HUBUNGAN PENGELOLAAN AIR DENGAN PRODUKSI,
KANDUNGAN GULA DAN NIKOTIN DAUN TEMBAKAU
EKO SULISTYONO
BOGOR
2006
PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sesungguhnya, bahwa segala pernyataan dalam disertasi yang berjudul:
Hubungan Pengelolaan Air dengan Produksi, Kandungan Gula dan Nikotin Daun Tembakau
adalah gagasan dan hasil penelitian saya beserta komisi pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain.
Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan dengan jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Januari 2006
ABSTRAK
EKO SULISTYONO. Hubungan Pengelolaan Air dengan Produksi, Kandungan Gula dan Nikotin Daun Tembakau. Dibimbing oleh SUDRADJAT, M.HASJIM BINTORO DJOEFRIE, HANDOKO dan GATOT IRIANTO.
Tujuan penelitian adalah (1) mendapatkan metode pengelolaan air untuk menghasilkan daun tembakau dengan kandungan nikotin rendah tetapi kandungan gula tinggi, (2) hubungan sistem irigasi dengan produksi dan kandungan gula serta nikotin dan, (3) hubungan transpirasi dengan kandungan gula dan nikotin dalam bentuk persamaan matematik.
Penelitian terdiri dari dua percobaan yaitu (1) Pengaruh Tingkat dan Waktu Irigasi terhadap Produksi, Kandungan Gula dan Kandungan Nikotin (2) Pengaruh Sistem Irigasi terhadap Produksi, Kandungan Gula dan Kandungan Nikotin. Percobaan pertama dilaksanakan di rumah kaca Institut Pertanian Bogor. Percobaan kedua dilaksanakan di lahan tembakau milik petani di Selopamioro, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Yogjakarta. Data dari percobaan pertama digunakan untuk kalibrasi hubungan transpirasi dengan kandungan gula dan nikotin. Data dari penelitian kedua digunakan untuk validasi hubungan tersebut. Perlakuan dari percobaan pertama adalah kombiasi antara tingkat irigasi (1 hari sekali, 2 hari sekali, 4 hari sekali, 6 hari sekali, 25%, 50% dan 75% air tersedia) dengan waktu irigasi (dari 2 minggu setelah tanam sampai panen, 2 minggu, 4 minggu, 6 minggu dan 8 minggu sebelum panen). Perlakuan dari percobaan kedua adalah sistem irigasi konvensional, irigasi drip ditambah mulsa dan irigasi drip tanpa mulsa.
Hasil percobaan pertama penunjukkan bahwa kandungan gula berkorelasi negatif dengan kandungan nikotin, artinya semakin tinggi kandungan gula akan diikuti oleh kandungan nikotin yang semakin rendah. Kurva kandungan gula dan nikotin pada berbagai umur tanaman berbentuk sigmoid dengan titik kritis sintesis gula dan nikotin terjadi setelah umur tanaman 8 minggu yaitu setelah berbunga. Pengelolaan air yang menghasilkan efisiensi pemakaian air, produksi, kandungan gula tinggi dan nikotin rendah adalah irigasi setiap hari sampai kapasitas lapang dari saat tanam tanam sampai 2 minggu sebelum panen, selanjutnya irigasi dilakukan jika 30.3% air tersedia telah digunakan. Berdasarkan percobaan kedua diketahui bahwa sistem irigasi drip tanpa mulsa menghasilkan produksi dan efisiensi pemakaian air lebih tinggi dari pada irigasi konvensional.
ABSTRACT
EKO SULISTYONO. The Relationship between Water Management and Production, Sugar and Nicotine Content of Tobacco Leaf. Adviced by SUDRADJAT, M. HASJIM BINTORO DJOEFRIE, HANDOKO and GATOT IRIANTO.
The objective of this research was to obtain water management method for resulting tobacco with high sugar content and low nicotine content by making relation between each of (1) irrigation level and irrigation time, (2) between irri-gation system and sugar content or nicotine content, and (3) transpiration and sugar content or nicotine content.
Research included two experiments: (1) The Effect of Irrigation Level and Irrigation Time on Yield, Sugar Content and Nicotine Content, (2) The Effect of Irrigation System on Yield, Sugar Content and Nicotine Content. The First ex-periment was conducted at green house of Bogor Agricultural University, Dar-maga, Bogor from February to June 2004. The Second Experiment was con-ducted at tobacco farmer’s field in village of Selopamioro, Imogiri, District of Bantul, Province of Yogjakarta from May to August 2003.. Data of The first experiment was used for calibration of relationship between transpiration and sugar content or nicotine content. Data of the second experiment was used for validation of those relationship. The treatment of the first exeperiment were combination between irrigation level (irrigation every days, 2 days, 4 days, 6 days until field capacity, irrigation everyday until 75%, 50% and 25% of avail-able soil moisture) and irrigation time (during 2 weeks after planting until har-vesting, 2 weeks, 4 weeks, 6 weeks and 8 weeks before harvesting). The treat-ments of the second experiment were conventional irrigation, drip irrigation added mulch and drip irrigation without mulch.
Result of the first experiment showed that sugar content correlated with nicotine content negatively that means the higher sugar content the lower nico-tine content. The curve of sugar content and niconico-tine content with plant age was sigmoid pattern which rapid synthesis of sugar and nicotine occurred after flow-ering. Water management that resulted high water used efficiency, high sun cured leaf weight, high sugar content and low nicotine content was irrigation everyday until field capacity from planting until 2 weeks before harvesting fol-lowed by irrigation when 30.3% available water had been used. Result of the second experiment showed that drip irrigation plus mulch resulted higher sun cured leaf weight and water used efficiency than conventional irrigation.
HUBUNGAN PENGELOLAAN AIR DENGAN PRODUKSI,
KANDUNGAN GULA DAN NIKOTIN DAUN TEMBAKAU
EKO SULISTYONO
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Departemen Agronomi dan Hortikultura
2006
Judul Disertasi : Hubungan Pengelolaan Air dengan Produksi, Kandungan Gula dan Nikotin Daun Tembakau
Nama Mahasiswa : Eko Sulistyono NIM : A 156010011
Disetujui:
Komisi Pembimbing
Dr Ir. Sudradjat, MS Prof Dr Ir H. M. Hasjim Bintoro Djoefrie, MAgr Ketua Anggota
Dr Ir. Handoko, MS Dr Ir. H.Gatot Irianto, MS Anggota Anggota
Diketahui:
Ketua Program Studi Agronomi Dekan Sekolah Pascasarjana
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas rahmatNya sehingga Disertasi dengan judul Hubungan Pengelolaan Air dengan Produksi, Kandungan Gula dan Nikotin Daun Tembakau dapat diselesaikan.
Penulis menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Dr Ir. Sudradjat MS sebagai ketua Komisi Pembimbing yang telah
mengarah-kan secara keseluruhan bidang.
2. Prof Dr Ir. H.M.H. Bintoro Djoefrie MAgr sebagai anggota Komisi Pem-bimbing yang telah mengarahkan dalam bidang fisiologi.
3. Dr Ir. Handoko MS sebagai anggota Komisi Pembimbing yang telah mengarahkan dalam bidang pemodelan khususnya pembentukan persamaan. 4. Dr Ir. Gatot Irianto MS sebagai anggota Komisi Pembimbing yang telah
mengarahkan dalam aspek hidrologi untuk irigasi.
5. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi yang telah memberikan beasiswa BPPS sehingga proses belajar dan penelitian dapat berjalan lancar.
6. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat (Departemen Pertanian) dan CIRAD atas bantuannya dalam pelaksanaan penelitian la-pang.
7. Ketua Program Studi Agronomi Pasca Sarjana, Ketua Departemen Agrono-mi dan Hortikultura, Dekan Fakultas Pertanian, Dekan Sekolah Pasca Sar-jana dan Rektor Institut Pertanian Bogor atas fasilitas yang di-sediakan. Kritik dari berbagai pihak akan berguna bagi penulis dalam mengem-bangkan ilmu pengelolaan air khususnya dan agronomi umumnya. Mudah-mudahan penelitian ini dapat memperluas atmosfir ilmu Pengelolaan Air pada khususnya dan Agronomi pada umumnya.
Bogor, Januari 2006
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Ponorogo pada tanggal 25 Pebruari 1962. Penulis dibesarkan dalam lingkungan pertanian lahan sawah dan lahan kering dibawah asuhan ayah Marsudi dan ibu Siti Aminah yang berprofesi sebagai guru dan petani.
Penulis menempuh Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas di Ponorogo sampai tahun 1981. Penulis melanjutkan pendidikan S1 di Institut Pertanian Bogor, pada Departemen Agronomi, Fakultas Pertanian dari 1981 sampai 1985, program S2 pada Program Studi Agronomi, Institut Pertanian Bogor dari 1994 sampai 1998, dan program S3 Program Studi Agronomi, Institut Pertanian Bogor dari 2001 sampai 2005.
DAFTAR ISI
Halaman
PENDAHULUAN . . .. . . 1
Latar Belakang . . . 1
Tujuan Penelitian . . . 3
Hipotesis . . . 3
TINJAUAN PUSTAKA . . . 4
Faktor Lingkungan Penentu Sintesis Gula dan Nikotin . . . 4
Jadwal Irigasi . . . 7
Sistem Irigasi Tetes . . . 12
Evapotranspirasi . . . 14
Hubungan Evapotranspirasi dengan Produksi . . . 23
Sintesis Gula dan Hubungannya dengan Transpirasi . . . 24
Sintesis Nikotin dan Hubungannya dengan Transpirasi . . . 26
Tembakau . . . 28
BAHAN DAN METODE . . . 32
Percobaan I: Pengaruh Tingkat Irigasi dan Waktu Irigasi terhadap Produksi, Kandungan Gula dan Kandungan Nikotin . . . . 32
Waktu dan Tempat . . . 32
Metode . . . 32
Pelaksanaan Penelitian. . . 34
Percobaan II: Pengaruh Sistem Irigasi terhadap Produksi, Kandungan Gula dan Kandungan Nikotin . . . 36
Waktu dan Tempat . . . 36
Metode . . . 36
Pelaksanaan Penelitian . . . 38
Produksi, Kandungan Gula dan Nikotin . . . 40
Hasil . . . 40
Pembahasan . . . 48
Percobaan II: Pengaruh Sistem Irigasi terhadap Produksi, Kandungan Gula dan Nikotin . . . 61
Hasil . . . 61
Pembahasan . . . 69
Keterkaitan Antara Percobaan I dan II: Hubungan Transpirasi dengan Kandungan Gula dan Nikotin . . . . 74
Kalibrasi . . . 74
Validasi . . . 77
KESIMPULAN DAN SARAN . . . 82
DAFTAR PUSTAKA . . . 84
LAMPIRAN . . . 101
DAFTAR TABEL
Teks
Nomor Halaman 1. Metode Pengolahan, Tipe Tembakau dan Penggunaannya . . . 30 2. Unsur-unsur Kualitas Fisual Tembakau Asapan . . . 30 3. Nisbah Gula dan Nikotin dan Kaitannya dengan Sifat
Organoleptik . . . . . . 31 4. Jumlah daun pada Berbagai Tingkat Irigasi dan Waktu Irigasi
Tembakau . . . 41 5. Tinggi Tanaman pada Berbagai Tingkat Irigasi dan Waktu Irigasi
Tembakau . . . 41 6. Panjang Daun Kaki-1pada Berbagai Tingkat Irigasi dan Waktu
Irigasi . . . . 42 7. Lebar Daun Kaki-1 pada Berbagai Tingkat Irigasi dan Waktu
Irigasi . . . 43 8. Bobot Daun Total pada Berbagai Tingkat Irigasi dan Waktu
Irigasi . . . 44 9. Bobot Kering Akar pada Berbagai Tingkat Irigasi dan Waktu
Irigasi . . . 45 10. Kandungan Gula, Nikotin dan Nisbah Gula/Nikotin pada
Berbagai Tingkat Irigasi . . . 45 11. Rata-rata Evapotranspirasi Harian pada Berbagai Tingkat Irigasi dan Periode Tumbuh Tembakau . . . 48 12. Efisiensi Pemakaian Air pada Berbagai Tingkat Irigasi dan Waktu
Irigasi . . . 49 13. Rata-rata Transpirasi Harian pada Berbagai Tingkat Irigasi Selama
Dua Minggu Sebelum Panen . . . 49 14. Pertumbuhan Maksimum Tembakau pada Tiga Sistem Irigasi . . . . . . 62 15. Produksi Tembakau pada Tiga Sistem Irigasi . . . 63 16. Produksi Total Tembakau, Rendemen dan Efisiensi Pemakaian Air
pada Tiga Sistem Irigasi . . . 64 17. Kandungan Gula, Nikotin dan Nisbah Gula dengan Nikotin
pada Tiga Sistem Irigasi . . . .. . . 64 18. Evapotranspirasi Harian pada Berbagai Fase Tumbuh dari
Tembakau pada Siang Hari . . . 66
Nomor Halaman 20. Kelembaban Udara dan Suhu Udara pada Fase Pertumbuhan Maksimum Tembakau pada Berbagai Sistem Irigasi . . .. . . 67
21. Persen Air Tersedia Dalam Tanah pada Berbagai Fase Tumbuh . . . 68
22. Persen Air Tersedia pada Berbagai Kedalaman Tanah pada Berbagai Periode Tumbuh . . . 68
23. Jumlah Irigasi Selama Berbagai Fase Pertumbuhan . . . 68
23. Korelasi Antara Transpirasi, Kandungan Gula dan Nikotin . . . 75
24. Analisis Ragam Hubungan Transpirasi dengan Kandungan Gula. . . .. 75
25. Pendugaan Parameter Hubungan Transpirasi dengan Kandungan Gula . . . 76
26. Analisis Ragam Hubungan Transpirasi dengan Kandungan Nikotin . . 76
27. Pendugaan Parameter Hubungan Transpirasi dengan Kandungan Nikotin . . . 77
28. Kandungan Gula dan Nikotin Hasil Pengukuran dan Pendugaan . . . . . 79 Lampiran 1. Kebutuhan Air Irigasi untuk Berbagai Tingkat Irigasi . . . 102
2. Analisis Gula dan Nikotin. . . 104
3. Pemisahan Transpirasi dengan Metode Rosenthal . . . 105
4. Pengukuran Evapotranspirasi dengan Metode Neraca Air . . . 106
5. Analisis Ragam dari Penelitian Rumah Kaca . . . 107
6. Analisis Ragam dari Penelitian Di Lapang . . . 108
7. Evapotranspirasi pada Berbagai Tingkat Irigasi dan Waktu Irigasi . . 109
8. Tinggi Tanaman, Jumlah Daun dan Bobot Kering Akar pada Berbagai Tingkat Irigasi dan Waktu Irigasi . . . 110
9. Berat Kering Setiap Grup Daun pada Berbagai Tingkat Irigasi dan Waktu Irigasi . . . 111
10. Analisis Tanah dari Tempat Penelitian dan Pusat Produksi Tembakau . . . 112
DAFTAR GAMBAR
Teks
Nomor Halaman
1. Lintasan Biosintesis Dalam Tanaman. 25
2. Sintesis Pati dan Sukrosa . . . 27 3. Biosintesis Alkaloid pada Tembakau . . . 29 4. Alur Pembentukan dan Pengujian Hubungan Transpirasi dengan Kandungan Gula dan Nikotin. . . 35 5. Kandungan Gula dan Nikotin Selama Periode Tumbuh Tembakau 46 6. Efisiensi Pemakaian Air, Produksi, Panjang daun dan Lebar Daun pada Berbagai Tingkat Irigasi Selama 2 Minggu Sebelum Panen. . 51 7. Hubungan Tingkat Irigasi Mulai 2 MST Sampai Panen dengan
Bobot Kering Daun Total . . . 52 8. Kelembaban Tanah Sebelum Irigasi pada Berbagai Frekuensi
Irigasi dan Umur Tanaman . . . 54 9. Hubungan Tingkat Irigasi Mulai 2 MSP dengan Kandungan
Gula dan Nikotin Daun Tembakau . . . 59 10. Perbandingan Evapotranspirasi antara Irigasi Drip dan
Irigasi Konvensional . . . 65 11. Hubungan Transpirasi dengan Kandungan Gula dan Nikotin . . .. 74
Lampiran
1. Gambar Enam Grup Daun Tembakau . . . 101
PENDAHULUAN
Air merupakan sumber dari kehidupan alam semesta. Ketidaktersediaan air akan sangat mengganggu keseluruh makhluk hidup. Setelah Tuhan menurunkan hujan, maka mulailah kehidupan di dunia. Jika intensitas curah hujan lebih besar dari kecepatan infiltrasi maka akan terjadi aliran permukaan. Aliran permukaan berfungsi mencuci pencemar yang menempel dipermukaan bumi dan mengalir ke laut. Air infiltrasi mengisi ruang antar partikel tanah sampai mencapai kapasitas lapang. Kapasitas lapang terjadi jika gaya tarik partikel tanah terhadap air sama dengan gaya tarik bumi. Jika infiltrasi terus berlangsung maka gaya tarik bumi menjadi lebih besar dari pada gaya tarik partikel tanah terhadap air sehingga akan terjadi gerakan air ke bawah atau perkolasi untuk mengisi air bumi yang berfungsi sebagai cadangan air pada musim kemarau. Evaporasi air laut merupakan proses penjernihan air secara besar-besaran sehingga menjadi air bersih kembali. Pengelolaan air adalah bidang ilmu yang mempelajari pemeliharaan ketersediaan sumber air berdasarkan keseimbangan neraca air dalam siklus hidrologi tersebut untuk kelangsungan kehidupan. Berdasarkan siklus hidrologi tersebut dapat diketahui sumber air yang potensial adalah air bumi, air laut, air hujan dan air tanah. Pengelolaan air untuk irigasi meliputi pengembangan sumberdaya air sehingga sumber air dapat dimanfaatkan menjadi sumberdaya air, pemanfaatan air yang efisien meliputi pendugaan kebutuhan air tanaman, perencanaan sistem irigasi dan drainase, sehingga tanaman dapat berproduksi maksimal dengan kualitas maksimal. Fungsi air bagi tanaman adalah penyusun protoplasma karena antara 50% sampai 90% dari bobot tanaman adalah air, sebagai pelarut yang menyebabkan gas, mineral dan senyawa lain masuk ke dalam sel tanaman dan bergerak dari sel ke sel serta dari jaringan ke jaringan tanaman, sebagai bahan reaksi dan media reaksi meliputi fotosintesis dan proses hidrolitik seperti hidrolisis pati menjadi gula, penjaga turgor sel sehingga tanaman dapat tumbuh dan mempertahankan bentuknya (Salisbury dan Ross, 1992).
dengan kandungan gula dan nikotin pada tembakau yang meliputi (1) hubungan tingkat irigasi dan waktu irigasi dengan produksi, kandungan gula dan nikotin, (2) hubungan sistem irigasi dengan produksi, kandungan gula dan nikotin dan (3) hubungan transpirasi dengan kandungan gula dan nikotin.
Tingkat irigasi dan waktu irigasi merupakan jadwal irigasi yang mempe-ngaruhi produksi, kandungan gula dan nikotin. Tingkat irigasi maksimum dila-kukan mulai dari tanam sampai umur berbunga untuk menghasilkan jumlah daun yang maksimal, sedangkan setelah fase berbunga tingkat irigasi diatur untuk menghasilkan ukuran daun, kandungan gula dan nikotin sehingga diperoleh kuali-tas yang maksimal.
Irigasi tetes merupakan sistem irigasi yang paling efisien karena air diberikan dengan debit yang kecil disekitar tanaman (Haman et al., 2004). Pada sistem tersebut, kehilangan air dari sumber sampai lahan tidak ada sehingga effisiensi irigasi tetes dapat mencapai 90% sampai 95% (Haman dan Yeager, 2004), sehingga sangat bermanfaat untuk daerah dengan ketersediaan sumber daya air yang terbatas. Irigasi dapat digunakan untuk pengaturan transpirasi, karena transpirasi berbanding lurus dengan beda potensial air tanah dan potensial air sekitar tajuk.
Bukti adanya hubungan antara transpirasi dengan kandungan gula dan nikotin adalah penyemprotan daun tembakau dengan antitranspiran menghasilkan tembakau dengan kandungan nikotin yang rendah dan kualitas yang baik. Transpirasi yang rendah menyebabkan absorsi nitrogen berkurang, sehingga dapat menurunkan sintesis nikotin (Weidner et al., 2005)). Penghentian irigasi menje-lang panen tembakau menyebabkan transpirasi menurun sehingga kandungan gula terlarut meningkat (Naidu, 2001).
dengan meningkatkan poten-sial air tanah dengan cara memberikan irigasi, sebaliknya transpirasi dapat diturunkan dengan menurunkan potensial air tanah dengan cara menghentikan irigasi atau mengurangi tingkat irigasi.
Tujuan Penelitian
1.Mendapatkan metode pengelolaan air meliputi tingkat dan waktu irigasi serta sistem irigasi untuk menghasilkan tembakau dengan kandungan gula tinggi dan nikotin rendah.
2.Mempelajari pengaruh metode pengelolaan air terhadap produksi tembakau 3.Mengetahui hubungan transpirasi dengan kandungan gula dan nikotin
Hipotesis
1. Tingkat dan waktu irigasi mempengaruhi produksi, kandungan gula dan niko-tin
2. Sistem irigasi drip memberikan produksi dan efisiensi pemakaian air yang le-bih tinggi dari pada sistem irigasi konvensional
3. Hubungan kadar gula dengan transpirasi adalah semakin rendah transpirasi menyebabkan kandungan gula semakin tinggi.
4. Hubungan kadar nikotin dengan transpirasi adalah semakin rendah transpirasi menyebabkan kandungan nikotin semakin rendah.
TINJAUAN PUSTAKA
meli-puti sifat fisik, kimia tanah dan organisme di dalam tanah, sedangkan faktor atmosfir meliputi radiasi matahari, curah hujan, kelembaban dan suhu udara. Fokus penelitian ini dibatasi hanya untuk faktor pengelolaan air untuk mendapat-kan efisiensi pemakaian air. Pengelolaan air pada tanaman tembakau diarahkan untuk memaksimalkan bobot dan ukuran daun sampai awal fase berbunga. Setelah fase berbunga, pengelolaan air diarahkan untuk meningkatkan kandungan gula dan menurunkan kandungan nikotin sehingga nisbah gula dengan nikotin meningkat (Naidu, 2001). Hubungan pengelolaan air dengan kandungan gula dan nikotin meliputi: pengaruh waktu dan tingkat irigasi, sistem irigasi dan hubungan transpirasi dengan kandungan gula dan kandungan nikotin.
Faktor Lingkungan Penentu Sintesis Gula dan Nikotin
Faktor lingkungan yang mempengaruhi sintesis gula dan nikotin adalah radiasi, suhu udara, panjang siang, serta kandungan N, P, K, Ca dan pH dalam tanah. Radiasi matahari merupakan sumber energi utama dunia yang oleh tanaman akan diubah menjadi sumber bahan sandang, pangan, papan, energi dan berbagai produk metabolit sekunder. Selain itu radiasi matahari merupakan sumber variasi iklim mikro. Unsur-unsur cuaca lainnya seperti suhu udara, kelembaban udara dan panjang hari sangat dipengaruhi oleh radiasi matahari (Handoko, 1994).
Pengelolaan tanaman bertujuan untuk memaksimalkan efisiensi penggu-naan radiasi matahari. Pengelolaan tanaman dan pemilihan varietas yang me-mungkinkan intersepsi radiasi tertinggi dapat menghasilkan produksi yang maksi-mal. Konsep efisiensi penggunaan energi merupakan biomassa yang dihasilkan setiap satuan energi yang diintersepsi tanaman (Handoko, 1994). Jadi produk bio-massa tanaman merupakan fungsi dari energi radiasi.
antara tanaman dan atmosfir, maka dapat diturunkan persamaan biomassa terhadap defisit tekanan uap air. Kelembaban udara mempengaruhi pertukaran gas pada daun (Sheriff dan Mattay, 1995), sehingga mempengaruhi kecepatan fotosintesis. Zhang et al. (1996) menduga bahwa terdapat korelasi yang linear positif antara nisbah tekanan partial CO2 dalam sel dan ruangan (ci/ca) dengan defisit tekanan uap air (D).
Berbagai penelitian hubungan antara intersepsi cahaya dengan tanaman telah banyak dilakukan. Andrade et al. (1993) melaporkan bahwa terdapat korelasi positif antara intersepsi radiasi dengan jumlah biji jagung/m2. Setiap mega joule menghasilkan 5.39 biji. Tanaman tebu yang ditanam dengan irigasi mengintersepsi radiasi sebesar 60% selama 167 - 445 hari setelah tanam. Koefisien extenction radiasi sebesar 0.38 dapat diduga dari hubungan antara indeks luas daun dengan fraksi intersepsi cahaya (Muchow et al., 1994). Biomasa dapat diprediksi berdasarkan intersepsi radiasi kumulatif dan koefisien efisiensi pemakaian radiasi (Williams et al., 1996). Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara intersepsi radiasi dengan biomassa tanaman (Monteith, 1994; Demetriades et al., 1994; Wheeler
et al., 1993). Intersepsi radiasi dipengaruhi oleh teknik budidaya tanaman. Setelah berbunga, tanaman rape dengan jarak barisan 15 cm mengintersepsi radiasi lebih tinggi dari pada jarak barisan 30 cm. Peningkatan populasi tanam dari 1.5 menjadi 12.0 kg benih/ha menyebabkan peningkatan intersepsi radiasi (Morrison dan Stewart, 1995).
perubahan evapotranspirasi dan neraca air pada daerah beririgasi (Prueger et al.,
1996).
Kelembaban udara mempengaruhi status air tanaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengkabutan pada tanaman tomat dapat mengurangi penurunan potensial air daun harian sampai 0.5 Mpa (Stirzaker et al. , 1997), sehingga dapat mengurangi kecepatan defisit air tanaman. Pada tanaman gandum yang ditanam pada RH 80 % dan 40 % akan mengalami kecepatan defisit air sebesar 0.10 dan 0.18 Mpa/hari selama 6 hari setelah berbunga sampai 19 hari setelah berbunga (Palta, et al., 1994).
Kelembaban udara mempengaruhi potensial air dalam batang, kandungan ABA dan tahanan stomata. Padi yang ditanam pada RH tinggi (75/90 % pada siang/malam) menyebabkan peningkatan potensial air batang, kandungan ABA xylem dan tahanan stomata dibandingkan RH rendah (40/55 % siang/malam) (Asch et al., 1995). Respon stomata serupa juga terjadi pada spesies rumput-rumputan lainnya. Hantaran stomata dari rumput tahan kering akan menurun dengan meningkatnya perbedaan tekanan uap air antara daun dan atmosfir (Maroco et al., 1997).
Kelembaban udara mempengaruhi pertukaran gas pada daun (Sheriff dan Mattay, 1995), sehingga akan mempengaruhi kecepatan fotosintesis. Variasi musiman curah hujan dan defisit uap air atmosfir menyebabkan pertumbuhan kanopi pohon yang sangat berbeda (Duff et al., 1997). Zhang et al. (1996) menduga bahwa terdapat korelasi yang linear positif antara nisbah tekanan partial CO2 dalam sel dan ruangan (ci/ca) dengan defisit tekanan uap air (D). Suhu udara mempengaruhi produksi dan kualitas produksi. Suhu yang terlalu tinggi yang terjadi pada 15-20 hari setelah berbunga dapat menurunkan bobot biji barley sebesar 35 % (Savin, 1997). Suhu 40 oC selama 3 hari yang terjadi 10 atau 30 hari setelah berbunga akan mempengaruhi jumlah biji, kandungan N, komposisi protein dan amilosa gandum (Stone dan Nicolas, 1995).
mempe-ngaruhi pertumbuhan tembakau dan kualitas daun tembakau. Tipe tembakau yang berbeda memerlukan jumlah nitrogen yang berbeda untuk menghasilkan kualitas yang dikehendaki. Pada tembakau asapan, konsentrasi nitrogen dalam jaringan berkorelasi positif dengan nikotin dan berkorelasi negatif dengan kandungan gula daun. Fosfor memperbaiki warna tembakau asapan, berkorelasi positif dengan kandungan gula. Warna daun, tekstur dan daya bakar dapat diperbaiki dengan kalium. Kalsium merupakan unsur utama penyusun dinding sel, kandungan abu dan meningkatkan kandungan gula (Tso, 1972).
Jadwal Irigasi
Evapotranspirasi dapat dikontrol dengan cara pengaturan jadwal irigasi. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi irigasi mempengaruhi evapotranspirasi. Selain itu jadwal irigasi juga dapat dilakukan dengan cara mempertahankan kelembaban tanah sampai ketersediaan air tertentu. Perubahan kadar air tanah akan menyebabkan perubahan evapotranspirasi.
Irigasi diberikan jika nilai presipitasi dikurangi nilai evapotranspirasi bernilai negatif. Jumlah air irigasi yang diberikan berdasarkan persentase air tersedia pada kondisi optimum. Nilai kadar air tanah optimum untuk setiap tanaman dan setiap fase pertumbuhan berbeda. Jadwal irigasi didasarkan kepada kadar air tanah saat titik kritis. Titik kritis kadar air tanah adalah suatu nilai kadar air tanah jika lebih kecil dari nilai tersebut tanaman akan mengalami stres dan menyebabkan terjadinya penurunan pertumbuhan dan hasil secara nyata.
berdasarkan pola pengosongan air tanah yang ditentukan dengan netron probe (Oweis et al., 2000).
Jadwal irigasi dapat ditentukan berdasarkan potensial air tanah. Irigasi dimulai jika potensial air tanah pada kedalaman 60 cm mencapai - 40 kPa. Kebutuhan air didasarkan pada evaporasi Panci Klas A. Produksi dengan ukuran yang baik akan menurun jika potensial air tanah menurun. Pada potensial air tanah - 52 kPa dan -49 kPa tidak diperoleh buah dengan ukuran baik (Noor, 2001).
Jadwal irigasi untuk tanaman tahunan sangat dipengaruhi oleh fase per-tumbuhan tanaman. Jadwal irigasi pada awal fase perper-tumbuhan kapas ditentukan berdasarkan potenaial air daun. Potensial air daun diukur pada siang hari pukul 13.00 - 15.00. Setelah fase awal pertumbuhan, irigasi didasarkan pada kadar air tanah dan presipitasi. Irigasi diberikan pada saat 50 % air tersedia (Steger et al., 1998).
Perencanaan jadwal irigasi penting untuk penghematan air, terutama untuk daerah dengan sumber air terbatas. Untuk tanaman tahunan yang memerlukan periode tertentu dengan kadar air tanah rendah untuk merangsang pembungaan, jadwal irigasi berperan penting. Selain itu jadwal irigasi yang baik dapat menghindari dari serangan penyakit yang dirangsang oleh kelembaban yang terlalu tinggi. Jadwal irigasi dapat menyesuaikan ketersediaan air dengan kebutuhan air tanaman, penyebaran tenaga kerja menjadi baik dan meningkatkan indeks pertanaman. Jadwal irigasi dapat dibuat berdasarkan neraca air.
tanaman atau intersepsi (Ei), perkolasi dalam (Dp), aliran permukaan (Ro), dan aliran bawah permukaan (Sp). Air tanah akan dievaporasikan lewat permukaan tanah (E), dan transpirasi (T), yang sebagian besar terjadi pada periode antar kejadian hujan. Neraca air untuk hujan yang cukup besar sampai kejadian hujan berikutnya pada lahan pertanaman adalah (Opena dan Patter, 1999):
P = Ei + E + T + Dp + Ro + Sp + M
. . . . .(2.1)Untuk intensitas hujan yang tidak terlalu besar dengan lama hujan yang singkat sehingga tidak melebihi kecepatan infiltrasi, maka tidak terjadi aliran permukaan, aliran bawah permukaan dan perkolasi dalam, sehingga neraca airnya adalah (Opena dan Patter, 1999):
P = Ei + E + T + M
. . . (2.2) Berdasarkan urutan proses tersebut maka irigasi berfungsi untuk mengem-balikan kadar air tanah ke kondisi yang optimum bagi pertumbuhan dan hasil tanaman. Pendugaan kadar air tanah berdasarkan neraca air harian akan lebih baik jika memperhatikan setiap kejadian hujan ( Porthoghese et al., 2005).Kadar air tanah dipengaruhi oleh kedalaman perakaran dan infiltrasi. Komponen tersebut saling berinteraksi. Infiltrasi yang meningkat akan menam-bah kedalaman perakaran dan kerapatan perakaran (Opena dan Patter, 1999). Maraux dan Lafolie (1998) mengembangkan model neraca air tanah dengan memperhatikan interaksi antara tanaman dan atmosfer. Perkembangan perakaran dimasukan dalam memodelkan neraca air tanah tersebut.
simpanan kanopi berkurang dalam 30 menit untuk mencapai nilai kejenuhan. Secara sederhana model tersebut adalah (Ward dan Robinson, 1990):
Σ I = (1 - p - pt)ΣP’g + (Ex/Rx)Σ(Pg - P’g) + (1-p-pt)ΣPg + qSt + ptΣPg . . . .(2.3)
Keterangan: I : Intersepsi p : porositas tajuk pt : porositas batang Pg : presipitasi bruto
P’g : presipitasi sampai terjapai kejenuhan tajuk Ex : kecepatan evaporasi
Rx : intensitas curah hujan
Q : jumlah periode hujan yang mengisi simpanan batang St : kapasitas simpan batang.
Evapotranspirasi dipengaruhi oleh irigasi, musim tanam dan pupuk N. Pemupukan, irigasi penuh meningkatkan evapotranspirasi. Evapotranspirasi terendah terjadi pada tadah hujan tanpa pemupukan N. Peningkatan evapotrans-pirasi akibat irigasi penuh dibanding tadah hujan mencapai lebih dari 50 %. Evapotranspirasi ditentukan dari saat tanam sampai panen menggunakan persamaan neraca air sebagai berikut ( Oweis et al., 2000):
permanen dan padang rumput biodinamik (Drooger, Van Der Meer dan Bouma,1997)
Transpirasi dipengaruhi oleh perkembangan perakaran tanaman. Model yang menduga transpirasi dari perkembangan perakaran adalah (Van Noordwijk dan Vande Geijn, 1996):
Ara = E/Fw = E/{Lp(Pr-Pp-I)}
. . . (2.5)Ara : indek luas akar, luas permukaan akar per luas satuan pertanaman (m2m-2) E : transpirasi (Lm-2 hari-1)
Fw : volume aliran air per satuan luas permukaan akar (L m-2 hari-1) Lp : konduktifitas hidrolik akar (Lm-2 Mpa-1 hari-1)
Pp : tekanan air dalam tanaman (Mpa) Pr : tekanan air pada permukaan akar (Mpa)
I : suatu faktor (Mpa) yang tergantung pada nilai osmotik lingkungan akar. Infiltrasi penting dalam pengisian air tanah dan air bumi. Kecepatan infiltrasi akan menurun dengan waktu. Jika debit air konstan, kecepatan infiltrasi (I) dapat diduga sebagai berikut (Sawatsky dan Li, 1997):
I t = S/(2
√
t) + A
. . . (2.6) atau infiltrasi kumulatif adalahI = S
√
t + At
. . . (2.7) A adalah konstanta yang hampir sama dengan konduktivitas hidrolik jenuh untuk waktu lama, t. (Sawatsky dan Li, 1997).Definisi perkolasi dalam (deep percolation) adalah kehilangan air akibat perkolasi lebih dalam dari daerah perakaran. Neraca air untuk menduga perkolasi dalam yang digunakan oleh Roman et al. (1999) adalah:
ET + Dz = (R+I) -
∆
S
. . . (2.8) ET : evapotranspirasiR : curah hujan I : irigasi
∆S : perubahan simpanan air tanah pada kedalaman z.
Irigasi yang diperbaiki dapat mengurangi kehilangan oleh perkolasi dalam (Romain et al., 1999)
Tiga jadwal irigasi meliputi tadah hujan (tanpa irigasi), irigasi rendah yaitu mengurangi jumlah irigasi 50 % dari irigasi sedang, dan irigasi sedang yaitu mempertahankan kelembaban tanah lebih besar atau sama dengan 65 % air tersedia dari awal pembentukan umbi sampai akhir musim pertumbuhan. Jad-wal irigasi berdasarkan hasil pengukuran kelembaban tanah dengan tension-meter dan grafimetri. Jadwal irigasi juga dapat berdasarkan pengukuran kelem-baban tanah dengan Boyoucos Soil Moisture Meter (Porter, et. al. 1999). .
Tujuan utama pengaturan jadwal irigasi untuk penghematan air dan pro-duksi maksimum. Propro-duksi kentang dengan metode tadah hujan tidak berbeda dengan irigasi secara terjadwal. Ini diduga disebabkan oleh input air sudah cu-kup dari curah hujan yaitu 268 mm/musim. Irigasi rendah menghasilkan pro-duksi lebih tinggi dari pada tadah hujan dan sama dengan irigasi sedang. Ini berarti irigasi rendah merupakan jadwal irigasi yang baik karena dapat menghemat air (Porter, et. al. 1999)..
Jadwal irigasi dengan sistem irigasi tetes dengan jarak antar lateral 70 cm dan jarak antar emiter 17.5; 35; dan 52.5 cm masing-masing untuk irigasi penuh, 2/3 bagian dan 1/3 bagian. Irigasi diberikan pada saat yang sama ketika daerah perakaran dari irigasi penuh telah kehilangan 50 % air tersedia. Jumlah air yang diberikan pada irigasi penuh dihitung untuk mengisi kembali daerah perakaran sampai kapasitas lapang. Kedalaman daerah perakaran selama musim pertum-buhan diperkirakan berdasarkan pola pengosongan air tanah yang ditentukan de-ngan netron probe (Oweis et al., 2000).
Sistem Irigasi Tetes
memberi-kan air sampai kedalaman 30 - 60 cm pada tanah berpasir (Haman et al., 2004). Keuntungan irigasi tetes tidak terjadi kehilangan hara dari pupuk, efisiensi distri-busi air tinggi, perataan lahan tidak perlu, hanya daerah perakaran yang terbasahi, tidak terjadi erosi, biaya tenaga kerja rendah, suplai air dapat diatur dengan baik dan pemupukan dapat dilakukan bersamaan dengan irigasi. Sistem irigasi tetes yang didesain dan dikelola dengan baik mempunyai efisiensi 90-95 %, berarti hanya 5% air yang hilang (Haman dan Yeager, 2004).
Perangkat dasar irigasi tetes terdiri atas pompa , pengatur tekanan, pipa utama , pipa lateral dan emiter. Emiter merupakan pembagi air yang mengatur discharge dari pipa lateral. Point source emiter mengeluarkan air dari satu titik dan berjarak lebar (lebih dari 1 meter). multiple-outlets emiter memberikan air pada dua atau lebih titik penyalur. Line source emitter memberikan air melalui pipa berlubang sepanjang lateral (American Society of Agriculture Engineers, 1990).
Berbagai tipe emiter telah dikembangkan yang bertujuan untuk mening-kat-kan efisiensi irigasi. Pada irigasi tetes tidak ada kehilangan air dari sumber sampai emiter maka efisiensi irigasi dari sistem irigasi tetes hanya terdiri atas efisiensi penampungan dan efisiensi pemakaian. Efisiensi penampungan adalah nisbah antara air irigasi yang tertahan di daerah perakaran dengan volume irigasi. Efisiensi pemakaian adalah nisbah antara air irigasi yang tertahan didaerah perakaran dan defisit air tanah di daerah perakaran (American Society of Agriculture Engineers, 1990)
Untuk tanaman dengan jarak tanam rapat (tanaman dalam barisan) biasa-nya diirigasi dengan line-source emitter yaitu pipa berlubang atau porous. Pipa diletakan di atas permukaan sepanjang setiap baris tanaman. Debit untuk single-outlet emitter kurang dari 12 l/jam, line-source kurang dari 12 l/jam/meter lateral (Wienfield, 2004).
Tipe subsurface mirip dengan drip, bedanya lateral dan emitter
ditempat-kan di bawah permukaan tanah. Air bergerak dari emitter ke daerah perakaran dengan gerakan kapiler. Tipe bubler memberikan air ke permukaan tanah dalam bentuk aliran atau pancaran kecil. Debitnya lebih besar dari pada
drip atau subsurface yaitu lebih besar dari 240 l/jam. Debit emitter lebih besar dari pada kecepatan infiltrasi, maka dari itu basin kecil diperlukan untuk mengisi air sekeliling tanaman yang diirigasi. Tipe spray memberikan air dengan pancaran kecil atau kabut ke permukaan tanah, sehingga udara juga berperan dalam penyebaran air, dengan debit kurang dari 120 l/jam (El-Hafedh
et al., 2001),
Faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan sistem irigasi tetes adalah sumber air, kemiringan lahan, karakter tanah dan jenis tanaman. Penyumbatan
emitter merupakan masalah yang sulit dalam sistem irigasi tetes. Semua air yang masuk sistem perlu disaring. Jenis penyaring tergantung tipe emitter, jumlah dan sifat kontaminan dalam air (Al-Jamal et al., 2001).
Pada kemiringan kurang dari 5 %, semua tipe irigasi tetes dapat diguna-kan. Pada kemiringan 5% atau lebih, tipe subsurface dan bubler tidak dapat digu-nakan, tetapi dapat digunakan tipe drip dan spray. Kecepatan absorbsi air oleh tanah menentukan jumlah, discharge dan jarak emitter. Pada tanah dengan kece-patan absorbsi rendah perlu dipilih emitter dengan discharge kecil (Wiedenfeld, 2004).
Kecepatan absorbsi yang rendah biasanya terjadi pada tanah dengan tekstur berat, dan air dapat bergerak lebih jauh dari pada tanah tekstur ringan, maka jumlah emitter per tanaman dapat dikurangi. Pada kecepatan absorbsi ting-gi perlu dipilih emitter dengan discharge besar, sehingga perlu emitter
Pada kondisi tersebut gerakan air secara kapiler tidak dapat membasahi tanah sesuai dengan kebutuhan air tanaman (Harmanto et al., 2005).
Tanaman dalam barisan hanya cocok dengan tipe drip atau subsurface dengan line-source emitter. Tanaman berbentuk pohon, semak, merambat lebih cocok dengan tipe drip, bubler atau spray. Emitter pada drip dapat single atau
multiple outlet point source. Persemaian atau padang rumput tidak cocok dengan sistem irigasi tetes (Al-Jamal et al., 2001).
Evapotranspirasi
Secara umum air bergerak dari potensial air tinggi ke potensial air rendah. Potensial air menunjukkan tingkat energi yang dimiliki oleh air. Air bergerak secara kontinyu dari sistem tanah ke tanaman dan ke atmosfir (transpirasi) atau dari sistem tanah ke permukaan tanah dan ke atmosfir (evaporasi). Evapotranspi-rasi merupakan jumlah dari evaporasi dan transpirasi. Dalam tahap perencanaan kebutuhan air tanaman telah dikembangkan berbagai persamaan evapotranspirasi. Evapotranspirasi aktual yang terjadi pada kelembaban tanah kurang dari kapasitas lapang dan tingkat pengelolaan tertentu dapat diukur dengan prinsip neraca air.
Secara umum evapotranspirasi aktual (E) dapat dirumuskan sebagai berikut (Sperry et al., 2003):
E = [
ψ
tanah -
ψ
atmosfir] / R
. . . .(2.9) ψ tanah, potensial air tanah, ψ atmosfir, potensial air di atmosfir, R, resultan tahanan tanaman dan permukaan tanah. Tahanan permukaan tanah dipengaruhi antara lain oleh penggunaan mulsa. Tahanan tanaman merupakan resultan dari tahanan akar, batang dan stomata. Perubahan tahanan tanaman ditentukan oleh perubahan tahanan stomata.vulnera-bilitas dari xylem.Ini terutama pada tanaman yang memiliki xylem yang relatif peka. Walapun mekanisme kohesi-tekanan untuk transpor dalam xylem telah berlawanan dengan pendapat dewasa ini, perbedaan masih ada dalam mema-hami hidrolika dalam xylem. Ini meliputi besarnya dan mekanisme dari cavita-tion reversaldan hysteresis dalam kurva vulnerabilitas, dasar struktur untuk perbeda-an dalam air entry pressure (=cavitation pressure)untuk tipe xylem yang berbe-da, model quantitatif dari konduktivitas xylem, dan pemahaman se-cara mekanistik tentang bagaimana stomata mengatur status air tanaman. Per-baikan gambaran tentang hidrolika xylem dalam model penggunaan air oleh tanaman (evapotrans-pirasi) perlu untuk mendapatkan hubungan mekanistik antara keterse-diaan air tanah dan penggunaan air oleh kanopi. Perhatian utama tertuju pada hidrolika jaringan hidup dari akar yang melakukan absorbsi dan daun yang bertranspirasi, yang lebih kompleks dari pada dalam xylem dan de-wasa ini kurang dapat dilaku-kan pemodelan secara mekanistik (Sperry et al., 2003).
Pemahaman tahanan hidrolik dalam tanah dan tanaman adalah sangat mendasar untuk semua perlakuan dari soil-plant-atmosphere continum (SPAC). Tanpa mengetahui tahanan tersebut dan bagaimana tahanan berubah dengan kandungan air tanaman dan tanah, maka respon dari penggunaan air oleh tana-man terhadap lingkungan tidak dapat diduga . Perlakuan dari tahanan tanah dalam model transport sudah lebih mekanistik dan lengkap dibandingkan hidrolika tanaman pada sistem tanaman. Walaupun komplek, sifat fisik dari aliran melalui tanah menyebabkan lebih peka terhadap perlakuan secara kuan-tiatif dari pada aliran melalui tanaman. Tahanan tanaman mendominasi tahanan hidrolik total dari SPAC pada kondisi tanah lembab. Pada kondisi kering ketika tahanan tanah meningkat, tahanan tanaman juga meningkat yang berpengaruh terhadap gerakan air selama kekeringan (Jury et al., 1991).Dasar-dasar untuk perubahan dalam tahanan hidrolik tanaman selama siklus kekeringan belum di-tangani dengan cara mekanistik dalam beberapa model dari SPAC
te-kanan-kohesi dengan prediksinya dari tekanan air yang negatif terjadi pada penelitian yang tahunan. Xylemcavitation dan kebalikannya dapat didokumen-tasi, tetapi dalam beberapa hal, mekanisme yang mendasari dan keterkaitannya dengan struktur xylem belum banyak diketahui. Respon stomata terhadap pe-rubahan dalam tahanan xylem dan tanaman sudah dikarakterisasi, tetapi mekan-ismenya belum jelas. Akhirnya, pemahaman tentang hidrolika dari transport air melintasi jaringan hidup yaitu akar dan daun masih terbatas (Steudle and Peter-son, 1998).
Pada setiap satuan panjang dan luas, konduktivitas hidrolik xylem (vol-ume kecepatan aliran setiap gradien tekanan per luas penampang melintang) bernilai kurang lebih delapan kali lebih besar dari pada konduktifitas kortek akar dan endodermis (Sperry et al., 2002b). Ini menunjukkan bahwa aliran ra-dial melintasi jaringan akar merupakan tahanan pembatas utama dalam tanaman, tetapi jika konduktifitas diubah menjadi konduktans (volume kecepatan aliran setiap perbedaan tekanan) dengan mengkaitkan panjang relatif dan luas penam-pang melintang, perbedaan menjadi tidak ada. Xylem berperan hanya sekitar 1 mm dari panjang total aliran transpirasi dalam tanaman. Total aliran transpirasi besarnya adalah 99.99% dari lintasan aliran dalam pohon setinggi 10m, atau 99.99% dari jagung yang tingginya 1 meter. Lebih jauh, luas penampang melintang dari lintasan aliran xylem mencapai empat kali lebih kecil dibanding luas permukaan akar (Ewers et al., 2000). Jika diperhatikan seluruh bagian tanaman, konduktans xylem maupun nonxylem adalah sama dalam tanaman yang diairi dengan baik (Tyree, 1999). Konduktifitas xylem paling kecil terjadi pada batang dan terutama daun (Nardini and Pitt, 1999;Tyree and Ewers, 1991). Penurunan tekanan gesekan total dalam xylem batang dapat melebihi 1 Mpa pada kondisi transpirasional (Tyree et al., 1991). Peningkatan lintasan aliran xylem dengan meningkatnya ukuran tanaman merupakan penyebab utama dari penurunan konduktas hidrolik spesifik daun dengan meningkatnya ukuran (Mencuccini et al., 1997;Schafer etal., 2000; Yoder et al., 1994).
berdasarkan penurunan potensial air. Penurunan potensial air menyebabkan konduktans hidro-lik seluruh bagian tanaman menurun.. Dasar untuk penurunan yang tergantung potensial air dalam konduktans xylem adalah sama dengan dalam konduktans hidrolik tanah: pemasukan udara kedalam ruang pori berisi air menyebabkan tekanan air menjadi semakin negatif (Jarbeau et al., 1995). Perbedaannya ruang pori dalam xylem lebih komplek dari pada dalam tanah. Tabung (thexylem conduits) yang panjang (mm sampai meter) dan relatif lebar (10 - 200 µm) berguna untuk memaksimalkan konduktans hidrolik. Pori penghubung yang pendek dan sempit berguna untuk meminimalkan pemasukan udara. Jika terjadi kerusakan xylem (xylem senescen atau kerusakan mekanis), maka udara masuk kedalam pori yang lebar dan berhenti di pori yang sempit. Struktur pori tersebut dapat menahan interface air-udara melawan perbedaan tekanan sebesar 1 sampai 10 Mpa, tergantung tipe xylem dan spesies (Sperry et al., 1996).
Hubungan konduktifitas xylem dengan tekanan air xylem disebut kurva
vulnerability.. Tanaman mengalami peronggaan (cavitation) pada selang fisiologis dari tekanan xylem. Padi (Oryza sativa L.)akan mengalami peronggaan xylem sebesar 50% pada kondisi irigasi yang baik. Peronggaan xylem menyebabkan penurunan konduktans hidrolik spesifik dalam daun (Stiller et al., 2003).
kecil yang memiliki xylem yang peka (Sperry and Hacke, 2002; Davis et al., 2002;Sparks and Black, 1999).
Seluruh studi dilakukan pada tanaman berkayu pada kondisi alami atau semi alami, pentingnya kavitasi untuk mempengaruhi penggunaan air tanaman herba belum banyak dikarakterisasi. Adanya analogi yang kuat antara hidrolika dalam xylem dan tanah maka model SPAC untuk semua tanaman berdasarkan dua fenomena yang identik secara fisik yaitu(1)sifat konduktivitas dalam tanah yang tidak jenuh dan (2) kurva vulnerable dalam xylem.
Teori tekanan kohesi dari transport xylem terjadi pada tanaman tahunan disebabkan oleh ketidakpercayaan adanya tekanan air yang negatif dalam ruang pori xylem (Canny, 1998a,1998b). (Mungkin teori pergerakan air dalam tanah mengabaikan sifat tersebut karena tekanan negatif dalam ruang pori tanah tidak disebut tekanan tetapi dimasukkan dalam komponen potensial matrik) Terobosan terbaru terhadap teori tersebut berusaha untuk mengukur tekanan xy-lem dengan alat probe tekanan sel yang dimodifikasi. Tekanan di bawah – 0.3 Mpa (relatif terhadap atmosfir) dapat diukur berdasarkan teori kohesi dan pen-gukuran bomb pressure (Zimmermann et al., 1994). Pengukuran dibawah - 0.3 mPa tidak dapat dilakukan karena pemasukan alat kedalam xylem menyebabkan cavitasi (Steudle, 2001; Wei et al., 1999a, 1999b, 2000).
Teori tekanan kohesi telah lama tidak dikembangkan. Keuntungan dari mulainya penelitian lagi tentang teori tersebut adalah telah dikembangkannya teknik-teknik baru untuk mempelajari hidrolika xylem antara lain probe tekanan xylem, metode gaya centrifugal untuk mengukur curva vulnerabilitas (Pockman
et al., 1995), freezing-stage scanning electron microscopy (cryo-SEM), dan magnetic resonance imaging (MRI)(Canny, 1997a, 1997b; Cochard et al., 2000; Holbrook et al., 2001), pressure chamber yang sensitif dan metode psychromet-ric (Holbrook et al., 1995; Tyree, 1997).
konduk-tans hidrolik dalam SPAC akan turun secara permanen oleh kekeringan sampai xylem baru dibentuk. Berdasarkan fisika dari pelarutan gelembung, diduga tidak ada pengisian kembali pori xylem sampai tekanan xylem melebihi paling tidak
Pwv - 2T/r, Pwvadalah tekanan uap jenuh , T adalah tekanan permukaan air dan
r adalah jari-jari uap air dalam pori xylem ( radiun pori xylem; Yang and Tyree, 1992). Jika embolismeadalah gelembung udara, maka tekanan mening-kat menjadi Pa - 2T/r, Paadalah tekanan atmosfir. Tekanan xylem harus men-ingkat sebesar 0.1 MPa atau Pa sebelum cairan xylem dapat didorong masuk ke dalam pori dan melarutkan gelembung gas. Ini merupakan proses histeresis dalam kurva vulnerabilitas.
Banyak tanaman budidaya menunjukkan tekanan akar dan gutasi pada kondisi pengairan baik. Tekanan osmotik tersebut digunakan dalam pengisian kembali rongga xylem yang terkavitasi (xylem yang berongga, xylem rusak) pada tebu (Neufeld et al., 1992)dan padi (Stiller et al., 2003), demikian juga pada tanaman bukan budidaya (Cochard et al., 1994; Hacke dan Sauter, 1996; Sperry, 1993). Pengamatan tersebut menunjukkan peranan penting dari tekanan akar dalam memelihara konduktans hidrolik dan pertukaran gas. Tanpa tekanan tersebut xylem yang sensitif dari tanaman budidaya dapat rusak permanen, akibatnya menurunkan kemampuan pertukaran gas, bahkan pada kondisi penga-iran baik.
Perubahan transpirasi akibat penurunan kadar air tanah atau potensial air sudah dikuantifikasi oleh banyak peneliti terdahulu. Kekurangan air merupakan faktor pembatas yang penting untuk produksi pertanian di daerah semi arid. Penu-runan potenasial air tanah dapat menurunkan absorbsi air oleh akar. Pada lahan beririgasi, terutama di daerah arid dan semi arid, tanaman dihadapkan pada keadaan cekaman air dengan intensitas yang berbeda. Selama interval irigasi, evapotranspirasi mengurangi potensial osmotik dan matrik dari larutan dalam tanah, akibatnya akan menurunkan absorbsi air oleh akar (Shalhevet, 1994).
Ketidak sensitifan dari model disebabkan oleh cara mengkombinasikan penga-ruh salinitas dengan nilai absorbsi S. Nilai S didominasi oleh perubahan yang tidak linear dari h dan K (konduktivitas hidrolik tidak jenuh) dengan kadar air ( ). Nilai ho sebaliknya menurun secara linear dengan (simple concentration-dilution). Jika terjadi peningkatan salinitas air irigasi, dan kadar air dipertahankan tinggi, maka hasilnya adalah nilai K( ) relatif tinggi dan ektraksi air oleh tanaman berlangsung pada tingkat maksimum.
Pendekatan makroskopik menunjukkan perbedaan dengan cekaman gabungan. Konsep umumnya mengasumsikanbahwa absorbsi air pada kondisi tidak terjadi cekaman sama dengan transpirasi potensial. Segera setelah potensial air tanah mencapai nilai kritis, transpirasi aktual menurun secara linear sampai absorbsi air berhenti total (titik layu). Penurunan tersebut dikuantifikasi dengan apa yang disebut fungsi reduksi. Secara mendasar, model makroskopik tidak menghitung untuk kondisi salin. Dirksen et al. (1993), Homaee (1999), dan Homaee dan Feddes (1999) melaporkan fungsi reduksi yang tergantung tekanan osmotik secara nonlinear. Sebagian besar dari model tersebut berdasarkan dengan apa yang disebut konsep multiplikativitas yang menggunakan produk dari fungsi reduksi yang terpisah untuk tekanan osmotik dan potensial air tanah. Konsep multiplikativitas pertama kali diajukan oleh van Genuchten (1987) dan telah digunakan secara ekstensif dalam banyak model simulasi numerik tentang absorbsi air oleh akar.
Fungsi reduksi multiplicative yang diajukan oleh Dirksen et al. (1993), van Dam et al. (1997),dan Homaee (1999) yaitu:
. . . (2.10)
. . . . .(2.11)
Van Dam et al. (1997) menyederhanakan perkalian fungsi reduksi men-jadi:
. . . (2.12) Peubah h3 adalah tinggi tekanan air tanah pada saat absorbsi air mulai
cenderung berkurang dan h4 adalah tinggi tekanan air tanah pada saat absorbsi air berhenti.
Untuk cekaman salinitas dan cekaman air Homaee (1999) mengajukan dua fungsi non-linear titik kritis secara terpisah dengan tingkat kesesuaian yang baik.. Kesulitan mendapatkan h50 dan ho50 diganti dengan hmax dan homax. Dan menentukan exponen tanpa nilai parameter ekstra. Titik kritis kedua ialah penu-runan potensial osmotik dan potensial matrik tidak mempengaruhi absorbsi air oleh akar. Untuk stres gabungan diusulkan persamaan (Homaee, 1999):
. . . (2.13) Peubah hmax dan homax (nilai titik kritis kedua) adalah tinggi tekanan air tanah dan tinggi tekanan osmotik pada saat perubahan potensial air (h) dan tekanan osmotik (ho) tidak mempengaruhi transpirasi, dan 01 dan 02 adalah transpirasi relatif masing-masing pada hmax dan homax. Persamaan 2.13 menunjukkan bahwa penu-runan absorbsi air oleh akar dipengaruhi oleh besarnya potensial air, te-kanan osmotik tanah dan karakter tanaman. Eksponen tidak berdimensi p1 dan
p2 dapat diperoleh dari (Homaee, 1999):
. . . (2.14)
Persamaan (ho, h) termasuk kategori multiplicatif karena secara prinsip tidak memiliki dasar fisika dan tidak dapat memisahkan antara komponen-komponennya. Reduksi yang berbeda karena tinggi tekanan air tanah dan te-kanan osmotic menghasilkan hasil yang sama. Sebagai contoh, reduksi bersama
(ho, h) disebabkan oleh (ho) = 0.25, dan (h) = 0.50adalah persis sama seperti yang disebabkan oleh (ho) = 0.50 dan (h) = 0.25. Dari hasil tersebut, multi-plicativity dapat dianggap sebagai pendekatan yang identik. Tidak terdapat bukti untuk mendukung bahwa reduksi yang terpisah dari 0.25 dan 0.50 karena tinggi tekanan air dan tekanan osmotic menyebabkan reduksi absorbsi air sebesar 0.875.
Evapotranspirasi dapat diuraikan menjadi evaporasi dan transpirasi dengan metode dual crop coefficient (Allen et.al., 1998), metode Rosenthal (Handoko, 1995). Koefisien tanaman merupakan jumlah dari koefisien crop basal dan koefisien evaporasi. Koefisien evaporasi dipengaruhi oleh teknik budidaya. Koefisien evaporasi pada irigasi drip sebesar 0.3 kali koefisien evaporasi irigasi konvensional (Allen et.al., 1998). Koefisien evaporasi pada mulsa jerami sebesar 0.67 kali koefisien evaporasi tanpa mulsa (Zaongo et. al., 1997).
Allen et al. (1998) memperkenalkan konsep evapotranspirasi reference
(Eto), evapotranspirasi crop standar (Etc) dan evapotranspirasi crop non-standar. Evapotranspirasi reference merupakan evapotranspirasi dari rumput standar dengan irigasi baik, sehingga hanya tergantung dari faktor-faktor iklim. Evapo-transpirasi crop standar merupakan evapotranspirasi dari lahan pertanaman dengan pengelolaan agronomi yang optimal dan irigasi yang baik. Evapotranspi-rasi crop non-standar merupakan evapotranspirasi lahan pertanaman dengan ting-kat pengelolaan agronomi sub-optimal dan mengalami kendala lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan dan membatasi evapotranspirasi.
ketersediaan air bagi tanaman dan kebutuhan air irigasi. Sistem air tanah digunakan untuk pembentukan persamaan Indeks Potensial Air (Karamanos dan Papatheohari, 1999),. Untuk pembentukan persamaan FAO-56 (Allen, 2000) digunakan input dari sistem atmosfir, tanah dan tanaman. Dalam penelitian ini evapotranspirasi diukur dengan prinsip neraca air.
Hubungan Evapotranspirasi dengan Produksi
Ketersediaan air tanah akan mempengaruhi besarnya evapotranspirasi. Berbagai persamaan hubungan evapotranspirasi dengan produksi telah dikembangkan. Semakin besar evapotranspirasi akan menyebabkan semakin besar produksi (Aranjuelo et al., 2005, Tao et al., 2005). Hubungan evapotrans-pirasi dengan produksi ( Howell, 2001) adalah:
EPA = Produksi ekonomis/ET . . . .
. . . (2.16)EPA adalah efisiensi pemakaian air, produksi ekonomis merupakan bahan tanaman yang dapat dijual. ET adalah evapotranspirasi selama pertumbuhan tanaman dari tanam sampai panen.
Hubungan evapotranspirasi dengan produksi dapat ditelaah berdasarkan atas proses sintesis bahan kering tanaman. Sintesis bahan kering tanaman dan fotosintesis diawali dari reaksi cahaya dengan input utama adalah H2O dan energi, kemudian diikuti oleh fiksasi CO2 dan metabolisme karbon (Salisbury dan Ross, 1992). Peubah utama dalam hubungan evapotranspirasi dengan produksi adalah H2O, CO2, dan energi radiasi cahaya. Pada kondisi CO2 dan energi radiasi cahaya diasumsikan tidak menjadi kendala, maka peubah dalam persamaan adalah air. Modifikasi radiasi cahaya dapat mempengaruhi efisiensi pemakaian air (Alarcon et al., 2005).
seragam akan menyebabkan pertumbuhan akar ke arah lateral yang tidak sama. Perkembangan akar mempengaruhi absorpsi air dan hara, dengan kata lain mempengarhi evapotranspirasi dan produksi (Oliveira, et al., 1998). Pengurangan jumlah daun dengan cara pemangkasan dapat meningkatkan efisiensi pemakaian air (D’Ales sadro et al., 2005) Gambar 1 menunjukkan hubungan antara air dengan produk metabolit primer maupun sekunder dalam lintasan biosintesis tanaman.
Hubungan antara evapotranspirasi dan produksi secara kuantitatif dinyata-kan dalam efisiensi pemakaian air (Kim et al., 2000) sebagai berikut:
Efisiensi Pemakaian Air = BKB/E
. . . (2.17)BKB adalah bobot kering biomasa (mg)dan E adalah evapotranspirasi (g). Perbedaan produksi biomasa pada kondisi defisit air dapat disebabkan oleh perbedaan evapotranspirasi (Kim et. al, 2000). Evapotranspirasi dipengaruhi oleh perbedaan ketersediaan air akibat perbedaan frekuensi irigasi (Sulistyono, 2003).
Efisiensi pemakaian air dapat diduga dari sifat pertukaran gas dalam daun berdasarkan gradien konsentrasi CO2 dari atmosfir (Ca) terhadap konsentrasinya dalam daun (Ci) dibagi dengan gradien tekanan uap air dari dalam daun (ei) dan atmosfir (ea) (Ehleringer et al., 1991, Ismail dan Hall, 1993). Hubungan tersebut dapat dituliskan dalam persamaan:
Efisiensi Pemakaian Air = [Ca . ( 1 - Ci/Ca)] / [1.6. (ei - ea)]
. .(2.18) Konstanta 1.6 menunjukkan perbedaan difusifitas uap air dan CO2.Sintesis Gula dan Hubungannya dengan Transpirasi
fruktosa, sukrosa, pentosa dan trigliserida. Selain fungsinya sebagai simpanan energi dan penyusun jaringan tanaman, karbohidrat berfungsi sebagai sumber kerangka karbon bagi sintesis senyawa metabolit lainnya.
CO2 + H2O
Glikolisis
Glukosa
Phosphoenol pyruvate
Polisakarida, glikosida
Siklus pentosa fosfat
Asam nukleat Erythrosa -4-Fosfat
Sikimate Asam sinamik, sen-yawa aromatic, lig-nan
Pyruvate
Asam amino aromatik
Asam amino alipatik
Peptida, protein,penisil in, peptide siklik,
Alkaloid
Siklus Asam Si-trat
Asetyl Co-A
Mevalonat
Isoprenoid (ter-pen,steroid, ca-rotenoid)
Poliketida
Asam lemak
Poliphenol
Gambar 1. Lintasan Biosintesis dalam Tanaman (Mann, 2001).
Kondisi lingkungan mempengaruhi arah dari metabolisme ini. Pada kondisi kekurangan air, atau transpirasi rendah, karbohidrat lebih banyak dalam bentuk gula dari pada bentuk pati (Salisbury dan Ross, 1992).
Biosintesis sukrosa dan pati disajikan pada Gambar 2 (Taiz dan Zeiger, 1991). Kecepatan sintesis pati dalam kloroplas berkoordinasi dengan sintesis sukrosa dalam sitosol. Triosa fosfat yang dihasilkan dalam kloroplas oleh siklus Calvin dapat digunakan untuk sintesis pati ataupun sintesis sukrosa. Bila bagian tanaman memerlukan sukrosa lebih tinggi dari bagian lain maka lebih sedikit karbon yang disimpan dalam bentuk pati. Perimbangan sintesis pati atau sukrosa dipengaruhi oleh faktor lingkungan antara lain ketersediaan air tanah. Ketersediaan air tanah yang rendah menyebabkan potensial air tanah rendah. Agar akar dapat mengabsorbsi air maka akar harus menurunkan potensial air selnya menjadi lebih rendah dari potensial air tanah (Martin dan Stephens, 2005) dengan cara meningkatkan kecepatan sintesis sukrosa lebih cepat dari sintesis pati, sehingga pada ketersedi-aan air rendah atau transpirasi rendah kandungan gula meningkat. Berdasarkan mekanisme perimbangan sintesa gula terlarut dengan pati tersebut, maka dapat dibuat hipotesis bahwa hubungan antara transpirasi dengan kandungan gula adalah:
Kandungan gula = Ks/transpirasi
. . . .. . .
(2.19)Ks adalah efisiensi sintesis gula terhadap transpirasi.
Sintesis Nikotin dan Hubungannya dengan Transpirasi
asam amino. Alkaloid semu mengandung cincin hiterosiklik nitrogen yang disintesis dari prekursor selain asam amino.
Alkaloid tembakau; nikotin, anabasin, dan anatabin disintesis dari asam nikotinik. Sintesis cincin pirolidin dari nikotin melibatkan putrescin bebas.
Stroma kloroplast Sitosol
membran dalam kloroplas
CO2
Siklus Calvin Triosa fosfat Triosa fosfat
P
Fruktosa 1,6 bifosfat
P
Adenosin difosfat glukosa Fruktosa 6 fosfat
Pati Sukrosa fosfat
P
Sukrosa
Simpan Transpor Simpan
Gambar 2. Sintesis Pati dan Sukrosa (Taiz dan Zeiger, 1991) Keterangan: P (fosfat).
Enzim yang berperan dalam sintesis pirolidin adalah ornitin dekarboksila-se, pu-trescine N-methyltransferase dan N-methyl putrescine oksidase (Mann, 2001). Biosintesis alkaloid pada tembakau disajikan pada Gambar 3.
Sintesis nikotin dipengaruhi oleh ketersediaan nitrogen karena merupakan unsur utamanya. Semakin rendah absorbsi nitrogen maka semakin rendah sintesis nikotin. Absorbsi nitrogen antara lain dipengaruhi oleh besarnya transpirasi, semakin kecil traspirasi semakin rendah kandungan nitrogen dalam tanaman karena nitrogen diabsorsi bersama aliran transpirasi (Weidner et al., 2005). Berdasarkan hubungan transpirasi dengan kandungan nikotin tersebut, maka dapat dibuat hipo-tesis bahwa hubungan transpirasi dengan kandungan nikotin adalah:
Kandungan nikotin = Kn . transpirasi
Kn adalah efisiensi sintesis nikotin terhadap transpirasi.
Tembakau
Kandungan nikotin dan gula bervariasi dari setiap grup daun. Berdasarkan posisi daun dalam tanaman, terdapat 6 grup daun dari paling bawah sampai pucuk yaitu priming, lug, cutter, smoking leaf, leaf dan tip. Priming
merupakan daun bagian paling bawah merupakan 12 % total bobot tanaman dengan kandungan nikotin paling rendah. Lug merupakan daun di atas priming
daun kurang lebih 19 % total bobot tanaman dengan kandungan nikotin tertinggi. Kualitas tembakau dipengaruhi oleh cara pengolahan, tipe tembakau dan kegunaannya seperti pada Tabel 1 (U.S. Dept of Agriculture, 2003). Kualitas ditulis dalam tiga simbul yang menunjukkan grup, kualitas dan warna misalnya B3F artinya grup daun leaf dengan tingkat kualitas tiga dan warna kuning kemerahan. Simbul untuk grup adalah B (leaf), H (smoking leaf),
C (cutter), X (lugs), P (priming), M (mix group), N (Nondescript), S (scrap). Tingkat kualitas adalah 1 (pilihan), 2 (sangat baik), 3 (baik), 4 (kurang baik), 5 (rendah), 6 (jelek). Tabel 2 menunjukkan komponen-komponen yang menentukan kualitas visual tembakau asapan.
Ornitin Putrescine
Ornitin dekarboksilase
+ S adenosyl-L-methionin
N-methyl putrescine oksidase
methylputrescine Garam N-methylpyrrolinium
C5H4NCOOH C5H4NCOO- Asam nikotinat
C5H4N-C5H9N C5H4N-C5H7NH C5H4N-C4H9NCH3 Anabasin Anatabin Nikotin
C5H4N-C4H9NH (Nornikotin) C5H4N-C4H8N ( Miosinin)
[image:47.612.131.504.260.423.2]Gambar 3. Biosintesis Alkaloid pada Tembakau (Mann, 2001)..
Tabel 1. Metode Pengolahan, Tipe Tembakau dan Penggunaannya.
Metode pengolahan Tipe Penggunaan
Udara Virginian
Burley Amarelo
Pipa, chewing (susur), cigarret, snuff
Matahari Cigar
Lokal Oriental
Cigar (cerutu) Semua penggunaan Cigaret, pipa
Api Lokal
Virginian
Semua penggunaan Pipa, cigaret, chewing
Asap Virginian
Amarelo
Cigaret, pipa
Sifat organoleptik ditentukan oleh nisbah antara gula terlarut dengan nikotin (Tabel 3). Kekuatan rasa tembakau dipengaruhi oleh kandungan senyawa nitrogen yaitu N total, N protein dan nikotin. Aroma dipengaruhi oleh kandungan tannin dan resin. Kehalusan (mildness) dipengaruhi oleh gula, pati asam oxalic.
Tabel 2. Unsur-unsur Kualitas Fisual Tembakau Asapan
Unsur Kualitas Tingkat Kualitas
Kematangan tidak matang, tidak membuka, dewasa, masak, millow
Struktur daun rapat, menutup, kaku, terbuka
Body bobot, berdaging, sedang, tipis
Minyak kering, berminyak, sangat berminyak
Lebar sangat sempit, sempit, normal, bulat
Panjang cm
Keseragaman %
Ketahanan kerusakan %
Ketahanan buangan %
Sumber: (U.S. Dept of Agriculture, 2003)
[image:48.612.136.507.408.519.2]Penelitian aspek ekofisiologi di Indonesia, yang telah dilakukan, berkai-tan dengan kualitas tembakau adalah pengaruh pemakaian atau residu KCl (Murdiyati dan Rakhman, 1995), pemupukan nitrogen (Rakhman, 1995; Djajadi dan Murdiyati, 1991; Rakhman et al., 1990; Djajadi et al., 1992), serta pupuk organik dan hayati (Djajadi, 1999). Pemakaian khlor yang berlebihan akan menyebabkan penurunan mutu tembakau yaitu warna, aroma, rasa dan daya bakar. Batas kandungan khlor daun 0.5 %. Pupuk nitrogen yang terlalu tinggi akan menurunkan kualitas karena kandungan klorofil tinggi, sehingga proses pengu-ningan sulit berlangsung.
Tabel 3. Nisbah Gula dan Nikotin dan Kaitannya dengan Sifat Organoleptik.
Gula terlarut %
Nikotin %
Nisbah Sifat organoleptik
25.2 1.57 15.8 halus (tidak keras), aroma kurang, kurang gatal
21.3 2.07 10.3 halus sampai sedang, tidak gatal
19.5 3.60 5.4 keras, sangat kuat, aroma sangat pahit, sangat gatal.
15.6 2.94 5.3 keras, kuat, beraroma, sangat gatal
BAHAN DAN METODE
Percobaan I: Pengaruh Tingkat dan Waktu Irigasi terhadap Produksi, Kandungan Gula dan Kandungan Nikotin
Percobaan dilaksanakan di Rumah Kaca Kebun Percobaan Institut Pertanian Bogor (IPB), Cikabayan, Darmaga, Bogor dari Februari sampai Juni 2004. Analisis nikotin dan gula dilakukan di Laboratorium Ekofisiologi Tanaman, Departemen Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian dan di Laboratorium Terpadu, IPB.
Metode
Percobaan faktorial disusun dalam Rancangan Acak Kelompok dengan empat ulangan. Perlakuan percobaan adalah jadwal irigasi yang merupakan kombinasi antara tingkat irigasi dan waktu irigasi.
Faktor I adalah tingkat irigasi terdiri atas tujuh taraf yaitu : M1: irigasi setiap 1 hari sampai kapasitas lapang M2: irigasi 2 hari sekali sampai kapasitas lapang M3: irigasi 4 hari sekali sampai kapasitas lapang M4: irigasi 6 hari sekali sampai kapasitas lapang
M5: irigasi setiap hari sampai 75% air tersedia (75 % AT) M6: irigasi setiap hari sampai 50% air tersedia (50 % AT) M7: irigasi setiap hari sampai 25% air tersedia (25 % AT) Faktor II adalah waktu irigasi terdiri atas lima taraf yaitu :
F1: dari 2 minggu setelah tanam sampai panen (T-P) F2: mulai 2 minggu sebelum panen daun (2 MSP) F3: mulai 4 minggu sebelum panen daun (4 MSP) F4: mulai 6 minggu sebelum panen daun (6 MSP) F5: mulai 8 minggu sebelum panen daun (8 MSP).
Pengamatan. Peubah yang diamati adalah:
1. Jumlah daun, tinggi tanaman pada saat berbunga, panjang dan lebar daun cutter, bobot kering setiap grup daun (Gambar Lampiran 1) dan bobot kering akar.
2. Kandungan gula dan nikotin, contoh daun diambil dari daun cutter pada setiap satuan percobaan saat panen. Analisis kandungan gula dan nikotin dilakukan dengan metode ekstraksi dan titrimetri (Lampiran 2).
3. Evapotranspirasi, pengukuran evapotranspirasi harian dilakukan pada setiap satuan percobaan dengan prinsip neraca air. Neraca air pada polibag dalam rumah kaca adalah I = E + Pk + ∆M, I adalah irigasi, E, evapotranspirasi, Pk, perkolasi dan ∆M, perubahan kadar air tanah. Semua unsur neraca air dinyatakan dalam satuan mm. Kadar air tanah diukur setiap hari sebelum irigasi dengan Tensionmeter dan Boyoucos Soil Mois-ture Meter
4. Transpirasi, transpirasi dihitung dengan metode Rosenthal et al. (1977) dalam Handoko (1995) seperti pada Lampiran 3.
Kalibrasi. Proses sintesis gula dan sintesis nikotin yang komplek menunjukkan bahwa dalam pembentukan persamaan sintesis nikotin dan sintesis gula digunakan beberapa prinsip seperti koefisiensi partisi gula yaitu nisbah antara gula dan karbohidrat, efisiensi sintesis nikotin yaitu nisbah antara kandungan nikotin dengan absorbsi nitrogen oleh akar, efisiensi penggunaan air yaitu nisbah antara bahan kering tanaman dengan transpirasi, koefisien partisi daun yaitu nisbah antara bahan kering daun dengan bahan kering total. Pembentukan persamaan sintesis gula dan sintesis nikotin diuraikan sebagai berikut.
Sintesis gula terlarut meningkat dengan menurunnya transpirasi ( Taiz dan Zeiger, 1991), sehingga dapat diduga bahwa kandungan gula berbanding terbalik dengan transpirasi yang dapat dinyatakan dalam persamaan:
Kandungan Gula = Ks/Tr
. . . (3.1)Ks adalah efisiensi sintesis gula dan Tr adalah transpirasi.
2. Kandungan nikotin
Nikotin disusun sebagian besar oleh nitrogen (Vickery and Vickery, 1981). Absorbsi nitrogen meningkat dengan meningkatnya transpirasi (Nye and Tinker, 1977 ), sehingga kandungan nikotin meningkat dengan meningkatnya transpirasi yang dapat ditulis dalam persamaan:
Kandungan nikotin = Kn . Tr
. . . (3.2)Kn adalah efisiensi sintesis nikotin.
Tahap pembentukan dan pengujian hubungan transpirasi dengan kandung-an gula dan nikotin disajikan pada Gambar 4. Analisis ragam digunakan untuk menguji pengaruh perlakuan percobaan terhadap peubah yang diamati. Uji korelasi dilakukan antara peubah transpirasi, kandungan gula dan nikotin. Anali-sis regresi untuk menguji hubungan kandungan gula dengan transpirasi serta hu-bungan kandungan nikotin dengan transpirasi (Mattjik dan Sumertajaya, 2002).
Analisis korelasi dan analisis regresi dilakukan terhadap data dari percoba-an rumah kaca. Jika analisis regresi menghasilkan persamaan kandungan gula atau nikotin yang nyata, maka dilakukan uji Khi Kuadrat dan uji F. Uji Khi Kuadrat dan uji F dilakukan dengan menggunakan data transpirasi, kandungan gula atau nikotin dari percobaan II.
Pelaksanaan Penelitian
bibit ke polibag dilakukan 45 hari setelah penyemaian, pada umur tersebut bibit sudah memiliki 3 helai daun..
Varietas tembakau yang digunakan adalah varietas Japlak, tanaman tersebut merupakan jenis tembakau rajangan. Media tanah latosol digunakan untuk penanaman dalam polibag berukuran 40 cm x 50 cm. Bobot kering tanah
Analisis ragam
Nyata Data Percobaan
Rumah kaca
Interaksi tingkat irigasi dengan waktu tanam
Kalibrasi dengan uji korelasi dan analisis regresi
Nyata
Persamaan kandungan gula atau kandungan nikotin
Data Percobaan Lapang
Validasi : Uji F dan khi kuadrat
Tidak nyata
[image:53.612.87.507.184.680.2]Persamaan kandungan gula atau kandungan nikotin yang valid
setiap pot 9.415 kg dengan kondisi kapasitas lapang pada kadar air 57% bobot kering, dan titik layu permanen pada kadar air 30%.
Dosis pupuk yang digunakan adalah 30 kg N/ha dalam bentuk urea, 30 kg N/ha dalam bentuk ZA (amonium sulfat), 30 kg K/ha diberikan 2 kali yaitu setengah dosis pada tujuh hari setelah tanam dan setengah dosis pada 28 hari set