• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bahan Ajar Pajak Penghasilan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Bahan Ajar Pajak Penghasilan"

Copied!
209
0
0

Teks penuh

(1)

BAHAN AJAR

Dasar-dasar Pajak Penghasilan (PPh)

Orang Pribadi dan Badan

PROGRAM DIPLOMA I KEUANGAN

SPESIALISASI PAJAK

Wahyu Santosa, Ak., M.Si.

Sadimin, S.S.T.

(2)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah subhanahu wa

ta’ala, bahan ajar Pajak Penghasilan bagi Program Diploma I Keuangan Spesialisasi Pajak

Sekolah Tinggi Akuntansi Negara dapat diselesaikan.

Bahan Ajar Pajak Penghasilan ini tidak semata-mata disusun bagi mahasiswa/i

Program Diploma I Keuangan Spesialisasi Pajak STAN, mengingat luasnya cakupan

materi Pajak Penghasilan dan kekhawatiran terjadinya bias dalam pemahaman Pajak

Penghasilan akibat tidak disampaikannya ketentuan tertentu dalam peraturan

perUndang-undangan perpajakan. Oleh karena itu, cakupan dan kedalaman materi

Pajak Penghasilan yang akan disampaikan di kelas, diserahkan sepenuhnya bagi para

Dosen Pengajaruntuk memilah dan memilihnya.

Mengingat Materi Pajak Penghasilan sangat luas dan selalu mengalami

perkembangan dari waktu ke waktu sesuai dengan perubahan peraturan perpajakan di

bidang Pajak Penghasilan, sangat dimungkinkan banyak aspek Pajak Penghasilan dalam

Bahan Ajar ini yang tidak terbahas secara mendalam dan memadai.

Penyajian dan cakupan Bahan Ajar ini diharapkan dapat membantu mahasiswa/i

Diploma I Keuangan Spesialisasi Pajak STAN khususnya dan para pembaca pada

umumnya dalam memahami ketentuan Pajak Penghasilan yang berlaku di Indonesia.

Kami menyampaikan terima kasih kepada Bapak A. Sjarifudin Alsah selaku Direktur

Peraturan Perpajakan II, Direktorat Jenderal Pajak dan Bapak Erhamsyah Noor selaku

Kepala Subdit Harmonisasi Peraturan Perpajakan, Direktorat Peraturan Perpajakan II yang

telah memberikan penugasan kepada penulis untuk ikut terlibat dalam kegiatan penyusunan

kurikulum Diploma I Keuangan Spesialisasi Pajak STAN, yang salah satunya

adalahpenyusunan Bahan Ajar ini.

Terakhir, tiada gading yang tak retak, tiada capaian kesempurnaan tanpa perbaikan

yang berkesinambungan, sehingga segala saran dan masukan pembaca dan pengguna

bagi perbaikan dan penyempurnaan Bahan Ajar ini senantiasa Penulis harapkan.

Jakarta, Agustus 2011

(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR LAMPIRAN ... v

BAB 1 PENDAHULUAN ... 6

A. Peta Konsep Pajak Penghasilan ... 6

B. Pengertian Pajak Penghasilan ... 6

C. Ketentuan Pajak Penghasilan dari Waktu ke Waktu ... 7

D. Latar Belakang Berlakunya Undang-undang Pajak Penghasilan ... 8

BAB 2 SUBJEK PAJAK ... 10

A. Orang Pribadi ... 10

B. Badan ... 11

C. Bentuk Usaha Tetap (BUT) ... 12

D. Subjek Pajak Dalam Negeri dan Subjek Pajak Luar Negeri ... 13

E. Kewajiban Pajak Subjektif dan Kewajiban Pajak Objektif ... 15

F. Yang Tidak Termasuk Subjek Pajak Penghasilan ... 16

BAB 3 OBJEK PAJAK PENGHASILAN ... 18

A. Pengertian Penghasilan ... 18

B. Penghasilan yang Dikenai PPh Bersifat Final ... 33

C. Yang Dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan ... 37

D. Penghasilan dari Luar Indonesia ... 49

BAB 4 PENGHASILAN KENA PAJAK ... 51

A. Pengurang Penghasilan Bruto ... 51

B. Bukan Pengurang Penghasilan Bruto ... 60

C. Kompensasi Kerugian Fiskal ... 69

D. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) ... 70

E. Penyusutan Fiskal ... 71

F. Amortisasi Fiskal... 77

G. Penilaian Persediaan79 ... 81

H. Nilai Perolehan Harta ... 81

BAB 5 CARA MENGHITUNG PAJAK PENGHASILAN ... 88

A. Arm’s Length Transaction dan Hubungan Istimewa ... 90

B. Pembukuan dan Pencatatan ... 91

C. Tarif Pajak Penghasilan ...102

(4)

E. PPh Pasal 26 ...139

F. Penghitungan Pajak pada Akhir Tahun ...144

BAB 6 PPh ORANG PRIBADI ...147

A. Pajak Penghasilan dalam Kaitannya dengan Hubungan Suami-Isteri ...147

B. Pajak Penghasilan bagi WP Orang Pribadi yang Menerima/MemperolehPenghasilan sehubungan dengan Pekerjaan ...150

C. Pajak Penghasilan bagi WP Orang Pribadi yang Melakukan Kegiatan Usaha atau Pekerjaan Bebas ...154

D. Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (WP OPPT) ...159

BAB 7 PPh BADAN ...163

A. Rekonsiliasi Fiskal Pajak Penghasilan ...163

B. Fasilitas Pajak Penghasilan ...170

CATATAN KAKI ...176

(5)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1: Peta Konsep Pajak Penghasilan ... 6

Gambar 2: Pengenaan Pajak Penghasilan atas Dividen ... 24

Gambar 3: Skema Pengenaan Perpajakan atas Dana Pensiun ... 42

Gambar 4: Skema Kewajiban Pembukuan atau Pencatatan ... 91

(6)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I...184

Lampiran II ...188

Lampiran III ...192

(7)

BAB

PENDAHULUAN

A. Peta Konsep Pajak Penghasilan

Gambar 1: Peta Konsep Pajak Penghasilan

B. Pengertian Pajak Penghasilan

Pengertian Pajak menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undangKUP adalah

kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang

1

Tujuan Instruksional Khusus:

1. Mampu menguraikan tentang konsep Pajak Penghasilan. 2. Mampu menjelaskan tentang pengertian Pajak Penghasilan.

(8)

bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan

secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat.

Pasal 1 Undang-undang Pajak Penghasilanmenyatakan bahwa Pajak

Penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak atas Penghasilan yang diterima atau

diperolehnya dalam tahun pajak.Subjek Pajak yang menerima atau memperoleh

penghasilan disebut Wajib Pajak. Wajib Pajak dikenakan pajak atas penghasilan

yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak1 atau dapat pula dikenakan pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak, apabila kewajiban pajak

subjektifnya dimulai atau berakhir dalam tahun pajak.

C. Ketentuan Pajak Penghasilan dari Waktu ke Waktu

Nama Undang-undang (Ordonansi) Objek Pajak Subjek Pajak Masa Berlaku Patent Recht Penghasilan Badan/Orang 1878 - 1907

Ordonantie Op De Inkomsten Belasting 1908

Ordonansi Pajak Pendapatan 1908 Penghasilan

Badan/Orang Eropa atau

yang disamakan

1908 - 1920

Ordonantie Op De Inkomsten Belasting 1920

Ordonansi Pajak Pendapatan 1920 Penghasilan

Badan Orang

Badan 1921 - 1925 Orang1921 - 1932

Ordonantie Op De Vennotschap Belasting 1925

Ordonansi Pajak Perseroan 1925 (PPs) Laba Badan 1926 - 1983

Ordonantie Op De Inkomsten Belasting 1932

Ordonansi Pajak Pendapatan 1932 Pendapatan Orang Pribadi 1933 - 1944

Ordonantie Op De Inkomsten Belasting 1944

Ordonansi Pajak Pendapatan 1944 (PPd) Pendapatan Orang Pribadi 1945 - 1983

§ Undang-undang Nomor 8 Tahun 1967 merupakan tata cara pemungutan PPd dan PPs

§ Undang-undang Pajak atas Bunga Dividend an Royalty (PBDR) merupakan bagian dari PPd dan PPs

Sumber: Rusjdi, Muhammad. Hal. 01-1. PPh Pajak Penghasilan. 2007. Klaten: PT Indeks.

Perubahan terhadap ketentuan Pajak Penghasilan dilakukan pada tahun

1983, dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak

Penghasilan yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1984. Undang-undang Pajak

Penghasilan telah mengalami perubahan sebanyak 4 kali, yaitu:

1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991, yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1992.

2. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, yang mulai berlaku sejak 1 Januari

1995.

3. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, yang mulai berlaku sejak 1 Januari

(9)

4. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008, yang mulai berlaku sejak 1 Januari

2009.

undang Pajak Penghasilan yang sekarang berlaku adalah

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah

beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008

(selanjutnya disebut Undang-undang Pajak Penghasilan).

D. Latar Belakang BerlakunyaUndang-undang Pajak Penghasilan

Sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak

Penghasilan, wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang sepenuhnya

berada pada fiskus (official assessment). Sarana menetapkan jumlah pajak yang

terutang dilakukan melalui penerbitkan Surat Ketetapan Pajak. Ketentuan formal

maupun ketentuan material dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya diatur

dalam satu Undang-undang, yaitu Ordonansi Pajak Pendapatan 1944 untuk orang

pribadi dan Ordonansi Pajak Perseroan 1925 untuk badan.

Sejak dilakukannyareformasi di bidang perpajakan (tax reform) tahun 1983,

pengenaan Pajak Penghasilan diatur dalam 2 Undang-undang yaitu:

1. Undang-undang yang mengatur ketentuan formal, yaitu Undang-undang Nomor 6

Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan, yang mengatur

tentang prosedur perpajakan untuk mewujudkan ketentuan hukum pajak

material.

2. Undang-undang yang mengatur ketentuan material, yaitu Undang-undang Nomor

7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, yang mengatur mengenai subjek

pajak, objek pajak, tarif pajak, cara menghitung pajak, pelunasan pajak dalam

tahun berjalan, dan perhitungan pajak pada akhir tahun.

Tujuan utama dilakukannya reformasi di bidang perpajakan secara

menyeluruh pada tahun 1983 adalah untuk mencapai pertumbuhan penerimaan

pajak yang sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dengan Undang-undang pajak

yang berlaku. Hal tersebut tidak mungkin dapat dilakukan dengan menggunakan

sistem official assessment, mengingat keterbatasan sumber daya manusia aparat

pajak, sarana dan prasarana untuk menetapkan jumlah pajak yang terutang

mengingat jumlah wajib pajak yang makin bertambah sesuai dengan perkembangan

(10)

Pengenaan Pajak Penghasilan tidak lagi berdasarkan azas sumber

sebagaimana pendapatan pada Ordonansi Pajak Pendapatan 1944, atau laba pada

Ordonansi Pajak Perseroan 1925, tetapi didasarkan pada penghasilan dalam arti

yang luas. Penentuannya didasarkan pada adanya tambahan kemampuan ekonomis

yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam tahun pajak, dengan nama dan

dalam bentuk apapun, tidak terbatas dalam bentuk uang saja, yang dapat dipakai

untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak (broadbased taxation).

Ruang lingkup penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan bagi Wajib

Pajak Dalam Negeri adalah semua penghasilan, baik dari Indonesia maupun dari

luar Indonesia (world wide income).Sedangkan bagi Wajib Pajak Luar Negeri, hanya

dikenai Pajak Penghasilan jika menerima atau memperoleh penghasilan dari

(11)

BAB

SUBJEK PAJAK

Menurut (Mansury, 2002) Subjek Pajak itu adalah subjek hukum yang oleh

Undang-undang pajak diberi kewajiban perpajakan. Subjek Pajak itu pada umumnya

[merupakan] subjek hukum berdasarkan cabang hukum lain di luarnya hukum pajak,

yang kemudian diatur dalam Undang-undang pajak, dan dinyatakan sebagai Subjek

Pajak. Hal itu dapat dimengerti sebab subjek hukum oleh hukum diakui mempunyai

hak dan kewajiban di hadapan hukum, sehingga Undang-undang pajak hanya

menegaskan hak-hak dan kewajibannya sehubungan dengan perpajakan. Hal yang

demikian, juga menunjukkan, bahwa hukum pajak itu merupakan bagian dari

keseluruhan sistem hukum atau tata hukum di Indonesia.

Subjek Pajak Penghasilan diatur dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1)

Undang-undang Pajak Penghasilan, yaitu:

• - Orang Pribadi

- Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang

berhak

• Badan

• Bentuk Usaha Tetap (BUT)

A. Orang Pribadi

Orang pribadi sebagai subjek pajak dapat bertempat tinggal atau berada di

Indonesia2 ataupun di luar Indonesia3.

2

Tujuan Instruksional Khusus:

1. Mampu menjelaskan tentang Subjek Pajak Pajak Penghasilan.

2. Mampu menguraikan tentang perbedaan Subjek Pajak Dalam Negeri dan Subjek Pajak Luar Negeri.

3. Mampu menjelaskan tentang kewajiban pajak subjektif dan kewajiban pajak objektif.

(12)

Warisan yang belum terbagi sebagai

satu kesatuan merupakan subjek pajak

pengganti, menggantikan mereka yang

berhak yaitu ahli waris. Penunjukan warisan

yang belum terbagi sebagai subjek pajak

pengganti dimaksudkan agar pengenaan

pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan.

Contoh:

Randy Jatnika adalah Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki usaha berupa 2 unit

SPBU dan 4 unit rumah kontrakan. Randy Jatnika menikah dan mempunyai 2 orang

anak kandung, yaitu Catur Krishnawardana dan Candra Sugiarto.Pada tanggal 23

Agustus 2011, Randy Jatnika meninggal dunia, dan warisan belum dibagi kepada

para ahli waris.

Warisan yang belum terbagi berupa 2 unit SPBU dan 4 unit rumah kontrakan

tersebut ditunjuk sebagai subjek pajak pengganti Randy Jatnika, sehingga

pengenaan PPh atas penghasilan yang berasal dari usaha SPBU dan rumah

kontrakan tetap dapat dilaksanakan.

B. Badan

Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan

baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi

perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik

Negara (BUMN) atau badan usaha milik daerah (BUMD) dengan nama dan dalam

bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan4, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya,

lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk

usaha tetap.

BUMN dan BUMDmerupakan subjek pajak tanpa memperhatikan nama dan

bentuknya sehingga setiap unit tertentu dari badan Pemerintah5, misalnya lembaga,

badan, dan sebagainya yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah

yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untuk memperoleh penghasilan

merupakan subjek pajak.

Warisan yang belum t erbagi dalam kedudukannya sebagai subjek pajak menggunakan NPWP dari WP orang pribadi yang

(13)

C. Bentuk Usaha Tetap (BUT)

Pasal 2 ayat (5) Undang-undang Pajak Penghasilanmenyatakan bahwa

bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang

tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak

lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan,

dan badan yang tidak didirikan dan tidak

bertempat kedudukan di Indonesia untuk

menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di

Indonesia, yang dapat berupa:

1. Tempat kedudukan manajemen.

2. Cabang perusahaan.

8. Ruang untuk promosi dan penjualan.

9. Pertambangan dan penggalian sumber alam.

10. Wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi.

11. Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan,atau kehutanan.

12. Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan.

13. Pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang

dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan.

14. Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas.

15. Agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak

bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau

menanggung risiko di Indonesia.

16. Komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau

digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan

usaha melalui internet.

Perluasan Pengertian BUT dalam UU PPh meliputi:

Gudang;

Ruang untuk promosi dan penjualan; dan Peralatan ot omasis (Dedicat ed server)

untuk kegiatan usaha melalui int ernet

Alasan Perubahan:

M emperluas hak pemajakan dengan menegaskan gudang dan ruang untuk promosi dan penjualan yang dipergunakan oleh WP luar negeri sebagai BUT;

Untukmenampung/ mengantisipasi

(14)

Pasal 2 ayat (1a) Undang-undang Pajak Penghasilanmenyatakan bahwa

BUT merupakan subjek pajak yang

perlakuan perpajakannya dipersamakan

dengan subjek pajak badan.

Suatu BUT mengandung pengertian

adanya suatu tempat usaha6 (place of business) yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga

mesin-mesin, peralatan, gudang dan komputer atau agen elektronik atau peralatan otomatis

(automated equipment) yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara

transaksi elektronik untuk menjalankan aktivitas usaha melalui internet.

Pengertian BUTmencakup pula orang pribadi atau badan selaku agen yang

kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas nama orang pribadi atau

badan yang tidak bertempat tinggal atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia.

Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak

bertempat kedudukan di Indonesia tidak dapat dianggap mempunyai BUT di

Indonesia apabila orang pribadi atau badan dalam menjalankan usaha atau

melakukan kegiatan di Indonesia menggunakan agen, broker atau perantara yang

mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen atau perantara tersebut dalam

kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan perusahaannya

sendiri.

Perusahaan asuransi yang didirikan dan bertempat kedudukan di luar

Indonesia dianggap mempunyai BUT di Indonesia apabila perusahaan asuransi

tersebut menerima pembayaran premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia

melalui pegawai, perwakilan atau agennya di Indonesia. Menanggung risiko di

Indonesia tidak berarti bahwa peristiwa yang mengakibatkan risiko tersebut terjadi di

Indonesia. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa pihak tertanggung bertempat

tinggal, berada, atau bertempat kedudukan di Indonesia.

D. Subjek Pajak Dalam Negeri dan Subjek Pajak Luar Negeri

Pasal 2 ayat (3) Undang-undang Pajak Penghasilan mengatur bahwa subjek

pajak dalam negeri adalah:

BUT merupakan subjek pajak yang

perlakuan perpajakannya dipersamakan

(15)

1. - Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia.

- Orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka

waktu 12 bulan.

- Orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan

mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.

2. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit

tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:

- Pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;

- Pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

(APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD);

- Penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau

Pemerintah Daerah;

- Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara.

3. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.

Menurut Pasal 2 ayat (4) Undang-undang Pajak Penghasilan, subjek pajak

luar negeri adalah:

1. - Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia;

- Orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka

waktu 12 bulan;

- Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia,yang

menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melaluiBUT di Indonesia.

2. - Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia;

- Orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka

waktu 12 bulan;

- Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia,yang

dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari

menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di

Indonesia.

Perbedaan yang penting antara Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak

luar negeri terletak dalam pemenuhan kewajiban pajaknya, antara lain:

No. Perbedaan Wajib Pajak Dalam Negeri Wajib Pajak Luar Negeri

1. Pengenaan PPh

Dikenai pajak atas penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari Indonesia maupun dari luar Indonesia.

Dikenai pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari

(16)

Indonesia.

2. Tarif Dikenai pajak berdasarkan penghasilan

netto dengan tarif umum.

Dikenai pajak berdasarkan

penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan.

3. SPT

Wajib menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan sebagai sarana untuk menetapkan pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak

Tidak wajib menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final.

Pertanyaan:

Bagi Indonesia, Barack H. Obama merupakan

Subjek Pajak dalam negeri atau Subjek Pajak

luar negeri atau bukan kedua-duanya?

E. Kewajiban Pajak Subjektif dan Kewajiban Pajak Objektif

Pasal 2A Undang-undang Pajak Penghasilan mengatur bahwa Pajak

Penghasilan merupakan jenis pajak subjektif yang kewajiban pajaknya melekat pada

Subjek Pajak yang bersangkutan, artinya kewajiban pajak tersebut dimaksudkan

untuk tidak dilimpahkan kepada Subjek Pajak lainnya. Oleh karena itu dalam rangka

memberikan kepastian hukum, penentuan saat mulai dan berakhirnya kewajiban

pajak subjektif menjadi penting.

Saat mulai dan saat berakhirnya kewajiban pajak subjektif bagi subjek pajak

dalam negeri adalah sebagai berikut:

Subjek Pajak Dalam Negeri Kewajiban Pajak Subjektif

Saat Dimulai Saat Berakhir

a. Orang pribadi yang bertempat tinggal

di Indonesia. Pada saat lahir di Indonesia.

Meninggal dunia atau

meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya7 b. Orang pribadi yang berada di

Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan.

Sejak hari pertama berada di Indonesia.

c. Orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.

Berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia.

d. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.

Didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.

Dibubarkan atau tidak lagi bertempat kedudukan di Indonesia

(17)

Saat mulai dan saat berakhirnya kewajiban pajak subjektif bagi subjek pajak

luar negeri adalah sebagai berikut:

Subjek Pajak Luar Negeri Kewajiban Pajak Subjektif

Saat Dimulai Saat Berakhir

a. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia.

b. Orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan.

c. Badan yang tidak didirikan dan tidak

bertempat kedudukan di

Indonesia,yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia.

Pada saat orang pribadi

atau badan tersebut

menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT

Pada saat tidak lagi

menjalankan usaha atau

melakukan kegiatan dalam jangka waktu 12 bulan.

c. Badan yang tidak didirikan dan tidak

bertempat kedudukan di

Indonesia,yang dapat menerima atau

memperoleh penghasilan dari

Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di

F. Yang Tidak Termasuk Subjek Pajak Penghasilan

Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan mengatur

bahwayang tidak termasuk subjek pajak adalah:

1. Kantor perwakilan negara asing.

2. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari

negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja

pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka dengan syarat bukan warga

negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh

penghasilan di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara

bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik.

3. Organisasi-organisasi internasional8 dengan syarat:

a. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut;

b. Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan

dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang

(18)

Organisasi-organisasi internasional yang berbentuk kerjasama teknik dan

atau kebudayaan tidak termasuk Subjek Pajak Penghasilan apabila memenuhi

syarat sebagai berikut:

a. Kerjasama teknik tersebut memberi manfaat pada Negara/Pemerintah

Indonesia;

b. Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan

dari Indonesia.

Organisasi-organisasi internasional yang

memenuhi syarat sebagai tidak termasuk Subjek

Pajak Penghasilan adalah sebagaimana ditetapkan

dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan Nomor

PMK-215/PMK.03/2008 tentang Penetapan

Organisasi-Organisasi Internasional dan

Pejabat-Pejabat Perwakilan Organisasi Internasional yang

Tidak Termasuk Subjek Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali

diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 142/PMK.03/2010.

4. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional9dengan syarat: a. Bukan warga negara Indonesia;

b. Tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain untuk memperoleh

penghasilan dari Indonesia.

Pengecualian sebagai subjek pajak bagi pejabat-pejabat tersebut tidak

berlaku apabila mereka memperoleh penghasilan lain di luar jabatannya atau

mereka adalah Warga Negara Indonesia. Dengan demikian apabila pejabat

perwakilan suatu negara asing memperoleh penghasilan lain di Indonesia di luar

jabatan atau pekerjaannya tersebut, maka ia termasuk subjek pajak yang dapat

dikenai pajak atas penghasilan lain tersebut.

At as penghasilan yang dit erima/ diperoleh oleh yang

t idak t ermasuk subjek pajak

(19)

BAB

OBJEK PAJAK PENGHASILAN

A. Pengertian Penghasilan

Undang-undang Pajak Penghasilan menganut prinsip pemajakan atas

penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap

tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari

manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah

kekayaan Wajib Pajak tersebut.

Pengertian penghasilan dalam Undang-undang Pajak Penghasilantidak

memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya

tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima

atau diperoleh Wajib Pajak merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan Wajib

Pajak tersebut untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah

untuk kegiatan rutin dan pembangunan.

Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib

Pajak, penghasilan dapat dikelompokkan menjadi:

1. Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti

gaji, honorarium, penghasilan dari praktik dokter, notaris, aktuaris, akuntan,

pengacara, dan sebagainya;

2. Penghasilan dari usaha dan kegiatan;

3. Penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak,

seperti bunga, dividen, royalti, sewa, dan keuntungan penjualan harta atau hak

yang tidak dipergunakan untuk usaha;

3

Tujuan Instruksional Khusus:

1. Mampu menguraikan tentang pengertian penghasilan. 2. Mampu menguraikan tentang objek Pajak Penghasilan.

3. Mampu menjelaskan tentang penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final.

(20)

4. Penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang dan hadiah.

Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan

dapat pula ditabung untuk menambah kekayaan Wajib Pajak.

Karena Undang-undang Pajak Penghasilan menganut pengertian

penghasilan yang luas maka semua jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh

dalam suatu tahun pajak digabungkan untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak.

Dengan demikian, apabila dalam satu tahun pajak suatu usaha atau kegiatan

menderita kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan lainnya

(kompensasi horizontal), kecuali kerugian yang diderita di luar negeri. Namun

demikian, apabila suatu jenis penghasilan dikenai pajak dengan tarif yang bersifat

final atau dikecualikan dari objek pajak, maka penghasilan tersebut tidak boleh

digabungkan dengan penghasilan lain yang dikenai tarif umum.

Menurut (Mansury, 2002) dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Pajak

Penghasilan ditegaskan bahwa penghasilan yang dikenakan pajak mempunyai

unsur-unsur sebagai berikut:

1. Tambahan kemampuan ekonomis.

Bahwa yang termasuk penghasilan itu adalah setiap tambahan

kemampuan untuk menguasai barang dan jasa yang didapat oleh Wajib Pajak

dalam tahun pajak yang berkenaan. Penghasilan diberi arti sebagai uang atau

segala sesuatu yang lain yang bernilai uang yang mengalir menjadi hak

seseorang yang dapat dipakainya untuk menguasai barang dan jasa guna

dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan orang tersebut. Dengan memakai kata

“tambahan”, maka dimaksudkan bahwa yang dikenakan pajak itu adalah jumlah

netto, yaitu jumlah penerimaan atau perolehan bruto dikurangi dengan biaya

untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan itu.

2. Yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak.

Unsur ini membatasi pengenaan pajak atas setiap tambahan kemampuan

ekonomis itu, yaitu hanya kepada tambahan kemampuan ekonomis yang telah

menjadi realisasi. Pengertian realisasi dalam hal ini mengambil alih konsep

akuntansi, yaitu penghasilan yang telah dapat dibukukan, baik dengan memakai

cash basis maupun dengan yang memakai accrual basis. Dalam hal ini

(21)

adanya kenaikan harga pasar, melainkan kenaikan harga itu sudah menjadi

realisasi.

Mengenakan pajak hanya atas tambahan kemampuan ekonomis yang

telah menjadi realisasi tidak berarti bahwa tambahan kemampuan ekonomis

yang belum menjadi realisasi dibebaskan dari pajak. Hanya pengenaan pajaknya

ditunda hingga saat yang kemudian, yaitu pada saat pemungutan pajak dapat

dilakukan dengan mudah.

3. Baik yang berasal dari Indonesia maupun yang berasal dari luar Indonesia.

Menunjukkan bahwa penghasilan yang dikenakan pajak itu meliputi

penghasilan yang didapat dari manapun juga, baik yang berasal dari

sumber-sumber di Indonesia maupun dari sumber-sumber-sumber-sumber di luar Indonesia.

Dari Pasal 26 (Undang-undang Pajak Penghasilan) kita mengetahui

bahwa Subjek Pajak luar negeri mempunyai kewajiban pajak objektif yang

terbatas. Dengan demikian, yang kewajiban pajak objektifnya meliputi world wide

income adalah Subjek Pajak dalam negeri.

4. Yang dipakai untuk konsumsi maupun yang dipakai untuk membeli tambahan

harta.

Merupakan cara menghitung atau mngukur besarnya penghasilan yang

dikenakan pajak itu, yaitu sebagai hasil penjumlahan seluruh pengeluaran untuk

kebutuhan konsumsi dan sisanya yang ditabung menjadi kekayaan Wajib Pajak,

termasuk yang dipakai membeli harta sebagai investasi (investasi disini adalah

penggunaan tabungan Wajib Pajak untuk mengembangkan harta Wajib Pajak,

seperti dibelikan saham untuk memperoleh dividend an capital gains atau

dibelikan tanah yang dapat memberikan sewa dan juga capital gains.

5. Dengan nama dan dalam bentuk apapun juga.

Unsur ini mensyaratkan, bahwa dalam penentuan ada tidaknya

penghasilan yang dikenakan pajak dan kalau ada berapa besarnya penghasilan

itu, maka yang menentukan bukan nama yang diberikan oleh Wajib Pajak dan

juga bukan bergantung kepada bentuk yuridis yang dipakai oleh Wajib Pajak,

melainkan yang paling menentukan adalah hakekat ekonomis yang sebenarnya.

Disebut The Substance OverForm Principle, yang berarti bahwa hakekat

(22)

Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan menyatakan bahwa

yang menjadi objek pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan

ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari

Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau

untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan

dalam bentuk apa pun, termasuk10:

a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa.

Semua pembayaran atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan

atau jasa, seperti upah, gaji, tunjangan,

honorarium, komisi, bonus, gratifikasi,

uang pensiun, premi asuransi jiwa, dan

asuransi kesehatan yang dibayar oleh

pemberi kerja, atau imbalan dalam

bentuk lainnya (misal: natura) adalah

objek Pajak Penghasilan.

b. Hadiah dan Penghargaan.

Dalam pengertian hadiah termasuk hadiah dari undian, pekerjaan,

dan kegiatan seperti hadiah undian tabungan, hadiah dari pertandingan

olahraga dan lain sebagainya.

Penghargaan adalah imbalan yang diberikan sehubungan dengan

kegiatan tertentu, misalnya imbalan yang diterima sehubungan dengan

penemuan benda-benda purbakala.

c. Laba usaha.

d. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta.

1) Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan,

dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;

2) Keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu,

atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;

3) Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,

pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan

dalam bentuk apa pun;

4) Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau

sumbangan.

Alasan per ubahan:

Hak/ Interest di Bidang

Pertambangan hulu migas adalah

hak penambangan yang

ketentuannya diatur tersendiri. Pengalihan hak tersebut kepada pihak lain dapat menyebabkan

pemegang hak memperoleh

(23)

5) Keuntungankarena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak

penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan

dalam perusahaan pertambangan.

Pasal 3 PP Nomor 94 Tahun 2010 mengatur bahwa dalam hal terjadi

pengalihan harta perusahaan kepada pegawainya, maka keuntungan berupa

selisih antara harga pasar harta tersebut dengan nilai sisa buku merupakan

penghasilan bagi perusahaan.

e. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya

dan pembayaran tambahan pengembalian pajak.

Pengembalian pajak yang telah dibebankan sebagai biaya pada saat

menghitung Penghasilan Kena Pajak merupakan objek pajak.

Sebagai contoh, Pajak Bumi dan Bangunan yang sudah dibayar dan

dibebankan sebagai biaya, yang karena sesuatu sebab dikembalikan, maka

jumlah sebesar pengembalian tersebut merupakan penghasilan.

f. Bunga.

Dalam pengertian bunga termasuk pula premium, diskonto dan

imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang.Premium terjadi

apabila misalnya surat obligasi dijual di atas nilai nominalnya sedangkan

diskonto terjadi apabila surat obligasi dibeli di bawah nilai nominalnya.

Premium tersebut merupakan penghasilan bagi yang menerbitkan obligasi

dan diskonto merupakan penghasilan bagi yang membeli obligasi.

g. Dividen.

Dividen merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham

atau pemegang polis asuransi atau pembagian sisa hasil usaha koperasi

yang diperoleh anggota koperasi.

Termasuk dalam pengertian dividen adalah:

1) Pembagian laba baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan

nama dan dalam bentuk apapun.

Pasal 6 PP Nomor 94 Tahun 2010 mengatur bahwa pembagian

laba secara langsung dan/atau tidak langsung yang berasal dari saldo

laba termasuk saldo laba berdasarkan proyeksi laba tahun berjalan

merupakan objek pajak, kecuali bagian laba sebagaimana dimaksud

(24)

2) Pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang

disetor.

3) Pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk

saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham11.

Apabila saham bonus diberikan kepada pemegang saham yang

menjadikan jumlah nilai nominal seluruh saham termasuk saham bonus

yang diperolehnya lebih besar dari jumlah setoran modalnya, pemberian

saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham tersebut

termasuk dalam pengertian pembagian laba atau dividen.

Namun demikian apabila saham bonus dimaksud diberikan

kepada pemegang saham sehingga pemberian tersebut tidak menjadikan

jumlah nilai seluruh saham (termasuk saham bonus) yang diperoleh atau

dimilikinya lebih besar dari jumlah setoran modalnya, pemberian saham

bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham tersebut tidak termasuk

dalam pengertian pembagian laba atau dividen.

Pasal 2 PP 94 Tahun 2010 mengatur bahwa tidak termasuk

pengertian dividen adalah pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa

penyetoran yang berasal dari:

a) Kapitalisasi agio saham kepada pemegang saham yang telah

menyetor modal atau membeli saham di atas harga nominal,

sepanjang jumlah nilai nominal saham yang dimilikinya setelah

pembagian saham bonus tidak melebihi jumlah setoran modal; dan

b) Kapitalisasi selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-undang Pajak

Penghasilan.

4) Pembagian laba dalam bentuk saham.

5) Pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran.

6) Jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima atau

diperoleh pemegang saham karena pembelian kembali saham-saham

oleh perseroan yang bersangkutan.

7) Pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang

(25)

kecuali jika pembayaran kembali itu adalah akibat dari pengecilan modal

dasar (statuter) yang dilakukan secara sah.

8) Pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk yang

diterima sebagai penebusan tanda-tanda laba tersebut.

9) Bagian laba sehubungan dengan pemilikan obligasi.

10) Bagian laba yang diterima oleh pemegang polis.

11) Pembagian berupa sisa hasil usaha kepada anggota koperasi.

12) Pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang

dibebankan sebagai biaya perusahaan.

Dalam praktik sering dijumpai pembagian atau pembayaran

dividen secara terselubung, misalnya dalam hal pemegang sahamyang

telah menyetor penuh modalnya dan memberikan pinjaman kepada

perseroan dengan imbalan bunga yang melebihi kewajaran. Apabila

terjadi hal yang demikian maka selisih lebih antara bunga yang

dibayarkan dan tingkat bunga yang berlaku di pasar, diperlakukan

sebagai dividen. Bagian bunga yang diperlakukan sebagai dividen

tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya oleh perseroan yang

bersangkutan.

(26)

h. Royalti atau imbalan atas penggunaan hak.

Royalti adalah suatu jumlah yang dibayarkan atau terutang dengan

cara atau perhitungan apa pun, baik dilakukan secara berkala maupun

tidak, sebagai imbalan atas:

1) Penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan,

kesenian atau karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula

atau proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak kekayaan

intelektual/industrial atau hak serupa lainnya;

2) Penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan industrial,

komersial, atau ilmiah;

3) Pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal,

industrial, atau komersial;

4) Pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan

penggunaan atau hak menggunakan hak-hak tersebut pada angka 1,

penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan tersebut

pada angka 2, atau pemberian pengetahuan atau informasi tersebut pada

angka 3, berupa:

a) Penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman

suara atau keduanya, yang disalurkan kepada masyarakat melalui

satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa;

b) Penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman

suara atau keduanya, untuk siaran televisi atau radio yang

disiarkan/dipancarkan melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi

yang serupa;

c) Penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum

radio komunikasi.

5) Penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture

films), film atau pita video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk

siaran radio;

6) Pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan

penggunaan atau pemberian hak kekayaan intelektual/industrial atau

hak-hak lainnya sebagaimana tersebut di atas.

(27)

Dalam pengertian sewa termasuk imbalan yang diterima atau

diperoleh dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan

penggunaan harta gerak atau harta tak gerak, misalnya sewa mobil, sewa

kantor, sewa rumah, dan sewa gudang.

j. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala.

Penerimaan berupa pembayaran berkala, misalnya "alimentasi" atau

tunjangan seumur hidup yang dibayar secara berulang-ulang dalam waktu

tertentu.

k. Keuntungan karena pembebasan utang.

Pembebasan utang oleh pihak yang berpiutang dianggap sebagai

penghasilan bagi pihak yang semula berutang, sedangkan bagi pihak yang

berpiutang dapat dibebankan sebagai biaya.

PP Nomor 130 Tahun 2000 tentang Pengecualian Sebagai Objek

Pajak atas Keuntungan karena Pembebasan Utang Debitur Kecil, mengatur

hal-hal sebagai berikut:

1) Atas penghasilan yang diperoleh debitur berupa keuntungan karena

pembebasan utang yang merupakan Utang Debitur Kecil dari bank atau

lembaga pembiayaan, dikecualikan sebagai Objek Pajak12.

2) Yang dimaksud dengan Utang Debitur Kecil adalah utang usaha yang

jumlahnya tidak lebih dari Rp350.000.000,00 termasuk:

a) Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera (Kukesra), yaitu kredit lunak

untuk usaha ekonomi produktif yang diberikan kepada Keluarga

Prasejahtera dan Keluarga Sejahtera I (alasan ekonomi hasil

pendataan KS) yang telah menjadi peserta Takesra dan tergabung

dalam kegiatan kelompok Prokesra-OPPKS;

b) Kredit Usaha Tani (KUT), yaitu kredit modal kerja yang diberikan oleh

bank kepada koperasi primer baik sebagai pelaksana (executing)

maupun penyalur (channeling) atau kepada Lembaga Swadaya

Masyarakat (LSM) sebagai pelaksana pemberian kredit, untuk

keperluan petani yang tergabung dalam kelompok tani guna

membiayai usaha taninya dalam rangka intensifikasi padi, palawija

(28)

c) Kredit Pemilikan Rumah Sangat Sederhana (KPRSS), yaitu kredit

yang diberikan oleh bank kepada masyarakat untuk pemilikan rumah

sangat sederhana (RSS);

d) Kredit Usaha Kecil (KUK), yaitu kredit yang diberikan kepada nasabah

usaha kecil;

e) Kredit kecil lainnya dalam rangka kebijakan perkreditan Bank

Indonesia dalam mengembangkan usaha kecil dan koperasi.

3) Kredit yang diberikan oleh lebih dari satu bank kepada satu debitur yang

jumlah seluruhnya tidak melebihi Rp350.000.000,00 dapat dihitung

sebagai Utang Debitur Kecil dari masing-masing bank, sepanjang

memenuhi kriteria Utang Debitur Kecil.

4) Dalam hal pemberian Utang Debitur Kecil dilakukan oleh lebih dari satu

bank kepada satu debitur yang mengakibatkan jumlah plafon kreditnya

melampaui batas maksimum Rp350.000.000,00 maka keuntungan karena

pembebasan utang yang dikecualikan sebagai Objek Pajak adalah jumlah

sisa kredit yang diperoleh pada bank pertama ditambah dengan jumlah

sisa kredit yang diperoleh pada bank-bank berikutnya sampai mencapai

jumlah plafon kredit keseluruhan sebesar Rp350.000.000,00.

5) Apabila masih terdapat sisa kredit pada bank tersebut dan atau

bank-bank lain setelah dikurangi dengan jumlah plafon kredit keseluruhan

sebesar Rp350.000.000,00 maka keuntungan karena pembebasan utang

atas sisa kredit tersebut merupakan Objek Pajak.

l. Keuntungan selisih kurs mata uang asing.

Keuntungan yang diperoleh karena fluktuasi kurs mata uang asing

diakui berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat

asas sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.

m. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva.

n. Premi asuransi.

Dalam pengertian premi asuransi termasuk premi reasuransi.

o. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri

dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.

p. Tambahan kekayaan netto yang berasal dari penghasilan yang belum

(29)

Tambahan kekayaan netto pada hakekatnya merupakan akumulasi

penghasilan baik yang telah dikenakan pajak dan yang bukan Objek Pajak

serta yang belum dikenakan pajak. Apabila diketahui adanya tambahan

kekayaan netto yang melebihi akumulasi penghasilan yang telah dikenakan

pajak dan yang bukan Objek Pajak, maka tambahan kekayaan netto tersebut

merupakan penghasilan.

q. Penghasilan dari usaha berbasis syariah13.

Kegiatan usaha berbasis syariah memiliki landasan filosofi yang

berbeda dengan kegiatan usaha yang bersifat konvensional. Dibandingkan

dengan transaksi berdasarkan sistem konvensional, terdapat perbedaan

antara transaksi berdasarkan prinsip syariah14 dengan transaksi yang dilakukan berdasarkan sistem konvensional tersebut. Perbedaan tersebut

disebabkan oleh adanya prinsip tertentu yang harus diperhatikan oleh Usaha

Berbasis Syariah dalam melaksanakan kegiatan usahanya, yaitu:

1) Kehalalan produk;

2) Kemaslahatan bersama;

3) Menghindari spekulasi;

4) Menghindari riba.

Terkait dengan prinsip menghindari riba, kegiatan pemberian

pinjaman yang dilakukan oleh jasa keuangan dengan mengenakan tingkat

bunga tertentu tidak dapat dilakukan oleh usaha berbasis syariah. Kegiatan

tersebut, dalam Usaha Berbasis Syariah dilakukan melalui beberapa

pendekatan antara lain:

1) Transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah.

2) Transaksi jual beli dalam bentuk murabahah, salam, dan istisna.

3) Transaksi sewa menyewa dalam bentuk ijarah dan ijarah muntahiya

bittamlik;

4) Transaksi pinjam meminjam dalam bentuk qardh.

Berdasarkan kesepakatan antara pihak yang bertransaksi, dana akan

dikembalikan setelah jangka waktu tertentu dengan memberikan imbalan,

tanpa imbalan, atau bagi hasil.

Perbedaan antara transaksi berdasarkan prinsip syariah dengan

(30)

beberapa implikasi. Perbedaan tersebut menyebabkan perlakuan perpajakan

yang berbeda dalam suatu industri yang sama, yaitu untuk kegiatan usaha

berdasarkan prinsip syariah dan kegiatan usaha berdasarkan sistem

konvensional. Dengan perlakuan yang berbeda tersebut, maka perlakuan

perpajakan menjadi tidak netral bagi para pihak yang terlibat untuk

menentukan pilihan apakah menggunakan transaksi berdasarkan prinsip

syariah atau berdasarkan sistem konvensional. Implikasi berikutnya terkait

dengan kesulitan-kesulitan dalam pelaksanaan bagi kegiatan usaha

berdasarkan prinsip syariah tertentu, apabila ketentuan Pajak Penghasilan

yang berlaku umum diterapkan atas transaksi syariah yang mendasari

kegiatan usaha tersebut.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, berdasarkan amanat Pasal 31D

Undang-undang Pajak Penghasilan, telah diterbitkan PP Nomor 25 Tahun

2009 tentang Pajak Penghasilan Kegiatan Usaha Berbasis Syariah yang

mengatur hal-hal sebagai berikut:

1) Ketentuan mengenai penghasilan, biaya, dan pemotongan pajak atau

pemungutan pajak dari kegiatan usaha berbasis syariah berlaku mutatis

mutandis ketentuan dalam Undang-undang Pajak Penghasilan.

Artinya perlakuan Pajak Penghasilan atas transaksi kegiatan

Usaha Berbasis Syariah dipersamakan dengan atau sebagaimana yang

berlaku atas transaksi sepadan yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam

industri yang sama yang berdasarkan sistem konvensional. Dengan

demikian, perlakuan Pajak Penghasilan tidak bersifat distortif serta akan

memberikan perlakuan yang sama (level playing field) bagi Wajib Pajak

dalam suatu industri yang sama.

Pemberlakuan secara mutatis mutandis dimaksudkan bahwa

ketentuan perpajakan yang berlaku umum berlaku pula untuk kegiatan

Usaha Berbasis Syariah.Contoh, perlakuan perpajakan mengenai bunga

berlaku pula untuk imbalan atas penggunaan dana pihak ketiga yang

tidak termasuk dalam kategori modal perusahaan. Imbalan tersebut dapat

berupa hak pihak ketiga atas bagi hasil, margin, atau bonus, sesuai

(31)

Pada ketentuan perpajakan secara umum, bunga merupakan

penghasilan bagi pihak penerima dan merupakan pengurang penghasilan

bagi pihak pembayar. Berkenaan dengan kewajiban pemotongan Pajak

Penghasilan, pihak pembayar wajib memotong Pajak Penghasilan atas

bunga yang dibayarkan. Pemotongan tersebut dapat dilakukan sesuai

dengan Pasal 4 ayat (2), Pasal 23, dan/atau Pasal 26 Undang-undang

Pajak Penghasilan sesuai dengan transaksi dan lembaga yang

bertransaksi. Perlakuan perpajakan tersebut juga berlaku terhadap hak

pihak ketiga atas bagi hasil, margin, atau bonus yang timbul dari

penggunaan dana pihak ketiga yang tidak termasuk dalam kategori modal

perusahaan, sesuai dengan transaksi dan lembaga yang bertransaksi.

2) Biaya dari Kegiatan Usaha Berbasis Syariah termasuk:

a) Hak pihak ketiga atas bagi hasil.

Hak pihak ketiga atas bagi hasil yang dibayarkan merupakan biaya

yang dapat dikurangkan. Bagi hasil ini berbeda dengan dividen yang

dibagikan, terkait dengan status dana yang digunakan. Dividen

diberikan atas modal yang ditanamkan pada usaha yang

menunjukkan kepemilikan usaha. Sedangkan bagi hasil dibayarkan

atas dana pihak ketiga yang digunakan untuk jangka waktu tertentu

yang tidak menunjukkan kepemilikan usaha.

b) Margin.

c) Kerugian dari transaksi bagi hasil.

Kerugian yang timbul dari transaksi bagi hasil merupakan biaya yang

dapat dikurangkan. Kerugian yang timbul harus diteliti lebih lanjut,

apabila kerugian tersebut timbul akibat kelalaian atau kesalahan

pengelola dana, maka kerugian tersebut merupakan tanggung jawab

pengelola dana. Sedangkan apabila setelah diteliti diketahui bahwa

kerugian tersebut timbul dan terjadi bukan karena kelalaian atau

kesalahan pengelola dana, maka kerugian tersebut dibebankan

kepada pemilik modal sesuai dengan akad/perjanjian.

3) Pemotongan pajak atau pemungutan pajak dari kegiatan Usaha

Berbasis Syariah dilakukan juga terhadap:

(32)

b) Bonus.

c) Margin.

d) Hasil berbasis syariah lainnya yang sejenis.

Hak pihak ketiga atas bagi hasil, bonus, margin, dan hasil berbasis

syariah lainnya yang sejenis merupakan penghasilan yang dibayarkan

berkenaan dengan penggunaan dana pihak ketiga yang terkait dengan

kepemilikan usaha, contoh:

• Deposito mudharabah menggunakan akad mudharabah. Terhadap para deposan diberikan bagi hasil atas pemanfaatan dana yang

disimpan pada bank syariah.

• Giro pada bank syariah menggunakan akad wadiah (titipan), karena dana yang disimpan dapat ditarik setiap saat. Terhadap pemegang

giro, bank syariah tidak menjanjikan hasil yang diberikan, tetapi dapat

memberikan bonus yang tidak ditentukan besarnya.

• Pembiayaan murabahah menggunakan prinsip jual beli sehingga memunculkan margin yang merupakan selisih antara dana yang

diberikan dengan total dana yang harus dikembalikan oleh penerima

dana. Karena terkait dengan pembiayaan, bukan semata-mata

transaksi jual beli, maka terhadap margin tersebut diperlakukan

sebagai penghasilan yang merupakan objek pemotongan Pajak

Penghasilan.

r. Imbalan bunga.

Imbalan bunga yang diberikan kepada Wajib Pajak diatur dalam

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 195/PMK.03/2007 tentang Tata Cara

Penghitungan dan Pemberian Imbalan Bunga sebagaimana telah diubah

dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 12/PMK.03/2011.

s. Surplus Bank Indonesia.

Ketentuan Pasal 7 PP Nomor 94 Tahun 2010 dan Peraturan Menteri

Keuangan Nomor 100/PMK.03/2011 tentang Tata Cara Penghitungan dan

Pembayaran Pajak Penghasilan atas Surplus Bank Indonesia mengatur

hal-hal sebagai berikut:

1) Surplus Bank Indonesia yang merupakan objek Pajak Penghasilan adalah

(33)

dilakukan penyesuaian atau koreksi fiskal sesuai dengan Undang-undang

Pajak Penghasilan dengan memperhatikan karakteristik Bank Indonesia.

2) Penyesuaian atau koreksi fiskal sesuai dengan Undang-undangPajak

Penghasilan dengan memperhatikan karakteristik Bank Indonesia,

dilakukan atas:

a) Pengakuan keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing.

• Keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara

taat asas sesuai dengan Pedoman Akuntansi Keuangan Bank

Indonesia.

• Keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing yang diakui sebagai penghasilan atau yang dibebankan sebagai biaya

dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak adalah

keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing yang telah

direalisasi, yang diperoleh dari selisih antara kurs jual mata uang

asing pada tanggal transaksi dengan harga perolehan rata-rata.

b) Penyisihan aktiva.

• Penyisihan aktiva dapat dibebankan sebagai biaya dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak.

• Penyisihan aktiva hanya dilakukan terhadap piutang tak tertagih berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara

taat asas sebagaimana diatur dalam Pedoman Akuntansi

Keuangan Bank Indonesia.

• Kerugian yang berasal dari piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dibebankan pada perkiraan cadangan piutang tak tertagih.

• Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih seluruhnya atau sebagian tidak dipakai untuk menutup kerugian, jumlah kelebihan

cadangan tersebut diperhitungkan sebagai penghasilan.

• Dalam hal jumlah cadangan piutang tak tertagih dipakai untuk menutup kerugian namun tidak mencukupi, jumlah kekurangan

(34)

c) Penyusutan aktiva tetap.

Penyusutan aktiva tetap sebagaimana atas pengeluaran untuk

memperoleh harta berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih

dari 1 (satu) tahun, dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam

Undang-undangPajak Penghasilan beserta peraturan

pelaksanaannya.

3) Penyesuaian atau koreksi fiskal lainnya yang terkait dengan surplus Bank

Indonesia, mengikuti peraturan perUndang-undangan di bidang Pajak

Penghasilan yang berlaku secara umum.

B. Penghasilan yang Dikenai PPh Bersifat Final

Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan mengatur bahwa

penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final:

1. Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi16,

surat utang negara17, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi;

2. Penghasilan berupa hadiah undian;

3. Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang

diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan

penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh

perusahaan modal ventura;

4. Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan,

usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau

bangunan;

5. Penghasilan tertentu lainnya,yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan

Pemerintah.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan antara lain:

1) Perlu adanya dorongan dalam rangka perkembangan investasi dan tabungan

masyarakat;

(35)

3) Berkurangnya

penghasilan-penghasilan tersebut perlu diberikan perlakuan tersendiri dalam

pengenaan pajaknya.Perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajak atas jenis

penghasilan tersebut termasuk sifat, besarnya, dan tata cara pelaksanaan

pembayaran, pemotongan, atau pemungutan diatur dengan Peraturan

Pemerintah.

Dengan pertimbangan kemudahan, kesederhanaan, kepastian,

pengenaan pajak yang tepat waktu, dan pertimbangan lainnya, maka dapat

diatur pelunasan pajak dalam tahun berjalan yang bersifat final atas jenis-jenis

penghasilan tertentu seperti dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), Pasal 21, Pasal

22, dan Pasal 23Undang-undang Pajak Penghasilan. Pajak Penghasilan yang

bersifat final tersebut tidak dapat dikreditkan dengan Pajak Penghasilan yang

terutang.

Pasal 19 PP 94 Tahun 2010mengatur bahwa dalam hal penghasilan tidak

dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan Peraturan Pemerintah

tersendiri, atas penghasilan tersebut dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan.

Jenis penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final

adalah sebagai berikut:

M enegaskan objek PPh Pasal 4 ayat (2) yang selama ini tidak secara eksplisit diatur dalam ket ent uan ini, sepert i ant ara lain:

- Bunga obligasi dan Surat Ut ang Negara

- Hadiah undian

- Pengalihan saham pasangan perusahaan modal ventura

- Persew aan t anah dan bangunan

M emindahkan bunga simpanan koperasi yang sekarang dikenai PPh Pasal 23 final menjadi objek PPh Pasal 4 ayat (2) final. M enambah objek PPh Pasal 4 ayat (2) final meliput i:

- Penghasilan dari t ransaksi derivat if; dan

(36)

No Jenis Penghasilan Tarif Dasar Hukum

1

Penghasilan dari Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek

§ PP 41 Tahun 1994 stdd PP 14 Tahun 1997

§ 282/KMK.04/1997 Untuk semua transaksi penjualan saham 0,1% x jumlah bruto nilai

transaksi penjualan

hadiah undian PP 132 Tahun 2000

3 Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan

Diskonto Sertifikat Bank Indonesia 20% x jumlah bruto PP 131 Tahun 2000

5 Penghasilan dari Pengalihan Hak atas

Pengalihan hak atas Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan

1% x jumlah bruto nilai pengalihan

7

Penghasilan Perusahaan Modal Ventura dari Transaksi Penjualan Saham atau Pengalihan Penyertaan Modal pada Perusahaan Pasangan Usaha

0,1% x jumlah bruto nilai transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal

Penghasilan yang diterima/ diperoleh WP Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan luar negeri

2,64% x Peredaran Bruto

417/KMK.04/1996

10

Pemungutan PPh Pasal 22 atas penjualan bahan bakar minyak, gas, dan pelumas kepada penyalur/agen.

Bunga dan diskonto obligasi yang diperdagangkan dan/atau dilaporkan perdagangannya di bursa efek

§ PP 6 Tahun 2002

§ 121/KMK.04/2002 a. Bunga obligasi dengan kupon (interest

bearing bond)

20% x jumlah bruto bunga

sesuai dengan masa

kepemilikan (holding period) obligasi

b. Diskonto obligasi dengan kupon 20% x selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan obligasi, tidak termasuk bunga berjalan (accrued interest)

(37)

kembali aktiva tetap perusahaan di atas nilai sisa buku fiskal semula

12

Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus20

PP 68 Tahun 2009

§ Uang Pesangon a. 0% atas penghasilan bruto

s.d. Rp50.000.000,00; b. 5%atas penghasilan bruto di

atas Rp50.000.000,00 s.d. Rp100.000.000,00;

c. 15% atas penghasilan bruto di atas Rp100.000.000,00 s.d. Rp500.000.000,00; d. 25% atas penghasilan bruto

di atas Rp500.000.000.00.

§ Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua

a. 0% atas penghasilan bruto s.d. Rp50.000.000.00; b. 5% atas penghasilan bruto

di atas Rp50.000.000,00.

13

Honorarium atau imbalan lain dengan nama apapun yang menjadi beban APBN atau APBD

PP 80 Tahun 2010

§ Bagi PNS Golongan I dan Golongan II, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat Tamtama dan Bintara, dan Pensiunannya

0% x jumlah bruto honorarium atau imbalan lain

§ bagi PNS Golongan III, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat Perwira Pertama, dan pensiunannya

5% x jumlah bruto honorarium atau imbalan lain

§ Bagi pejabat Negara, PNS Golongan IV, Anggota TNI dan Anggota POLRI

Golongan Pangkat perwira

Menengah dan perwira Tinggi, dan Pensiunannya.

Bunga Simpanan yang Dibayarkan oleh Koperasi kepada Anggota Koperasi Orang Pribadi

PP 15 Tahun 2009 a) bunga simpanan s.d. Rp240.000,00

per bulan 0%

b) bunga simpanan lebih dari

Rp240.000,00 per bulan 10%

16

Bunga Obligasi

PP 16 Tahun 2009 a) Bunga dari Obligasi dengan kupon

§ Bagi WP Dalam Negeri & BUT 15% x jumlah bruto bunga

sesuai dengan masa

kepemilikan Obligasi

§ Bagi WP Luar Negeri selain BUT 20% x jumlah bruto bunga

sesuai dengan masa

kepemilikan Obligasi atau sesuai tarif P3B

b) Diskonto dari Obligasi dengan kupon

(38)

§ Bagi WP Luar Negeri selain BUT 20% x selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan Obligasi, tidak termasuk bunga berjalan c) Diskonto dari Obligasi tanpa bunga

§ Bagi WP Dalam Negeri & BUT 15% x selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan Obligasi

§ Bagi WP Luar Negeri selain BUT 20% x selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan Obligasi

d) Bunga dan/atau diskonto dari Obligasi yang diterima dan/atau diperoleh WP Reksadana yang terdaftar pada Bapepam LK

§ Tahun 2009 – 2010 0%

§ Tahun 2011 – 2013 5%

§ Tahun 2014 dan seterusnya 15%

17 Dividen yang diterima atau diperoleh WP OP Dalam Negeri 10% x Ph Bruto PP 19 Tahun 2009

C. Yang Dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan

Pasal 4 ayat (3) Undang-undang Pajak Penghasilan mengatur bahwa yang

dikecualikan dari objek pajak adalah:

1. - Bantuan, atau Sumbangan

- Harta Hibah

PP Nomor 18 Tahun 2009 tentang Bantuan atau Sumbangan

termasuk Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang

Dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan21, mengatur antara lain;

a. Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat dan sumbangan keagamaan

yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia,

dikecualikan sebagai objek Pajak penghasilan sepanjang tidak ada

hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di

antara pihak-pihak yang bersangkutan.

Hubungan usaha antara pihak yang memberi dan yang menerima dapat

terjadi, misalnya PT A sebagai produsen suatu jenis barang yang bahan

baku utamanya diproduksi oleh PT B. Apabila PT B memberikan

sumbangan bahan baku kepada PT A, sumbangan bahan baku yang

diterima oleh PT A merupakan objek pajak.

b. Zakat adalah zakat yang diterima oleh:

1) Badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau

disahkan oleh Pemerintah;

(39)

c. Sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang

diakui di Indonesia adalah sumbangan keagamaan yang diterima oleh:

1) Lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah;

2) Penerima sumbangan yang berhak.

d. Bantuan atau sumbangan adalah pemberian dalam bentuk uang atau

barang kepada orang pribadi atau badan.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 245/PMK.03/2008 tentang

Badan-badan dan Orang Pribadi yang Menjalankan Usaha Mikro dan

Kecil yang menerima harta hibah, bantuan, atau sumbangan yang tidak

termasuk sebagai Objek Pajak Penghasilan mengatur bahwa:

1) Harta hibah, bantuan, atau sumbangan yang dikecualikan sebagai

objek Pajak Penghasilan adalah yang diterima oleh:

a) Keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, yaitu

orang tua dan anak kandung.

b) Badan keagamaan, yaitu badan keagamaan yang kegiatannya

semata-mata mengurus tempat-tempat ibadah dan/atau

menyelenggarakan kegiatan di bidang keagamaan, yang tidak

mencari keuntungan.

c) Badan pendidikan, yaitu badan pendidikan yang kegiatannya

semata-mata menyelenggarakan pendidikan yang tidak mencari

keuntungan.

d) Badan sosial termasuk yayasan dan koperasi, yaitu badan sosial

yang kegiatannya semata-mata menyelenggarakan:

• Pemeliharaan kesehatan;

• Pemeliharaan orang lanjut usia (panti jompo);

• Pemeliharaan anak yatim-piatu, anak atau orang terlantar, dan anak atau orang cacat;

• Santunan dan/atau pertolongan kepada korban bencana alam, kecelakaan, dan sejenisnya;

• Pemberian beasiswa;

• Pelestarian lingkungan hidup;

Gambar

Gambar 1: Peta Konsep Pajak Penghasilan
Gambar 2: Pengenaan Pajak Penghasilan atas Dividen
Gambar 3: Skema Pengenaan Perpajakan atas Dana Pensiun
Gambar 4: Skema Kewajiban Pembukuan atau Pencatatan
+2

Referensi

Dokumen terkait

Populasi penelitian ini adalah seluruh data Pajak Penghasilan Badan, seluruh data penerimaan pajak meliputi wajib pajak badan dalam jangka waktu 4 tahun, periode

Pengurangan atau biaya yang diperkenankan dikurangkan dari penghasilan bruto untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak bagi wajib pajak badan dan bentuk usaha tetap

Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap.. dari usaha di bidang jasa konstruksi, dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan

Kemudian di bidang perpajakan yang berupa Pajak Penghasilan ditanggung Pemerintah hanya berlaku untuk Pajak Penghasilan yang terutang atas penghasilan yang diterima atau diperoleh

Untuk menghindari pengenaan pajak berganda dan memberikan perlakuan pemajakan yang sama antara penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Dalam Negeri

Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 pasal 4 tentang Pajak Penghasilan (PPh) adalah: setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang

Jika Wajib Pajak Orang Pribadi menerima atau memperoleh penghasilan dari berbagai macam jenis usaha dan kegiatan di Indonesia, maka atas penghasilan yang diterimanya tersebut

Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 pasal 4 tentang Pajak Penghasilan (PPh) adalah: setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang