• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dinamika Forgiveness Pada Orang Dewasa Yang Pernah Mengalami Child Abuse

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Dinamika Forgiveness Pada Orang Dewasa Yang Pernah Mengalami Child Abuse"

Copied!
125
0
0

Teks penuh

(1)

DINAMIKA FORGIVENESS PADA ORANG DEWASA

YANG PERNAH MENGALAMI CHILD ABUSE

S K R I P S I

G u n a M e m e n u h i P e r s y a r a t a n

U j i a n S a r j a n a P s i k o l o g i

OLEH :

REINIDAR DEVIRASARI NIRMALA HAYATI

031301009

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

BAB I PENDAHULUAN

I. A Latar Belakang Masalah

Anak-anak memiliki kebutuhan yang harus dipuaskan agar dapat tumbuh secara normal bahkan sejak mereka masih bayi (Papalia, 2004).

Kebutuhan-kebutuhan tersebut meliputi Kebutuhan-kebutuhan fisik sampai psikologis yang pada umumnya dipenuhi oleh caregiver (orang tua, kakek/nenek, pengasuh, atau orang

dewasa yang bertanggung jawab atas pengasuhan dan kesejahteraan anak) (Santrock, 1998). Dengan demikian, anak akan merasakan pengalaman cinta yang murni dan disiplin yang sehat. Kondisi tersebut memberikan mereka perasaan

aman dan puas sehingga anak dapat berkembang sesuai dengan real self mereka (Horney, dalam Feist, 2002)

Orang tua, sebagai caregiver utama, memiliki kontribusi yang sangat besar

dalam memberikan cinta dan perhatian pada anak untuk mendukung perkembangan anak sehingga menjadi orang dewasa yang kompeten (Santrock,

1998).

Memang, kebanyakan orang tua mencintai dan memelihara anak-anak mereka dengan baik, namun pada kenyataannya, beberapa orang tua tidak mampu

atau tidak mau peduli dan ada pula yang dengan sengaja menyakiti atau membunuh anak-anak mereka. (Papalia, 2004). Bahkan, ada juga orang tua yang

(3)

Berdasarkan data dari informasi dan dokumen di Pusat Kajian dan

Perlindungan Anak (PKPA), ada sekitar 27,4 % dari 62 kasus penganiayaan terhadap anak di Sumatera Utara, dilakukan oleh orang tua sepanjang tahun 2006

meliputi 11 kasus dilakukan oleh orang tua kandung, 4 kasus oleh orang tua tiri, dan 2 kasus oleh orang tua angkat. Tentunya, jumlah tersebut bukan merupakan angka keseluruhan anak yang mengalami penganiayaan oleh orang tua di

Sumatera Utara. Fenomena seperti ini sering disebut sebagai aib keluarga sehingga tidak terbuka dan tidak melibatkan orang lain. Selain itu, anak juga

merasa takut menceritakan perlakuan orang tuanya pada orang lain karena budaya di Indonesia mengharuskan anak sejak kecil patuh dan taat kepada orang tua. Anak sering dibelenggu dogma-dogma yang mengabaikan hak anak untuk

mengemukakan pendapat.

Peristiwa penganiayaan anak biasa dikenal dengan istilah child abuse atau

child maltreatment. Child abuse atau child maltreatment meliputi dua perilaku

yaitu abuse dan neglect. Abuse mengarah pada tindakan yang menimbulkan kerusakan pada anak, sedangkan neglect mengarah pada tidak ada tindakan sama

sekali, yaitu pengabaian yang merusak anak. Perilaku abuse dan neglect ini memiliki empat tipe. Pertama, physical abuse, yaitu kekerasan terhadap fisik anak yang dapat berupa pukulan, tendangan atau pembakaran. Kedua, neglect,

merupakan pengabaian atau kegagalan memenuhi kebutuhan fisik, emosi dan pendidikan dasar anak. Ketiga, sexual abuse, merupakan kegiatan seksual yang

(4)

The Child Abuse Prevention and Treatment Act (CAPTA) (dalam

McDonal, 2007) menyatakan bahwa child abuse merupakan penganiayaan terhadap anak yang dilakukan oleh orang tua atau caregiver yang bertanggung

jawab atas kesejahteraan anak, namun pada penelitian ini peneliti berfokus pada orang tua sebagai pelaku child abuse.

Rafeinstein (2000) mengutip pengalaman Rebecca sebagai anak yang

tumbuh dengan ibu yang abusive secara fisik dan verbal, serta ayah yang jarang ada di rumah :

“...Ibuku sering memanggilku dengan sebutan ‘bodoh’ atau ‘idiot’. Kalau aku melakukan kesalahan ibu akan memukul dan membenturkan kepalaku... sedangkan ayah menyayangiku tapi tidak pernah ada saat aku membutuhkannya. Ia selalu sibuk dengan pekerjaannya.”

Pada umumnya, orang dewasa yang yang melakukan kekerasan terhadap

anak mereka sendiri kurang memiliki kontrol atas dorongan agresi dan memiliki pemikiran yang tidak realistik bahwa anak-anak dapat memenuhi kebutuhan

emosionalnya sendiri. Biasanya mereka juga memiliki sejarah kekerasan ketika mereka kecil (Kempe et al. dalam Berk, 2000). Sejarah kekerasan biasanya merupakan hasil dari pola asuh keluarga yang menerapkan hukuman sebagai dasar

pendisiplinan. Orang tua kadang menghukum anak-anak mereka untuk menghentikan perilaku yang tidak diinginkan, mengontrol perilaku anak-anak

sebagaimana dulu mereka dikontrol (Santrock, 1998).

Papalia (2004) menambahkan bahwa anak-anak yang mengalami kekerasan berasal dari semua usia, namun angka tertinggi adalah usia 3 tahun ke

(5)

biasanya ibu, kecuali untuk kasus sexual abuse. Selain itu, anak perempuan 4 kali

lebih beresiko mengalami sexual abuse dibandingkan anak laki-laki.

Karakteristik fisik maupun psikologis tertentu pada anak dapat pula

memicu terjadinya child abuse. Anak yang hiperaktif, cengeng, mental retardasi, dan anak yang sulit diatur (Berns, 2004), bayi prematur, anak yang sakit parah, anak yang ceroboh, overaktif atau memiliki masalah perkembangan lain, serta

anak hasil kehamilan yang tidak diinginkan (Berk, 2000) cenderung mengalami

child abuse.

Child abuse juga bisa dihubungkan dengan nilai budaya, hukum dan

kebiasaan yang dipegang keluarga turun-temurun. Masyarakat yang memandang kekerasan sebagai cara yang tepat untuk mengatasi masalah cenderung melakukan

child abuse. Di Amerika, dimana perilaku kekerasan secara luas diterima, lebih

dari 90% orang tua melaporkan menggunakan tamparan dan memukul bokong untuk mendisiplinkan anak, sedangkan di negara-negara yang tidak menerima

adanya hukuman fisik, seperti China, Jepang, Luxemburg dan Swedia, jarang terjadi child abuse (Staub; Zigler & Hall, dalam Berk, 2000)

Faktor lain seperti rendahnya pendapatan, pengangguran, konflik perkawinan, domestic violence, stres pada orang tua, sering berpindah-pindah tempat tinggal, dan pemakaian obat-obatan terlarang juga mempengaruhi

kemungkinan terjadinya child abuse (Berk, 2000).

Child Abuse dapat menyebabkan akibat yang serius, baik bagi fisik,

(6)

tertular penyakit menular seksual, dan mungkin saja, kehamilan (Wibisono, 2004).

Mengalami pengabaian dan kekerasan emosional mengakibatkan anak cenderung tumbuh dengan buruk dan mengalami masalah medis karena kekurangan nutrisi

(Berns, 2004).

Dampak psikis dari child abuse dapat berupa kesulitan berkonsentrasi, mengalami gangguan belajar, dan prestasi menurun. Anak-anak korban child

abuse juga tidak mampu mengembangkan keterampilan sosial. Mereka

berperilaku agresif sehingga cenderung ditolak teman sebaya atau malah menjadi

pasif atau menarik diri karena merasakan ketidakberdayaan. Mereka juga takut orang tua akan kehilangan kontrol sehingga memilih menghindar dari orang tua (Papalia, 2004). Kurangnya pengasuhan yang normal selama masa kanak-kanak

dapat menyebabkan individu mengganti kebutuhan akan cinta dan perasaan aman yang hilang dengan obat-obatan terlarang, alkohol, makanan, objek material, seks, dan berjudi (Berns, 2004). Selain itu, anak juga mengalami tekanan psikologis

seperti takut, stres, trauma (Wibisono, 2004), rasa marah dan khayalan untuk membalas dendam (Herman, 1997).

Kemarahan yang merupakan akumulasi dari perasaan dikhianati, dan ketidakberdayaan kemudian dapat berubah menjadi amukan yang kuat setelah anak dewasa. Anak juga mengalami kesulitan membangun kepercayaan, dan

merasa tidak berharga (Crosson, 2002). Penderitaan akibat dampak-dampak kekerasan pada anak tidak hanya terjadi setelah mengalami tindak kekerasan

(7)

dapat berupa histeris, mimpi buruk, dan merasa peristiwa lalu muncul lagi

(Wibisono, 2004).

Biere (1992) memberi istilah adult survivor untuk orang dewasa yang

memiliki pengalaman menjadi korban kekerasan pada masa kanak-kanak. Tanpa intervensi yang tepat, anak yang merasakan penderitaan akan tumbuh menjadi orang dewasa yang menderita juga. Mereka akan menjalani hidup dengan

membawa trauma dan dampak negatif jangka panjang dari pengalaman mereka. Rebecca (dalam Rafeinstein, 2000) menceritakan efek pengalamannya

sebagai korban child abuse berupa kemarahan yang terus dibawanya bahkan setelah ia dewasa dan berkeluarga:

“Aku menghabiskan seluruh masa kanak-kanakku dengan ketakutan melakukan sesuatu yang akan membuatnya jengkel. Sebagai hasilnya, aku hidup dengan rasa marah yang konstan.... Bertahun-tahun, aku menyesuaikan diri dengan semua kemarahan, yang menghabiskan energiku dan menghalangi kebahagiaanku. Aku juga secara fisik sering sakit. Aku benar-benar kacau."

Banyak survivors mengungkapkan bahwa selain merasa marah, mereka juga merasakan ketidakberdayaan dan ketakutan ketika dianiaya atau melihat

anggota keluarga lain (bahkan hewan peliharaan) dianiaya. Mereka kemudian belajar mengembangkan keahlian mengenal tanda-tanda akan terjadi kekerasan, misalnya perubahan ekspresi wajah, suara dan bahasa tubuh orang tua. Apabila

orang tua menunjukan reaksi tersebut, mereka berusaha melindungi diri dengan menghindar atau melarikan diri, dan jika gagal, mereka akan berusaha menjadi

(8)

tirinya marah-marah sehingga ia memilih menghindar, berharap ibu tirinya tidak

semakin marah.

“..Ya kami baek-baek lah. Jangan sampek tambah marah pula dia kan.... Bis tu kami pigi aja masuk kamar. Takut kami mamak tiri kami tambah marah…”(komunikasi personal, 26 Agustus 2007)

Menekan rasa marahnya dan berusaha menjadi ‘anak yang baik’ membuat anak berespon secara pasif yaitu dengan tidak mengkomunikasikan perasaan, pikiran dan perilaku secara langsung kepada orang tua, melainkan dengan

cara-cara seperti berdiam diri, tindakan agresif pasif, dan merenungi (ruminate) child

abuse yang dialaminya serta perasaannya. Mereka tidak langsung mengatakan

atau melakukan perbuatan yang menunjukkan bahwa mereka marah dan benci atas perilaku abusive yang dialaminya, melainkan terus mengingat-ingat dan menyimpan perasaan di dalam hati, atau melakukan “sesuatu” tanpa

sepengetahuan orang tua (Worthington, 1999).

Dalam trilogi novelnya, Dave (dalam Pelzer, 2003) menceritakan

pengalaman pribadinya sebagai orang berhasil bertahan hidup setelah mengalami

physical abuse, emotional abuse, dan neglect dari ibu kandungnya sendiri sejak ia

berusia 4 tahun. Berikut kutipan yang menunjukan keadaan rumination Dave

dewasa terhadap ibunya ketika ia berkunjung ke rumah ibunya:

(9)

langsung kubunuh, tapi kucopot daya hidupmu perlahan-lahan. Aku bisa melakukannya, sungguh aku bisa’” (hal 281-282)

Individu yang mengalami emosi-emosi tersebut di atas dikatakan sedang

berada dalam keadaan unforgive (tidak memaafkan). Unforgiveness didefinisikan sebagai emosi "dingin" yang melibatkan rasa marah, sakit hati, dan rasa benci, bersamaan dengan motivasi untuk menghindari atau membalas transgresor

(pelaku kejadian penyerangan). Emosi dingin tidak mudah hilang seiring berjalannya waktu, kecuali apabila dilakukan intervensi yang tepat (Worthington,

1999).

Emosi-emosi dingin ini mengakibatkan dampak buruk bagi individu yang mengalaminya antara lain menurunnya fungsi kekebalan tubuh dan depresi

(Zechmeister, 2004). Worthington (dalam Lucia, 2005) juga mengatakan bahwa setiap kali seseorang merasa tidak memaafkan, orang tersebut menjadi lebih mungkin terkena masalah kesehatan. Emosi-emosi negatif dapat memperbesar

kemungkinan terjadinya penyakit jantung dan kanker dan individu akan sulit mencapai kebahagiaan dalam hidupnya. Oleh karena itu, individu berusaha

menghilangkan atau setidaknya mengurangi unforgiveness.

Ada banyak cara sehingga seseorang dapat mengurangi unforgiveness, misalnya dengan langsung membalas, membalas dendam, menuntut keadilan atau

dengan defense psikologis (represi, proyeksi, denial, dan sebagainya). Cara-cara tersebut mungkin dapat mengurangi beberapa emosi negatif, namun emosi negatif

(10)

mengatasi unforgiveness yaitu dengan forgiveness (pemaafan) (Worthington &

Wade, 1999).

Menurut Lucia (2005), ketika seseorang memaafkan, ia mengganti

perasaan unforgiveness dengan emosi yang lebih positif, seperti empati, simpati, dan cinta. Forgiveness dapat mengurangi permusuhan dan stres negatif yang dirasakan seseorang.

Forgiveness difasilitasi oleh peristiwa yang menyebabkan disonansi

emosi. Disonansi emosi terjadi ketika korban mengalami emosi-emosi positif

seperti empati, rasa kasihan, kerendahan hati, menyukai, humor, dan mencintai. Emosi-emosi ini bertolak belakang dengan emosi awal (unforgiveness) yang dirasakan korban sehingga korban merasa tidak nyaman dan akan berusaha

menyeimbangkan emosinya. Akan tetapi, mengalami disonansi emosi tidak berarti menyebabkan forgiveness. Orang yang merasakan disonansi emosi juga mungkin saja malah kembali unforgive (Worthington & Wade, 1999).

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi forgiveness antara lain empati,

rumination (merenungi kejadian yang menimbulkan sakit hati), kualitas

hubungan, permintaan maaf (McCullough, 2000), agama dan kepercayaan (Worthington & Wade, 1999). Faktor-faktor tersebut ada yang berkorelasi positif dan ada yang berkorelasi negatif dan dapat mempengaruhi disonansi emosi pada

diri korban, namun apakah individu forgive atau kembali unforgive ditentukan oleh korban sendiri. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Worthington & Wade

(11)

Anda (bukan nama sebenarnya) memiliki ayah yang dulunya adalah

seorang penjudi dan pemabuk. Sejak kecil ia dan anggota keluarganya yang lain sering dipukuli ayahnya. Perasaan unforgive-nya juga diperparah karena ia tidak

tahan melihat ibunya menderita. Pada akhirnya, Anda memilih forgive setelah melihat ibunya bahagia setelah ayahnya sadar dan berubah.

“..masalah abang sama bapak kan karna dia mabok-mabok itu. Kalo udah mabok woo.. Bukannya apa, Abang paling gak tahan nengok mamak. Dulu kalo dibilang dendam, dendam kali Abang sama dia Vi. Tapi nengok bapak sekarang udah berubah rasanya abang bersukur juga la. Gak penting sama Abang dia harus ngomong apa sama Abang. Yang penting dia udah berubah, terus nengok mamak udah seneng Abang juga seneng..” (komunikasi personal, tanggal 23 November 2007)

Berbeda dengan Anda yang memilih forgive walaupun tanpa kata maaf, Asti (bukan nama sebenarnya) memilih tetap unforgive pada ayahnya walaupun ayahnya telah menyatakan penyesalan dan permintaan maaf padanya. Ia

menghilangkan emosi positif yang muncul dalam dirinya akibat permintaan maaf ayahnya dengan meyakinkan dirinya bahwa penyesalan ayah sudah terlambat.

“…Itulah ayah kami pun dah insaf juga. Tapi insaf pun ayah kami kekmana lah dah gak bisa lagi, Dev. Minta maaf pun dia, gak guna lagi. Tak bisa kumaafkan dia…Udah lama kali kejadiannya. Tau ko Dev kayakmana perasaanku ini Dev?”(komunikasi personal, 10 Agustus 2007)

Forgiveness sendiri tidak menjamin adanya pemulihan hubungan

(rekonsiliasi). Setelah memaafkan pun, survivor belum tentu memiliki hubungan

yang erat seperti sebelum child abuse terjadi atau seperti layaknya hubungan orang tua dan anak pada umumnya. Akan tetapi, forgiveness lebih memberikan konsekuensi positif daripada unforgiveness, yang meliputi meningkatnya

(12)

Worthington, 1999), mempunyai hubungan romantis dan persaudaraan yang stabil

(Worthington, 1998), memperbaiki hubungan interpersonal dan meningkatkan kesejahteraan (well-being) (Konstam, 2000).

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa child abuse memiliki dampak-dampak buruk bagi anak, salah satunya anak akan membawa emosi negatif (unforgiveness) yang akan dibawa anak hingga dewasa apabila tidak

tercapai solusi yang tepat dan dapat mengganggu hubungan anak dan orang tua. Setiap individu berbeda-beda responnya terhadap unforgiveness, namun, cara

yang paling baik untuk mengurangi dan mengatasi unforgiveness adalah dengan

forgiveness karena forgiveness dapat melepas perasaan dendam dalam jiwa

seseorang, dan membantu individu memperbaiki hubungannya dengan orang

tuanya sehingga menuntun orang tersebut ke hidup yang lebih bahagia.

Forgiveness difasilitasi oleh peristiwa yang menyebabkan disonansi emosi. Akan

tetapi, disonansi emosi tidak hanya menyebabkan forgiveness. Seseorang yang

merasakan ketidaknyamanan disonansi emosi bisa saja kembali unforgive. Dinamika ini lah yang tertarik untuk peneliti teliti.

I. B Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah maka dapat dirumuskan masalah

(13)

I. C Tujuan penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat dinamika forgiveness pada orang dewasa yang pernah mengalami child abuse yang dilakukan oleh orang tua.

I. D Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain berupa

manfaat teoritis dan manfaat praktis sebagai berikut: 1. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah kajian psikologi klinis khususnya pada pembahasan mengenai forgiveness pada orang dewasa yang pernah mengalami child abuse.

2. Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan baru dan masukan bagi orang dewasa yang pernah mengalami child abuse mengenai manfaat

forgiveness sebagai suatu media penyembuhan, memberikan informasi dan

wawasan baru bagi orang tua dan calon orang tua mengenai dampak

pengasuhan bagi perkembangan jiwa anak, dan sebagai bahan bagi pembaca dan pihak-pihak yang berhubungan dengan penanganan child

abuse. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi referensi

bagi penelitian selanjutnya.

I.E. Sistematika Penulisan

(14)

BAB I : Pendahuluan

Berisi tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : Landasan Teori

Berisi teori-teori yang digunakan dalam penelitian yang terdiri dari teori mengenai forgiveness dan child abuse, serta paradigma

penelitian.

BAB III : Metode Penelitian

Berisi mengenai pendekatan yang digunakan, partisipan penelitian, metode pengambilan data, alat pengumpulan data dan prosedur penelitian.

BAB IV : Hasil dan Analisis Hasil

Berisi uraian mengenai gambaran hasil penelitian, termasuk di dalamnya deskripsi umum partisipan penelitian, hasil observasi, dan

hasil wawancara, serta rangkuman analisis hasil penelitian antar partisipan.

BAB V : Kesimpulan, Diskusi dan Saran

Berisi kesimpulan dari hasil penelitian yang diperoleh, diskusi tentang hal yang terkait dengan hasil penelitian dan saran, baik saran

(15)

BAB II

LANDASAN TEORI

II. A FORGIVENESS

Seseorang tidak mungkin forgive (memaafkan) kecuali jika unforgive (tidak memaafkan) telah terjadi. Forgiveness memang baru dapat muncul setelah

adanya unforgiveness, namun orang yang mengalami unforgiveness bukan berarti pasti akan mengalami forgiveness. Forgiveness merupakan satu cara untuk

mengatasi unforgiveness. Oleh karena itu, peneliti terlebih dahulu menjelaskan mengenai unforgiveness sebelum membahas forgiveness.

II. A. 1 Definisi Unforgiveness

Unforgiveness didefinisikan sebagai "emosi dingin" yang melibatkan rasa

marah, sakit hati, dan permusuhan, bersama dengan motivasi untuk meghindar

atau membalas transgresor (orang yang melakukan kesalahan) (Worthington & Wade, 1999).

Worthington (dalam Zechmeister, 2004) mendefinisikan unforgiveness sebagai kemarahan, permusuhan, ketakutan dan stress ruminatif yang terjadi setelah penyerangan interpersonal.

Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa

unforgiveness adalah emosi “dingin” yang merupakan gabungan dari rasa marah,

(16)

II. A. 2 Definisi Forgiveness

McCullough, Worthington, & Rachal (dalam Hall, 2006) mendefinisikan

forgiveness sebagai perubahan motivasi ketika individu mengganti respon

destruktif terhadap transgresor, dengan respon yang konstruktif.

Forgiveness merupakan suatu pilihan internal korban (baik sengaja

maupun tidak) untuk melepaskan unforgiveness, dan jika dirasa aman, mungkin,

dan bijaksana, maka rekonsiliasi dengan transgresor dapat terjadi. Forgiveness tidak sama halnya dengan resolusi konflik. Seseorang mungkin saja memecahkan

konflik tetapi tidak forgive atau mungkin saja forgive padahal konflik belum dipecahkan (Worthington & Wade, 1999).

Forgiveness merupakan suatu set perubahan motivasi prososial yang ada

dalam diri korban sehingga keinginannya untuk membalas dendam dan menghindar berkurang, atau sikapnya menjadi lebih baik pada transgresor (Tsang, 2006).

Menurut Lucia (2005), ketika seseorang forgive, ia mengganti

unforgiveness dengan emosi yang lebih positif, seperti empati, simpati, dan cinta.

Forgiveness dapat mengurangi permusuhan dan stres negatif yang dirasakan

seseorang.

McCullough et al. (dalam Zechmeister, 2004) menekankan bahwa respon

forgiveness merefleksikan perubahan motivasi dasar yang melawan

kecenderungan natural individu untuk membalas.

(17)

kecenderungan natural individu untuk membalas, menuntut ganti rugi, atau

menghindari orang yang pernah menyakitinya dan mengganti keinginan destruktif tersebut dengan respon yang lebih konstruktif seperti simpati, empati, cinta, dan

kemungkinan berekonsiliasi dengan transgresor.

II. A. 3 Proses Forgiveness – Unforgiveness

Worthington & Wade (1999) membuat sebuah model yang menjelaskan proses forgiveness dan unforgiveness dalam hubungan interpersonal. Proses ini

(18)

SKEMA II.1. Interpersonal Process of Forgiveness and Unforgiveness (Worthington & Wade, 1999)

2. Transgresi 4. Reaksi

emosional awal

Partner is positively affected by event (path A) (path B)

(19)

Skema di atas dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. KONTEKS (a) Personal Context

Faktor kepribadian mempengaruhi cara seseorang mempersepsikan suatu kejadian. Orang dengan emotional intelligence yang tinggi dapat membedakan situasi interpersonal dan mengendalikan perilaku mereka untuk meningkatkan

interaksi sosial yang positif mereka. Pride, kecenderungan-merasa bersalah (guilt-proneness), dan kecenderungan merasa malu (shame-proneness) juga

berpengaruh terhadap bagaimana orang berhadapan dengan transgresi. (b) Emotional Valence of the Relationship

Terjadinya peristiwa yang dirasakan secara positif maupun negatif akan

mempengaruhi persepsi terhadap kualitas suatu hubungan. Peristiwa yang negatif, seperti transgresi, membuat hubungan yang positif menjadi kurang positif, merubahnya menjadi negatif, atau membenarkan pandangan negatif

korban terhadap hubungan yang sudah negatif, sedangkan peristiwa positif bertindak sebaliknya. Sekali hubungan dianggap sebagai hal yang negatif,

peristiwa yang berikutnya dirasakan dan direspon dengan negatif pula. (c) Interaksi antara Personal Context dan Valence of the Relationship

Seseorang mungkin berperilaku berbeda pada suatu hubungan yang

(20)

2. TRANSGRESI

Transgresi adalah tindakan yang salah atau secara moral menyerang atau menimbulkan rasa sakit/kerugian secara fisik maupun psikologis pada korban.

Transgresi bersifat destruktif terutama ketika berulang, dipenuhi dengan emosi negatif, severe (parah), dan tidak disertai rasa bersalah atau permintaan maaf dari transgresor (orang yang melakukan transgresi). Transgresi itu bersifat objektif,

artinya orang lain (selain transgresor dan korban) juga setuju bahwa transgresi telah terjadi. Dalam penelitian ini transgresi yang dimaksud adalah child abuse

sehingga pelaku akan disebut sebagai abuser.

3. PERSEPSI KORBAN ATAS TRANSGRESI

Persepsi memotivasi respon individu terhadap suatu kejadian. Suatu

peristiwa dapat dipersepsikan berbeda oleh individu yang berbeda. Contohnya, seseorang mungkin merasakan suatu komentar negatif yang ambigu sebagai

humor dan merespon dengan tertawa atau dengan tidak peduli. Hal ini dapat menghindarkan orang tersebut dari siklus unforgiveness dan memperbaiki stabilitas hubungan (lihat figur 1, path A). Seseorang juga dapat menganggap

komentar tersebut sebagai penyerangan personal sehingga ia berespon secara defensif dan muncullah reaksi emosi awal.

4. REAKSI EMOSI AWAL

Ketika seseorang mempersepsikan suatu kejadian sebagai transgresi, ia akan mengalami reaksi emosional negatif yang disebut sebagai unforgiveness.

(21)

defense psikologis yang kemudian menghindarkan orang tersebut dari siklus

unforgiveness dan memperbaiki stabilitas hubungan (lihat skema II.1, path B).

Akan tetapi, unforgiveness juga dapat menyebabkan motivasi pembalasan dan

permusuhan yang berkepanjangan terhadap transgresor sehingga memicu mekanisme coping aktif dan pasif.

4.a. Respon interpersonal aktif

Respon aktif adalah tindakan eksternal yang dapat bersifat memperbaiki atau malah merusak hubungan ketika berhadapan dengan kejadian interpersonal.

Ada dua tipe respon aktif:

4.a.1. Retaliation yaitu membalas dengan berteriak atau melakukan tindakan yang menimbulkan rasa sakit yang sama pada transgresor. Avoidance

yaitu berusaha menjauh atau menghindari transgresor. Pelepasan seperti itu umumnya tidak membantu dan sebaliknya dapat menyebabkan

distress.

4.a.2. Constructive Relationship Behavior, yang bertujuan

mengkomunikasikan rasa sakit (harm) sehingga tidak merusak hubungan

antara kedua belah pihak, namun dalam merespon peristiwa yang menimbulkan reaksi emosi negatif, respon konstruktif ini hampir mungkin merupakan respon agresif.

4.b. Respon interpersonal pasif

Respon pasif merupakan cara lain bagi korban merespon emosi negatif

(22)

korban tidak membalas transgresor, tapi ia selalu mengingat-ingat

penyerangan tersebut). Respon pasif juga meliputi perasaan, perilaku, atau pikiran yang tidak dikomunikasikan secara langsung kepada transgresor –

meliputi berdiam diri, tindakan agresi-pasif, menyalahkan diri sendiri, dan

rumination (Skema II.1, box 4.b.1.).

5. RESPON TRANSGRESOR DAN PERSEPSI KORBAN

Respon transgresor yaitu berupa account (respon yang ditawarkan) untuk menjelaskan, membenarkan, atau untuk mengurangi efek negatif dari transgresi.

Accounts dapat berupa penolakan (refusal), pembenaran (justifications), memberi

alasan (excuses), atau concessions. Refusal menyangkal peran sebagai penyebab apapun dalam kerugian interpersonal dan akibat-akibatnya, dan menolak hak

orang lain menanyakan integritas dan ke-bersalah-annya. Justifications membenarkan adanya perbuatan salah namun menolak bertanggungjawab.

Excuses, membenarkan adanya kesalahan dan bertanggung jawab untuk

mengurangi rasa bersalah personal. Concessions yaitu mengakui kesalahan dan bertanggung jawab atas akibat transgresi dan penggantirugian.

Reaksi transgresor yang positif (excuses atau concessions) seharusnya diikuti juga dengan persepsi positif korban sehingga menyebabkan disonansi

(23)

6. RESOLUSI DISONANSI EMOSI

Disonansi emosi memfasilitasi munculnya forgiveness setelah individu mengalami unforgiveness. Disonansi emosi terjadi ketika korban dan transgresor

memperoleh kembali valensi hubungan yang positif sehingga korban mengalami emosi positif seperti simpati, empati, rasa kasihan, kerendahan hati, menyukai, humor, dan mencintai. Emosi-emosi positif ini terjadi ketika trangresor meminta

maaf dengan tulus atau munculnya variabel-variabel lain yang mempengaruhi seperti komitmen agama, kecerdasan emosi, atau keinginan berkorban demi

hubungan. Emosi-emosi yang bertolak belakang dengan emosi awal (unforgiveness) ini menyebabkan korban merasa ketidaknyamanan emosional sehingga korban akan berusaha menyeimbangkan emosinya. Disonansi emosi

dapat diatasi dengan kembali ke unforgiveness (Skema II.1, box 6.a.) atau menuju ke forgiveness (Skema II.1, box 6.b.). Unforgiveness merupakan resolusi negatif dari disonansi emosi sedangkan forgiveness merupakan resolusi positif dari

disonansi emosional. Perlu diingat, forgiveness-unforgiveness merupakan siklus atau proses yang dapat berulang. Korban mungkin forgive saat ini namun, suatu

saat nanti ruminate kembali apabila korban merasakan transgresi baru.

7. PERUBAHAN PADA ATRIBUSI, OPTIMISME DAN HARAPAN

Forgiveness menyebabkan unforgiveness menurun dan motivasi untuk

memiliki hubungan yang baik meningkat. Rekonsiliasi dapat muncul apabila

(24)

(Skema II.1, box 7). Pada hubungan yang positif, secara umum atribusi akan

menjadi stabil dan lebih positif. Pada hubungan yang negatif, atribusi menjadi stabil dan kurang negatif. Orang yang memberi maaf menjadi lebih optimis

tentang hubungan dan masa depan. Baik orang yang dimaafkan maupun orang memberi maaf dapat menjadi lebih hopeful.

II. A. 4 Hal-Hal yang Mempengaruhi Forgiveness

Ada banyak tokoh dari berbagai sumber yang menyebutkan faktor-faktor

yang mempengaruhi kemungkinan individu memilih forgive atau tidak, antara lain:

A. Kecerdasan emosi

Orang yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi dapat memprediksi dampak-dampak unforgiveness dan solusi yang lebih cepat untuk dilema interpersonal akibat disonansi emosi. Selain itu, kecerdasan emosi juga penting

jika dilihat dari perspektif transgresor. Transgresor yang memiliki kecerdasan emosi tinggi memiliki kapasitas yang besar untuk mengerti dan memahami

keadaan emosi korban, dengan begitu akan memicu transgresor meminta maaf, mengganti rugi, atau mendiskusikan masalah dengan korban (Worthington & Wade, 1999).

B. Respon transgresor

Variabel penting lain dalam forgiveness adalah ketika transgresor meminta

(25)

McCullough, 2000). Penyangkalan dan penolakan tanggung jawab dari

transgresor, sebaliknya, berkorelasi negatif dengan forgiveness (Worthington & Wade, 1999).

C. Munculnya empati

Empati adalah kemampuan untuk mengerti dan merasakan pengalaman kognitif dan afektif orang, tanpa perlu mengalami situasinya. Empati menengahi

hubungan antara permintaan maaf dan forgiveness (McCullough dalam Worthington & Wade, 1999). Munculnya empati ketika transgresor meminta

maaf, mendorong korban untuk memaafkan transgresor (McCullough, 2000). Empati biasanya menjadi topik dalam konseling yang didesain untuk meningkatkan forgiveness (Lawler, 2006; Strelan, 2006). Wanita lebih mudah

merasakan empati daripada pria, namun tidak ada perbedaan gender terhadap

forgiveness. Empati dalam hal ini lebih mengarah pada motivasi dari pada

kemampuan (Toussaint, 2005).

D. Kualitas hubungan sebelum transgresi

Forgiveness paling mungkin terjadi pada hubungan yang dicirikan oleh

kedekatan, komitmen, dan kepuasan (McCullough, 2000). Forgiveness juga berhubungan positif dengan seberapa penting hubungan tersebut bagi korban dan

secure attachment style (Lawler, 2006). Dengan kata lain, forgiveness lebih

mungkin terjadi pada kualitas hubungan sebelum transgresi yang positif. E. Rumination

(26)

Rumination dan usaha menekan rumination tersebut dihubungkan dengan

motivasi penghindaran (avoidance) dan membalas dendam (revenge). Orang yang memiliki masalah dalam mengatasi pikiran-pikiran ruminatif umumnya lebih

memiliki kesulitan untuk forgive (Strelan, 2006; McCullough, 2000). F. Komitmen Agama

Semua agama mengajarkan forgiveness, namun tidak menjamin semua

pemeluknya akan memberikan maaf. Pemeluk agama yang commit dengan ajaran agamanya akan memiliki nilai tinggi pada forgiveness dan nilai rendah pada

unforgiveness (Worthington & Wade, 1999).

G. Faktor Personal Korban

Sifat pencemas, sifat pemarah, neurotik, introversion, reaktivitas terhadap

stress, dan kecenderungan merasa malu merupakan faktor penghambat munculnya

forgiveness. Sebaliknya, Sifat pemaaf, terbuka, agreeable, dan kecenderungan

merasa bersalah merupakan faktor pemicu terjadinya forgiveness (Tangney, dalam

Worthington, 1998). Narsisme dihubungkan dengan penurunan empati, oleh karenanya narsisme berhubungan negatif dengan forgiveness. Orang yang

berbangga diri (pride) lebih mudah merasa diserang atau terluka perasaannya sehingga lebih sulit untuk forgive Kecenderungan merasa malu

(shame-proneness) akan meningkatkan rasa marah, menghambat peristiwa yang

menyebabkan disonansi emosi, sehingga mengakibatkan korban dan transgresornya terpisah secara emosional (dan mungkin secara fisik).

(27)

H. Faktor Peristiwa

Semakin parah dan sering transgresor melakukan transgresi, semakin tinggi keinginan korban untuk membalas dan menuntut tanggung jawab sehingga

semakin kecil kemungkinan terjadinya forgiveness (Zechmeister, 2004; Worthington & Wade, 1999). Persepsi terhadap tujuan transgresor melakukan transgresi juga mempengaruhi korban untuk forgive (Worthington, 1998).

Peristiwa yang menimbulkan rasa malu (shame) cenderung mengarah pada

unforgiveness daripada peristiwa yang menimbulkan rasa bersalah (guilt). Rasa

malu membuat transgresor enggan mengaku untuk melindungi diri, dan cenderung merasa terisolasi sehingga menghambat terjadinya forgiveness. Sebaliknya, peristiwa yang menimbulkan rasa bersalah (guilt) memicu transgresor meminta

maaf, mengganti rugi, dan berusaha memperbaiki hubungan sehingga memicu terjadinya forgiveness (Worthington & Wade, 1999).

II. A. 5 Manfaat Forgiveness

Rasa marah kronis dan permusuhan dihubungkan dengan penurunan

fungsi kekebalan tubuh, depresi, penyalahgunaan zat, status kesehatan yang buruk (Zechmeister, 2004), tingginya tekanan darah, dan masalah jantung (Enright, 2005). Worthington (dalam Lucia, 2005) juga mengatakan bahwa setiap kali

seseorang merasa tidak memaafkan, ia menjadi lebih beresiko terkena masalah kesehatan.

(28)

dapat mengurangi resiko terkena masalah jantung serta mengurangi permusuhan

dan distress yang dirasakan seseorang (Lucia, 2005). Forgiveness juga bermanfaat sebagai mekanisme penyembuhan dan resiliensi terhadap trauma (Orcutt dalam

Worthington, 1999).

Orang yang forgive lebih mungkin mempunyai hubungan romantis dan persaudaraan yang stabil daripada orang yang unforgive (Worthington, 1998).

Perasaan dendam dan sakit hati dalam suatu hubungan intim atau hubungan dekat dengan orang lain dapat mengganggu hubungan tersebut. Melepas rasa tidak

senang dan usaha untuk forgive merupakan satu hal yang penting untuk mempertahankan kedekatan dan hubungan intim dengan orang lain (Corey&Corey, 2006).

Memiliki fisik, emosi, dan sosial yang sehat menuntun seseorang ke arah hidup yang lebih bahagia seperti yang dikemukakan oleh Konstam (2000) bahwa selain dapat memperbaiki hubungan interpersonal, forgiveness dapat

meningkatkan kesejahteraan (well-being).

II. B CHILD ABUSE

II. B. 1. Definisi Child Abuse

Peristiwa penganiayaan anak lebih dikenal masyarakat dan para

profesional dengan istilah child abuse, akan tetapi, banyak ahli perkembangan yang lebih suka menggunakan istilah child maltreatment (Manly, dalam Santrock,

(29)

Barnett dkk. (dalam Berns, 2004) mendefinisikan child abuse sebagai

tindakan yang merusak atau membahayakan anak, meliputi tidak bersikap baik pada anak, kasar pada anak, menolak anak, merampas hak anak,

menyalahgunakan anak, dan/atau melakukan kekerasan pada anak.

Child maltreatment meliputi perilaku abuse dan neglect. Abuse mengarah pada perilaku atau tindakan yang menimbulkan kerusakan pada anak, sedangkan

neglect mengarah pada tidak ada tindakan sama sekali, yaitu pengabaian yang

merusak anak (Papalia, 2004).

The Child Abuse Prevention and Treatment Act (CAPTA) (dalam

McDonal, 2007) mendefinisikan child abuse sebagai suatu tindakan atau tidak ada tindakan sama sekali yang dapat menyebabkan kematian, kerusakan fisik atau

emosi yang serius; melibatkan seorang anak; dan dilakukan oleh orang tua atau

caregiver yang bertanggung jawab atas kesejahteraan anak.

Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa child abuse

adalah tindakan (misalnya menolak, melakukan kekerasan pada anak) atau tidak ada tindakan sama sekali (misalnya lalai dalam pemeliharaan anak) yang

dilakukan oleh orang tua atau caregiver sehingga menimbulkan kerusakan (harm) baik fisik maupun emosi, bahkan dapat menyebabkan kematian pada anak.

II. B. 2. Tipe-Tipe Child Abuse

Menurut Papalia (2004), child abuse meliputi dua perilaku yaitu abuse dan

neglect. Abuse mengarah pada tindakan yang menimbulkan kerusakan pada anak,

(30)

pengabaian yang merusak anak. Kemudian, perilaku abuse dan neglect ini terbagi

lagi menjadi :

a. Physical abuse

Physical abuse atau kekerasan fisik meliputi pengrusakan pada tubuh anak

seperti pukulan, tendangan, membakar dan lain-lain. b. Sexual abuse

Sexual abuse atau kekerasan seksual merupakan segala bentuk kegiatan

seksual yang melibatkan anak.

c. Neglect

Neglect atau pengabaian merupakan kegagalan memenuhi kebutuhan fisik,

emosi, kesehatan dan pendidikan dasar anak.

d. Emotional Abuse

Emotional abuse adalah semua tindakan atau tidak ada tindakan sama

sekali yang dapat menyebabkan gangguan perilaku, kognitif, dan emosi

anak. Emotional abuse juga meliputi penolakan, peneroran, isolasi, eksploitasi, menghina, kekerasan verbal, atau tidak menyediakan

dukungan emosional, cinta dan afeksi yang konsisten pada anak.

II. B. 3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Child Abuse

Ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi terjadi child abuse. Banyak

abuser yang memiliki sejarah kekerasan dalam keluarga (Berns, 2004). Sejarah

(31)

mereka untuk menghentikan perilaku yang tidak diinginkan, mengontrol perilaku

anak-anak sebagaimana dulu mereka dikontrol (Santrock, 1998).

Karakteristik fisik maupun psikologis tertentu pada anak dapat pula

memicu terjadinya child abuse. Anak yang hiperaktif, cengeng, mental retardasi, dan anak yang sulit diatur cenderung mengalami child abuse, sedangkan keluarga yang abusive biasanya mengalami isolasi sosial dan kurangnya dukungan sosial

sehingga tidak ada yang membantu saat mereka mengalami kesulitan dan membutuhkan nasehat. Selain itu, terdapat asosiasi antara hilangnya pekerjaan

orang tua dan intrafamily violence, seperti partner abuse dan child abuse.

Physical abuse lebih mungkin muncul dalam keluarga yang terdapat kekerasan

domestik baik berupa agresi fisik maupun verbal. (Berns, 2004).

Selain itu, kemiskinan, pengangguran, isolasi sosial, gaya hidup yang berubah-ubah, kurangnya pemahaman mengenai hak anak, budaya yang menerima hukuman fisik, dan keterbatasan bantuan saat keluarga dalam situasi

krisis merupakan faktor lingkungan yang berkorelasi dengan abuse (Garbarino dalam Berns, 2004). Stresor yang paling sering dilaporkan berhubungan dengan

perilaku abusive dalam keluarga adalah rendahnya status sosioekonomi (McLoyd dalam Berns, 2004) dan tinggal dikomunitas yang biasa melakukan kekerasan (Barry & Garbarino dalam Berns, 2004)

(32)

Orang dewasa yang pernah mengalami child abuse sering disebut sebagai

survivor (Herman, 1997), abuse survivor (Crosson, 2002), atau adult survivor

(Biere, 1992).

Kata survivor sendiri berarti orang yang selamat. Survivor mengacu pada orang yang selamat atau berhasil bertahan hidup dari peristiwa abusive. Akan tetapi, walaupun telah selamat, mereka masih harus berjuang melawan after-effect

setelah mereka dewasa (Crosson, 2002). Tanpa intervensi yang tepat, anak yang merasakan penderitaan akan tumbuh menjadi orang dewasa yang menderita juga.

Mereka menjalani hidup mereka dengan membawa trauma dan dampak negatif jangka panjang dari pengalaman mereka (Biere, 1992).

Crosson (2002) mengatakan bahwa efek residu yang dialami survivors

hampir sama baik untuk neglect maupun abuse, antara lain: a. Kepercayaan (trust)

Kepercayaan merupakan aspek dasar dari sosialisasi, dan perkembangan

kemampuan mempercayai dimulai pada tahun pertama kehidupan. Anak kemungkinan pada awalnya tidak sadar bahwa ia tidak menerima

pengasuhan yang baik dari orang tua, namun sebagai orang dewasa yang mulai menyadari bahwa orang tuanya secara emosional tidak ada, atau kalaupun ada, dirasa kurang atau tidak konsisten. Sulitnya mempercayai

orang lain merupakan manifestasi dari pemahaman anak bahwa kehidupan dan semua yang hidup di dunia ini tidak dapat diprediksi. Anak juga

(33)

dapat dipercaya. Untuk menghindar dari hidup yang menyakitkan ini, anak

memilih tidak mempercayai orang lain dan mengisolasi/menarik diri. b. Merasa dikhianati

Sebagai seorang anak, individu mempercayai orang tua dan merasa bahwa kepercayaan ini dihargai dan dimengerti, namun menyakitkan dan membingungkan bagi anak ketika menyadari bahwa ia digunakan untuk

kepentingan abuser. Anak tidak hanya tumbuh dewasa sebagai orang yang sulit mempercayai, namun juga merasa dikhianati oleh orang tua yang

telah diberikannya kepercayaan. Pada orang dewasa, pengkhianatan dicerminkan dengan ketidakmampuan mempercayai orang lain, diri sendiri, dan lingkungannya.

c. Rasa marah

Rasa marah dan khayalan untuk membalas dendam merupakan respon normal pada anak yang mengalami child abuse (Herman, 1997).

Kemarahan ini merupakan akumulasi dari perasaan dikhianati, dan ketidakberdayaan yang kemudian dapat menjadi amukan yang kuat setelah

anak dewasa. Gagalnya terpenuhi kebutuhan di masa kecil merubah rasa marah dan frustrasi menjadi perilaku agresif sehingga kemarahan yang dulunya hanya ada dalam batin, diproyeksikan ke luar. Agresi juga dapat

(34)

d. Harga diri rendah

Anak yang di-abuse mengasumsikan bahwa hukuman yang mereka terima disebabkan oleh perilaku mereka yang salah, tanpa melihat kebenarannya.

Apalagi kalau orang tua secara langsung mengatakannya. Mereka sering memandang dunia dari dua sisi, sebagai ‘hitam’ dan ‘putih’ atau ‘baik’ dan ‘buruk’. Mereka menganggap orang tua adalah sosok yang baik dan kalau

orang tua itu baik, maka merekalah yang buruk dan menyebabkan segala kejadian buruk terjadi. Perasaan ini terus mengikuti anak hingga ia dewasa

dan mewarnai perilaku mereka. Mereka percaya bahwa tidak seorangpun akan menemukan kebaikan dalam diri mereka karena orang tua mereka juga tidak mampu. Beberapa survivors menggunakan humor sebagai

pembenaran keberadaannya dan melindungi diri mereka dari depresi akibat tidak dapat menjadi lebih baik.

Orang dewasa korban sexual abuse memiliki harga diri rendah disebabkan

rasa malu, rasa bersalah dan stigmatisasi atau label buruk yang diberikan orang lain.

e. Ketidakseimbangan hubungan

Kegagalan mempercayai dan rendahnya self-esteem ditambah dengan kemarahan yang di-repress atau diekspresikan secara agresif, menghambat

kemampuan survivor untuk membentuk hubungan yang memuaskan dengan orang lain. Mereka tidak pernah belajar strategi coping dan

problem solving yang baik, padahal hal tersebut penting dalam membina

(35)

disebabkan karena kurangnya stimulasi sosial dari orang tua, khususnya

pada kasus pengabaian. Mereka juga memiliki harapan yang tidak realistis bahwa semua orang harus memenuhi apa yang dia butuhkan sehingga

mereka cenderung tidak pernah puas dengan orang lain. f. Penyalahgunaan zat

Obat-obatan terlarang, atau alkohol digunakan sebagai pelarian, atau

sebagai pengganti interaksi sosial yang sulit mereka bina. Penggunaan zat-zat ini dapat disebabkan karena modelling, tekanan teman sebaya, dan

sebagainya. Berns (2004) mengemukakan bahwa kurangnya pengasuhan yang normal selama masa kanak-kanak dapat menyebabkan individu mengganti kebutuhannya akan cinta dan rasa aman yang hilang dengan

obat-obatan terlarang, alkohol, makanan, objek material, seks, dan judi. g. Masalah fisik

Pengasuhan yang salah juga berdampak buruk bagi fisik anak. Kekerasan

fisik dapat menyebabkan kecacatan seperti patah tulang atau kerusakan atau kehilangan organ tubuh. Kekerasan seksual dapat mengakibatkan

kerusakan organ reproduksi, tertular penyakit menular seksual, dan kehamilan. Anak yang mengalami pengabaian dan kekerasan emosi cenderung tumbuh dengan buruk dan mengalami masalah medis karena

kekurangan nutrisi akibat tidak diberi makan atau karena gangguan makan (Berns, 2004). Selain itu, masalah fisik juga disebabkan karena

(36)

h. Trauma

Trauma fisik dapat berupa bekas luka atau kecacatan permanen yang dapat berimplikasi ke psikis. Trauma psikis merupakan trauma karena

mengalami peristiwa yang menyakitkan hati (misalnya child abuse). Anak yang mengalami child abuse belajar mengenal situasi terjadinya peristiwa

abusive, dan ekspresi wajah dan bahasa tubuh orang tua – pada situasi dan

ekspresi bagaimana orang tua akan memukul atau marah. Proses belajar ini kemudian digeneralisasikan ke semua orang dan situasi. Mengalami

kekerasan seksual atau kekerasan fisik membuat anak takut akan sentuhan. Sentuhan sering mengingatkan mereka akan peristiwa abusive yang pernah mereka alami. Tanpa adanya sentuhan pun peristiwa tersebut dapat muncul

kembali dalam mimpi bahkan setelah anak dewasa.

Berikut ini adalah skema paradigma penelitian yang menggambarkan

dinamika forgiveness pada orang dewasa yang pernah mengalami child abuse, dibuat sesuai dengan teori proses forgiveness – unforgiveness oleh Worthington &

(37)

(-)

unforgiveness Disonansi emosi forgiveness

pasif aktif

: Hub. kembali seperti sebelum terjadi

child abuse

: Bentuk respon : Maka semakin

: Reaksi emosi negatif dan positif terjadi bersamaan

(38)

BAB III

METODE PENELITIAN

III.A. PENDEKATAN KUALITATIF

Sesuai dengan tujuan penelitian yaitu untuk melihat dinamika forgiveness pada orang dewasa yang pernah mengalami child abuse dilakukan oleh orang tua,

maka penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Hal ini mengingat topik penelitian seperti ini merupakan pengalaman pribadi yang melibatkan

penghayatan subjektif yang berkaitan dengan pengalaman masa lalu partisipan (Poerwandari, 2001)

III.B. METODE PENGUMPULAN DATA

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam sebagai metode utama dan observasi sebagai metode

tambahan yang dilakukan pada saat wawancara.

Yang dimaksud dengan wawancara mendalam merupakan satu bentuk

wawancara yang dilakukan untuk memperoleh pemahaman yang lebih luas dan mendalam terhadap peristiwa yang dialami dan dirasakan oleh partisipan penelitian. Wawancara mendalam memberikan kesempatan yang maksimal untuk

menggali latar belakang hidup seseorang sehingga peneliti mendapatkan gambaran dan dinamika yang hendak diteliti. Wawancara mendalam juga

(39)

dipahami individu sesuai dengan topik penelitian (Banister dkk dalam

Poerwandari, 2001).

Observasi dalam penelitian ini bukanlah sebagai metode utama melainkan

sebagai metode tambahan yang dilakukan pada saat wawancara berlangsung untuk melihat reaksi partisipan, antara lain: penampilan fisik, reaksi partisipan terhadap peneliti dan terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, keadaan partisipan

pada saat wawancara serta hal-hal yang sering dilakukan partisipan selama proses wawancara.

III.C. ALAT BANTU PENGUMPULAN DATA

Alat bantu yang digunakan dalam pengumpulan data adalah digital

recorder, pedoman wawancara dan lembar observasi.

III.C.1. Digital Recorder (Alat Perekam)

Menurut Poerwandari (2001), sebaiknya wawancara direkam dan dicatat

dalam bentuk verbatim (kata demi kata). Penggunaan alat perekam akan mempermudah peneliti dalam mengulangi hasil wawancara dan tidak perlu sibuk

mencatat jalannya wawancara. Selain itu, peneliti dapat lebih mudah melakukan observasi selama wawancara berlangsung. Penggunaan alat perekam dilakukan setelah ada persetujuan dari partisipan.

III.C.2. Pedoman Wawancara Mendalam

Pedoman wawancara berupa open ended question. Pada pelaksanaannya,

(40)

penelitian agar wawancara tidak berjalan dengan kaku namun data yang

didapatkan lebih lengkap dan akurat.

III.C.3. Lembar Data Keluarga

Lembar data keluarga digunakan untuk memperoleh gambaran lingkungan keluarga partisipan, kehidupan keluarga dan masa kecil partisipan penelitian.

III.D. PARTISIPAN PENELITIAN

III.D.1. Karakteristik Partisipan Penelitian

a) Wanita atau pria dewasa dengan usia 18 tahun ke atas. Penelitian ini menggunakan partisipan usia dewasa karena setelah dewasa individu diharapkan dapat mandiri dan bertanggung jawab akan dirinya sendiri

sehingga orang tua tidak lagi menjadi caregiver utama yang memiliki kewajiban penuh terhadap kesejahteraan dan kehidupan anak (Hurlock, 1999).

b) Pernah mengalami child abuse

c) Orang tua (kandung, tiri, ataupun angkat) sebagai abuser

III.D.2. Teknik Sampling

Prosedur pengambilan partisipan penelitian ini adalah dengan purposive

sampling. Partisipan diambil berdasarkan kriteria tertentu yaitu berdasarkan teori

tentang orang yang menjadi partisipan penelitian (Poerwandari, 2001). Partisipan dipilih berdasarkan adanya kriteria khusus yang telah ditentukan sebelumnya. Hal

(41)

III.D.3. Jumlah Partisipan Penelitian

Penelitian kualitatif tidak mementingkan jumlah partisipan penelitian, yang terpenting dalam pemelitian kualitatif adalah yang dapat memberikan

sebanyak mungkin informasi yang ingin didapatkan. Waktu, biaya kemampuan partisipan, ketertarikan partisipan dan faktor lain yang mempengaruhi banyaknya sampel menjadi hal yang harus diperhatikan dalam mengambil sampel penelitian

(Gay dan Airasian, 2003). Jumlah partisipan dalam penelitian ini adalah 2 (dua) orang dengan pertimbangan masih sedikit orang yang mau terbuka akan kejadian

sensitif dalam keluarga sehingga sulit untuk mendapatkan partisipan penelitian dalam jumlah besar.

III.E. PROSEDUR PENELITIAN III.E.1 Tahap Pralapangan

Pada tahap persiapan penelitian, peneliti melakukan sejumlah hal yang

diperlukan untuk melaksanakan penelitian yaitu sebagai berikut:

1. Mengumpulkan informasi dan teori yang berhubungan dengan forgiveness

pada orang dewasa yang pernah mengalami child abuse 2. Mencari partisipan penelitian

3. Menyusun pedoman wawancara

4. Persiapan untuk pengumpulan data 5. Membuat inform consent

(42)

III.E.2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Penelitian ini diawali dengan perkenalan serta memberi penjelasan pada partisipan mengenai tujuan penelitian. Peneliti juga menjelaskan mengenai

prosedur dan kerahasiaan data penelitian. Kemudian wawancara dilakukan di tempat yang disepakati oleh peneliti dan partisipan penelitian serta akan direkam dengan digital recorder mulai dari awal hingga akhir. Peneliti juga akan mencatat

bahasa non verbal partisipan ketika wawancara berlangsung.

III.E.3. Tahap Pencatatan Data

Untuk memudahkan pencatatan data, peneliti menggunakan alat perekam sebagai alat bantu agar data yang diperoleh dapat lebih akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Sebelum wawancara dimulai, peneliti meminta izin

kepada partisipan untuk merekam wawancara yang akan dilakukan. Setelah wawancara dilakukan peneliti membuat verbatim dari wawancara tersebut yaitu memindahkan hasil wawancara ke dalam bentuk tulisan atau ketikan.

III.F. METODE ANALISIS DATA

Beberapa tahapan dalam menganalisis data kualitatif menurut Poerwandari

(2001), yaitu: a. Koding

Koding adalah proses membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh. Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasikan dan mensistemasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan dengan

(43)

satu dengan peneliti yang lain memberikan usulan prosedur yang tidak

sepenuhnya sama. Pada akhirnya penelitilah yang berhak (dan bertanggungjawab) memilih cara koding yang dianggapnya paling efektif bagi

data yang diperolehnya (Poerwandari, 2001). b. Organisasi Data

Highlen dan Finley (dalam Poerwandari, 2001) menyatakan bahwa organisasi

data yang sistematis memungkinkan peneliti untuk (a) memperoleh data yang baik, (b) mendokumentasikan analisis yang dilakukan, serta (c) menyimpan

data dan analisis yang berkaitan dalam penyelesaian penelitian. Hal-hal yang penting untuk disimpan dan diorganisasikan adalah data mentah (catatan lapangan, dan kaset hasil rekaman), data yang sudah diproses sebagiannya

(transkrip wawancara), data yang sudah ditandai/ dibubuhi kode-kode khusus dan dokumentasi umum yang kronologis mengenai pengumpulan data dan langkah analisis.

c. Analisis Tematik

Penggunaan analisis tematik memungkinkan peneliti menemukan ‘pola’ yang

pihak lain tidak bisa melihatnya secara jelas. Pola atau tema tersebut tampil seolah secara acak dalam tumpukan informasi yang tersedia. Analisis tematik merupakan proses mengkode informasi, yang dapat menghasilkan daftar tema,

model tema atau indikator yang kompleks, kualifikasi yang biasanya terkait dengan tema itu atau hal-hal di antara/ gabungan dari yang telah disebutkan.

(44)

d. Tahapan Interpretasi/ analisis

Kvale (dalam Poerwandari, 2001) menyatakan bahwa interpretasi mengacu pada upaya memahami data secara lebih ekstensif sekaligus mendalam. Ada

tiga tingkatan konteks interpretasi yang diajukan oleh Kvale (dalam Poerwandari, 2001) yaitu: pertama, konteks interpretasi pemahaman diri (‘self

understanding’) terjadi bila peneliti berusaha memformulasikan dalam bentuk

yang lebih padat (condensed) apa yang oleh partisipan penelitian sendiri dipahami sebagai makna dari pernyataan-pernyataannya. Interpretasi tidak

dilihat dari sudut pandang peneliti, melainkan dikembalikan pada pemahaman diri partisipan penelitian, dilihat dari sudut pandang dan pengertian partisipan penelitian tersebut. Kedua, konteks interpretasi pemahaman biasa yang kritis

(critical commonsense understanding) terjadi bila peneliti beranjak lebih jauh dari pemahaman diri partisipan penelitiannya. Peneliti mungkin akan menggunakan kerangka pemahaman yang lebih luas daripada kerangka

pemahaman partisipan, bersifat kritis terhadap apa yang dikatakan partisipan, baik dengan memfokuskan pada ‘isi’ pernyataan maupun pada partisipan yang

membuat pernyataan. Meski demikian semua itu tetap ditempatkan dalam konteks penalaran umum: peneliti mencoba mengambil posisi sebagai masyarakat umum dalam mana partisipan penelitian berada. Ketiga, konteks

interpretasi pemahaman teoritis adalah konteks paling konseptual. Pada tingkat ketiga ini kerangka teoritis tertentu digunakan untuk memahami

(45)

e. Pengujian Terhadap Dugaan

Dugaan adalah kesimpulan sementara. Dengan mempelajari data kita mengembangkan dugaan-dugaan yang juga merupakan

kesimpulan-kesimpulan sementara. Dugaan yang dikembangkan tersebut juga harus dipertajam dan diuji ketepatannya. Begitu tema-tema dan pola-pola muncul dari data, untuk meyakini temuannya, selain mencoba untuk terus

menajamkan tema dan pola yang ditemukan, peneliti juga perlu mencari data yang memberikan gambaran berbeda dari pola-pola yang muncul tersebut. Hal

ini berkaitan erat dengan upaya mencari penjelasan yang berbeda-beda mengenai data yang sama. Berbagai perspektif harus disesuaikan untuk memungkinkan keluasan analisis serta mengecek bias-bias yang tidak disadari

(46)

BAB IV

HASIL DAN ANALISIS HASIL

Penelitian ini melibatkan dua orang partisipan dewasa yang keduanya wanita. Partisipan pertama mengalami emotional abuse dan neglect dari ayah kandung, serta physical abuse, emotional abuse, dan neglect dari ibu tiri.

Partisipan kedua mengalami neglect dan emotionalabuse dari ayah kandung,

physical abuse, emotional abuse, dan neglect ibu kandung, serta sexual abuse, dan

emotional abuse dari ayah tiri. Bab ini akan memaparkan identitas diri partisipan,

deskripsi umum partisipan, observasi dan wawancara, pembahasan dalam skema, serta rangkuman dinamika forgiveness partisipan terhadap orang tua

masing-masing. Berikut gambaran umum kedua partisipan :

Pertisipan 1 Partisipan 2

Nama * Asti Sita

Usia 33 tahun 18 tahun Jenis kelamin Perempuan Perempuan Suku bangsa Jawa Jawa-Sunda

Agama Islam Islam

Pendidikan terakhir

SD SMP

Pekerjaan Pembantu rumah tangga Tidak bekerja Anak ke_dari_ 2 dari 5 4 dari 7

Status Janda Belum menikah

Usia awal mengalami child

abuse

8 tahun Sejak lahir (neglected by father)

Pelaku child

(47)

IV. A. PARTISIPAN I IV. A. 1. IDENTITAS

Nama* : Asti

Jenis kelamin : Perempuan Usia : 33 tahun Suku bangsa : Jawa

Agama : Islam Pendidikan terakhir : SD

Pekerjaan : Pembantu rumah tangga (PRT) Urutan dalam keluarga : Anak ke 2 dari 5 bersaudara Status : Janda

Jumlah anak : 3 orang Usia awal terjadi child abuse : 8 tahun

Jenis child abuse : Physical abuse, emotional abuse, neglect

Pelaku child abuse : Ibu tiri dan ayah kandung

Data Orang Tua (Abuser)

AYAH IBU

Status Kandung Tiri Nama* Amir Nana Usia 58 tahun 60 tahun

Agama Islam Islam Suku bangsa Jawa Jawa

Pendidikan terakhir SMA SMP Pekerjaan Pensiunan PU Ibu rumah tangga

Abuse terhadap

Asti

Emotional abuse dan neglect Physical abuse, emotional abuse, neglect

(48)
(49)

IV. A. 2. DESKRIPSI UMUM ASTI

Semasa kecil, Asti hidup bahagia bersama ayah, ibu serta seorang adik laki-lakinya di rumah mereka di daerah Mandala. Ayah Asti bekerja sebagai

Pegawai Negeri di bagian Pekerjaan Umum (PU) yang juga pemegang warisan keluarga, sedangkan ibunya adalah ibu rumah tangga. Akan tetapi, kehidupannya berubah semenjak ibu kandungnya meninggal dunia karena melahirkan adik

bungsu dan ketika itu Asti belum genap 8 tahun. Asti dan adik-adiknya kemudian diasuh oleh nenek-kakeknya (orang tua ibu kandung), sedangkan ayah tetap

tinggal di rumah mereka.

Sekitar tiga bulan setelah ibunya tiada, ayahnya menikah lagi tanpa sepengetahuan Asti dan keluarga tempat ia tinggal. Kemudian ayah datang

menjemput Asti dan adik-adiknya kembali ke Mandala. Nenek tidak mengabulkan permintaan ayah karena berita yang tiba-tiba tersebut. Namun, nenek menyerahkan keputusan pada Asti sebagai anak sulung apakah mau ikut ayah atau

tetap di rumah nenek. Ternyata, Asti lebih memilih ikut ayah setelah ayah meyakinkannya bahwa akan ada ibu baru yang akan menggantikan ibu

kandungnya yang telah tiada. Asti dan adik laki-lakinya pun ikut ayah kembali ke rumah sedangkan adik bungsu yang masih bayi tetap di rumah nenek karena telah diangkat menjadi anak oleh Lena, adik ibu kandung.

Sejak Asti dan adik laki-lakinya kembali ke rumah, sepulang bekerja sebagai PNS, ayah bekerja sampingan sebagai tukang becak. Hal ini dikarenakan

(50)

Asti merasa bahagia memiliki pengganti ibu kandungnya yang telah tiada.

Akan tetapi, kebahagiaan tidak berlangsung lama. Ibu tiri mulai sering marah-marah tanpa sebab dan menyuruh Asti mengerjakan semua pekerjaan rumah

tangga saat ayah tidak ada di rumah. Ibu tiri bahkan juga melakukan physical

abuse, seperti tidak memberikan makanan yang layak, memukul, menyiram

dengan air panas atau membenturkan kepala Asti hingga berdarah.

Asti mulai tidak tahan dan mengadu pada ayah. Ternyata ayah tidak menghiraukan keluhannya bahkan terus membela ibu tiri. Kemudian Asti

mengadu pada neneknya. Ia bahkan pernah melarikan diri ke sana untuk mencari perlindungan tetapi ia malah disuruh bersabar dan kembali ke rumah. Asti pun pulang dengan perasaan tidak berdaya.

Ia kemudian mengadu pada para tetangga. Sama seperti keluarga di rumah nenek, tetangganya hanya dapat menasehati Asti agar bersabar karena tidak dapat mencampuri urusan rumah tangga orang lain. Akan tetapi, mereka tetap prihatin

dengan keadaan Asti dan bersedia membantu semampunya seperti bersedia mendengarkan saat Asti ingin bercerita serta memberi Asti dan adiknya makanan.

Ternyata, ibu tiri tidak menyukai kedekatan Asti dengan para tetangga. Asti kemudian dilarang keluar rumah bahkan untuk sekolah sekalipun sehingga frekuensi perilaku abusive ibu tiri meningkat. Akibatnya, kondisi kesehatan Asti

pun memburuk karena kurang gizi dan terserang gejala bronchitis.

Salah seorang tetangga prihatin dengan kondisi Asti dan kemudian

(51)

beberapa hari. Kedua orangtuanya tidak pernah menjenguknya di rumah sakit dan

juga tidak pernah datang ke rumah nenek untuk menjemputnya. Nenek dan tantenya sempat datang ke rumah ayah untuk meminta pertanggung-jawaban,

namun ayah dan ibu tiri telah melepaskan tanggung jawab mereka sebagai orangtua. Sejak saat itu, Asti dan adik laki-lakinya diasuh oleh neneknya.

Usia 17 tahun ia menikah namun pernikahan tersebut sering diwarnai

pertengkaran dan suaminya sering mengancam akan menikah lagi ketika sedang bertengkar. Tahun 2004 Asti dan Adi bercerai. Asti mengambil alih pengasuhan

ketiga anak mereka sedangkan Adi sampai sekarang tidak pernah lagi mengunjungi mereka ataupun memberikan biaya hidup bagi ketiga anak mereka.

Sampai sekarang, Asti tetap tidak dapat melupakan dan tidak mau

memaafkan orangtuanya atas child abuse yang dialaminya. Ia hidup dengan membawa amarah dan keinginan membalas dendam terhadap ibu tiri. Selain itu, ia juga tetap menyimpan rasa kesal dan kecewa terhadap ayah yang tidak

mempedulikannya ketika child abuse terjadi. Beberapa waktu lalu, ayahnya datang dan meminta maaf padanya. Melihat keadaan ayah yang sudah tua dan

sakit-sakitan, timbul perasaan kasihan dalam dirinya. Ia juga kembali teringat saat-saat bahagia bersama ayahnya ketika ibu kandung masih ada. Namun, ternyata emosi-emosi positif tersebut tetap tidak membuatnya memaafkan

(52)

IV. A. 3. OBSERVASI DAN WAWANCARA

Peneliti dan Asti membuat kesepakatan tentang pengambilan data setelah beberapa kali pertemuan sejak bulan April hingga Juli 2007. Wawancara pertama

berlangsung pada awal Agustus 2007 dan berakhir pada akhir September 2007.

OBSERVASI

Asti memiliki tinggi sekitar 157 cm dan berat sekitar 50 kg. Rambutnya

tidak dibiarkan panjang sampai menutupi leher supaya tidak mengganggu pekerjaannya sebagai PRT. Pada setiap pertemuan, baik untuk wawancara

maupun saat peneliti berkunjung, Asti lebih sering menggunakan baju kaos lengan pendek dan celana jeans yang digulung atau dipotong hingga betis atau lutut.

Pada beberapa sesi pengambilan data, peneliti ditemani oleh seorang

teman setelah sebelumnya disetujui oleh Asti dan ada kalanya peneliti hanya sendiri.

Wawancara dilakukan di dua tempat yaitu di rumah Asti dan di rumah

Lena (tante Asti). Rumah Asti adalah rumah yang dikontrak secara bersama-sama dengan satu keluarga lain. Asti menempati sekitar sepertiga bagian belakang

rumah yang berukuran  6x18m2 tersebut. Bagian sepertiga itu dibatasi dengan

bahan triplex tetapi masih dapat menghubungkan antara kedua pemilik rumah sehingga tetap tidak ada ruang pribadi kecuali kamar tidur. Bagian rumah Asti

memiliki satu ruang tamu sekaligus ruang keluarga dan dua kamar tidur, sedangkan dapur dan kamar mandi terletak di luar rumah. Asti juga mendapat

separuh bagian halaman rumah yang luasnya  30x30m2. Halaman tersebut

(53)

pertama kali dilakukan di ruang tamu. Akan tetapi, karena tetangganya dianggap

mengganggu proses wawancara, wawancara-wawancara selanjutnya dilakukan di kebun pacar air dan di kamar tidur.

Wawancara juga dilakukan di rumah Lena, rumah warisan keluarga yang jaraknya sekitar 300 m dari rumah Asti. Rumah tersebut berdinding kayu namun lebih luas dari rumah Asti. Wawancara di rumah Lena dilakukan pada saat Asti

sedang istirahat sambil menunggu jam kerjanya selanjutnya.

Pada wawancara pertama, Asti sempat salah tingkah sebelum peneliti

menjelaskan prosedur wawancara. Asti berulang kali mengatakan pada peneliti bahwa ia bingung harus bercerita dari mana. Ia juga tertawa ketika peneliti menjelaskan bahwa dalam prosesnya wawancara akan direkam. Setelah peneliti

menjelaskan mengapa harus direkam, Asti setuju dan bersikap kooperatif selama proses wawancara. Sebelum wawancara dimulai, peneliti memberikan lembar data keluarga pada Asti namun Asti tidak mau menulis sendiri dengan alasan

tulisannya jelek sehingga peneliti membantunya menulis lembar tersebut. Setelah lembar data keluarga diisi, wawancarapun dimulai. Asti tampak defensif dengan

posisi duduk menjauhi peneliti dan recorder, serta volume suara yang semakin mengecil. Kemudian, ketika menceritakan kejadian child abuse, Asti mulai tampak emosional dengan intonasi suara yang meninggi, posisi duduk yang

berubah lebih tegak dan lebih banyak melakukan gerakan, serta beberapa kali menggunakan kata-kata makian. Asti juga terlihat sangat mudah terpancing untuk

(54)

Ada beberapa hal menarik selama proses wawancara. Asti beberapa kali

berusaha membanding-bandingkan kehidupannya dengan peneliti. Hal menarik lain, untuk menyebut dirinya Asti menggunakan tiga kata ganti yaitu ‘aku’, ‘awak,

dan ‘kami’. Selain itu, peneliti sempat kebingungan ketika Asti menyebut tantenya dengan kata ‘Uwek’ (dalam bahasa Jawa berarti nenek). Asti juga banyak menggunakan kata ‘ya kan?’ dan banyak menyebut nama peneliti di akhir

kalimat-kalimatnya.

WAWANCARA

Terlahir dalam keluarga kecil yang mapan, Asti hidup bahagia bersama

kedua orangtua kandung dan seorang adik laki-laki yang bernama Heri. Kedua orangtuanya menyayanginya, namun secara emosional ia lebih dekat dengan ibu kandungnya. Kasih sayang ibunya begitu membekas di hatinya, apalagi di saat

Asti sakit ibunya lah yang senantiasa menjaganya sepanjang hari. “…Aku dekatnya sama mamak….”( P1.W3/hal.25/k.40)

“…Dulu itu ya mamak kami ya kalo buat anak-anaknya dibikin makanan yang enak-enak. Makanya dulu waktu kecil aku sehat kali….Terus kan, kalo kami ada apa lah, kalo bapak kami gajian lebih, kami nanti diajak jalan-jalan, dibeliin baju. Kalo sakit lagi. Makanan makin enak. Pokoknya kami dimanjain kali sama mamak. Minta apa aja dikasih….” (P1.W3/hal.28-29 /k.204-214)

“..Kalo sakit mamak la yang jaga. Sampek gak tidur mamak kami jagain kami Dev. Kalo ayah mana mau. Ngantuk ya tidur dia. Tapi ayah tetap sayang…”( P1.W3/hal.29 /k.221-225)

(55)

kandungnya masuk Rumah Sakit, Asti berserta kedua adiknya diasuh oleh nenek

(orangtua ibu) dan berpisah dari ayah. Di rumah nenek yang terletak di KB itu, Asti hanya bisa menunggu dan berdo’a untuk kesembuhan ibu serta untuk

mengatasi rasa takutnya. Sebulan setelah melahirkan ibunya pun meninggal dunia. “…Abis ngelahirin sebulan mamak kami di rumah sakit terus. Tu la meninggal dia.”( P1.W1/hal.8 /k.341-342)

“….Kami di rumah berdo’a aja la mudah-mudahan gak kenapa-kenapa. Takut juga. Kekmana kalo mamak gak ada. Terus, gak lama meninggal juga. Terus ditelepon ayah kami. ‘Siap-siap la kelen, udah meninggal…’”(P1.W3/hal.26/k.77-82)

Asti dilanda kesedihan mendalam dan pikiran-pikiran tentang masa depan

tanpa ibu, tempat ia menumpahkan seluruh perasaannya. Akan tetapi, Asti kemudian menyadari bahwa ia tidak bisa terus meratapi kepergian ibunya. Ia pun berhenti menangis dan pasrah menerima nasibnya.

“meninggal ya kayakmana lah. Dah macem orang gila. Namanya kami masih kecil….Gak da mamak.. Susah lah...Gak da mamak. Kita gak bisa ngadu, gak bisa apalah…”(P1.W3/hal.25/k.46-50)

“…Masih kecil emaknya udah ‘ninggal. Koq kasian kali ya... Cemana la hidup awak nanti ya kan. Ya diem aja lah... Pasrah aja. Namanya awak masih kecil. Gak bisa ngapa-ngapain lah ya. Mau teriak-teriak cemana. Ya udah paling nangis-nangis gitu lah. Abis tu diem aja. Pasrah.”(P1.W3/hal.26/k.91-99)

Setelah ibu meninggal dunia, Asti dan kedua adiknya tetap tinggal di

rumah nenek, sementara ayah tetap di rumah mereka di Mandala. Beberapa bulan setelah ibu meninggal, ayah datang kembali. Kali ini ayah berniat membawa Asti

Referensi

Dokumen terkait

Adapun ciri-ciri kepribadian matang yang dimiliki oleh dewasa awal yang mengalami perceraian orangtua adalah : Bersemangat dalam menjalani aktivitas, berinteraksi penuh

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana hubungan perilaku child abuse yang dilakukan orang tua dengan prestasi belajar anak usia sekolah di SD N 14

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana hubungan perilaku child abuse yang dilakukan orang tua dengan prestasi belajar anak usia sekolah di SD N 14

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sikap terhadap pernikahan pada individu dewasa awal yang orang tuanya mengalami perceraian.. Penelitian ini merupakan

Pendahuluan: Artikel ini betujuan untuk menjelaskan fenomena kekerasan terhadap anak dalam pengasuhan orang tua yang mengalami stres.. Metode: Tulisan ini

Penelitian ini menunjukkan bahwa perempuan yang pernah mengalami kekerasan dalam pacaran memaknai pemaafan sebagai perubahan sikap terhadap pelaku dari negatif menjadi

Fokus utama dalam penelitian ini adalah melihat proses dinamika yang terjadi pada konsumen yang berbelanja secara online mengalami postpurchase dissonance dan

Dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan positif yang sangat signifikan antara forgiveness dengan psychological well-being pada dewasa awal yang mengalami broken home,