PADA FORMULASI PEMPEK PATIN (
Pangasius pangasius
)
SUSI LESTARI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ”Penggunaan Bahan Pencuci Alkali dan Perendaman Filet dalam Pembuatan Surimi pada Formulasi Pempek Patin (Pangasius pangasius)” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juli 2011
Susi Lestari
SUSI LESTARI. The Use of Alkaline Agents and Soaking Fillet on Making of Catfish Surimi (Pangasius pangasius) on Pempek Formulation. Supervised by JOKO SANTOSO and AGOES MARDIONO JACOEB.
Catfish (Pangasius pangasius) was initially washed with NaHCO3 and Na2HPO4 solution (0%, 3%, 5% and 7% w/v), followed by 1, 2, 3 and 4-washing cycles to obtain surimi with lower fat content and better gel strength. At alkaline solution of 0% (water) and one-washing cycle produced best gel strength of surimi (230,42 g.cm) and had fat content lower in compared to minced flesh. Soaking of fillet before mincing were carried out for 0, 10, 20 and 30 minutes and followed by either with or without washing. The treatments were performed to determine the effectiveness of washing with water to reduce fat content. The gel strength of the surimi was prepared by 30-minutes soaking and one-washing cycle in cold water was highest. This surimi was subsequently used in pempek
formulation. Commercial pempek was used as comparing control. Based on the different assessment of panelists gained formulation of 400 g surimi, tapioca 200 g, 150 ml water and 24 g of salt produced the best pempek. The level of similarity between this pempek with comparing control is 65%.
SUSI LESTARI.
Penggunaan Bahan Pencuci Alkali dan Perendaman Filet dalam Pembuatan Surimi pada Formulasi Pempek Patin (Pangasius pangasius). Dibimbing oleh JOKO SANTOSO dan AGOES MARDIONO JACOEB.Palembang sebagai sentra produksi pempek, mengandalkan bahan baku pembuatan pempek gabus dari hasil tangkapan. Pada beberapa tahun terakhir muncul kecenderungan hasil tangkapan yang semakin kecil ukurannya. Ikan gabus belum dapat dibudidayakan dan harganya mahal. Penggunaan bahan baku alternatif perlu dilakukan dengan memanfaatkan ikan budidaya dengan tingkat produksi tinggi dan bernilai jual rendah misalnya ikan patin.
Patin banyak digunakan oleh masyarakat setempat sebagai bahan baku masakan tradisional, seperti pindang dan brengkes. Kadar lemak yang tinggi menyebabkan warna daging agak kekuningan dan kemampuan membentuk gel menjadi rendah.
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan jenis, konsentrasi larutan, frekuensi pencucian dan lama perendaman filet yang menghasilkan mutu surimi terbaik dilihat dari atribut kekuatan gel kamaboko, penurunan kadar lemak, dan derajat putih surimi. Surimi terbaik diformulasikan untuk menghasilkan pempek yang sama/menyerupai dengan pempek gabus.
Sodium hidrogen karbonat (NaHCO3) dan di-sodium hidrogen fosfat (Na2HPO4) digunakan dalam proses pencucian, dengan konsentrasi 0%, 3%, 5% dan 7% (b/v) dan frekuensi pencucian 0, 1, 2, 3 dan 4 kali. Perendaman dalam air dingin dilakukan pada filet sebelum dilumatkan dengan lama 0, 10, 20 dan 30 menit. Surimi terbaik ditentukan berdasarkan parameter kekuatan gel dan kadar lemak. Surimi terbaik dibuat pempek dengan beberapa formulasi yaitu formulasi 1 (surimi patin 400 g, tapioka 400 g, air 200 g, garam 32g), formulasi 2 (surimi patin 400 g, tapioka 300 g, air 175 g, garam 28 g), formulasi 3 (surimi patin 400 g, tapioka 200 g, air 150 g, garam 24 g) dan formulasi 4 (surimi patin 400 g, tapioka 100 g, air 125 g, garam 20 g). Surimi dan pempek patin dianalisis karakteristik kimia, fisik dan sensorinya. Analisis kimia meliputi pH, kadar air, kadar lemak dan kadar protein. Analisis sifat fisik meliputi rendemen, derajat putih dan kekuatan gel. Analisis sensori meliputi uji sensori surimi, uji skoring mutu kamaboko dan uji pembeda pasangan pempek patin dengan pembanding pempek gabus komersial.
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok faktorial pada penelitian tahap pertama dan rancangan acak lengkap pada penelitian tahap dua dan tiga. Analisis ragam dilakukan terhadap data parametrik dan diuji lanjut dengan uji Tukey. Data organoleptik surimi dianalisis dengan uji statistika nonparametrik Kruskal-Wallis dan diuji lanjut dengan uji perbandingan berganda. Analisis ragam dilakukan terhadap data sensori pempek dan diuji lanjut dengan uji Dunnet untuk menganalisis uji beda pasangan pempek formulasi dengan kontrol.
Perendaman filet dalam air dingin selama 30 menit dan dilanjutkan dengan pencucian menghasilkan surimi terbaik. Surimi ini memiliki nilai pH 6,82, kadar lemak 7,12%, derajat putih 68,64% dan kekuatan gel 278,15 g.cm.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
PADA FORMULASI PEMPEK PATIN (
Pangasius pangasius
)
SUSI LESTARI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Teknologi Hasil Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
i
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2009 ialah surimi dengan judul ”Penggunaan Bahan Pencuci Alkali dan Perendaman Filet dalam Pembuatan Surimi pada Formulasi Pempek Patin (Pangasius Pangasius)”.
Terima kasih penulis sampaikan kepada:
1. Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si. selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. rer. nat. Ir. Agoes Mardiono Jacoeb, Dipl.-Biol. sebagai anggota komisi yang telah mencurahkan waktu dan perhatian untuk membimbing dan memotivasi penulis.
2. Dr. Ir. Nurjanah, M.S. selaku dosen penguji luar komisi yang telah memberi masukan dan saran.
3. Dr. Tati Nurhayati, S.Pi., M.Si. selaku Ketua Program Studi yang tiada henti memotivasi dan membantu penulis dalam menyelesaikan studi di PS. Teknologi Hasil Perairan.
4. Dr. Ir. Sri Purwaningsih, M.S. yang telah banyak memberi masukan pada penulisan tesis ini.
5. Rustono yang dengan sabar selalu memberikan perhatian, dukungan dan kasih sayang.
6. Mamak-Bapak, Ibu-Bapak (alm.) serta keluarga besar di Bekasi dan Brebes atas doa yang tiada henti.
7. Kak Jai, Yogi, Dwi, Bowo, dan Ridwan yang telah banyak membantu dalam pembuatan surimi.
8. Mbak Kusti atas masukan dan koreksi pada penulisan tesis ini serta Bu Wini, Bu Pipih, Pak Djoko, Mbak Ema, Pak Ade, dan keluarga besar THP IPB yang selalu memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan studi.
9. Mbak Ninik, Mas Candra, Mbak Tia, Mbak Poe, Mas Aim, Pak Mat, Pak Max, Krisan, Mbak Elin, Ridho dan Diah atas kebersamaan, motivasi, dan bantuan yang diberikan selama studi dan penyelesaian tugas akhir.
10. Rinto, Indah, Mas Pandi, Nopi, Ani dan keluarga besar PS. Teknologi Hasil Perikanan Universitas Sriwijaya yang telah banyak membantu dan memotivasi penulis.
11. Kepala dan staf Laboratorium Pengujian Mutu Hasil Perikanan, Palembang yang telah memberi fasilitas dan bantuan selama penelitian.
12. Ibu Erma, Desi, Hapsah, Tika dan Lisma atas bantuannya selama analisis. 13. Mas Tono dan Riris atas perhatian dan motivasi yang tiada henti.
14. Keluarga besar Maharlika belakang bawah: Iyus, Ine, Uci, Mbak Imas, Lia, Upi, Riri, Difa dan yang lainnya atas bantuan dan motivasi yang diberikan. 15. Semua pihak yang berkontribusi pada studi dan penelitian penulis.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.
Bogor, Juli 2011
Susi Lestari
iii
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 16 Agustus 1976 dari pasangan Tukiyo dan Yaminah. Penulis merupakan putri ketiga dari tujuh bersaudara.
Penulis lulus dari SMA Negeri 48 Jakarta tahun 1995 kemudian diterima pada Program Studi Teknologi Hasil Perikanan Institut Pertanian Bogor pada tahun yang sama melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri dan lulus pada tahun 2001. Sejak tahun 2001 sampai dengan sekarang penulis bekerja sebagai staf pengajar di Program Studi Teknologi Hasil Perikanan Universitas Sriwijaya dan mendapat kesempatan melanjutkan ke Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada tahun 2006. Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) penulis peroleh dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementrian Pendidikan Nasional.
vi
(b)Uji skor mutu kamaboko (Candra 2010) ... 23
(c)Uji pembeda (Soekarto dan Hubeis 1991) ... 23
3.5 Rancangan Percobaan dan Analisis Data ... 23
4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 27
4.1 Karakteristik Surimi Patin Pengaruh Pencucian ... 27
4.1.1 Karakteristik kimia ... 27
4.1.3 Karakteristik sensori ... 37
a. Penampakan surimi ... 37
4.2 Karakteristik Surimi Pengaruh Perendaman Filet ... 46
4.2.1 Karakteristik kimia ... 46
4.2.2 Karakteristik fisik ... 47
4.3 Karakteristik Pempek ... 48
4.3.1 Karakteristik kimia ... 49
4.3.2 Karakteristik fisik ... 50
4.3.3 Karakteristik sensori ... 51
5 SIMPULAN DAN SARAN ... 53
5.1 Simpulan ... 53
5.2 Saran ... 53
DAFTAR PUSTAKA ... 54
vii
Halaman
1 Matriks perlakuan pada penelitian tahap pertama ... 15
2 Formulasi pempek pada penelitian tahap ketiga ... 19
3 Hasil analisis kimia surimi pengaruh perendaman filet ... 46
4 Hasil analisis derajat putih surimi dan kekuatan gel kamaboko ... 48
5 Hasil analisis kimia pempek patin ... 49
6 Hasil analisis fisik pempek patin ... 50
ix
Halaman
1 Diagram alir pembuatan surimi pada penelitian tahap pertama ... 16
2 Diagram alir pembuatan kamaboko ... 17
3 Diagram alir pembuatan surimi pada penelitian tahap kedua ... 18
4 Diagram alir pembuatan pempek ... 19
12 Histogram skor penampakan surimi, A: dengan NaHCO3, B: dengan Na2HPO4, : daging lumat, : pencucian 1 kali, : pencucian 2 kali,
x
: pencucian 3 kali dan : pencucian 4 kali ... 42
17 Histogram skor tekstur kamaboko, A: dengan NaHCO3, B: dengan Na2HPO4, : daging lumat, : pencucian 1 kali, : pencucian 2 kali,
: pencucian 3 kali dan : pencucian 4 kali ... 43
18 Histogram skor aroma kamaboko, A: dengan NaHCO3, B: dengan Na2HPO4, : daging lumat, : pencucian 1 kali, : pencucian 2 kali,
: pencucian 3 kali dan : pencucian 4 kali ... 44
19 Histogram skor rasa kamaboko, A: dengan NaHCO3, B: dengan Na2HPO4, : daging lumat, : pencucian 1 kali, : pencucian 2 kali,
xi
Halaman
1 Lembar penilaian uji sensori surimi patin (BSN 2006b) ... 63
2 Lembar penilaian uji skor mutu kamaboko patin (Candra 2010) ... 64
3 Lembar pengujian uji pembeda pasangan ... 65
4 Analisis ragam dan uji Tukey nilai pH surimi patin ... 66
5 Analisis ragam dan uji Tukey kadar air surimi patin ... 68
6 Analisis ragam dan uji Tukey kadar protein surimi patin ... 70
7 Analisis ragam dan uji Tukey kadar lemak surimi patin ... 71
8 Analisis ragam dan uji Tukey rendemen surimi patin ... 73
9 Analisis ragam dan uji Tukey derajat putih surimi patin ... 75
10 Analisis ragam dan uji Tukey kekuatan gel kamaboko patin ... 77
11 Uji Kruskal-Wallis dan uji perbandingan berganda penampakan surimi patin ... 78
12 Uji Kruskal-Wallis dan uji perbandingan berganda uji lipat surimi patin ... 80
13 Uji Kruskal-Wallis dan uji perbandingan berganda uji gigit surimi patin ... 82
14 Uji Kruskal-Wallis dan uji perbandingan berganda penampakan kamaboko patin ... 84
15 Uji Kruskal-Wallis dan uji perbandingan berganda warna kamaboko patin ... 86
16 Uji Kruskal-Wallis dan uji perbandingan berganda tekstur kamaboko patin ... 88
17 Uji Kruskal-Wallis dan uji perbandingan berganda aroma kamaboko patin ... 90
18 Uji Kruskal-Wallis dan uji perbandingan berganda rasa kamaboko patin ... 92
19 Analisis ragam nilai pH surimi patin pengaruh perendaman filet ... 94
20 Analisis ragam dan uji Tukey kadar air surimi patin pengaruh perendaman filet ... 94
21 Analisis ragam kadar lemak surimi patin pengaruh perendaman filet ... 95
22 Analisis ragam dan uji Tukey kadar protein surimi patin pengaruh perendaman filet ... 95
xii
26 Analisis ragam dan uji Tukey kadar lemak pempek patin ... 99
27 Analisis ragam derajat putih pempek patin ... 100
28 Analisis ragam dan uji Tukey kekuatan gel pempek patin ... 101
29 Analisis ragam dan uji Dunnet pada uji pembeda warna pempek patin dengan pempek kontrol ... 102
30 Analisis ragam dan uji Dunnet pada uji pembeda tekstur pempek patin dengan pempek kontrol ... 102
31 Analisis ragam dan uji Dunnet pada uji pembeda aroma pempek patin dengan pempek kontrol ... 103
32 Analisis ragam pada uji pembeda rasa pempek patin dengan pempek kontrol ... 103
33 Analisis ragam dan uji Tukey derajat putih surimi patin pengaruh perendaman filet ... 104
1.1 Latar Belakang
Sumatera Selatan merupakan daerah yang banyak memiliki perairan umum
seperti rawa, lebak, dan sungai. Hal ini menjadikan ikan dari perairan darat
sebagai bahan makanan favorit yang selalu ada dalam menu makanan maupun
kudapan sehari-hari masyarakat daerah ini. Selain menangkap dari alam,
masyarakat juga memanfaatkan ikan yang dibudidaya di kolam milik penduduk.
Salah satu jenis makanan yang terbuat dari ikan dan menjadi ciri khas
daerah ini adalah pempek. Pempek banyak dikonsumsi oleh masyarakat Sumatera
Selatan baik sebagai kudapan di sela-sela waktu makan, jamuan pada berbagai
acara, baik formal maupun nonformal, dan oleh-oleh khas selain kemplang.
Pempek unggulan dan bernilai jual tinggi adalah pempek dari ikan gabus karena
memiliki flavor khas ikan tawar, tidak bau amis, dan bau lumpur serta warna lebih
putih dibanding dengan pempek yang dibuat dari ikan jenis lain.
Palembang sebagai salah satu sentra produksi pempek, mengandalkan bahan
baku pembuatan pempek gabus dari hasil tangkapan (alami). Kecenderungan
hasil tangkapan yang semakin kecil ukurannya terjadi beberapa tahun terakhir ini.
Jenis ikan ini juga belum dapat dibudidayakan, disamping harganya yang mahal.
Pemanfaatan jenis ikan budidaya dengan tingkat produksi tinggi dan nilai jual
rendah perlu dilakukan sebagai alternatif bahan baku pempek, salah satunya
adalah patin.
Data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Selatan,
produksi patin dari tahun ke tahun mengalami peningkatan baik di Kota
Palembang khususnya, maupun di Sumatera Selatan pada umumnya. Produksi
patin di Sumatera Selatan tahun 2005-2008 berturut-turut adalah 16.771,5 ton,
30.488,4 ton, 35.573,5 ton, dan 42,264,5 ton, sedangkan di kota Palembang adalah
1.615,7 ton, 3.535,8 ton, 4.071,8 ton, dan 3,632,4 ton (DKP Sumsel 2006; DKP
Sumsel 2007; DKP Sumsel 2008; DKP Sumsel 2009). Berdasarkan hasil
pemantauan dan wawancara pribadi di pasar-pasar tradisional di Kota Palembang,
biasa dan meningkat menjadi 3-4 kali lipat menjelang perayaan hari-hari besar
keagamaan.
Alasan lain digunakannya patin sebagai bahan baku alternatif adalah flavor
yang disukai oleh masyarakat Sumatera Selatan, khususnya Palembang. Ikan ini
telah lama digunakan sebagai bahan baku masakan tradisional, seperti pindang
dan brengkes. Kadar lemak yang tinggi menyebabkan warna daging agak
kekuningan dan kemampuan membentuk gel menjadi rendah. Hal ini merupakan
tantangan untuk menjadikan patin sebagai bahan baku pempek.
Kemampuan membentuk gel pada daging ikan dapat diperbaiki dengan
beberapa cara, diantaranya adalah dengan penambahan protein aditif dan
pencucian daging lumat (Park dan Morrissey 2000). Benjakul et al. (2003a)
melaporkan pengaturan suhu setting di bawah 40 °C dapat memperbaiki
kemampuan membentuk gel pada beberapa jenis ikan tropis.
Metode pembuatan surimi dari ikan berdaging gelap oleh Japan Surimi
Association (JSA) menitikberatkan pada proses leaching. Pencucian dilakukan
tiga kali. Pencucian pertama dengan larutan sodium bikarbonat 0,5%, kemudian
dengan air dingin, dan terakhir dengan larutan garam 0,3% (Flick et al. 1990).
Phatcharat et al. (2006) menyatakan bahwa pencucian dengan senyawa
pengoksida (oxidising agent) NaOCl 20 ppm dapat memperbaiki sifat gel surimi
bigeye snapper (Priacanthus tayenus). Karayannakidis et al. (2007) melaporkan
bahaw pencucian daging ikan sardin (Sardina pilchardus) dengan larutan alkali
efektif untuk menghilangkan lemak dari daging. Pencucian dengan asam maupun
alkali dapat meningkatkan indeks Lightness (kecerahan) dan derajat putih.
Perlakuan pencucian dengan asam menghasilkan kamaboko yang lebih kohesif
dan tekstur lebih elastis. Kamaboko dengan mutu gel terbaik adalah dari ikan
sardin dengan pencucian pada pH 5,5.
Kim et al. (1996) melaporkan warna surimi dapat ditingkatkan dengan
meningkatkan siklus pencucian. Penelitian yang sejalan juga dilaporkan oleh
Chen et al. (1997) dimana waktu pencucian, jumlah air yang digunakan, dan
penambahan hidroperoksida, sodium perkarbonat atau dengan penambahan
Kim dan Lee (1987) menyatakan bahwa daging ikan dengan kemampuan
membentuk gel yang rendah dapat ditambahkan ingredien seperti pati untuk
memperbaiki sifat fungsional gelasinya. Yoon dan Lee (1990) melaporkan
selulosa juga dapat digunakan untuk tujuan yang sama. Chin et al. (1998)
menyatakan interaksi antara protein dan karbohidrat mempengaruhi sifat
fungsionalnya, seperti kelarutan, aktivitas permukaan, emulsifikasi, daya buih,
stabilitas konformasi, dan kemampuan pembentukan gel.
Pati dapat ditambahkan untuk meningkatkan mutu gel dan warna pada
produk berbasis surimi. Pada pembuatan pempek, penambahan pati dalam jumlah
yang sesuai dapat meningkatkan mutu gel dan warna pempek. Pati yang umum
digunakan pada pembuatan pempek adalah tapioka.
Pempek dapat dibuat dengan beberapa formulasi. Perbandingan daging ikan,
tapioka, dan air menentukan mutu pempek yang dihasilkan. Pasaribu (2007)
membuat pempek patin dari 1 kg daging ikan patin, 400 ml telur ayam, 200 ml
minyak sayur, 200 ml air, 30 g garam, dan 10 g MSG. Warna pempek patin yang
dihasilkan masih agak kekuningan. Formulasi pempek patin perlu dilakukan
untuk mendapatkan pempek dengan kemampuan gel dan warna yang lebih baik.
1.2 Perumusan Masalah
Masalah dalam pemanfaatan patin sebagai bahan baku pempek adalah
kandungan lemak yang tinggi, warna agak kekuningan, dan kemampuan
membentuk gel yang rendah. Pra-pengolahan patin menjadi surimi perlu
dilakukan sebelum dagingnya diolah menjadi pempek. Proses pencucian
diharapkan mampu memperbaiki mutu surimi patin. Sodium hidrogen karbonat
(NaHCO3) dan di-sodium hidrogen fosfat (Na2HPO4) digunakan dalam proses
pencucian, namun belum diketahui konsentrasi dan frekuensi pencucian optimum
yang menghasilkan surimi dengan mutu terbaik dengan penekanan pada atribut
warna dan kekuatan gel.
Pembuatan pempek umumnya menggunakan tapioka sebagai bahan
pengikat. Tapioka adalah pati lokal yang banyak digunakan dalam industri
makanan. Formulasi pempek akan ditentukan untuk menghasilkan pempek yang
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk memperoleh teknologi pengolahan
dan formulasi pempek patin. Tujuan khusus penelitian ini adalah:
1) Menentukan jenis dan konsentrasi larutan alkali serta frekuensi pencucian
yang menghasilkan mutu surimi terbaik.
2) Menentukan lama perendaman filet sebelum pelumatan daging yang
menghasilkan surimi terbaik.
3) Menentukan formulasi yang menghasilkan pempek yang sama atau
menyerupai dengan pempek gabus.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
proses pembuatan surimi patin yang dapat dijadikan acuan dalam pengolahan
patin sebagai bahan baku pempek. Informasi mengenai karakteristik dan
kandungan gizi pempek patin yang dihasilkan dari penelitian ini diharapkan
bermanfaat bagi pengayaan produk hasil olahan patin.
1.5 Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang akan diuji pada penelitian ini adalah:
1) Jenis, konsentasi larutan alkali dan frekuensi pencucian berpengaruh terhadap
karakteristik surimi patin.
2) Lama perendaman filet berpengaruh terhadap karakteristik surimi patin.
3) Formulasi bahan akan menghasilkan pempek dengan mutu sensori yang
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ikan Patin
Ikan patin (Pangasius pangasius) termasuk ke dalam famili Pangasidae dan
merupakan ikan berkumis air tawar yang tersebar di seluruh Asia Selatan dan
Tenggara. Famili ini memiliki kulit halus, memiliki dua pasang sungut yang
relatif pendek, jari sirip punggung, dan sirip dada sempurna dengan tujuh
jari-jari bercabang, sebuah sirip lemak berpangkal sempit, sirip dubur panjang, dan
bersambung dengan sirip ekor. Sirip ekor bercagak. Mulut agak mengarah ke
depan. Hidup di perairan berarus lambat dan aktif di malam hari. Ikan ini
memakan detritus dan invertebrata lainnya dari dasar perairan. Ikan patin
memiliki badan memanjang berwarna putih seperti perak dengan punggung
berwarna kebiru-biruan. Panjang tubuhnya bisa mencapai 120 cm, dimana ukuran
ini merupakan ukuran yang besar untuk ikan air tawar domestik (Susanto dan
Amri 1996).
Klasifikasi ikan patin menurut Saanin (1984) sebagai berikut:
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Kelas : Pisces
Subkelas : Teleostei
Ordo : Ostariophysi
Subordo : Siluroidea
Famili : Pangasidae
Genus : Pangasius
Spesies : Pangasius pangasius
Berdasarkan komposisi kimia, ikan patin termasuk golongan ikan berprotein
tinggi dan berlemak sedang. Kandungan protein dan lemak ikan patin (per 100 g
daging ikan) adalah 16,1% dan 5,7%, air 75,7% dan abu 1,0% (bb) (BPMHP
1998). Golongan catfish dari perairan tawar mengandung air 76,39%, protein
18,18%, lemak 4,26% dan abu 1,26% (Silva dan Chamul 2000).
Daging patin seringkali berbau lumpur. Bau termasuk dalam komponen
bobot molekul rendah, nukleotida serta basa organik) dan komponen nonnitrogen
(asam organik, gula dan komponen anorganik) (Yamaguchi dan Watanabe 1990).
Hasil perikanan memberikan citarasa yang sangat bervariasi. Beberapa
asam amino bebas pada ikan merupakan salah satu unsur pembentuk citarasa
untuk produk hasil perikanan, misalnya asam glutamat yang memberikan sensasi
rasa umami pada ikan dan shellfish serta alanin yang menghasilkan rasa manis
(Yamaguchi dan Watanabe 1990). Pada ikan air tawar, citarasa ikan terutama
diikuti oleh bau tanah (earthy), apek (musty), bau lumpur (muddy) dan bau seperti
tumbuhan (weedy). Citarasa ini terbentuk lebih karena musim dan lokasi
dibandingkan daripada jenis ikan itu sendiri (Ripen 1990).
Bau lumpur pada ikan disebabkan oleh 2-methylisoborneda (MIB) dan
geosmin (1,10-trans-dimethyl-trans-9-decalol) yang diproduksi mikroorganisme
atau alga dan diserap olah ikan. Kedua bahan organik ini merupakan metabolit
sampingan yang dihasilkan oleh mikrooragnnisme dari golongan alga hijau-biru
(Cyanophyta) yaitu Oscilatoria sp. dan Anabaena sp., fungi (Actinomycetes), dan
bakteri Streptococcus tendae. Geosmin dan MIB yang berada pada habitat ikan
hidup dengan mudah diserap oleh ikan ke dalam jaringan daging melalui insang
dan jaringan epitel (Ripen 1990).
Bau lumpur ikan umumnya lebih tajam pada ikan yang dibudidaya di kolam
yang kotor dan berlumpur daripada yang hidup di air yang mengalir baik pada
perairan umum maupun kolam budidaya. Pada ikan yang dibudidayakan secara
intensif, bau lumpur dapat dihilangkan dengan cara pemberokan (pemuasaan
ikan). Pemberokan dapat dilakukan dengan menempatkan ikan pada wadah dan
dialiri air dengan penambahan NaCl 8 ppt dengan debit air 0,5 liter per detik
selama 3-7 hari. Efek samping dari pemberokan ini adalah terjadinya perubahan
warna sisik menjadi lebih kusam dan penurunan bobot sebesar 5-11% namun
daging menjadi lebih kenyal (Nurjanah et al. 2004).
2.2 Protein Daging Ikan
Protein merupakan komponen penting dalam bahan pangan. Protein dalam
daging ikan berkisar antara 15-25% dari total berat daging. Protein dalam daging
berbeda dalam hal kelarutan. Sarkoplasma merupakan protein yang larut air,
miofibril larut garam sedangkan stroma adalah protein yang tidak dapat larut
(Shahidi 1994).
Sarkoplasma dapat diekstrak dengan menggunakan air atau larutan garam
netral encer (Shahidi 1994). Protein ini disebut juga miogen dan berkisar antara
20-50% dari total protein. Berbentuk globular dan mengandung beberapa jenis
enzim, albumin dan pigmen seperti mioglobin dan sitokroma (Watabe 1990).
Miofibril merupakan protein yang paling banyak terdapat dalam daging
ikan. Jumlahnya mencapai 50-70% dari total protein (Watabe 1990). Protein ini
berperan penting dalam kontraksi otot terutama miosin, aktin, dan protein
regulasi. Jenis protein ini menentukan tekstur produk olahan ikan (Shahidi 1994)
dan sifat fungsional protein dalam pembentukan gel, yaitu dengan adanya
interaksi antara aktin dan miosin yang membentuk makromolekul aktomiosin
(Sikorski 1994).
Stroma atau protein jaringan ikat merupakan residu ekstraksi protein
miofibril dan sarkoplasma karena protein ini tidak larut baik dalam air maupun
garam. Protein ini larut dalam larutan HCl maupun NaOH dan memberikan
berkontribusi hingga 10% dari protein kasar pada otot (Shahidi 1994). Kolagen
dan elastin termasuk dalam protein ini. Kolagen dapat menghasilkan gelatin yang
larut air bila dipanaskan dalam waktu lama. Stroma merupakan protein pada sisi
luar otot daging atau disebut juga dengan konektin (Suzuki 1981).
2.3 Surimi
Surimi merupakan daging ikan lumat yang diberi perlakuan pencucian,
pemurnian dari bahan yang tidak diinginkan dan distabilisasi dengan senyawa
penstabil (Clucas dan Ward 1996). Surimi jugu didefinisikan sebagai daging ikan
lumat yang telah dipisahkan dari tulang, kulit, dan isi perutnya serta dicuci untuk
menghilangkan lemak dan senyawa-senyawa larut air. Hasil dari proses ini adalah
bahan yang benar-benar tawar karena komponen citarasa telah hilang karena
proses leaching (Flick et al. 1990). Surimi dikenal juga sebagai konsentrat basah
protein miofibril ikan yang telah dipisahkan dari tulang dan kulit serta dilakukan
Definisi lain dari surimi adalah bentuk murni daging ikan yang telah dipisahkan
dari tulang secara mekanis dan memiliki karakteristik fungsional yang unik,
meliputi kemampuan membentuk gel (gel-forming) dan ikatan air dengan minyak,
sehingga dapat dijadikan ingredien pada banyak produk pangan. Teknologi
pengolahan surimi meliputi pencucian daging lumat untuk memperoleh konsentrat
daging ikan yang murni untuk kemudian diolah menjadi produk lanjutan atau
ditambahkan krioprotektan untuk dibekukan dan disimpan. Surimi dibuat dengan
tujuan mengoptimalkan sifat fungsional dan rendemen surimi dari bahan baku
yang sering tidak termanfaatkan dan spesies dengan nilai tambah yang rendah
(Spencer dan Tung 1994).
Somjit et al. (2005) menyatakan surimi merupakan konsentrasi basah dari
protein miofibril yang memiliki kemampuan membentuk gel, ikatan air, ikatan
lipid, dan sifat fungsional lain yang lebih baik dari daging lumat. Sifat fungsional
protein, misalnya kelarutan, gelasi, kapasitas mengikat air, emulsifikasi, daya buih
dan warna merupakan faktor yang penting jika protein ikan digunakan sebagai
bahan ingredien pada pengolahan pangan (Barzana dan Garibay 1994).
Wang et al. (2002) melaporkan bahwa pembuatan surimi di Jepang
umumnya menggunakan ikan laut berkadar lemak rendah (white muscle).
Pemilihan jenis ikan ini terutama dipengaruhi oleh faktor citarasa yang disukai,
tekstur daging yang baik, jumlah sumberdaya yang melimpah, dan kesegaran ikan.
Penggunaan ikan air tawar sebagai bahan baku surimi hanya untuk konsumsi
kalangan terbatas saja.
Penggunaan ikan berdaging gelap (dark muscle) sudah mulai dilakukan
dengan metode yang dimodifikasi. Kesulitan yang dihadapi dalam produksi
surimi dari ikan golongan ini adalah kandungan lemak yang cukup tinggi, protein
larut air, dan pigmen. Proses pencucian bertujuan untuk menghilangkan sebagian
lemak, darah, enzim-enzim, dan protein sarkoplasmik, termasuk pigmen dan
trimetil amin oksida (TMAO) sehingga dihasilkan konsentrat protein miofibril
yang terlibat secara langsung dalam kemampuan pembentukan gel (Shimizu et al.
1992). Benjakul et al. (2003b) juga menyebutkan miofibril berperan penting
Metode pembuatan surimi dari ikan berdaging gelap yang dikembangkan
oleh Japan Surimi Association (JSA) menitikberatkan pada proses leaching.
Proses ini terbagi menjadi 3 tahap yaitu: (1) Pencucian pertama dengan larutan
sodium bikarbonat 0,5% dengan jumlah larutan empat kali berat daging selama
20 menit; (2) Pencucian kedua dengan air dingin empat kali berat daging selama
15 menit: (3) Pencucian ketiga dengan menggunakan larutan garam 0,3% dengan
volume dua kali berat daging selama 10 menit. Larutan sodium bikarbonat
digunakan dalam pencucian pertama dimaksudkan untuk menjaga pH tetap netral
selama proses leaching agar dapat meningkatkan kekuatan gel produk.
Pencucian kedua dengan air dingin bertujuan untuk melarutkan protein
sarkoplasma dari daging ikan. Larutan garam digunakan pada pencucian ketiga
untuk memudahkan proses dewatering (Sonu 1986; Flick et al. 1990).
Kemampuan membentuk gel pada daging ikan dapat diperbaiki dengan
beberapa cara, diantaranya adalah dengan penambahan protein aditif dan
pencucian daging lumat (Park dan Morrissey 2000). Cara lain dilaporkan
Benjakul et al. (2003a) dengan pengaturan suhu setting di bawah 40 °C dan
Visessanguan et al. (2003) dengan penggunaan mikrobial transglutaminase.
Phatcharat et al. (2006) meneliti pengaruh pencucian dengan senyawa
pengoksida NaOCl terhadap sifat fisiko-kimia protein daging dan kekuatan gel
surimi bigeye snapper (Priacanthus tayenus). Hasil yang diperoleh menunjukkan
bahwa pencucian dengan NaOCl 20 ppm dapat memperbaiki sifat gel surimi.
Karayannakidis et al. (2007) melakukan pencucian alkali pada daging ikan sardin
(Sardina pilchardus) dan diperoleh total padatan dan protein yang lebih tinggi
pada pencucian dengan larutan dengan keasaman rendah. Perlakuan pencucian
dengan larutan alkali lebih efektif untuk menghilangkan lemak dan abu.
Pencucian dengan kondisi asam maupun alkali dapat meningkatkan kecerahan dan
derajat putih. Perlakuan pencucian dengan asam menghasilkan kamaboko yang
lebih kohesif dan tekstur lebih elastis. Kamaboko dengan mutu gel terbaik adalah
dari ikan sardin dengan pencucian pada pH 5,5.
Chen et al. (1997) menyatakan surimi yang dihasilkan dari ikan berlemak
umumnya memiliki warna yang kurang disukai. Warna surimi dari daging gelap
hidroperoksida atau sodium percarbonat atau dengan penambahan lemak/kasein.
Waktu pencucian dan jumlah air yang digunakan juga dapat memperbaiki warna
surimi yang dihasilkan. Efek yang timbul dari pencucian dengan waktu yang
lama adalah meningkatnya hidrasi daging lumat dan degradasi protein miofibril.
Hal ini membuat proses dehidrasi berikutnya menjadi lebih sulit dan dapat
menghambat kemampuan membentuk gel. Metode lain dilaporkan Kim et al.
(1996) yaitu dengan meningkatkan siklus pencucian.
Daging ikan dengan kemampuan pembentukan gel yang rendah umumnya
ditambahkan ingredien untuk memperbaiki sifat fungsionalnya. Penelitian Kim
dan Lee (1987) menambahkan pati pada surimi, sedangkan Yoon dan Lee (1990)
menambahkan selulosa. Keduanya memberikan kontribusi pada sifat gel surimi.
Laporan Chin et al. (1998) menyatakan bahwa interaksi antara protein dan
karbohidrat memberikan pengaruh pada sifat fungsional kelarutan, aktivitas
permukaan, stabilitas konformasi, kemampuan pembentukan gel, emulsifikasi,
dan daya buih.
2.4 Pempek
Pempek adalah makanan yang terbuat dari daging ikan, tepung tapioka, air,
dan garam yang dicampur menjadi satu adonan dan dibentuk, lalu direbus,
dikukus, digoreng atau dipanggang yang kemudian dimakan dengan cuka.
Makanan ini merupakan produk olahan ikan berbentuk gel dengan tekstur yang
kenyal dan elastis. Pembuatan pempek dilakukan melalui beberapa tahap yaitu,
persiapan daging ikan, pencampuran adonan, pembentukan, dan pemasakan
Tahap persiapan meliputi proses penyiangan, pencucian, pembuatan filet, dan
pelumatan daging ikan. Selama proses ini suhu harus dipertahankan tetap rendah
yaitu di bawah 10 °C (Komariah 1995). Penggunaan suhu rendah dilakukan
untuk mencegah terjadinya denaturasi protein, terutama aktin dan miosin, yang
berperan penting dalam pembentukan gel (Lanier 2000).
Pencampuran dilakukan dengan penggabungan bahan-bahan sesuai dengan
resep yang digunakan. Ketepatan proporsi bahan sangat menentukan rasa dan
dilakukan pada pencampuran bahan. Tapioka ditambahkan untuk mendapatkan
adonan yang kalis dan dapat dibentuk (Komariah 1995).
Penambahan garam dapat melarutkan protein miofibril, sehingga secara
simultan miosin yang larut akan berkombinasi dengan filamen aktin dan
menghasilkan makromolekul aktomiosin. Miofibril larut dalam larutan garam
encer 1-8%, (Lanier 2000). Proses ini menghasilkan pasta yang lengket atau
disebut sol (Niwa 1992).
Tapioka digunakan untuk bahan pengikat air dan pembentuk struktur yang
kuat (Widowati 1987). Tapioka digunakan karena tidak berbau, tidak berasa,
memiliki warna yang terang, dan daya gel yang baik (Radley 1976).
Formulasi pempek umumnya hampir sama pada semua jenis pempek, hanya
cara pembuatan dan penambahan bahan lain yang berbeda. Pempek yang dimasak
dengan perebusan adalah pempek kapal selam, pempek lenjer, pempek telur,
pempek tahu, pistel, dan pempek keriting. Jenis pempek yang langsung digoreng
adalah adaan, sedangkan yang dipanggang yaitu pempek bakar dan pempek
lenggang. Jenis pempek lain adalah pempek kulit yang dibuat dengan
memanfaatkan limbah kulit ikan (Komariah 1995).
Pempek kapal selam, telur dan pistel memiliki bentuk setengah bulat dengan
isi di dalamnya. Pempek kapal selam ukurannya lebih besar karena diisi dengan
telur utuh yang tidak dikocok, sedangkan pempek telur lebih kecil dan berisi telur
yang sudah dikocok. Pistel berisikan tumisan pepaya muda. Pempek lenjer
berbentuk bulat panjang. Pempek keriting adalah pempek yang berbentuk seperti
kue putu mayang (Rosdiana 2002).
Adonan pempek yang dibentuk bulat pipih lalu dipanggang disebut dengan
pempek panggang, sedangkan lenggang dibuat dengan mencampur adonan
pempek dengan telur kemudian dipanggang diatas api dengan alas daun pisang.
Adaan adalah pempek yang dibuat dengan mencampur adonan dengan bawang
merah goreng dan langsung digoreng setelah diadoni (Rosdiana 2002).
Pempek dapat dibuat dengan beberapa formulasi. Formulasi yang umum
dipakai oleh masyarakat Palembang terdiri atas: 1 kg ikan gabus giling, 1 kg
tapioka, air (satu bagian air dari dua bagian ikan), dan garam secukupnya
berdasarkan Pasaribu (2007) terdiri atas: 1 kg daging ikan patin, 400 ml telur
ayam, 200 ml minyak sayur, 200 ml air, 30 g garam, dan 10 g MSG. Formulasi
ini masih menghasilkan warna pempek yang agak kekuningan. Formulasi
pempek oleh Rosdiana (2002) menggunakan perbandingan daging ikan tenggiri :
tapioka : air : garam = 15:10:5:1.
2.5 Pati
Pati merupakan cadangan makanan dalam bentuk granula yang ditemukan
hampir pada semua tanaman hijau dan jenisnya bervariasi pada jaringan dan organ
tanaman seperti pada daun, akar (umbi), tunas, buah, bulir dan batang (Preiss
2000). Pati mempunyai susunan kimia yang sederhana, terdiri atas amilosa dan
amilopektin. Keduanya dibedakan atas granula patinya. Molekul amilopektin
terdapat sekitar 70% dari granula pati dalam bentuk bercabang dengan ikatan
glikosida sekitar 4-5%. Amilosa ditemukan dalam bentuk rantai linear dan terdiri
atas 840-22.000 unit residu α-D-glukopiranosil. Berat molekul polimer ini sekitar
1,36 x 105 sampai 3,5 x 106Da (Preiss 2000).
Sunarti (2004) melaporkan bahwa sumber pati lokal yang banyak dijadikan
sumber karbohidrat di Indonesia adalah tapioka. Tapioka merupakan pati yang
dihasilkan dari umbi akar pada tanaman ubi kayu (Manihot utillisima).
Tapioka memiliki bentuk granul bulat dengan ukuran 5-40 µm. Panjang
rantainya sekitar 20-30 unit, hampir sama dengan pati sereal dan kentang.
Gelatinisasi terjadi pada suhu 95 oC dengan kelarutan 40-60%. Kandungan
amilosanya sekitar 18-25% (Moorthy 2000). Sumber lain menyebutkan ukuran
granul tapioka 4-35 µm, kandungan amilosa 17%, suhu gelatinisasi 52-65 °C, dan
tidak berbau (BeMiller dan Whistler 1996).
Pati banyak digunakan sebagai bahan pengisi karena memiliki kemampuan
untuk memperbaiki kekuatan gel. Pati merupakan biopolimer yang biasa
ditambahkan pada surimi sebagai ingredient untuk memperbaiki sifat fungsional
surimi (Lee 2002). Pati dapat mengembang dan mengikat air sehingga dapat
3 BAHAN DAN METODE
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan mulai bulan Juni 2009 sampai dengan Maret 2011.
Tempat penelitian adalah di Laboratorium Pengujian Mutu Hasil Perikanan
Provinsi Sumatera Selatan, Palembang, Laboratorium Kimia dan Mikrobiologi
Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian dan
Laboratorium Bioproses Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik Universitas
Sriwijaya, Inderalaya.
3.2 Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan baku, bahan
tambahan dan pembantu, serta bahan kimia untuk analisa. Bahan baku yang
digunakan adalah ikan patin dengan ukuran 900-1.300 gram/ekor yang didapat
dari Km. 5 Palembang dalam keadaan hidup. Bahan pembantu yang digunakan
adalah es, sodium hidrogen karbonat/NaHCO3, disodium hidrogen fosfat/
Na2HPO4 dan garam, sedangkan bahan tambahan yang digunakan adalah tapioka,
garam dan air. Bahan-bahan kimia yang digunakan untuk analisis adalah air
destilata, akuades, K2SO4, H2SO4, H2O2, H3BO4 4%, metil merah, NaOH 40%,
Na2S2O3 2,5%, HCl 0,1 N, kloroform, larutan NaCl 3%, larutan bufer pH 7,0 dan
4,0
Peralatan yang digunakan dalam pembuatan surimi dan pempek antara lain
timbangan, grinder, wadah pencuci, alat pengepres, kain kasa, food processor,
panci dan wajan. Analisis laboratorium dilakukan dengan menggunakan peralatan
yaitu timbangan analitik, oven, alat destruksi dan destilasi Kjeldahl, alat ekstraksi
Soxhlet, pH meter, Colorimeter model JP7100F, tanur dan Texture Analyzer
model TA-TX2. Instrumen yang digunakan dalam penilaian sensori yaitu lembar
penilaian mutu surimi, kamaboko dan uji pembeda pasangan.
3.3 Tahapan Penelitian
Penelitian dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama bertujuan untuk
pencucian yang menghasilkan mutu surimi terbaik dengan penekanan pada atribut
warna dan kekuatan gel. Tahap kedua bertujuan untuk mengetahui pengaruh lama
perendaman filet terhadap mutu surimi patin. Tahap selanjutnya bertujuan untuk
mendapatkan formulasi yang menghasilkan pempek dengan mutu sensori yang
sama atau menyerupai pempek gabus.
3.3.1 Penelitian tahap pertama
Penelitian tahap pertama bertujuan untuk mendapatkan konsentrasi larutan
(0%, 0,3%, 0,5% dan 0,7%) dan frekuensi pencucian (0, 1, 2, 3 dan 4) pada tiap
kelompok bahan pencuci (NaHCO3 dan Na2HPO4) yang menghasilkan mutu
surimi terbaik. Bahan baku yang digunakan adalah ikan patin yang diperoleh dari
Km. 5, Palembang.
Ikan ditimbang dan dicuci kemudian dilakukan pemisahan daging dari
tulang. Daging ikan lalu dilumatkan dengan grinder dan dilakukan pencucian
sesuai dengan perlakuan jenis dan konsentasi garam alkali (pada pencucian
pertama) serta frekuensi pencucian. Pencucian selanjutnya menggunakan air.
Pencucian terakhir pada frekuensi pencucian dua, tiga dan empat kali,
menggunakan larutan NaCl 0,3%. Setiap tahap pencucian menggunakan rasio
daging lumat dan bahan pencuci 1:3 (b/v) dan dilakukan pengadukan selama 10
menit (Karayannakidis et al. 2007 dengan modifikasi) pada suhu 10 °C. Hasil
pencucian kemudian disaring dengan kain blacu dan dilakukan pemerasan pada
setiap akhir pencucian. Surimi yang dihasilkan dilakukan pengujian yang
meliputi karakteristik fisik (derajat putih), kimia (pH, kadar air, kadar lemak, dan
kadar protein) dan sensori surimi (penampakan, uji lipat, dan uji gigit). Diagram
alir pembuatan surimi tahap pertama disajikan pada Gambar 1.
Pembuatan kamaboko dilakuan dengan penambahan garam 2,5% (b/b) pada
surimi dan dihomogenkan dengan food processor selama 1 menit. Pasta surimi
dimasukkan dalam selongsong kamaboko dan dilakukan pemanasan (setting) pada
suhu 40 °C selama 20 menit serta dilanjutkan perebusan (cooking) pada suhu
90 °C selama 20 menit (BSN 2006b). Pengujian yang dilakukan terhadap
kamaboko meliputi karakteristik fisik (kekuatan gel dan derajat putih) dan sensori
(uji skoring terhadap penampakan, warna, tekstur, aroma, dan rasa). Diagram alir
berdasarkan kekuatan gel, kadar lemak dan derajat putih surimi. Perlakuan yang
menghasilkan surimi terbaik dari tiap kelompok bahan pencuci digunakan dalam
penelitian lanjutan. Matriks perlakuan penelitian disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1 Matriks perlakuan pada penelitian tahap pertama
Bahan Konsentrasi Frekuensi Bahan Pencuci
Gambar 1 Diagram alir pembuatan surimi pada penelitian tahap pertama. Pemerasan
Pencucian pertama: larutan alkali (NaHCO3, Na2HPO4)
konsentrasi (0%, 0,3%, 0,5%, 0,7%) dan frekuensi (0, 1, 2, 3, 4) (rasio 1:3, suhu 10 °C, selama10 menit)
Ikan Patin
Penimbangan
Pencucian
Pemisahan daging dari tulang dan kulit
Pelumatan daging dengan grinder
Daging lumat
Pencucian terakhir: larutan NaCl 0,3% (rasio 1:3, suhu 10 °C, selama10 menit)
Pemerasan
Surimi Pengujian rendemenputih, pH, kadar air, lemak, , derajat
protein dan sensori surimi
Pencucian kedua dan ketiga: air dingin (rasio 1:3, suhu 10 °C, selama10 menit)
Gambar 2 Diagram alir pembuatan kamaboko.
3.3.2 Penelitian tahap kedua
Penelitian tahap kedua dilakukan untuk mempelajari pengaruh perendaman
dengan air dingin terhadap pengurangan kadar lemak pada surimi patin, serta
pengaruhnya terhadap warna dan kekuatan gel surimi patin yang dihasilkan. Ikan
patin yang telah dibuat filet dengan ukuran sekitar 200-240 g direndam dalam air
dingin dengan rasio daging dan air dingin 1:3 (b/v) pada suhu 10 °C dan tetap
dijaga suhunya selama 0, 10, 20 dan 30 menit. Setelah proses perendaman, filet
daging kemudian dipisahkan lemak yang menempel pada daging dan dilumatkan.
Daging lumat yang dihasilkan lalu dilakukan pencucian air dingin sebanyak satu
kali dengan rasio yang sama dan dilakukan pengadukan selama 10 menit pada
suhu 10 °C. Kemudian daging disaring dengan kain blacu dan dilakukan
dewatering pada akhir pencucian. Surimi yang dihasilkan dilakukan pengujian
yang meliputi karakteristik fisik (derajat putih) dan kimia (pH, kadar air, kadar
lemak dan kadar protein). Pengujian kekuatan gel dilakukan dengan terlebih
dahulu membuat kamaboko dari surimi seperti pada tahap pertama. Surimi
terbaik digunakan untuk pembuatan pempek pada formulasi pempek. Diagram
alir penelitian tahap ini disajikan pada Gambar 3. Surimi
Pencampuran dengan 2,5% NaCl
(food processor selama 1 menit)
Pencetakan
(tabung Ф 25-35 mm)
Perebusan (40 °C selama 40 menit dan 90 °C selama 20 menit)
Kamaboko
Pengujian kekuatan gel, derajat putih dan
Gambar 3 Diagram alir pembuatan surimi pada penelitian tahap kedua.
3.3.3 Penelitian tahap ketiga
Formulasi pempek mengacu pada resep umum masyarakat Palembang yaitu
perbandingan daging, tapioka dan air yaitu 2:2:1 (Winarno et al. 2000) dengan
Pencucian dengan air dingin
(rasio 1:3, suhu 10 oC, selama10 menit)
Pemerasan
Surimi Pengujian rendemenputih, pH, kadar air, lemak, , derajat
protein dan sensori surimi
Pelumatan daging dengan grinder
Daging lumat Ikan Patin
Penimbangan
Pencucian
Pembuatan filet daging patin
Perendaman dengan air dingin selama 0, 10, 20 dan 30 menit
(rasio 1:3, suhu 10 oC)
Filet daging
modifikasi dan jumlah garam berdasarkan Rosdiana (2002) dengan modifikasi.
Surimi yang dipakai adalah surimi terbaik dari tahap sebelumnya. Pengujian
terhadap pempek meliputi karakteristik fisik (derajat putih dan kekuatan gel), kimia (pH, kadar air, kadar lemak, dan kadar protein) dan sensori (uji pembedaan terhadap
penampakan, warna, aroma, tekstur, dan rasa). Formulasi pada penelitian ini
disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2 Formulasi pempek pada penelitian tahap ketiga
Bahan Jumlah bahan (gram)
Formulasi 1 Formulasi 2 Formulasi 3 Formulasi 4
Surimi patin 400 400 400 400
Tapioka 100 200 300 400
Air 125 150 175 200
Garam 20 24 28 32
Pembuatan pempek dilakukan dengan pencampuran daging, air dan garam
hingga rata lalu ditambahkan tapioka sampai homogen. Adonan lalu dicetak
menjadi bentuk silinder (panjang 6 cm dan diameter 2,5 cm) dan direbus pada
suhu 100 °C selama 20 menit (Winarno et al. 2000). Pempek lalu diangkat,
ditiriskan, dan didinginkan sampai suhu kamar. Diagram alir tahap ini disajikan
pada Gambar 4.
Gambar 4 Diagram alir pembuatan pempek.
Surimi
Pengadonan Penambahan tapioka
Pencampuran Air dan garam
Pencetakan
(lenjer Ф: 25 mm, p: 6 cm)
Perebusan (suhu 100 °C, 20 menit)
Pempek
Pengujian derajat putih, kekuatan
Pengujian yang dilakukan terhadap pempek meliputi karakteristik fisik (derajat putih dan kekuatan gel), kimia (pH, kadar air, lemak dan protein) dan sensori (uji pembeda pasangan terhadap penampakan, warna, aroma, tekstur dan rasa). Uji pembeda menggunakan pempek gabus komersial sebagai pembanding.
3.4 Prosedur Analisis
Surimi dan pempek patin dianalisis karakteristik kimia, fisik dan sensorinya.
Analisis kimia meliputi pH, kadar air, kadar lemak, dan kadar protein. Analisis
sifat fisik meliputi rendemen, derajat putih, dan kekuatan gel. Analisis sensori
meliputi uji sensori surimi, uji skoring mutu kamaboko, dan uji pembeda
pasangan pempek patin dengan pembanding pempek gabus.
3.4.1 Analisis kimia
a. Pengukuran pH (Negbenegor et al. 1999)
Sebanyak 10 gram sampel dihaluskan selama 2 menit dan ditambahkan
50 ml air destilata. Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH-meter,
yang sebelumnya dikalibrasi dengan larutan standar buffer pH 7,0 dan 4,0.
b. Kadar air (AOAC 1999)
Prinsip penentuan kadar air yaitu menghilangkan air melalui pemanasan.
Prosedur kerjanya adalah sampel dihaluskan agar homogen. Cawan porselen
dikeringkan dalam oven pada suhu 100 °C selama 30 menit, lalu didinginkan
dalam desikator dan ditimbang beratnya (A). Sebanyak 5 gram sampel halus
dimasukkan ke dalam cawan yang telah kering dan dilakukan penimbangan berat
wadah yang berisi sampel (B). Sampel dikeringkan pada suhu 100 °C hingga
mendapat berat konstan. Wadah berikut sampelnya kemudian didinginkan dalam
desikator dan ditimbang (C). Kadar air dihitung menggunakan rumus:
100%
c. Kadar protein (AOAC 1999)
Prinsip penentuan kadar protein terdiri dari tiga tahap yaitu destruksi (untuk
membentuk amonium sulfat), destilasi (pengikatan amonia dalam larutan asam),
Tahap destruksi: Sebanyak 1 gram sampel dimasukkan ke dalam tabung Kjeldahl
yang berisi 7 gram K2SO4 sebagai katalis dan 5 butir batu didih. Tabung
dimasukkan ke alat destruksi, lalu ditambahkan 15 ml H2SO4 (p) dan 3 ml H2O2.
Tabung ditutup dan dipanaskan dengan suhu 450 °C hingga larutan jernih.
Tahap destilasi: Tabung dikeluarkan dari alat destruksi dan ditambahkan 50 ml
akuades lalu dipasang pada alat destilasi. Sebanyak 25 ml larutan H3BO4 4%
dipipet dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml. Lalu ditambahkan 2 tetes
metil merah dan 50 ml NaOH 40% yang mengandung Na2S2O3 2,5%. Erlenmeyer
lalu dipasang pada alat destilasi dan dipanaskan.
Tahap titrasi: Bila larutan dalam erlenmeyer telah berwarna kuning muda
kemudian erlenmeyer dititrasi dengan HCl 0,1N hingga larutan berwarna merah
jambu.
Penentuan kadar lemak menggunakan alat Soxhlet, prinsip kerjanya
memisahkan lemak atau minyak dengan pelarut organik. Prosedurnya adalah
sampel sebanyak 2 gram ditimbang dan dimasukkan dalam selubung ekstraksi.
Selubung yang berisi sampel dimasukkan dalam Soxhlet. Soxhlet dan kondensor
dipanaskan pada labu lemak yang beratnya telah diketahui dan ekstraksi lemak
dilakukan dengan pelarut kloroform dengan suhu 70-80 °C selama 6 jam atau
sampai ekstraksi selesai. Setelah selesai, residu dikeringkan dalam oven pada
suhu 100 °C selama 60 menit atau sampai berat tetap dan didinginkan dalam
desikator lalu ditimbang.
100%
3.4.2 Analisis fisik
a. Rendemen (Prayitno 2003)
Pengamatan rendemen dilakukan dengan membandingkan berat surimi yang
100%
Warna surimi diukur dengan menggunakan Colorimeter model JP7100F
(Juki Corporation, Tokyo, Jepang). Nilai L* (lightness), a* (redness/greenness)
and b* (yellowness/blueness) diukur dan dihitung derajat putihnya berdasarkan
rumus sebagai berikut:
Derajat putih (%) = 100 – [(100 – L*)2 + (a*2 + b*2)]½
c. Kekuatan gel (Julavittayanukul et al. 2006)
Pengukuran kekuatan gel dilakukan dengan menggunakan Texture Analyzer
model TA-XT2 (Stable Micro System, Surrey, Inggris). Sebanyak 5 sampel
disiapkan dalam bentuk silinder dengan panjang 2,5 cm. Kekuatan gel diukur
menggunakan menggunakan probe berbentuk bola (diameter 5 mm; kecepatan
deformasi 60 mm/menit) dengan satuan g.cm.
3.4.3 Analisis sensori
Analisis sensori merupakan analisis yang melibatkan pengujian sensori atau
pengukuran sifat organoleptik (Soekarto dan Hubeis 1991) dengan menggunakan
indera manusia sebagai alat utama untuk menilai mutu produk (BSN 2006a).
Pada uji sensoris dibutuhkan minimal 6 orang panelis terlatih yang akan
melakukan penilaian terhadap sifat-sifat produk pada lembar penilaian (BSN
2006a).
a. Uji sensori surimi (BSN 2006b)
Uji sensori surimi patin dilakukan dengan mengacu pada uji sensori surimi
beku SNI 01-2693-2006 (BSN 2006b). Karakteristik yang dinilai meliputi
kenampakan dan uji fisik yang terdiri dari uji lipat dan uji gigit. Uji fisik
dilakukan dengan sampel surimi yang telah dibuat. Penilaian dilakukan oleh 8
orang panelis terlatih berdasarkan lembar penilaian seperti yang disediakan seperti
b. Uji skor mutu kamaboko (Candra 2010)
Uji skor mutu kamaboko dilakukan terhadap sampel kamaboko yang
disiapkan seperti pada uji lipat dan uji gigit. Karakteristik yang dinilai meliputi
penampakan, warna, aroma, tekstur, dan rasa. Penilaian dilakukan oleh 8 orang panelis terlatih berdasarkan lembar penilaian yang disediakan seperti pada
Lampiran 2.
c. Uji pembeda (Soekarto dan Hubeis 1991)
Sampel pempek patin dibedakan dari kontrol pempek gabus komersial
dengan uji pembeda pasangan. Karakteristik yang dinilai meliputi penampakan,
warna, aroma, tekstur, dan rasa. Penilaian dilakukan oleh 10 orang panelis terlatih berdasarkan lembar penilaian yang disediakan seperti pada Lampiran 3.
3.5 Rancangan Percobaan dan Analisis Data
Rancangan percobaan pada penelitian tahap pertama adalah rancangan acak
kelompok faktorial untuk menganalisis pengaruh taraf konsentrasi (0%, 0,3%,
0,5% dan 0,7%) dan frekuensi pencucian (0, 1, 2, 3 dan 4 kali) pada kelompok
bahan pencuci (NaHCO3 dan Na2HPO4) terhadap mutu surimi patin. Model untuk
rancangannya adalah sebagai berikut (Steel dan Torrie 1993):
Yijkl = μ + ρi + αj + βk + (αβ)jk + εijkl
Keterangan:
Yijkl = nilai pengamatan dari kelompok bahan pencuci ke-i yang mendapat faktor
konsentrasi ke-j dan frekuensi pencucian ke-k pada ulangan ke-l μ = rataan umum
ρi = pengaruh kelompok bahan pencuci ke-i
αj = pengaruh faktor konsentrasi ke-j
βk = pengaruh faktor frekuensi pencucian ke-k
(αβ)jk = pengaruh interaksi faktor konsentrasi ke-j dan frekuensi pencucian ke-k
εijkl = pengaruh galat percobaan pada kelompok bahan pencuci ke-i yang mendapat
perlakuan konsentrasi ke-j dan frekuensi pencucian ke-k pada ulangan ke-l
Analisis ragam (ANOVA) dilakukan untuk mendapatkan konsentrasi dan
frekuensi pencucian yang menghasilkan mutu surimi terbaik pada tiap kelompok
Data organoleptik surimi dianalisis dengan uji statistika nonparametrik
Kruskal-Wallis (Steel dan Torrie 1993). Model matematika uji Kruskal-Wallis
adalah sebagai berikut:
t
n = banyaknya pengamatan dalam perlakuan ke-i Ri2 = jumlah ranking dalam perlakuan ke-i
T = banyaknya pengamatan seri dalam kelompok H’ = H terkoreksi
H = simpangan baku
t = banyaknya pengamatan yang seri
Uji lanjut perbandingan berganda (Multiple camparison) dilakukan untuk
hasil analisis yang menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata. Rumus yang
digunakan adalah sebagai berikut:
6
Ri = rata-rata ranking perlakuan ke-i
Rj = rata-rata nilai ranking perlakuan ke-j k = banyaknya ulangan
n = jumlah total data
Penelitian tahap kedua menggunakan rancangan acak lengkap untuk
menganalisis pengaruh lama perendaman filet terhadap mutu surimi yang
dihasilkan. Model untuk rancangannya adalah sebagai berikut (Steel dan Torrie
1993):
Yij = μ + αi + εij
Keterangan:
Yij = nilai pengamatan dari faktor lama perendaman ke-i pada ulangan ke-j
μ = rataan umum
αi = pengaruh lama perendaman ke-i
εij = pengaruh galat percobaan pada perlakuan lama perendaman rasio ke-i pada ulangan
Analisis ragam (ANOVA) dilakukan untuk mendapatkan lama perendaman
yang menghasilkan surimi terbaik. Uji lanjut dilakukan dengan uji Tukey.
Penelitian tahap ketiga menggunakan rancangan acak lengkap untuk
menganalisis formulasi yang digunakan terhadap mutu pempek patin yang
dihasilkan. Model untuk rancangannya adalah sebagai berikut (Steel dan Torrie
1993):
Yij = μ + αi + εij
Keterangan:
Yij = nilai pengamatan dari faktor formulasi ke-i pada ulangan ke-j
μ = rataan umum
αi = pengaruh formulasi ke-i
εij = pengaruh galat percobaan pada perlakuan formulasi ke-i pada ulangan ke-j
Analisis ragam (ANOVA) dilakukan untuk mendapatkan formulasi yang
digunakan yang menghasilkan mutu pempek terbaik, baik fisik maupun kimia.
Uji lanjut dilakukan dengan uji Tukey untuk karakteristik fisik dan kimia serta uji
Dunnet untuk karakteristik sensori.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Surimi Patin Pengaruh Pencucian
Daging lumat dan surimi merupakan bahan baku yang sering digunakan
pada industri perikanan. Sifat fungsional daging lumat dan surimi merupakan
karaktersitik awal yang harus diketahui agar dapat menghasilkan produk pangan
yang bermutu baik dan disukai konsumen.
4.1.1 Karakteristik kimia
Karakteristik kimia surimi sangat mempengaruhi mutu produk pangan yang
dihasilkannya. Sifat fungsional daging dipengaruhi oleh kandungan air, protein,
lemak, protein larut garam dan pH (Damodaran 1985).
(a) Nilai pH
Nilai pH merupakan parameter yang penting dalam analisis surimi. Hal ini
terkait dengan sifat fungsional dari surimi. Mutu daging ikan segar dapat
diindikasikan dengan nilai pH yang mendekati netral antara 6,8-7,2.
Nilai pH surimi yang diperoleh berkisar antara 6,76 sampai dengan 8,79
pada pencucian dengan NaHCO3. Pencucian dengan Na2HPO4 menghasilkan
surimi dengan pH antara 6,76 sampai dengan 8,25. Nilai pH tertinggi diperoleh
pada pencucian satu kali dengan konsentrasi bahan pencuci 0,7%. Hal ini sangat
dimungkinkan karena pH larutan dengan konsentrasi bahan pencuci tertinggi
tersebut mencapai 10.
Hasil yang diperoleh dari penelitian menunjukkan bahwa pencucian satu
kali dengan menggunakan bahan pencuci alkali (3%, 5% dan 7%) menghasilkan
surimi dengan pH>8,0. Ini terjadi karena daging lumat tidak mengalami
pembilasan. Berbeda dengan pencucian 2, 3 dan 4 kali yang nilainya lebih rendah
dari pencucian satu kali untuk setiap perlakuan konsentrasi bahan pencuci. Hasil
pengukuran nilai pH surimi pada penelitian ini disajikan dalam Gambar 5.
Jenis pencuci tidak berpengaruh terhadap nilai pH surimi patin (p>0,050).
Faktor konsentrasi pencuci dan frekuensi pencucian berpengaruh nyata terhadap
surimi patin yang dihasilkan (p<0,05) (Lampiran 4b). Setiap taraf pencucian
5% dan 7% tidak berpengaruh nyata pada nilai pH surimi (Lampiran 4c dan 4d).
Pengukuran pH larutan NaHCO3Na dan Na2HPO4 pada konsentrasi 5% dan 7%
menghasilkan nilai pH yang tidak berbeda yaitu 10.
A
B
Gambar 5 Histogram nilai pH surimi, A: dengan NaHCO3,B: dengan Na2HPO4,
: daging lumat, : pencucian 1 kali, : pencucian 2 kali, : pencucian 3 kali dan : pencucian 4 kali.
Liu et al. (2010) melaporkan pembentukan gel pada daging ikan silver carp
(Hypophthalmichthys molitrix) terjadi pada pH 5,5-7,5, sedangkan pada pH 8-9
tidak terbentuk gelasi. Peningkatan nilai pH menyebabkan penurunan tingkat
gelasi dan kekuatan gel.
Titik isoelektrik protein berkisar pada pH 5,5. Kemampuan daging dalam
membentuk gel menjadi optimum pada pH tersebut. Pembentukan gel masih baik
pada pH dengan kisaran 6,0-6,4 (Foegeding et al. 1996). Hasil penelitian Suryanti
(2009) menunjukkan pembuatan surimi dari patin siam (Pangasius hypopthalmus)
menghasilkan pH surimi 7,57, sedangkan daging lumat patin siam dengan
pencucian satu kali dalam air dingin dan tanpa pencucian menghasilkan pH surimi
7,25 dan 7,19.
Konsentrasi NaHCO3
6.
(b) Kadar air
Kadar air merupakan data penting yang harus selalu dicantumkan dalam
bahan pangan dan produk pangan karena sangat mempengaruhi mutu dari bahan
dan produk pangannya. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa semakin tinggi
frekuensi pencucian pada daging lumat patin menghasilkan surimi dengan kadar
air yang cenderung meningkat (Gambar 6).
A
B
Gambar 6 Histogram kadar air surimi, A: dengan NaHCO3,B: dengan Na2HPO4,
: daging lumat, : pencucian 1 kali, : pencucian 2 kali, : pencucian 3 kali dan : pencucian 4 kali.
Hasil analisis ragam kadar air (% bb) menunjukkan bahwa jenis pencuci,
konsentrasi pencuci dan frekuensi pencucian menghasilkan perbedaan yang nyata
pada surimi (Lampiran 5a). Konsentrasi bahan pencuci yang memberikan
pengaruh yang berbeda adalah antara 0% dengan 3% dan 5%, sedang yang
lainnya tidak berbeda (Lampiran 5b dan 5c). Kadar air daging lumat dan surimi
dengan satu dan dua kali pencucian tidak memberikan pengaruh yang berbeda,
begitu pun antara surimi dengan tiga dan empat kali pencucian memberikan hasil
yang tidak berbeda.
79.
Konsentrasi NaHCO3
79.
Pencucian daging ikan berpengaruh terhadap kadar air. Kadar air tertinggi
diperoleh pada surimi dengan frekuensi pencucian 4 kali. Chen et al. (1997)
melaporkan bahwa pencucian berkali-kali dengan waktu yang lama akan
meningkatkan hidrasi daging lumat dan degradasi protein miofibril, yang
membuat proses dehidrasi berikutnya menjadi lebih sulit.
Penelitian yang dilakukan oleh Pratiwiningsih (2004) menunjukkan kadar
air daging marlin sebelum diolah menjadi surimi sebesar 74% dan setelah diolah
menjadi surimi kadar airnya sebesar 77,07%. Suryanti (2009) melaporkan kadar
air daging lumat, daging lumat dengan satu kali pencucian dalam air dingin dan
surimi patin siam secara berurutan 77,87%, 81,21% dan 83,05%.
(c) Kadar protein
Protein merupakan makromolekul yang paling banyak terdapat dalam
jaringan daging ikan. Hasil pengamatan penelitian ditunjukkan pada Gambar 7.
A
B
Gambar 7 Histogram kadar protein surimi, A: dengan NaHCO3, B: dengan
Na2HPO4, : daging lumat, : pencucian 1 kali, : pencucian 2 kali, : pencucian 3 kali dan : pencucian 4 kali.
Hasil analisis ragam kadar protein (% bk) menunjukkan bahwa hanya faktor
frekuensi pencucian yang memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05)
68.
Konsentrasi NaHCO3
66.
(Lampiran 6a). Perlakuan yang berbeda diberikan antara daging lumat dengan
surimi yang dicuci. Perlakuan frekuensi pencucian satu, dua, tiga dan empat tidak
menghasilkan perbedaan kadar protein (Lampiran 6b).
Penelitian yang dilakukan Suryanti (2009) menghasilkan kadar protein
daging lumat, daging lumat dengan pencucian satu kali dalam air dingin dan
surimi yang besarnya masing-masing 83,81%, 87,25% dan 81,65% (bk).
Penelitian Siddaiah et al. (2001) menunjukkan kadar protein daging lumat ikan
silver carp (Hypophthalmichthys molitrix) sebesar 87,65% (bk), sedangkan Weber
et al. (2008) melaporkan kadar protein silver catfish (Rhamdia quelen) sebesar
75,98% (bk).
(d) Kadar lemak
Kadar lemak dalam daging ikan sangat mempengaruhi mutu surimi yang
dihasilkan. Proses pencucian yang dilakukan terhadap daging lumat dapat
mengurangi kadar lemak surimi yang dihasilkan. Hal ini dapat dilihat pada hasil
pengamatan seperti disajikan pada Gambar 8.
A
B
Gambar 8 Histogram kadar lemak surimi, A: dengan NaHCO3, B: dengan
Na2HPO4, : daging lumat, : pencucian 1 kali, : pencucian 2 kali, :
Konsentrasi NaHCO3
27.
Penurunan kadar lemak merupakan salah satu parameter penting dalam
penentuan surimi terbaik dalam penelitian ini. Hasil pengamatan menunjukkan
kadar lemak surimi patin lebih rendah dari daging lumat. Pencucian dengan air
(0%) telah dapat menghilangkan lemak yang nilainya tidak jauh berbeda dari
pencucian dengan alkali (3%, 5% dan 7%). Hasil penelitian menunjukkan kadar
lemak menurun cukup tinggi hanya dengan pencucian air dingin sebanyak satu
kali. Hal ini karena karakteristik lemak patin yang berbeda dengan kebanyakan
ikan berlemak lainnya, meskipun dalam penelitian ini masih belum dilakukan
karakterisasi lemak patin.
Hasil analisis ragam kadar lemak (% bk) menunjukkan bahwa jenis pelarut,
konsentrasi pencuci dan frekuensi pencucian memberikan pengaruh yang berbeda
nyata pada surimi yang dihasilkan (p<0,05) (Lampiran 7a). Konsentrasi yang
memberikan pengaruh yang berbeda nyata adalah antara 0% dengan 5% dan 7%,
serta antara 3% dengan 5%. Frekuensi pencucian menunjukkan bahwa hanya
surimi dengan pencucian tiga kali yang tidak berbeda dari surimi dengan dua dan
empat kali pencucian. Perlakuan frekuensi pencucian lainnya menunjukkan hasil
yang berbeda (Lampiran 7b dab 7c).
Penelitian Suryanti (2009) yang menggunakan ikan patin siam sebagai
bahan baku surimi diperoleh kadar lemak 5,94% (bk). Karayannakidis et al.
(2007) melaporkan pencucian ikan sardin (Sardina pilchardus) dengan alkali
efektif untuk menghilangkan lemak. Bledso et al. (2000) menyatakan bahwa pada
pengolahan surimi dari ikan yang banyak mengandung lemak digunakan natrium
bikarbonat (NaHCO3) sebanyak 0,5% yang berfungsi untuk membantu
mengurangi kandungan lemak. Benjakul et al. (2003b) melaporkan bahwa proses
pencucian dapat menghilangkan sebagian lemak dalam daging dan berpengaruh
pada kemampuan membentuk gel.
4.1.2 Karakteristik fisik
Sifat fungsional protein yang berperan penting dalam pengolahan daging
meliputi sifat emulsi, water holding capacity (WHC) dan kekuatan gel (Fennema
1985). Mao dan Wu (2007) menyatakan bahwa atribut warna dan tekstur yaitu
kekuatan gel merupakan faktor utama dalam penerimaan produk-produk olahan
atribut tersebut dan menjadi parameter penentu untuk menetapkan surimi terbaik
dalam penelitian ini.
(a) Rendemen
Penghitungan rendemen merupakan hal yang perlu dilakukan untuk dapat
memperkirakan bahan baku yang dibutuhkan dalam produksi. Penghitungan
rendemen dalam penelitian ini dilakukan dengan membandingkan jumlah surimi
yang dihasilkan dengan berat utuh ikan yang digunakan.
Data yang diperoleh dari penghitungan rendemen menunjukkan bahwa
frekuensi pencucian berbanding terbalik dengan rendemen yang dihasilkan, yaitu
semakin tinggi frekuensi pencucian maka akan semakin rendah rendemen yang
dihasilkan. Hal ini terjadi karena pencucian menyebabkan leaching beberapa
komponen dari daging ikan. Siklus pencucian yang meningkat akan
meningkatkan jumlah komponen larut air yang leaching. Hasil pengamatan
disajikan dalam Gambar 9.
A
B
Gambar 9 Histogram rendemen surimi, A: dengan NaHCO3, B: dengan
Na2HPO4, : daging lumat, : pencucian 1 kali, : pencucian 2 kali, :
Konsentrasi NaHCO3
36.