• Tidak ada hasil yang ditemukan

Variability of Sea Surface Temperature and its Interelationships with The Monsoon, Dipole Mode (DM) and El Nino Southern Oscillation (ENSO) in the Southeast Asia and its Surrounding Waters

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Variability of Sea Surface Temperature and its Interelationships with The Monsoon, Dipole Mode (DM) and El Nino Southern Oscillation (ENSO) in the Southeast Asia and its Surrounding Waters"

Copied!
826
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ”Variabilitas Suhu Permukaan Laut dan Interelasinya dengan Muson, Dipole Mode (DM) dan El Nino Southern

Oscillation (ENSO) di Perairan Asia Tenggara dan Sekitarnya” adalah karya saya

sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam bentuk teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2012

(3)
(4)

ABSTRACT

ANDRI PURWANDANI. Variability of Sea Surface Temperature and its Interelationships with The Monsoon, Dipole Mode (DM) and El Nino Southern Oscillation (ENSO) in the Southeast Asia and its Surrounding Waters. Under the supervision of MULIA PURBA and I WAYAN NURJAYA.

Variability of air-sea interaction in the Southeast Asia and its surrounding waters has an important role for regulating the Asian and Australian climate dynamics and the dynamics of ocean-atmosphere in the Indian and Pacific Oceans. The results of the first five largest variance of Empirical Orthogonal Function (EOF) analysis of monthly mean sea surface temperature between 1979-2007 from data assimilation of Geophysical Fluid Dynamics Laboratory (GFDL) in the Southeast Asia waters are able to identify occurrence of the Monsoon activity, the period of Dipole Mode (DM) in Indian Ocean and types of El Nino Southern Oscillation (ENSO) in the Pacific Ocean. The heat dynamics of the sea and atmosphere in the Indonesia waters are probably the triggers of DM and ENSO after performing spectral density function of EOF expansion coefficients, wavelet transform and composite analysis based on one times of standard deviation above positive and below negative of expansion coefficient using Earth System Research Laboratory-National Oceanic Atmospheric Administration (ESRL-NOAA) dataset, including wind data, air temperature, air pressure, outgoing long wave radiation (OLR), rainfall, precipitation, evaporation, sensible heat, latent heat and humidity. Schematics of the dynamical processes of ocean-atmosphere interaction were constructed based on composite analysis results by discovering unique pattern which are called as phase of Asymmetric Monsoon of Southeast Asia waters (AMSA), Heat Storing/releasing of Southeast Asia waters (SRSA), Dipole Mode of Southeast Asia waters (DMSA), Tripole Mode of Southeast Asia waters (TMSA) and the Mixed Mode of Southeast Asia waters (MMSA) to examine more insightful of the relationships between heat dynamics in the Southeast Asia and the origin processes of Monsoon, DM and ENSO. The rest difference of heat accumulation of AMSA phase in the Southeast Asia are therefore led to a shift of Monsoon and triggering a biennial cycle of the Tropical Biennial Oscillation (TBO) associated with decadal cycle in the SRSA phase is the beginning of DM and ENSO activity. After couple times of biennial cycle, the remaining difference of heat accumulation in the Southeast Asia is getting bigger and needed a new heat balance that generates a trigger of DM period and some types of ENSO. At the DMSA phase was formed DM transition period and conventional ENSO pattern, the TMSA phase as DM transition period and Central Pacific ENSO spread type (CP El Nino/La Nina spread type) and the MMSA phase which coincided peak of DM and Central Pacific ENSO centralized type (CP El Nino/La Nina centralized type).

Keywords: Monsoon, Dipole Mode, El Nino Southern Oscillation, sea surface temperature, data assimilation, Geophysical Fluid Dynamics

(5)
(6)

RINGKASAN

ANDRI PURWANDANI. Variabilitas Suhu Permukaan Laut dan Interelasinya dengan Muson, Dipole Mode (DM) dan El Nino Southern Oscillation (ENSO) di Perairan Asia Tenggara dan Sekitarnya. Dibimbing oleh MULIA PURBA dan I WAYAN NURJAYA.

Penelitian mengenai dampak Muson, Dipole Mode (DM) atau El Nino

Southern Oscillation (ENSO) terhadap variabilitas laut-atmosfer suatu perairan di

Indonesia telah banyak dilakukan. Akan tetapi, pada umumnya penelitian ini hanya melibatkan salah satu fenomena diatas. Sementara itu, pada suatu perairan memiliki kemungkinan untuk menerima kombinasi pengaruh hasil interaksi dari fenomena tersebut dengan respon perairan yang berbeda-beda. Kesalahan penafsiran dan interpretasi hasil analisis data akan terjadi, sehingga dapat mengakibatkan kesalahan yang fatal dalam mengambil kesimpulan hasil penelitiannya dan rekomendasi yang diusulkannya. Interaksi antar fenomena Muson, DM dan ENSO dengan keunikan wilayah Asia Tenggara dan sekitarnya perlu dikaji secara bersamaan sehingga hasil pada penelitian ini diharapkan secara komprehensif dapat mengurai peranan dari masing-masing fenomena, bagaimana prosesnya bekerja, interaksi yang terjadi satu sama lain dan bagaimana respon perairan di Asia Tenggara dan sekitarnya terhadap pengaruh dari hasil interaksi ketiga fenomena tersebut.

Analisis dengan menggunakan pendekatan metode empirical orthogonal

function (EOF) diterapkan pada penelitian ini untuk mendekomposisi sinyal data

deret waktu bulanan anomali suhu permukaan laut (SPL) secara spasial dan temporal antara tahun 1979-2007 dari data asimilasi Geophysical Fluid Dynamics

Laboratory (GFDL). Data asimilasi GFDL divalidasi terlebih dahulu dengan

mengggunakan data observasi sarana pengamatan laut-atmosfer dari ARGO float dan buoy TRITON. Lima keragaman terbesar pertama dari total keragaman sebanyak 50 Mode hasil perhitungan analisis EOF digunakan untuk menginterpretasikan dekomposisi spasial dan temporal dari sinyal siklus deret waktu data SPL. Koefisien ekspansi EOF dari hasil dekomposisi temporal ditapis pada frekuensi rendah sebesar 1/2 siklus per tahun dengan metode Lanchoz filter untuk menghilangkan gangguan fenomena siklus dengan frekuensi rendah dari

Monsoon Intraseasonal Oscillation (MISO) dan Madden-Julian Oscillation

(7)

evaporasi dan kelembapan udara yang berasal dari Earth System Research

LaboratoryNational Oceanic Atmospheric Administration (ESRL-NOAA).

Analisis yang digunakan adalah dengan pendekatan metode komposit dari rata-rata anomali parameter pada saat nilai simpangan baku koefisien ekspansi EOF satu kali diatas nilai simpangan baku positifnya yang disebut fase positif dan fase negatif pada saat satu kali dibawah nilai simpangan baku negatifnya.

Keragaman terbesar pertama sebesar 44.1% dari total keragaman untuk selanjutnya disebut Mode ke-1 EOF, ditemukan pengaruh dominan dari siklus tahunan Muson dengan periode sebesar 12.2 bulanan dengan osilasi spasial anomali SPL yang terjadi antara BBU dan BBS, seiring dengan pergerakan semu matahari. Pada Mode ke-1 EOF ditemukan pola asimetris keseimbangan bahang arah meridional yang berada tidak tepat di sekitar ekuatorial dimana sesuai dengan pergerakan semu matahari, keseimbangan bahang seharusnya terjadi tepat di sekitar ekuatorial. Oleh karena itu, pada Mode ke-1 EOF dengan fenomena yang mengiringinya diberi nama Asimetris Muson perairan Asia Tenggara (AMAT). Pada Mode ke-2 EOF dengan keragaman sebesar 22.7%, terdapat pola osilasi spasial anomali SPL terpusat di BBU antara perairan barat dan timur Asia Tenggara dimana nilai anomali nol berada di perairan sebelah timur laut Asia Tenggara. Oleh karena itu, pada fase positif Mode ke-2 EOF, terdapat anomali positif SPL hampir di seluruh perairan Asia Tenggara dan pada fase negatif terdapat anomali negatif SPL. Keseimbangan bahang di laut dan atmosfer menjadi terganggu karena terdapat proses pelepasan dan penyimpanan bahang dalam jumlah yang besar, hasil dari akumulasi sisa selisih bahang pada fase AMAT. Oleh karena itu, pada Mode ke-2 EOF ini diberi nama Penyimpanan/Pelepasan Bahang perairan Asia Tenggara (PBAT) dengan fenomena yang mengiringinya masih didominasi oleh Muson dan munculnya siklus dekadal dengan periode 10.7 tahunan dan siklus dua tahunan TBO dengan periode 18.2 bulanan disertai dengan pergeseran awal kedatangan Muson selama 3.1 bulan. Siklus dua tahunan TBO terjadi karena hasil interaksi antara Muson dengan siklus dekadal yang diduga berasal dari gangguan sinyal frekuensi tinggi PDO di perairan sebelah utara Samudera Pasifik. Siklus dekadal ini berasosiasi dengan Muson dan diduga sebagai phase locking pemicu TBO diiringi dengan pergeseran Muson. Oleh karena itu, siklus 18.2 bulanan TBO tidak benar-benar tepat sebagai siklus dua tahunan karena terbentuk dari dua kali siklus 12.2 bulanan Muson dengan pergeseran awal kedatannya selama 3.1 bulan setelah berinteraksi dengan siklus dekadal.

(8)

sebesar 2.7 bulan dari puncak Dipole Mode Index (DMI) dan terbentuknya periode El Nino/La Nina konvensional dengan beda fase 2.7 bulan dari puncak

Southern Oscillation Index (SOI). Pada Mode ke-4 EOF dengan keragaman

sebesar 4.4%, ditemukan siklus antar tahunan pertama terkuat dengan periode sebesar 63.9 bulanan menggeser dominasi Muson diiringi dengan terbentuknya pola osilasi tiga kutub di perairan Asia Tenggara. Pola osilasi ini terbentuk setelah tiga kali siklus TBO mengakumulasikan sisa selisih bahang dimana jika di perairan dalam Indonesia terjadi peningkatan anomali SPL maka di perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia dan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik akan terjadi penurunan anomali SPL, begitu pula sebaliknya. Pola osilasi tiga kutub ini diberi nama Tripole Mode perairan Asia Tenggara (TMAT) dengan diikuti terjadinya periode transisi DM dengan beda fase sebesar 3.9 bulan dari puncak DMI dan El Nino/La Nina Tengah Pasifik tipe tersebar (El Nino/La Nina TP tipe tersebar) dengan beda fase 3.9 bulan dari puncak SOI. Fase terakhir dari Mode ke-5 EOF dengan keragaman sebesar 2.8% diberi nama Mode Campuran perairan Asia Tenggara (MCAT) karena ditemukan pola osilasi spasial anomali SPL yang tidak beraturan dimana anomali positif dan negatif berada di perairan sebelah timur Samudera Pasifik maupun di sebelah barat Samudera Hindia. Siklus antar tahunan masih mendominasi dengan periode 42.6 bulanan dimana pada fase ini diduga terjadi setelah terbentuknya dua kali siklus TBO untuk mengakumulasikan sisa selisih bahangnya. Pada fase MCAT diiringi dengan terjadinya puncak DM pada fase yang bersamaan dengan puncak DMI dan terjadinya El Nino/La Nina Tengah Pasifik tipe terpusat (El Nino/La Nina TP tipe terpusat) pada fase yang bersamaan pula dengan puncak SOI.

Kata kunci: Muson, Dipole Mode, El Nino Southern Oscillation, suhu

(9)
(10)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2012

Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(11)
(12)

VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DAN

INTERELASINYA DENGAN MUSON, DIPOLE MODE (DM) DAN

EL NINO SOUTHERN OSCILLATION (ENSO)

DI PERAIRAN ASIA TENGGARA DAN SEKITARNYA

ANDRI PURWANDANI

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains pada

Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(13)

Penguji di luar Komisi:

(14)

Judul Tesis : Variabilitas Suhu Permukaan Laut dan Interelasinya dengan Muson, Dipole Mode (DM) dan El Nino Southern Oscillation (ENSO) di Perairan Asia Tenggara dan Sekitarnya.

Nama : Andri Purwandani NRP : C551070121

Disetujui, Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Mulia Purba, M.Sc. Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc. Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Kelautan

Dr. Ir. Neviaty P. Zamany, M.Sc. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. A.gr

(15)
(16)

PRAKATA

Tak terhingga rahmat dan hidayah-Nya akhirnya Penulis dapat menyelesaikan penelitiannya yang berjudul Variabilitas Suhu Permukaan Laut dan Interelasinya dengan Muson, Dipole Mode (DM) dan El Nino Southern Oscillation (ENSO) di Perairan Asia Tenggara dan Sekitarnya. Pada kesempatan ini pula Penulis hendak menghaturkan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Mulia Purba M.Sc. selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Dr. Ir. I Wayan Nurjaya M.Sc. selaku anggota Komisi Pembimbing atas bimbingan dan pengarahan beliau serta memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada Penulis untuk menuangkan pemikirannya melalui karya penelitian ini.

2. Bapak Dr. Ir. Agus S. Atmadipoera, DESS yang telah berkenan memberikan masukan dan saran pada penelitian ini serta atas kesediaan beliau untuk menjadi dosen penguji.

3. Ibu Dr. Ir. Neviaty Zamany M.Sc. selaku Ketua Program Studi Ilmu Kelautan Sekolah Pascasarjana IPB atas saran dan masukan beliau dalam penulisan karya ilmiah demi kesempurnaan penelitian ini.

4. Bapak Prof. Dr. Ir. Jana T. Anggadiredja M.S. APU selaku Deputi Kepala BPPT Bidang Teknologi Pengembangan Sumberdaya Alam (TPSA), BPPT periode 2003- 2010 yang telah memberikan kesempatan kepada Penulis untuk memperdalam keilmuan kelautan di Proram Studi Ilmu Kelautan Sekolah Pascasarjana IPB Bogor. 5. Bapak Dr. Ir. Ridwan Djamaluddin M.Sc. selaku Deputi Kepala BPPT Bidang

TPSA, BPPT yang telah memberikan pemikirannya agar hasil penelitian ini dapat diterapkan di BPPT dan bermanfaat untuk penelitian kelautan dimasa mendatang. 6. Ibu Dr. Dra. Nadirah M.S. selaku Kepala Pusat Pembinaan, Pendidikan dan

Pelatihan (Pusbindiklat), Sestama-BPPT beserta jajarannya atas dukungan dan kelancaran program beasiswa BPPT untuk tugas belajar Penulis.

7. Bapak Dr. Ir. Awal Subandar M.Sc. selaku Kepala Bidang Teknologi Akutansi Sumberdaya Alam (TASDA), Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam (PTISDA), TPSA, BPPT periode 2005-2010 atas bantuan pendanaan sebelumnya untuk melanjutkan studi, dukungan dan motivasi beliau sampai Penulis menyelesaikan penelitian ini.

8. Bapak Dr. Ir. Muhammad Evri M.Sc. selaku Kepala Bidang TASDA, PTISDA, TPSA-BPPT atas diskusi ilmiahnya selama Penulis mengerjakan penelitian ini.

9. Senyuman buah hati tersayang, Fadhil Aqilsyah Putra Purwandani dan

Nabil Anggana Putra Purwandani serta Bunda Evi Safitri atas kesempatannya memberikan waktu siang dan malam kepada Penulis untuk tetap berkarya melalui penelitian ini.

Penulis berharap, semoga hasil penelitian ini dapat diterapkan secara operasional dan bermanfaat bagi penelitian yang akan dilakukan di masa mendatang.

Bogor, Januari 2012

(17)
(18)

RIWAYAT HIDUP

Andri Purwandani dilahirkan di Jakarta pada tanggal 6 Juni 1974 dari pasangan Letkol (Pur) Iya Sunarya dan Ratu E. Acheriah. Pendidikan terakhir penulis yaitu program sarjana Strata 1 di Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan Institut Pertanian Bogor (IPB) lulus pada tahun 1998. Penulis mendapatkan kesempatan menuangkan ilmunya dengan bergabung di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pada tahun 1999 sebagai pegawai negeri sipil staf peneliti pada Program Variabilitas Iklim yang berkecimpung dibidang penelitian interaksi laut-atmosfer dan kaitannya dengan dinamika ENSO di Unit Pelaksana Teknis Hujan Buatan (UPT-HB) BPPT. Pada tahun 2000, penulis mendapatkan kepercayaan sebagai Kepala Laboratorium Kompetensi Inti Teknologi Sistem Iklim (KI-TSI) di Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam (P3TISDA) BPPT untuk melaksanakan berbagai program iklim antara lain program Tropical Ocean Climate Study (TOCS) hasil kerjasama antara Japan Marine Science and Technology (JAMSTEC) Japan dan BPPT. Pada tahun 2003, Penulis ditugaskan menjadi peneliti di Kompetensi Inti TISDA Laut - P3TISDA BPPT dan terakhir pada tahun 2005 sampai sekarang ditugaskan sebagai peneliti oseanografi dan pemodelan di Bidang Teknologi Akutansi Sumberdaya Alam (TASDA) Pusat TISDA BPPT. Penulis ditugaskan untuk memperdalam keilmuan kelautannya di Program Magister (S2) angkatan tahun 2007 pada Mayor Ilmu Kelautan, Sekolah Pascasarjana IPB melalui program beasiswa BPPT. Penulis memanfaatkan kesempatan ini untuk melanjutkan penelitian sebelumnya dari Tugas Akhir program S1 dengan judul “Pengaruh El Nino Southern Oscillation (ENSO) terhadap Variabilitas Karakteristik dan Sirkulasi Permukaan Laut di Perairan Asia Tenggara dan Sekitarnya” dan menelaah lebih mendalam melalui tesis pada program S2 yang berjudul “Variabilitas Suhu Permukaan Laut dan Interelasinya dengan Muson,

Dipole Mode (DM) dan El Nino Southern Oscillation (ENSO) di Perairan Asia

(19)
(20)

DAFTAR SINGKATAN

ADPRC : Asia-Pacific Data-Research Center

AGCM : Atmospheric Global Climate Model

AMAT : Asimetris Muson perairan Asia Tenggara AMSA : Asymmetric Monsoon of Southeast Asia Waters

ARLINDO : Arus Lintas Indonesia

CLIVAR : Climate Variability and Predictability Experiment

CM2.1 : Climate Model V2.1

CMAP : CPC Merged Analysis of Precipitation

CPC : Center for Climate Prediction

DMAT : Dipole Mode perairan Asia Tenggara DMI : Dipole Mode Index

DMSA : Dipole Mode of Southeast Asia Waters

DOE INCITE : Science Innovative and Novel Computational Impact on Theory and

ERSST : Extended Reconstructed Sea Surface Temperature

ESRL : Earth System Research Laboratory

FFT : Fast Fourier Transform

GCOS : Global Climate Observing System

GECCO : German Estimating the Circulation and Climate of the Ocean project

GFDL : Geophysical Fluid Dynamics Laboratory

GHRSST : Group for High Resolution SST

GISST : Global Sea Ice and Sea Surface Temperature

GOOS : Global Ocean Observing System

GPCP : Global Precipitation Climatology Project

GSM CHL-1 : Garver-Siegel-Maritorena CHL-1

HadISST : Hadley Centre Global Sea Ice and Sea Surface Temperature

IBTrACS : International Best Track Archive for Climatic Stewardship

ICOADS : International Comprehensive Ocean-Atmosphere Data Set

ICSU : International Council for Science

IMI : Indian Monsoon Index

IOBM : Indian Ocean Basin Mode

IOC : Intergovernmental Oceanographic Commission

ITCZ : Intertropical Convergence Zone

JAMSTEC : Japan Marine and Earth Science Tecnology Center

(21)

La Nina TP : La Nina Tengah Pasifik

MCAT : Mode Campuran perairan Asia Tenggara MISO : Monsoon Intraseasonal Oscillation

MJO : Madden-Julian Oscillation

MMSA : Mixed Mode of Southeast Asia Waters

MOM3 : Modular Ocean Model V3

MOM4 : Modular Ocean Model V4

MSI : Monsoon Index

NCAR : National Center for Atmospheric Research

NCEP : National Centre for Environmental Prediction

NOAA : National Oceanic and Atmospheric Administration

NODC : National Oceanographic Data Center

ODA : ocean data assimilation

OFES : OGCM for the Earth Simulator

OGCM : Ocean General Circulation Model

OISST : Optimum Interpolation Sea Surface Temperature

OLR : outgoing longwave radiation

OOPC : Ocean Observations Panel for Climate

PBAT : Penyimpanan/Pelepasan Bahang perairan Asia Tenggara PDF : probability density function

PDO : Pacific Decadal Oscillation

P–E : presipitasi dikurangkan dengan evaporasi PMEL : Pacific Marine Environmental Laboratory

QBO : Quasi Biennial Oscillation

QC : quality control

QL : fluks bahang melalui evaporasi (latent heat)

QS : fluks bahang secara konduksi (sensible heat)

RH : kelembapan udara (relative humidity) RMSE : root mean square error

SRSA : Heat Storing/releasing of Southeast Asia Waters

SWAMP : Sea wave modeling project

TBO : Tropical Biennial Oscillation

TMAT : Tripole Mode perairan Asia Tenggara TML : tinggi muka laut

TMSA : Tripole Mode of Southeast Asia Waters

TNI : Trans-Nino Index

TOGA/TAO : Tropical Ocean-Global Atmopheric/Tropical Atmosphere-Ocean

TRITON : Triangle Trans-Ocean Buoy Network

TRMM : Tropical Rainfall Measuring Mission

UNEP : United Nations Environment Programme

WCRP : World Climate Research Programme

WMO : World Meteorological Organization

WNPMI : Western North Pacific Monsoon Index

WP El Nino : Warm Pool El Nino

WTIO : western tropical Indian Ocean

WWE : Westerly Wind Event

WWV : Warm Water Volume

WYI : Webster and Yang Monsoon Index

(22)

DAFTAR ISI

2.5 Interaksi Muson, Dipole Mode dan ENSO ... 54 2.6 Indikator Laut-Atmosfer... 63 2.6.1 Indikator Muson dan Variabilitas di BMI ... 64 2.6.2 Indikator DM dan Variabilitas di Samudera Hindia ... 66 2.6.3 Indikator ENSO dan Variabilitas di Samudera Pasifik ... 68

(23)

3.4.1.6 Korelasi Silang Transformasi Wavelet ... 96 4.2 Dinamika Interaksi Muson, DM dan ENSO ... 102 4.2.1 Variabilitas Mode ke-1 EOF ... 104 4.3 Keseimbangan Bahang dan Awal Terjadinya DM dan ENSO ... 309

5 SIMPULAN DAN SARAN ... 327 5.1 Simpulan ... 327 5.2 Saran ... 328

DAFTAR PUSTAKA ... 331

(24)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Penamaan sarana observasi TRITON yang digunakan untuk

validasi data asimilasi GFDL ... 81 2 Hasil perhitungan SE dan RMSE antara data asimilasi GFDL dan

data validasi TRITON dengan parameter arus zonal, meridional

(25)
(26)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Sistematika permasalahan dan proses penyelesaian masalah untuk

mencapai tujuan penelitian. ... 7 2 Evolusi DM dari hasil analisis komposit SPL di Samudera Hindia

(Saji et al., 1999). (a), (b), (c) dan (d) berturut-turut komposit SPL (°C) pada bulan Mei-Juni, Juli-Augustus, September-Oktober dan

November-Desember. ... 14 3 Pola perambatan anomali (a) SPL (°C) pada 5°LU-5°LS, (b) angin

zonal (m/s) pada 5°LU-5°LS dan (c) TML (cm) pada 1°LU-1°LS

dari bulan Januari 1997-Juli 1998 (Webster et al., 1999)... 15 4 Pola sebaran horizontal (a) anomali SPL (°C), (b) anomali OLR (W

m-2), (c) anomali angin zonal (m/s) dan (d) anomali TML (cm)

pada bulan November 1997 (Webster et al., 1999). ... 16 5 Proses dinamika laut-atmosfer di Samudera Hindia pada tahun

1997, diadaptasi dari Webster et al. (1999). (a) sampai (d) berturut-turut adalah peralihan antar musim. Keterangan secara rinci

terdapat di dalam tulisan. ... 17 6 Komposit anomali suhu udara permukaan (°C), diadaptasi dari

Larkin dan Harrison (2005b). Kolom kiri adalah El Nino konvensional dan kolom kanan adalah El Nino Dateline. Baris atas pada bulan September-Oktober-November dan baris bawah pada bulan Desember-Januari-Februari.Kotak-kotak memperlihatkan rata-rata suhu udara grid dengan 80% diatas selang kepercayaan dan garis diagonal dibawahnya. Jumlah data dibawah empat

dibiarkan kosong. ... 24 7 Pola spasial EOF dari empat mode terbesar SPL dengan

menggunakan data dari tahun 1979-2004, diadaptasi dari Ashok et al. (2007). (a) sampai (d) berturut-turut adalah Mode kesatu sampai Mode keempat EOF. (b) adalah tipe dua El Nino dimana kolam air hangat terpusat di tengah ekuatorial Samudera Pasifik dan diberi

nama El Nino “Modoki” atau Pseudo El Nino. ... 25 8 Komposit anomali SPL (°C) pada musim panas (a) dan musim

dingin (b) di BBU yang memperlihatkan kesesuaian dengan pola

spasial EOF Mode kedua, diadaptasi dari Ashok et al. (2007). ... 26 9 Komposit anomali SPL (°C) pada musim panas (JJAS) tahun 2004,

di BBU yang memperlihatkan puncak fase El Nino Modoki pada

tahun 2004, diadaptasi dari Ashok et al. (2007). ... 26 10 Pola spasial EOF dari data asli anomali SPL. (a) adalah Mode

pertama terbesar dengan keragaman sebesar 55.7% dan (b) adalah Mode kedua terbesar dengan keragaman sebesar 11.1%, diadaptasi

(27)

11 Pola spasial EOF dari data anomali SPL yang telah dikurangkan 12 Komposit anomali SPL (garis kontur putih) antara bulan September

sampai Februari tahun berikutnya selama tahun 1970-2005 dengan interval 0.3 K. Biru sampai merah menunjukkan anomali SPL yang telah dinormalkan. Kolom kiri memperlihatkan pola spasial tipe WP El Nino, tengah tipe CT El Nino dan kanan tipe El Nino campuran. Kotak hijau menunjukkan Nino4 (kiri), Nino3 (tengah)

dan Nino3.4 (kanan). Gambar diadaptasi dari Kug et al. (2009). ... 30 13 Komposit anomali SPL (°C) periode CT El Nino (a) dan WP El

Nino (b) pada bulan NDJ selama periode 500 tahun, diadaptasi dari

Kug et al. (2010). ... 31 14 Komposit selisih anomali SPL (°C) antara hari ke 60 dengan hari

ke 20 pada saat kejadian angin baratan (Westerly Wind Event/WWE) dimana nilai indeks Nino3 mendekati normal (Nino3 ≤ 0.75°C) pada tiap petak (kotak hitam) (a) tipe W (barat/western) pada 130°BT-155°BT, (c) tipe C (tengah/central) pada 155°BT-180°BT dan (e) tipe E (timur/eastern) pada 155°BT-180°BT-150°BB, masing-masing pada 5°LS-5°LU periode tahun 1986-1998. (b), (d) dan (f) sama seperti (a), (c) dan (e) pada periode tahun 1999-2006,

diadaptasi dari Harrison dan Chiodi (2009). ... 33 15 Korelasi parsial antara Nino3 (baris atas) dan EMI (baris bawah)

dengan SPL (°C) (kolom kiri), curah hujan (mm/hari) (kolom tengah) dan profil melintang ketinggian dan membujur dari kelembaban spesifik (g/kg) pada 10°LS-10°LU (kolom kanan). (b) dan (e) tumpang-tindih dengan vektor angin (streamline) dan (c) dan (f) tumpang-tindih dengan kecepatan potensial dikalikan dengan -50 untuk mempermudah analisis (kontur dengan interval 4 x 105m2s-1) dan vektor angin (streamline), diadaptasi dari Weng et

al. (2009). ... 35 16 Korelasi linier sederhana dengan beda waktu (a)-(e) dan (f)-(j) dari

-12 bulan sampai 12 bulan dengan interval 6 bulan antara anomali SPL (°C bulan-1 °C-1) dengan rata-rata anomali SPL pada petak sebelah timur (5°LS-5°LU, 120°BB-80°BB) untuk variabilitas SPL Tipe-1 (kolom kiri) dan pada petak di tengah ekuatorial Samudera Pasifik (5°LS-5°LU, 180°BT-140°BB) untuk variabilitas SPL Tipe-2 (kolom kanan). Garis hitam pada (h) menunjukkan nilai variabilitas lokal SPL maksimun pada 12°LS dan 18°LU,

diadaptasi dari Yu et al. (2010). ... 37 17 Rata-rata anomali SPL pada bulan SONDJF (September sampai

(28)

dikelompokan karena pola SPL yang terjadi cenderung menyebar

ke arah subtropis, diadaptasi dari Yu dan Kim (2010). ... 38 18 Pola evolusi anomali SPL dari grafik melintang terhadap waktu di

sepanjang ekuatorial Samudera Pasifik antara 5°LS-5°LU pada tahun-tahun terjadinya CP El Nino dari grup-1 (a-c), grup-2 (d-f) dan grup-3 (g-i) dari bulan Juli sampai Juni tahun berikutnya. (J), (k) dan (l) hasil komposit anomali SPL pada masing-masing grup-1, grup-2 dan grup-3 dengan menggunakan data SPL dari ERSST V3 dan (m), (n) dan (o) dengan menggunakan data dari HadISST,

diadaptasi dari Yu dan Kim (2010). ... 39 19 Anomali SPL (DJF) tahun 2009/10 pada saat terjadi CP El Nino pemanasan/pendinginan atmosfer secara adiabatik OLR (W/m2) pada saat terjadi El Nino konvensional dan El Nino Modoki. (e) dan (f) sumber pendinginan atmosfer secara adiabatik pada saat terjadi El Nino konvensional dan El Nino Modoki (K/hari). Tanda panah memperlihatkan pola sirkulasi angin pada ketinggian 500

mBar, diadaptasi dari Feng et al. (2010). ... 43 21 Indeks laut-atmosfer yang berada di BMI, Samudera Hindia dan

Pasifik sebagai indikator awal kedatangan berbagai fenomena laut dan atmosfer, diadaptasi dari berbagai sumber (Webster dan Yang, 1992; Wang dan Fan, 1999; Kajikawa et al., 2010; Saji et al., 1999; Philander, 1990; Trenberth dan Stepaniak, 2001; Meinen dan McPhaden, 2001; Ashok et al., 2007). Petak warna hijau (A-F) menunjukkan rata-rata anomali kecepatan angin zonal pada tekanan atmosfer 850 dBar (U850) dan 200 dBar (U200) sebagai indikator Muson, petak warna biru (G-I) menunjukkan indikator rata-rata anomali SPL (ASPL) pada petak di Samudera Hindia dengan fenomena dominan DM dan petak warna merah dan ungu (J-P) menunjukkan rata-rata anomali SPL dan (Q) rata-rata kedalaman pada suhu 20°C pada petak di Samudera Pasifik dengan fenomena dominan ENSO. Bulatan titik merah adalah anomali tekanan udara permukaan yang telah di standarisasikan di Tahiti (p(THT)) dan Darwin (p(DRW)). Keterangan secara rinci dari masing-masing

(29)

22 Posisi sarana observasi TRITON (tanda titik biru) dan data 24 Nilai eigen yang menunjukkan besar keragaman (%) dari 50 Mode

terbesar pertama hasil EOF (ditampilkan hanya 10 Mode) untuk parameter SPL (merah), kedalaman lapisan tercampur (biru), arus zonal (coklat), salinitas (hijau), arus meridional (ungu), kecepatan

arus (biru muda) dan arus vertikal (abu-abu). ... 103 25 Pola spasial Mode ke-1 (keragaman terbesar pertama dari 50 Mode

EOF) hasil analisis EOF data SPL (tanpa satuan) dengan keragaman sebesar 44.1% (a) dan deret waktu koefisien ekspansi (tanpa satuan) EOF (hitam), MSI (hijau), DMI (biru) dan SOI (merah) dari tahun 1979-1993 (b dan c). MSI, DMI dan SOI masing-masing dikalikan dengan konstanta agar sesuai dengan

skala koefisien ekspansi. ... 105 26 Energi densitas spektral koefisien ekspansi/KE (tanpa satuan) dari

tahun 1979-2007 pada Mode ke-1 (keragaman terbesar pertama dari 50 Mode EOF) hasil analisis EOF data SPL dengan keragaman

sebesar 44.1%. ... 106 27 Transformasi wavelet kontinyu (tanpa satuan) yang telah

dinormalkan dengan satuan energi dari koefisien ekspansi Mode ke-1 EOF (a) dan korelasi silang transformasi wavelet (tanpa satuan) yang telah dinormalkan dengan satuan energi antara Mode ke-1 dengan (b) MSI, (c) DMI dan (d) SOI. Garis kontur hitam menunjukkan selang kepercayaan 95%, daerah yang diburamkan adalah batas COI dan tanda panah menunjukkan beda fase dengan arah panah ke kanan (kiri) menunjukkan fase searah (berlawanan) dan arah ke bawah (atas) menunjukkan koefisien ekspansi (indeks)

mendahului indeks (koefisien ekspansi). ... 107 28 Sebaran horizontal anomali SPL fase positif yaitu rata-rata anomali

SPL (°C) pada waktu koefisien ekspansi Mode ke-1 EOF lebih besar daripada satu kali simpangan baku positifnya (a) dan fase negatif SPL lebih kecil daripada satu kali simpangan baku

negatifnya (b). ... 108 29 Pola melintang di sepanjang ekuatorial Samudera Hindia dan

Pasifik pada 5°LS-5°LU dari rata-rata anomali parameter (a) angin zonal ketinggian 10 m (m/s), (b) SPL (°C) dan (c) kedalaman lapisan tercampur (m) pada fase positif (biru) yaitu pada waktu nilai koefisien ekspansi Mode ke-1 EOF diatas satu kali simpangan baku positifnya dan fase negatif (merah) dibawah satu kali

(30)

30 Sebaran horizontal (a) rata-rata anomali angin ketinggian 10 m (m/s) dan (b) rata-rata anomali arus kedalaman 5 m (m/s) pada fase

positif Mode ke-1 EOF. ... 112 31 Sebaran melintang terhadap ketinggian atmosfer (mBar) pada

5°LS-5°LU dari (a) pola rata-rata anomali angin (arah zonal dalam m/s dan omega dalam cPa/s), (b) rata-rata anomali angin zonal (m/s), (c) rata-rata anomali suhu udara (°C) dan (d) rata-rata

anomali RH (%) pada fase positif Mode ke-1 EOF. ... 113 32 Sebaran horizontal dari (a) rata-rata anomali suhu potensial (°C)

kedalaman 5 meter dan (b) rata-rata anomali kedalaman lapisan

tercampur (m) pada fase positif Mode ke-1 EOF. ... 114 33 Sebaran horizontal dari (a) rata-rata anomali QS+QL (W/m2) dan (b)

rata-rata anomali P–E (mm/hari) pada fase positif Mode ke-1 EOF. ... 116 34 Skematika pola Sirkulasi Walker (biru) dan dinamika suhu massa

air pada fase positif Mode ke-1 EOF. Huruf (P) menunjukkan massa air hangat dan (D) massa air dingin dengan banyaknya tanda (+) menunjukkan semakin hangat dan tanda (-) semakin dingin. Panah hijau tua menunjukkan pengaruh angin Muson Tenggara dan hijau muda angin Muson Timur Laut dengan panjang panah menunjukkan kekuatannya. Panah merah menunjukkan arah pergeseran Sirkulasi Walker dengan panjang panah menunjukkan besar pergeserannya. Banyaknya tanda (>) menunjukkan kekuatan Sirkulasi Walker. Panah oranye menunjukkan arah arus dan biru muda menunjukkan transpor massa air dengan panjang panah

menunjukkan kekuatannya. ... 118 35 Sebaran horizontal (a) rata-rata anomali angin ketinggian 10 m

(m/s) dan (b) rata-rata anomali arus kedalaman 5 m (m/s) pada fase

negatif Mode ke-1 EOF. ... 121 36 Sebaran melintang terhadap ketinggian atmosfer (mBar) pada

5°LS-5°LU dari (a) pola rata-rata anomali angin (arah zonal dalam m/s dan omega dalam cPa/s), (b) rata-rata anomali angin zonal (m/s), (c) rata-rata anomali suhu udara (°C) dan (d) rata-rata

anomali RH (%) pada fase negatif Mode ke-1 EOF. ... 122 37 Sebaran horizontal dari (a) rata-rata anomali suhu potensial (°C)

kedalaman 5 meter dan (b) rata-rata anomali kedalaman lapisan

tercampur (m) pada fase negatif Mode ke-1 EOF. ... 123 38 Sebaran horizontal dari (a) rata-rata anomali QS+QL (W/m2) dan (b)

(31)

(merah) dari tahun 1979-1993 (b dan c). MSI, DMI dan SOI masing-masing dikalikan dengan konstanta agar sesuai dengan

skala koefisien ekspansi. ... 128 41 Energi densitas spektral koefisien ekspansi/KE (tanpa satuan) dari

tahun 1979-2007 pada Mode ke-2 (keragaman terbesar kedua dari 50 Mode EOF) hasil analisis EOF data SPL dengan keragaman

sebesar 22.7%. ... 129 42 Transformasi wavelet kontinyu (tanpa satuan) yang telah

dinormalkan dengan satuan energi dari koefisien ekspansi Mode ke-2 EOF (a) dan korelasi silang transformasi wavelet (tanpa satuan) yang telah dinormalkan dengan satuan energi antara Mode ke-2 dengan (b) MSI, (c) DMI dan (d) SOI. Keterangan tanda

gambar sama seperti pada Gambar 27. ... 130 43 Sebaran horizontal anomali SPL fase positif yaitu rata-rata anomali

SPL (°C) pada waktu koefisien ekspansi Mode ke-2 EOF lebih besar daripada satu kali simpangan baku positifnya (a) dan fase negatif SPL lebih kecil daripada satu kali simpangan baku

negatifnya (b). ... 133 44 Pola melintang di sepanjang ekuatorial Samudera Hindia dan

Pasifik pada 5°LS-5°LU dari rata-rata anomali parameter (a) angin zonal ketinggian 10 m (m/s), (b) SPL (°C) dan (c) kedalaman lapisan tercampur (m) pada fase positif (biru) yaitu pada waktu nilai koefisien ekspansi Mode ke-2 EOF diatas satu kali simpangan baku positifnya dan fase negatif (merah) dibawah satu kali

simpangan baku negatifnya. Satuan bujur dari 0-360. ... 135 45 Sebaran horizontal (a) rata-rata anomali angin ketinggian 10 m

(m/s) dan (b) rata-rata anomali arus kedalaman 5 m (m/s) pada fase

positif Mode ke-2 EOF... 139 46 Sebaran melintang terhadap ketinggian atmosfer (mBar) pada

5°LS-5°LU dari (a) pola rata-rata anomali angin (arah zonal dalam m/s dan omega dalam cPa/s), (b) rata-rata anomali angin zonal (m/s), (c) rata-rata anomali suhu udara (°C) dan (d) rata-rata

anomali RH (%) pada fase positif Mode ke-2 EOF. ... 141 47 Sebaran horizontal dari (a) rata-rata anomali suhu potensial (°C)

kedalaman 5 meter dan (b) rata-rata anomali kedalaman lapisan

tercampur (m) pada fase positif Mode ke-2 EOF... 143 48 Sebaran horizontal dari (a) rata-rata anomali QS+QL (W/m2) dan (b)

rata-rata anomali P–E (mm/hari) pada fase positif Mode ke-2 EOF. ... 144 49 Skematika pola Sirkulasi Walker (biru) dan dinamika suhu massa

air pada (a) fase awal dan (b) fase akhir dari fase positif Mode ke-2

EOF. Keterangan tanda gambar sama seperti pada Gambar 34. ... 146 50 Sebaran horizontal (a) rata-rata anomali angin ketinggian 10 m

(m/s) dan (b) rata-rata anomali arus kedalaman 5 m (m/s) pada fase

(32)

51 Sebaran melintang terhadap ketinggian atmosfer (mBar) pada 5°LS-5°LU dari (a) pola rata-rata anomali angin (arah zonal dalam m/s dan omega dalam cPa/s), (b) rata-rata anomali angin zonal (m/s), (c) rata-rata anomali suhu udara (°C) dan (d) rata-rata

anomali RH (%) pada fase negatif Mode ke-2 EOF. ... 153 52 Sebaran horizontal dari (a) rata-rata anomali suhu potensial (°C)

kedalaman 5 meter dan (b) rata-rata anomali kedalaman lapisan

tercampur (m) pada fase negatif Mode ke-2 EOF. ... 154 53 Sebaran horizontal dari (a) rata-rata anomali QS+QL (W/m2) dan (b)

rata-rata anomali P–E (mm/hari) pada fase negatif Mode ke-2 EOF. ... 156 54 Skematika pola Sirkulasi Walker (biru) dan dinamika suhu massa

air pada (a) fase awal dan (b) fase akhir dari fase negatif Mode ke-2

EOF. Keterangan tanda gambar sama seperti pada Gambar 34. ... 163 55 Pola spasial Mode ke-3 (keragaman terbesar ketiga dari 50 Mode

EOF) hasil analisis EOF data SPL (tanpa satuan) dengan keragaman sebesar 12.5% (a) dan deret waktu koefisien ekspansi (tanpa satuan) EOF (hitam), MSI (hijau), DMI (biru) dan SOI (merah) dari tahun 1979-1993 (b dan c). MSI, DMI dan SOI masing-masing dikalikan dengan konstanta agar sesuai dengan

skala koefisien ekspansi. ... 167 56 Energi densitas spektral koefisien ekspansi/KE (tanpa satuan) dari

tahun 1979-2007 pada Mode ke-3 (keragaman terbesar ketiga dari 50 Mode EOF) hasil analisis EOF data SPL dengan keragaman

sebesar 12.5%. ... 168 57 Transformasi wavelet kontinyu (tanpa satuan) yang telah

dinormalkan dengan satuan energi dari koefisien ekspansi Mode ke-3 EOF (a) dan korelasi silang transformasi wavelet (tanpa satuan) yang telah dinormalkan dengan satuan energi antara Mode ke-3 dengan (b) MSI, (c) DMI dan (d) SOI. Keterangan tanda

gambar sama seperti pada Gambar 27. ... 171 58 Sebaran horizontal anomali SPL fase positif yaitu rata-rata anomali

SPL (°C) pada waktu koefisien ekspansi Mode ke-3 EOF lebih besar daripada satu kali simpangan baku positifnya (a) dan fase negatif SPL lebih kecil daripada satu kali simpangan baku

negatifnya (b). ... 174 59 Pola melintang di sepanjang ekuatorial Samudera Hindia dan

Pasifik pada 5°LS-5°LU dari rata-rata anomali parameter (a) angin zonal ketinggian 10 m (m/s), (b) SPL (°C) dan (c) kedalaman lapisan tercampur (m) pada fase positif (biru) yaitu pada waktu nilai koefisien ekspansi Mode ke-3 EOF diatas satu kali simpangan baku positifnya dan fase negatif (merah) dibawah satu kali

simpangan baku negatifnya. Satuan bujur dari 0-360. ... 177 60 Sebaran horizontal (a) rata-rata anomali angin ketinggian 10 m

(m/s) dan (b) rata-rata anomali arus kedalaman 5 m (m/s) pada fase

(33)

61 Sebaran melintang terhadap ketinggian atmosfer (mBar) pada 5°LS-5°LU dari (a) pola rata-rata anomali angin (arah zonal dalam m/s dan omega dalam cPa/s), (b) rata-rata anomali angin zonal (m/s), (c) rata-rata anomali suhu udara (°C) dan (d) rata-rata

anomali RH (%) pada fase positif Mode ke-3 EOF. ... 182 62 Sebaran horizontal dari (a) rata-rata anomali suhu potensial (°C)

kedalaman 5 meter dan (b) rata-rata anomali kedalaman lapisan

tercampur (m) pada fase positif Mode ke-3 EOF... 184 63 Sebaran horizontal dari (a) rata-rata anomali QS+QL (W/m2) dan (b)

rata-rata anomali P–E (mm/hari) pada fase positif Mode ke-3 EOF. ... 186 64 Skematika pola Sirkulasi Walker (biru) dan dinamika suhu massa

air pada (a) fase awal dan (b) fase akhir dari fase positif Mode ke-3

EOF. Keterangan tanda gambar sama seperti pada Gambar 34. ... 188 65 Sebaran horizontal (a) rata-rata anomali angin ketinggian 10 m

(m/s) dan (b) rata-rata anomali arus kedalaman 5 m (m/s) pada fase

negatif Mode ke-3 EOF. ... 193 66 Sebaran melintang terhadap ketinggian atmosfer (mBar) pada

5°LS-5°LU dari (a) pola rata-rata anomali angin (arah zonal dalam m/s dan omega dalam cPa/s), (b) rata-rata anomali angin zonal (m/s), (c) rata-rata anomali suhu udara (°C) dan (d) rata-rata

anomali RH (%) pada fase negatif Mode ke-3 EOF. ... 195 67 Sebaran horizontal dari (a) rata-rata anomali suhu potensial (°C)

kedalaman 5 meter dan (b) rata-rata anomali kedalaman lapisan

tercampur (m) pada fase negatif Mode ke-3 EOF. ... 198 68 Sebaran horizontal dari (a) rata-rata anomali QS+QL (W/m2) dan (b)

rata-rata anomali P–E (mm/hari) pada fase negatif Mode ke-3 EOF... 203 69 Skematika pola Sirkulasi Walker (biru) dan dinamika suhu massa

air pada (a) fase awal dan (b) fase akhir dari fase negatif Mode ke-3

EOF. Keterangan tanda gambar sama seperti pada Gambar 34. ... 204 70 Pola spasial Mode ke-4 (keragaman terbesar keempat dari 50 Mode

EOF) hasil analisis EOF data SPL (tanpa satuan) dengan keragaman sebesar 4.4% (a) dan deret waktu koefisien ekspansi (tanpa satuan) EOF (hitam), MSI (hijau), DMI (biru) dan SOI (merah) dari tahun 1979-1993 (b dan c). MSI, DMI dan SOI masing-masing dikalikan dengan konstanta agar sesuai dengan

skala koefisien ekspansi. ... 212 71 Energi densitas spektral koefisien ekspansi/KE (tanpa satuan) dari

tahun 1979-2007 pada Mode ke-4 (keragaman terbesar keempat dari 50 Mode EOF) hasil analisis EOF data SPL dengan keragaman

sebesar 4.4%. ... 213 72 Transformasi wavelet kontinyu (tanpa satuan) yang telah

(34)

ke-4 dengan (b) MSI, (c) DMI dan (d) SOI. Keterangan tanda

gambar sama seperti pada Gambar 27. ... 214 73 Sebaran horizontal anomali SPL fase positif yaitu rata-rata anomali

SPL (°C) pada waktu koefisien ekspansi Mode ke-4 EOF lebih besar daripada satu kali simpangan baku positifnya (a) dan fase negatif SPL lebih kecil daripada satu kali simpangan baku

negatifnya (b). ... 216 74 Pola melintang di sepanjang ekuatorial Samudera Hindia dan

Pasifik pada 5°LS-5°LU dari rata-rata anomali parameter (a) angin zonal ketinggian 10 m (m/s), (b) SPL (°C) dan (c) kedalaman lapisan tercampur (m) pada fase positif (biru) yaitu pada waktu nilai koefisien ekspansi Mode ke-4 EOF diatas satu kali simpangan baku positifnya dan fase negatif (merah) dibawah satu kali

simpangan baku negatifnya. Satuan bujur dari 0-360. ... 218 75 Sebaran horizontal (a) rata-rata anomali angin ketinggian 10 m

(m/s) dan (b) rata-rata anomali arus kedalaman 5 m (m/s) pada fase

positif Mode ke-4 EOF. ... 225 76 Sebaran melintang terhadap ketinggian atmosfer (mBar) pada

5°LS-5°LU dari (a) pola rata-rata anomali angin (arah zonal dalam m/s dan omega dalam cPa/s), (b) rata-rata anomali angin zonal (m/s), (c) rata-rata anomali suhu udara (°C) dan (d) rata-rata

anomali RH (%) pada fase positif Mode ke-4 EOF. ... 229 77 Sebaran horizontal dari (a) rata-rata anomali suhu potensial (°C)

kedalaman 5 meter dan (b) rata-rata anomali kedalaman lapisan

tercampur (m) pada fase positif Mode ke-4 EOF. ... 230 78 Sebaran horizontal dari (a) rata-rata anomali QS+QL (W/m2) dan (b)

rata-rata anomali P–E (mm/hari) pada fase positif Mode ke-4 EOF. ... 232 79 Skematika pola Sirkulasi Walker (biru) dan dinamika suhu massa

air pada (a) fase awal dan (b) fase akhir dari fase positif Mode ke-4

EOF. Keterangan tanda gambar sama seperti pada Gambar 34. ... 235 80 Sebaran horizontal (a) rata-rata anomali angin ketinggian 10 m

(m/s) dan (b) rata-rata anomali arus kedalaman 5 m (m/s) pada fase

negatif Mode ke-4 EOF. ... 243 81 Sebaran melintang terhadap ketinggian atmosfer (mBar) pada

5°LS-5°LU dari (a) pola rata-rata anomali angin (arah zonal dalam m/s dan omega dalam cPa/s), (b) rata-rata anomali angin zonal (m/s), (c) rata-rata anomali suhu udara (°C) dan (d) rata-rata

anomali RH (%) pada fase negatif Mode ke-4 EOF. ... 245 82 Sebaran horizontal dari (a) rata-rata anomali suhu potensial (°C)

kedalaman 5 meter dan (b) rata-rata anomali kedalaman lapisan

tercampur (m) pada fase negatif Mode ke-4 EOF. ... 248 83 Sebaran horizontal dari (a) rata-rata anomali QS+QL (W/m2) dan (b)

(35)

84 Skematika pola Sirkulasi Walker (biru) dan dinamika suhu massa air pada (a) fase awal dan (b) fase akhir dari fase negatif Mode ke-4

EOF. Keterangan tanda gambar sama seperti pada Gambar 34. ... 252 85 Pola spasial Mode ke-5 (keragaman terbesar kelima dari 50 Mode

EOF) hasil analisis EOF data SPL (tanpa satuan) dengan keragaman sebesar 2.8% (a) dan deret waktu koefisien ekspansi (tanpa satuan) EOF (hitam), MSI (hijau), DMI (biru) dan SOI (merah) dari tahun 1979-1993 (b dan c). MSI, DMI dan SOI masing-masing dikalikan dengan konstanta agar sesuai dengan

skala koefisien ekspansi. ... 258 86 Energi densitas spektral koefisien ekspansi/KE (tanpa satuan) dari

tahun 1979-2007 pada Mode ke-5 (keragaman terbesar kelima dari 50 Mode EOF) hasil analisis EOF data SPL dengan keragaman

sebesar 2.8%. ... 259 87 Transformasi wavelet kontinyu (tanpa satuan) yang telah

dinormalkan dengan satuan energi dari koefisien ekspansi Mode ke-5 EOF (a) dan korelasi silang transformasi wavelet (tanpa satuan) yang telah dinormalkan dengan satuan energi antara Mode ke-5 dengan (b) MSI, (c) DMI dan (d) SOI. Keterangan tanda

gambar sama seperti pada Gambar 27. ... 260 88 Sebaran horizontal anomali SPL fase positif yaitu rata-rata anomali

SPL (°C) pada waktu koefisien ekspansi Mode ke-5 EOF lebih besar daripada satu kali simpangan baku positifnya (a) dan fase negatif SPL lebih kecil daripada satu kali simpangan baku

negatifnya (b). ... 261 89 Pola melintang di sepanjang ekuatorial Samudera Hindia dan

Pasifik pada 5°LS-5°LU dari rata-rata anomali parameter (a) angin zonal ketinggian 10 m (m/s), (b) SPL (°C) dan (c) kedalaman lapisan tercampur (m) pada fase positif (biru) yaitu pada waktu nilai koefisien ekspansi Mode ke-5 EOF diatas satu kali simpangan baku positifnya dan fase negatif (merah) dibawah satu kali

simpangan baku negatifnya. Satuan bujur dari 0-360. ... 267 90 Sebaran horizontal (a) rata-rata anomali angin ketinggian 10 m

(m/s) dan (b) rata-rata anomali arus kedalaman 5 m (m/s) pada fase

positif Mode ke-5 EOF... 273 91 Sebaran melintang terhadap ketinggian atmosfer (mBar) pada

5°LS-5°LU dari (a) pola rata-rata anomali angin (arah zonal dalam m/s dan omega dalam cPa/s), (b) rata-rata anomali angin zonal (m/s), (c) rata-rata anomali suhu udara (°C) dan (d) rata-rata

anomali RH (%) pada fase positif Mode ke-5 EOF. ... 276 92 Sebaran horizontal dari (a) rata-rata anomali suhu potensial (°C)

kedalaman 5 meter dan (b) rata-rata anomali kedalaman lapisan

tercampur (m) pada fase positif Mode ke-5 EOF... 278 93 Sebaran horizontal dari (a) rata-rata anomali QS+QL (W/m2) dan (b)

(36)

94 Skematika pola Sirkulasi Walker (biru) dan dinamika suhu massa air pada (a) fase awal dan (b) fase akhir dari fase positif Mode ke-5

EOF. Keterangan tanda gambar sama seperti pada Gambar 34. ... 283 95 Sebaran horizontal (a) rata-rata anomali angin ketinggian 10 m

(m/s) dan (b) rata-rata anomali arus kedalaman 5 m (m/s) pada fase

negatif Mode ke-5 EOF. ... 291 96 Sebaran melintang terhadap ketinggian atmosfer (mBar) pada

5°LS-5°LU dari (a) pola rata-rata anomali angin (arah zonal dalam m/s dan omega dalam cPa/s), (b) rata-rata anomali angin zonal (m/s), (c) rata-rata anomali suhu udara (°C) dan (d) rata-rata

anomali RH (%) pada fase negatif Mode ke-5 EOF. ... 294 97 Sebaran horizontal dari (a) rata-rata anomali suhu potensial (°C)

kedalaman 5 meter dan (b) rata-rata anomali kedalaman lapisan

tercampur (m) pada fase negatif Mode ke-5 EOF. ... 296 98 Sebaran horizontal dari (a) rata-rata anomali QS+QL (W/m2) dan (b)

rata-rata anomali P–E (mm/hari) pada fase negatif Mode ke-5 EOF. ... 300 99 Skematika pola Sirkulasi Walker (biru) dan dinamika suhu massa

air pada (a) fase awal dan (b) fase akhir dari fase negatif Mode ke-5

EOF. Keterangan tanda gambar sama seperti pada Gambar 34. ... 303 100 Sisa selisih bahang yang tidak dilepaskan/disimpan antara fase

positif dan negatif pada setiap Mode EOF berturut-turut (a)-(e) dari Mode ke-1sampai Mode ke-5 EOF, dihitung dengan menjumlahkan fase positif dan negatif. Jika tidak terdapat sisa bahang maka akan

memiliki nilai nol. ... 311 101 Sisa selisih anomali P–E antara fase positif dan negatif pada setiap

Mode EOF berturut-turut (a)-(e) dari Mode ke-1sampai Mode ke-5 EOF, dihitung dengan menjumlahkan fase positif dan negatif. Jika

(37)
(38)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Perbandingan antara data asimilasi GFDL dan TRITON,

berturut-turut untuk parameter arus zonal, meridional dan vertikal dan berturut-turut pada TRITON 01-12 dan 18 (satuan arus dalam

cm/s) ... 347 2 Sebaran melintang kedalaman terhadap waktu perbandingan antara

data suhu potensial (°C) TRITON (a) dan data asimilasi GFDL (b) dan (c) dan (d) untuk parameter salinitas (psu), berturut-turut pada

TRITON 01-12 dan 18 ... 360 3 Diagram suhu potensial-salinitas perbandingan antara data ARGO

(merah) dan data asimilasi GFDL (biru) pada Petak-01 sampai Petak-20, berturut-turut dari (a)-(t). Satuan suhu potensial dalam °C

dan salinitas dalam psu ... 373 4 Pola melintang di sepanjang ekuatorial Samudera Hindia dan

Pasifik pada 5°LS-5°LU dari rata-rata anomali parameter (a) suhu udara ketinggian 2 m (°C), (b) tekanan udara permukaan laut (mBar) dan (c) fluks bersih bahang melalui evaporasi (W/m2) pada fase positif (biru) yaitu pada waktu nilai koefisien ekspansi EOF diatas satu kali simpangan baku positifnya dan negatif (merah) dibawah satu kali simpangan baku negatifnya, berturut-turut dari

Mode-1 sampai Mode-5 EOF. Satuan bujur dari 0-360 ... 377 5 Sebaran horizontal anomali OLR bersih (W/m2) dan anomali curah

hujan (mm/hari), berturut-turut pada fase positif sampai negatif dari

(39)
(40)

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perairan Asia Tenggara dan sekitarnya memiliki variabilitas laut-atmosfer yang besar akibat dari fluktuasi parameter oseanografi yang berasal dari perairan Samudera Pasifik dan Samudera Hindia pada arah zonal dan pada arah meridional berasal dari Laut Cina Selatan, perairan utara dan selatan Jawa dan perairan barat Australia (Luo et al., 2010). Variabilitas ini juga berinteraksi dengan fluktuasi parameter iklim di atas daratan dan lautan yang akan menentukan kondisi atmosfer di wilayah Indonesia. Pergerakan simpul Sirkulasi Walker dan Hadley ke arah zonal maupun meridional mengikuti pula fluktuasi kandungan bahang yang terkumpul di atas wilayah Indonesia akibat dari variabilitas laut yang besar, dimana perubahan kekuatan dari Sirkulasi Walker dan Hadley ini kembali lagi mempengaruhi dinamika di perairan Asia Tenggara dan sekitarnya (Chang, 2005). Beragam fenomena laut dan atmosfer yang telah ditemukan sebelumnya semakin memperlihatkan besarnya variabilitas laut dan atmosfer di wilayah Asia Tenggara dan sekitarnya. Fenomena-fenomena tersebut memiliki beragam siklus, baik skala ruang maupun waktu. Pada skala ruang, suatu perairan di Asia Tenggara dan sekitarnya dapat dipengaruhi satu atau lebih fenomena dengan siklus waktu yang bervariasi meliputi siklus semi harian (semidiurnal), siklus harian (diurnal), siklus dalam musiman (intraseasonal), siklus musiman

(seasonal), siklus semi tahunan (semiannual), siklus tahunan (annual), siklus

antar tahunan (interannual), siklus dekadal (decadal), siklus antar dekadal

(interdecadal) dan siklus abad (centennial) (Chang, 2005; Saha, 2010). Variasi

pada skala ruang dari fenomena yang berbeda terdapat interaksi antar satu perairan dengan perairan lainnya, begitu pula antar skala waktu suatu fenomena yang berbeda akan berinteraksi satu sama lain pada suatu perairan tertentu di wilayah Asia Tenggara dan sekitarnya.

(41)

Samudera Hindia dan Laut Cina Selatan terjadi di perairan Indonesia pada kedalaman yang beragam dimana proses percampuran ini diperkuat oleh beragam regim pasang surut dan variabilitas curah hujan yang tinggi sebagai sumber massa air tawar sehingga perairan Indonesia dapat dikatakan sebagai pengatur massa air antar samudera. Oleh karena itu dalam melakukan kajian mengenai variabilitas perairan di Asia Tenggara dan sekitarnya perlu penelaahan jauh lebih komprehensif bagaimana interelasi antar suatu fenomena dengan fenomena laut-atmosfer lainnya dan bagaimana interaksinya pada suatu perairan di Indonesia serta proses-proses fisis apa yang mengiringi sebagai respon perubahan yang dialaminya.

Fenomena yang dominan mempengaruhi variabilitas laut-atmosfer di wilayah Asia Tenggara dan sekitarnya adalah Muson, Dipole Mode (DM) dan El

Nino Southern Oscillation (ENSO) dengan siklus waktu dari musiman sampai

antar tahunan (Chang, 2005; Luo et al., 2010; Annamalai et al., 2010). Sementara itu, fenomena dengan siklus dibawah musiman seperti Madden-Julian Oscillation (MJO) lebih berperan mempengaruhi variabilitas cuaca dalam skala lokal dan siklus diatas antar tahunan seperti Pacific Decadal Oscillation (PDO) lebih berperan sebagai indikator fase hangat dan dingin dari perubahan iklim global yang berkaitan dengan pemanasan global (global warming) dalam skala dunia (Waliser et al., 2006; Yon dan Yeh, 2010). Fenomena Muson, DM dan ENSO baik secara langsung maupun tidak langsung sangat mempengaruhi aktifitas manusia di wilayah Indonesia.

(42)

Neelin (2007) menguatkan pendapat tersebut dengan memperlihatkan terdapat perubahan kandungan uap air pada fase basah dan kering di atmosfer.

Tujuan sebelumnya dari penelitian mengenai Muson adalah menentukan daerah yang mengalami siklus Muson dan mekanisme yang bekerja pada sistem Muson tersebut (Ramage, 1971; Fein dan Stephens, 1987; Webster, 1987; Yang et al., 1992; Douglas et al., 1993; Hastenrath, 1994; McBride et al., 1995; Tomas dan Webster, 1997; Webster et al., 1998). Pada perkembangannya, saat ini penelitian mengenai Muson mulai mengkaji bagaimana interaksi Muson dengan DM dan kaitannya dengan dinamika laut-atmosfer di Samudera Hindia (Kulkarni

et al., 2007; Zhang dan Li, 2008; Ding et al., 2010; Zuluaga et al., 2010; Yang et

al., 2010; Rao et al., 2010). Dinamika di Samudera Pasifik yang berkaitan dengan ENSO dan interaksinya dengan Muson, juga mulai dikaji lebih mendalam karena varibilitas yang ditimbulkan oleh ENSO terhadap dinamika Muson sangat besar dan berdampak pada skala luas (Kitoh et al., 1999; Susanto et al., 2001; tersebut hanya berdampak di Samudera Pasifik saja. Bjerknes (1969) adalah orang yang pertama mengemukakan mekanisme kerja El Nino dan kaitannya dengan

Southern Oscillation yang dikemukakan oleh Walker. Oleh karena itu, fenomena

tersebut lebih dikenal dengan sebutan El Nino Southern Oscillation (ENSO). Secara lebih mendalam, Philander (1990) mengupas lebih lengkap dari mulai sejarah ditemukannya ENSO sampai dengan proses yang terjadi dari hasil interaksi laut-atmosfer pada periode datangnya ENSO dan fase kebalikan El Nino yaitu La Nina.

(43)

menggunakan pendekatan metode statistik dari luaran model dinamis suhu permukaan laut (SPL) telah berhasil memprediksi 2-3 bulan sebelum datang El Nino 1997 dan La Nina 1998. Begitu pula yang dilakukan oleh Landsea dan Knaff (2000) dengan menggunakan pendekatan metode statistik dari variabilitas angin dan gangguan dinamika Muson telah berhasil memprediksi El Nino dan La Nina kuat di periode 1997 dan 1998 sampai dengan 6 bulan sebelumnya.

Kegagalan memprediksi datangnya ENSO terjadi pada periode 2001 dimana Kirtman dan Min (2009) memperlihatkan kesalahan secara kuantitatif metode kualitatif yang digunakan oleh Barnston et al. (1999) dan Landsea dan Knaff (2000). Kirtman dan Min (2009) kemudian memecahkan kegagalan tersebut dengan berhasil memprediksi ENSO dari anomali SPL di Nino3.4 pada tiga, lima dan delapan bulan sebelumnya menggunakan pendekatan data ensemble beberapa luaran model (multimodel) dari Community Climate System Model versi 3 (CCSM3.0) yang dikeluarkan oleh National Center for Atmospheric Research (NCAR) dan data asimilasi dari Geophysical Fluid Dynamics Laboratory (GFDL), National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA). Nilai koefisien determinasi terbesar pada prediksi 3 bulan sebelum kejadian ENSO yaitu sebesar 0.89 dengan selang kepercayaan antara 0.85-0.92.

Fenomena interaksi laut-atmosfer di Samudera Hindia dengan dinamikanya yang hampir mirip dengan ENSO adalah Indian Ocean Dipole Mode dimana massa air hangat yang biasanya berada di sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia (perairan sebelah barat Sumatera) bergerak ke arah barat sampai di perairan sebelah barat Samudera Hindia (Saji et al., 1999; Webster et al., 1999). Perpindahan massa air hangat ini memperkuat anomali angin ke arah barat yang memicu terjadinya upwelling di pesisir pantai barat Sumatera. Equatorial jets melemah sehingga mengurangi transpor massa air ke arah timur dan mengakibatkan berkurangnya kedalaman lapisan termoklin di perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia dan meningkat di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Hindia.

(44)

menggunakan model laut-atmosfer Climate Model versi 2.1 (CM2.1) dari GFDL telah memperlihatkan bahwa terdapat pengaruh yang besar dari anomali SPL regional di perairan Indonesia terhadap awal pembentukan DM dan ENSO kuat dan disarankan untuk melakukan penelitian lebih lanjut lagi untuk melihat kemungkinan pengaruh angin lokal, kehilangan bahang dan penguapan serta terjadinya upwelling di perairan barat dan timur Indonesia sebagai penyebab utama pemicu terjadinya ENSO dan DM (Annamalai et al., 2010). Kemampuan untuk melakukan prediksi ENSO dan DM secara lebih tepat semakin meningkat, dimana Luo et al. (2010) memperlihatkan pengaruh ENSO di Samudera Hindia dan pengaruh DM di Samudera Pasifik akan meningkatkan kekuatan DM dan ENSO serta perubahan dinamika Sirkulasi Walker di atas perairan Indonesia yang akan mempengaruhi kestabilan kondisi Muson di wilayah Asia Tenggara dan sekitarnya.

Seperti halnya Muson dan ENSO, mekanisme dinamika laut-atmosfer yang bekerja di dalam DM melibatkan dinamika laut-atmosfer yang terjadi di perairan barat Indonesia, sedangkan ENSO di perairan timur Indonesia dan sistem Muson di perairan utara dan selatan Indonesia. Simpul interaksi dari ketiga fenomena dan kronologis awal proses dari masing-masing fenomena tersebut berada di wilayah Indonesia dimana proses dinamika fisis dan interaksinya di perairan Indonesia belum terkuak dengan jelas. Pendekatan kajian yang dilakukan pada penelitian ini mengharuskan penggunaan metodologi yang tepat, data deret waktu yang panjang dan pemilihan domain (area studi) yang mampu mengisolasi proses dinamika dan interaksi antara ketiga fenomena tersebut sehingga dapat diinterpretasikan dengan tepat.

(45)

potensi dampak yang ditimbulkannya. Pada penelitian ini, akan difokuskan untuk mengungkap jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas.

1.2 Perumusan Masalah

Interaksi fenomena Muson, DM dan ENSO di perairan Asia Tenggara dan sekitarnya sangat penting untuk dikaji secara mendalam berkaitan dengan dampak lokal, regional dan global yang ditimbulkannya. Minimnya kajian interaksi Muson, DM dan ENSO secara khusus di perairan Asia Tenggara dan sekitarnya telah mereduksi kemungkinan bahwa pemicu terjadinya DM dan ENSO berada di perairan Indonesia dan sekitarnya. Penelitian sebelumnya yang dilakukan lebih banyak mengkaji Muson, DM dan ENSO secara individu dari fenomenanya itu sendiri, tidak secara komprehensif mengarah kepada kemungkinan adanya interaksi satu sama lain.

Fokus penelitian yang dilakukan sebelumnya lebih banyak mengkaji penyebab datangnya DM dan ENSO serta bagaimana memprediksi terjadinya DM dan ENSO secara independen. Pengaruh faktor lokal dan regional kondisi laut-atmosfer di wilayah perairan Indonesia dan sekitarnya belum tersentuh seutuhnya sebagai bagian penting bahwa terdapat dugaan kemungkinan pemicu terjadinya DM dan ENSO dengan pertimbangan bahwa perairan Indonesia dan sekitarnya merupakan simpul interaksi Muson, DM dan ENSO yang secara geografis berada di antara dua samudera, Hindia dan Pasifik dengan fenomenanya DM dan ENSO serta di antara dua benua, Asia dan Australia dengan sistem Musonnya (Vranes et al., 2002; Neale dan Slingo, 2003; McBride et al., 2003; Jochum dan Potemra, 2008; Koch et al., 2010; Brierley dan Fedorov, 2011).

(46)

ENSO. Koefisien ekspansi dari hasil EOF dianalisis lebih lanjut dengan menggunakan continuous wavelet transform (CWT) dan cross wavelet transform (XWT) untuk mengkaji proses dinamika interaksi dan kemungkinan pemicu awal datangnya Muson, DM dan ENSO. Hasil penelitian ini dapat mendukung bidang iklim, perikanan dan kelautan. Sistematika permasalahan dan proses penyelesaian masalah untuk mencapai tujuan penelitian disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Sistematika permasalahan dan proses penyelesaian masalah untuk mencapai tujuan penelitian.

1.3 Tujuan Penelitian

(47)

karena itu, hasil penelitian yang dilakukan memiliki beberapa tujuan yang terkait satu sama lain. Tujuan dari penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut:

- Mengkaji variabilitas laut-atmosfer dan proses dinamika interaksi antara Muson, DM dan ENSO secara simultan terhadap SPL di perairan Asia Tenggara dan sekitarnya.

- Mengkaji kemungkinan pemicu awal datangnya DM dan ENSO.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini dapat dimanfatkan untuk penelitian dibidang lain yang terkait secara lebih luas dan membantu dalam proses pengambilan keputusan untuk menentukan suatu kebijakan dalam pengelolaan perairan di wilayah Indonesia dengan mempertimbangkan kondisi lokal, regional maupun faktor global. Secara lebih rinci manfaat dari hasil penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut:

- Mendapatkan pemahaman lebih mendalam mengenai variabilitas laut-atmosfer dan proses dinamika interaksi antara Muson, DM dan ENSO secara simultan terhadap SPL, sehingga dapat mendukung aktifitas dibidang kelautan, perikanan dan iklim di perairan Asia Tenggara dan sekitarnya.

(48)

2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Muson

Muson atau disebut pula Monsun (Monsoon) atau jika berkaitan dengan fase basah (hujan) dan kering (kemarau) umumnya disebut pula sebagai musim dan untuk selanjutnya disebut sebagai Muson atau musim merupakan salah satu proses dinamika atmosfer yang telah lama dikenal dan merupakan faktor penting dari dinamika iklim pada daerah tropis dan sekitarnya di dunia (Ramage, 1971; Fein dan Stephens, 1987; Webster, 1987; Yang et al., 1992; Douglas et al., 1993; Hastenrath, 1994; McBride et al., 1995; Tomas dan Webster, 1997; Webster et al., 1998). Faktor penyebab utama dinamika Muson adalah pergerakan semu matahari ke arah utara-selatan sebesar 23.5°, parameter Coriolis, topografi dan perbedaan paparan dan karakter antara daratan dan lautan di bumi dalam menerima bahang dari matahari. Pergerakan semu matahari mengakibatkan pada waktu-waktu tertentu terjadi perbedaan pemanasan antara Benua Asia di belahan bumi utara (BBU) dan Benua Australia di belahan bumi selatan (BBS) dan perbedaan karakter penerimaan bahang antara daratan dan lautan dalam menyimpan bahang pada belahan bumi yang sama. Perbedaan inilah yang menyebabkan parameter suhu udara merupakan faktor penting dalam menentukan proses dinamika muson. Parameter atmosfer lainnya yang terlibat meliputi tekanan udara, angin, kandungan uap air dan curah hujan.

(49)

barat daya ke arah timur laut di BBU. Kondisi ini akan terjadi sebaliknya pada bulan Desember dimana matahari berada 23.5° di BBS (Webster, 1987).

Perbedaan paparan dan karakter penerimaan bahang dari matahari antara daratan dan lautan dalam skala regional maupun lokal juga berpengaruh pada perubahan arah pergerakan angin dari BBS ke utara. Daratan mempunyai karakter lebih cepat menerima bahang dari matahari dan lebih cepat pula melepaskan bahang, sedangkan lautan lebih lambat menerima bahang dan lebih lama menyimpan bahang. Perbedaan luasan paparan antara daratan dan lautan berperan dalam menentukan total bahang masing-masing dari daratan dan lautan. Kandungan bahang yang besar akan memiliki suhu yang tinggi dan tekanan udara yang rendah, begitu pula kondisi sebaliknya (Webster et al., 1998). Oleh karena itu, jika daratan memiliki bahang yang besar, sedangkan lautan memiliki bahang yang kecil maka arah pergerakan angin akan bergerak dari lautan menuju daratan. Gerakan angin ini pula dipengaruhi oleh parameter Coriolis dimana angin akan dibelokkan ke arah kiri di BBS dan ke arah kanan di BBU.

(50)

Muson umumnya memiliki siklus tahunan mengikuti siklus pergerakan semu matahari. Pola muson yang dapat diamati dari suhu udara, SPL, tekanan udara, outgoing longwave radiation (OLR) maupun curah hujan dipengaruhi oleh posisi lintang, paparan daratan dan lautan dan profil topografi. Variasi yang terjadi dari siklus muson seperti awal musim, panjang musim dan total curah hujan tahunan dipengaruhi oleh siklus dari fenomena lain seperti faktor lokal pada skala sinoptik dan diurnal (Yang dan Slingo, 2001; Kikuchi dan Wang, 2008; Mori et al., 2004; Sakurai et al., 2005), MISO/Monsoon Intraseasonal Oscillation dengan siklus 10-20 harian (Waliser, 2006), MJO dengan siklus 30-50 hari (Wang dan

sangat besar pula mempengaruhi kekuatan sirkulasi Hadley arah meridional, sehingga dinamika Muson berperan luas terhadap dinamika atmosfer dalam skala global (Webster, 2004).

Dominan siklus tahunan Muson berada pada daerah tropis dan subtropis karena adanya pengaruh dari gerakan semu matahari, tetapi tidak semua di wilayah ini memiliki sifat Muson karena adanya perbedaan paparan daratan dan lautan. Ramage (1971), Webster (1987) dan Neelin (2007) telah mendefinisikan bahwa regim Muson adalah daerah yang terdapat perubahan dengan siklus tahunan dari parameter angin, kandungan uap air dan curah hujan. Chang (2005) membagi regim Muson menjadi delapan Muson regional meliputi South Asian

Monsoon, East Asian Monsoon, Southeast Asia Monsoon, Western North Pacific

Monsoon, Australian Monsoon, North American Monsoon, South American

Monsoon dan West African Monsoon, sedangkan Saha (2010) membaginya dalam

Muson regional yaitu South Asian Monsoon (Region I), East Asian Monsoon

Gambar

Gambar 1 Sistematika permasalahan dan proses penyelesaian masalah untuk
Gambar 2 Evolusi DM dari hasil analisis komposit SPL di Samudera Hindia
Gambar 3 Pola perambatan anomali (a) SPL (°C) pada 5°LU-5°LS, (b) angin
Gambar 4 Pola sebaran horizontal (a) anomali SPL (°C), (b) anomali OLR (W
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kondisi optimum pengepresan minyak adalah pada temperatur pemanggangan 120 0 C dan frekuensi pengepresan 8 kali dengan yield minyak 67,24 % dan bilangan asam 19,27 mg KOH / g

Dengan demikian, segala aktivitas komunikasi politik berfungsi pula sebagai suatu proses sosialisasi bagi anggota masyarakat yang terlibat baik secara

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul “Analisis Peranan Laz Rumah Zakat Dalam Pengembangan Usaha Kecil Dan

Salwa yang sudah berbentuk salep untuk wasir terbuat dari campuran herbal, diantaranya adalah propolis murni, minyak zaitun, binahong dan bahan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan kolkisin tidak berpengaruh terhadap fenotipe pertumbuhan awal, namun terdapat tanaman sirsak yang mempunyai sifat

Skripsi tentang analisis program acara televisi telah dilakukan oleh Firi Nurjannah tahun 2007 yang berjudul Analisis Program Kajian Silaturahmi di Trans 7. Tujuan

dimaksud pada ayat (1) untuk setiap jenjang jabatan.. diatur lebih lanjut oleh Pimpinan

[r]