• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV HASIL PENELITIAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian"

Copied!
126
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Deskripsi Lokasi Penelitian

1 . Lokasi dan Keadaan Masyarakat Kampung Laweyan

a. Lokasi Kampung Batik Laweyan

Kampung Batik Laweyan merupakan salah satu kampung yang berada di wilayah Kota Surakarta. Wilayah kampung batik Laweyan secara administratif, termasuk ke dalam wilayah Kelurahan Laweyan, Kecamatan Laweyan, Kota Surakarta, Provinsi Jawa Tengah. Wilayah kampung Laweyan berada di sebelah barat daya dari pusat pemerintahan Kota Surakarta berjarak kurang lebih sekitar 15 km, adapun batas-batas wilayah Kampung Laweyan adalah sebagai berikut.

Sisi sebelah utara Kampung Laweyan berbatasan dengan dengan wilayah Kelurahan Sondakan, Kecamatan Laweyan yang dibatasi oleh jalan Dr. Radjiman sekarang, dahulu jalan ini merupakan jalan yang digunakan sebagai jalur transportasi darat utama bagi masyarakat dan bernama jalan Laweyan.

Sisi sebelah selatan wilayah Kampung Laweyan, berbatasan dengan kelurahan Banaran, Kabupaten Sukoharjo. Di wilayah ini terdapat sebuah sungai yaitu sungai Jenes yang juga sekaligus menjadi pembatas antara wilayah Kota Surakarta dengan Kabupaten Sukoharjo. Dahulu masyarakat menyebut sungai ini sebagai Sungai Kabanaran. Pada masa lalu, sungai tersebut merupakan jalur utama transportasi dan perdagangan yang terhubung langsung ke Sungai Bengawan Solo.

Bagian barat wilayah Kampung Laweyan berbatasan dengan Kelurahan Pajang, Kabupaten Sukoharjo. Di Kelurahan Pajang inilah terdapat situs Kerajaan Pajang.

Sisi sebelah timur Kampung Laweyan berbatasan dengan Kalurahan Bumi, yang masih termasuk kedalam wilayah administratif kecamatan Laweyan, Kota Surakarta.

Luas wilayah Kampung Laweyan adalah 24800 m², yang terbagi ke dalam delapan wilayah kampung, yaitu kampung Kwanggan, kampung Sayangan Kulon,

(2)

kampung Sayangan Wetan, kampung Setono, kampung Lor Pasar, kampung Kidul Pasar, kampung Kramat dan kampung Klaseman.

Keadaan iklim di Laweyan sama seperti umumnya keadaan iklim daerah-daerah lain di Jawa Tengah, yaitu beriklim Muson. Daerah yang mempunyai iklim tersebut dalam setahun terdapat musim hujan pada bulan Oktober sampai April dan musim kemarau pada bulan Mei sampai bulan September. Curah hujan rata-rata 24, 25 mm per bulan dan suhu udara rata-rata -rata-rata 27, 29? C.

b. Demografi Masyarakat Laweyan

Kelurahan Laweyan secara fisik dapat dilihat dari jumlah kependudukan dan mata pencaharian. Menurut data yang diambil dari kelurahan Laweyan per April 2013, Kelurahan Laweyan memiliki jumlah penduduk sejumlah 2.258 jiwa dengan perincian jumlah penduduk laki-laki berjumlah 1.116 jiwa dan jumlah penduduk perempuan berjumlah 1.142 jiwa

Wilayah Kelurahan Laweyan, secara administratif terbagi kedalam 3 Rukun Warga (RW) dan 10 Rukun Tetangga (RT) yang terbagi kedalam 714 kepala keluarga (KK). Secara umum, tingkat pendidikan pada masyarakat Laweyan rata-rata terakhir adalah SLTA atau sederajat. Jika dilihat dari segi mata pencaharian masyarakat secara umum , pekerjaan masyarakat di kampung Laweyan rata -rata bekerja sebagai karyawan dan pada sektor wiraswasta , terutama dalam industri batik.

Masyarakat Kelurahan Laweyan, mayoritas memeluk Agama Islam, untuk lebih jelasnya dibawah disajikan sebuah tabel mengenai demografi masyarakat Kelurahan Laweyan, Kecamatan Laweyan Surakarta data di ambil per April 2013.

(3)

Tabel 4.1. Data Kependudukan Kelurahan Laweyan Per April 2013

BANK DATA-BULAN APRIL 2013 KELURAHAN LAWEYAN

KECAMATAN LAWEYAN KOTA SURAKARTA

UMUR Kelompok Lk Pr 0 – 4 36 32 4 – 9 85 64 10 – 14 70 96 15 – 19 87 91 20 – 24 83 75 25 – 29 85 85 30 – 39 208 193 40 – 49 168 187 50 – 59 143 143 60 plus 151 176 Jumlah Laki- laki 1.116 Perempuan 1.142 Jumlah Total 2.258 Kepala Keluarga 714 Rukun Tetangga 10 Rukun Warga 3 PENDIDIKAN (umur 5 tahun keatas) Tidak /blm Sekolah 239 Belum tamat SD 60 Tidak Tamat SD 209 TamatSD 201 SLTP/Sederajat 280 SLTA/Sederajat 792 Diploma III/SM 133 Diploma IV/ S1 243 Starta 2 33 Starta 3 1 PEKERJAAN (Umur 17 tahun keatas) Belum/tdk bekerja 181 Buruh 83 Guru/Dosen 23 Karyawan 480 Mengurus Rmh Tangga 246 Pelajar/Mahasiswa 208 PNS 33 TNI 3 POLRI 1 Pensiunan/Purnawirawan 44 Wiraswasta 284 Lain-lain 173 AGAMA Islam 2.078 Kristen 88 Katholik 92 Hindu - Budha - Konghucu - Lainnya -

(4)

2 . Sejarah Laweyan

a. Asal Muasal Nama Laweyan

Laweyan masa lalu terkenal sebagai daerah yang menjadi pusat perdagangan lawe yaitu salah satu bahan baku pembuatan tenun. Keberadaan wilayah Laweyan telah ada sejak sebelum berdirinya Kerajaan Mataram Islam. Kampung Laweyan merupakan wilayah yang cukup strategis pada masa keraton Pajang, letak Laweyan yang terletak di antara dua sungai, yaitu sungai Premulung dan sungai Jenes atau sungai Kabanaran sekarang, dimana di sisi sungai Kabanaran tersebut terdapat sebuah bandar, yaitu bandar Kabanaran dan pasar Laweyan.

Letak Laweyan yang strategis ini memungkinkan wilayah Laweyan menjadi pusat peradagangan dan penjualan lawe yang cukup ramai pada masa itu. Bandar Sungai Kabanaran yang terletak di tepi sungai Kabanaran memungkinkan para pengusaha atau saudagar di Laweyan lebih cepat memasarkan produknya ke bandar besar Nusupan yang berada di tepi Bengawan Solo. Sungai dan Bandar Kabanaran sebagai cabang dan penghubung jalur menuju sungai Bengawan Solo berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat Laweyan. (Wawancara Ibu Naniek Widayati, 21 Mei 2013). Lebih lanjut lihat Catatan Lapangan 1, pada lampiran halaman 200 (Selanjutnya, dalam kalimat disingkat menjadi CL 1).

Sungai Bengawan Solo merupakan sunga i terbesar yang membelah wilayah Jawa Tengah dan mengalir sampai ke Jawa Timur, sungai Bengawan Solo sejak dahulu telah digunakan masyarakat sebagai jalur transportasi utama sebelum adanya transportasi darat. Dalam hal ini dapat dikaitkan dengan simpulan Soeratman (1989) yang menyatakan bahwa, “bengawan adalah sebuah sungai yang terbesar di Jawa sejak zaman kuno yang mempunyai arti penting sebagi jalur penghubung antara Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk kepentingan ekonomi, militer, politik, sosial” (hlm. 19).

Pentingnya sungai Bengawan Solo merupakan bukti bahwa sungai merupakan ja lur transportasi utama kala itu sebelum dibangunnya jalan darat. Sungai pada masa lalu selain digunakan sebagai jalur transportasi masyarakat,

(5)

juga digunakan pula dalam mendistribusikan batik dan kegiatan perdagangan lainnya.

Wilayah Laweyan, dilihat dari sisi sejarah merupakan wilayah yang termasuk kedalam status tanah perdikan. Tanah Perdikan adalah sistem pengaturan tanah yang di adopsi dari ajaran hukum India oleh kerajaan-kerajaan di nusantara. Hal tersebut sesuai dengan simpulan Schrieke (1975) menyatakan bahwa pranata daerah bebas yang disebut “perdikan” merupakan suatu kelanjutan dari ajaran hukum India. Para raja Hindu dapat memberikan kebebasan dari beban-beban kerajaan (dharma sima swatantra atau membebaskan), kepada sesuatu desa atau daerah karena sesuatu alasan (Widayati, 2002 : 47).

Wilayah Laweyan dijadikan sebagai tanah perdikan, yaitu tanah yang dibebaskan dari segala macam beban kerajaan. Status tanah perdikan m ulai diberlakukan sejak era Kerajaan Pajang sampai era Keraton Kasunanan Surakarta. Status wilayah yang dimerdekakan dan sentra produksi dan perdagangan lawe

menjadikan Laweyan berkembang pesat dari segi ekonomi, sosial maupun budaya masyarakat Laweyan.

Sejarah mencatat bahwa dengan status sebagai sentra perdagangan lawe,

sampai sentra industri batik itulah Laweyan menjadi terkena. Bahkan asal mula nama Laweyan sendiri diduga berawal dari sesuatu yang berkaitan dengan usaha masyarakatnya yaitu berdagang lawe (bahan baku pembuatan benang atau tenun), hal ini sejalan dengan pendapat Mlayadipura (l981) yang menyatakan bahwa, “…Asal nama Kampung Laweyan dikatakan berasal dari kata “lawe” atau kapas yang dipintal kemudian diantih (ditenun) menjadi mori gedog (mori yang rupanya masih seperti lawe atau belum diberi pemutih) dan kain baju lurik….” (hlm. 10).

Metamorfosis Laweyan sebagai pusat perdagangan lawe menjadi Industri batik cap sendiri terjadi sekitar abad ke XX bersamaan dengan perkembangan industri batik di Surakarta.

(6)

b. Kyai Ageng Henis dan Kampung Laweyan

Sejarah kawasan Laweyan barulah berarti setelah Kyai Ageng Henis bermukim di desa Laweyan pada sekitar tahun 1546 M, tepatnya di sebelah utara pasar Laweyan. Kyai Ageng Henis adalah putra dari Kyai Ageng Selo, yang menurut silsilah merupakan keturunan raja dari kerajaan Majapahit yaitu Raja Brawijaya V (Mlayadipura, 1981).

Laweyan sebagai suatu wilayah sudah berada sejak sebelum keraton Kasunanan Surakarata Hadiningrat berada, yakni pada masa kerajaan Pajang, pada saat itu Kerajaan Pajang dipimpin oleh Sultan Hadiwijaya atau lebih dikenal dengan sebutan Jaka Tingkir pada sekitar tahun 1568. Wilayah Laweyan sejak dahulu sudah terkenal dengan pusat dari perdagangan terutama pusat perdagangan

lawe sebagai ba han utama pembuatan kain, letak Laweyan yang sangat strategis pada waktu itu.

Keberadaan sungai Jenes sebagai pusat perdagangan serta adanya bandar Kabanaran yang menghubungkan dengan bandar besar yaitu bandar besar Nusupan di sisi Bengawa n Solo. Perkembangan Laweyan sebagai suatu kawasan yang terkenal tidak bisa terlepas dari peranan tokoh yang melegenda yaitu Kyai Ageng Henis (Wawancara, Bapak Drs.Susanto M.Hum, 6 Juni 2013). Lebih lanjut lihat Catatan Lapangan 2, pada lampiran halaman 208 (Selanjutnya, dalam kalimat disingkat menjadi CL 2).

Kyai Ageng Henis adalah tokoh yang berjasa menyiarkan agama Islam di wilayah Laweyan yang dahulu beragama Hindu. Wilayah kampung Laweyan atau pedukuhan Laweyan awalnya menganut Agama Hindu, yang dipimpin oleh seorang yang bernama Kyai Ageng Beluk, kemudian Kyai Ageng Henis diutus untuk mengislamkan wilayah Laweyan dan mendirikan langgar (Mushola) yang berada di sebelah selatan sungai Jenes. Langgar tersebut sekarang dikenal dengan nama Masijd Laweyan.

Kyai Ageng Henis adalah tokoh pemuka agama yang sangat terkenal dan disegani, karena jasanya itu raja kerajaan Demak yang saat itu dipimpin oleh Raden Patah memberikan tanah di kampung Laweyan dan dijadikan sebagai wilayah atau tanah perdikan yang dibebaskan dari segala macam pajak kerajaan

(7)

Demak dan keraton Pajang. Kampung Laweyan dahulu merupakan daerah

perdikan dari kerajaan Pajang, kerajaan Pajang saat itu di pimpin oleh Sultan Hadiwijaya atau terkenal dengan nama Jaka Tingkir.

Kampung Laweyan awalnya merupakan sebuah wilayah yang memeluk Agama Hindu, setelah terjadinya Islamisasi, masyarakat Laweyan kemudian memeluk islam, termasuk Kyai Ageng Beluk sendiri yang memeluk Islam dan wilayah Laweyan, dijadikan sebagai wilayah atau tanah perdikan.

Tanah perdikan adalah tanah yang diberikan oleh kerajaan atau raja karena pengabdian seseorang terhadap raja, tanah Laweyan diberikan kepada Kyai Ageng Henis, sebagai balas jasa kepada kepada Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir raja dari kerajaan Pajang waktu itu. Sejak era Kerajaan Demak sampai era Kasunanan tanah Laweyan tetap menjadi tanah perdikan. Tanah pemberian ini kemudian diberi nama Laweyan, karena wilayah ini terkenal dengan komoditas perdagangan atau bahan baku pembuatan lawe yang sangat terkenal dan besar saat itu (wawancara, Ibu Naniek Widayati, 21 Mei 2013). Lebih lanjut lihat CL 1, pada lampiran halaman 200.

Kyai Ageng Henis atau Kyai Ageng Laweyan merupakan tokoh yang melegenda dalam kehidupan masyarakat Laweyan dan tokoh yang berjasa dalam penyiaran agama Islam di wilayah Laweyan, Mlayadipura (1981) mengemukakan,

“Kyai Ageng Henis atau Kyai Ageng Laweyan merupakan manggala pinitu

waning nagara” (hlm. 15). Sebutan tersebut merupakan suatu tanda hormat yang ditunjukan sebagai tanda balas jasa atas pengabdian Kyai Ageng Henis kepada Kerajaan Pajang.

Kyai Ageng Henis bertempat tinggal disebelah selatan sungai Kabanaran atau Sungai Jenes sekarang, disebuah rumah dinas yang diberikan oleh Kerajaan Pajang, konsep rumah tersebut menggunakan konsep rumah pangeran yaitu dengan salah satu ciri rumah tersebut memiliki 32 saka pengiring, awalnya rumah tersebut merupakan sebuah candi pemujaan umat Hindu masyarakat Laweyan sebelum kedatangan Kyai Ageng Henis.

Kyai Ageng Henis menggunakan rumah ini sebagai rumah dinas, setelah wafat dan dimakamkan di pesarean Laweyan yang berada di belakang Masjid

(8)

Laweyan, rumah tempat tinggal Kyai Ageng Henis ditempati oleh cucunya yang bernama Bagus Danang atau Mas Ngabehi Sutowijaya. Sutowijaya atau lebih dikenal dengan sebutan Raden Ngabehi Loring Pasar, kemudian pindah ke Mataram tepatnya di Kota Gede , Yogyakarta sekarang dan menjadi raja pertama Dinasti Mataram Islam dengan sebutan Panembahan Senapati yang kemudian menurunkan raja -raja Mataram Islam. (wawancara Ibu Nanik Widayati, 21 Mei 2013). Lebih lanjut lihat CL 1 pada lampiran halaman 200.

3 . Kehidupan Masyarakat Laweyan

Kampung Laweyan sejak dahulu sudah terkenal sebagai daerah di mana pengusaha. Kampung Laweyan awalnya merupakan kampung penghsil bahan pembuat kain (lawe), kemudian bermetamorfosis menjadi sentra industri batik. Produksi batik di Laweyan mulai berkembang pada abad ke XX bersamaan dengan perkembangan industri batik di Surakarta. Pengusaha batik di Laweyan memasarkan produksinya tidak hanya untuk pasar setempat, tetapi diproduksi untuk pasar yang berskala nasional.

Budaya masyarakat Laweyan tidak terlepas dari sejarah dan lokasi serta potensi alam di mana Laweyan terletak. Pekembangan kehidupan masyarakat dan budaya masyarakat Laweyan tidak terlepas dari sejarah dan budaya kerajaan Jawa saat itu, tradisi lisan legenda Kyai Ageng Henis dan Raden Pabelan pada zaman Pajang, Raden Ayu Lembah dan Pelarian Paku Buwana II pada zaman Kartasura berpengaruh terhadap budaya masyarakat Laweyan (Soedarmono, 2006).

Legenda dan foklor masyaraka t Laweyan ditambah dengan sejarah

Laweyan yang merupakan pusat dari komoditas perdagangan lawe telah

membentuk kepribadian dan budaya masyarakat saudagar batik Laweyan yang mempunyai cita-cita, norma, nilai, dan hukum yang berlaku untuk komunitasnya.

Kutukan sebagai orang yang hanya mengejar harta semakin mengukuhkan saudagar batik sebagai pedagang atau saudagar kaya yang mandiri. Legenda

Laweyan sebagai tanah perdikan. Kyai Ageng Henis, menjadikan wilayah

(9)

pada perkembangan selanjutnya masyarakat Laweyan menjadi masyarakat mandiri dalam perekonomian.

Laweyan berstatus sebagai tanah perdikan dimulai dari masa kerajaan Pajang abad ke-16 hingga masa Kasunanan Surakarta abad ke-20. Hal ini menunjukkan bahwa daerah Laweyan merupakan satu daerah penting dalam pertumbuhan kebudayaan Jawa selama empat abad. Hal ini berdampak pada keluasan bangunan rumah saudagar batik, rata -rata luas banguan saudagar batik Laweyan sekitar 500 m² lebih. (wawancara Ibu Naniek Widayati, 21 Mei 2013). Lebih lanjut lihat CL 1 pada lampiran halaman 200.

Kehidupan masyarakat Jawa, jauh sebelum kedatangan Kolonial Belanda masyarakat Jawa telah mengenal adanya sisitem strtifikasi sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Secara umum stratifikasi sosial masyarakat Jawa tradisional terbagi kedalam tiga lapisan masyarakat,yaitu Raja, Priyayi, dan Kawula .

Kedudukan hiearki tertinggi dalam masyarakat Jawa adalah seorang Raja yang di daulat sebagai penguasa seluruh kerajaan dar i berbagai aspek kehidupan.

Masyarakat Laweyan secara sosial tidak dapat dikategorikan sebagai priyayi

keraton atau abdi dalem keraton, masyarakat Laweyan adalah pribadi mandiri dan terlepas dari kehidupan keraton yang bebas merdeka. Saudagar Laweyan tidak memiliki kedudukan kultural yang dianggap terhormat dalam masyarakat Jawa yang feodalistis, masyarakat Laweyan dikategorikan sebagai kawula sekelas dengan rakyat biasa, meskipun memiliki kekuatan ekonomi dan kekayaan yang tidak jarang melebihi para bangs awan dan priyayi (Soedarmono, 2006).

Masyarakat Laweyan sejak dahulu telah memposisikan diri sebagai kelompok masyarakat yang mandiri, yaitu sebagai kelompok masyarakat pedagang, sehingga masyarakat Laweyan khususnya saudagar batik memilki karakter berbeda dengan para bangsawan dan priyayi keraton. Karakter orang Laweyan berbeda dengan para priyayi keraton, masyarakat Laweyan hanya berfokus pada perdagangan sedangkan para priyayi keraton menjunjung tinggi nilai-nilai feodalisme keraton.

Masyarakat Laweyan menganggap status priyayi lebih rendah daripada para saudagar Laweyan, karena priyayi menerapkan prinsip dan gaya hidup yang

(10)

berfoya-foya dan tidak menghargai uang dalam kehidupan. Secara umum masyarakat laweyan memiliki karakter tertutup dibandingkan dengan masyarakat lainnya. Hal ini yang menyebabkan masyarakat Laweyan termarginalkan dari sistem sosial yang berlaku di keraton dan hanya menempati posisi kawula atau rakyat kebanyakan walaupun kekayaan para saudagar batik Laweyan khususnya melebihi kekayaan para bangsawan keraton (Wawancara bapak Drs.Susanto, M.Hum, 6 Juni 2013). Lebih lanjut lihat CL 2 pada lampiran halaman 208.

Kedudukan masyarakat saudagar batik Laweyan yang secara sosial diklasifikasikan sebagai kawula, menjadikan masyarakat Laweyan membentuk kelompok komunitas yang berlaku untuk komunitas sendiri, pengelompokan sosial dalam kehidupan masyarakat Laweyan dibagi kedalam beberapa kelompok sosial. Dalam hal ini Widayati (mengutip simpulan Sarsono dan Suyatno, l985) menyatakan bahwa:

Secara umum masyarakat Laweyan dapat dikelompokan kedalam tiga kelompok yaitu kelompok wong saudagar (orang pedagang), wong cilik

(orang kebanyakan atau rakyat), wong mutihan (Islam atau alim ulama) dan

wong priyayi (bangsawan atau pejabat). Selain itu dikenal pula golongan saudagar atau juragan batik dengan pihak wanita sebagai pemegang peranan penting dalam menjalankan roda perdagangan batik yang biasa disebut dengan istilah mbok mase atau nyah nganten. Sedang untuk suami disebut

mas nganten sebagai pelengkap utuhnya keluarga (2000: 42).

Kedudukan masyarakat Laweyan yang tidak disejajarkan status sosialnya dengan para priyayi dan bangsawan keraton, walaupun memiliki kekayaan yang melebihi bangsawan kera ton menyebabkan timbulnya masyarakat Laweyan yang bebas merdeka tanpa terikat oleh feodalisme keraton dan cepat berkembang, baik dari segi ekonomi ataupun segi kebudayaan. Oleh karena itu, ketika berkembangnya kebudayaan Indis, masyarakat Laweyan khususnya saudagar batik menajdi pendukung berkembangnya kebudayaan in i, hal ini dilakukan oleh masyarakat saudagar batik pada khusunya sebagai sarana penunjukkan identitas diri dari saudagar Laweyan yang termarginalkan dari sistem budaya feodal keraton.

(11)

4 . Pola Pemukiman Kawasan Kampung Batik Laweyan

Masyarakat dan pemukiman merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya, pemukiman suatu masyarakat cenderung berkelompok, karena kodrat manusia sebagai makhluk sosial pada dasarnya mereka menjalani hidupnya secara berkelompok bersama kelompok masyarakat lainnya.

Pengelompokan permukiman dapat didasarkan atas kesamaan golongan dalam masyarakat, seperti pengelompokan pemukiman dari lapisan sosial tertentu, pengelompokan pemukiman dari profesi tertentu dan pengelompokan pemukiman atas dasar suku bangsa tertentu (Widayati, 2002).

Awal abad ke XX terdapat dua kawasan pemukiman besar di Hindia -Belanda , yaitu Pemukiman -Belanda di bawah pemerintahan gubernur -Belanda, yang mengurus daerah di dalam Benteng dan penduduknya dan pemukiman pribumi yang berada di luar gerbang benteng. Diberlakukannya Politik Etis, yang memperbolehkan pembukaaan perusahaan swasta dan meningkatnya penduduk di pusat kota. Oleh karena itu pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan kebijakan desentralisasi dengan membentuk kota otonom pertama pada tahun 1905 (Jessup, 1985).

Pertambahan penduduk yang cukup cepat dengan kedatangan bangsa Kolonial Belanda , berpengaruh terhadap kota-kota dan pola pemukiman di Pulau Jawa termasuk di Surakarta. Sarana dan prasarana kota lama sudah tidak dapat menampung lagi pertambahan penduduk dan kemajuan jaman. Pola pemukiman yang dibentuk oleh kolonial Belanda ditandai dengan mengambil prototype dari tata kota lama dengan alun-alun sebagai cirinya dan menjadikan alun-alun sebagai pusat kekuasaan administrasi kolonial Belanda dengan membangun benteng. Hal ini sebagai upaya dapat lebih mengontrol kepentingan ekonomi kolonial Belanda (Handinoto & Paulus, 1996).

Struktur kota kolonial telah direncanakan dan tumbuh berdasarkan asumsi bahwa suku dan asal etnis merupakan prin sip utama dari organisasi sosial. Sistem pemisahan etnis dikombinasikan dengan kekhususan pemukiman, baik diantara maupun di dalam kelompok etnis. Meskipun ada pemusatan orang-orang berstatus sosial tinggi dan rendah dalam masing-masing kelompok, namun tidak pernah ada

(12)

f c d b a e Keraton sebagai Titik Sentral

percampuran menyeluruh antara suku-suku bangsa dan kelas sosial. Karena pemisahan pemukiman menjadi pedoman pokok, orang-orang dari kelompok etnis yang sama tapi berlainan status sosial ekonomi, cenderung tinggal berdekatan. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk meredam konflik antar etnis.

Melihat pola pemukiman yang dibentuk oleh Kolonial Belanda, secara umum pemukiman di wilayah Surakarta terbagi kedalam enam kawasan spesifik. Kawasan-kawasan tersebut terletak mengelilingi keraton, karena keraton merupakan titik pusatnya. Hal ini diperkuat dengan pendapat Widayati bahwa, “secara makro wilayah kota Surakarta dapat dibagi ke dalam beberapa satuan ruang spesifik, yaitu Kawasan Pecinan, Kawasan Arab, Kawasan Santri, Kawasan Ningrat, Kawasan Peja galan, dan Kawasan Pengrajin” (2002 : 8). Berikut digambarkan peta kawasan spesifik wilayah Surakarta

Gambar 4.1. Peta Letak Kawasan Spesifik Wilayah Surakarta. a. Kawasan Pecinan; b. Kawasan Arab; c. Kawasan Santri; d. Kawasan Ningrat; e. Kawasan Pejagalan; f. Kawasan Pengusaha Batik

(13)

Kawasan Pecinan ada di Kampung Balong, kawasan Arab ada di Pasar Kliwon, Kawasan Santri ada di Kauman, Kawasan Ningrat ada di Jero Beteng, Kawasan Pejagalan di Kampung Pejagalan, Kawasan pengrajin ada di Kampung Laweyan. Pada masa kejayaan keraton Kasunana n Surakarta Hadiningrat, kawasan-kawasan tersebut memiliki kontribusi yang cukup besar dalam perekonomian keraton.

Kawasan Laweyan apabila dilihat dari letak kawasan, terletak pada pinggiran kota Surakarta, yang apabila ditinjau dari struktur kotanya merupakan suatu kawasan kantong atau kawasan enclave, kawasan atau enclave secara administratif tidak mungkin akan berkembang dibandingkan dengan kawasan lain yang berada dekat dengan pusat pemerintahan, dan kawasan Laweyan termasuk kedalam pola pemukiman kawasan pengrajin karena masyarakat Laweyan adalah para pengrajin batik, baik batik cap ataupun batik tulis.

Pola pemukiman Laweyan terbentuk seperti pola papan catur (gird). Pola papan catur ditandai dengan sirukluasi jala n dan gang yang membentuk pola kotak-kotak seperti papan catur. Sirkulasi jalan yang berada di kampung Laweyan sendiri di bagi kedalam tiga pola atau sirkulasi jalan, yaitu jalan utama, jalan pemukiman dan jalan gang. Pola penataan ruang kawasan Laweyan, ditinjau dari sisi tata ruang kawasan, dipengaruhi oleh keterikatan hubungan antara pekerja dan pemilik batik. Sisi jalan utama merupakan perumahan para saudagar batik, sedangkan kawasan belakang merupakan kawasa n perumahan pekerja batik. Tatanan ini memberikan kemudahan bagi pebatik untuk bekerja sambil menangani tugas rumah tangga. (Wawancara Ibu Naniek Widayati, 21 Mei 2013). Lebih lanjut lihat CL 1, pada lampiran halaman 200.

Jalan utama, yaitu jalan yang mele wati kawasan tersebut dan menghubungkan antar kota yang berada di antara kawasan tersebut. Jalan tersebut mempunyai lebar jalan kira-kira 15 meter (jalan Dr.Radjiman sekarang) . Jalan lingkungan, yaitu jalan yang menghubungkan antar sub kawasan atau wilayah di Laweyan, mempunyai lebar kurang lebih 6 meter. Jalan kecil (gang), yaitu jalan yang berada di antara rumah penduduk yang mempunyai lebar sekitar 2,3 meter. Rumah yang berada di Laweyan dikelilingi tembok tinggi dan mempunyai regol

(14)

(pintu masuk ke halaman) yang besar dan kokoh, pada umumnya gang tersebut berada di antara tembok-tembokg (beteng) batas kapling rumah para saudagar batik yang mempunyai ketinggian kurang lebih sekitar 6 meter (Observasi Lapangan, 21 Mei 2013).

Gambar 4. 2. Salah Satu Bentuk Sirkulasi Jala n Gang yang Terdapat di Kawasan Kampung Batik Laweyan.

(Dokumentasi Pribadi, 21 Mei 2013) .

Kehidupan suatu masyarakat tidak dapat dipisahkan dari tempat tinggal atau pemukiman. Biasanya pemukiman masyarakat cenderung berkelompok, karena pada dasarnya manusia dalam masyarakat menjalani kehidupan secara berkelompok.

Pemukiman dalam suatu masyarakat pada dasarnya terbagi kedalam dua pola pengelompokan pemukiman, yakni menurut kepercayaan dan menurut mata pencaharian. Hal ini sejalan dengan pendapat Priyatmono (2004); Widayati (2002) bahwa, pengelompokan permukiman juga bisa terbentuk atas dasar kepercayaan dari masyarakat dan atas dasar sistem teknologi mata pencahariannya. Pengelompokan permukiman tersebut tidak selalu menghasilkan bentuk denah dan pola persebaran yang sama, tetapi tergantung pada latar belakang budaya yang ada.

(15)

Permukiman di kampung Laweyan termasuk ke dalam pemukiman tradisional. Pemukiman tradisional biasanya memilki ciri atupun identitas yang membedakan dengan kam pung lainnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Antariksa (mengutip simpulan Krisna et al, 2005) bawa, permukiman tradisional adalah aset kawasan yang dapat memberikan ciri ataupun identitas lingkungan. Identitas kawasan tersebut terbentuk dari pola lingkungan, tatanan lingkungan binaan, ciri aktifitas sosial budaya dan aktifitas ekonomi yang khas (2011: 5). Kampung Laweyan sebagai pemukiman tradisional memiliki salah satu identitas yang disebutkan di atas, yaitu memiliki aktifitas ekonomi yang khas sebagai pengrajin batik.

Kampung Laweyan sebagai kampung tradisional terbentuk dari banyaknya profesi pedagang dan pengusaha batik, dalam pembagian kelompok pemukiman, Laweyan terdiri dari dua kelompok pemukiman besar, yaitu kelompok pemukiaman saudagar batik dan buruh batik. Kelompok tersebut terbentuk berdasarkan kesamaan etnis dan profesi atau mata pencaharian yaitu produksi batik.

Wilayah kampung Laweyan merupakan suatu perkampungan yang memiliki penduduk homogen dalam hal mata pencaharian yaitu pengusaha dan pekerja industri batik. Secara keseluruham, luas wilayah kampung Laweyan adalah 24,83 Ha, dengan pembagian wilayah terdiri dari 20,56 Ha tanah pekarangan dan bangunan, sedang yang berupa sungai, jalan, tanah terbuka, kuburan seluas 4,27 Ha.

Pola pemukiman berbentuk grid atau pola papan catur disebabakan adanya pembagian persil tanah kawasan Laweyan antara saudagar batik besar, sedang dan buruh batik. Secara garis besar, pembagian persil tanah kawasan Laweyan, di bagi kedalam tiga bagian tanah persil, yaitu persil untuk juragan dan untuk buruh batik, jenis persil rumah di Laweyan secara garis besar terdiri dari persil rumah juragan batik besar seluas 1000 m²-3000 m² , persil rumah juragan batik sedang antara 300 m²-1000 m², persil milik buruh batik antara 25 m²-100 m².

Besaran persil tanah yang dimiliki menunjukkan tingkat kekayaan dari masyarkat Laweyan pada umumnya dan saudagar batik pada khususnya. Semakin

(16)

besar persil tanah yang dimiliki menunjukkan semaikin sukses saudagar tersebut dalam perdagangan batik. Pembagian persil tanah, pada pemukiman di Laweyan menyebabkan pola pemukiman pada kampung Laweyan membentuk jaringan-jaringan jalan yang membentuk blok-blok seperti papan catur atau pola grid dan seakan tertutup dari lingkungan masyarakat sekitarnya . Blok-blok perumahan tersebut biasanya dimilki oleh para saudagar batik Laweyan yang memilki persil tanah cukup luas.

Sistem kisi-kisi atau pola gird, mengandaikan suatu bidang dibentuk sedemikian rupa oleh jaringan-jaringan jalan sehingga blok-blok yang ada se perti sebuah papan catur. Pola papan catur adalah pola pemukiman yang berderet seperti papan catur atau kotak-kotak. Pola pemukiman seperti ini hampir sama seperti pola pemukiman rumah di negeri Belanda yang biasa disebut pula grid on patron atau pola papan catur.

Prinsip otonomi dan kegiatan usaha produksi dan perdagangan batik sangat berkaita n dengan pengaturan sistem jalan di kawasan tersebut. Pola tatanan ruang kawasan juga dipengaruhi oleh pola ikatan kekeluargaan, mengingat industri batik merupakan industri rumahan yang erat kaitannya dengan kekerabatan, sebagai hasil dari ikatan perkawinan antar keluarga serta banyaknya pekerja wanita. Dengan sistem seperti ini para wanita Laweyan bisa mengurus rumah tangga walaupun mereka bekerja (Wawancara Ibu Naniek Widayati, 21 Mei 2013). Lebih lanjut lihat CL 1 pada lampiran halaman 200

Pemakaian pola grid on patron secara teoritis, menurut Antariksa (mengutip simpulan Stanislawski, 1946) bahwa pola ini didasa ri atas dua macam pertimbangan. Pertama, adalah alasan efisiensi penggunaan ruang, berkaitan dengan anggapan bahwa bangunan pada umumnya berbentuk persegi

(rectangular). Kedua, adalah alasan berkaitan dengan penyiapan jalan untuk keperluan barisan prosesi memanjang dan lurus (straight processional street).

Pola ini diterapkan baik di kawasan Laweyan sebagai wilayah yang memilki corak yang spesifik , sebagai kawasan yang dihuni oleh masyarakat yang memiliki mata pencahaian sebaga i pengusaha dan pengrajin batik (2011 : 2)

(17)

Elemen kawasan kampung Laweyan dibentuk oleh butiran masa yang saling berdekatan dan membentuk jalan-jalan merupakan ciri lain dari pemukiman tradis ional. Permukiman tradisional biasanya banyak dicirikan dengan munculnya massa bangunan yang mempunyai tampak berupa dinding-dinding tertutup menghimpit dan dikelilingi oleh gang atau jalan sempit .

Pemukiman pengusaha batik berskala besar di kampung Laweyan memiliki masa bangunan rumah yang cukup luas dan besar. Bangunan rumah tersebut biasanya dikelilingi oleh tembok-tembok tinggi. Tembok-tembok yang

mengelilingi kampung Laweyan hampir mirip dengan tembok cepuri yang

mengelilingi keraton Surakarta.

Permukiman tradisional Laweyan, merupakan manifestasi dari nilai sosial budaya masyarakat yang erat kaitannya dengan nilai sosial budaya penghuni pemukiman tersebut, yang dalam proses penyusunannya menggunakan dasar norma-norma tradisi serta ekonomi yang khas.

Pola pemukiman sistem gird, menjadikan kawasan kampung Laweyan seakan tertutup dengan dunia luar dan juga gird bisa dikatakan sebuah upaya merefleksikan budaya masyarakat Laweyan yang termarginalkan dalam stratifikasi sosial para priyayi keraton sebagai suatu kawasan pengrajin dan pengusaha batik yang independen dan mandiri dalam bidang ekonom i. (Wawancara Ibu Naniek Widayati, 21 Mei 2013). Lebih lanjut lihat CL 1 pada lampiran halaman 200.

Pola tata ruang pemukiman berbentuk gird tersebut juga merupakan akibat dari peran pembatik yang mayoritas adalah wanita, dimana pekerja batik wanita membutuhkan akses yang dekat dan mudah antara rumah dengan tempat kerja , supaya dapat bekerja sekaligus mengurus rumah tangga. Ditinjau dari persaingan dagang, keamanan terhadap kekayaan maupun rahasia perusahaan, secara fisik melahirkan bentuk bangunan yang tertutup. Dengan kata lain, bukti morfologi kawasan Laweyan yang mayoritas adalah pengusaha dan pekerja batik, dan pola pemukiman yang berbentuk sistem grid merefleksikan budaya masyarakat yang independen dan sistem mata pencaharian sebagai pengusaha batik .

(18)

B. Hasil Penelitian

1 . Latar Belakang Masuknya K e budayaan Indis di Laweyan a. Latar Belakang Masuknya Kebudayaan Indis di Surakarta

Surakarta merupakan salah satu wilayah bekas ibu kota dari kerajaan Mataram Islam. Surakarta terbentuk karena adanya suatu perjanjian yang dikenal dengan perjanjian Giyanti sekitar tahun 1755. Perjanjian Giyanti merupakan suatu perjanjian yang digunakan Belanda sebagai strategi memecah kerajaan Mataram Islam menjadi dua bagian wilayah yakni, Kasunanan Surakarta Hadiningrat, di bawah pemerintahan Paku Buwana dan Kasultanan Yogyakarta di bawah pemerintahan Hamengkubuwana. Setelah pemisahan tersebut kedua wilayah disebut dengan nama vorstenlanden yang berarti daerah kerajaan Jawa (Larson, 1990).

Wilayah vorstenlanden mempunyai otoritas sendiri dalam mengatur

wilayahnya, termasuk dalam mengatur sistem pemerintahan dan sebagai pusat dari kebudayaan Jawa, walaupun masih dalam pengawasan pemerintah kolonial Belanda .

Otoritas sendiri dalam mengatur wilaya h memunculkan suatu pengaruh yang cukup besar dalam bidang kebudayaan, khususnya kebudayaan Jawa. Kebudayaan Jawa yang berkembang di dalam keraton memancarkan pengaruhnya ke segala penjuru kerajaan, termasuk ketika kebudayaan Eropa (Belanda) masuk ke dalam lingkungan keraton.

Surakarta sebagai pusat kerajaan memiliki penduduk yang heterogen.

Prularisme penduduk mengakibatkan adanay pengelompokan sosial di kalangan masyarakat Surakarta berdasarkan etnis dan kelompok mata pencaharian. Secara umum, masyarakat Surakarta pada masa kolonial, terbagi kedalam tiga kelompok besar yaitu orang Jawa yang tinggal di pedesaan, orang Eropa yang kebanyakan adalah orang-orang Belanda, orang Cina dan Arab yang tinggal di kota-kota (Suhartono, 1991).

Perkembangan penduduk di kota Surakarta merupakan dampak dari kebijaksanaan dari politik etis yang diterapkan Belanda. Politik etis menyebabkan

(19)

berkembangnya perusahaan swasta seperti perkebunan, pelayaran, pe rkeretaapian yang memerlukan banyak tenaga kasar, tenaga menengah maupun tenaga professional dan urbanisasi besar-besaran dari bangsa Belanda ke wilayah pedalaman. Situasi yang demikian mengakibatkan bertambahnya penduduk Surakarta dan perkembangan lokasi hunian (Qamarun dan Prayitno, 2007).

Berikut disajikan tabel perkembangan penduduk Surakarta selama kurun waktu tahun 1900-1930 :

Tabel 4.2 Perkembangan Penduduk Surakarta Tahun 1900 -1930

(Sumber : Suhartono, 1991: 196; Prasangka, 2005: 22)

Penduduk Surakarta meningkat dari tahun ketahun seiring de ngan perkembangan kota tersebut. Golongan penduduk Eropa sebagai penguasa jumlahnya tidak terlalu banyak jika dibandingkan golongan Cina dan golongan pribumi. Jumlah golongan pribumi (Jawa) di Surakarta , menduduki jumlah yang terbanyak namun demikian dalam struktur kolonial golongan ini menempati posisi paling bawah, karena berlakunya sistem strtifikasi masyarakat yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial dan hanya beberapa persen saja yang menduduki posisi lebih baik , yakni golongan elit pribumi yang memiliki hubungan dekat dengan pejabat pemerintah kolonial Belanda.

Masyarakat urban di Hindia Belanda secara umum dikelompokan menjadi tiga kelompok besar, yang terdiri dari golongan pribumi, golongan Eropa, dan golongan Cina dan Arab. Hal ini berkaitan dengan pendapat Handinoto (1994), yang menyatakan bahwa:

Tahun Jawa Eropa Cina Arab dan Melayu Lain -lain Jumlah

1900 1.499.438 3.637 9265 171 262 1.512.773

1905 1.557.996 3.335 11.725 - - 1.593.056

1917 2.042.954 3.919 13.997 - - 2.060.870

1920 2.029.843 5.003 14.701 - - 2.049.547

(20)

Masyarakat urban pada jaman kolonial di Hindia Belanda pada umumnya terbagi menjadi 3 kelompok. Kelompok pertama adalah golongan pribumi yangmerupakan penduduk asli setempat. Kelompok kedua sering disebut sebagai“vreemde oosterlingen” (Timur Asing), yang terdiri atas orang Cina, Arab serta orang Asia la innya. Sedangkan kelompok yang ketiga golongan orang Eropa. Golongan orang Eropa terdiri dari masyarakat Indo-Eropa atau sering disebut sebagai masyarakat Eurasia dan orang Belanda totok (hlm. 2).

Stratifikasi masyarakat pada masa kolonialisme Belanda menempatkan pejabat Belanda dan orang Eropa termasuk didalamnya adalah pengusaha Eropa berada pada lapisan pertama, kemudian disusul oleh bangsa timur asing yaitu golongan saudagar Cina dan Arab, serta yang terakhir adalah golongan pribumi. Dalam hal perkembangan budaya Indis di Hindia-Belanda pada umumnya dan Surakarta pada khusunya , golongan pejabat Belanda, pengusaha Eropa serta para sauda gar Cina dan Arab menjadi pendukung utama lahir dan berkembangnya budaya Indis.

Kebudayaan Indis merupakan bagian dari kebudayaan urban pada abad ke XVII dan XVIII, yang melanda mayoritas rumah tangga di Batavia dan kota-kota besar kolonial lainnya di Jawa. Handinoto (1994); Soekiman (2000) menyatakan bahwa, kebudayaan Indis berkembang di Hindia Belanda diawali oleh kebiasaan hidup membujang dan membawa istri dari para pegawai Belanda, prototype dari kebudayan Indis tumbuh akibat hubungan dari laki-laki Eropa yang mengambil

gundik para pembantu rumah tangga wanita Indonesia (Nyai), yang kemudian membentuk keluarga .

Perkembangan budaya Indis di Jawa, pada awalnya hanya didukung oleh para pejabat kolonial, pemilik perkebunan, saudagar Cina dan Arab, dan sebagian

abdi dalem dan bangsawan keraton yang memiliki kecukupan harta untuk melakukkan gaya dan pola hidup Indis. Seiring masuknya modal swasta pada bidang-bidang pertanian dan perkebunan maka budaya indis tumbuh subur di lingkungan perkebunan dan mulai menjamur dikalangan masyarakat luas.

Proses perkembangan kebudayaan Indis di Jawa pada umumnya dan Surakarta pada khususnya, berlangsung cukup intensif dan lama, serta menghasilkan wujud kebudayaan yang unik, khususnya dalam bidang arsitektur

(21)

Indis yang tidak terdapat pada daerah koloni lain di Hindia -Belanda. Proses perkembangan kebudayaan Indis di Jawa, dapat digambarkan sebaga i berikut :

Bagan. 4.1. Proses Akulturasi dari Kebudayaan Indis antara Kebudayaan Belanda- Jawa.

(Sumber: Djoko Soekiman, 2000 : 43)

Selama awal abad ke IXX, kebudayaan tersebut terlihat jelas pada kehidupan keluarga pejabat sipil Eropa, pejabat angkatan bersenjata serta opsir bawahannya, pengusaha yang hidup di kota -kota dan para tuan tanah. Kebudayaan Indis juga dianut pada keluarga opsir peranakan Cina, yang kaya dan bahkan beberapa juga terlihat pada tuan tanah orang Arab yang tinggal di kota-kota besar (Handinoto, 1994) .

Tumbuh dan berkembangnya kebudayaan dan gaya hidup Indis di lingkungan perkebunan karena pada saat itu, terjadi kontak langsung antara pemilik perkebunan dan pekerja yang mayoritas pribumi, dan secara langsung

Kebudayaan Indis Cendikiawan Rohaniawan Arsitek Seniman Guru, dsb Local Genius Proses Akulturasi

Pengalaman para mahasiswa Indonesia di Belanda

Penguasa Kolonial, pedagang, serdadu, cendikiawan Belanda

Lingkungan Alam Indonesia Tujuh Unsur Kebudayaan : 1. Bahasa 2. Peralatan dan perlengkapan hidup 3. mata pencaharia n 4. sistem kemasyarakatan 5. kesenian 6. kesenian 7. religi Masyarakat Budaya Indonesia

(22)

pekerja pribumi dapat meniru pola dan gaya hidup Indis majikannya dengan didukung oleh ekonomi yang baik. Kehidupan sosial dan ekonomi yang rata -rata lebih baik dibandingkan dengan masyarakat pribumi memungkinkan para pendukung kebudayaan Indis untuk dapat ber gaya hidup mewah.

Peranan pemerintah kolonial Belanda semakin penting dalam struktur pemerintahan keraton Surakarta Hadiningrat, ketika di tempatkan seorang R esiden di wilayah Surakarta. Ditempatkannya seorang Residen di wilayah Surakarta mengakibatkan posisi Belanda sebagai penguasa dalam bidang politik keraton menjadi semakin penting, selain itu kebijakan politik baru setelah berakhirnya politik tanam paksa yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda yakni sekitar tahun 1870, berdampak pada perubaha n-perubahan dalam tata pemerintahan, tata kota, pola pemukiman, gaya arsitektur bangunan dan masuknya kebudayaan barat melalui tradisi pesta, musik dan agama.

Dengan kata lain, perkembangan kebudayaan Indis di kalangan bangsawan keraton dilatarbelakangi oleh kedekatan bangsawan keraton dengan pemerintah kolonial belanda dan didukung kekayaan bangsawan yang menganggap bisa meniru pola hidup bangsa Eropa, sehingga meraka mulai meniru gaya dan pola hidup, seperti mengadakan pesta penjamuan makan malam, dansa, rekreasi serta arsitektur rumah yang digunakan oleh bangsa Belanda di adaptasi oleh bangsawan keraton. (Wawancara Bapak Drs.Susanto, 6 Juni 2013). Lebih lanjut liat CL 2 pada lampiran halaman 208.

Pembukaan daerah pedalaman sebagai daerah perkebunan swasta secara tidak langsung meningkatkan kebutuhan tenaga kerja di wilayah pedalaman pada sekitar abad IXX, serta faktor kedekatan politis antara penguasa lokal dengan pemerintah Kolonial Belanda, menjadi embrio dari lahir dan berkembangnya kebudayaan Indis di Surakarta, yang di dukung oleh sebagian besar bangsawan dan priyayi Jawa.

Pendukung kebudayaan Indis dikalangan priyayi dan bangsawan berupaya menjaga prestise dan kedudukan melalui berbagai cara agar dapat dibedakan dengan kelompok-kelompok masyarakat lainnya. Dalam pandangan hidup sehari-hari, pendukung kebudayaan Indis di tembok istana (keraton) dipengaruhi oleh

(23)

pandangan hidup yang berakar pada dua budaya, yaitu Eropa dan Jawa. Kewibawaan, kekayaan, dan kebesaran ditampilkan agar tampak lebih daripa da masyarakat kebanyakan, hal demikian dimaksudkan untuk menjaga kelangsungan sebagai penguasa.

Kebudayaan Indis yang berkembang di Surakarta pada awalnya hanya mempengaruhi pola dan gaya hidup bangsawan Jawa tetapi seiring berjalannya waktu, kebudayaan Indis juga mempengaruhi segala aspek kehidupan, misalkan mela lui media pendidikan, hubungan pekerjaan, perdagangan, dan lain sebagainya. Terlebih dengan adanya priyayi baru, yaitu para terpelajar yang mendapatkan pendidikan di lingkungan colonial. Selain gaya hidup dengan berbagai aspeknya, bangunan rumah tinggal mendapat perhatian dalam perkembangan budaya Indis, karena rumah tempat tinggal merupakan ajang kegiatan sehari-hari.

Ekspansi kekuasaan kolonial yang dimulai pada abad ke IXX, merupakan gerakan kolo nialisme yang membawa dampak perubahan bukan hanya dibidang politik dan sosial saja , tetapi juga melatarbelakangi perkembangan kebudayaan baru yaitu kebudayaan Indis di Surakarta. Akibat dari perkembangan kebudayaan Indis di Surakarta, terjadi perubahan yang cukup signifikan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat pendukung kebudayaan Indis khusunya kalangan bangsawan dan priyayi keraton.

Perkembangan kebudayaa n Indis ke wilayah pedalaman Surakarta di dukung oleh kedekatan raja dengan petinggi-petinggi pemeritah kolonial Belanda yang kemudian di ikuti oleh para bangsawan dan priyayi Jawa. Perkembangan kebudayaan Indis di Surakarta selain di dukung oleh kedekatan raja dan bangsawan keraton dengan pejabat kolonial Belanda, terlebih setelah ditempatkannya seorang residen di Surakarta juga terjadi karena adanya perkembangan kota , perluasan perkebunan swasta dan berkembangnya kaum terpelajar sebagai kaum priyayi baru yang mengenyam pendidikan Belanda .

(24)

b. Latar Belakang Masuknya Kebudayaan Indis di Laweyan

Sejarah Laweyan diawali oleh Pasar Laweyan dan Bandar Kabanaran yang merupakan pusat perdagangan lawe (bahan baku tenun) yang sangat ramai. keberadaan kampung Laweyan sudah berada sejak sebelum keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat berada, tepatnya pada masa kerajaan Pajang. Bahan baku kapas pada saat itu banyak dihasilkan dari Desa Pedan, Juwiring, dan Gawok yang masih termasuk daerah Kerajaan Pajang. Semasa Kerajaan Pajang sekitar tahun 1546, Laweyan terkenal sebagai daerah penghasil tenun dan bahan sandang (Mlayadipuro, 1981).

Kampung Laweyan dengan Pasar Laweyan (sekarang terletak di antara Kampung Lor Pasar Mati dan Kidul Pasar Mati serta di sebelah timur Kampung Setono, Kelurahan Laweyan) dan Bandar Kabanaran (sekarang terletak di selatan Kampung Lor Pasar Mati dan merupkan batas wilayah kota Surakarta dan kabupaten Sukoharjo) dahulu merupakan pusat perdagangan dan penjualan bahan

baku tenun (lawe) yang ramai dan strategis, letak yang strategis ini

memungkinkan wilayah Laweyan menjadi pusat peradagangan masa itu.

Perkembangan kampung Laweyan tidak terlepas dari letak Laweyan yang terletak diantara dua sungai yaitu, yakni terletak diantara sungai Premulung (sungai ini telah mati sekarang) dan sungai Kabanaran. Sungai Kabanaran terdapat sebuah bandar sebagai salah satu bandar yang berada di jalur perdagangan sungai Bengawan Solo .

Bandar Kabanaran merupakan salah satu dari 44 bandar yang dimiliki Bengawan Solo. Disebut bandar Kabanaran karena terletak di tepi sungai Kabanaran atau sungai Jenes sekarang. Melalui Bandar dan sungai Kabanaran, memungkinkan para pengusaha atau saudagar di Laweyan lebih cepat memasarkan produknya ke bandar besar Nusupan yang berada di tepi Bengawan Solo. (Wawancara bapak Alpha Febela Priyatmono, tanggal 4 September 2013). Lebih lanjut lihat Catatan Lapangan 3, pada lampiran halaman 211. (Selanjutnya, dalam kalimat disingkat menjadi CL 3).

Industri batik berkembang pesat di Laweyan setelah ditemukannya teknik pembuatan batik cap yang ditemukan juragan batik di Semarang. Pada awalnya,

(25)

Laweyan terkenal sebagai pusat dari perdagangan lawe, kemudian berkembang menjadi pusat perdagangan tenun tradisional dan pembuat mori sampai akhirnya, Laweyan bermetamorfosis, menjadi salah satu sentra industri batik cap di Surakarta.

Perkembangan usaha pembuatan batik cap di Laweyan dimulai sekitar pertengahan abad ke IXX dan marak mulai sekitar tahun 1870, pada tahun tersebut para pengusaha batik di Laweyan mendirikan tempat usaha dalam skala besar. Hampir keseluruhan dari masyarakat Laweyan pada waktu itu, bekerja di sektor industri batik, baik sebagai juragan atau saudagar, pedagang maupun sebagai buruh batik (wawancara Bapak Alpha Febela Priyatmono, tanggal 4 September 2013). Lebih lanjut lihat CL 3 pada lampiran halaman 211.

Industri batik cap di wilayah Surakarta terjadi sekitar abad ke IXX. Perkembangan industri batik cap merupakan penanda zaman modal kedua, yang dibagi dalam dua tahap yaitu, sekitar tahun 1850-an dan 1870-an. Tahun tahap pertama ketika diperkenalkannya alat untuk batik cap dan tahap kedua ketika menghebatnya penetrasi perkebunan Belanda ke pedesaan. Pada tahun-tahun tersebut hampir seluruh wilayah di Surakarta telah memiliki spesialisasi produk batik masing-masing, seperti Kauman, Keprabon dan Pasar Kliwon yaitu membuat batik halus, sedangkan di Tegalsari dan Laweyan membuat batik cap. Sehingga pada sekitar abad ke IXX hingga memasuki abad XX, Surakarta menjadi pusat utama dari industri batik (Shiraishi, 2005).

Perkembangan industri batik cap yang berkembang di Laweyan, berawal dari inovasi teknologi stempel atau cap batik yang diciptakan oleh seorang juragan batik di Semarang pada tahun 1915, yang kemudian ditiru dan diaplikasikan dalam proses produksi batik di Laweyan. Teknologi batik cap dipilih oleh saudagara batik Laweyan karena dapat melipatgandakan produksi, proses membatik lebih sederhana, tahap produksi lebih pendek, waktu produksi lebih cepat dan biaya lebih rendah daripada industri kerajinan batik tulis (Sariyatun, 2005).

Perkembangan Industri batik di Laweyan, di samping telah ditemukannya teknik pembuatan batik dengan metode cap juga karena adanya keistimewaan

(26)

tersendiri dalam kain batik, karena batik menjadi busana wajib bagi raja dalam kegiatan formal kerajaan, sehingga industri batik cepat berkembang pada sekitar awal abad XX. Selain itu, sejumlah permintaan dari para konsumen daerah terhadap batik menyebabkan batik menjadi barang konsumtif bagi rakyat kebanyakan.

Komunitas saudagar batik Laweyan mengkhususkan diri pada produksi batik cap untuk konsumsi massa. Industri batik cap di Laweyan mengalami kejayaan antara tahun 1910 sampai tahun 1930, dalam kurun waktu itu saudagar batik Laweyan, terus menerus mengembangkan identitasnya ke dalam masyarakat saudagar sehingga industri batik di Laweyan berkembang pesat dan sulit ditemukan tandingan terutama di daerah pedalaman Jawa Tengah-Selata n, bahkan produksi batik di Kota Surakarta hampir 85 % berada di tangan saudagar batik Laweyan (Soedarmono, 2006) .

Perkembangan masyarakat pada awal abad XX sangat diwarnai oleh aktivitas ekonomi, termasuk sektor perkebunan. Pemerintah kolonial Belanda sebagai penguasa menyediakan sarana dalam menunjang kelancaran aktivitas ekonomi masyarakat, salah satusarana yang terkait dengan kedudukan ekonomi suatu daerah adalah menyediakan sarana transportasi transportasi.

Transportasi yang digunakan adalah kereta api. Transportasi kereta api, sebagai alat pengangkutan hasil-hasil produksi dari daerah pedalaman kedaerah pantai, memegang peranan penting yang kemudian akan menentukan kalancaran sirkulasi hasil-hasil produksi, termasuk dalam distribusi produksi batik.

Kelancaran transportasi semakin menunjukkan tingkat perkembangan tersendiribagi daerah yang bersangkutan, termasuk didalamnya adalah adalah keuntungan yang didapat oleh saudagar batik Laweyan dengan tersedianya transportasi kereta api. Hadirnya jalur kereta api milik perusahaan NIS (Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij) di Surakarta, dapat mempercepat distribusi batik juga mempengaruhi perkembangan industri batik di wilayah Surakarta pada umumnya dan Laweyan pada khususnya (Hastuti,2011).

Masyarakat saudagar batik Laweyan adalah masyarakat saudagar, dimana dalam aktifitas perdagangan telah melakukan hubungan dengan para pedagang

(27)

dari berbagi suku budaya. Kontak budaya dengan berbagai pedagang baik lokal maupun manca negara berakibat pada pola pikir dan pandangan hidup masyarakat Laweyan dalam mewujudkan cita-cita.

Masyarakat Laweyan menjadi saudagar yang berwawasan luas, khususnya gaya hidup yang berbeda dengan masyarakat Laweyan di sekitarnya, sehingga lambat laun masyarakat saudagar batik Laweyan terpengaruh kebudayaan Indis yang sebelumnya telah lebih dahulu berkembang di lingkungan keraton.

Kebudayaan Indis, berkembang di Laweyan bisa dilihat dari faktor geografis Laweyan itu sendiri. Secara geografis kampung Laweyan merupakan suatu wilayah yang sejak masa kerajaan Pajang terkenal dengan pusat pedagangan lawe, pusat peradagangan terpusat di Sungai Jenes atau Sungai kabanaran sekarang dimana sungai tersebut terhubung dengan Sungai Bengawan Solo, di wilayah tersebut terdapat bandar dagang yaitu Bandar Kabanaran yang terhubung dengan bandar besar di Nusupan, posisi yang sangat starategis secara geografis jika ditinjau dari segi masa lalu karena transportasi sungai pada masa lalu merupakan alat transportasi utama masyarakat.

Letak geografis wilayah Laweyan yang di lintasi jalur perdagangan ini memungkinkan masuknya dan berkembangnya kebudayaan baru, termasuk kebudayaan indis beserta hasil-hasilnya berupa arsitektur bangunan rumah. Tipikal masyarakat saudagar batik yang berjiwa pedagang ditambah keuntungan yang besar dalam berdagang batik sekitar abad akhir abad 19 dan awal abad 20 menjadikan cepat berkembangnya budaya Indis di Laweyan khususnya arsitektur rumah Indis.

Kontak perdagangan antara saudagar batik dengan para pedagang dari berbagai bangsa menyebabkan saudagar batik mempunyai wawasan yang cukup tinggi tentang kebudayaan Eropa, terutama mengenai arsitektur luar negeri. Wawasan itu lantas diterapkan saudagar batik Laweyan untuk membangun rumah-rumah yang meniru rumah-rumah-rumah-rumah pejabat kolonial berarsitektur Indis beserta

kelengkapannya yang mewah dan mahal. (Wawancara Bapak Mohammad

Muqqofa, tanggal 8 Juli 2013). Lebih lanjut lihat CL 4 pada lampiran halaman 215.

(28)

Kontak kebudayaan dari adanya perdagangan dan faktor kekayaan dari hasil berdagang batik tersebut berdampak pada terpengaruhnya masyarakat Laweyan oleh kebudayaan Indis , khususnya dalam perkembangan arsitektur rumah tinggal bergaya Indis. Rumah saudagar batik yang awalnya menggunakan material kayu dengan arsitektur Jawa, berubah menjadi bangunan loji mirip bangunan rumah milik pejabat Kolonial Belanda.

Kehidupan masyarakat Jawa jauh sebelum kedatangan bangsa Kolonial Belanda, telah mengenal adanya sistem starfikasi sosial dalam kehidupa n masyarakatnya. Secara umum, masyarakat Jawa terdiri dari tiga lapisan masyarakat yaitu raja, priyayi dan kawula. Raja sebagai penguasa merupakan pusat hiearki tertinggi.

Stratifikasi sosial masyarakat Jawa menempatkan masyarakat Laweyan sebagai kaum kawu la atau rakyat kebanyakan, walaupun kekayaan masyarakat saudagar Laweyan melebihi kekayaan para bangsawan keraton tetapi masyarakat saudagar Laweyan termarginalkan baik dari status maupun dari kebudayaan. Hal ini dipertegas dengan pendapat (Soedarmono, 2006).

Masyarakat saudagar batik Laweyan yang posisinya sejajar dengan rakyat biasa, tidak terikat pada adat yang membatasi ruang gerak. Saudagar batik Laweyan dalam kehidupan masyarakat lebih bebas dalam menentukan pilihan dan tidak terikat oleh ikatan feodal, hiearki dan simbolisme yang ada di keraton, termasuk di antaranya dalam membangun rumah tinggalnya. Simbol dan hierarki itu makin ke bawah makin luntur. Karenanya, wong cilik termasuk saudagar batik Laweyan terhindar dari sistem simbol dan hierarki itu, bukan karena sengaja menghindar tetapi simbol dan hierarki itu memang secara samar-samar saja sampai kepada saudagar batik (Kuntowijoyo, 2003).

Posisi masyarakat saudagar batik Laweyan sebagai kawula menyebabkan saudagar batik Laweyan tidak temasuk ke dalam lingkup stratifikasi sosial keraton dan tidak memiliki kedudukan kultural yang dianggap terhormat dalam masyarakat Jawa yang feodalistis , walaupun memiliki kekuatan ekonomi dan kekayaan yang tidak jarang melebihi para bangsawan dan priyayi.

(29)

Saudagar batik Laweyan dalam menjalani kehidupannya masih meniru konsep dari para priyayi mulai dari pakaian, rumah dan cara hidup priyayi, hal ini dikarenakan keraton karena masih terikat dengan perdagangan batik dan merasa mampu secara ekonomi. Dalam hal ini masyarakat Laweyan bisa dikatakan

“ambigu” dalam menjalani kehidupannya, disisi lain masyarakat saudagar batik Laweyan merupakan para saudagar yang tidak terikat stratifikasi sosial keraton dan hanya berfokus pada perdagangan batik, tetapi di sisi lain masyarakat Laweyan meniru pola hidup dan kebudayaan para priyayi keraton (wawancara Ibu Naniek Widayati, 21 Mei 2013). Lebih lanjut lihat CL 1 pada lampiran halaman 200.

Sebagai kelompok yang sekelas dengan rakyat, para saudagar batik Laweyan tentu saja memiliki orientasi terhadap kelompok lain yang memiliki otoritas di dalam masyarakat. Pada awalnya para saudagar batik Laweyan ingin menandingi bentuk rumah-rumah para bangsawan, oleh karenanya tempat tinggal para saudagar batik Laweyan yang di bangun sebelum abad XX pada umumnya mengacu pada tempat tinggal kaum aristokrat dengan segala perangkatnya.

Perkembangan industri batik di Surakarta sekitar abad XX, menyebabkan saudagar batik memilki keuntungan yang besar. Keuntungan yang besar dalam berdagang batik, menyebabkan para saudagar batik perlu menunjukan identitasnya sebagai pribadi yang mandiri.

Penunjukkan identitas saudagar batik Laweyan yakni dengan mulai berani membuat banguan rumah loji tiruan seperti layaknya tempat tinggal orang-orang Eropa dengan segala macam atributnya yang sering tidak sesuai dengan lingkungannya. (wawancara Ibu Naniek Widayati, 21 Mei 2013). Lebih lanjut lihat CL 1 pada lampiran halaman 200.

Saudagar batik Laweyan membangun rumahnya tidak sekedar untuk pamer kekayaan belaka, tetapi bisa be rmakna sebagai perlawanan baik terhadap pemegang otoritas kultural maupun terhadap para penguasa politik dan ekonomi riil yaitu keraton. Pembangunan rumah saudagar batik Laweyan, tidak terikat pada aturan tata ruang Jawa yang ada namun masih memasukkan uns ur-unsur Jawa sebagai komponennya baik sebagian ataupun seluruhnya walaupun bentuk rumah

(30)

berarsitektur Indis , tetapi dalam proses pembuatannya disesuaikan dengan aturan adat yang berlaku. Dalam hal ini adalah aturan dan larangan-larangan yang sudah baku da lam membangun rumah yaitu mengadakan selametan lengkap mulai dari awal pembuatan rumah sampai selesai pembuatan rumah diadakan oleh saudagar batik Laweyan.

Posisi saudagar Laweyan yang dalam sistem sosial masyarakat Jawa di Surakarta pada awal abad ke -20 berada di antara kelas rakyat yang mayoritas petani dan kelas menengah priyayi atau bangsawan keraton, walaupun kekayaan saudagar batik Laweyan melebihi kekayaan bangsawan keraton. Hal ini menyebabkan adanya upaya penunjukan identitas diri yang di lakukan masyarakat saudagar batik di Laweyan untuk mensejajarkan diri dengan derajat priyayi dan bangsawan keraton.

Presepsi menjadi pedagang lebih mulia bagi saudagar batik Laweyan, dibandingkan dengan menjadi bangsawan dan priyayi keraton, karena penuh ide dan bebas serta tidak terikat oleh ke kuasaan feodalisme keraton. Bahkan, saudagar batik Laweyan menganggap rendah status bangsawan keraton karena mereka melakukkan pola hidup boros atau kurang menghargai uang dalam kehidupannya.

Profesi sebagai pedagang mem buat ekonomi berpera n penting bagi kehidupan mereka sehingga kekayaan saudagar batik Laweyan dapat melebihi kekayaan bangsawan keraton, dari sini timbulah suatu “pertempuran” atau persaingan kebudayaan antara masyarakat Laweyan dengan masyarakat yang berada di lingkungan keraton.

Pertempuran yang dimaksud bukanlah pertempuran yang sebenarnya, melainkan pertempuran dalam bidang penunjukkan kekayaan. Dalam gaya hidupnya para saudagar mengacu pada kehidupan para bangsawan keraton Surakarta dan mampu membangun rumah yang mewah layaknya rumah para pejabat Belanda, walaupun masih menggunakan pola ruang dan ornamen dari arsitektur Jawa.

Pola ruang tersebut hanya sebagai prototype dari rumah bangsawan keraton dan rumah masyarakat Jawa pada umum nya. Hal ini menanda kan bahwa komunitas Laweyan adalah orang Jawa sama seperti bangsawan keraton dan

(31)

masyarakat sekitar, dengan kata lain orang Laweyan tidak kehilangan sifat orang Jawa meskipun kebudayaan Indis telah berkembang dikalangan masyarakat Laweyan.

Perkembangan kebudayaan Indis di Laweyan, khususnya dalam perkembangan arsitektur Indis disamping adanya perkemba ngan industri batik yang memberikan keuntungan yang besar bagi saudagar batik, juga dipengaruhi oleh perubahan tata kota dan pola pemukiman yang berada dilingkungan sekitar keraton. (Wawancara Bapak Drs.Susanto, 6 Juni 2013). Lebih lanjut lihat CL 2 pada lampiran halaman 208.

Pola -pola pemukiman di pusat kota menunjukan karakter majemuk, lingkungan perumahan Eropa ditunjukan dengan fasade bangunan rumah yang besar dengan halaman yang luas dan berbentuk loji yang menunjukan status yang paling tinggi sebagai penguasa di Surakarta. Pola pemukiman dan rumah yang di miliki oleh para pejabat Kolonial Belanda yang ditiru dan di adaptasi oleh saudagar batik Laweyan dalam membangun, karena ingin mensejajarkan dengan status bangsawan dan priyayi keraton. Pola dan bentuk rumah loji pada rumah milik pejabat kolonial tersebut , diadaptasi oleh saudagar batik Laweyan pada sekitar tahun 1920-1930an untuk membangun dan merenovasi rumah tempat tinggal yang awalnya hanya rumah berstruktur kayu.

Rumah bagi masyarakat saudagar batik adalah sebagai alat dan sarana untuk mewujudkan cita -cita saudagar batik Laweyan dan penunjukkan identitas diri yang termarginalkan dai status sosial masyarakat feodal. Saudagar batik Laweyan sebagai manusia Jawa yang pergaulannya luas dengan berbagai budaya, kaya dan termarginal, merasakan perlu pengakuan atas keberadaan dan keberhasilan.

Faktor kekayaan yang melimpah dari hasil perdagangan batik, letak lokasi Laweyan yang strategis dan kedekatan saudagar Laweyan dengan bangsa Eropa dalam bidang perdagangan menyebabkan masyarakat saudagar batik Laweyan mulia meniru pola dan gaya hidup bangsa Eropa, hal tersebut menjadi latar belakang lahir dan berkembangnya kebudayaan Indis, terutama aristektur bergaya Indis. (wawancara Ibu Naniek Widayati, 21 Mei 2013). Lebih lanjut lihat CL 1 pada lampiran halaman 200.

(32)

Berkembangnya kebudayaan Indis, khususnya arsitektur Indis di Laweyan merupakan sebuah growing up dari masyarakat saudagar batik yang termasuk kelas kawula dari ikatan stratifikasi dan budaya feodal keraton, hal ini menyebabkan masyarakat saudagar batik Laweyan perlu dalam menunjukan eksistensi dan identitas dirinya sebagai pengusaha dan pantas di pandang. Para saudagar batik bangga dengan identitas kampung, gaya hidup, dan etos kerja, karena hal tersebut menunjukkan status pemiliknya. Bagi saudagar batik kekayaan dapat menyejajarkan status sosial dengan kaum bangsawan keraton.

Bangunan rumah tempat tinggal dengan arsitektur dan interior Indis yang berkembang di Laweyan hadir sebagai jawaban dari orang-orang Laweyan dalam penunjukkan identitas diri. Kekayaan yang melimpah, hasil dari usaha batik, digunakan untuk membangun rumah loji.

(33)

2 . Bentuk Arsitektur dan Ornamen Rumah Bergaya Indis di Laweyan a. Bentuk Umum Arsitekur dan Ornamen Rumah Indis di Surakarta

Kebudayaan Indis beserta hasil-hasilnya berkembang di wilayah

vorstenlanden Surakarta, dilatarbelakangi oleh adanya perkembangan politik di negeri Belanda. Kemenangan kaum liberal di negeri belanda memaksa pemerintahan di negeri koloni melakukan politik etis sebagi balas jasa kepada negeri koloni.

Kebijakan politik baru yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda pada sekitar tahun 1870 an, menyebabkan berkembangnya perusahaan swasta seperti perkebunan, pelayaran, perkeretaapian memerlukan banyak tenaga kasar, tenaga menengah maupun tenaga profesional, kebutuhan tenaga kerja tersebut membawa dampak pembukaan daerah pedalaman. Pembukaaan daera h pedalaman semakin meningkatkan jumlah bangsa Eropa di Surakarta. Peningkatan penduduk Eropa di Surakarta menyebabkan tumbuhnya budaya Indis di lingkungan masyarakat, terutama kalangan bangsawan keraton (Handinoto, 2004).

Kebudayaan Indis yang berkembang di wilayah pedalaman bukan hanya menyangkut pola dan gaya hidup semata, tetapi berpengaruh pula terhadap bentuk arsitektur rumah tradisional, utamanya adalah rumah-rumah milik bangsawan keraton.

Arsitektur Indis merupakan hasil dari proses akulturasi kebudayaan yang belangsung panjang dan intensif antara arsitektur tradisional Jawa dengan arsitektur Eropa. Perkembangan arsitektur di Surakarta sama seperti halnya perkembangan arsitektur di Hindia Belanda yang dibagi kedalam beberapa tahap perkembangan atau periodisasi, arsitektur yang berkembang di Hindia Belanda awalnya masih mencirikan arsitektur negara asal yaitu Belanda, kemudaian lambat laun arsitektur bangunan menyesuaikan dengan alam dan kebudayaan masyrakat Jawa.

Periodesasi arsitektur kolonial di Hindia Belanda pada umumnya dan Surakarta pada khususnya , secara umum menurut Handinoto (mengutip simpulan Helen Jessup, 1984) dibagi ke dalam empat periode sebagai berikut :

(34)

1) Abad 16 - tahun 1800an

Periode ini Indonesia masih disebut sebagai Nederland Indische

(Hindia Belanda) di bawah kekuasaan perusahaan dagang Belanda yang bernama VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). Arsitektur yang berkembang pada periode ini masih memiliki bentuk yang tidak jelas, bahkan kehilangan orientasinya pada bangunan tradis ional di Belanda. Bangunan yang terbentuk berupa persegi panjang yang sempit dengan bentuk atap yang curam, dan yang lebih buruk lagi, bangunan-bangunan tersebut tidak diusahakan untuk beradaptasi dengan iklim dan lingkungan setempat.

2) Tahun 1800 – 1902an

P eriode ini pemerintah kolonial Belanda mengambil alih Hindia Belanda dari perusahaan dagang VOC. Pengambilalihan kekuasaan tersebut akibat dari kekalahan perang dengan Perancis sehingga mengubah kebijakan politik negeri Belanda. Hindia Belanda kemudian sepenuhnya dikuasai oleh pemerintah Belanda. Kekuasaan Belanda pada waktu itu bertujuan untuk memperkuat kedudukan ekonomi negeri Belanda. Oleh sebab itu, Belanda pada abad ke -19 harus memperkuat statusnya sebagai kaum kolonialis dengan membangun gedung-gedung yang berkesan grandeur (megah) di Hindia Belanda. Bangunan gedung dengan gaya megah ini dipinjam dari gaya arsitektur neo-klasik, yang sebenarnya berasal dari Perancis dan berlainan dengan gaya arsitektur nasional Belanda waktu itu.

Gaya ini tidak diterapkan secara murni, tetapi digabungkan dengan kondisi iklim dan material bangunan yang tersedia di indonesia. Akhirnya terbentuk sebuah aliran arsitektur tersendiri yang berbeda dari neo -klasik. Aliran ini lebih dikenal dengan sebutan the Empire Style atau The Ducth Colonial Villa.

Ciri dari bangunan dengan gaya the Empire Style atau The Ducth Colonial Villa adalah denah yang simetris, satu lantai dan ditutup dengan atap perisai. Karakteristik lain dari gaya ini diantaranya terbuka. Ciri khas dari gaya arsitektur ini yaitu adanya barisan pilar atau kolom (bergaya

(35)

Yunani) yang menjulang ke atas serta terdapat gevel dan mahkota di atas serambi depan dan belakang. Serambi belakang seringkali digunakan sebagai ruang makan dan pada bagian belakangnya dihubungka n dengan daerah servis.

3) Tahun 1902 - 1920an

Pada periode ini, kekuasaan Perancis di Belanda berhasil ditumbangkan, hal ini berakibat pada adanya kebijakan baru dalam politik Belanda untuk daerah jajahan Hindia Belanda. Kaum Liberal di Belanda meminta pemerintah Belanda melakukan politik balas budi (Politik Etis ) terhadap Indonesia, politik etis ini menyebabkan pemukiman orang Belanda semakin cepat berkembang dan menyebabkan Indis Architectuur (Arsitektur Indis) menjadi terdesak. Ciri khas pada banguan di periode ini adalah memiliki denah tipis, bentuk bangunan ramping agar cross-ventilation mudah diterpakan. Terdapat galeri atau serambi di bagian tepi bangunan untuk menghindari tempias dan sinar matahari.

Bangunan berorientasi utara-selatan agar cahaya ma tahari dapat masuk ke dalam ruangan. Penerapan konsep vernacular telah dilakukan arsitek pada periode ini untuk menyesuaikan bangunan dengan kondisi iklim di Indonesia yang tropis basah.

4) Tahun 1920-1940an

Periode ini ditandai dengan muncul gerakan pembarua n dalam arsitektur, baik nasional maupun internasional di Belanda yang kemudian memengaruhi arsitektur kolonial di Indonesia. Hanya saja arsitektur baru tersebut kadang-kadang diikuti secara langsung, tetapi kadang-kadang juga muncul gaya yang disebut sebagai ekletisisme (gaya campuran), termasuk di dalamnya adalah gaya atau langgam art deco.

Tahun 1920-1940an perkembangan arsitektur yang memadukan unsur tradisional dalam membangun suatu banguna n, hal ini dikarenakan pada masa tersebut muncul arsitek Belanda yang memandang perlu untuk memberi ciri khas pada arsitektur Hindia Belanda, yaitu mengambil budaya lokal Indonesia (1996: 130).

(36)

Kolonialisme Belanda menyebabkan Indonesia mengalami pengaruh

Occidental (Barat) dalam berbagai segi kehidupan termasuk kebudayaan dan beberapa hasil kebudayaan. Hal tersebut antara lain dapat dilihat dalam bentuk kota dan bangunan, pengaruh tersebut ditandai dengan muncul serta bekembangnya bangunan Indis di Indonesia.

Arsitektur kolonial di Indonesia adalah fenomena budaya ya ng unik, tidak terdapat dilain tempat, bahkan pada negara-negara bekas koloni Belanda lainnya. Dikatakan demikian karena terjadi percampuran budaya antara penjajah Belanda dengan budaya Indonesia yang beraneka ragam (Sumaloyo, 1993)

Arsitektur Indis di Hindia-Belanda pada masa VOC, pada awalnya berkembang mengikuti gaya arsitektur Belanda, secara umum rumah-rumah yang dibangun oleh para pejabat pemerintahaan Belanda belum dapat mencirikan arsitektur khas Belanda dan dapat beradaptasi dengan lingkungan ala m dan iklim tropis yang ada di Jawa sehingga buruk bagi kesehatan. Hellen Jessup (1986), menyatakan bahwa;

In these genuinely colonial conditions, Indies architecture of the nineteenth century tended less to reflect its Netherlands roots, as the structures of the transitory VOC traders among many examples of monumental colonial buildings of this type. Had and more to stress the ideas of grandeur commen surate with ruler status. The buildings typifying this period did not draw on the consciously Dutch revivalism (hlm. 139).

(Pada hakekatnya, dalam kondisi penjajahan saat ini, Arsitektur Indis pada abad kesembilanbelas kurang menggambarkan diri mereka sendiri, sebagai pedagang VOC. Banyak contoh monumen bangunan kolonnial Belanda yang cenderung berbeda, dan lebih sering mengeluarkan ide-ide yang menekankan komentar yan bagus dengan berstatment peraturan. Bangunan yang ada pada saat ini tidak lagi dirawat, tanpa disadari oleh orang-orang mereka sendiri) (hlm.139).

Seiring dengan perkembangan waktu, arsitektur Indis di Indonesia mengalami perkembangan sehingga menghasilkan arsitektur yang dapat beradaptasi dengan lingkungan dan alam tropis Indonesia. Adaptasi arsitektur yang paling signifikan muncul dalam desain atap dan façade bentuk bangunan yang besar.

Arsitektur Indis adalah sebuah jawaban dari tantangan alam tropis yang ada di Jawa, penyesuaian iklim disesuaikan dengan bentuk rumah yang dihuni dengan

(37)

alam Jawa. Arsitektur Indis adalah arsitektur perpaduan antara arsitektur Eropa dengan arsitektur Jawa. Penentua n sebuah gaya arsitektur rumah Indis yang berkembang di Jawa, tidak dapat dilihat dari tahun dimana bangunan itu berdiri (wawancara Bapak M. Muqqofa, pada tanggal 8 Juli 2013). Lebih lanjut lihat CL 4 pada lampiran halaman 215.

Arsitektur bangunan rumah di Jawa pada umumnya dan Surakarta pada khusunya, jauh sebelum kedatangaan bangsa Belanda masih menerapkan arsitektur tradisional Jawa. Arsitektur Jawa yang terkenal adalah bentuk rumah joglo, yang tidak lain sebenarnya hanya sebagai salah satu bentuk atap pada rumah jawa bukan bentuk bangunannya.

Atap rumah dalam arsitektur Jawa dijadikan sebuah identitas atau ciri dari pemilik bangunan rumah tersebut dan atap Joglo merupakan gaya atap yang tekenal dalam arsitektur Jawa. Secara umum berkaitan denga n bentuk atap pada rumah tradisonal Jawa dibagi kedalam lima bentuk atap.

Perubahan politik yang terjadi di negeri Belanda menyebabkan adanya suatu tuntutan politik etis dan perkembangan perusahaan swasta, menyebabkan adanya suatu urbanisasi besar -besaran orang-orang Eropa ke Hindia Belanda. Meningkatnya jumla h perusahan bekorelasi terhadap kebutuhan tenaga kerja baik tenaga kasar, menengah ataupun profesional yang dibutiuhkan. Perusahaan-perusahaan swasta asing, mendorong terciptanya golongan sosial baru yaitu golongan priyayi. Golongan baru hasil pengangkatan pemerintah Belanda ini berperan besar pada perkembangan ke budayaan Indis pada awal abad XX.

Meningkatnya status dan kesejahteraan seseorang menuntut adanya perubahan gaya hidup yang baru, seperti penggunaan bahasa, cara berpakaian, cara makan, kelengkapan perabot alat rumah tangga, mata pencaharian hidup, kesenian, kepercayaan atau agama, dan menghargai waktu. Disini terjadi pertukaran yaitu manusia Jawa memasuki lingkungan budaya Eropa dan juga sebaliknya dan merupakan embrio dari kebudyaan Indis di Surakarta, termasuk didalamnya adalah perubahan rumah tinggal dari arsitektur tradisional ke arsitektur yang lebih modern yaitu pembangunan rumah loji.

Gambar

Gambar 4.1.   Peta  Letak  Kawasan Spesifik Wilayah Surakarta.  a. Kawasan  Pecinan; b
Gambar 4. 2. Salah  Satu Bentuk  Sirkulasi Jala n Gang yang Terdapat di Kawasan  Kampung Batik Laweyan
Gambar 4.5 Beberapa Bentuk Pilar atau Tiang pada Bangunan Indis:  a; Tiang  Doria, b ; Tiang Ionia,  c; Tiang Corinthian
Gambar  4. 7.  Bentuk Hiasan Kemucuk Berupa  Makellar, Gambar Atas      Menunjukkan Lambang Masa Kristen Berbentuk Salib dan  gambar bawah  Berbentuk Seperti Binatang  Angsa yang  Ditempatkan Saling Membelakangi atau Biasa Disebut
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tempat tinggal adalah tempat perlindung dari pengaruh cuaca alam, tempat untuk menikmati kehidupan yang nyaman, tempat untuk beristirahat dan tempat berkumpulnya

Kekritisan resapan air mulai kritis dengan simbol “Cd” mendominasi kekritisan daerah resapan mulai kritis dengan luasan sebesar 937,57 ha. Luasan simbol Cd pada kekritisan

Yang pertama peneliti melakukan observasi yang bertujuan untuk memperoleh data terkait dengan kecerdasan logika matematik anak di RA Al Khodijah sumberagung

Karena antara pengetahuan lingkungan hidup terhadap sikap peduli lingkungan pada ibu rumah tangga di Desa Jati Agung Kecamatan Ambarawa kabupaten Pringsewu Lampung

penyusunan kebijakan pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal atau pengetahuan tradisional dan hak kearifan lokal atau pengetahuan tradisional dan

1) Permasalahan sulit untuk fokus ketika mengikuti perkuliahan Berdasarkan hasil penyajian data mengenai usaha yang dilakukan oleh 5 orang responden dalam menghadapi

Kesimpulan secara keseluruhan mengenai dampak penerapan pembangunan partisipatif dalam Program Renovasi Rumah Tidak Layak Huni di Kecamatan Sukoharjo, bahwa dampak yang

Dari interpretasi system track berdasarkan tafonomi dan keberadaan spesies Zaria angulata pada contoh 07 Sri 02, yang berasosiasi mineral nontronite (Na0.3 Fe2 +3 ( Si , Al )4 O10 (