BAHAN AJAR
Dasar-dasar Pajak Penghasilan (PPh)
Orang Pribadi dan Badan
PROGRAM DIPLOMA I KEUANGAN
SPESIALISASI PAJAK
Wahyu Santosa, Ak., M.Si.
Sadimin, S.S.T.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah subhanahu wa
ta’ala, bahan ajar Pajak Penghasilan bagi Program Diploma I Keuangan Spesialisasi Pajak
Sekolah Tinggi Akuntansi Negara dapat diselesaikan.
Bahan Ajar Pajak Penghasilan ini tidak semata-mata disusun bagi mahasiswa/i
Program Diploma I Keuangan Spesialisasi Pajak STAN, mengingat luasnya cakupan
materi Pajak Penghasilan dan kekhawatiran terjadinya bias dalam pemahaman Pajak
Penghasilan akibat tidak disampaikannya ketentuan tertentu dalam peraturan
perUndang-undangan perpajakan. Oleh karena itu, cakupan dan kedalaman materi
Pajak Penghasilan yang akan disampaikan di kelas, diserahkan sepenuhnya bagi para
Dosen Pengajaruntuk memilah dan memilihnya.
Mengingat Materi Pajak Penghasilan sangat luas dan selalu mengalami
perkembangan dari waktu ke waktu sesuai dengan perubahan peraturan perpajakan di
bidang Pajak Penghasilan, sangat dimungkinkan banyak aspek Pajak Penghasilan dalam
Bahan Ajar ini yang tidak terbahas secara mendalam dan memadai.
Penyajian dan cakupan Bahan Ajar ini diharapkan dapat membantu mahasiswa/i
Diploma I Keuangan Spesialisasi Pajak STAN khususnya dan para pembaca pada
umumnya dalam memahami ketentuan Pajak Penghasilan yang berlaku di Indonesia.
Kami menyampaikan terima kasih kepada Bapak A. Sjarifudin Alsah selaku Direktur
Peraturan Perpajakan II, Direktorat Jenderal Pajak dan Bapak Erhamsyah Noor selaku
Kepala Subdit Harmonisasi Peraturan Perpajakan, Direktorat Peraturan Perpajakan II yang
telah memberikan penugasan kepada penulis untuk ikut terlibat dalam kegiatan penyusunan
kurikulum Diploma I Keuangan Spesialisasi Pajak STAN, yang salah satunya
adalahpenyusunan Bahan Ajar ini.
Terakhir, tiada gading yang tak retak, tiada capaian kesempurnaan tanpa perbaikan
yang berkesinambungan, sehingga segala saran dan masukan pembaca dan pengguna
bagi perbaikan dan penyempurnaan Bahan Ajar ini senantiasa Penulis harapkan.
Jakarta, Agustus 2011
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... ii
DAFTAR LAMPIRAN ... v
BAB 1 PENDAHULUAN ... 6
A. Peta Konsep Pajak Penghasilan ... 6
B. Pengertian Pajak Penghasilan ... 6
C. Ketentuan Pajak Penghasilan dari Waktu ke Waktu ... 7
D. Latar Belakang Berlakunya Undang-undang Pajak Penghasilan ... 8
BAB 2 SUBJEK PAJAK ... 10
A. Orang Pribadi ... 10
B. Badan ... 11
C. Bentuk Usaha Tetap (BUT) ... 12
D. Subjek Pajak Dalam Negeri dan Subjek Pajak Luar Negeri ... 13
E. Kewajiban Pajak Subjektif dan Kewajiban Pajak Objektif ... 15
F. Yang Tidak Termasuk Subjek Pajak Penghasilan ... 16
BAB 3 OBJEK PAJAK PENGHASILAN ... 18
A. Pengertian Penghasilan ... 18
B. Penghasilan yang Dikenai PPh Bersifat Final ... 33
C. Yang Dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan ... 37
D. Penghasilan dari Luar Indonesia ... 49
BAB 4 PENGHASILAN KENA PAJAK ... 51
A. Pengurang Penghasilan Bruto ... 51
B. Bukan Pengurang Penghasilan Bruto ... 60
C. Kompensasi Kerugian Fiskal ... 69
D. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) ... 70
E. Penyusutan Fiskal ... 71
F. Amortisasi Fiskal... 77
G. Penilaian Persediaan79 ... 81
H. Nilai Perolehan Harta ... 81
BAB 5 CARA MENGHITUNG PAJAK PENGHASILAN ... 88
A. Arm’s Length Transaction dan Hubungan Istimewa ... 90
B. Pembukuan dan Pencatatan ... 91
C. Tarif Pajak Penghasilan ...102
E. PPh Pasal 26 ...139
F. Penghitungan Pajak pada Akhir Tahun ...144
BAB 6 PPh ORANG PRIBADI ...147
A. Pajak Penghasilan dalam Kaitannya dengan Hubungan Suami-Isteri ...147
B. Pajak Penghasilan bagi WP Orang Pribadi yang Menerima/MemperolehPenghasilan sehubungan dengan Pekerjaan ...150
C. Pajak Penghasilan bagi WP Orang Pribadi yang Melakukan Kegiatan Usaha atau Pekerjaan Bebas ...154
D. Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (WP OPPT) ...159
BAB 7 PPh BADAN ...163
A. Rekonsiliasi Fiskal Pajak Penghasilan ...163
B. Fasilitas Pajak Penghasilan ...170
CATATAN KAKI ...176
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1: Peta Konsep Pajak Penghasilan ... 6
Gambar 2: Pengenaan Pajak Penghasilan atas Dividen ... 24
Gambar 3: Skema Pengenaan Perpajakan atas Dana Pensiun ... 42
Gambar 4: Skema Kewajiban Pembukuan atau Pencatatan ... 91
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I...184
Lampiran II ...188
Lampiran III ...192
BAB
PENDAHULUAN
A. Peta Konsep Pajak Penghasilan
Gambar 1: Peta Konsep Pajak Penghasilan
B. Pengertian Pajak Penghasilan
Pengertian Pajak menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undangKUP adalah
kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang
1
Tujuan Instruksional Khusus:
1. Mampu menguraikan tentang konsep Pajak Penghasilan. 2. Mampu menjelaskan tentang pengertian Pajak Penghasilan.
bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan
secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
Pasal 1 Undang-undang Pajak Penghasilanmenyatakan bahwa Pajak
Penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak atas Penghasilan yang diterima atau
diperolehnya dalam tahun pajak.Subjek Pajak yang menerima atau memperoleh
penghasilan disebut Wajib Pajak. Wajib Pajak dikenakan pajak atas penghasilan
yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak1 atau dapat pula dikenakan pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak, apabila kewajiban pajak
subjektifnya dimulai atau berakhir dalam tahun pajak.
C. Ketentuan Pajak Penghasilan dari Waktu ke Waktu
Nama Undang-undang (Ordonansi) Objek Pajak Subjek Pajak Masa Berlaku Patent Recht Penghasilan Badan/Orang 1878 - 1907
Ordonantie Op De Inkomsten Belasting 1908
Ordonansi Pajak Pendapatan 1908 Penghasilan
Badan/Orang Eropa atau
yang disamakan
1908 - 1920
Ordonantie Op De Inkomsten Belasting 1920
Ordonansi Pajak Pendapatan 1920 Penghasilan
Badan Orang
Badan 1921 - 1925 Orang1921 - 1932
Ordonantie Op De Vennotschap Belasting 1925
Ordonansi Pajak Perseroan 1925 (PPs) Laba Badan 1926 - 1983
Ordonantie Op De Inkomsten Belasting 1932
Ordonansi Pajak Pendapatan 1932 Pendapatan Orang Pribadi 1933 - 1944
Ordonantie Op De Inkomsten Belasting 1944
Ordonansi Pajak Pendapatan 1944 (PPd) Pendapatan Orang Pribadi 1945 - 1983
§ Undang-undang Nomor 8 Tahun 1967 merupakan tata cara pemungutan PPd dan PPs
§ Undang-undang Pajak atas Bunga Dividend an Royalty (PBDR) merupakan bagian dari PPd dan PPs
Sumber: Rusjdi, Muhammad. Hal. 01-1. PPh Pajak Penghasilan. 2007. Klaten: PT Indeks.
Perubahan terhadap ketentuan Pajak Penghasilan dilakukan pada tahun
1983, dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1984. Undang-undang Pajak
Penghasilan telah mengalami perubahan sebanyak 4 kali, yaitu:
1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991, yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1992.
2. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, yang mulai berlaku sejak 1 Januari
1995.
3. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, yang mulai berlaku sejak 1 Januari
4. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008, yang mulai berlaku sejak 1 Januari
2009.
undang Pajak Penghasilan yang sekarang berlaku adalah
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008
(selanjutnya disebut Undang-undang Pajak Penghasilan).
D. Latar Belakang BerlakunyaUndang-undang Pajak Penghasilan
Sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan, wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang sepenuhnya
berada pada fiskus (official assessment). Sarana menetapkan jumlah pajak yang
terutang dilakukan melalui penerbitkan Surat Ketetapan Pajak. Ketentuan formal
maupun ketentuan material dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya diatur
dalam satu Undang-undang, yaitu Ordonansi Pajak Pendapatan 1944 untuk orang
pribadi dan Ordonansi Pajak Perseroan 1925 untuk badan.
Sejak dilakukannyareformasi di bidang perpajakan (tax reform) tahun 1983,
pengenaan Pajak Penghasilan diatur dalam 2 Undang-undang yaitu:
1. Undang-undang yang mengatur ketentuan formal, yaitu Undang-undang Nomor 6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan, yang mengatur
tentang prosedur perpajakan untuk mewujudkan ketentuan hukum pajak
material.
2. Undang-undang yang mengatur ketentuan material, yaitu Undang-undang Nomor
7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, yang mengatur mengenai subjek
pajak, objek pajak, tarif pajak, cara menghitung pajak, pelunasan pajak dalam
tahun berjalan, dan perhitungan pajak pada akhir tahun.
Tujuan utama dilakukannya reformasi di bidang perpajakan secara
menyeluruh pada tahun 1983 adalah untuk mencapai pertumbuhan penerimaan
pajak yang sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dengan Undang-undang pajak
yang berlaku. Hal tersebut tidak mungkin dapat dilakukan dengan menggunakan
sistem official assessment, mengingat keterbatasan sumber daya manusia aparat
pajak, sarana dan prasarana untuk menetapkan jumlah pajak yang terutang
mengingat jumlah wajib pajak yang makin bertambah sesuai dengan perkembangan
Pengenaan Pajak Penghasilan tidak lagi berdasarkan azas sumber
sebagaimana pendapatan pada Ordonansi Pajak Pendapatan 1944, atau laba pada
Ordonansi Pajak Perseroan 1925, tetapi didasarkan pada penghasilan dalam arti
yang luas. Penentuannya didasarkan pada adanya tambahan kemampuan ekonomis
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam tahun pajak, dengan nama dan
dalam bentuk apapun, tidak terbatas dalam bentuk uang saja, yang dapat dipakai
untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak (broadbased taxation).
Ruang lingkup penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan bagi Wajib
Pajak Dalam Negeri adalah semua penghasilan, baik dari Indonesia maupun dari
luar Indonesia (world wide income).Sedangkan bagi Wajib Pajak Luar Negeri, hanya
dikenai Pajak Penghasilan jika menerima atau memperoleh penghasilan dari
BAB
SUBJEK PAJAK
Menurut (Mansury, 2002) Subjek Pajak itu adalah subjek hukum yang oleh
Undang-undang pajak diberi kewajiban perpajakan. Subjek Pajak itu pada umumnya
[merupakan] subjek hukum berdasarkan cabang hukum lain di luarnya hukum pajak,
yang kemudian diatur dalam Undang-undang pajak, dan dinyatakan sebagai Subjek
Pajak. Hal itu dapat dimengerti sebab subjek hukum oleh hukum diakui mempunyai
hak dan kewajiban di hadapan hukum, sehingga Undang-undang pajak hanya
menegaskan hak-hak dan kewajibannya sehubungan dengan perpajakan. Hal yang
demikian, juga menunjukkan, bahwa hukum pajak itu merupakan bagian dari
keseluruhan sistem hukum atau tata hukum di Indonesia.
Subjek Pajak Penghasilan diatur dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1)
Undang-undang Pajak Penghasilan, yaitu:
• - Orang Pribadi
- Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang
berhak
• Badan
• Bentuk Usaha Tetap (BUT)
A. Orang Pribadi
Orang pribadi sebagai subjek pajak dapat bertempat tinggal atau berada di
Indonesia2 ataupun di luar Indonesia3.
2
Tujuan Instruksional Khusus:
1. Mampu menjelaskan tentang Subjek Pajak Pajak Penghasilan.
2. Mampu menguraikan tentang perbedaan Subjek Pajak Dalam Negeri dan Subjek Pajak Luar Negeri.
3. Mampu menjelaskan tentang kewajiban pajak subjektif dan kewajiban pajak objektif.
Warisan yang belum terbagi sebagai
satu kesatuan merupakan subjek pajak
pengganti, menggantikan mereka yang
berhak yaitu ahli waris. Penunjukan warisan
yang belum terbagi sebagai subjek pajak
pengganti dimaksudkan agar pengenaan
pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan.
Contoh:
Randy Jatnika adalah Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki usaha berupa 2 unit
SPBU dan 4 unit rumah kontrakan. Randy Jatnika menikah dan mempunyai 2 orang
anak kandung, yaitu Catur Krishnawardana dan Candra Sugiarto.Pada tanggal 23
Agustus 2011, Randy Jatnika meninggal dunia, dan warisan belum dibagi kepada
para ahli waris.
Warisan yang belum terbagi berupa 2 unit SPBU dan 4 unit rumah kontrakan
tersebut ditunjuk sebagai subjek pajak pengganti Randy Jatnika, sehingga
pengenaan PPh atas penghasilan yang berasal dari usaha SPBU dan rumah
kontrakan tetap dapat dilaksanakan.
B. Badan
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan
baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi
perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik
Negara (BUMN) atau badan usaha milik daerah (BUMD) dengan nama dan dalam
bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan4, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya,
lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk
usaha tetap.
BUMN dan BUMDmerupakan subjek pajak tanpa memperhatikan nama dan
bentuknya sehingga setiap unit tertentu dari badan Pemerintah5, misalnya lembaga,
badan, dan sebagainya yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untuk memperoleh penghasilan
merupakan subjek pajak.
Warisan yang belum t erbagi dalam kedudukannya sebagai subjek pajak menggunakan NPWP dari WP orang pribadi yang
C. Bentuk Usaha Tetap (BUT)
Pasal 2 ayat (5) Undang-undang Pajak Penghasilanmenyatakan bahwa
bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang
tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak
lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan,
dan badan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia untuk
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di
Indonesia, yang dapat berupa:
1. Tempat kedudukan manajemen.
2. Cabang perusahaan.
8. Ruang untuk promosi dan penjualan.
9. Pertambangan dan penggalian sumber alam.
10. Wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi.
11. Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan,atau kehutanan.
12. Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan.
13. Pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang
dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan.
14. Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas.
15. Agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau
menanggung risiko di Indonesia.
16. Komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau
digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan
usaha melalui internet.
Perluasan Pengertian BUT dalam UU PPh meliputi:
Gudang;
Ruang untuk promosi dan penjualan; dan Peralatan ot omasis (Dedicat ed server)
untuk kegiatan usaha melalui int ernet
Alasan Perubahan:
M emperluas hak pemajakan dengan menegaskan gudang dan ruang untuk promosi dan penjualan yang dipergunakan oleh WP luar negeri sebagai BUT;
Untukmenampung/ mengantisipasi
Pasal 2 ayat (1a) Undang-undang Pajak Penghasilanmenyatakan bahwa
BUT merupakan subjek pajak yang
perlakuan perpajakannya dipersamakan
dengan subjek pajak badan.
Suatu BUT mengandung pengertian
adanya suatu tempat usaha6 (place of business) yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga
mesin-mesin, peralatan, gudang dan komputer atau agen elektronik atau peralatan otomatis
(automated equipment) yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara
transaksi elektronik untuk menjalankan aktivitas usaha melalui internet.
Pengertian BUTmencakup pula orang pribadi atau badan selaku agen yang
kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas nama orang pribadi atau
badan yang tidak bertempat tinggal atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia.
Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia tidak dapat dianggap mempunyai BUT di
Indonesia apabila orang pribadi atau badan dalam menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan di Indonesia menggunakan agen, broker atau perantara yang
mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen atau perantara tersebut dalam
kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan perusahaannya
sendiri.
Perusahaan asuransi yang didirikan dan bertempat kedudukan di luar
Indonesia dianggap mempunyai BUT di Indonesia apabila perusahaan asuransi
tersebut menerima pembayaran premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia
melalui pegawai, perwakilan atau agennya di Indonesia. Menanggung risiko di
Indonesia tidak berarti bahwa peristiwa yang mengakibatkan risiko tersebut terjadi di
Indonesia. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa pihak tertanggung bertempat
tinggal, berada, atau bertempat kedudukan di Indonesia.
D. Subjek Pajak Dalam Negeri dan Subjek Pajak Luar Negeri
Pasal 2 ayat (3) Undang-undang Pajak Penghasilan mengatur bahwa subjek
pajak dalam negeri adalah:
BUT merupakan subjek pajak yang
perlakuan perpajakannya dipersamakan
1. - Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia.
- Orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka
waktu 12 bulan.
- Orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan
mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
2. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit
tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
- Pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
- Pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD);
- Penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau
Pemerintah Daerah;
- Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara.
3. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.
Menurut Pasal 2 ayat (4) Undang-undang Pajak Penghasilan, subjek pajak
luar negeri adalah:
1. - Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia;
- Orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka
waktu 12 bulan;
- Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia,yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melaluiBUT di Indonesia.
2. - Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia;
- Orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka
waktu 12 bulan;
- Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia,yang
dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia.
Perbedaan yang penting antara Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak
luar negeri terletak dalam pemenuhan kewajiban pajaknya, antara lain:
No. Perbedaan Wajib Pajak Dalam Negeri Wajib Pajak Luar Negeri
1. Pengenaan PPh
Dikenai pajak atas penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari Indonesia maupun dari luar Indonesia.
Dikenai pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari
Indonesia.
2. Tarif Dikenai pajak berdasarkan penghasilan
netto dengan tarif umum.
Dikenai pajak berdasarkan
penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan.
3. SPT
Wajib menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan sebagai sarana untuk menetapkan pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak
Tidak wajib menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final.
Pertanyaan:
Bagi Indonesia, Barack H. Obama merupakan
Subjek Pajak dalam negeri atau Subjek Pajak
luar negeri atau bukan kedua-duanya?
E. Kewajiban Pajak Subjektif dan Kewajiban Pajak Objektif
Pasal 2A Undang-undang Pajak Penghasilan mengatur bahwa Pajak
Penghasilan merupakan jenis pajak subjektif yang kewajiban pajaknya melekat pada
Subjek Pajak yang bersangkutan, artinya kewajiban pajak tersebut dimaksudkan
untuk tidak dilimpahkan kepada Subjek Pajak lainnya. Oleh karena itu dalam rangka
memberikan kepastian hukum, penentuan saat mulai dan berakhirnya kewajiban
pajak subjektif menjadi penting.
Saat mulai dan saat berakhirnya kewajiban pajak subjektif bagi subjek pajak
dalam negeri adalah sebagai berikut:
Subjek Pajak Dalam Negeri Kewajiban Pajak Subjektif
Saat Dimulai Saat Berakhir
a. Orang pribadi yang bertempat tinggal
di Indonesia. Pada saat lahir di Indonesia.
Meninggal dunia atau
meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya7 b. Orang pribadi yang berada di
Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan.
Sejak hari pertama berada di Indonesia.
c. Orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
Berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
d. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.
Didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.
Dibubarkan atau tidak lagi bertempat kedudukan di Indonesia
Saat mulai dan saat berakhirnya kewajiban pajak subjektif bagi subjek pajak
luar negeri adalah sebagai berikut:
Subjek Pajak Luar Negeri Kewajiban Pajak Subjektif
Saat Dimulai Saat Berakhir
a. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia.
b. Orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan.
c. Badan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di
Indonesia,yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia.
Pada saat orang pribadi
atau badan tersebut
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT
Pada saat tidak lagi
menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan dalam jangka waktu 12 bulan.
c. Badan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di
Indonesia,yang dapat menerima atau
memperoleh penghasilan dari
Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di
F. Yang Tidak Termasuk Subjek Pajak Penghasilan
Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan mengatur
bahwayang tidak termasuk subjek pajak adalah:
1. Kantor perwakilan negara asing.
2. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari
negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja
pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka dengan syarat bukan warga
negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh
penghasilan di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara
bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik.
3. Organisasi-organisasi internasional8 dengan syarat:
a. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut;
b. Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan
dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang
Organisasi-organisasi internasional yang berbentuk kerjasama teknik dan
atau kebudayaan tidak termasuk Subjek Pajak Penghasilan apabila memenuhi
syarat sebagai berikut:
a. Kerjasama teknik tersebut memberi manfaat pada Negara/Pemerintah
Indonesia;
b. Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan
dari Indonesia.
Organisasi-organisasi internasional yang
memenuhi syarat sebagai tidak termasuk Subjek
Pajak Penghasilan adalah sebagaimana ditetapkan
dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan Nomor
PMK-215/PMK.03/2008 tentang Penetapan
Organisasi-Organisasi Internasional dan
Pejabat-Pejabat Perwakilan Organisasi Internasional yang
Tidak Termasuk Subjek Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 142/PMK.03/2010.
4. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional9dengan syarat: a. Bukan warga negara Indonesia;
b. Tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain untuk memperoleh
penghasilan dari Indonesia.
Pengecualian sebagai subjek pajak bagi pejabat-pejabat tersebut tidak
berlaku apabila mereka memperoleh penghasilan lain di luar jabatannya atau
mereka adalah Warga Negara Indonesia. Dengan demikian apabila pejabat
perwakilan suatu negara asing memperoleh penghasilan lain di Indonesia di luar
jabatan atau pekerjaannya tersebut, maka ia termasuk subjek pajak yang dapat
dikenai pajak atas penghasilan lain tersebut.
At as penghasilan yang dit erima/ diperoleh oleh yang
t idak t ermasuk subjek pajak
BAB
OBJEK PAJAK PENGHASILAN
A. Pengertian Penghasilan
Undang-undang Pajak Penghasilan menganut prinsip pemajakan atas
penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap
tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari
manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah
kekayaan Wajib Pajak tersebut.
Pengertian penghasilan dalam Undang-undang Pajak Penghasilantidak
memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya
tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima
atau diperoleh Wajib Pajak merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan Wajib
Pajak tersebut untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah
untuk kegiatan rutin dan pembangunan.
Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib
Pajak, penghasilan dapat dikelompokkan menjadi:
1. Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti
gaji, honorarium, penghasilan dari praktik dokter, notaris, aktuaris, akuntan,
pengacara, dan sebagainya;
2. Penghasilan dari usaha dan kegiatan;
3. Penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak,
seperti bunga, dividen, royalti, sewa, dan keuntungan penjualan harta atau hak
yang tidak dipergunakan untuk usaha;
3
Tujuan Instruksional Khusus:
1. Mampu menguraikan tentang pengertian penghasilan. 2. Mampu menguraikan tentang objek Pajak Penghasilan.
3. Mampu menjelaskan tentang penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final.
4. Penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang dan hadiah.
Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan
dapat pula ditabung untuk menambah kekayaan Wajib Pajak.
Karena Undang-undang Pajak Penghasilan menganut pengertian
penghasilan yang luas maka semua jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh
dalam suatu tahun pajak digabungkan untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak.
Dengan demikian, apabila dalam satu tahun pajak suatu usaha atau kegiatan
menderita kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan lainnya
(kompensasi horizontal), kecuali kerugian yang diderita di luar negeri. Namun
demikian, apabila suatu jenis penghasilan dikenai pajak dengan tarif yang bersifat
final atau dikecualikan dari objek pajak, maka penghasilan tersebut tidak boleh
digabungkan dengan penghasilan lain yang dikenai tarif umum.
Menurut (Mansury, 2002) dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Pajak
Penghasilan ditegaskan bahwa penghasilan yang dikenakan pajak mempunyai
unsur-unsur sebagai berikut:
1. Tambahan kemampuan ekonomis.
Bahwa yang termasuk penghasilan itu adalah setiap tambahan
kemampuan untuk menguasai barang dan jasa yang didapat oleh Wajib Pajak
dalam tahun pajak yang berkenaan. Penghasilan diberi arti sebagai uang atau
segala sesuatu yang lain yang bernilai uang yang mengalir menjadi hak
seseorang yang dapat dipakainya untuk menguasai barang dan jasa guna
dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan orang tersebut. Dengan memakai kata
“tambahan”, maka dimaksudkan bahwa yang dikenakan pajak itu adalah jumlah
netto, yaitu jumlah penerimaan atau perolehan bruto dikurangi dengan biaya
untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan itu.
2. Yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak.
Unsur ini membatasi pengenaan pajak atas setiap tambahan kemampuan
ekonomis itu, yaitu hanya kepada tambahan kemampuan ekonomis yang telah
menjadi realisasi. Pengertian realisasi dalam hal ini mengambil alih konsep
akuntansi, yaitu penghasilan yang telah dapat dibukukan, baik dengan memakai
cash basis maupun dengan yang memakai accrual basis. Dalam hal ini
adanya kenaikan harga pasar, melainkan kenaikan harga itu sudah menjadi
realisasi.
Mengenakan pajak hanya atas tambahan kemampuan ekonomis yang
telah menjadi realisasi tidak berarti bahwa tambahan kemampuan ekonomis
yang belum menjadi realisasi dibebaskan dari pajak. Hanya pengenaan pajaknya
ditunda hingga saat yang kemudian, yaitu pada saat pemungutan pajak dapat
dilakukan dengan mudah.
3. Baik yang berasal dari Indonesia maupun yang berasal dari luar Indonesia.
Menunjukkan bahwa penghasilan yang dikenakan pajak itu meliputi
penghasilan yang didapat dari manapun juga, baik yang berasal dari
sumber-sumber di Indonesia maupun dari sumber-sumber-sumber-sumber di luar Indonesia.
Dari Pasal 26 (Undang-undang Pajak Penghasilan) kita mengetahui
bahwa Subjek Pajak luar negeri mempunyai kewajiban pajak objektif yang
terbatas. Dengan demikian, yang kewajiban pajak objektifnya meliputi world wide
income adalah Subjek Pajak dalam negeri.
4. Yang dipakai untuk konsumsi maupun yang dipakai untuk membeli tambahan
harta.
Merupakan cara menghitung atau mngukur besarnya penghasilan yang
dikenakan pajak itu, yaitu sebagai hasil penjumlahan seluruh pengeluaran untuk
kebutuhan konsumsi dan sisanya yang ditabung menjadi kekayaan Wajib Pajak,
termasuk yang dipakai membeli harta sebagai investasi (investasi disini adalah
penggunaan tabungan Wajib Pajak untuk mengembangkan harta Wajib Pajak,
seperti dibelikan saham untuk memperoleh dividend an capital gains atau
dibelikan tanah yang dapat memberikan sewa dan juga capital gains.
5. Dengan nama dan dalam bentuk apapun juga.
Unsur ini mensyaratkan, bahwa dalam penentuan ada tidaknya
penghasilan yang dikenakan pajak dan kalau ada berapa besarnya penghasilan
itu, maka yang menentukan bukan nama yang diberikan oleh Wajib Pajak dan
juga bukan bergantung kepada bentuk yuridis yang dipakai oleh Wajib Pajak,
melainkan yang paling menentukan adalah hakekat ekonomis yang sebenarnya.
Disebut The Substance OverForm Principle, yang berarti bahwa hakekat
Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan menyatakan bahwa
yang menjadi objek pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari
Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau
untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan
dalam bentuk apa pun, termasuk10:
a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa.
Semua pembayaran atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan
atau jasa, seperti upah, gaji, tunjangan,
honorarium, komisi, bonus, gratifikasi,
uang pensiun, premi asuransi jiwa, dan
asuransi kesehatan yang dibayar oleh
pemberi kerja, atau imbalan dalam
bentuk lainnya (misal: natura) adalah
objek Pajak Penghasilan.
b. Hadiah dan Penghargaan.
Dalam pengertian hadiah termasuk hadiah dari undian, pekerjaan,
dan kegiatan seperti hadiah undian tabungan, hadiah dari pertandingan
olahraga dan lain sebagainya.
Penghargaan adalah imbalan yang diberikan sehubungan dengan
kegiatan tertentu, misalnya imbalan yang diterima sehubungan dengan
penemuan benda-benda purbakala.
c. Laba usaha.
d. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta.
1) Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan,
dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
2) Keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu,
atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;
3) Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan
dalam bentuk apa pun;
4) Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau
sumbangan.
Alasan per ubahan:
Hak/ Interest di Bidang
Pertambangan hulu migas adalah
hak penambangan yang
ketentuannya diatur tersendiri. Pengalihan hak tersebut kepada pihak lain dapat menyebabkan
pemegang hak memperoleh
5) Keuntungankarena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak
penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan
dalam perusahaan pertambangan.
Pasal 3 PP Nomor 94 Tahun 2010 mengatur bahwa dalam hal terjadi
pengalihan harta perusahaan kepada pegawainya, maka keuntungan berupa
selisih antara harga pasar harta tersebut dengan nilai sisa buku merupakan
penghasilan bagi perusahaan.
e. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya
dan pembayaran tambahan pengembalian pajak.
Pengembalian pajak yang telah dibebankan sebagai biaya pada saat
menghitung Penghasilan Kena Pajak merupakan objek pajak.
Sebagai contoh, Pajak Bumi dan Bangunan yang sudah dibayar dan
dibebankan sebagai biaya, yang karena sesuatu sebab dikembalikan, maka
jumlah sebesar pengembalian tersebut merupakan penghasilan.
f. Bunga.
Dalam pengertian bunga termasuk pula premium, diskonto dan
imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang.Premium terjadi
apabila misalnya surat obligasi dijual di atas nilai nominalnya sedangkan
diskonto terjadi apabila surat obligasi dibeli di bawah nilai nominalnya.
Premium tersebut merupakan penghasilan bagi yang menerbitkan obligasi
dan diskonto merupakan penghasilan bagi yang membeli obligasi.
g. Dividen.
Dividen merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham
atau pemegang polis asuransi atau pembagian sisa hasil usaha koperasi
yang diperoleh anggota koperasi.
Termasuk dalam pengertian dividen adalah:
1) Pembagian laba baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan
nama dan dalam bentuk apapun.
Pasal 6 PP Nomor 94 Tahun 2010 mengatur bahwa pembagian
laba secara langsung dan/atau tidak langsung yang berasal dari saldo
laba termasuk saldo laba berdasarkan proyeksi laba tahun berjalan
merupakan objek pajak, kecuali bagian laba sebagaimana dimaksud
2) Pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang
disetor.
3) Pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk
saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham11.
Apabila saham bonus diberikan kepada pemegang saham yang
menjadikan jumlah nilai nominal seluruh saham termasuk saham bonus
yang diperolehnya lebih besar dari jumlah setoran modalnya, pemberian
saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham tersebut
termasuk dalam pengertian pembagian laba atau dividen.
Namun demikian apabila saham bonus dimaksud diberikan
kepada pemegang saham sehingga pemberian tersebut tidak menjadikan
jumlah nilai seluruh saham (termasuk saham bonus) yang diperoleh atau
dimilikinya lebih besar dari jumlah setoran modalnya, pemberian saham
bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham tersebut tidak termasuk
dalam pengertian pembagian laba atau dividen.
Pasal 2 PP 94 Tahun 2010 mengatur bahwa tidak termasuk
pengertian dividen adalah pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa
penyetoran yang berasal dari:
a) Kapitalisasi agio saham kepada pemegang saham yang telah
menyetor modal atau membeli saham di atas harga nominal,
sepanjang jumlah nilai nominal saham yang dimilikinya setelah
pembagian saham bonus tidak melebihi jumlah setoran modal; dan
b) Kapitalisasi selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-undang Pajak
Penghasilan.
4) Pembagian laba dalam bentuk saham.
5) Pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran.
6) Jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima atau
diperoleh pemegang saham karena pembelian kembali saham-saham
oleh perseroan yang bersangkutan.
7) Pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang
kecuali jika pembayaran kembali itu adalah akibat dari pengecilan modal
dasar (statuter) yang dilakukan secara sah.
8) Pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk yang
diterima sebagai penebusan tanda-tanda laba tersebut.
9) Bagian laba sehubungan dengan pemilikan obligasi.
10) Bagian laba yang diterima oleh pemegang polis.
11) Pembagian berupa sisa hasil usaha kepada anggota koperasi.
12) Pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang
dibebankan sebagai biaya perusahaan.
Dalam praktik sering dijumpai pembagian atau pembayaran
dividen secara terselubung, misalnya dalam hal pemegang sahamyang
telah menyetor penuh modalnya dan memberikan pinjaman kepada
perseroan dengan imbalan bunga yang melebihi kewajaran. Apabila
terjadi hal yang demikian maka selisih lebih antara bunga yang
dibayarkan dan tingkat bunga yang berlaku di pasar, diperlakukan
sebagai dividen. Bagian bunga yang diperlakukan sebagai dividen
tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya oleh perseroan yang
bersangkutan.
h. Royalti atau imbalan atas penggunaan hak.
Royalti adalah suatu jumlah yang dibayarkan atau terutang dengan
cara atau perhitungan apa pun, baik dilakukan secara berkala maupun
tidak, sebagai imbalan atas:
1) Penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan,
kesenian atau karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula
atau proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak kekayaan
intelektual/industrial atau hak serupa lainnya;
2) Penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan industrial,
komersial, atau ilmiah;
3) Pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal,
industrial, atau komersial;
4) Pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan
penggunaan atau hak menggunakan hak-hak tersebut pada angka 1,
penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan tersebut
pada angka 2, atau pemberian pengetahuan atau informasi tersebut pada
angka 3, berupa:
a) Penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman
suara atau keduanya, yang disalurkan kepada masyarakat melalui
satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa;
b) Penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman
suara atau keduanya, untuk siaran televisi atau radio yang
disiarkan/dipancarkan melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi
yang serupa;
c) Penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum
radio komunikasi.
5) Penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture
films), film atau pita video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk
siaran radio;
6) Pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan
penggunaan atau pemberian hak kekayaan intelektual/industrial atau
hak-hak lainnya sebagaimana tersebut di atas.
Dalam pengertian sewa termasuk imbalan yang diterima atau
diperoleh dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan
penggunaan harta gerak atau harta tak gerak, misalnya sewa mobil, sewa
kantor, sewa rumah, dan sewa gudang.
j. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala.
Penerimaan berupa pembayaran berkala, misalnya "alimentasi" atau
tunjangan seumur hidup yang dibayar secara berulang-ulang dalam waktu
tertentu.
k. Keuntungan karena pembebasan utang.
Pembebasan utang oleh pihak yang berpiutang dianggap sebagai
penghasilan bagi pihak yang semula berutang, sedangkan bagi pihak yang
berpiutang dapat dibebankan sebagai biaya.
PP Nomor 130 Tahun 2000 tentang Pengecualian Sebagai Objek
Pajak atas Keuntungan karena Pembebasan Utang Debitur Kecil, mengatur
hal-hal sebagai berikut:
1) Atas penghasilan yang diperoleh debitur berupa keuntungan karena
pembebasan utang yang merupakan Utang Debitur Kecil dari bank atau
lembaga pembiayaan, dikecualikan sebagai Objek Pajak12.
2) Yang dimaksud dengan Utang Debitur Kecil adalah utang usaha yang
jumlahnya tidak lebih dari Rp350.000.000,00 termasuk:
a) Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera (Kukesra), yaitu kredit lunak
untuk usaha ekonomi produktif yang diberikan kepada Keluarga
Prasejahtera dan Keluarga Sejahtera I (alasan ekonomi hasil
pendataan KS) yang telah menjadi peserta Takesra dan tergabung
dalam kegiatan kelompok Prokesra-OPPKS;
b) Kredit Usaha Tani (KUT), yaitu kredit modal kerja yang diberikan oleh
bank kepada koperasi primer baik sebagai pelaksana (executing)
maupun penyalur (channeling) atau kepada Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) sebagai pelaksana pemberian kredit, untuk
keperluan petani yang tergabung dalam kelompok tani guna
membiayai usaha taninya dalam rangka intensifikasi padi, palawija
c) Kredit Pemilikan Rumah Sangat Sederhana (KPRSS), yaitu kredit
yang diberikan oleh bank kepada masyarakat untuk pemilikan rumah
sangat sederhana (RSS);
d) Kredit Usaha Kecil (KUK), yaitu kredit yang diberikan kepada nasabah
usaha kecil;
e) Kredit kecil lainnya dalam rangka kebijakan perkreditan Bank
Indonesia dalam mengembangkan usaha kecil dan koperasi.
3) Kredit yang diberikan oleh lebih dari satu bank kepada satu debitur yang
jumlah seluruhnya tidak melebihi Rp350.000.000,00 dapat dihitung
sebagai Utang Debitur Kecil dari masing-masing bank, sepanjang
memenuhi kriteria Utang Debitur Kecil.
4) Dalam hal pemberian Utang Debitur Kecil dilakukan oleh lebih dari satu
bank kepada satu debitur yang mengakibatkan jumlah plafon kreditnya
melampaui batas maksimum Rp350.000.000,00 maka keuntungan karena
pembebasan utang yang dikecualikan sebagai Objek Pajak adalah jumlah
sisa kredit yang diperoleh pada bank pertama ditambah dengan jumlah
sisa kredit yang diperoleh pada bank-bank berikutnya sampai mencapai
jumlah plafon kredit keseluruhan sebesar Rp350.000.000,00.
5) Apabila masih terdapat sisa kredit pada bank tersebut dan atau
bank-bank lain setelah dikurangi dengan jumlah plafon kredit keseluruhan
sebesar Rp350.000.000,00 maka keuntungan karena pembebasan utang
atas sisa kredit tersebut merupakan Objek Pajak.
l. Keuntungan selisih kurs mata uang asing.
Keuntungan yang diperoleh karena fluktuasi kurs mata uang asing
diakui berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat
asas sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.
m. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva.
n. Premi asuransi.
Dalam pengertian premi asuransi termasuk premi reasuransi.
o. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri
dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.
p. Tambahan kekayaan netto yang berasal dari penghasilan yang belum
Tambahan kekayaan netto pada hakekatnya merupakan akumulasi
penghasilan baik yang telah dikenakan pajak dan yang bukan Objek Pajak
serta yang belum dikenakan pajak. Apabila diketahui adanya tambahan
kekayaan netto yang melebihi akumulasi penghasilan yang telah dikenakan
pajak dan yang bukan Objek Pajak, maka tambahan kekayaan netto tersebut
merupakan penghasilan.
q. Penghasilan dari usaha berbasis syariah13.
Kegiatan usaha berbasis syariah memiliki landasan filosofi yang
berbeda dengan kegiatan usaha yang bersifat konvensional. Dibandingkan
dengan transaksi berdasarkan sistem konvensional, terdapat perbedaan
antara transaksi berdasarkan prinsip syariah14 dengan transaksi yang dilakukan berdasarkan sistem konvensional tersebut. Perbedaan tersebut
disebabkan oleh adanya prinsip tertentu yang harus diperhatikan oleh Usaha
Berbasis Syariah dalam melaksanakan kegiatan usahanya, yaitu:
1) Kehalalan produk;
2) Kemaslahatan bersama;
3) Menghindari spekulasi;
4) Menghindari riba.
Terkait dengan prinsip menghindari riba, kegiatan pemberian
pinjaman yang dilakukan oleh jasa keuangan dengan mengenakan tingkat
bunga tertentu tidak dapat dilakukan oleh usaha berbasis syariah. Kegiatan
tersebut, dalam Usaha Berbasis Syariah dilakukan melalui beberapa
pendekatan antara lain:
1) Transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah.
2) Transaksi jual beli dalam bentuk murabahah, salam, dan istisna.
3) Transaksi sewa menyewa dalam bentuk ijarah dan ijarah muntahiya
bittamlik;
4) Transaksi pinjam meminjam dalam bentuk qardh.
Berdasarkan kesepakatan antara pihak yang bertransaksi, dana akan
dikembalikan setelah jangka waktu tertentu dengan memberikan imbalan,
tanpa imbalan, atau bagi hasil.
Perbedaan antara transaksi berdasarkan prinsip syariah dengan
beberapa implikasi. Perbedaan tersebut menyebabkan perlakuan perpajakan
yang berbeda dalam suatu industri yang sama, yaitu untuk kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah dan kegiatan usaha berdasarkan sistem
konvensional. Dengan perlakuan yang berbeda tersebut, maka perlakuan
perpajakan menjadi tidak netral bagi para pihak yang terlibat untuk
menentukan pilihan apakah menggunakan transaksi berdasarkan prinsip
syariah atau berdasarkan sistem konvensional. Implikasi berikutnya terkait
dengan kesulitan-kesulitan dalam pelaksanaan bagi kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah tertentu, apabila ketentuan Pajak Penghasilan
yang berlaku umum diterapkan atas transaksi syariah yang mendasari
kegiatan usaha tersebut.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, berdasarkan amanat Pasal 31D
Undang-undang Pajak Penghasilan, telah diterbitkan PP Nomor 25 Tahun
2009 tentang Pajak Penghasilan Kegiatan Usaha Berbasis Syariah yang
mengatur hal-hal sebagai berikut:
1) Ketentuan mengenai penghasilan, biaya, dan pemotongan pajak atau
pemungutan pajak dari kegiatan usaha berbasis syariah berlaku mutatis
mutandis ketentuan dalam Undang-undang Pajak Penghasilan.
Artinya perlakuan Pajak Penghasilan atas transaksi kegiatan
Usaha Berbasis Syariah dipersamakan dengan atau sebagaimana yang
berlaku atas transaksi sepadan yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam
industri yang sama yang berdasarkan sistem konvensional. Dengan
demikian, perlakuan Pajak Penghasilan tidak bersifat distortif serta akan
memberikan perlakuan yang sama (level playing field) bagi Wajib Pajak
dalam suatu industri yang sama.
Pemberlakuan secara mutatis mutandis dimaksudkan bahwa
ketentuan perpajakan yang berlaku umum berlaku pula untuk kegiatan
Usaha Berbasis Syariah.Contoh, perlakuan perpajakan mengenai bunga
berlaku pula untuk imbalan atas penggunaan dana pihak ketiga yang
tidak termasuk dalam kategori modal perusahaan. Imbalan tersebut dapat
berupa hak pihak ketiga atas bagi hasil, margin, atau bonus, sesuai
Pada ketentuan perpajakan secara umum, bunga merupakan
penghasilan bagi pihak penerima dan merupakan pengurang penghasilan
bagi pihak pembayar. Berkenaan dengan kewajiban pemotongan Pajak
Penghasilan, pihak pembayar wajib memotong Pajak Penghasilan atas
bunga yang dibayarkan. Pemotongan tersebut dapat dilakukan sesuai
dengan Pasal 4 ayat (2), Pasal 23, dan/atau Pasal 26 Undang-undang
Pajak Penghasilan sesuai dengan transaksi dan lembaga yang
bertransaksi. Perlakuan perpajakan tersebut juga berlaku terhadap hak
pihak ketiga atas bagi hasil, margin, atau bonus yang timbul dari
penggunaan dana pihak ketiga yang tidak termasuk dalam kategori modal
perusahaan, sesuai dengan transaksi dan lembaga yang bertransaksi.
2) Biaya dari Kegiatan Usaha Berbasis Syariah termasuk:
a) Hak pihak ketiga atas bagi hasil.
Hak pihak ketiga atas bagi hasil yang dibayarkan merupakan biaya
yang dapat dikurangkan. Bagi hasil ini berbeda dengan dividen yang
dibagikan, terkait dengan status dana yang digunakan. Dividen
diberikan atas modal yang ditanamkan pada usaha yang
menunjukkan kepemilikan usaha. Sedangkan bagi hasil dibayarkan
atas dana pihak ketiga yang digunakan untuk jangka waktu tertentu
yang tidak menunjukkan kepemilikan usaha.
b) Margin.
c) Kerugian dari transaksi bagi hasil.
Kerugian yang timbul dari transaksi bagi hasil merupakan biaya yang
dapat dikurangkan. Kerugian yang timbul harus diteliti lebih lanjut,
apabila kerugian tersebut timbul akibat kelalaian atau kesalahan
pengelola dana, maka kerugian tersebut merupakan tanggung jawab
pengelola dana. Sedangkan apabila setelah diteliti diketahui bahwa
kerugian tersebut timbul dan terjadi bukan karena kelalaian atau
kesalahan pengelola dana, maka kerugian tersebut dibebankan
kepada pemilik modal sesuai dengan akad/perjanjian.
3) Pemotongan pajak atau pemungutan pajak dari kegiatan Usaha
Berbasis Syariah dilakukan juga terhadap:
b) Bonus.
c) Margin.
d) Hasil berbasis syariah lainnya yang sejenis.
Hak pihak ketiga atas bagi hasil, bonus, margin, dan hasil berbasis
syariah lainnya yang sejenis merupakan penghasilan yang dibayarkan
berkenaan dengan penggunaan dana pihak ketiga yang terkait dengan
kepemilikan usaha, contoh:
• Deposito mudharabah menggunakan akad mudharabah. Terhadap para deposan diberikan bagi hasil atas pemanfaatan dana yang
disimpan pada bank syariah.
• Giro pada bank syariah menggunakan akad wadiah (titipan), karena dana yang disimpan dapat ditarik setiap saat. Terhadap pemegang
giro, bank syariah tidak menjanjikan hasil yang diberikan, tetapi dapat
memberikan bonus yang tidak ditentukan besarnya.
• Pembiayaan murabahah menggunakan prinsip jual beli sehingga memunculkan margin yang merupakan selisih antara dana yang
diberikan dengan total dana yang harus dikembalikan oleh penerima
dana. Karena terkait dengan pembiayaan, bukan semata-mata
transaksi jual beli, maka terhadap margin tersebut diperlakukan
sebagai penghasilan yang merupakan objek pemotongan Pajak
Penghasilan.
r. Imbalan bunga.
Imbalan bunga yang diberikan kepada Wajib Pajak diatur dalam
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 195/PMK.03/2007 tentang Tata Cara
Penghitungan dan Pemberian Imbalan Bunga sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 12/PMK.03/2011.
s. Surplus Bank Indonesia.
Ketentuan Pasal 7 PP Nomor 94 Tahun 2010 dan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 100/PMK.03/2011 tentang Tata Cara Penghitungan dan
Pembayaran Pajak Penghasilan atas Surplus Bank Indonesia mengatur
hal-hal sebagai berikut:
1) Surplus Bank Indonesia yang merupakan objek Pajak Penghasilan adalah
dilakukan penyesuaian atau koreksi fiskal sesuai dengan Undang-undang
Pajak Penghasilan dengan memperhatikan karakteristik Bank Indonesia.
2) Penyesuaian atau koreksi fiskal sesuai dengan Undang-undangPajak
Penghasilan dengan memperhatikan karakteristik Bank Indonesia,
dilakukan atas:
a) Pengakuan keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing.
• Keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara
taat asas sesuai dengan Pedoman Akuntansi Keuangan Bank
Indonesia.
• Keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing yang diakui sebagai penghasilan atau yang dibebankan sebagai biaya
dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak adalah
keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing yang telah
direalisasi, yang diperoleh dari selisih antara kurs jual mata uang
asing pada tanggal transaksi dengan harga perolehan rata-rata.
b) Penyisihan aktiva.
• Penyisihan aktiva dapat dibebankan sebagai biaya dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak.
• Penyisihan aktiva hanya dilakukan terhadap piutang tak tertagih berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara
taat asas sebagaimana diatur dalam Pedoman Akuntansi
Keuangan Bank Indonesia.
• Kerugian yang berasal dari piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dibebankan pada perkiraan cadangan piutang tak tertagih.
• Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih seluruhnya atau sebagian tidak dipakai untuk menutup kerugian, jumlah kelebihan
cadangan tersebut diperhitungkan sebagai penghasilan.
• Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih dipakai untuk menutup kerugian namun tidak mencukupi, jumlah kekurangan
c) Penyusutan aktiva tetap.
Penyusutan aktiva tetap sebagaimana atas pengeluaran untuk
memperoleh harta berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih
dari 1 (satu) tahun, dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam
Undang-undangPajak Penghasilan beserta peraturan
pelaksanaannya.
3) Penyesuaian atau koreksi fiskal lainnya yang terkait dengan surplus Bank
Indonesia, mengikuti peraturan perUndang-undangan di bidang Pajak
Penghasilan yang berlaku secara umum.
B. Penghasilan yang Dikenai PPh Bersifat Final
Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan mengatur bahwa
penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final:
1. Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi16,
surat utang negara17, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi;
2. Penghasilan berupa hadiah undian;
3. Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang
diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan
penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh
perusahaan modal ventura;
4. Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan,
usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau
bangunan;
5. Penghasilan tertentu lainnya,yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan antara lain:
1) Perlu adanya dorongan dalam rangka perkembangan investasi dan tabungan
masyarakat;
3) Berkurangnya
penghasilan-penghasilan tersebut perlu diberikan perlakuan tersendiri dalam
pengenaan pajaknya.Perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajak atas jenis
penghasilan tersebut termasuk sifat, besarnya, dan tata cara pelaksanaan
pembayaran, pemotongan, atau pemungutan diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Dengan pertimbangan kemudahan, kesederhanaan, kepastian,
pengenaan pajak yang tepat waktu, dan pertimbangan lainnya, maka dapat
diatur pelunasan pajak dalam tahun berjalan yang bersifat final atas jenis-jenis
penghasilan tertentu seperti dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), Pasal 21, Pasal
22, dan Pasal 23Undang-undang Pajak Penghasilan. Pajak Penghasilan yang
bersifat final tersebut tidak dapat dikreditkan dengan Pajak Penghasilan yang
terutang.
Pasal 19 PP 94 Tahun 2010mengatur bahwa dalam hal penghasilan tidak
dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan Peraturan Pemerintah
tersendiri, atas penghasilan tersebut dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan.
Jenis penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final
adalah sebagai berikut:
M enegaskan objek PPh Pasal 4 ayat (2) yang selama ini tidak secara eksplisit diatur dalam ket ent uan ini, sepert i ant ara lain:
- Bunga obligasi dan Surat Ut ang Negara
- Hadiah undian
- Pengalihan saham pasangan perusahaan modal ventura
- Persew aan t anah dan bangunan
M emindahkan bunga simpanan koperasi yang sekarang dikenai PPh Pasal 23 final menjadi objek PPh Pasal 4 ayat (2) final. M enambah objek PPh Pasal 4 ayat (2) final meliput i:
- Penghasilan dari t ransaksi derivat if; dan
No Jenis Penghasilan Tarif Dasar Hukum
1
Penghasilan dari Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek
§ PP 41 Tahun 1994 stdd PP 14 Tahun 1997
§ 282/KMK.04/1997 Untuk semua transaksi penjualan saham 0,1% x jumlah bruto nilai
transaksi penjualan
hadiah undian PP 132 Tahun 2000
3 Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan
Diskonto Sertifikat Bank Indonesia 20% x jumlah bruto PP 131 Tahun 2000
5 Penghasilan dari Pengalihan Hak atas
Pengalihan hak atas Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
1% x jumlah bruto nilai pengalihan
7
Penghasilan Perusahaan Modal Ventura dari Transaksi Penjualan Saham atau Pengalihan Penyertaan Modal pada Perusahaan Pasangan Usaha
0,1% x jumlah bruto nilai transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal
Penghasilan yang diterima/ diperoleh WP Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan luar negeri
2,64% x Peredaran Bruto
417/KMK.04/1996
10
Pemungutan PPh Pasal 22 atas penjualan bahan bakar minyak, gas, dan pelumas kepada penyalur/agen.
Bunga dan diskonto obligasi yang diperdagangkan dan/atau dilaporkan perdagangannya di bursa efek
§ PP 6 Tahun 2002
§ 121/KMK.04/2002 a. Bunga obligasi dengan kupon (interest
bearing bond)
20% x jumlah bruto bunga
sesuai dengan masa
kepemilikan (holding period) obligasi
b. Diskonto obligasi dengan kupon 20% x selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan obligasi, tidak termasuk bunga berjalan (accrued interest)
kembali aktiva tetap perusahaan di atas nilai sisa buku fiskal semula
12
Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus20
PP 68 Tahun 2009
§ Uang Pesangon a. 0% atas penghasilan bruto
s.d. Rp50.000.000,00; b. 5%atas penghasilan bruto di
atas Rp50.000.000,00 s.d. Rp100.000.000,00;
c. 15% atas penghasilan bruto di atas Rp100.000.000,00 s.d. Rp500.000.000,00; d. 25% atas penghasilan bruto
di atas Rp500.000.000.00.
§ Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua
a. 0% atas penghasilan bruto s.d. Rp50.000.000.00; b. 5% atas penghasilan bruto
di atas Rp50.000.000,00.
13
Honorarium atau imbalan lain dengan nama apapun yang menjadi beban APBN atau APBD
PP 80 Tahun 2010
§ Bagi PNS Golongan I dan Golongan II, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat Tamtama dan Bintara, dan Pensiunannya
0% x jumlah bruto honorarium atau imbalan lain
§ bagi PNS Golongan III, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat Perwira Pertama, dan pensiunannya
5% x jumlah bruto honorarium atau imbalan lain
§ Bagi pejabat Negara, PNS Golongan IV, Anggota TNI dan Anggota POLRI
Golongan Pangkat perwira
Menengah dan perwira Tinggi, dan Pensiunannya.
Bunga Simpanan yang Dibayarkan oleh Koperasi kepada Anggota Koperasi Orang Pribadi
PP 15 Tahun 2009 a) bunga simpanan s.d. Rp240.000,00
per bulan 0%
b) bunga simpanan lebih dari
Rp240.000,00 per bulan 10%
16
Bunga Obligasi
PP 16 Tahun 2009 a) Bunga dari Obligasi dengan kupon
§ Bagi WP Dalam Negeri & BUT 15% x jumlah bruto bunga
sesuai dengan masa
kepemilikan Obligasi
§ Bagi WP Luar Negeri selain BUT 20% x jumlah bruto bunga
sesuai dengan masa
kepemilikan Obligasi atau sesuai tarif P3B
b) Diskonto dari Obligasi dengan kupon
§ Bagi WP Luar Negeri selain BUT 20% x selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan Obligasi, tidak termasuk bunga berjalan c) Diskonto dari Obligasi tanpa bunga
§ Bagi WP Dalam Negeri & BUT 15% x selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan Obligasi
§ Bagi WP Luar Negeri selain BUT 20% x selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan Obligasi
d) Bunga dan/atau diskonto dari Obligasi yang diterima dan/atau diperoleh WP Reksadana yang terdaftar pada Bapepam LK
§ Tahun 2009 – 2010 0%
§ Tahun 2011 – 2013 5%
§ Tahun 2014 dan seterusnya 15%
17 Dividen yang diterima atau diperoleh WP OP Dalam Negeri 10% x Ph Bruto PP 19 Tahun 2009
C. Yang Dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan
Pasal 4 ayat (3) Undang-undang Pajak Penghasilan mengatur bahwa yang
dikecualikan dari objek pajak adalah:
1. - Bantuan, atau Sumbangan
- Harta Hibah
PP Nomor 18 Tahun 2009 tentang Bantuan atau Sumbangan
termasuk Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang
Dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan21, mengatur antara lain;
a. Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat dan sumbangan keagamaan
yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia,
dikecualikan sebagai objek Pajak penghasilan sepanjang tidak ada
hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di
antara pihak-pihak yang bersangkutan.
Hubungan usaha antara pihak yang memberi dan yang menerima dapat
terjadi, misalnya PT A sebagai produsen suatu jenis barang yang bahan
baku utamanya diproduksi oleh PT B. Apabila PT B memberikan
sumbangan bahan baku kepada PT A, sumbangan bahan baku yang
diterima oleh PT A merupakan objek pajak.
b. Zakat adalah zakat yang diterima oleh:
1) Badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau
disahkan oleh Pemerintah;
c. Sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang
diakui di Indonesia adalah sumbangan keagamaan yang diterima oleh:
1) Lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah;
2) Penerima sumbangan yang berhak.
d. Bantuan atau sumbangan adalah pemberian dalam bentuk uang atau
barang kepada orang pribadi atau badan.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 245/PMK.03/2008 tentang
Badan-badan dan Orang Pribadi yang Menjalankan Usaha Mikro dan
Kecil yang menerima harta hibah, bantuan, atau sumbangan yang tidak
termasuk sebagai Objek Pajak Penghasilan mengatur bahwa:
1) Harta hibah, bantuan, atau sumbangan yang dikecualikan sebagai
objek Pajak Penghasilan adalah yang diterima oleh:
a) Keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, yaitu
orang tua dan anak kandung.
b) Badan keagamaan, yaitu badan keagamaan yang kegiatannya
semata-mata mengurus tempat-tempat ibadah dan/atau
menyelenggarakan kegiatan di bidang keagamaan, yang tidak
mencari keuntungan.
c) Badan pendidikan, yaitu badan pendidikan yang kegiatannya
semata-mata menyelenggarakan pendidikan yang tidak mencari
keuntungan.
d) Badan sosial termasuk yayasan dan koperasi, yaitu badan sosial
yang kegiatannya semata-mata menyelenggarakan:
• Pemeliharaan kesehatan;
• Pemeliharaan orang lanjut usia (panti jompo);
• Pemeliharaan anak yatim-piatu, anak atau orang terlantar, dan anak atau orang cacat;
• Santunan dan/atau pertolongan kepada korban bencana alam, kecelakaan, dan sejenisnya;
• Pemberian beasiswa;
• Pelestarian lingkungan hidup;