Lampiran 1. Hasil Uji Normalitas, Uji Homogenitas, Uji Anova One way dan Uji LSD (Least Significance Different)
a. Tabel Hasil Uji Normalitas Data
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Perlakuan
Jumlah Nyamuk Mati
setelah 24 jam
N 18 18
Normal Parameters(a,b) Mean 3,50 10,61 Std. Deviation 1,757 6,482 Most Extreme
Differences
Absolute ,137 ,130
Positive ,137 ,116
Negative -,137 -,130
Kolmogorov-Smirnov Z ,580 ,553
Asymp. Sig. (2-tailed) ,890 ,919
a Test distribution is Normal. b Calculated from data.
b. Tabel Hasi Uji Homogenitas Varians
Test of Homogeneity of Variances
Jumlah Nyamuk Mati setelah 24 jam
Levene
Statistic df1 df2 Sig.
2,629 5 12 ,079
c. Tabel Hasil Uji Anova One Way
ANOVA
Jumlah Nyamuk Mati setelah 24 jam
Sum of
Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 693,611 5 138,722 80,548 ,000
Within Groups 20,667 12 1,722
Total 714,278 17
d. Tabel Hasil Uji Lanjutan LSD (Least Significance Different)
Multiple Comparisons
Dependent Variable: Jumlah Nyamuk Mati setelah 24 jam
(I) Perlakuan (J) Perlakuan
Mean Difference
(I-J)
Std.
Error Sig.
63 Lower Bound Upper Bound Lower Bound Upper Bound Lower Bound LSD Konsentrasi
5%
Konsentrasi
7,5% -3,333(*) 1,072 ,009 -5,67 -1,00 Konsetrasi 10% -5,000(*) 1,072 ,001 -7,33 -2,67
Konsentarsi
12,5% -10,000(*) 1,072 ,000 -12,33 -7,67
Konsentrasi
15% -12,000(*) 1,072 ,000 -14,33 -9,67 Kontrol 6,667(*) 1,072 ,000 4,33 9,00 Konsentrasi
7,5%
Konsentrasi 5%
3,333(*) 1,072 ,009 1,00 5,67 Konsetrasi 10% -1,667 1,072 ,146 -4,00 ,67
Konsentarsi
12,5% -6,667(*) 1,072 ,000 -9,00 -4,33
Konsentrasi
15% -8,667(*) 1,072 ,000 -11,00 -6,33 Kontrol 10,000(*) 1,072 ,000 7,67 12,33 Konsetrasi
10%
Konsentrasi 5%
5,000(*) 1,072 ,001 2,67 7,33
Konsentrasi
7,5% 1,667 1,072 ,146 -,67 4,00
Konsentarsi
12,5% -5,000(*) 1,072 ,001 -7,33 -2,67
Konsentrasi
15% -7,000(*) 1,072 ,000 -9,33 -4,67 Kontrol 11,667(*) 1,072 ,000 9,33 14,00 Konsentarsi
12,5%
Konsentrasi 5%
10,000(*) 1,072 ,000 7,67 12,33
Konsentrasi
7,5% 6,667(*) 1,072 ,000 4,33 9,00 Konsetrasi 10% 5,000(*) 1,072 ,001 2,67 7,33
Konsentrasi
15% -2,000 1,072 ,087 -4,33 ,33 Kontrol 16,667(*) 1,072 ,000 14,33 19,00 Konsentrasi
15%
Konsentrasi 5%
12,000(*) 1,072 ,000 9,67 14,33
Konsentrasi
7,5% 8,667(*) 1,072 ,000 6,33 11,00 Konsetrasi 10% 7,000(*) 1,072 ,000 4,67 9,33
Konsentarsi
12,5% 2,000 1,072 ,087 -,33 4,33 Kontrol 18,667(*) 1,072 ,000 16,33 21,00 Kontrol Konsentrasi 5% -6,667(*) 1,072 ,000 -9,00 -4,33
Konsentrasi
7,5% -10,000(*) 1,072 ,000 -12,33 -7,67 Konsetrasi 10% -11,667(*) 1,072 ,000 -14,00 -9,33
Konsentarsi
12,5% -16,667(*) 1,072 ,000 -19,00 -14,33
Konsentrasi
65
67
Lampiran 4. Dokumentasi Penelitian
Gambar 1. Andaliman yang akan digunakan
Gambar 3. Kotak Pemeliharaan
69
Gambar 5. Ekstrak Kental Andaliman
Gambar 7. Handsprayer Kapasitas 500 ml
71
Gambar 9. Wadah Pemeliharaan Jentik
Gambar 11. Proses Pembuatan Ekstrak Andaliman
73
Gambar 13. PenuanganLarutan Ekstrak Andaliman
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi,U.F., 2001. Perubahan Ekologi dan Aspek Perilaku Vektor, Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, Departemen Kesehatan RI.
Andayanie, Like. 2000. Kajian daya insektisida Alami nabati Kulit Buah Manggis (Garcinia mangostana. L), buah Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.), getah Gambir (Uncaria gambir Roxb.) dan daun the (Camellia sintesis L.) terhadap perkembangan hama gudang Sitophilus zeamais Motsch. Skripsi. Bogor: Fakultas Teknologi pertanian IPB
Chahaya, I. 2003. Pemberantasan Demam berdarah di Indonesia. http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-indra%20c5.pdf. Diakses tanggal 28 April 2015.
Chandra, Budiman. 2007. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Cetakan I. EGC. Jakarta
Depkes RI , Dirjen PP & PL, 2005. Pencegahan dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Jakarta
____________. 2010. Demam Berdarah Dengue. Buletin Jendela Epidemiologi, Volume 2, Agustus 2010. Jakarta.
Dinkes Medan, 2015. Analisis Penyakit Demam Berdarah Di Kota Medan Tahun 2014. Rapat Rutin Bidang Kesehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Kota Medan. Medan
Dinkes Prop. Sumatera Utara, 2009. Program Penanggulangan Malaria di Provinsi Sumatera Utara. Medan
Djojosumarto, Panut, 2000. Teknik Aplikasi Pestisida Pertanian. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Dongus, Stefan. 2007. Participatory mapping of target areas to enable operational larval source management to suppress malaria vector mosquitoes in Dar es Salaam, Tanzania. International Journal of Health Geographics.
59
Gandahusada, S, Ilahude H.D, Pribadi W. 2006. Parasitologi Kedokteran: Cetakan Ke-VI. Balai Penerbit FK UI. Jakarta.
Govindarajan, Marimuthu. 2010. Larvicidal and repellent activities of Sida acuta Burm. F. (Family: Malvaceae) against three important vector mosquitoes. Asian Pacific Journal of Tropical Medicine.
Hasairin, A. 1994. Etnobotani Tanaman Rempah dalam Makanan Adat Masyarakat Batak Angkola dan Mandailing. Thesis. Bogor: Program Pascasarjana IPB
Howard, Annabel FV. 2007. Malaria mosquito control using edible fish in western Kenya: preliminary findings of a controlled study. BMC Public Health.
Jumar, 2000. Entomologi Pertanian. PT. Rineka Cipta. Jakarta.
Kardinan, A. 2004. Pestisida Nabati Ramuan Dan Aplikasi. PT. Penebar Swadaya. Jakarta
_________. 2009. Tanaman Pengusir dan Pembasmi Nyamuk. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Kemenkes RI, 2011. Epidemiologi Malaria Di Indonesia. Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan, Triwulan I, April 2011. Jakarta.
Levine, D. Norman. 1994. Buku Pelajaran Parasitologi Veterniter. Cetakan kedua. Yogyakarta: UGM.
Massachusetts Department of Public Health (MDPH), 2008. Mosquito Repellents.
http://www.mass.gov/Eeohhs2/docs/dph/cdc/factsheets/mosquito_repellent s.pdf. Diakses tanggal 18 Mei 2015
Nababan, E. N. W. 2012. Histoteknik Hati Mencit (Mus musculus L.) Strain DDW Setelah Pemberian Ekstrak Segar dan Ekstrak Etanol Buah Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.). Skripsi. Medan: USU Naria, Evi. 2005. Insektisida Nabati Untuk Rumah Tangga. Fakultas Kesehatan
Masyarakat, USU
Oktavianingrum. 2007. Uji Aktivitas Minyak Atsiri Kulit Durian (Durio
zibethinus murr) Sebagai Obat Nyamuk Elektrik Terhadap Nyamuk Aedes aegypti. Skripsi. Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Rosdiana Safar, 2009. Parasitologi Kedokteran Protozoologi Helmintologi entomologi. Yrama Widya. Bandung
Santi, Leny Yos. 2011. Efektifitas Kulit Durian (Durio zibethinus murr) Sebagai Pengendali Nyamuk Aedes spp. Tahun 2010. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Medan
Sembel, D.T. 2009. Entomologi Kedokteran. Penerbit ANDI. Yogyakarta. Siregar, F.A. 2004. Epidemiologi dan Pemberantasan Demam Berdarah
Dengue (DBD) di Indonesia. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Medan.
Soedarto, 1992. Atlas Entomologi Kedokteran. EGC. Jakarta. ---, 1992. Entomologi Kedokteran. EGC. Jakarta.
Soegijanto, Soegeng, 2006. Demam Berdarah Dengue. Airlangga University Press. Surabaya.
Soemirat, Juli, 2007. Kesehatan Lingkungan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Spielman, A.,and M. D’Antonino. 2001. Mosquito: A Natural History of Our
Most Persistent and Deadly Foe. Hyperion Press, New York
Vinayagam, A. 2008. Larvicidal Activity of Some Medicinal Plant Extracts Against Malaria Vector Anopheles stephensi. Research Journal of Parasitology.
WHO. 2005. Pencegahan dan Pengendalian Dengue dan Demam Berdarah Dengue: Panduan Lengkap. EGC. Jakarta.
WHO. 2009. Guidelines For Efficacy Testing of Insecticides for Indoor and Outdoor Ground-Applied Space Spray Applications. WHOPES. Geneva, Swiss
61
Wijaya, C. H. 1999. Andaliman, rempah tradisional Sumatera Utara dengan Antioksidan dan Antimikroba. Buletin Teknologi dan Industri Pangan IPB. Bogor
Yahya, Harun. 2007. Nyamuk Pemakan Darah. http://id.harunyahya.com/id/ Artikel/4536/nyamuk-pemakan-darah diakses tanggal 26 Juni 2015
Yudhastuti, Ririh dan Anny Vidiyani, 2005. Hubungan Kondisi Lingkungan, Kontainer, dan Perilaku Masyarakat dengan Keberadaan Jentik Nyamuk Aedes aegypti di Daerah Endemis Demam Berdarah Dengue Surabaya. Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol.1, No.2, Januari 2005. Surabaya
Yunita, Elena Astrid., Nanik Heru Suprapti., Jafron Wasiq Hidayat. 2009.
Pengaruh Ekstrak daun Teklan (eupatorium riparium) terhadap Mortalitas dan Perkembangan Larva Aedes aegypti, 11(1): 11-17. FMIPA. UNDIP
35
BAB III
METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini berbentuk eksperimen semu (Quasi eksperiment) yaitu meneliti efektifitas ekstrak andaliman (Zanthoxylum acanthopodium) sebagai insektisida nabati dalam pengendalian nyamuk, dan tidak mengabaikan faktor yang mempengaruhi kehidupan nyamuk, yaitu suhu dan kelembaban udara. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Rancangan Acak Lengkap (RAL) dimana percobaan dilakukan dengan 5 macam perlakuan dan satu kontrol, perlakuan penyemprotan dengan konsentrasi ekstrak andaliman 0%, 5%, 7,5%, 10%, 12,5% dan 15% serta 3 kali pengulangan.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1 Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Balai Teknik Kesehatan Lingkungan Kota Medan dan pembuatan ekstrak dilakukan di Laboratorium Obat Tradisional Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.
3.2.2 Waktu Penelitian
Waktu penelitian dilakukan pada bulan September-Desember 2015. 3.3. Objek Penelitian
36
Pengulangan dilakukan sebanyak 3 kali pengulangan. Jumlah sampel diambil berdasarkan kebutuhkan penelitian sebanyak 360 ekor, dimana jumlah sampel nyamuk dewasa diperoleh dari jumlah unit percobaan dikali jumlah sampel satu unit percobaan dikali tiga tahap pengulangan.
Jumlah sampel = 6 unit percobaaan x 20 ekor nyamuk x 3 pengulangan = 360. Jadi jumlah nyamuk yang menjadi sampel dalam penelitian ini sebanyak 360 ekor nyamuk dewasa.
Nyamuk dewasa yang digunakan pada percobaan ini adalah jenis nyamuk Culex karena paling mudah didapatkan. Nyamuk merupakan nyamuk biakan yaitu nyamuk yang diternakkan sendiri hingga dewasa.
3.4 Metode Pengumpulan Data
3.4.1 Data Primer
Data primer diperoleh dari hasil penelitian yang akan dilakukan di Laboratorium Balai Teknik Kesehatan Lingkungan Kota Medan berupa data jumlah nyamuk dewasa yang mati setelah disemprotkan ekstrak andaliman dengan konsentrasi 5%, 7,5%, 10%, 12,5% dan 15%.
3.4.2 Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari buku-buku dan jurnal serta literatur-literatur yang mendukung sebagai bahan kepustakaan.
3.5 Alat dan Bahan Penelitian
3. Blender
4. Cawan Porselin 5. Hygrometer 6. Kain Kasa
7. Kotak pemeliharaan 8. Kotak pengamatan 9. Lemari Pengering 10. Lumpang Porselin 11. Peciduk Jentik 12. Penangas Air 13. Perkolator 14. Pipet
15. Rotary Evaporator 16. Thermometer 17. Timbangan
18. Wadah tempat andaliman 19. Wadah tempat larva 3.5.2 Bahan Penelitian
1. Air gula 2. Aquadest
38
5. Jentik nyamuk
6. Nyamuk stadium dewasa 3.6 Prosedur Penelitian
3.6.1. Cara Mendapatkan Nyamuk Stadium Dewasa
Untuk mendapatkan nyamuk stadium dewasa dilakukan dengan memeliharalarva nyamuk dengan cara sebagai berikut :
1. Siapkan kotak pemeliharaan nyamuk dengan ukuran 60 cm x 60 cm x 60 cm.
2. Sediakan wadah kecil yang berisi air.
3. Kemudian masukkan larva nyamuk ke dalam wadah kecil yang berisi air dan letakkan di dalam kotak pemeliharaan.
4. Atur suhu dan kelembaban yang cocok untuk pertumbuhan nyamuk di dalam kotak pemeliharaan.
5. Amati kotak pemeliharaan dan apabila jentik telah berubah menjadi kepompong lalu masukkan air gula/madu kedalam kotak pemeliharaan untuk makanan nyamuk setelah keluar dari kepompong.
6. Setelah nyamuk tersebut keluar dari kepompong nyamuk tersebut ditangkap dengan aspirator dan dipindahkan ke kotak perlakuan masing-masing sebanyak 20 ekor sebagai sampel penelitian.
7. Pada akhir penelitian nyamuk yang masih hidup dibunuh menggunakan tangan.
3.6.2 Cara Mendapatkan Ekstrak Andaliman
Untuk mendapatkan ekstrak andaliman dilakukan dengan cara sebagai berikut (Oktavianingrum, 2007) :
1. Siapkan andaliman sebanyak 2500 gram kemudian dikeringkan hingga dalam lemari pengering selama 1-2 hari.
2. Andaliman yang sudah kering kemudian dihaluskan dengan cara ditumbuk atau dibelender.
3. Serbuk andaliman yang telah diblender kemudian dicampur dengan etanol 96% sebanyak ± 10 liter dan diaduk, kemudian dibiarkan selama ±1/2 jam agar seluruh serbuk andaliman yang terendam tercampur rata. 4. Serbuk andaliman dimasukkan ke dalam perkolator dan direndam
dengan etanol selama 24 jam.
5. Ekstrak diperkolasi selama 1-2 minggu
6. Ekstrak kasar etanol dipekatkan dengan rotary evaporator membentuk ekstrak pekat etanol.
7. Ekstrak pekat etanol kemudian di uapkan dengan penangas air untuk menghasilkan ekstrak kental.
8. Banyaknya ekstrak yang dibutuhkan selama penelitian adalah 75 gram. 3.6.3 Cara Melakukan Pengenceran Konsentrasi Larutan Ekstrak
Andaliman
40
i. Konsentrasi 5% =
= 5 gram
Maka untuk konsentrasi 5 % diperlukan 5 gram ekstrak kental andaliman kemudian diencerkan dengan etanol 96% sampai dengan volume 100 ml.
ii. Konsentrasi 7,5% =
= 7,5 gram
Maka untuk konsentrasi 7,5 % diperlukan 7,5 gram ekstrak kental andaliman kemudian diencerkan dengan etanol 96% sampai dengan volume 100 ml.
iii. Konsentrasi 10% =
= 10 gram
Maka untuk konsentrasi 10 % diperlukan 10 gram ekstrak kental andaliman kemudian diencerkan dengan etanol 96% sampai dengan volume 100 ml.
iv. Konsentrasi 12,5% =
= 12,5 gram
Maka untuk konsentrasi 12,5 % diperlukan 12,5 gram ekstrak kental andaliman kemudian diencerkan dengan etanol 96% sampai dengan volume 100 ml.
v. Konsentrasi 15% =
= 15 gram
3.6.4 Cara Pembuatan Kotak Pengamatan dan Kotak Pemeliharaan
Kotak pemeliharaan berukuran 60 cm x 60 cm x 60 cm (p x l x t), dan kotak pengamatan dengan ukuran 45 cm x 45 cm x 30 cm (p x l x t). Tiap sisi kotak ditutup dengan kain kasa (kasa nyamuk).
3.6.5 Penggunaan Botol Sprayer untuk Percobaan
Botol sprayer yang digunakan adalah botol jenis hand sprayer kapasitas 500 ml. Jenis nozzle yang digunakan adalah Cone (jenis kerucut) yang memiliki ukuran droplet ± 40 µm.
3.6.6 Cara Melakukan Percobaan
1. Masing-masing 20 ekor nyamuk stadium dewasa diambil dari kotak pemeliharaan dengan menggunakan alat aspirator dan dimasukkan ke dalam kotak perlakuan.
2. Lakukan penggunaan penyemprotan sesuai dengan konsentrasi ekstrak andaliman dengan jarak 30 cm dari masing-masing kotak perlakuan. 3. Penyemprotan dilakukan secara merata dan tidak boleh terlalu basah
sebanyak 4 kali dari setiap sisi kotak.
4. Amati dan catat nyamuk yang knock down setelah 1 jam 5. Amati dan catat nyamuk yang mati setelah 24 jam.
6. Untuk kotak perlakuan dan kotak kontrol dilakukan pencucian dan di jemur setiap akan dilakukan pengulangan.
3.7 Defenisi Operasional
42
etanol 96% untuk mendapatkan konsentrasi 5%, 7,5%, 10%, 12,5%, dan 15% yang kemudian digunakan sebagai insektisida nabati terhadap nyamuk.
2. Jumlah nyamuk yang mati adalah : banyaknya nyamuk yang mati setelah dilakukan perlakuan penyemprotan hasil beberapa konsentrasi ekstrak andaliman yang diamati setelah 24 jam dan ditandai dengan nyamuk tidak bergerak, dan tidak dapat terbang.
3. Suhu adalah temperatur yang diukur selama penelitian dilakukan dengan menggunakan alat thermometer, dinyatakan dalam derajat celcius.
4. Kelembaban adalah : kelembaban udara di tempat penelitian yang diukur dengan menggunakan alat hygrometer, dinyatakan dalam persen.
5. Keefektifan ekstrak andaliman adalah : kosentrasi ekstrak andaliman yang paling rendah yang dapat membunuh nyamuk uji sebanyak 90 % hewan percobaan (LD90).
3.8 Analisis Data
3.8.1 Uji Normalitas Data
Apabila hasil uji menunjukkan sebaran data berdistribusi normal, maka dapat langsung dilanjutkan dengan uji Anova. Jika sebaran data tidak normal, maka dilanjutkan dengan uji non parametrik (uji kruskal-wallis).
3.8.2 Uji Anova
Uji Anova satu faktor yang digunakan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan rata-rata kematian nyamuk, pada berbagai konsentrasi ekstrak andaliman dalam beberapa waktu pengamatan.
3.8.3 Uji Lanjutan (Post Hoc Test)
44
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1 Pengukuran Suhu dan Kelembaban
Saat penelitian dilakukan pengukuran suhu ruangan dan kelembaban ruangan sebagai faktor yang mempengaruhi perkembangan hidup nyamuk.
4.1.1 Suhu Udara
Hasil pengukuran suhu udara ruangan yang diukur menggunakan thermometer pada seluruh perlakuan dan pada setiap pengulangan selama penelitian berlangsung adalah 29oC.
4.1.2 Kelembaban Udara
Hasil pengukuran kelembaban udara ruangan yang diukur menggunakan hygrometer pada seluruh perlakuan dan pada setiap pengulangan selama penelitian berlangsung adalah 80%.
4.2 Pengaruh Ekstrak Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium) sebagai Insektisida Nabati Nyamuk
Pada perlakuan kontrol 0% tidak didapat nyamuk yang mengalami knock down (setelah 1 jam perlakuan) dan juga nyamuk yang mati (setelah 24 jam perlakuan) atau jumlah kematian pada konsentrasi kontrol adalah 0.
Hasil pengamatan untuk konsentrasi 5%, 7,5%, 10%, 12,5% dan 15% dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 4.1 Kematian Nyamuk pada konsentrasi 5% Ekstrak Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium) Pengulangan Nyamuk Uji per Percobaan (Ekor) Knock Down (Setelah 1 Jam) Persentase (%) Kematian (Setelah 24 jam) Persentase (%)
I 20 4 20 5 25
II 20 6 30 6 30
III 20 8 40 9 45
Rata-Rata 6 30 6,67 33,35
Tabel 4.1 di atas menunjukkan bahwa pada perlakuan konsentrasi 5% didapatkan efek knock-down (setelah 1 jam perlakuan) dengan rata-rata nyamuk yang lumpuh sebanyak 6 ekor, dan rata-rata kematian nyamuk setelah 24 jam perlakuan adalah sebanyak 6-7 ekor nyamuk.
Tabel 4.2 Kematian Nyamuk pada konsentrasi 7,5% Ekstrak Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium) Pengulangan Nyamuk Uji per Percobaan (Ekor) Knock Down (Setelah 1 Jam) Persentase (%) Kematian (Setelah 24 jam) Persentase (%)
I 20 10 50 9 45
II 20 15 75 11 55
III 20 15 75 10 50
Rata-Rata (Ekor) 13,33 66,65 10 50
46
yang lumpuh sebanyak 12-13 ekor, dan rata-rata kematian nyamuk setelah 24 jam perlakuan adalah sebanyak 10 ekor nyamuk.
Tabel 4.3 Kematian Nyamuk pada konsentrasi 10% Ekstrak Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium) Pengulangan Nyamuk Uji per Percobaan (Ekor) Knock Down (Setelah 1 Jam) Persentase (%) Kematian (Setelah 24 jam) Persentase (%)
I 20 12 60 11 55
II 20 13 65 13 65
III 20 18 90 11 55
Rata-Rata (Ekor) 14,33 71,65 11,67 58,35
Tabel 4.3 di atas menunjukkan bahwa pada perlakuan konsentrasi 10% didapatkan efek knock-down (setelah 1 jam perlakuan) dengan rata-rata nyamuk yang lumpuh sebanyak 13-14 ekor, dan rata-rata kematian nyamuk setelah 24 jam perlakuan adalah sebanyak 11-12 ekor nyamuk.
Tabel 4.4 Kematian Nyamuk pada konsentrasi 12,5% Ekstrak Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium) Pengulangan Nyamuk Uji per Percobaan (Ekor) Knock Down (Setelah 1 Jam) Persentase (%) Kematian (Setelah 24 jam) Persentase (%)
I 20 17 85 18 90
II 20 18 90 16 80
III 20 19 95 16 80
Rata-Rata (Ekor) 18 90 16,67 83,35
Tabel 4.5 Kematian Nyamuk pada konsentrasi 15% Ekstrak Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium) Pengulangan Nyamuk Uji per Percobaan (Ekor) Knock Down (Setelah 1 Jam) Persentase (%) Kematian (Setelah 24 jam) Persentase (%)
I 20 18 90 17 85
II 20 17 85 20 100
III 20 19 95 19 95
Rata-Rata (Ekor) 18 90 18,67 93,35
Tabel 4.5 di atas menunjukkan bahwa pada perlakuan konsentrasi 15% didapatkan efek knock-down (setelah 1 jam perlakuan) dengan rata-rata nyamuk yang lumpuh sebanyak 18 ekor, dan rata-rata kematian nyamuk setelah 24 jam perlakuan adalah sebanyak 18-19 ekor nyamuk.
Tabel 4.6 Rata-Rata Kematian Nyamuk pada 6 jenis konsentrasi Ekstrak Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium)
Konsentrasi Jumlah Nyamuk (Ekor)
Rata-Rata Kematian Nyamuk
Jumlah (Ekor)
Persentase (%)
0% 20 0 0
5% 20 6,67 33,35
7,5% 20 10 50
10% 20 11,67 58,35
12,5% 20 16,67 83,35
15% 20 18,67 93,35
48
Gambar 3. Grafik Persentase Kematian Nyamuk setelah 24 jam perlakuan
Gambar 3. Di atas menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak andaliman (Zanthoxylum acanthopodium) yang diberikan, semakin tinggi juga jumlah nyamuk yang mati. Total kematian nyamuk berbanding lurus dengan peningkatan konsentrasi ekstrak andaliman yang diberikan.
4.3 Analisis Statistik
Hasil penelitian kemudian dianalisis menggunakan uji Anova One Way dan uji lanjutan LSD (Least Significance Different). Data yang ada terlebih dahulu diuji normalitas dan homogenitas variannya, dan didapatkan p-value untuk hasil uji normalitas data > 0,05 yang artinya data berdistribusi normal, sedangkan untuk uji homogenitas juga didapatkan p-value > 0,05 yang artinya varians bersifat homogen. Data penelitian yang diperoleh berdistribusi normal dan memliki varians yang homogen, maka dari itu sudah memenuhi syarat untuk dilanjutkan dianalisis menggunakan uji Anova One Way.
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
0 5 7.5 10 12.5 15
K em at ian Nyam u k (% )
4.3.1 Hasil Uji Anova One Way
Uji Anova Satu Arah (One Way Anova) dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan rata-rata kematian nyamuk dewasa pada berbagai konsentrasi ekstrak andaliman (Zanthoxylum acanthopodium).
Tabel 4.7 Hasil uji Anova One Way Kematian Nyamuk dengan berbagai konsentrasi Ekstrak Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium)
Kematian Nyamuk Setelah 24 Jam Jumlah Kuadrat Derajat Bebas (df) Kuadrat Tengah (Mean Square) P
Perlakuan 693,611 5 138,722 < 0,001
Galat 20,667 12 1,722
Total 714,278 17
Berdasarkan hasil uji statistik Anova One Way diperoleh p-value = < 0.001 < α 0,05 untuk jumlah kematian nyamuk dewasa setelah 24 jam secara keseluruhan, maka Ho ditolak dan Ha diterima, sehingga dapat dikatakan bahwa terdapat perbedaan rerata atau terdapat sekurang-kurangnya dua rataan yang berbeda antara jumlah kematian nyamuk dewasa pada berbagai konsentrasi ekstrak andaliman (Zanthoxylum acanthopodium).
4.3.2 Hasil Uji LSD (Least Significance Different)
50
[image:32.595.112.517.201.460.2]statistik atau tidak. Hasil uji LSD (Least Significance Different) dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 4.8 Hasil uji LSD (Least Significance Different) Kematian Nyamuk dengan berbagai konsentrasi Ekstrak Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium)
Konsentrasi Insektisida
Beda Rerata (I – J) P Konsentrasi (I) Konsntrasi (J)
Konsentrasi 0% (Kontrol)
Konsentrasi 5% -6,667(*) < 0,001 Konsentrasi 7,5% -10,000(*) < 0,001 Konsentrasi 10% -11,667(*) < 0,001 Konsentrasi 12,5% -16,667(*) < 0,001 Konsentrasi 15% -18,667(*) < 0,001 Konsentrasi 5% Konsentrasi 7,5% -3,333(*) 0,009
Konsentrasi 10% -5,000(*) 0,001 Konsentrasi 12,5% -10,000(*) < 0,001 Konsentrasi 15% -12,000(*) < 0,001 Konsentrasi 7,5% Konsentrasi 10% -1,667 0,146 Konsentrasi 12,5% -6,667(*) < 0,001 Konsentrasi 15% -8,667(*) < 0,001 Konsentrasi 10% Konsentrasi 12,5% -5,000(*) 0,001
Konsentrasi 15% -7,000(*) < 0,001 Konsentrasi 12,5% Konsentrasi 15% -2,000 0,087 Keterangan : Tanda (*) = berbeda nyata (p-value < 0,05)
51
BAB V
PEMBAHASAN 5.1 Suhu dan Kelembaban
5.1.1 Suhu
Suhu merupakan satu faktor yang dapat mempengaruhi kehidupan nyamuk. Berdasarkan standar dari WHO (2009), suhu optimal ruangan laboratorium adalah 27 ± 2 oC, dan menurut Yotopranoto, et al. dalam Yudhastuti (2005), pertumbuhan nyamuk akan berhenti sama sekali bila suhu kurang dari 10°C atau lebih dari 40°C.
Selama penelitian berlangsung dilakukan pengukuran suhu dengan menggunakan thermometer untuk mengetahui berapa suhu ruangan ketika percobaan dilakukan, dan didapatkan rata-rata suhu ruangan sekitar 29°C. Hal ini berarti dapat dinyatakan suhu dalam ruangan selama penelitian cukup ideal bagi kehidupan nyamuk sehingga faktor suhu tidak mempengaruhi kematian nyamuk dalam penelitian ini.
5.1.2 Kelembaban
52
nyamuk. Standar yang diberikan WHO (2009) untuk kelembaban udara optimal ruangan laboratorium saat penelitian adalah 80 ± 10%.
Selama penelitian berlangsung kelembaban udara didalam ruangan diukur dengan menggunakan hygrometer, dengan hasil rata-rata didapatkan kelembaban udara ruangan sebesar 80%. Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa kondisi kelembaban dalam ruangan laboratorium cukup ideal untuk kebutuhan dan kelangsungan hidup nyamuk, sehingga faktor kelembaban tidak mempengaruhi kematian nyamuk dalam penelitian ini.
5.2 Pengaruh Ekstrak Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium) sebagai Insektisida Nabati Nyamuk
Hasil penelitian yang telah dilakukan menggunakan 5 jenis konsentrasi 5%, 7,5%, 10%, 12,5%, dan 15% ekstrak andaliman (Zanthoxylum acanthopodium) dan 1 kontrol dengan masing-masing pengulangan sebanyak 3 kali, maka didapatkan jumlah kematian nyamuk berbeda-beda pada setiap konsentrasi. Berdasarkan pengamatan setelah dilakukan penyemprotan ekstrak andaliman (Zanthoxylum acanthopodium) didapatkan hasil perhitungan rata-rata persentase jumlah kematian nyamuk pada konsentrasi 5% sebesar 30%, konsentrasi 7,5% sebesar 50%, konsentrasi 10% sebesar 55%, konsentrasi 12,5% sebesar 80% dan konsentrasi 15% sebesar 90%. Pada Gambar 3. dapat dilihat bahwa grafik kematian nyamuk meningkat seiring dengan peningkatan pemberian konsentrasi ekstrak andaliman (Zanthoxylum acanthopodium). Hal ini disebabkan karena
senyawa bioaktif dalam ekstrak andaliman (Zanthoxylum acanthopodium )
Hasil penelitian juga menunjukan bahwa pada kosentrasi 7,5% telah memenuhi
standar Lethal Dose 50 (LD50) yaitu telah membunuh sebanyak 50% total nyamuk
yang diuji. Dimana Lethal Dose 50 adalah kosentrasi tertentu suatu bahan yang
mampu mematikan sebanyak minimal 50% hewan percobaan (Siregar, 2008). Selain
itu juga bahwa pada kosentrasi 15% telah memenuhi standar Lethal Dose 90 (LD90)
yaitu telah membunuh sebanyak 93,35% total nyamuk yang diuji. Dimana Lethal
Dose 90 adalah kosentrasi tertentu suatu bahan yang mampu mematikan sebanyak
minimal 90% hewan percobaan. Berdasarkan standar yang ditetapkan WHO (2009),
insektisida dianggap efektif apabila dapat menyebabkan kematian nyamuk uji sebesar
90%. Sehingga dapat disimpulkan ekstrak andaliman (zanthoxylum acanthopodium)
efektif membunuh nyamuk pada konsentrasi 15%.
Pada saat penelitian juga dilakukan pengamatan jumlah nyamuk knock-down (lumpuh) setelah 1 jam perlakuan. Dari data knock-down yang disajikan pada tabel 4.1 sampai dengan tabel 4.5 rata-rata jumlah kejadian knock-down pada nyamuk pada masing-masing konsentrasi mencapai 50% bahkan lebih. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak andaliman (Zanthoxylum acanthopodium) memiliki daya knock-down atau daya melumpuhkan nyamuk cukup tinggi.
Menurut Kardinan dalam Naria (2005) senyawa bioaktif yang diduga bisa
berfungsi sebagai insektisida yang terkandung pada tumbuhan diantaranya adalah
golongan sianida, saponin, tannin, flavonoid, alkaloid, steroiddan minyak atsiri.
54
ekstrak andaliman (Zanthoxylum acanthopodium) sebagai insektisida nabati terhadap nyamuk.
Hasil uji lanjutan LSD (Least Significance Different) yang disajikan pada tabel 4.8 menunjukkan beberapa pasangan konsentrasi memiliki p-value < 0,05 yang berarti hipotesis nol atau H0 ditolak. Hal ini menunjukkan ada perbedaan nyata daya bunuh masing-masing konsentrasi ekstrak andaliman (Zanthoxylum acanthopodium) sebagai insektisida nabati terhadap kematian nyamuk dewasa, tetapi ada juga sebagian pasangan konsentrasi memiliki nilai p-value > 0,05, yang berarti hipotesis nol atau H0 diterima. Hal ini menunjukkan tidak ada perbedaan nyata daya bunuh pasangan konsentrasi ekstrak andaliman (Zanthoxylum acanthopodium) terhadap kematian nyamuk dewasa. Pasangan konsentrasi tersebut adalah pasangan konsentrasi 7,5% dengan konsentrasi 10% dan pasangan konsentrasi 12,5% dengan konsentrasi 15%. Jika dilihat dari hasil analisis uji lanjutan, maka konsentrasi ekstrak andaliman sebagai insektisida nabati nyamuk yang
paling efektif adalah konsentrasi 12,5% karena konsentrasi 12,5% dengan konsentrasi
15% tidak memiliki perbedaan nyata dalam membunuh nyamuk, tetapi apabila
mengikuti standar yang ditetapkan oleh WHO (2009), ekstrak andaliman sebagai
insektisida yang paling efektif dalam membunuh nyamuk adalah konsentrasi 15%.
5.3 Penggunaan Ekstrak Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium) sebagai Insektisida Nabati Nyamuk
56
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian mengenai efektivitas ekstrak andaliman (Zanthoxylum acanthopodium) sebagai insektisida nabati terhadap nyamuk dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Terdapat perbedaan jumlah kematian nyamuk dewasa pada konsentrasi 0%, 5%, 7,5%, 10%, 12,5% dan 15% dan peningkatan jumlah kematian nyamuk berbanding lurus dengan peningkatan konsentrasi ekstrak andaliman (Zanthoxylum acanthopodium).
2. Tidak terdapat kematian nyamuk pada konsentrasi kontrol, sedangkan Lethal Dossage 50 (LD50) didapatkan pada konsentrasi 7,5% dan Lethal Dossage 90 (LD90) didapatkan pada konsentrasi 15%.
3. Konsentrasi paling efektif dalam penggunaan ekstrak andaliman (Zanthoxylum acanthopodium) sebagai insektisida nabati terhadap nyamuk sesuai dengan standar WHO tahun 2009 adalah pada konsentrasi 15% karena mampu membunuh nyamuk uji lebih dari 90%.
5.2 Saran
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi suatu alernatif pengendalian vektor khususnya pada nyamuk sebagai insektisida nabati yang aman bagi lingkungan dan manusia.
2. Perlunya penelitian lebih lanjut menggunakan andaliman dengan
menentukan bahan aktif yang spesifik yang bersifat racun terhadap nyamuk.
3. Diharapkan dapat dilakukan pembudidayaan tanaman andaliman untuk
meningkatkan produksi andaliman agar andaliman mudah didapatkan di
10 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Nyamuk
Nyamuk termasuk jenis serangga dalam ordo diptera, dari kelas insekta. Nyamuk mempunyai dua sayap bersisik, tubuh yang langsing dan enam kaki panjang. Antar spesies berbeda-beda tetapi jarang sekali panjangnya melebihi 15 mm. (Levine, 1994)
Nyamuk mengalami empat tahap dalam siklus hidup yaitu telur, larva, pupa dan dewasa. Nyamuk menghisap darah bukan untuk mendapatkan makanan melainkan untuk mendapatkan protein yang terdapat dalam darah sebagai nutrisi telurnya. Nyamuk jantan hanya memakan cairannektar bunga, sedangkan nyamuk menghisap darah demi kelangsunganspesiesnya. (Spielman, 2001)
kembali ke kelompoknya setelah melakukan perkawinan. Sejak saat itu, nyamuk betina memerlukan darah untuk perkembangantelurnya.
2.1.1 Klasifikasi Nyamuk Kingdom : Animalia Philum : Arthrophoda Sub Philum : Mandibulata Kelas : Insecta Ordo : Diptera Sub ordo : Nematocera Familia : Culicidae
Ordo diptera ini mempunyai 2 sayap (di=dua, ptera=sayap), yang terdapat pada mesothorax dan terdapat juga sayap yang rudimenter berfungsi sebagai alat keseimbangan (haltera). Metamorfosis lengkap : telur – larva – pupa – dewasa. (Rosdiana, S, 2009)
2.1.2 Morfologi Nyamuk
Nyamuk dapat berperan sebagai vektor penyakit pada manusia dan binatang. Pada nyamuk betina, bagian mulutnya membentuk probosis panjang untuk menembus kulit manusia maupun binatang untuk menghisap darah. Nyamuk betina menghisap darah untuk mendapatkan protein untuk pembentukan telur yang diperlukan. Nyamuk jantan berbeda dengan nyamuk betina, dengan bagian mulut yang tidak sesuai untuk menghisap darah (Spielman, 2001)
12
nyamuk kulicini jantan palpinya melebihi panjang probosisnya. Sisik sayapnya ada yang lebar dan asimetris (mansonia) ada pula yang sempit dan panjang (Aedes, Culex) . Kadang-kadang sisip sayap membentuk bercak-bercak berwarna putih dan kuning atau putih dan cokelat, juga putih hitam (speckled). Ujung abdomen Aedes lancip (pointed) sedangkan ujung abdomen Mansonia seperti tumpul dan terpancung(truncated). (Gandahusada, 2006)
2.1.3 Siklus Hidup Nyamuk
Fase perkembangan nyamuk dari telur hingga dewasa sangat menakjubkan. Telur nyamuk biasanya diletakan di atas daun lembab atau kolam kering selama musim panas atau musim gugur. Sebelumnya si induk memeriksa permukaan tanah secara menyeluruh dengan reseptor halus di bawah perutnya reseptor ini berfungsi sebagai sensor suhu dan kelembaban. Setelah menemukan tempat yang cocok nyamuk mulai bertelur. Telur-telurtersebut panjangnya kurang dari 1 mm, tersusun dalam satu baris secaraberkelompok atau satu-satu. Beberapa spesies nyamuk meletakan telurnyasaling bergabung membentuk suatu rakit yang bisa terdiri dari 300 telur.(Spielman, 2001)
Telur berwarna putih dan tersusun rapi segera menjadi gelap warnanya, lalu menghitam dalam beberapa jam. Warna hitam ini memberikan perlindungan bagi larva agar tidak terlihat oleh burung atau serangga lain. Selain telur warna kulit sebagian larva juga berubah sesuai dengan lingkungan sehingga mereka lebih terlindungi. (Yahya, 2007)
mereka menjadi sempit, sehingga tidak bisa tumbuh menjadi lebih besar lagi, lalu melakukan pergantian kulit yang pertama. Pada tahap ini kulit yang keras dan rapuh mudah pecah. Larva nyamuk berganti kulit dua kali sampai selesai berkembang. Larva membuat pusaran kecil di dalam air dengan menggunakan dua anggota badan yang berbulu dan mirip kipas angin. Pusaran ini membuat bakteri atau mikroorganisme mengalir ke mulut. Sambil bergantung di dalam air, larva bernafas melalui pipa udara mirip “snorkel” yang digunakan para penyelam. Tubuhnya mengeluarkan cairan kental yang mencegah masuknya air ke lubang yang digunakan untuk bernafas. Jika tidak memiliki pipa udara, ia tidak akan mampu bertahan hidup. (Yahya, 2007)
Pergantian yang terakhir agak berbeda dengan sebelumnya. Pada tahap ini larva memasuki tahap pendewasaan yaitu kepompong, kepompong menjadi sangat sempit sehingga saatnya larva untuk keluar dari kepompong. Selama tahap terakhir larva menghadapi bahaya terputusnya pernafasan, sebab lubang pernafasannya yang mencapai permukaan air melalui pipa air akan tertutup. Sejak tahap ini pernafasan tidak lagi menggunakan lubang melainkan melalui dua pipa yang baru saja muncul pada bagian depan tubuhnya. Oleh Karena itu pipa-pipa tersembul dipermukakan air sebelum pergantian kulit. Nyamuk dalam kepompong menjadi dewasa dan siap terbang lengkap dengan semua organ dan organelnya, seperti antena, tubuh, kaki, dada,sayap, perut, dan matanya. (Yahya, 2007)
14
menggigit pada malam hari saja (culex dan anopheles) ada yang pada siang hari (Aedes) dan ada yang pada siang dan malam hari (Mansonia). Umur nyamuk dapat bertahan selama lebih dari dua minggu. (Gandahusada, 2006)
2.1.4 Jenis Nyamuk
Berdasarkan klasifikasinya nyamuk dapat dibedakan jenisnya dilihat dari perbedaan bentuk morfologi nyamuk dewasa, diantaranya :
1. Aedes
Nyamuk Aedes dapat menularkan penyakit demam berdarah dengue (DBD) melalui tusukannya. Nyamuk ini berwarna gelap yang dapat diketahui dari adanya garis putih keperakan dengan bentuk lyre pada toraknya dan mempunyai gelang putih pada bagian pangkal kaki, probosis bersisik hitam. (Suroso, T, 1998).
a. Klasifikasi
Pylum : Arthropoda Kelas : Aceloterata Class : Insekta Ordo : Diptera Genus : Aedes
b. Ciri-ciri nyamuk Aedes :
1) Bentuk tubuh kecil dan dibagian abdomen terdapat bintik-bintik serta berwarna hitam.
3) Aedes dewasa memiliki abdomen dengan ujung lancip, warna hitam dengan belang putih pada abdomen dan kaki.
4) Tidak membentuk sudut 90º.
5) Penyebaran penyakitnya yaitu pagi atau sore.
6) Hidup di air bersih serta ditempat-tempat lain yaitu kaleng-kaleng bekas yang bisa menampung air hujan.
2. Culex
Nyamuk dewasa dapat berukuran 4 – 10 mm (0,16 – 0,4 inci). Morfologi nyamuk Culex memiliki tiga bagian tubuh umum: kepala, dada, dan perut. Nyamuk Culex yang banyak di temukan di Indonesia yaitu jenis Culex quinquefasciatus.
a. Klasifikasi
Phylum : Arthropoda Class : Insecta Ordo : Diptera Family : Culicidae, Genus : Culex; b. Ciri-ciri Culex :
1) Culex betina memiliki antena berambut jarang (pilose) palpus lebih pendek daripada probocsis.
2) Culex jantan memiliki antena berambut lebat (plumose), palpus sama atau melebihi panjang proboscis.
16
4) Bentuk sayap simetris.
5) Berkembang biak di tempat kotor atau di rawa-rawa. 6) Penularan penyakit dengan cara membesarkan tubuhnya. 7) Menyebabkan penyakit filariasis
8) Warna tubuhnya coklat kehitaman 3. Mansonia
Nyamuk dewasa berwarna coklat kekuning-kuningan dan belang-belang putih Ada gambaran dua garis atau bundaran yang bewarna putih.
a. Klasifikasi
Phylum : Arthropoda Kelas : Insecta Ordo : Diptera Genus : Mansonia b. Ciri-ciri nyamuk Mansonia
1) Pada saat hinggap tidak membentuk sudut 90º. 2) Bentuk tubuh besar dan panjang.
3) Bentuk sayap asimetris.
4) Menyebabkan penyakit filariasis
5) Penularan penyakit dengan cara membesarkan tubuhnya. 6) Warna tubuhnya coklat kehitaman.
6. Anopheles
perubahan yaitu perubahan bentuk, perubahan sifat hidup dan perubahan struktur bagian dalam insekta atau juga metamorfosis.
a. Klasifikasi
Pylum : Arthropoda Kelas : Hexapoda Ordo : Diptera Genus : Anopheles b. Ciri-ciri nyamuk Anopheles
1) Kepala anophelini jantan memiliki antena yang berambut lebat (plumose), palpus terdiri atas probosis dengan ujung agak bulat.
2) Kepala betina memiliki venasi sayap kosta dan subkosta. 3) Bentuk tubuh kecil dan pendek
4) Antara palpi dan probosis sama panjang. 5) Menyebabkan penyakit malaria.
6) Pada saat hinggap membentu sudut 90º. 7) Warna tubunya coklat kehitaman.
8) Bentuk sayap simetris,bercak dan sisik gelap terang. 9) Berkembang biak di air kotor atau tumpukan sampah 2.1.5 Tempat Perindukan Nyamuk
18
nyamuk dan penyebarannya, sehingga akan mempengaruhi keseimbangan populasi nyamuk di alam.
Mengingat pentingnya kondisi lingkungan tersebut terhadap kehidupan larva dan penyebaran nyamuk, maka perlu dilakukan penelitian dengan mengamati aspek ekologi tempat perindukan nyamuk. Data ini penting sebagai informasi dalam upaya penanggulangan perkembangan populasi nyamuk di pemukiman rumah tangga. (Depkes RI,2005).
2.1.6 Suhu
Serangga memiliki kisaran suhu tertentu di mana dia dapat hidup. Di luar kisaran suhu tersebut, serangga akan mati kedinginan atau kepanasan. Pada umumnya kisaran suhu yang efektif adalah suhu minimum 15oC, suhu optimum 25oC, dan suhu maksimum 450C (Jumar, 2000). Menurut Yotopranoto, et al. dalam Yudhastuti (2005), dijelaskan bahwa rata-rata suhu optimum untuk pertumbuhan nyamuk adalah 250C – 270C dan pertumbuhan nyamuk akan berhenti sama sekali bila suhu kurang dari 100C atau lebih dari 400C. Menurut standar dari WHO (2009), suhu optimal ruangan laboratorium dalam melakukan percobaan untuk nyamuk adalah 27 ± 2 oC,
2.1.7 Kelembaban
berkisar 81,5 - 89,5% merupakan kelembaban yang optimal untuk proses embriosasi dan ketahanan hidup embrio nyamuk. Menurut standar yang diberikan WHO (2009) untuk kelembaban udara optimal ruangan laboratorium yang digunakan saat melakukan penelitian terhadap nyamuk adalah 80 ± 10%.
2.2 Nyamuk sebagai Vektor Penyakit
Vektor penyakit adalah serangga penyebar penyakit atau Arthropoda (Soemirat, 2007). Nyamuk merupakan anggota ordo Diptera yang berbentuk langsing, baik tubuhnya, sayap maupun probosisnya. Ciri-ciri khas ordo Diptera, yaitu (Soedarto, 1992):
1. Kepala, toraks, dan abdomen berbatas jelas 2. Mempunyai sepasang antena
3. Sepasang sayap selaput melekat pada segmen toraks yang kedua; pasangan sayap lainnya berubah bentuk menjadi alat keseimbangan
4. Mulut berfungsi untuk mengisap 5. Abdomen terdiri dari 10 segmen
20
2.2.1 Nyamuk sebagai Vektor Penyakit Malaria
Vektor siklik satu-satunya untuk penyakit malaria pada manusia dan pada kera adalah nyamuk Anopheles. Sementara itu, penyakit malaria pada burung dapat disebabkan oleh nyamuk Anopheles dan Culex.
Spesies-spesies Anopheles berikut adalah spesies yang penting di antara vektor malaria :
1. A. culicifacies (Asia Bagian Selatan)
2. A. hyrcanus sinensis (Asia Tenggara, Kepulauan Pasifik) 3. A. fluviatilis (India)
4. A. maculatus (Asia Tenggara dan Timur, Taiwan) 5. A. minimus (Asia Tenggara dan Timur, Taiwan) 6. A. stephensi (Asia Selatan)
7. A. sundaicus (Asia Tenggara dan Selatan, Indonesia) 8. A. umbrosus (Asia Tenggara, Indonesia)
9. A. farauti (Kepulauan Solomon, Hebrides, Irian, New Britain sampai Sulawesi Bagian Timur, Australia)
10. A. punctulatus (Irian, Solomon, pulau-pulau lain) 2.2.2 Nyamuk sebagai Vektor Penyakit Filariasis
Di daerah tropis dan subtropis, Culex quinquefasciatus (fatigans), nyamuk penggigit di lingkungan perumahan dan perkotaan, yang berkembang biak dalam air setengah kotor di sekitar tempat tinggal manusia, merupakan vektor umum penyakit filariasis bancrofti yang mempunya periodisitas nokturnal. Aedes polynesiensis adalah vektor umum filariasis bancrofti nonperiodisitas di beberapa Kepulauan Pasifik Selatan. Nyamuk ini hidup di luar kota di semak-semak (tidak pernah dalam rumah) dan berkembang biak di dalam tempurung kelapa dan lubang pohon. Nyamuk ini lebih menyukai darah manusia, walaupun juga mengisap darah binatang peliharaan mamalia dan unggas.
2.2.3 Nyamuk sebagai Vektor Penyakit Demam Berdarah
Demam berdarah (Dengue Haemmorhagic Fever (DHF)) adalah penyakit endemis yang disebabkan oleh virus dengue yang terdapat di daerah tropis dan subtropis yang kadang-kadang menjadi epidemik. Virus penyakit ini membutuhkan multiplikasi 8-10 hari sebelum nyamuk menjadi infektif. Penyakit ini khususnya ditularkan oleh nyamuk spesies Aedes, terutama Aedes aegypti. Penyakit ini merupakan penyakit endemis di Indonesia dan terjadi sepanjang tahun terutama pada saat musim penghujan. (Chandra, 2007)
22
2.3 Pengendalian Vektor
Tujuan pengendalian vektor utama adalah upaya untuk menurunkan kepadatan populasi nyamuk sampai serendah mungkin sehingga kemampuan sebagai vektor menghilang. Secara garis besar ada 4 cara pengendalian vektor yaitu dengan cara kimiawi, biologis, mekanik, dan radiasi (Soegijanto, 2006).
Pengendalian vektor penyakit sangat diperlukan bagi beberapa macam penyakit karena berbagai alasan (Soemirat, 2007):
1. Penyakit tadi belum ada obat ataupun vaksinnya, seperti hampir semua penyakit yang disebabkan oleh virus.
2. Bila ada obat ataupun vaksinnya, tetapi kerja obat tadi belum efektif, terutama untuk penyakit parasit.
3. Berbagai penyakit didapat pada banyak hewan selain manusia sehingga sulit dikendalikan.
4. Sering menimbulkan cacat seperti filariasis dan malaria.
5. Penyakit cepat menjalar, karena vektornya dapat bergerak cepat, seperti insekta yang bersayap.
2.3.1 Pengendalian Secara Kimiawi 1. Insektisida
Insektisida berasal dari bahasa latin insectum yang mempunyai arti potongan, keratin, atau segmen tubuh (Soemirat, 2007). Insektisida adalah bahan-bahan kimia yang digunakan untuk memberantas serangga (Soedarto, 1992).
dan racun pernapasan. Untuk mengendalikan serangga yang terbang (seperti nyamuk Aedes aegypti), insektisida yang digunakan adalah yang mengandung racun lambung atau racun kontak (Djojosumarto, 2000).
2. Larvasida
Jenis larvasida yang paling luas digunakan saat ini untuk mengendalikan larva nyamuk khususnya spesies Aedes aegypti adalah temefos. Di Indonesia, temefos 1% (Abate 1SG) telah digunakan sejak 1976, dan sejak 1980 abate telah dipakai secara massal untuk program pemberantasan Aedes aegypti di Indonesia (Gafur, 2006). Cara ini biasanya dengan menaburkan abate ke dalam bejana tempat penampungan air seperti bak mandi, tempayan, drum, yang dapat mencegah adanya jentik selama 2-3 bulan (Chahaya, 2003).
3. Repellent
24
Repellent yang berbeda bekerja melawan hama yang berbeda pula. Penting untuk memperhatikan kandungan aktif dari suatu repellent pada label produknya. Repellent yang mengandung DEET (N,N-diethyl-m-toluamide), permethrin, IR3535 (3-[N-butyl-N-acetyl]-aminopropionic acid) atau picaridin (KBR 3023) merupakan repellent untuk nyamuk. DEET tidak boleh digunakan pada bayi yang berumur di bawah 2 bulan. Anak-anak yang berumur dua bulan atau lebih hanya dapat menggunakan produk dengan konsentrasi DEET 30% atau lebih (MDPH, 2008).
2.3.2 Pengendalian Vektor Secara Biologis/Hayati
Pengendalian hayati atau sering disebut pengendalian biologis dilakukan dengan menggunakan kelompok hidup, baik dari golongan mikroorganisme, hewan invertebrata atau hewan vertebrata. Sebagai pengendalian hayati, dapat berperan sebagai patogen, parasit atau pemasangan. Beberapa jenis ikan, seperti ikan kepala timah (Panchaxpanchax), ikan gabus (Gambusia affinis) adalah pemangsa yang cocok untuk larva nyamuk. Sebagai patogen, seperti dari golongan virus, bakteri, fungi atau protozoa dapat dikembangkan sebagai pengendali hayati larva nyamuk di tempat perindukannya (Soegijanto, 2006).
Beberapa keuntungan pengendalian hayati adalah (Jumar, 2000):
1. Aman, tidak menimbulkan pencemaran lingkungan, tidak menyebabkan keracunan pada manusia dan ternak.
2. Tidak menyebabkan resistensi terhadap hama.
4. Bersifat permanen, untuk jangka panjang dinilai lebih murah apabila keadaan lingkungan telah stabil atau telah terjadi keseimbangan antara hama dengan musuh alaminya.
2.3.3 Pengendalian Vektor Secara Mekanik
Pengendalian yang lain adalah dengan cara mekanik, yaitu mencegah gigitan nyamuk dengan menggunakan pakaian yang dapat menutupi seluruh bagian tubuh, kecuali muka dan penggunaan net atau kawat kasa di rumah-rumah (Sembel, 2009).
Menurut Soegijanto (2006), gerakan yang sekarang digalakkan oleh pemerintah yaitu gerakan 3M:
1. Menguras tempat-tempat penampungan air dengan menyikat bagian dinding dalam dan dibilas paling sedikit seminggu sekali.
2. Menutup rapat tempat penampungan air sedemikian rupa sehingga tidak dapat diterobos oleh nyamuk dewasa.
3. Menanam/ menimbun dalam tanah barang-barang bekas atau sampah yang dapat menampung air hujan.
2.3.4 Pengendalian Vektor Secara Radiasi
26
2.4 Gambaran Umum Tentang Insektisida Nabati
2.4.1 Pengertian Insektisida Nabati
Secara umum insektisida nabati diartikan sebagai suatu insektisida yang bahan dasarnya berasal dari tumbuhan. Insektisida nabati relatif mudah dibuat dengan kemampuan dan pengetahuan terbatas, oleh karena terbuat dari bahan alami nabati.
Penggunaan insektisida nabati dimaksudkan bukan untuk meninggalkan dan menganggap tabu penggunaan insektisida sintetis, hanya merupakan suatu cara alternatif dengan tujuan agar pengguna tidak hanya tergantung kepada insektisida sintetis. Tujuan lainnya adalah agar penggunaan insektisida sintetis dapat diminimalkan sehingga lingkungan yang diakibatkannya pun diharapkan dapat dikurangi pula (Kardinan, 2004).
Insektisida nabati mempunyai kelompok metabolit sekunder yang mengandung beribu-ribu senyawa bioaktif seperti alkaloid, fenolik, dan zat kimia sekunder lainnya. Senyawa bioaktif yang terdapat pada tanaman dapat di manfaatkan seperti layaknyainsektisida sintetik. Perbedaannya adalah bahan aktif pada insektisida nabati disintesa dari tumbuhan dan jenisnya bisa lebih dari satu macam (campuran).
relatif aman bagi manusia maupun ternak karena residunya mudah hilang (Naria, 2005).
2.4.2 Pembuatan Insektisida Nabati
Cara pembuatan insektisida nabati dari berbagai jenis tumbuhan tidak dapat dijelaskan secara khusus atau distandarisasi karena memang sifatnya tidak berlaku secara umum. Pembuantan insektisida nabati dapat di lakukan secara sederhana atau secara laboratorium. Cara sederhana (jangka pendek) dapat di lakukan denganpenggunaan ekstrak sesegera mungkin setelah pembuatan ekstrak di lakukan. Cara laboratorium (jangka panjang) biasanya di lakukan oleh tenaga ahli yang sudah terlatih hal tersebut menyebabkan produk insektisida nabati menjadi mahal. Hasilkemasannya memungkinkan untuk disimpan relatif lama.
Untuk menghasilkan bahan insektisida nabati dapat dilakukan teknik sebagai berikut :
1. Penggerusan, penumbukan atau pengepresan untuk mengahasilkan produk berupa tepung, abu atau pasta.
2. Rendaman untuk produk ekstrak.
3. Ekstraksi dengan menggunakan bahan kimia pelarut disertai perlakuan khusus oleh tenaga yang terampil dan dengan peralatan yang khusus. 2.4.3 Keunggulan dan Kelemahan Insektisida Nabati
28
I. Keunggulan
1. Insektisida nabati tidak atau hanya sedikit meninggalkan residu pada komponen lingkungan dan bahan makanan sehingga dianggap lebih aman dari pada insektisida sintetis/kimia.
2. Zat pestisidik dalam insektisida nabati lebih cepat terurai di alam sehingga tidak menimbulkan resistensi pada sasaran.
3. Dapat dibuat sendiri dengan cara yang sederhana.
4. Bahan membuat insektisida nabati dapat disediakan di sekitar rumah. 5. Secara ekonomi tentunya akan mengurangi biaya pembelian insektisida. II. Kelemahan
Selain keunggulan insektisida nabati, tentunya kita tidak dapat mengesampingkan beberapa kelemahan pemakaian insektisida nabati tersebut kelemahanya antara lain :
1. Frekuensi penggunaan insektisida nabati lebih tinggi dibandingkan dengan insektisida sintesis. Tingginya frekuensi penggunaan insektisida nabati adalah karena sifatnya yang mudah terurai di lingkungan sehingga harus lebih sering di aplikasikan.
2. Insektisida nabati memiliki bahan aktif yang kompleks (multiple activeingredient ) dan kadang kala tidak dapat di deteksi.
2.4.4 Cara Masuk Insektisida
Menurut cara masuk insektisida ke dalam tubuh serangga dapat dibagi menjaditiga kelompok sebagai berikut ( Gandahusada, 2006) :
1. Racun lambung (racun perut/stomach poison)
Racun lambung atau racun perut adalah insektisida yang membunuh serangga sasaran dengan cara masuk melalui mulut ke organ pencernaan melalui makanan yang di makan serangga dan menggigit mengisap diserap oleh dinding usus kemudian ditranslokasikan ke tempat sasaran yang mematikan sesuai dengan jenis bahan aktif insektisida misalkan menuju ke pusat syaraf serangga menuju ke organ-organ respirasi meracuni sel-sel lambung dan sebagainya. Oleh, karena itu serangga harus memakan tanaman yang sudah disemprot insektisida yang mengandung residu dalam jumlah yang cukup untuk membunuh.
2. Racun kontak ( contact poisons )
Racun kontak adalah insektisida yang masuk dalam tubuh serangga melalui kulit atau langsung mengenai mulut serangga, serangga akan mati apabila bersinggungan langsung (kontak) dengan insektisida tersebut. Kebanyakan racun kontak juga berperan sebagai racun perut.
3. Racun pernafasan ( fumigants )
30
2.4.5 Toksisitas Insektisida
[image:60.595.109.514.249.753.2]Dalam mengukur Toksisitas Insektisida dikenal istilah LD50, LC50, ED50, RL50, EC50, dan TLM dengan penjelasan sebagai berikut:
Tabel 2.1 Daftar Istilah Toksisitas
ISTILAH KETERANGAN
LD 50
(Lethal Dossage)
Berapa mg insektisida untuk tiap kg berat badan binatang percobaan untuk mematikan 50% dari populasinya. Diberikan melalui oral, dermal dan respirasi, diambil dari insektisida murni.
LC 50
(Lethal Consentration)
Berapa mg insektisida untuk tiap kg berat badan binatang percobaan untuk mematikan 50% dari populasinya menggunakan fumigant. Diberikan melalui oral, dermal dan respirasi. ED 50
(Effective Dossage)
Berapa mg insektisida untuk tiap volume spon yang tidak tumbuh setelah diberi perlakuan fungisida dengan dosis tertentu pada medium buatan pada waktu tertentu.
(Residu Life) terjadinya deposit tersisa sehingga suatu insektisida aktivitasnya berkurang.
EC 50
(Effective Concentration)
Kepekatan bahan uji pada taraf 50% populasi hewan uji dalam keadaan tidak aktif/lumpuh, pada waktu tertentu. TLM
(Tolerance Limited Medium)
Toksisitas insektisida yang diukur pada pengairan (kolam).
Sumber : Kartosapoetra dalam Siregar, 2008
Menurut WHO (2009), pengujian insektisida nabati terhadap nyamuk dengan skala kecil di laboratorium suatu insektisida akan dikatakan efektif jika memenuhi standar LD90 (Lethal Dossage 90) yaitu mampu membunuh nyamuk sebesar 90% dari total nyamuk uji.
2.5 Gambaran Umum Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium)
Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium) merupakan salah satu jenis
rempah-rempah dari tumbuhan liar yang dikenal oleh masyarakat Batak Angkola dan
Mandailing, Sumatera Utara. Tumbuhan ini merupakan jenis yang sangat dekat
kekerabatannya dengan Zanthoxylum piperitum yang banyak ditemukan di daratan
Cina serta Z. stimulans yang banyak dijual di Eropa (Hasairin, 1994). Di Indonesia,
tumbuhan ini tumbuh liar di pegunungan dengan ketinggian 1400 m dpl pada
temperatur 15-180 C. Asal tumbuhan ini dari daerah Himalaya Subtropis. Di dunia,
tumbuhan ini tersebar antara lain di India Utara, Nepal, Pakistan Timur, Myanmar,
Thailand, dan Cina. Di Cina, tumbuhan ini tumbuh pada ketinggian 2900 m dpl
[image:61.595.106.516.113.342.2]32
Menurut Whitmore (1992), kedudukan tanaman Zanthoxylum di dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta Sub Divisio : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Ordo : Rutales
Famili : Rutaceae Genus : Zanthoxylum
Spesies : Zanthoxylum acanthopodium
2.5.1 Morfologi Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium)
Menurut Hasairin (1994), tinggi tanaman andaliman adalah 3-8 m. Batang dan cabangnya merah, kasar beralur, berbulu halus dan berduri. Buahnya bulat hijau kecil dengan diameter ± 4 mm (Tensiska, 2001). Bila digigit, buah ini mengeluarkan aroma yang wangi dan rasa tajam yang khas yang dapat merangsang produksi air liur. Hal ini karena andaliman memiliki sifat karminativum (Hasairin, 1994). Khusus yang di Sumatera Utara mempunyai bunga lengkap dengan panjang ± 3 mm (Tensiska, 2001).
(Siregar, 2003; Wijaya, 1999). Bunga aksilar, majemuk terbatas, anak payung menggarpu, berkelamin dua, dan berwarna kuning pucat. Buah berbentuk kapsul, bulat hijau kecil, diameter 2-3 mm, mirip lada, jika sudah tua berwarna merah. Tiap buah memiliki 1 biji dengan kulit biji yang keras berwarna hitam berkilat (Sibuea, 2002). Tipe perkecambahan biji andaliman ialah epigin yakni tipe perkecambahan di atas tanah yang terjadi karena pembentangan ruas batang di bawah daun lembaga sehingga daun lembaganya terangkat ke atas tanah (Siregar, 2003).
2.5.2 Kandungan Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium)
[image:63.595.171.478.343.563.2]Andaliman mengandung senyawa polifenolat, monoterpen dan seskuiterpen, serta kuinon. Selain itu juga terdapat minyak atsiri seperti geraniol, linalool, cineol, dan citronella yang menimbulkan kombinasi bau mint dan lemon (Simangunsong, 2008 dalam Sinaga, 2009). Ekstrak segar andaliman mengandung flavonoid, alkaloid, terpenoid, dan steroid (Nababan, 2012).
34
Nyamuk yang mati Nyamuk
(20 ekor/percobaan)
Menurut Dubey et al. (2010 dalam Hartati (2012) aktivitas biologi minyak atsiri terhadap serangga dapat bersifat menolak (repellent), menarik (attractant), racun kontak (toxic), racun pernafasan (fumigant), mengurangi nafsu makan (antifeedant), menghambat peletakan telur (oviposition deterrent), menghambat petumbuhan, menurunkan fertilitas, serta sebagai antiserangga vektor. Selain itu
senyawa bioaktif golongan flavonoid, alkaloid, dan steroid yang terkandung dalam tumbuhan berfungsi sebagai insektisida. Insektisida ini apabila diaplikasikan akan membunuh organisme sasaran dan setelah itu residunya akan cepat hilang. (Naria, 2005).
[image:64.595.118.539.345.738.2]2.6 Kerangka Konsep
Gambar 2. Kerangka Konsep Penelitian Ekstrak andaliman dengan
konsentrasi 0%, 5%, 7,5%, 10%, 12,5% dan 15%
Suhu
1
BAB I
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Nyamuk merupakan satu diantara serangga yang sangat penting dalam dunia kesehatan. Nyamuk termasuk dalam filum Arthropoda, ordo Diptera, famili Culicidae, dengan tiga sub famili yaitu Toxorhynchitinae (Toxorhynchites), Culicinae (Aedes, Culex, Mansonia, Armigeres,) dan Anophelinae (Anopheles) (Howard, 2007; Dongus, 2007). Nyamuk merupakan ektoparasit pengganggu yang merugikan kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan. Hal ini dikarenakan kemampuannya sebagai vektor berbagai penyakit. Nyamuk tergolong serangga yang cukup tua di alam dan telah mengalami proses evolusi serta seleksi alam yang panjang sehingga menjadikan insekta ini sangat adaptif tinggal bersama manusia (Durant, 2008).
Nyamuk (Diptera: Culicidae) merupakan vektor beberapa penyakit baik pada hewan maupun manusia. Banyak penyakit pada hewan dan manusia dalam penularannya mutlak memerlukan peran nyamuk sebagai vektor dari agen penyakitnya (Vinayagam, 2008). Kejadian penyakit yang penularannya dibawa oleh vektor nyamuk tersebut, disebabkan oleh tingginya kepadatan vektor nyamuk khususnya di Indonesia (Ndione, 2007).
2
sebagai vektor penyakit demam berdarah dengue, serta beberapa genus nyamuk yaitu Culex, Aedes, dan Anopheles dapat juga menjadi vektor penyakit filariasis. Nyamuk juga menularkan beberapa penyakit pada hewan. Nyamuk Culex sebagai vektor Dirofilaria immitis (cacing jantung pada anjing) (Zhu, 2008; Govindarajan, 2010).
Tiga penyakit menular yang ditularkan oleh nyamuk yang selalu membuat permasalahan kesehatan yang sangat serius dalam masyarakat, yaitu demam berdarah dengue, malaria, dan filariasis. Kejadian ketiga penyakit menular tersebut menunjukan peningkatan yang signifikan, sehingga ketiga penyakit ini mendapat perhatian yang sangat serius dari semua kalangan.
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan suatu penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan nyamuk Aedes albopictus. Sampai saat ini yang paling berperan adalah nyamuk Aedes aegypti, karena hidupnya di dalam dan sekitar rumah, sedangkan nyamuk Aedes albopictus hidupnya di kebun-kebun sehingga jarang kontak dengan manusia. Kedua jenis nyamuk ini terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia, kecuali tempat-tempat dengan ketinggian lebih dari 1000 meter dari atas permukaan laut karena pada ketinggian tersebut suhu udara terlalu rendah sehingga tidak memungkinkan nyamuk untuk hidup maupun berkembangbiak (Siregar, 2004).
lingkungan fisik. Pola perilaku dan status ekologi dari ketiga kelompok organisme tadi dalam ruang dan waktu saling berkaitan dan saling membutuhkan, menyebabkan penyakit DBD berbeda derajat endemisitasnya pada satu lokasi ke lokasi lain, dan dari tahun ke tahun (Chahaya, 2003).
Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya. Sementara itu, terhitung sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara.
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia. Jumlah penderita dan luas daerah penyebarannya semakin bertambah seiring dengan meningkatnya mobilitas dan kepadatan penduduk. Demam Berdarah pertama kali ditemukan di Indonesia yaitu di kota Surabaya pada tahun 1968, dimana sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24 orang diantaranya meninggal dunia (Angka Kematian (AK): 41,3 %). Sejak saat itu, penyakit ini menyebar luas ke seluruh Indonesia. (WHO, 2005)
Angka Incidence Rate (IR) per 100.000 penduduk pada tahun 2005 sebesar 43,42; tahun 2006 sebesar 52,48; tahun 2007 sebesar 71,78; tahun 2008 sebesar 60,06; tahun 2009 sebesar 68,22 (Depkes RI, 2010).
4
tertinggi untuk tahun 2014 ditemui di Kecamatan Medan Sunggal sebanyak 113 kasus. (Dinkes Medan, 2015)
Malaria disebabkan oleh parasit sporozoa Plasmodium yang ditularkan melalui gigitan nyamuk anopheles betina infektif. Sebagian besar nyamuk anopheles akan menggigit pada waktu senja atau malam hari, pada beberapa jenis nyamuk puncak gigitannya adalah tengah malam sampai fajar. (Widoyono, 2008)
Kejadian Luar Biasa (KLB) tahun 2006 – 2009 selalu terjadi di pulau Kalimantan walaupun kabupaten/kota yang terjangkit berbeda-beda tiap tahun. Pada tahun 2009, KLB dilaporkan terjadi di pulau Jawa (Jawa Tengah, Jawa Timur dan Banten), Kalimantan (Kalimantan Selatan), Sulawesi (Sulawesi Barat), NAD dan Sumatera (Sumatera Barat, Lampung) dengan total jumlah penderita adalah 1.869 orang dan meninggal sebanyak 11 orang. KLB terbanyak di pulau Jawa yaitu sebanyak 6 kabupaten/kota. (Kemenkes RI, 2011)
Penyakit malaria di provinsi Sumatera Utara masih merupakan masalah kesehatan masyarakat terutama di daerah pedesaan, dimana nyamuk Anopheles banyak dan mudah ditemukan di Kabupaten Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, Asahan, Labuhan Batu, Nias dan Kabupaten Karo. Pada bulan Mei 1992 di kecamatan Batang Angkola Tapanuli Selatan dilaporkan terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) karena ditemukan sebanyak 38 kasus malaria yang meninggal dalam waktu 1 minggu dari 3000 kasus malaria, artinya tingkat kematian penyakit malaria sebesar 1,2% (Dinkes.Prov.Sumatera Utara, 2009)
dari tahun 1996 sampai dengan tahun 2000. Penyebaran malaria hampir merata di semua Kabupaten/Kota tetapi yang paling banyak terdapat di Kabupaten Nias dan di Kabupaten Mandailing Natal (Dinkes Prov.Sumatera Utara, 2003).
Filariasis atau yang disebut juga penyakit kaki gajah adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi jenis parasit nematoda atau oleh cacing filaria