DINAMIKA FORGIVENESS PADA ORANG DEWASA
YANG PERNAH MENGALAMI CHILD ABUSE
S K R I P S I
G u n a M e m e n u h i P e r s y a r a t a n
U j i a n S a r j a n a P s i k o l o g i
OLEH :
REINIDAR DEVIRASARI NIRMALA HAYATI
031301009
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
BAB I PENDAHULUAN
I. A Latar Belakang Masalah
Anak-anak memiliki kebutuhan yang harus dipuaskan agar dapat tumbuh secara normal bahkan sejak mereka masih bayi (Papalia, 2004).
Kebutuhan-kebutuhan tersebut meliputi Kebutuhan-kebutuhan fisik sampai psikologis yang pada umumnya dipenuhi oleh caregiver (orang tua, kakek/nenek, pengasuh, atau orang
dewasa yang bertanggung jawab atas pengasuhan dan kesejahteraan anak) (Santrock, 1998). Dengan demikian, anak akan merasakan pengalaman cinta yang murni dan disiplin yang sehat. Kondisi tersebut memberikan mereka perasaan
aman dan puas sehingga anak dapat berkembang sesuai dengan real self mereka (Horney, dalam Feist, 2002)
Orang tua, sebagai caregiver utama, memiliki kontribusi yang sangat besar
dalam memberikan cinta dan perhatian pada anak untuk mendukung perkembangan anak sehingga menjadi orang dewasa yang kompeten (Santrock,
1998).
Memang, kebanyakan orang tua mencintai dan memelihara anak-anak mereka dengan baik, namun pada kenyataannya, beberapa orang tua tidak mampu
atau tidak mau peduli dan ada pula yang dengan sengaja menyakiti atau membunuh anak-anak mereka. (Papalia, 2004). Bahkan, ada juga orang tua yang
Berdasarkan data dari informasi dan dokumen di Pusat Kajian dan
Perlindungan Anak (PKPA), ada sekitar 27,4 % dari 62 kasus penganiayaan terhadap anak di Sumatera Utara, dilakukan oleh orang tua sepanjang tahun 2006
meliputi 11 kasus dilakukan oleh orang tua kandung, 4 kasus oleh orang tua tiri, dan 2 kasus oleh orang tua angkat. Tentunya, jumlah tersebut bukan merupakan angka keseluruhan anak yang mengalami penganiayaan oleh orang tua di
Sumatera Utara. Fenomena seperti ini sering disebut sebagai aib keluarga sehingga tidak terbuka dan tidak melibatkan orang lain. Selain itu, anak juga
merasa takut menceritakan perlakuan orang tuanya pada orang lain karena budaya di Indonesia mengharuskan anak sejak kecil patuh dan taat kepada orang tua. Anak sering dibelenggu dogma-dogma yang mengabaikan hak anak untuk
mengemukakan pendapat.
Peristiwa penganiayaan anak biasa dikenal dengan istilah child abuse atau
child maltreatment. Child abuse atau child maltreatment meliputi dua perilaku
yaitu abuse dan neglect. Abuse mengarah pada tindakan yang menimbulkan kerusakan pada anak, sedangkan neglect mengarah pada tidak ada tindakan sama
sekali, yaitu pengabaian yang merusak anak. Perilaku abuse dan neglect ini memiliki empat tipe. Pertama, physical abuse, yaitu kekerasan terhadap fisik anak yang dapat berupa pukulan, tendangan atau pembakaran. Kedua, neglect,
merupakan pengabaian atau kegagalan memenuhi kebutuhan fisik, emosi dan pendidikan dasar anak. Ketiga, sexual abuse, merupakan kegiatan seksual yang
The Child Abuse Prevention and Treatment Act (CAPTA) (dalam
McDonal, 2007) menyatakan bahwa child abuse merupakan penganiayaan terhadap anak yang dilakukan oleh orang tua atau caregiver yang bertanggung
jawab atas kesejahteraan anak, namun pada penelitian ini peneliti berfokus pada orang tua sebagai pelaku child abuse.
Rafeinstein (2000) mengutip pengalaman Rebecca sebagai anak yang
tumbuh dengan ibu yang abusive secara fisik dan verbal, serta ayah yang jarang ada di rumah :
“...Ibuku sering memanggilku dengan sebutan ‘bodoh’ atau ‘idiot’. Kalau aku melakukan kesalahan ibu akan memukul dan membenturkan kepalaku... sedangkan ayah menyayangiku tapi tidak pernah ada saat aku membutuhkannya. Ia selalu sibuk dengan pekerjaannya.”
Pada umumnya, orang dewasa yang yang melakukan kekerasan terhadap
anak mereka sendiri kurang memiliki kontrol atas dorongan agresi dan memiliki pemikiran yang tidak realistik bahwa anak-anak dapat memenuhi kebutuhan
emosionalnya sendiri. Biasanya mereka juga memiliki sejarah kekerasan ketika mereka kecil (Kempe et al. dalam Berk, 2000). Sejarah kekerasan biasanya merupakan hasil dari pola asuh keluarga yang menerapkan hukuman sebagai dasar
pendisiplinan. Orang tua kadang menghukum anak-anak mereka untuk menghentikan perilaku yang tidak diinginkan, mengontrol perilaku anak-anak
sebagaimana dulu mereka dikontrol (Santrock, 1998).
Papalia (2004) menambahkan bahwa anak-anak yang mengalami kekerasan berasal dari semua usia, namun angka tertinggi adalah usia 3 tahun ke
biasanya ibu, kecuali untuk kasus sexual abuse. Selain itu, anak perempuan 4 kali
lebih beresiko mengalami sexual abuse dibandingkan anak laki-laki.
Karakteristik fisik maupun psikologis tertentu pada anak dapat pula
memicu terjadinya child abuse. Anak yang hiperaktif, cengeng, mental retardasi, dan anak yang sulit diatur (Berns, 2004), bayi prematur, anak yang sakit parah, anak yang ceroboh, overaktif atau memiliki masalah perkembangan lain, serta
anak hasil kehamilan yang tidak diinginkan (Berk, 2000) cenderung mengalami
child abuse.
Child abuse juga bisa dihubungkan dengan nilai budaya, hukum dan
kebiasaan yang dipegang keluarga turun-temurun. Masyarakat yang memandang kekerasan sebagai cara yang tepat untuk mengatasi masalah cenderung melakukan
child abuse. Di Amerika, dimana perilaku kekerasan secara luas diterima, lebih
dari 90% orang tua melaporkan menggunakan tamparan dan memukul bokong untuk mendisiplinkan anak, sedangkan di negara-negara yang tidak menerima
adanya hukuman fisik, seperti China, Jepang, Luxemburg dan Swedia, jarang terjadi child abuse (Staub; Zigler & Hall, dalam Berk, 2000)
Faktor lain seperti rendahnya pendapatan, pengangguran, konflik perkawinan, domestic violence, stres pada orang tua, sering berpindah-pindah tempat tinggal, dan pemakaian obat-obatan terlarang juga mempengaruhi
kemungkinan terjadinya child abuse (Berk, 2000).
Child Abuse dapat menyebabkan akibat yang serius, baik bagi fisik,
tertular penyakit menular seksual, dan mungkin saja, kehamilan (Wibisono, 2004).
Mengalami pengabaian dan kekerasan emosional mengakibatkan anak cenderung tumbuh dengan buruk dan mengalami masalah medis karena kekurangan nutrisi
(Berns, 2004).
Dampak psikis dari child abuse dapat berupa kesulitan berkonsentrasi, mengalami gangguan belajar, dan prestasi menurun. Anak-anak korban child
abuse juga tidak mampu mengembangkan keterampilan sosial. Mereka
berperilaku agresif sehingga cenderung ditolak teman sebaya atau malah menjadi
pasif atau menarik diri karena merasakan ketidakberdayaan. Mereka juga takut orang tua akan kehilangan kontrol sehingga memilih menghindar dari orang tua (Papalia, 2004). Kurangnya pengasuhan yang normal selama masa kanak-kanak
dapat menyebabkan individu mengganti kebutuhan akan cinta dan perasaan aman yang hilang dengan obat-obatan terlarang, alkohol, makanan, objek material, seks, dan berjudi (Berns, 2004). Selain itu, anak juga mengalami tekanan psikologis
seperti takut, stres, trauma (Wibisono, 2004), rasa marah dan khayalan untuk membalas dendam (Herman, 1997).
Kemarahan yang merupakan akumulasi dari perasaan dikhianati, dan ketidakberdayaan kemudian dapat berubah menjadi amukan yang kuat setelah anak dewasa. Anak juga mengalami kesulitan membangun kepercayaan, dan
merasa tidak berharga (Crosson, 2002). Penderitaan akibat dampak-dampak kekerasan pada anak tidak hanya terjadi setelah mengalami tindak kekerasan
dapat berupa histeris, mimpi buruk, dan merasa peristiwa lalu muncul lagi
(Wibisono, 2004).
Biere (1992) memberi istilah adult survivor untuk orang dewasa yang
memiliki pengalaman menjadi korban kekerasan pada masa kanak-kanak. Tanpa intervensi yang tepat, anak yang merasakan penderitaan akan tumbuh menjadi orang dewasa yang menderita juga. Mereka akan menjalani hidup dengan
membawa trauma dan dampak negatif jangka panjang dari pengalaman mereka. Rebecca (dalam Rafeinstein, 2000) menceritakan efek pengalamannya
sebagai korban child abuse berupa kemarahan yang terus dibawanya bahkan setelah ia dewasa dan berkeluarga:
“Aku menghabiskan seluruh masa kanak-kanakku dengan ketakutan melakukan sesuatu yang akan membuatnya jengkel. Sebagai hasilnya, aku hidup dengan rasa marah yang konstan.... Bertahun-tahun, aku menyesuaikan diri dengan semua kemarahan, yang menghabiskan energiku dan menghalangi kebahagiaanku. Aku juga secara fisik sering sakit. Aku benar-benar kacau."
Banyak survivors mengungkapkan bahwa selain merasa marah, mereka juga merasakan ketidakberdayaan dan ketakutan ketika dianiaya atau melihat
anggota keluarga lain (bahkan hewan peliharaan) dianiaya. Mereka kemudian belajar mengembangkan keahlian mengenal tanda-tanda akan terjadi kekerasan, misalnya perubahan ekspresi wajah, suara dan bahasa tubuh orang tua. Apabila
orang tua menunjukan reaksi tersebut, mereka berusaha melindungi diri dengan menghindar atau melarikan diri, dan jika gagal, mereka akan berusaha menjadi
tirinya marah-marah sehingga ia memilih menghindar, berharap ibu tirinya tidak
semakin marah.
“..Ya kami baek-baek lah. Jangan sampek tambah marah pula dia kan.... Bis tu kami pigi aja masuk kamar. Takut kami mamak tiri kami tambah marah…”(komunikasi personal, 26 Agustus 2007)
Menekan rasa marahnya dan berusaha menjadi ‘anak yang baik’ membuat anak berespon secara pasif yaitu dengan tidak mengkomunikasikan perasaan, pikiran dan perilaku secara langsung kepada orang tua, melainkan dengan
cara-cara seperti berdiam diri, tindakan agresif pasif, dan merenungi (ruminate) child
abuse yang dialaminya serta perasaannya. Mereka tidak langsung mengatakan
atau melakukan perbuatan yang menunjukkan bahwa mereka marah dan benci atas perilaku abusive yang dialaminya, melainkan terus mengingat-ingat dan menyimpan perasaan di dalam hati, atau melakukan “sesuatu” tanpa
sepengetahuan orang tua (Worthington, 1999).
Dalam trilogi novelnya, Dave (dalam Pelzer, 2003) menceritakan
pengalaman pribadinya sebagai orang berhasil bertahan hidup setelah mengalami
physical abuse, emotional abuse, dan neglect dari ibu kandungnya sendiri sejak ia
berusia 4 tahun. Berikut kutipan yang menunjukan keadaan rumination Dave
dewasa terhadap ibunya ketika ia berkunjung ke rumah ibunya:
langsung kubunuh, tapi kucopot daya hidupmu perlahan-lahan. Aku bisa melakukannya, sungguh aku bisa’” (hal 281-282)
Individu yang mengalami emosi-emosi tersebut di atas dikatakan sedang
berada dalam keadaan unforgive (tidak memaafkan). Unforgiveness didefinisikan sebagai emosi "dingin" yang melibatkan rasa marah, sakit hati, dan rasa benci, bersamaan dengan motivasi untuk menghindari atau membalas transgresor
(pelaku kejadian penyerangan). Emosi dingin tidak mudah hilang seiring berjalannya waktu, kecuali apabila dilakukan intervensi yang tepat (Worthington,
1999).
Emosi-emosi dingin ini mengakibatkan dampak buruk bagi individu yang mengalaminya antara lain menurunnya fungsi kekebalan tubuh dan depresi
(Zechmeister, 2004). Worthington (dalam Lucia, 2005) juga mengatakan bahwa setiap kali seseorang merasa tidak memaafkan, orang tersebut menjadi lebih mungkin terkena masalah kesehatan. Emosi-emosi negatif dapat memperbesar
kemungkinan terjadinya penyakit jantung dan kanker dan individu akan sulit mencapai kebahagiaan dalam hidupnya. Oleh karena itu, individu berusaha
menghilangkan atau setidaknya mengurangi unforgiveness.
Ada banyak cara sehingga seseorang dapat mengurangi unforgiveness, misalnya dengan langsung membalas, membalas dendam, menuntut keadilan atau
dengan defense psikologis (represi, proyeksi, denial, dan sebagainya). Cara-cara tersebut mungkin dapat mengurangi beberapa emosi negatif, namun emosi negatif
mengatasi unforgiveness yaitu dengan forgiveness (pemaafan) (Worthington &
Wade, 1999).
Menurut Lucia (2005), ketika seseorang memaafkan, ia mengganti
perasaan unforgiveness dengan emosi yang lebih positif, seperti empati, simpati, dan cinta. Forgiveness dapat mengurangi permusuhan dan stres negatif yang dirasakan seseorang.
Forgiveness difasilitasi oleh peristiwa yang menyebabkan disonansi
emosi. Disonansi emosi terjadi ketika korban mengalami emosi-emosi positif
seperti empati, rasa kasihan, kerendahan hati, menyukai, humor, dan mencintai. Emosi-emosi ini bertolak belakang dengan emosi awal (unforgiveness) yang dirasakan korban sehingga korban merasa tidak nyaman dan akan berusaha
menyeimbangkan emosinya. Akan tetapi, mengalami disonansi emosi tidak berarti menyebabkan forgiveness. Orang yang merasakan disonansi emosi juga mungkin saja malah kembali unforgive (Worthington & Wade, 1999).
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi forgiveness antara lain empati,
rumination (merenungi kejadian yang menimbulkan sakit hati), kualitas
hubungan, permintaan maaf (McCullough, 2000), agama dan kepercayaan (Worthington & Wade, 1999). Faktor-faktor tersebut ada yang berkorelasi positif dan ada yang berkorelasi negatif dan dapat mempengaruhi disonansi emosi pada
diri korban, namun apakah individu forgive atau kembali unforgive ditentukan oleh korban sendiri. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Worthington & Wade
Anda (bukan nama sebenarnya) memiliki ayah yang dulunya adalah
seorang penjudi dan pemabuk. Sejak kecil ia dan anggota keluarganya yang lain sering dipukuli ayahnya. Perasaan unforgive-nya juga diperparah karena ia tidak
tahan melihat ibunya menderita. Pada akhirnya, Anda memilih forgive setelah melihat ibunya bahagia setelah ayahnya sadar dan berubah.
“..masalah abang sama bapak kan karna dia mabok-mabok itu. Kalo udah mabok woo.. Bukannya apa, Abang paling gak tahan nengok mamak. Dulu kalo dibilang dendam, dendam kali Abang sama dia Vi. Tapi nengok bapak sekarang udah berubah rasanya abang bersukur juga la. Gak penting sama Abang dia harus ngomong apa sama Abang. Yang penting dia udah berubah, terus nengok mamak udah seneng Abang juga seneng..” (komunikasi personal, tanggal 23 November 2007)
Berbeda dengan Anda yang memilih forgive walaupun tanpa kata maaf, Asti (bukan nama sebenarnya) memilih tetap unforgive pada ayahnya walaupun ayahnya telah menyatakan penyesalan dan permintaan maaf padanya. Ia
menghilangkan emosi positif yang muncul dalam dirinya akibat permintaan maaf ayahnya dengan meyakinkan dirinya bahwa penyesalan ayah sudah terlambat.
“…Itulah ayah kami pun dah insaf juga. Tapi insaf pun ayah kami kekmana lah dah gak bisa lagi, Dev. Minta maaf pun dia, gak guna lagi. Tak bisa kumaafkan dia…Udah lama kali kejadiannya. Tau ko Dev kayakmana perasaanku ini Dev?”(komunikasi personal, 10 Agustus 2007)
Forgiveness sendiri tidak menjamin adanya pemulihan hubungan
(rekonsiliasi). Setelah memaafkan pun, survivor belum tentu memiliki hubungan
yang erat seperti sebelum child abuse terjadi atau seperti layaknya hubungan orang tua dan anak pada umumnya. Akan tetapi, forgiveness lebih memberikan konsekuensi positif daripada unforgiveness, yang meliputi meningkatnya
Worthington, 1999), mempunyai hubungan romantis dan persaudaraan yang stabil
(Worthington, 1998), memperbaiki hubungan interpersonal dan meningkatkan kesejahteraan (well-being) (Konstam, 2000).
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa child abuse memiliki dampak-dampak buruk bagi anak, salah satunya anak akan membawa emosi negatif (unforgiveness) yang akan dibawa anak hingga dewasa apabila tidak
tercapai solusi yang tepat dan dapat mengganggu hubungan anak dan orang tua. Setiap individu berbeda-beda responnya terhadap unforgiveness, namun, cara
yang paling baik untuk mengurangi dan mengatasi unforgiveness adalah dengan
forgiveness karena forgiveness dapat melepas perasaan dendam dalam jiwa
seseorang, dan membantu individu memperbaiki hubungannya dengan orang
tuanya sehingga menuntun orang tersebut ke hidup yang lebih bahagia.
Forgiveness difasilitasi oleh peristiwa yang menyebabkan disonansi emosi. Akan
tetapi, disonansi emosi tidak hanya menyebabkan forgiveness. Seseorang yang
merasakan ketidaknyamanan disonansi emosi bisa saja kembali unforgive. Dinamika ini lah yang tertarik untuk peneliti teliti.
I. B Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah maka dapat dirumuskan masalah
I. C Tujuan penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat dinamika forgiveness pada orang dewasa yang pernah mengalami child abuse yang dilakukan oleh orang tua.
I. D Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain berupa
manfaat teoritis dan manfaat praktis sebagai berikut: 1. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah kajian psikologi klinis khususnya pada pembahasan mengenai forgiveness pada orang dewasa yang pernah mengalami child abuse.
2. Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan baru dan masukan bagi orang dewasa yang pernah mengalami child abuse mengenai manfaat
forgiveness sebagai suatu media penyembuhan, memberikan informasi dan
wawasan baru bagi orang tua dan calon orang tua mengenai dampak
pengasuhan bagi perkembangan jiwa anak, dan sebagai bahan bagi pembaca dan pihak-pihak yang berhubungan dengan penanganan child
abuse. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi referensi
bagi penelitian selanjutnya.
I.E. Sistematika Penulisan
BAB I : Pendahuluan
Berisi tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II : Landasan Teori
Berisi teori-teori yang digunakan dalam penelitian yang terdiri dari teori mengenai forgiveness dan child abuse, serta paradigma
penelitian.
BAB III : Metode Penelitian
Berisi mengenai pendekatan yang digunakan, partisipan penelitian, metode pengambilan data, alat pengumpulan data dan prosedur penelitian.
BAB IV : Hasil dan Analisis Hasil
Berisi uraian mengenai gambaran hasil penelitian, termasuk di dalamnya deskripsi umum partisipan penelitian, hasil observasi, dan
hasil wawancara, serta rangkuman analisis hasil penelitian antar partisipan.
BAB V : Kesimpulan, Diskusi dan Saran
Berisi kesimpulan dari hasil penelitian yang diperoleh, diskusi tentang hal yang terkait dengan hasil penelitian dan saran, baik saran
BAB II
LANDASAN TEORI
II. A FORGIVENESS
Seseorang tidak mungkin forgive (memaafkan) kecuali jika unforgive (tidak memaafkan) telah terjadi. Forgiveness memang baru dapat muncul setelah
adanya unforgiveness, namun orang yang mengalami unforgiveness bukan berarti pasti akan mengalami forgiveness. Forgiveness merupakan satu cara untuk
mengatasi unforgiveness. Oleh karena itu, peneliti terlebih dahulu menjelaskan mengenai unforgiveness sebelum membahas forgiveness.
II. A. 1 Definisi Unforgiveness
Unforgiveness didefinisikan sebagai "emosi dingin" yang melibatkan rasa
marah, sakit hati, dan permusuhan, bersama dengan motivasi untuk meghindar
atau membalas transgresor (orang yang melakukan kesalahan) (Worthington & Wade, 1999).
Worthington (dalam Zechmeister, 2004) mendefinisikan unforgiveness sebagai kemarahan, permusuhan, ketakutan dan stress ruminatif yang terjadi setelah penyerangan interpersonal.
Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa
unforgiveness adalah emosi “dingin” yang merupakan gabungan dari rasa marah,
II. A. 2 Definisi Forgiveness
McCullough, Worthington, & Rachal (dalam Hall, 2006) mendefinisikan
forgiveness sebagai perubahan motivasi ketika individu mengganti respon
destruktif terhadap transgresor, dengan respon yang konstruktif.
Forgiveness merupakan suatu pilihan internal korban (baik sengaja
maupun tidak) untuk melepaskan unforgiveness, dan jika dirasa aman, mungkin,
dan bijaksana, maka rekonsiliasi dengan transgresor dapat terjadi. Forgiveness tidak sama halnya dengan resolusi konflik. Seseorang mungkin saja memecahkan
konflik tetapi tidak forgive atau mungkin saja forgive padahal konflik belum dipecahkan (Worthington & Wade, 1999).
Forgiveness merupakan suatu set perubahan motivasi prososial yang ada
dalam diri korban sehingga keinginannya untuk membalas dendam dan menghindar berkurang, atau sikapnya menjadi lebih baik pada transgresor (Tsang, 2006).
Menurut Lucia (2005), ketika seseorang forgive, ia mengganti
unforgiveness dengan emosi yang lebih positif, seperti empati, simpati, dan cinta.
Forgiveness dapat mengurangi permusuhan dan stres negatif yang dirasakan
seseorang.
McCullough et al. (dalam Zechmeister, 2004) menekankan bahwa respon
forgiveness merefleksikan perubahan motivasi dasar yang melawan
kecenderungan natural individu untuk membalas.
kecenderungan natural individu untuk membalas, menuntut ganti rugi, atau
menghindari orang yang pernah menyakitinya dan mengganti keinginan destruktif tersebut dengan respon yang lebih konstruktif seperti simpati, empati, cinta, dan
kemungkinan berekonsiliasi dengan transgresor.
II. A. 3 Proses Forgiveness – Unforgiveness
Worthington & Wade (1999) membuat sebuah model yang menjelaskan proses forgiveness dan unforgiveness dalam hubungan interpersonal. Proses ini
SKEMA II.1. Interpersonal Process of Forgiveness and Unforgiveness (Worthington & Wade, 1999)
2. Transgresi 4. Reaksi
emosional awal
Partner is positively affected by event (path A) (path B)
Skema di atas dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. KONTEKS (a) Personal Context
Faktor kepribadian mempengaruhi cara seseorang mempersepsikan suatu kejadian. Orang dengan emotional intelligence yang tinggi dapat membedakan situasi interpersonal dan mengendalikan perilaku mereka untuk meningkatkan
interaksi sosial yang positif mereka. Pride, kecenderungan-merasa bersalah (guilt-proneness), dan kecenderungan merasa malu (shame-proneness) juga
berpengaruh terhadap bagaimana orang berhadapan dengan transgresi. (b) Emotional Valence of the Relationship
Terjadinya peristiwa yang dirasakan secara positif maupun negatif akan
mempengaruhi persepsi terhadap kualitas suatu hubungan. Peristiwa yang negatif, seperti transgresi, membuat hubungan yang positif menjadi kurang positif, merubahnya menjadi negatif, atau membenarkan pandangan negatif
korban terhadap hubungan yang sudah negatif, sedangkan peristiwa positif bertindak sebaliknya. Sekali hubungan dianggap sebagai hal yang negatif,
peristiwa yang berikutnya dirasakan dan direspon dengan negatif pula. (c) Interaksi antara Personal Context dan Valence of the Relationship
Seseorang mungkin berperilaku berbeda pada suatu hubungan yang
2. TRANSGRESI
Transgresi adalah tindakan yang salah atau secara moral menyerang atau menimbulkan rasa sakit/kerugian secara fisik maupun psikologis pada korban.
Transgresi bersifat destruktif terutama ketika berulang, dipenuhi dengan emosi negatif, severe (parah), dan tidak disertai rasa bersalah atau permintaan maaf dari transgresor (orang yang melakukan transgresi). Transgresi itu bersifat objektif,
artinya orang lain (selain transgresor dan korban) juga setuju bahwa transgresi telah terjadi. Dalam penelitian ini transgresi yang dimaksud adalah child abuse
sehingga pelaku akan disebut sebagai abuser.
3. PERSEPSI KORBAN ATAS TRANSGRESI
Persepsi memotivasi respon individu terhadap suatu kejadian. Suatu
peristiwa dapat dipersepsikan berbeda oleh individu yang berbeda. Contohnya, seseorang mungkin merasakan suatu komentar negatif yang ambigu sebagai
humor dan merespon dengan tertawa atau dengan tidak peduli. Hal ini dapat menghindarkan orang tersebut dari siklus unforgiveness dan memperbaiki stabilitas hubungan (lihat figur 1, path A). Seseorang juga dapat menganggap
komentar tersebut sebagai penyerangan personal sehingga ia berespon secara defensif dan muncullah reaksi emosi awal.
4. REAKSI EMOSI AWAL
Ketika seseorang mempersepsikan suatu kejadian sebagai transgresi, ia akan mengalami reaksi emosional negatif yang disebut sebagai unforgiveness.
defense psikologis yang kemudian menghindarkan orang tersebut dari siklus
unforgiveness dan memperbaiki stabilitas hubungan (lihat skema II.1, path B).
Akan tetapi, unforgiveness juga dapat menyebabkan motivasi pembalasan dan
permusuhan yang berkepanjangan terhadap transgresor sehingga memicu mekanisme coping aktif dan pasif.
4.a. Respon interpersonal aktif
Respon aktif adalah tindakan eksternal yang dapat bersifat memperbaiki atau malah merusak hubungan ketika berhadapan dengan kejadian interpersonal.
Ada dua tipe respon aktif:
4.a.1. Retaliation yaitu membalas dengan berteriak atau melakukan tindakan yang menimbulkan rasa sakit yang sama pada transgresor. Avoidance
yaitu berusaha menjauh atau menghindari transgresor. Pelepasan seperti itu umumnya tidak membantu dan sebaliknya dapat menyebabkan
distress.
4.a.2. Constructive Relationship Behavior, yang bertujuan
mengkomunikasikan rasa sakit (harm) sehingga tidak merusak hubungan
antara kedua belah pihak, namun dalam merespon peristiwa yang menimbulkan reaksi emosi negatif, respon konstruktif ini hampir mungkin merupakan respon agresif.
4.b. Respon interpersonal pasif
Respon pasif merupakan cara lain bagi korban merespon emosi negatif
korban tidak membalas transgresor, tapi ia selalu mengingat-ingat
penyerangan tersebut). Respon pasif juga meliputi perasaan, perilaku, atau pikiran yang tidak dikomunikasikan secara langsung kepada transgresor –
meliputi berdiam diri, tindakan agresi-pasif, menyalahkan diri sendiri, dan
rumination (Skema II.1, box 4.b.1.).
5. RESPON TRANSGRESOR DAN PERSEPSI KORBAN
Respon transgresor yaitu berupa account (respon yang ditawarkan) untuk menjelaskan, membenarkan, atau untuk mengurangi efek negatif dari transgresi.
Accounts dapat berupa penolakan (refusal), pembenaran (justifications), memberi
alasan (excuses), atau concessions. Refusal menyangkal peran sebagai penyebab apapun dalam kerugian interpersonal dan akibat-akibatnya, dan menolak hak
orang lain menanyakan integritas dan ke-bersalah-annya. Justifications membenarkan adanya perbuatan salah namun menolak bertanggungjawab.
Excuses, membenarkan adanya kesalahan dan bertanggung jawab untuk
mengurangi rasa bersalah personal. Concessions yaitu mengakui kesalahan dan bertanggung jawab atas akibat transgresi dan penggantirugian.
Reaksi transgresor yang positif (excuses atau concessions) seharusnya diikuti juga dengan persepsi positif korban sehingga menyebabkan disonansi
6. RESOLUSI DISONANSI EMOSI
Disonansi emosi memfasilitasi munculnya forgiveness setelah individu mengalami unforgiveness. Disonansi emosi terjadi ketika korban dan transgresor
memperoleh kembali valensi hubungan yang positif sehingga korban mengalami emosi positif seperti simpati, empati, rasa kasihan, kerendahan hati, menyukai, humor, dan mencintai. Emosi-emosi positif ini terjadi ketika trangresor meminta
maaf dengan tulus atau munculnya variabel-variabel lain yang mempengaruhi seperti komitmen agama, kecerdasan emosi, atau keinginan berkorban demi
hubungan. Emosi-emosi yang bertolak belakang dengan emosi awal (unforgiveness) ini menyebabkan korban merasa ketidaknyamanan emosional sehingga korban akan berusaha menyeimbangkan emosinya. Disonansi emosi
dapat diatasi dengan kembali ke unforgiveness (Skema II.1, box 6.a.) atau menuju ke forgiveness (Skema II.1, box 6.b.). Unforgiveness merupakan resolusi negatif dari disonansi emosi sedangkan forgiveness merupakan resolusi positif dari
disonansi emosional. Perlu diingat, forgiveness-unforgiveness merupakan siklus atau proses yang dapat berulang. Korban mungkin forgive saat ini namun, suatu
saat nanti ruminate kembali apabila korban merasakan transgresi baru.
7. PERUBAHAN PADA ATRIBUSI, OPTIMISME DAN HARAPAN
Forgiveness menyebabkan unforgiveness menurun dan motivasi untuk
memiliki hubungan yang baik meningkat. Rekonsiliasi dapat muncul apabila
(Skema II.1, box 7). Pada hubungan yang positif, secara umum atribusi akan
menjadi stabil dan lebih positif. Pada hubungan yang negatif, atribusi menjadi stabil dan kurang negatif. Orang yang memberi maaf menjadi lebih optimis
tentang hubungan dan masa depan. Baik orang yang dimaafkan maupun orang memberi maaf dapat menjadi lebih hopeful.
II. A. 4 Hal-Hal yang Mempengaruhi Forgiveness
Ada banyak tokoh dari berbagai sumber yang menyebutkan faktor-faktor
yang mempengaruhi kemungkinan individu memilih forgive atau tidak, antara lain:
A. Kecerdasan emosi
Orang yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi dapat memprediksi dampak-dampak unforgiveness dan solusi yang lebih cepat untuk dilema interpersonal akibat disonansi emosi. Selain itu, kecerdasan emosi juga penting
jika dilihat dari perspektif transgresor. Transgresor yang memiliki kecerdasan emosi tinggi memiliki kapasitas yang besar untuk mengerti dan memahami
keadaan emosi korban, dengan begitu akan memicu transgresor meminta maaf, mengganti rugi, atau mendiskusikan masalah dengan korban (Worthington & Wade, 1999).
B. Respon transgresor
Variabel penting lain dalam forgiveness adalah ketika transgresor meminta
McCullough, 2000). Penyangkalan dan penolakan tanggung jawab dari
transgresor, sebaliknya, berkorelasi negatif dengan forgiveness (Worthington & Wade, 1999).
C. Munculnya empati
Empati adalah kemampuan untuk mengerti dan merasakan pengalaman kognitif dan afektif orang, tanpa perlu mengalami situasinya. Empati menengahi
hubungan antara permintaan maaf dan forgiveness (McCullough dalam Worthington & Wade, 1999). Munculnya empati ketika transgresor meminta
maaf, mendorong korban untuk memaafkan transgresor (McCullough, 2000). Empati biasanya menjadi topik dalam konseling yang didesain untuk meningkatkan forgiveness (Lawler, 2006; Strelan, 2006). Wanita lebih mudah
merasakan empati daripada pria, namun tidak ada perbedaan gender terhadap
forgiveness. Empati dalam hal ini lebih mengarah pada motivasi dari pada
kemampuan (Toussaint, 2005).
D. Kualitas hubungan sebelum transgresi
Forgiveness paling mungkin terjadi pada hubungan yang dicirikan oleh
kedekatan, komitmen, dan kepuasan (McCullough, 2000). Forgiveness juga berhubungan positif dengan seberapa penting hubungan tersebut bagi korban dan
secure attachment style (Lawler, 2006). Dengan kata lain, forgiveness lebih
mungkin terjadi pada kualitas hubungan sebelum transgresi yang positif. E. Rumination
Rumination dan usaha menekan rumination tersebut dihubungkan dengan
motivasi penghindaran (avoidance) dan membalas dendam (revenge). Orang yang memiliki masalah dalam mengatasi pikiran-pikiran ruminatif umumnya lebih
memiliki kesulitan untuk forgive (Strelan, 2006; McCullough, 2000). F. Komitmen Agama
Semua agama mengajarkan forgiveness, namun tidak menjamin semua
pemeluknya akan memberikan maaf. Pemeluk agama yang commit dengan ajaran agamanya akan memiliki nilai tinggi pada forgiveness dan nilai rendah pada
unforgiveness (Worthington & Wade, 1999).
G. Faktor Personal Korban
Sifat pencemas, sifat pemarah, neurotik, introversion, reaktivitas terhadap
stress, dan kecenderungan merasa malu merupakan faktor penghambat munculnya
forgiveness. Sebaliknya, Sifat pemaaf, terbuka, agreeable, dan kecenderungan
merasa bersalah merupakan faktor pemicu terjadinya forgiveness (Tangney, dalam
Worthington, 1998). Narsisme dihubungkan dengan penurunan empati, oleh karenanya narsisme berhubungan negatif dengan forgiveness. Orang yang
berbangga diri (pride) lebih mudah merasa diserang atau terluka perasaannya sehingga lebih sulit untuk forgive Kecenderungan merasa malu
(shame-proneness) akan meningkatkan rasa marah, menghambat peristiwa yang
menyebabkan disonansi emosi, sehingga mengakibatkan korban dan transgresornya terpisah secara emosional (dan mungkin secara fisik).
H. Faktor Peristiwa
Semakin parah dan sering transgresor melakukan transgresi, semakin tinggi keinginan korban untuk membalas dan menuntut tanggung jawab sehingga
semakin kecil kemungkinan terjadinya forgiveness (Zechmeister, 2004; Worthington & Wade, 1999). Persepsi terhadap tujuan transgresor melakukan transgresi juga mempengaruhi korban untuk forgive (Worthington, 1998).
Peristiwa yang menimbulkan rasa malu (shame) cenderung mengarah pada
unforgiveness daripada peristiwa yang menimbulkan rasa bersalah (guilt). Rasa
malu membuat transgresor enggan mengaku untuk melindungi diri, dan cenderung merasa terisolasi sehingga menghambat terjadinya forgiveness. Sebaliknya, peristiwa yang menimbulkan rasa bersalah (guilt) memicu transgresor meminta
maaf, mengganti rugi, dan berusaha memperbaiki hubungan sehingga memicu terjadinya forgiveness (Worthington & Wade, 1999).
II. A. 5 Manfaat Forgiveness
Rasa marah kronis dan permusuhan dihubungkan dengan penurunan
fungsi kekebalan tubuh, depresi, penyalahgunaan zat, status kesehatan yang buruk (Zechmeister, 2004), tingginya tekanan darah, dan masalah jantung (Enright, 2005). Worthington (dalam Lucia, 2005) juga mengatakan bahwa setiap kali
seseorang merasa tidak memaafkan, ia menjadi lebih beresiko terkena masalah kesehatan.
dapat mengurangi resiko terkena masalah jantung serta mengurangi permusuhan
dan distress yang dirasakan seseorang (Lucia, 2005). Forgiveness juga bermanfaat sebagai mekanisme penyembuhan dan resiliensi terhadap trauma (Orcutt dalam
Worthington, 1999).
Orang yang forgive lebih mungkin mempunyai hubungan romantis dan persaudaraan yang stabil daripada orang yang unforgive (Worthington, 1998).
Perasaan dendam dan sakit hati dalam suatu hubungan intim atau hubungan dekat dengan orang lain dapat mengganggu hubungan tersebut. Melepas rasa tidak
senang dan usaha untuk forgive merupakan satu hal yang penting untuk mempertahankan kedekatan dan hubungan intim dengan orang lain (Corey&Corey, 2006).
Memiliki fisik, emosi, dan sosial yang sehat menuntun seseorang ke arah hidup yang lebih bahagia seperti yang dikemukakan oleh Konstam (2000) bahwa selain dapat memperbaiki hubungan interpersonal, forgiveness dapat
meningkatkan kesejahteraan (well-being).
II. B CHILD ABUSE
II. B. 1. Definisi Child Abuse
Peristiwa penganiayaan anak lebih dikenal masyarakat dan para
profesional dengan istilah child abuse, akan tetapi, banyak ahli perkembangan yang lebih suka menggunakan istilah child maltreatment (Manly, dalam Santrock,
Barnett dkk. (dalam Berns, 2004) mendefinisikan child abuse sebagai
tindakan yang merusak atau membahayakan anak, meliputi tidak bersikap baik pada anak, kasar pada anak, menolak anak, merampas hak anak,
menyalahgunakan anak, dan/atau melakukan kekerasan pada anak.
Child maltreatment meliputi perilaku abuse dan neglect. Abuse mengarah pada perilaku atau tindakan yang menimbulkan kerusakan pada anak, sedangkan
neglect mengarah pada tidak ada tindakan sama sekali, yaitu pengabaian yang
merusak anak (Papalia, 2004).
The Child Abuse Prevention and Treatment Act (CAPTA) (dalam
McDonal, 2007) mendefinisikan child abuse sebagai suatu tindakan atau tidak ada tindakan sama sekali yang dapat menyebabkan kematian, kerusakan fisik atau
emosi yang serius; melibatkan seorang anak; dan dilakukan oleh orang tua atau
caregiver yang bertanggung jawab atas kesejahteraan anak.
Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa child abuse
adalah tindakan (misalnya menolak, melakukan kekerasan pada anak) atau tidak ada tindakan sama sekali (misalnya lalai dalam pemeliharaan anak) yang
dilakukan oleh orang tua atau caregiver sehingga menimbulkan kerusakan (harm) baik fisik maupun emosi, bahkan dapat menyebabkan kematian pada anak.
II. B. 2. Tipe-Tipe Child Abuse
Menurut Papalia (2004), child abuse meliputi dua perilaku yaitu abuse dan
neglect. Abuse mengarah pada tindakan yang menimbulkan kerusakan pada anak,
pengabaian yang merusak anak. Kemudian, perilaku abuse dan neglect ini terbagi
lagi menjadi :
a. Physical abuse
Physical abuse atau kekerasan fisik meliputi pengrusakan pada tubuh anak
seperti pukulan, tendangan, membakar dan lain-lain. b. Sexual abuse
Sexual abuse atau kekerasan seksual merupakan segala bentuk kegiatan
seksual yang melibatkan anak.
c. Neglect
Neglect atau pengabaian merupakan kegagalan memenuhi kebutuhan fisik,
emosi, kesehatan dan pendidikan dasar anak.
d. Emotional Abuse
Emotional abuse adalah semua tindakan atau tidak ada tindakan sama
sekali yang dapat menyebabkan gangguan perilaku, kognitif, dan emosi
anak. Emotional abuse juga meliputi penolakan, peneroran, isolasi, eksploitasi, menghina, kekerasan verbal, atau tidak menyediakan
dukungan emosional, cinta dan afeksi yang konsisten pada anak.
II. B. 3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Child Abuse
Ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi terjadi child abuse. Banyak
abuser yang memiliki sejarah kekerasan dalam keluarga (Berns, 2004). Sejarah
mereka untuk menghentikan perilaku yang tidak diinginkan, mengontrol perilaku
anak-anak sebagaimana dulu mereka dikontrol (Santrock, 1998).
Karakteristik fisik maupun psikologis tertentu pada anak dapat pula
memicu terjadinya child abuse. Anak yang hiperaktif, cengeng, mental retardasi, dan anak yang sulit diatur cenderung mengalami child abuse, sedangkan keluarga yang abusive biasanya mengalami isolasi sosial dan kurangnya dukungan sosial
sehingga tidak ada yang membantu saat mereka mengalami kesulitan dan membutuhkan nasehat. Selain itu, terdapat asosiasi antara hilangnya pekerjaan
orang tua dan intrafamily violence, seperti partner abuse dan child abuse.
Physical abuse lebih mungkin muncul dalam keluarga yang terdapat kekerasan
domestik baik berupa agresi fisik maupun verbal. (Berns, 2004).
Selain itu, kemiskinan, pengangguran, isolasi sosial, gaya hidup yang berubah-ubah, kurangnya pemahaman mengenai hak anak, budaya yang menerima hukuman fisik, dan keterbatasan bantuan saat keluarga dalam situasi
krisis merupakan faktor lingkungan yang berkorelasi dengan abuse (Garbarino dalam Berns, 2004). Stresor yang paling sering dilaporkan berhubungan dengan
perilaku abusive dalam keluarga adalah rendahnya status sosioekonomi (McLoyd dalam Berns, 2004) dan tinggal dikomunitas yang biasa melakukan kekerasan (Barry & Garbarino dalam Berns, 2004)
Orang dewasa yang pernah mengalami child abuse sering disebut sebagai
survivor (Herman, 1997), abuse survivor (Crosson, 2002), atau adult survivor
(Biere, 1992).
Kata survivor sendiri berarti orang yang selamat. Survivor mengacu pada orang yang selamat atau berhasil bertahan hidup dari peristiwa abusive. Akan tetapi, walaupun telah selamat, mereka masih harus berjuang melawan after-effect
setelah mereka dewasa (Crosson, 2002). Tanpa intervensi yang tepat, anak yang merasakan penderitaan akan tumbuh menjadi orang dewasa yang menderita juga.
Mereka menjalani hidup mereka dengan membawa trauma dan dampak negatif jangka panjang dari pengalaman mereka (Biere, 1992).
Crosson (2002) mengatakan bahwa efek residu yang dialami survivors
hampir sama baik untuk neglect maupun abuse, antara lain: a. Kepercayaan (trust)
Kepercayaan merupakan aspek dasar dari sosialisasi, dan perkembangan
kemampuan mempercayai dimulai pada tahun pertama kehidupan. Anak kemungkinan pada awalnya tidak sadar bahwa ia tidak menerima
pengasuhan yang baik dari orang tua, namun sebagai orang dewasa yang mulai menyadari bahwa orang tuanya secara emosional tidak ada, atau kalaupun ada, dirasa kurang atau tidak konsisten. Sulitnya mempercayai
orang lain merupakan manifestasi dari pemahaman anak bahwa kehidupan dan semua yang hidup di dunia ini tidak dapat diprediksi. Anak juga
dapat dipercaya. Untuk menghindar dari hidup yang menyakitkan ini, anak
memilih tidak mempercayai orang lain dan mengisolasi/menarik diri. b. Merasa dikhianati
Sebagai seorang anak, individu mempercayai orang tua dan merasa bahwa kepercayaan ini dihargai dan dimengerti, namun menyakitkan dan membingungkan bagi anak ketika menyadari bahwa ia digunakan untuk
kepentingan abuser. Anak tidak hanya tumbuh dewasa sebagai orang yang sulit mempercayai, namun juga merasa dikhianati oleh orang tua yang
telah diberikannya kepercayaan. Pada orang dewasa, pengkhianatan dicerminkan dengan ketidakmampuan mempercayai orang lain, diri sendiri, dan lingkungannya.
c. Rasa marah
Rasa marah dan khayalan untuk membalas dendam merupakan respon normal pada anak yang mengalami child abuse (Herman, 1997).
Kemarahan ini merupakan akumulasi dari perasaan dikhianati, dan ketidakberdayaan yang kemudian dapat menjadi amukan yang kuat setelah
anak dewasa. Gagalnya terpenuhi kebutuhan di masa kecil merubah rasa marah dan frustrasi menjadi perilaku agresif sehingga kemarahan yang dulunya hanya ada dalam batin, diproyeksikan ke luar. Agresi juga dapat
d. Harga diri rendah
Anak yang di-abuse mengasumsikan bahwa hukuman yang mereka terima disebabkan oleh perilaku mereka yang salah, tanpa melihat kebenarannya.
Apalagi kalau orang tua secara langsung mengatakannya. Mereka sering memandang dunia dari dua sisi, sebagai ‘hitam’ dan ‘putih’ atau ‘baik’ dan ‘buruk’. Mereka menganggap orang tua adalah sosok yang baik dan kalau
orang tua itu baik, maka merekalah yang buruk dan menyebabkan segala kejadian buruk terjadi. Perasaan ini terus mengikuti anak hingga ia dewasa
dan mewarnai perilaku mereka. Mereka percaya bahwa tidak seorangpun akan menemukan kebaikan dalam diri mereka karena orang tua mereka juga tidak mampu. Beberapa survivors menggunakan humor sebagai
pembenaran keberadaannya dan melindungi diri mereka dari depresi akibat tidak dapat menjadi lebih baik.
Orang dewasa korban sexual abuse memiliki harga diri rendah disebabkan
rasa malu, rasa bersalah dan stigmatisasi atau label buruk yang diberikan orang lain.
e. Ketidakseimbangan hubungan
Kegagalan mempercayai dan rendahnya self-esteem ditambah dengan kemarahan yang di-repress atau diekspresikan secara agresif, menghambat
kemampuan survivor untuk membentuk hubungan yang memuaskan dengan orang lain. Mereka tidak pernah belajar strategi coping dan
problem solving yang baik, padahal hal tersebut penting dalam membina
disebabkan karena kurangnya stimulasi sosial dari orang tua, khususnya
pada kasus pengabaian. Mereka juga memiliki harapan yang tidak realistis bahwa semua orang harus memenuhi apa yang dia butuhkan sehingga
mereka cenderung tidak pernah puas dengan orang lain. f. Penyalahgunaan zat
Obat-obatan terlarang, atau alkohol digunakan sebagai pelarian, atau
sebagai pengganti interaksi sosial yang sulit mereka bina. Penggunaan zat-zat ini dapat disebabkan karena modelling, tekanan teman sebaya, dan
sebagainya. Berns (2004) mengemukakan bahwa kurangnya pengasuhan yang normal selama masa kanak-kanak dapat menyebabkan individu mengganti kebutuhannya akan cinta dan rasa aman yang hilang dengan
obat-obatan terlarang, alkohol, makanan, objek material, seks, dan judi. g. Masalah fisik
Pengasuhan yang salah juga berdampak buruk bagi fisik anak. Kekerasan
fisik dapat menyebabkan kecacatan seperti patah tulang atau kerusakan atau kehilangan organ tubuh. Kekerasan seksual dapat mengakibatkan
kerusakan organ reproduksi, tertular penyakit menular seksual, dan kehamilan. Anak yang mengalami pengabaian dan kekerasan emosi cenderung tumbuh dengan buruk dan mengalami masalah medis karena
kekurangan nutrisi akibat tidak diberi makan atau karena gangguan makan (Berns, 2004). Selain itu, masalah fisik juga disebabkan karena
h. Trauma
Trauma fisik dapat berupa bekas luka atau kecacatan permanen yang dapat berimplikasi ke psikis. Trauma psikis merupakan trauma karena
mengalami peristiwa yang menyakitkan hati (misalnya child abuse). Anak yang mengalami child abuse belajar mengenal situasi terjadinya peristiwa
abusive, dan ekspresi wajah dan bahasa tubuh orang tua – pada situasi dan
ekspresi bagaimana orang tua akan memukul atau marah. Proses belajar ini kemudian digeneralisasikan ke semua orang dan situasi. Mengalami
kekerasan seksual atau kekerasan fisik membuat anak takut akan sentuhan. Sentuhan sering mengingatkan mereka akan peristiwa abusive yang pernah mereka alami. Tanpa adanya sentuhan pun peristiwa tersebut dapat muncul
kembali dalam mimpi bahkan setelah anak dewasa.
Berikut ini adalah skema paradigma penelitian yang menggambarkan
dinamika forgiveness pada orang dewasa yang pernah mengalami child abuse, dibuat sesuai dengan teori proses forgiveness – unforgiveness oleh Worthington &
(-)
unforgiveness Disonansi emosi forgiveness
pasif aktif
: Hub. kembali seperti sebelum terjadi
child abuse
: Bentuk respon : Maka semakin
: Reaksi emosi negatif dan positif terjadi bersamaan
BAB III
METODE PENELITIAN
III.A. PENDEKATAN KUALITATIF
Sesuai dengan tujuan penelitian yaitu untuk melihat dinamika forgiveness pada orang dewasa yang pernah mengalami child abuse dilakukan oleh orang tua,
maka penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Hal ini mengingat topik penelitian seperti ini merupakan pengalaman pribadi yang melibatkan
penghayatan subjektif yang berkaitan dengan pengalaman masa lalu partisipan (Poerwandari, 2001)
III.B. METODE PENGUMPULAN DATA
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam sebagai metode utama dan observasi sebagai metode
tambahan yang dilakukan pada saat wawancara.
Yang dimaksud dengan wawancara mendalam merupakan satu bentuk
wawancara yang dilakukan untuk memperoleh pemahaman yang lebih luas dan mendalam terhadap peristiwa yang dialami dan dirasakan oleh partisipan penelitian. Wawancara mendalam memberikan kesempatan yang maksimal untuk
menggali latar belakang hidup seseorang sehingga peneliti mendapatkan gambaran dan dinamika yang hendak diteliti. Wawancara mendalam juga
dipahami individu sesuai dengan topik penelitian (Banister dkk dalam
Poerwandari, 2001).
Observasi dalam penelitian ini bukanlah sebagai metode utama melainkan
sebagai metode tambahan yang dilakukan pada saat wawancara berlangsung untuk melihat reaksi partisipan, antara lain: penampilan fisik, reaksi partisipan terhadap peneliti dan terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, keadaan partisipan
pada saat wawancara serta hal-hal yang sering dilakukan partisipan selama proses wawancara.
III.C. ALAT BANTU PENGUMPULAN DATA
Alat bantu yang digunakan dalam pengumpulan data adalah digital
recorder, pedoman wawancara dan lembar observasi.
III.C.1. Digital Recorder (Alat Perekam)
Menurut Poerwandari (2001), sebaiknya wawancara direkam dan dicatat
dalam bentuk verbatim (kata demi kata). Penggunaan alat perekam akan mempermudah peneliti dalam mengulangi hasil wawancara dan tidak perlu sibuk
mencatat jalannya wawancara. Selain itu, peneliti dapat lebih mudah melakukan observasi selama wawancara berlangsung. Penggunaan alat perekam dilakukan setelah ada persetujuan dari partisipan.
III.C.2. Pedoman Wawancara Mendalam
Pedoman wawancara berupa open ended question. Pada pelaksanaannya,
penelitian agar wawancara tidak berjalan dengan kaku namun data yang
didapatkan lebih lengkap dan akurat.
III.C.3. Lembar Data Keluarga
Lembar data keluarga digunakan untuk memperoleh gambaran lingkungan keluarga partisipan, kehidupan keluarga dan masa kecil partisipan penelitian.
III.D. PARTISIPAN PENELITIAN
III.D.1. Karakteristik Partisipan Penelitian
a) Wanita atau pria dewasa dengan usia 18 tahun ke atas. Penelitian ini menggunakan partisipan usia dewasa karena setelah dewasa individu diharapkan dapat mandiri dan bertanggung jawab akan dirinya sendiri
sehingga orang tua tidak lagi menjadi caregiver utama yang memiliki kewajiban penuh terhadap kesejahteraan dan kehidupan anak (Hurlock, 1999).
b) Pernah mengalami child abuse
c) Orang tua (kandung, tiri, ataupun angkat) sebagai abuser
III.D.2. Teknik Sampling
Prosedur pengambilan partisipan penelitian ini adalah dengan purposive
sampling. Partisipan diambil berdasarkan kriteria tertentu yaitu berdasarkan teori
tentang orang yang menjadi partisipan penelitian (Poerwandari, 2001). Partisipan dipilih berdasarkan adanya kriteria khusus yang telah ditentukan sebelumnya. Hal
III.D.3. Jumlah Partisipan Penelitian
Penelitian kualitatif tidak mementingkan jumlah partisipan penelitian, yang terpenting dalam pemelitian kualitatif adalah yang dapat memberikan
sebanyak mungkin informasi yang ingin didapatkan. Waktu, biaya kemampuan partisipan, ketertarikan partisipan dan faktor lain yang mempengaruhi banyaknya sampel menjadi hal yang harus diperhatikan dalam mengambil sampel penelitian
(Gay dan Airasian, 2003). Jumlah partisipan dalam penelitian ini adalah 2 (dua) orang dengan pertimbangan masih sedikit orang yang mau terbuka akan kejadian
sensitif dalam keluarga sehingga sulit untuk mendapatkan partisipan penelitian dalam jumlah besar.
III.E. PROSEDUR PENELITIAN III.E.1 Tahap Pralapangan
Pada tahap persiapan penelitian, peneliti melakukan sejumlah hal yang
diperlukan untuk melaksanakan penelitian yaitu sebagai berikut:
1. Mengumpulkan informasi dan teori yang berhubungan dengan forgiveness
pada orang dewasa yang pernah mengalami child abuse 2. Mencari partisipan penelitian
3. Menyusun pedoman wawancara
4. Persiapan untuk pengumpulan data 5. Membuat inform consent
III.E.2. Tahap Pelaksanaan Penelitian
Penelitian ini diawali dengan perkenalan serta memberi penjelasan pada partisipan mengenai tujuan penelitian. Peneliti juga menjelaskan mengenai
prosedur dan kerahasiaan data penelitian. Kemudian wawancara dilakukan di tempat yang disepakati oleh peneliti dan partisipan penelitian serta akan direkam dengan digital recorder mulai dari awal hingga akhir. Peneliti juga akan mencatat
bahasa non verbal partisipan ketika wawancara berlangsung.
III.E.3. Tahap Pencatatan Data
Untuk memudahkan pencatatan data, peneliti menggunakan alat perekam sebagai alat bantu agar data yang diperoleh dapat lebih akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Sebelum wawancara dimulai, peneliti meminta izin
kepada partisipan untuk merekam wawancara yang akan dilakukan. Setelah wawancara dilakukan peneliti membuat verbatim dari wawancara tersebut yaitu memindahkan hasil wawancara ke dalam bentuk tulisan atau ketikan.
III.F. METODE ANALISIS DATA
Beberapa tahapan dalam menganalisis data kualitatif menurut Poerwandari
(2001), yaitu: a. Koding
Koding adalah proses membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh. Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasikan dan mensistemasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan dengan
satu dengan peneliti yang lain memberikan usulan prosedur yang tidak
sepenuhnya sama. Pada akhirnya penelitilah yang berhak (dan bertanggungjawab) memilih cara koding yang dianggapnya paling efektif bagi
data yang diperolehnya (Poerwandari, 2001). b. Organisasi Data
Highlen dan Finley (dalam Poerwandari, 2001) menyatakan bahwa organisasi
data yang sistematis memungkinkan peneliti untuk (a) memperoleh data yang baik, (b) mendokumentasikan analisis yang dilakukan, serta (c) menyimpan
data dan analisis yang berkaitan dalam penyelesaian penelitian. Hal-hal yang penting untuk disimpan dan diorganisasikan adalah data mentah (catatan lapangan, dan kaset hasil rekaman), data yang sudah diproses sebagiannya
(transkrip wawancara), data yang sudah ditandai/ dibubuhi kode-kode khusus dan dokumentasi umum yang kronologis mengenai pengumpulan data dan langkah analisis.
c. Analisis Tematik
Penggunaan analisis tematik memungkinkan peneliti menemukan ‘pola’ yang
pihak lain tidak bisa melihatnya secara jelas. Pola atau tema tersebut tampil seolah secara acak dalam tumpukan informasi yang tersedia. Analisis tematik merupakan proses mengkode informasi, yang dapat menghasilkan daftar tema,
model tema atau indikator yang kompleks, kualifikasi yang biasanya terkait dengan tema itu atau hal-hal di antara/ gabungan dari yang telah disebutkan.
d. Tahapan Interpretasi/ analisis
Kvale (dalam Poerwandari, 2001) menyatakan bahwa interpretasi mengacu pada upaya memahami data secara lebih ekstensif sekaligus mendalam. Ada
tiga tingkatan konteks interpretasi yang diajukan oleh Kvale (dalam Poerwandari, 2001) yaitu: pertama, konteks interpretasi pemahaman diri (‘self
understanding’) terjadi bila peneliti berusaha memformulasikan dalam bentuk
yang lebih padat (condensed) apa yang oleh partisipan penelitian sendiri dipahami sebagai makna dari pernyataan-pernyataannya. Interpretasi tidak
dilihat dari sudut pandang peneliti, melainkan dikembalikan pada pemahaman diri partisipan penelitian, dilihat dari sudut pandang dan pengertian partisipan penelitian tersebut. Kedua, konteks interpretasi pemahaman biasa yang kritis
(critical commonsense understanding) terjadi bila peneliti beranjak lebih jauh dari pemahaman diri partisipan penelitiannya. Peneliti mungkin akan menggunakan kerangka pemahaman yang lebih luas daripada kerangka
pemahaman partisipan, bersifat kritis terhadap apa yang dikatakan partisipan, baik dengan memfokuskan pada ‘isi’ pernyataan maupun pada partisipan yang
membuat pernyataan. Meski demikian semua itu tetap ditempatkan dalam konteks penalaran umum: peneliti mencoba mengambil posisi sebagai masyarakat umum dalam mana partisipan penelitian berada. Ketiga, konteks
interpretasi pemahaman teoritis adalah konteks paling konseptual. Pada tingkat ketiga ini kerangka teoritis tertentu digunakan untuk memahami
e. Pengujian Terhadap Dugaan
Dugaan adalah kesimpulan sementara. Dengan mempelajari data kita mengembangkan dugaan-dugaan yang juga merupakan
kesimpulan-kesimpulan sementara. Dugaan yang dikembangkan tersebut juga harus dipertajam dan diuji ketepatannya. Begitu tema-tema dan pola-pola muncul dari data, untuk meyakini temuannya, selain mencoba untuk terus
menajamkan tema dan pola yang ditemukan, peneliti juga perlu mencari data yang memberikan gambaran berbeda dari pola-pola yang muncul tersebut. Hal
ini berkaitan erat dengan upaya mencari penjelasan yang berbeda-beda mengenai data yang sama. Berbagai perspektif harus disesuaikan untuk memungkinkan keluasan analisis serta mengecek bias-bias yang tidak disadari
BAB IV
HASIL DAN ANALISIS HASIL
Penelitian ini melibatkan dua orang partisipan dewasa yang keduanya wanita. Partisipan pertama mengalami emotional abuse dan neglect dari ayah kandung, serta physical abuse, emotional abuse, dan neglect dari ibu tiri.
Partisipan kedua mengalami neglect dan emotionalabuse dari ayah kandung,
physical abuse, emotional abuse, dan neglect ibu kandung, serta sexual abuse, dan
emotional abuse dari ayah tiri. Bab ini akan memaparkan identitas diri partisipan,
deskripsi umum partisipan, observasi dan wawancara, pembahasan dalam skema, serta rangkuman dinamika forgiveness partisipan terhadap orang tua
masing-masing. Berikut gambaran umum kedua partisipan :
Pertisipan 1 Partisipan 2
Nama * Asti Sita
Usia 33 tahun 18 tahun Jenis kelamin Perempuan Perempuan Suku bangsa Jawa Jawa-Sunda
Agama Islam Islam
Pendidikan terakhir
SD SMP
Pekerjaan Pembantu rumah tangga Tidak bekerja Anak ke_dari_ 2 dari 5 4 dari 7
Status Janda Belum menikah
Usia awal mengalami child
abuse
8 tahun Sejak lahir (neglected by father)
Pelaku child
IV. A. PARTISIPAN I IV. A. 1. IDENTITAS
Nama* : Asti
Jenis kelamin : Perempuan Usia : 33 tahun Suku bangsa : Jawa
Agama : Islam Pendidikan terakhir : SD
Pekerjaan : Pembantu rumah tangga (PRT) Urutan dalam keluarga : Anak ke 2 dari 5 bersaudara Status : Janda
Jumlah anak : 3 orang Usia awal terjadi child abuse : 8 tahun
Jenis child abuse : Physical abuse, emotional abuse, neglect
Pelaku child abuse : Ibu tiri dan ayah kandung
Data Orang Tua (Abuser)
AYAH IBU
Status Kandung Tiri Nama* Amir Nana Usia 58 tahun 60 tahun
Agama Islam Islam Suku bangsa Jawa Jawa
Pendidikan terakhir SMA SMP Pekerjaan Pensiunan PU Ibu rumah tangga
Abuse terhadap
Asti
Emotional abuse dan neglect Physical abuse, emotional abuse, neglect
IV. A. 2. DESKRIPSI UMUM ASTI
Semasa kecil, Asti hidup bahagia bersama ayah, ibu serta seorang adik laki-lakinya di rumah mereka di daerah Mandala. Ayah Asti bekerja sebagai
Pegawai Negeri di bagian Pekerjaan Umum (PU) yang juga pemegang warisan keluarga, sedangkan ibunya adalah ibu rumah tangga. Akan tetapi, kehidupannya berubah semenjak ibu kandungnya meninggal dunia karena melahirkan adik
bungsu dan ketika itu Asti belum genap 8 tahun. Asti dan adik-adiknya kemudian diasuh oleh nenek-kakeknya (orang tua ibu kandung), sedangkan ayah tetap
tinggal di rumah mereka.
Sekitar tiga bulan setelah ibunya tiada, ayahnya menikah lagi tanpa sepengetahuan Asti dan keluarga tempat ia tinggal. Kemudian ayah datang
menjemput Asti dan adik-adiknya kembali ke Mandala. Nenek tidak mengabulkan permintaan ayah karena berita yang tiba-tiba tersebut. Namun, nenek menyerahkan keputusan pada Asti sebagai anak sulung apakah mau ikut ayah atau
tetap di rumah nenek. Ternyata, Asti lebih memilih ikut ayah setelah ayah meyakinkannya bahwa akan ada ibu baru yang akan menggantikan ibu
kandungnya yang telah tiada. Asti dan adik laki-lakinya pun ikut ayah kembali ke rumah sedangkan adik bungsu yang masih bayi tetap di rumah nenek karena telah diangkat menjadi anak oleh Lena, adik ibu kandung.
Sejak Asti dan adik laki-lakinya kembali ke rumah, sepulang bekerja sebagai PNS, ayah bekerja sampingan sebagai tukang becak. Hal ini dikarenakan
Asti merasa bahagia memiliki pengganti ibu kandungnya yang telah tiada.
Akan tetapi, kebahagiaan tidak berlangsung lama. Ibu tiri mulai sering marah-marah tanpa sebab dan menyuruh Asti mengerjakan semua pekerjaan rumah
tangga saat ayah tidak ada di rumah. Ibu tiri bahkan juga melakukan physical
abuse, seperti tidak memberikan makanan yang layak, memukul, menyiram
dengan air panas atau membenturkan kepala Asti hingga berdarah.
Asti mulai tidak tahan dan mengadu pada ayah. Ternyata ayah tidak menghiraukan keluhannya bahkan terus membela ibu tiri. Kemudian Asti
mengadu pada neneknya. Ia bahkan pernah melarikan diri ke sana untuk mencari perlindungan tetapi ia malah disuruh bersabar dan kembali ke rumah. Asti pun pulang dengan perasaan tidak berdaya.
Ia kemudian mengadu pada para tetangga. Sama seperti keluarga di rumah nenek, tetangganya hanya dapat menasehati Asti agar bersabar karena tidak dapat mencampuri urusan rumah tangga orang lain. Akan tetapi, mereka tetap prihatin
dengan keadaan Asti dan bersedia membantu semampunya seperti bersedia mendengarkan saat Asti ingin bercerita serta memberi Asti dan adiknya makanan.
Ternyata, ibu tiri tidak menyukai kedekatan Asti dengan para tetangga. Asti kemudian dilarang keluar rumah bahkan untuk sekolah sekalipun sehingga frekuensi perilaku abusive ibu tiri meningkat. Akibatnya, kondisi kesehatan Asti
pun memburuk karena kurang gizi dan terserang gejala bronchitis.
Salah seorang tetangga prihatin dengan kondisi Asti dan kemudian
beberapa hari. Kedua orangtuanya tidak pernah menjenguknya di rumah sakit dan
juga tidak pernah datang ke rumah nenek untuk menjemputnya. Nenek dan tantenya sempat datang ke rumah ayah untuk meminta pertanggung-jawaban,
namun ayah dan ibu tiri telah melepaskan tanggung jawab mereka sebagai orangtua. Sejak saat itu, Asti dan adik laki-lakinya diasuh oleh neneknya.
Usia 17 tahun ia menikah namun pernikahan tersebut sering diwarnai
pertengkaran dan suaminya sering mengancam akan menikah lagi ketika sedang bertengkar. Tahun 2004 Asti dan Adi bercerai. Asti mengambil alih pengasuhan
ketiga anak mereka sedangkan Adi sampai sekarang tidak pernah lagi mengunjungi mereka ataupun memberikan biaya hidup bagi ketiga anak mereka.
Sampai sekarang, Asti tetap tidak dapat melupakan dan tidak mau
memaafkan orangtuanya atas child abuse yang dialaminya. Ia hidup dengan membawa amarah dan keinginan membalas dendam terhadap ibu tiri. Selain itu, ia juga tetap menyimpan rasa kesal dan kecewa terhadap ayah yang tidak
mempedulikannya ketika child abuse terjadi. Beberapa waktu lalu, ayahnya datang dan meminta maaf padanya. Melihat keadaan ayah yang sudah tua dan
sakit-sakitan, timbul perasaan kasihan dalam dirinya. Ia juga kembali teringat saat-saat bahagia bersama ayahnya ketika ibu kandung masih ada. Namun, ternyata emosi-emosi positif tersebut tetap tidak membuatnya memaafkan
IV. A. 3. OBSERVASI DAN WAWANCARA
Peneliti dan Asti membuat kesepakatan tentang pengambilan data setelah beberapa kali pertemuan sejak bulan April hingga Juli 2007. Wawancara pertama
berlangsung pada awal Agustus 2007 dan berakhir pada akhir September 2007.
OBSERVASI
Asti memiliki tinggi sekitar 157 cm dan berat sekitar 50 kg. Rambutnya
tidak dibiarkan panjang sampai menutupi leher supaya tidak mengganggu pekerjaannya sebagai PRT. Pada setiap pertemuan, baik untuk wawancara
maupun saat peneliti berkunjung, Asti lebih sering menggunakan baju kaos lengan pendek dan celana jeans yang digulung atau dipotong hingga betis atau lutut.
Pada beberapa sesi pengambilan data, peneliti ditemani oleh seorang
teman setelah sebelumnya disetujui oleh Asti dan ada kalanya peneliti hanya sendiri.
Wawancara dilakukan di dua tempat yaitu di rumah Asti dan di rumah
Lena (tante Asti). Rumah Asti adalah rumah yang dikontrak secara bersama-sama dengan satu keluarga lain. Asti menempati sekitar sepertiga bagian belakang
rumah yang berukuran 6x18m2 tersebut. Bagian sepertiga itu dibatasi dengan
bahan triplex tetapi masih dapat menghubungkan antara kedua pemilik rumah sehingga tetap tidak ada ruang pribadi kecuali kamar tidur. Bagian rumah Asti
memiliki satu ruang tamu sekaligus ruang keluarga dan dua kamar tidur, sedangkan dapur dan kamar mandi terletak di luar rumah. Asti juga mendapat
separuh bagian halaman rumah yang luasnya 30x30m2. Halaman tersebut
pertama kali dilakukan di ruang tamu. Akan tetapi, karena tetangganya dianggap
mengganggu proses wawancara, wawancara-wawancara selanjutnya dilakukan di kebun pacar air dan di kamar tidur.
Wawancara juga dilakukan di rumah Lena, rumah warisan keluarga yang jaraknya sekitar 300 m dari rumah Asti. Rumah tersebut berdinding kayu namun lebih luas dari rumah Asti. Wawancara di rumah Lena dilakukan pada saat Asti
sedang istirahat sambil menunggu jam kerjanya selanjutnya.
Pada wawancara pertama, Asti sempat salah tingkah sebelum peneliti
menjelaskan prosedur wawancara. Asti berulang kali mengatakan pada peneliti bahwa ia bingung harus bercerita dari mana. Ia juga tertawa ketika peneliti menjelaskan bahwa dalam prosesnya wawancara akan direkam. Setelah peneliti
menjelaskan mengapa harus direkam, Asti setuju dan bersikap kooperatif selama proses wawancara. Sebelum wawancara dimulai, peneliti memberikan lembar data keluarga pada Asti namun Asti tidak mau menulis sendiri dengan alasan
tulisannya jelek sehingga peneliti membantunya menulis lembar tersebut. Setelah lembar data keluarga diisi, wawancarapun dimulai. Asti tampak defensif dengan
posisi duduk menjauhi peneliti dan recorder, serta volume suara yang semakin mengecil. Kemudian, ketika menceritakan kejadian child abuse, Asti mulai tampak emosional dengan intonasi suara yang meninggi, posisi duduk yang
berubah lebih tegak dan lebih banyak melakukan gerakan, serta beberapa kali menggunakan kata-kata makian. Asti juga terlihat sangat mudah terpancing untuk
Ada beberapa hal menarik selama proses wawancara. Asti beberapa kali
berusaha membanding-bandingkan kehidupannya dengan peneliti. Hal menarik lain, untuk menyebut dirinya Asti menggunakan tiga kata ganti yaitu ‘aku’, ‘awak,
dan ‘kami’. Selain itu, peneliti sempat kebingungan ketika Asti menyebut tantenya dengan kata ‘Uwek’ (dalam bahasa Jawa berarti nenek). Asti juga banyak menggunakan kata ‘ya kan?’ dan banyak menyebut nama peneliti di akhir
kalimat-kalimatnya.
WAWANCARA
Terlahir dalam keluarga kecil yang mapan, Asti hidup bahagia bersama
kedua orangtua kandung dan seorang adik laki-laki yang bernama Heri. Kedua orangtuanya menyayanginya, namun secara emosional ia lebih dekat dengan ibu kandungnya. Kasih sayang ibunya begitu membekas di hatinya, apalagi di saat
Asti sakit ibunya lah yang senantiasa menjaganya sepanjang hari. “…Aku dekatnya sama mamak….”( P1.W3/hal.25/k.40)
“…Dulu itu ya mamak kami ya kalo buat anak-anaknya dibikin makanan yang enak-enak. Makanya dulu waktu kecil aku sehat kali….Terus kan, kalo kami ada apa lah, kalo bapak kami gajian lebih, kami nanti diajak jalan-jalan, dibeliin baju. Kalo sakit lagi. Makanan makin enak. Pokoknya kami dimanjain kali sama mamak. Minta apa aja dikasih….” (P1.W3/hal.28-29 /k.204-214)
“..Kalo sakit mamak la yang jaga. Sampek gak tidur mamak kami jagain kami Dev. Kalo ayah mana mau. Ngantuk ya tidur dia. Tapi ayah tetap sayang…”( P1.W3/hal.29 /k.221-225)
kandungnya masuk Rumah Sakit, Asti berserta kedua adiknya diasuh oleh nenek
(orangtua ibu) dan berpisah dari ayah. Di rumah nenek yang terletak di KB itu, Asti hanya bisa menunggu dan berdo’a untuk kesembuhan ibu serta untuk
mengatasi rasa takutnya. Sebulan setelah melahirkan ibunya pun meninggal dunia. “…Abis ngelahirin sebulan mamak kami di rumah sakit terus. Tu la meninggal dia.”( P1.W1/hal.8 /k.341-342)
“….Kami di rumah berdo’a aja la mudah-mudahan gak kenapa-kenapa. Takut juga. Kekmana kalo mamak gak ada. Terus, gak lama meninggal juga. Terus ditelepon ayah kami. ‘Siap-siap la kelen, udah meninggal…’”(P1.W3/hal.26/k.77-82)
Asti dilanda kesedihan mendalam dan pikiran-pikiran tentang masa depan
tanpa ibu, tempat ia menumpahkan seluruh perasaannya. Akan tetapi, Asti kemudian menyadari bahwa ia tidak bisa terus meratapi kepergian ibunya. Ia pun berhenti menangis dan pasrah menerima nasibnya.
“meninggal ya kayakmana lah. Dah macem orang gila. Namanya kami masih kecil….Gak da mamak.. Susah lah...Gak da mamak. Kita gak bisa ngadu, gak bisa apalah…”(P1.W3/hal.25/k.46-50)
“…Masih kecil emaknya udah ‘ninggal. Koq kasian kali ya... Cemana la hidup awak nanti ya kan. Ya diem aja lah... Pasrah aja. Namanya awak masih kecil. Gak bisa ngapa-ngapain lah ya. Mau teriak-teriak cemana. Ya udah paling nangis-nangis gitu lah. Abis tu diem aja. Pasrah.”(P1.W3/hal.26/k.91-99)
Setelah ibu meninggal dunia, Asti dan kedua adiknya tetap tinggal di
rumah nenek, sementara ayah tetap di rumah mereka di Mandala. Beberapa bulan setelah ibu meninggal, ayah datang kembali. Kali ini ayah berniat membawa Asti