi anjuran.
6) Lembaga pendampingan petani yang belum memadai.
Berbagai upaya dapat dilakukan untuk meminimalkan faktor-faktor
kendala tersebut. Integrasi hulu-hilir diharapkan dapat mendorong perbaikan pada
setiap segmen mata rantai nilai komoditas karet. Hal ini dapat terjadi karena
integrasi memastikan pasar, menghilangkan peran pedagang perantara,
meningkatkan akses informasi, menumbuhkan kemitraan dan dukungan lembaga
layanan. Faktor-faktor penyebab di atas harus difahami dalam perancangan
sistem, model dan pemetaan nilai dalam mata rantai agroindustri karet.
Harmonisasi hubungan antara pemangku kepentingan meminimumkan hambatan
tersebut menjadi pertimbangan penting dalam pembentukan integrasi.
Malaysia, India dan Thailand telah lama menggunakan tanaman karet,
kelapa dan kayu sawit sebagai bahan baku industri perkayuan. Sementara di
Indonesia penggunaan kayu karet untuk industri pertukangan hanya mencapai
30%. Sekitar 80%-85% dari produk-produk furnitur Malaysia menggunakan
kayu karet dengan nilai ekspor furnitur kayu karet tersebut sekitar USD1.1 milyar.
Thailand juga menggunakan kayu karet sebagai bahan baku industri furniturnya
dengan total nilai ekspor sekitar USD 300 juta setiap tahunnya (FAO, 2005;
Welivita dan Amarasekara, 2008; Ratnasingam dan Wagner, 2009). Fakta ini
dapat dijadikan dasar bahwa integrasi dapat dilakukan secara vertikal dalam
5 Pada tahun 2004 ekspor kayu gergajian dari karet mencapai RM 1,2 milyar
(Lokmal et al., 2008). Efisiensi teknis industri furnitur yang didominasi UKM ini
rata-rata sekitar 44,53% dan masih berpeluang untuk ditingkatkan (Radam et al.
2010). Salah satu kunci sukses Malaysia dan Thailand mengembangkan industri
dan ekspor berbasis kayu karet adalah kebijakan pemerintah terhadap produksi
kayu karet, termasuk dukungan finansial dan bantuan teknis terhadap industri hilir
pengolahan kayu karet (Shigematsu et al., 2011).
Berdasarkan kajian Bank Indonesia (2008a), karet di Kalimantan Tengah
merupakan komoditas unggulan utama di sektor usaha perkebunan, bahkan
menempati peringkat teratas untuk komoditas, produk dan jasa unggulan lintas
sektor. Di sektor industri, urutan lima jenis usaha yang paling potensial adalah
(1) Mebel kayu, (2) Batu bata, (3) Kerajinan, (4) Anyaman rotan, dan (5)
Penggergajian dan pengolahan kayu. Semua keunggulan ini bisa dibangkitkan
secara simultan dan sinergis melalui pengembangan agroindustri karet alam dan
meremajakan kebun karet rakyat menggunakan klon-klon unggulan penghasil
lateks-kayu serta memanfaatkan kayu hasil peremajaan sebagai bahan baku
industri penggergajian dan furnitur secara terintegrasi.
1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan model agroindustri karet
alam terintegrasi dan berkelanjutan berbasis lateks dan kayu karet sesuai dengan
kebutuhan dan karakteristik daerah penelitian.
1.3 Manfaat Penelitian
1) Menghasilkan model pengembangan agroindustri karet alam terintegrasi baik
berbasis karet dan kayu berikut strategi pengembangannya sebagai model
pengembangan alternatif.
2) Memberikan kontribusi untuk model pengembangan ekonomi lokal maupun
regional berbasis komoditas unggulan yang pada akhirnya memberikan
kontribusi terhadap pengembangan ekonomi nasional.
3) Memberikan kontribusi pendekatan baru dalam pengembangan agroindustri
6
1.4 Ruang Lingkup Penelitian
1) Kajian dilakukan di Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah serta
beberapa kabupaten yang berdekatan di Propinsi Kalimantan Tengah dan
Kalimantan Selatan.
2) Pengertian terintegrasi pada kajian ini meliputi integrasi rantai nilai (integrasi
vertikal), serta mengakomodasi kepentingan seluruh pemangku kepentingan,
aspek pembangunan ekonomi lokal, industri, wilayah, kebijakan pemerintah
setempat serta kesesuaian dengan karakteristik dan kebutuhan daerah.
3) Para pelaku pengembangan agoindustri karet alam yang akan dilibatkan
dalam kajian ini adalah pemerintah, petani karet dan para pengusaha pemilik
perkebunan swasta maupun PTPN, beberapa pabrik pengolah karet serta
sentra industri mebel yang lokasinya relatif berdekatan.
4) Industri karet alam berbasis lateks pada kajian ini dibatasi pada industri karet
remah SIR 20 dan industri berbasis kayu karet adalah industri kayu olahan
2. PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI TERINTEGRASI
DAN BERKELANJUTAN
2.1 Integrasi industri
Integrasi industri masuk dalam obyek kajian organisasi industri terkait
dengan cara kerja pasar dan industri khususnya bagaimana cara perusahaan
bersaing satu dengan lainnya yang merupakan ranah mikroekonomi (Shy, 1995).
Pemahaman tentang prilaku organisasi industri ini dianggap sebagai salah satu
sumber fundamental keunggulan bersaing dalam konteks manajemen strategis
(Njuguna, 2009; Shiferaw et al., 2011). Suatu organisasi modern, apapun
ukurannya, membutuhkan kerjasama integratif yang menjamin keefektifan aliran
data dan informasi seperti juga aliran barang. Pada skala UKM, tekanan ini terasa
lebih kuat untuk membangun sebuah solusi teknologi murah untuk pertukaran
data dan informasi (Auinger dan Nedbal, 2008).
Integrasi industri adalah “pengelompokan cabang-cabang industri yang
berbeda dalam sebuah perusahaan yang dapat menggambarkan urutan tahap
pengolahan bahan baku atau pelengkap bagi satu sama lainnya”. Integrasi
industri terbentuk dengan tiga cara: (1) kombinasi urutan tahapan pengolahan
produk, (2) penggunaan bahan mentah secara komprehensif, (3) penggunaan
produk samping pengolahan oleh perusahaan lain. Integrasi dalam industri secara
langsung terkait dengan pemusatan, spesialisasi dan kerjasama dalam produksi
dan mendorong peningkatan efisiensi, alokasi rasional tenaga kerja produktif dan
pengembangan kompleks industri teritorial (Denisenko, 2000). Integrasi juga bisa
terjadi dalam bentuk penyatuan unit-unit usaha kecil dan terpisah guna mencapai
skala operasional secara kolektif (Shiferaw et al., 2011).
Meningkatnya tekanan ekonomi memaksa perusahaan untuk menemukan
level baru kinerja operasional (Sarkar, 2011). Tekanan ekonomi bisa bersumber
dari luar seperti para pemangku kepentingan, mitra kerja (pemasok), tuntutan
mutu, ketepatan waktu dan ketersediaan dari pelanggan, lingkungan bisnis,
regulasi, pesaing, maupun dari internal perusahaan sendiri terkait inefisiensi,
manajemen inventori, keterbatasan teknologi dan tenaga kerja serta dis-integrasi
8
Gambar 2.1. Tekanan ekonomi terhadap perusahaan (Sarkar, 2011)
Peningkatan biaya dan friksi transaksi pada rantai pasok dapat ditekan
melalui integrasi aliran informasi yang cost-effective (Shavazi et al., 2009; Joshi,
2010). Integrasi permintaan ditunjukkan oleh efisiensi dalam pengiriman, dan
integrasi pasokan ditunjukkan oleh pemasok yang dapat diandalkan (Frohlich dan
Westbrook, 2002). Menurut Djamhari (2004) terintegrasi artinya ada keterkaitan
usaha sektor hulu dan hilir (integrasi vertikal) secara sinergis dan produktif serta
ada keterkaitan antar wilayah, antar sektor bahkan antar komoditas. Integrasi
vertikal merupakan strategi untuk menjamin kelangsungan pasokan input vital
yang menunjukkan derajat integrasi antara rantai nilai perusahaan terhadap
pemasok dan distributornya, meski sulit diukur secara kuantitatif (Riordan, 2005;
Clinton et al., 2008).
Strategi integrasi vertikal digunakan untuk menjamin kelangsungan pasokan
input vital. Integrasi vertikal menunjukkan derajat integrasi antara rantai nilai
perusahaan terhadap pemasok dan distributornya, meski sulit diukur secara
kuantitatif. Pada beberapa kasus, teori ekonomi biaya transaksi diterapkan pada
integrasi hulu maupun integrasi hilir untuk menekan biaya total, meningkatkan
posisi tawar perusahaan, dan memperoleh margin dari hulu dan hilir (Chen dan
9 dapat digunakan dalam pengelolaan rantai nilai dari hulu hingga hilir sesuai
dengan kebutuhan dan kemanfaatan yang dapat diperoleh. Di bidang pertanian,
bentuk integrasi vertikal yang paling umum adalah sistem tani kontrak atau
contract farming (Rehber, 1999; Kirsten dan Sartorius, 2002). Tani kontrak
merupakan lembaga untuk mengintegrasikan petani kecil dengan pasar (Costales
and Catelo, 2008).
Teori ekonomi biaya transaksi sering diterapkan pada integrasi hulu
maupun integrasi hilir untuk menekan biaya total, meningkatkan posisi tawar
perusahaan, sekaligus memperoleh profit margin dari hulu maupun hilir. Teori ini
memberikan titik awal yang baik untuk analisis penjelasan mengapa tugas tertentu
ditangani oleh perusahaan dan tugas lainnya oleh pasar. Biaya transaksi dibagi
menjadi biaya koordinasi dan risiko transaksi. Biaya koordinasi adalah biaya
langsung keputusan integrasi di antara aktivitas ekonomi, sementara risiko
transaksi terkait dengan paparan yang dieksploitasi dalam suatu hubungan.
Ketidakpastian dan asset spesifik adalah dua faktor yang meningkatkan biaya
koordinasi dan risiko transaksi (Whinston, 2003; John dan Reve, 2010;
Williamson, 2010; Yigitbasioglu, 2010). Meski meningkatkan efisiensi dan
dayasaing secara signifikan, strategi integrasi vertikal memunculkan perdebatan
terkait kebijakan anti monopoli dan regulasi industri di era 1960an – 1970an
(Church, 2006; Hovenkamp, 2009; Shapiro, 2010; Owen, 2011). Pengalaman
beberapa tahun di Indonesia, integrasi vertikal pada industri sawit dan kertas
justru terperangkap pada praktek konglomerasi. Di Indonesia ada UU No. 5/1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Integrasi industri dalam konteks lokasi atau distrik industri telah
berkembang sejak abad ke-19 dengan tujuan untuk mencapai skala ekonomi.
Alfred Marshall dalam buku Principles of Economics tahun 1890
memperkenalkan konsep agglomerasi ekonomi guna menghemat biaya
transportasi karena kedekatan pada pemasok maupun konsumen, menyatukan
pasar pekerja, serta memanfaatkan keunggulan komparatif (Bekele dan Jackson,
2006). Aglomerasi memainkan peran penting dalam integrasi vertikal ketika
dikombinasikan dengan teknologi, dan pilihan integrasi vertikal dipengaruhi oleh
10
Kedekatan industri-industri secara geografis merupakan alternatif integrasi
vertikal (Vial dan Suescun, 2010).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa integrasi industri dapat terjadi
secara vertikal dan horizontal. Integrasi vertikal umumnya terjadi pada integrasi
rantai pasok, dimana di sini terdapat integrasi internal dan eksternal. Integrasi
horizontal terjadi antar perusahaan pada level kegiatan yang sama meski tidak
sebanyak integrasi vertikal. Integrasi dapat berbentuk aglomerasi dimana dua
atau lebih perusahaan dari industri sejenis saling berdekatan pada kawasan
tertentu. Integrasi juga terjadi pada pelaku sepanjang rantai nilai dalam bentuk
kemitraan dan aksi kolektif untuk mencapai skala operasional ekonomis yang
semuanya bertujuan meningkatkan efisiensi, memenangkan persaingan,
penghematan dan peningkatan keuntungan.
2.2 Integrasi manajemen rantai pasok
Rantai pasok adalah rangkaian tiga entitas atau lebih yang terlibat langsung
dari hulu hingga hilir dalam aliran produk, jasa, dana dan/atau informasi dari
sumber hingga mencapai konsumen (Mentzer et al., 2001). Integrasi rantai pasok
merupakan salah satu alat persaingan yang kuat dalam ekonomi bisnis global.
Untuk produk pertanian, rantai pasok yang sukses bukan hanya mereduksi biaya
transaksi bahkan melepaskan kendala institusi untuk saluran distribusi tradisional
(Roekel et al., 2002). Ada tiga kekuatan penggerak pasar yang mendorong mitra
rantai pasok untuk bekerja sama yaitu segmentasi pasar, permintaan konsumen
dan strategi biaya rendah (Roekel et al., 2002a).
Integrasi merupakan tema kunci dalam kajian SCM, dan integrasi eksternal
rantai pasok menjadi kunci untuk memperoleh keunggulan bersaing di lingkungan
global saat ini (Quesada et al., 2008). Beberapa peneliti (Jahre dan Costes, 2005;
Smart, 2008; Breite dan Maenpaa, 2009) menggunakan istilah SCM dalam
pengertian integrasi rantai pasok dan logistik, diantaranya menggunakan definisi
“SCM adalah integrasi simultan kebutuhan pelanggan, proses internal dan
kinerja pemasok sektor hulu” (Smart, 2008).
Tiga elemen utama integrasi rantai pasok adalah sistem informasi
(manajemen aliran informasi dan dana), manajemen inventori (aliran produk dan
11 Dengan demikian, basis integrasi dicirikan oleh ko-operasi, kolaborasi, berbagi
informasi, kepercayaan, kemitraan, penyebaran teknologi, pergeseran dari proses
individual ke proses rantai terintegrasi (Power, 2005; Rahman et al., 2008; Thoo
et al., 2011).
SCM adalah pengelolaan jaringan fasilitas yang memproduksi bahan baku,
mengubahnya menjadi produk antara hingga produk akhir, dan menyampaikannya
kepada konsumen melalui sistem distribusi untuk memenuhi kepuasan konsumen
dan memenangkan persaingan (Awad dan Nasar, 2010; Cuthbertson, 2011; Habib,
2010; Jain et al., 2010; Shukla et al., 2011). SCM juga meliputi koordinasi dan
kolaborasi dengan saluran mitra baik pemasok, perantara, pihak ketiga penyedia
jasa dan pelanggan (Mentzer et al., 2001; Mentzer dan Gundlach, 2009). Ilustrasi
rantai pasok sederhana disajikan pada Gambar 2.2.
Bahan baku
Penanganan
pascapanen Pengolahan
Distribusi
& logistik Konsumsi
: aliran barang
: aliran informasi dan dana
Gambar 2.2. Rantai pasok sederhana (Vorst et al., 2007).
Meski populer dan penting, menurut Naslund dan Williamson (2010) SCM
tidak memiliki definisi yang diterima secara universal. Terdapat beberapa
perbedaan dan persaingan kerangka kerja untuk SCM, isu-isu terkait terminologi
dan relatif kurangnya bukti yang mendukung manfaat SCM. Stock dan Boyer
(2009) yang me-review 173 definisi SCM dari berbagai buku dan jurnal
menyatakan, “bukan hanya terlalu banyak definisi, ketiadaan definisi yang
disepakati berdampak negatif bagi praktisi maupun peneliti. Dari perspektif
teoritis tidak mungkin mengembangkan teori SCM yang kuat hingga konstruksi
yang sahih dan definisi yang diterima telah dikembangkan”. Dari kajian ini
didapat tiga tema utama yang digunakan untuk mendefinisikan SCM, yaitu
aktivitas, manfaat dan komponen yang mencakup: material/fisik, jasa, aliran dana
dan informasi, jaringan kerjasama (internal maupun eksternal), penciptaan nilai,
12
SCM merupakan cara baru dan menjanjikan untuk meraih keunggulan
bersaing. Pemahaman mendalam terhadap rantai pasok memungkinkan
perusahaan menggali sumber sukses untuk bersaing di pasar global (Min dan
Zhao, 2002; Li et al., 2008; Joshi, 2010) dan implementasi integrasi rantai pasok
merupakan sumber keunggulan bersaing (Power, 2005; Rahman et al., 2008;
Breite dan Maenpaa, 2009).
Dari sisi pelaku, Behesthi et al. (2009) dan Smart (2008) membagi level
strategi integrasi menjadi empat, yaitu: terintegrasi secara internal, terintegrasi
dengan pemasok (backward), terintegrasi dengan pelanggan (forward), dan
terintegrasi penuh (Gambar 2.3).
2. Terintegrasi dengan pemasok 4. Terintegrasi penuh
1. Terintegrasi secara internal 3.Terintegrasi dengan pelanggan
Gambar 2.3. Level strategi integrasi rantai pasok (Behesthi et al., 2009).
Menurut Flynn et al. (2008) integrasi dengan pelanggan dan pemasok
termasuk integrasi eksternal. Integrasi dengan pelanggan melibatkan kompetensi
inti yang diperoleh dari koordinasi dengan pelanggan inti, dan integrasi dengan
pemasok melibatkan kompetensi inti terkait dengan pemasok penting. Sementara
integrasi internal fokus pada aktivitas internal perusahaan untuk memenuhi
permintaan pelanggan dan berinteraksi secara efisien dengan pemasok. Integrasi
internal dan integrasi dengan pelanggan memiliki pengaruh yang lebih kuat
terhadap kinerja rantai pasok daripada integrasi dengan pemasok. Hal ini bisa
difahami karena integrasi dengan pelanggan atau konsumen merupakan integrasi
hilir, dimana nilai tambah terbesar dalam aliran rantai pasok memang terletak di
bagian hilir yakni pengolahan, distribusi dan pemasaran.
Tujuan dasar SCM adalah mengoptimalkan kinerja rantai dan memberikan
nilai tambah sebesar-besarnya dengan biaya serendah mungkin, atau mengaitkan
semua agen rantai pasok untuk bekerja sama untuk memaksimalkan produktivitas Perusahaan
Pemasok Pelanggan
Perusahaan
Pemasok Pelanggan
Perusahaan
Pemasok Pelanggan
Perusahaan Pelanggan
13 dan memberi manfaat sebesar-besarnya kepada semua pihak yang terlibat.
Untuk sukses dan mampu bersaing perusahaan harus mampu mengintegrasikan
bisnis, teknologi, tenaga kerja dan proses bukan hanya dalam perusahaan tapi juga
lintas perusahaan (Awad dan Nasar, 2010; Katunzi, 2011; Shukla et al., 2011).
Menurut Vorst et al. (2007), integrasi tidak harus dilakukan pada seluruh proses,
tapi bisa dipilih sesuai kondisi dan kebutuhan dengan tetap konsisten pada tujuan
untuk memenuhi tuntutan konsumen dan memenangkan persaingan (Tabel 2.1).
Tabel 2.1. Proses bisnis yang dapat diintegrasikan dalam rantai pasok
Proses bisnis Keterangan
Manajemen hubungan pelanggan
Membatasi kesepakatan level pelayanan dengan pelanggan kunci
Manajemen pelayanan pelanggan
Menyediakan informasi real-time untuk pelanggan tentang jadwal pengiriman dan ketersediaan produk melalui antarmuka produksi dan operasi distribusi perusahaan
Manajemen permintaan Menyeimbangkan keinginan pelanggan dengan kapabilitas pasokan
perusahaan
Pemenuhan pesanan Mengirim produk sesuai waktu dan mutu yang diinginkan
pelanggan
Manajemen aliran manufakturing
Menarik produk melalui basis pabrik sesuai kebutuhan pelanggan
Penyediaan
Pelanggan dan pemasok harus diintegrasikan ke proses pengembangan produk guna mereduksi waktu mencapai pasar
Proses putaran Menata proses untuk mewujudkan putaran yang efisien untuk
barang-barang yang bisa digunakan lagi
Sumber: Vorst et al. (2007)
Syarat sukses penerapan SCM adalah perilaku terintegrasi, saling berbagi
informasi, saling berbagi risiko dan manfaat, kerjasama, kesamaan tujuan dan
fokus dalam melayani pelanggan, integrasi proses, dan kemitraan untuk membina
dan memelihara hubungan jangka panjang (Mentzer et al., 2001; Ren et al., 2010).
Pada kasus industri pangan, prakarsa multi-stakeholder yang melibatkan petani,
akademisi, peneliti, pemerintah dan LSM menjadi penting untuk meningkatkan
standar bagi komoditas lokal dan rantai pasok komoditas pangan termasuk pangan
olahan (Smith, 2008). Penelitian Bhuyan (2005) menunjukkan bahwa integrasi
14
pasar pabrik pengolahan pangan di pasar produk akhir. Justru struktur pasar dan
koordinasi yang secara signifikan mempengaruhi kekuatan pasar industri pangan.
Efeknya akan berbeda jika yang diterapkan adalah hubungan vertikal semisal
kontrak atau kemitraan.
Kendala penerapan SCM adalah masalah kemitraan dengan pemasok,
kurang pengalaman, kurang komitmen manajemen, kurang pemahaman tentang
SCM, dukungan teknologi dan kepuasan konsumen. Di level UKM, kendala
penerapan SCM adalah kurangnya ketrampilan, pengetahuan, posisi tawar,
infrastruktur dan kepercayaan (Rahman et al., 2008). Fawcet et al. (2008)
menyatakan faktor manusiawi merupakan faktor kunci keberhasilan kolaborasi
dalam SCM. Isu-isu seperti budaya, kurangnya kepercayaan, keengganan
berubah, dan kurangnya kemauan bekerja sama justru lebih krusial sebagai
kendala penerapan dan perlu mendapat perhatian lebih ketimbang sekedar fokus
pada masalah teknologi, informasi dan sistem pengukuran kinerja.
2.3 Aspek keberlanjutan
Dalam sejumlah literatur, kajian keberlanjutan meliputi pembangunan,
manusia, sosial, ekologis, lingkungan, dan perusahaan yang dikaitkan dengan
tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) (Maloni dan Brown, 2006; Stubbs dan
Cocklin, 2008). Dahlsrud (2006) meneliti setidaknya ada 37 definisi CSR yang
mencakup lima dimensi: lingkungan, sosial, ekonomi, stakeholder dan sukarela
(voluntariness). Rahman (2011) mengkaji 10 dimensi dari sejumlah definisi CSR
sejak 1953 – 2009 menyimpulkan bahwa dimensi CSR meliputi: kewajiban
terhadap masyarakat, keterlibatan stakeholder, peningkatan kualitas hidup,
praktek bisnis etis, taat hukum, sukarela, hak asasi manusia, perlindungan
lingkungan serta transparansi dan akuntabilitas. Namun secara umum indikator
keberlanjutan yang dipakai adalah dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan yang
dikenal dengan istilah triple bottom line (Fauzi et al., 2010).
Viabilitas dan dayasaing jangka panjang perusahaan tidak semata-mata
diukur dari aspek finansial, melainkan juga evaluasi aspek keberlanjutan terkait
isu lingkungan, sosial dan kinerja ekonomi (Croom et al., 2009; Yakovleva et al.,
2010; Cetinkaya, 2011; Cuthbertson, 2011; Marrone et al., 2011). Stubbs dan
15 (SBM) menyatakan bahwa perusahaan yang mengadopsi SBM harus
mengembangkan kapabilitas struktur dan kultur internal untuk mencapai
firm-level sustainability dan berkolaborasi dengan stakeholder kunci guna mencapai system sustainability dimana perusahaan merupakan bagian dari sistem tersebut.
Pertumbuhan berkelanjutan jangka panjang agro-industrialisasi ditentukan
oleh pasar yang kuat dan peluang ekonomi yang terletak berdekatan dengan
pasokan bahan baku yang melimpah. Faktor-faktor ini lebih penting daripada
ketersediaan tenaga kerja murah, dan merupakan basis utama pengembangan
agroindustri di suatu wilayah. Sejumlah negara industri baru di Asia Timur
memindahkan lokasi industrinya ke Asia Tenggara bukan hanya karena tenaga
kerja yang lebih murah, namun lebih karena keterbatasan bahan baku yang
dimiliki (Hicks, 2007).
World Commission on Environment and Development (WCED) tahun
1987 mendefinisikan pembangunan berkelanjutan adalah “development that
meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs” (Plummer, 2005). Konsep sustainable development menggabungkan dua tujuan penting: 1) memastikan hidup yang
layak, aman dan sejahtera bagi semua manusia sebagai tujuan pembangunan, dan
2) untuk hidup dan bekerja dengan kesesuaian batas bio-fisik lingkungan, sebagai
tujuan dari kelestarian (Ciegis dan Štreimikien, 2005; Ciegis et al., 2009).
Menurut Plumer (2005) pemberdayaan masyarakat merupakan ide sentral
pembangunan berkelanjutan. Pemberdayaan berkontribusi terhadap keberhasilan
sumber daya alam atau program manajemen ekosistem karena melibatkan
prinsip-prinsip good government, pembuatan keputusan kolektif dan partisipasi
masyarakat. Jadi poin penting dalam pembangunan berkelanjutan adalah 1) sesuai
untuk kebutuhan sekarang, 2) tidak mengganggu kebutuhan generasi mendatang,
3) jangka panjang, 4) tidak menganggu keseimbangan lingkungan dan 5)
berorientasi pada kesejahteraan jangka panjang.
Pembangunan berkelanjutan juga harus mempertimbangkan, pengetahuan
dan nilai-nilai lokal yang berlaku. Kebijakan pembangunan yang mengabaikan
aspek lokal telah memunculkan masalah sosial, budaya dan lingkungan.