• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kata Pengantar. serta kekuatan-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai bagian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kata Pengantar. serta kekuatan-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai bagian"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

serta kekuatan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai bagian dari tugas akademis di Jurusan Peradilan Agama Fakultas Syariah & Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, beserta keluarganya, para sahabatnya, tabi’in dan tabi’at hingga sampailah kepada kita yang mengikuti risalahnya sampai akhir zaman.

Skripsi yang berjudul “Penetapan Nafkah Hadanah dalam Perkara Putusan Verstek (Analisis Putusan Pengadilan Agama di Provinsi DKI Jakarta)” akhirnya dapat terselesaikan sesuai dengan harapan penulis. Kebahagiaan yang tak ternilai bagi penulis secara pribadi adalah dapat mempersembahkan yang terbaik kepada orang tua, seluruh keluarga dan pihak-pihak yang telah ikut andil dalam mensukseskan harapan penulis.

Sebagai bahan yang tak terlukiskan izinkanlah penulis menuangkan dalam bentuk ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM. Dekan Fakultas Syariah & Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang banyak memberikan nasihat-nasihat yang berharga demi meningkatkan kualitas spiritual dan intelektual kepada Mahasiswa/I Fakultas Syariah & Hukum.

(2)

2. Drs. H. Basiq Djalil, SH., MA. Ketua Program Studi Ahwal As-Syakhsiyyah Konsentrasi Peradilan Agama, yang selalu memberikan masukan kepada penulis secara tidak langsung sangat membantu penyusunan skripsi ini.

3. Kamarusdiana, SH., MH. Sekertaris Program Studi Ahwal As-Syakhiyyah yang banyak membantu saran untuk penulis dan membantu memudahkan mahasiswa secara birokrasi dan administrasi kampus.

4. Sri Hidayati, M.Ag dan Afwan Faizin, MA. Dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu di sela-sela kesibukan dalam memberikan masukan maupun nasihat dalam penyusunan skripsi ini.

5. Bapak & Ibu Dosen Fakultas Syariah & Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmunya kepada penulis selama dibangku kuliah.

6. Ketua Pengadilan Agama Jakarta Pusat dan Drs. Ujang Sholeh S.H,. M.H serta staf jajarannya yang telah membantu dalam memperoleh data dan informasi yang penulis butuhkan dalam penyusunan skripsi ini.

7. Ketua Pengadilan Agama Jakarta Barat dan Drs. H. Muhyiddin S.H,. M.H serta staf jajarannya yang telah membantu dalam memperoleh data dan informasi yang penulis butuhkan dalam penyusunan skripsi ini.

8. Rasa Ta’zim & terima kasih yang mendalam Ibunda tercinta Siti Aminah dan Ayah anda Muhammad Yakub, sebagai inspirator dan tempat curhatan hati, atas dukungan moril dan materil, kesabaran, keikhlasan, perhatian serta kasih sayang yang tak pernah habis bahkan doa munajatnya yang tak henti-henti kepada Allah SWT senantiasa agar penulis mendapatkan kesukseskan dan belajar juga atas

(3)

Saepudin dan Yulia Hilmi, yang banyak sekali memberikan kontribusi baik itu pikiran tenaga maupun materi hingga penulis bisa menyelesaikan kuliah ini.

10. Teman sejati hatiku Melly Amalia, S.S yang banyak memberikan masukan dan kritikan yang bersifat membangun kepada penulis dan sabar menemani.

11. Sahabat-sahabat seperjuangan Jurusan PA A 2006 Danu, Tami, Afandi, Kobet, Akhri, V-men, Maul, Boggie dan sahabat lain yang tidak bisa saya sebutkan satu-satu namun telah memberikan banyak inspirasi kepada penulis hingga saat ini. 12. Guruku tercinta K.H Bahruddin Pimpinan Pondok Pesantren Dar el-Hikam,

Abdul Rosyid, Saepudin, Muhammad Ali, bang Ayat serta teman-teman dar el-Hikam yang tidak bisa disebutkan satu persatu namun tidak mengurangi rasa hormat saya, telah banyak memberikan inspirasi dan semangat hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

13. Sahabat-sahabat “Warkop PMI Bogor” yaitu Upay, Umay, Mayda, N-dank, Iwan, Evia, Zarpin Tea, Maoy, Abah, Nyonk dan Keluarga N-dank yang tidak bisa disebutkan satu persatu namun tidak mengurangi rasa hormat saya kepada beliau yang telah banyak memberikan spirit dan doa sehingga rampungnya kuliah dan penulisan skripsi ini.

14. Terimakasih buat Nadia, Oci, dan Yuli yang sudah bersedia meminjamkan buku perpustakaan sebagai bahan skripsi ini sehingga selesai tepat waktunya.

(4)

iv

Semoga amal yang telah diberikan kepada penulis dapat di balas oleh Allah SWT dengan pahala yang berlipat ganda. Dengan segala kelemahan, kekurangan, & kelebihan yang ada semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya & bagi para pembaca umumnya. Semoga Allah SWT senantiasa meridhoi setiap langkah kita (aamiin).

Jakarta, 29 Mei 2010 Penulis

(5)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ...1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ...6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...7

D. Metode Penelitian ...8

E. Kajian Terdahulu ...11

F. Sistematika Penulisan ...12

BAB II PEMBAHASAN TENTANG NAFKAH HADANAH A. Pengertian Nafkah Hadanah ...13

B. Dasar Hukum Nafkah Hadanah ...14

C. Kadar Nafkah Hadanah ...20

D. Batas Usia Pemberian Nafkah Hadanah ...22

E. Hak dan Kewajiban Memberi Nafkah Hadanah ...24

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PUTUSAN VERSTEK A. Pengertian Putusan Verstek ...29

B. Syarat-syarat untuk Menjatuhkan Putusan Verstek ...31

C. Akibat Hukum Putusan Verstek ...32

D. Verstek dalam Fiqh... ...34

(6)

BAB IV TINJAUAN FIQH TERHADAP PENETAPAN NAFKAH HADANAH DALAM PERKARA PUTUSAN VERSTEK

A. Kronologis Perkara ...37

1. Putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat…….. ………..37

2. Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat……. ………...43

B. Tinjauan Fiqh terhadap Pertimbangan Hakim tentang Penetapan Nafkah Hadanah dalam Perkara Putusan Verstek ...49

BAB V Penutup A. Kesimpulan ...54

B. Saran ...55

Daftar Pustaka ……….56

Lampiran ...59

1. Data Surat Pengantar Mahasiswa melakukan obsevasi...60

2. Surat keterangan telah melakukan observasi dari A. Pengadilan Agama Jakarta Barat ...61

B. Pengadilan Agama Jakarta Pusat ...62

3. Data Wawancara A. Wawancara Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat ...63

B. Wawancara Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat ...66

4. Data Putusan A. Putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat ...68

B. Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat ...81

(7)
(8)

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan proses yang turun menurun dari generasi ke generasi dan berlangsung terus-menerus dari waktu ke waktu, karena salah satu tujuan hidup manusia dalam memenuhi kebutuhan batin adalah dapat melalui kehidupan berkeluarga.

Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, menyebutkan pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri yang bertujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa1. Sedangkan jika kita mengkaji Kompilasi Hukum Islam mengenai hukum perkawinan pada bab II pasal 2, dapat kita pahami bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya adalah ibadah2. Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Sayid Sabiq : “Ikatan antara suami istri adalah ikatan paling suci dan paling kokoh” dan tidak ada suatu dalil yang lebih jelas menunjukkan tentang sifat kesuciannya yang

1

Hasbullah Bakri, Kumpulan Lengkap Undang-Undang dan Peraturan Perkawinan di

Indonesia, (Jakarta : Bulan Bintang, 1978), h.3.

2 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,( Jakarta: Akademika Pressindo, 1992), h.114.

(9)

demikian agung itu, lain dari allah itu sendiri, yang menamakan ikatan perjanjian antara suami istri dengan mitsaqan ghalidan (perjanjian yang kokoh)3.

Namun terkadang fenomena berbicara lain, perkawinan yang diharapkan sakinah, mawaddah dan warohmah ternyata karena satu dan lain hal harus kandas di tengah jalan. Kondisi rumah tangga mengalami perselisihan, pertengkaran serta suami istri sudah tidak dapat lagi di damaikan maka islam memberi solusi dengan perceraian atau talak. Perceraian atau talak obat terakhir utuk mengakhiri pertentangan dan pergolakan antara suami istri serta menjadi jalan keluar yang layak untuk keduanya.

Jika perceraian itu terjadi dan telah memperoleh keturunan maka seorang anak tersebut akan dirugikan. Karena itu untuk menjamin kesejahteraan dan ketentraman anak terutama anak dibawah umur maka di Indonesia diberlakukan undang-undang yang mengatur tanggung jawab orang tua terhadap biaya pemeliharaan anak (hadanah) akibat perceraian untuk memberikan perlindungan bagi kepentingan masa depan anak. Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pasal 41 mengenai akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :

1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak pengadilan memberi keputusan. 2. Bapak yang bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan

yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut langsung memikul biaya tersebut.

(10)

3

3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.

Hal ini juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengenai pemeliharaan anak, sebagaimana yang tercantum dalam pasal 105 c :

“Biaya pemeliharaan anak ditanggung oleh ayahnya” Dalam Pasal 156 d

“Semua biaya hadanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus sendiri”

Begitu pula dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dalam Pasal 8 yaitu :

“Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual dan sosial”

Maksud dalam Pasal-pasal diatas memberikan isyarat terhadap orang tua agar memperhatikan anaknya dan memenuhi hak seorang anak baik itu dari segi pendidikan maupun kesehatannya.

Maka sudah menjadi kewajiban orangtua untuk memenuhi hak-hak anak tersebut, yaitu dengan memberikan nafkah untuk pemeliharaan anak ( nafkah hadanah) meskipun orangtua tersebut telah bercerai. Namun untuk menentukan kadar nafkah yang harus diberikan seorang suami yang telah bercerai dari istrinya baik itu cerai talak maupun cerai gugat oleh seorang istri ditentukan berdasarkan kemampuan seorang suami bukan menurut kebutuhan seorang istri. Hal ini diperkuat dengan pendapat golongan syafi’i dalam menentukan jumlah nafkah bukan diukur dari

(11)

kebutuhan, tetapi berdasarkan kaya atau miskin seorang suami yaitu berdasarkan kemampuan seorang suami untuk memberi nafkah.4

Apabila terjadi perceraian maka mantan suami tetap berkewajiban memberi nafkah kepada mantan istri dan anak-anaknya. Apalagi telah ditetapkan dan diberlakukannya Undang-undang No.1 Tahun 1974 Pasal 41 mengenai kewajiban pemberian nafkah akibat putusnya perkawinan karena perceraian.

Maka menjadi kewenangan Pengadilan Agama untuk memutuskan perkara perceraian bagi orang-orang Islam yang berada dalam wilayah yurisdiksinya. Di dalam proses persidangan bagi para pihak adakalanya tidak dapat mengikuti persidangan dikarenakan alasan tertentu. Namun dalam hal ketidakhadiran salah satu pihak, seorang hakim dapat memutus perkara tersebut.

Untuk perkara yang tidak dihadiri salah satu pihak maka diatur di HIR, diantara pasal-pasal HIR yaitu pasal 125 yang berbunyi “Jika tergugat tidak hadir pada hari perkara akan diperiksa atau tidak pula menyuruh orang lain untuk menghadap mewakilinya, meskipun orang itu dipanggil secara patut, maka gugatan itu dapat diputus dengan tidak hadir”. Pasal tersebut dijadikan dasar dalam hukum acara perdata positif untuk menyelesaikan perkara tanpa hadirnya pihak tergugat atau termohon, yang dalam istilah hukum acara perdata positif disebut Verstek.

Pada dasarnya putusan verstek dengan memberikan penetapan nafkah kepada suami bertentangan dengan asas-asas umum hukum acara perdata yang menyatakan

(12)

5

bahwa harus mendengar kedua belah pihak juga tidak sesuai dengan Hukum Islam mengenai penentuan kadar nafkah yang harus diberikan seorang suami yang telah bercerai dari istrinya baik itu cerai talak oleh suami maupun gugat cerai oleh seorang istri ditentukan berdasarkan kemampuan seorang suami bukan menurut kebutuhan seorang istri, karena itu bagaimana seseorang hakim dalam memutus perkara yang berkaitan dengan penentuan nafkah anak jika tidak mengetahui keadaan ekonomi suami jika suami tersebut verstek.

Begitu juga tentang larangan memberikan ekstra petita yang diatur dalam HIR, maka hakim tidak boleh memutus melebihi dari gugatan, ketika permohonan cerai talak oleh suami dalam permohonannya tidak menyebutkan untuk memberi nafkah kepada istri ataupun anak dan juga karena ketidakhadiran istri yang tidak menuntut hal tersebut hakim secara ex officio boleh membebankan nafkah tersebut, maka seperti yang ada dalam rumusan masalah nantinya ialah bagaimana pertimbangan hakim dalam memutus hal tersebut.

Dengan adanya permasalahan tersebut ditemukan perkara yang berkaitan dengan hal itu di Pengadilan Agama Jakarta Barat dan di Pengadilan Agama Jakarta Pusat mengenai penetapan nafkah hadanah kepada suami yang diputus verstek.

Berkaitan dengan apa yang telah dipaparkan di atas, maka penulis akan meneliti dan menganalisa putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat dan Pengadilan Agama Jakarta Barat dengan judul ” PENETAPAN NAFKAH HADANAH DALAM PERKARA PUTUSAN VERSTEK (Analisis Putusan Pengadilan Agama di Provinsi DKI Jakarta)”.

(13)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Agar penelitian ini lebih akurat dan terarah sehingga tidak menimbulkan masalah baru serta pelebaran secara meluas maka penulis memberi batasan pembahasan ini pada masalah nafkah hadanah dalam putusan verstek yang dilakukan oleh lembaga peradilan agama dalam perkara cerai di Pengadilan Agama di lingkungan DKI Jakarta ada dua kasus yaitu di Pengadilan Agama Jakarta Pusat dan Pengadilan Agama Jakarta Barat dengan Nomor Perkara 207/Pdt.G/2009/PA.JB dan 696/Pdt.G/2009/PA.JP.

2. Perumusan Masalah

Mestinya penetapan nafkah hadanah yang diputus verstek itu berdasarkan kemampuan dan dalam HIR pun hakim tidak boleh memutus melebihi dari guagatan (ekstra petita), namun pada kenyataannya kerap terjadi hakim memutus perkara melebihi dari isi gugatan yang tidak diminta oleh pihak istri yang tidak hadir. Dan untuk memudahkan pembahasan ini, maka penulis akan merumuskan masalah sebagai berikut :

a. Apa saja pertimbangan hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat dan Pangadilan Agama Jakarta Pusat dalam penetapan nafkah hadanah perkara perceraian yang diputus verstek?

b. Bagaimana tinjauan fiqh terhadap pertimbangan hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat dan Pengadilan Agama Jakarta Pusat dalam penetapan nafkah hadanah pada perkara perceraian yang diputus verstek?

(14)

7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah tersebut diatas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui pertimbangan hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat dan Pengadilan Agama Jakarta Barat dalam penetapan nafkah hadanah pada perkara perceraian yang diputus verstek.

2. Ingin mengetahui bagaimana tinjauan fiqh terhadap pertimbangan hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat dan Pengadilan Agama Jakarta Pusat dalam penetapan nafkah hadanah pada perkara perceraian yang diputus verstek. Adapun manfaat yang diperoleh dari penulisan skripsi ini dihaarapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi disiplin keilmuan secara umum dan sekurang-kurangnya dapat digunakan dua aspek, yaitu :

1. Aspek Teoritis : Sebagai upaya bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya yang berhubungan dengan persoalan di bidang nafkah hadanah akibat perceraian dan hukum acara putusan verstek.

2. Aspek Praktis : Penelitian ini diharapkan dapat menambah pemahaman kepada masyarakat dan dapat digunakan sebagai pedoman bagi lembaga yang berwenang untuk mengadakan penyuluhan hukum Islam dalam mencari penyelesaian kasus nafkah hadanah bagi hakim dan para praktisi hukum. Serta menambah refernsi dan bahan pustaka bagi para mahasiswa serta bagi seluruh pihak kampus

(15)

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan kampus-kampus lain pada umumnya.

D. Metode Penelitian 1. Metode Penelitian a. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang diterapkan dalam skripsi ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif, yang memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia,5dengan mengkaji data dan literatur-literatur yang berkaitan dengan judul. Strategi pendekatan yang digunakan dalam penelitian adalah strategi deskriftif analisis, yaitu bertujuan menggambarkan keadaan sementara dengan memaparkan hasil-hasil penelitian yang bersumber dari wawancara, dan atau dokumen tertulis untuk melakukan analisis dan interpretasi langsung dari hasil pengamatan.

Adapun jenis penelitian dengan pengambilan data yang digunakan dalam penyusunan karya tulis adalah :

1). Penelitian Lapangan (field Research) untuk memperoleh informasi yang akurat dengan melakukan pencarian data-data dari tempat penelitian melalui interview hakim serta meminta data otentik maupun yurisprudensi yang berkaitan dengan masalah tersebut.

5

(16)

9

2). Penelitian Pustaka (library Research) untuk memperoleh informasi yang berkaitan dengan kajian penelitian ini melalui buku-buku, artikel, majalah-majalah, dan sumber lain yang berkaitan dengan permasalahan diatas.

2. Sumber Data

Sementara data yang diambil dalam penelitian ini terdiri atas sumber data dan sumber data sekunder, yaitu :

a. Data primer adalah data yang diperoleh penulis dari data lapangan penelitian, berkas surat-surat bukti dan dokumen yang terkait dengan perkara tersebut. Wawancara terhadap hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat dan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat yang terkait dengan kasus ini.

b. Data Sekunder adalah data yang diperoleh dengan jalan mengadakan studi kepustakaan atas dokumen-dokumen yang berhubungan masalah yang diajukan, dokumen-dokumen yang dimaksud adalah Al-Quran, hadits, buku-buku ilmiah, Undang-Undang, Kompilasi Hukum Islam (KHI), serta peraturan-peraturan lainnya yang erat kaitannya dengan masalah yang diajukan.

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam upaya mengumpulkan data yang diperlukan, digunakan metode sebagai berikut :

(17)

Metode dokumentasi adalah mencari hal-hal atau variabel berupa catatan, transkip, buku, surat, kabar, majalah, prasasti, notulen, rapat, agenda, dan sebagainya.6

b. Metode Interview

Metode Interview adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara.7 Dalam hal ini adalah wawancara dengan hakim di Pengadilan Agama Jakarta Barat dan Pengadilan Agama Jakarta Pusat.

4. Teknik Analisa Data

Analisa data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang hasail wawancara, data lapangan dan bahan-bahan lain sehingga dapat mudah dipahami dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain.8

Data yang telah berhasil dihimpun akan dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif analitis yaitu menguraikan tentang putusan hakim mengenai biaya pemeliharaan anak (hadanah) setelah perceraian secara sistematis, cermat factual dengan pola pikir deduktif yaitu mengemukakan teori-teori atau dalil-dalil yang bersifat umum tentang hadanah kemudian dilakukan analisis terhadap data tentang

6 Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Pustaka Pelajar, 1992), h.206. 7

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), h.205.

(18)

11

pemeliharaan anak setelah perceraian yang telah diputus verstek untuk memperoleh kesimpulan yang khusus.

Karena penelitian ini termasuk kualitatif, maka analisis datanya juga analisis kualitatif, dan metode yang digunakan untuk menganalisis data peneltian adalah deskriptif analitis, yakni dimulai dengan menggambarkan dan mengguraikan tentang penyelesaian putusan. Dalam hal ini akan diuraikan dan dipaparkan data-data yang akan mendukung dalam perkara ini dan pertimbangan para hakim dalam memutus perkara penetapan nafkah hadanah dalam putusan verstek di Pengadilan Agama Jakarta Barat dan Pengadilan Agama Jakarta Pusat dan kesimpulannya diperoleh pola piker deduktif, yakni dari pola umum ke pola khusus yaitu mengacu pada norma hokum tentang hadanah kemudian dihubungkan dengan norma yang dipahami dalam putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat dan Pengadilan Agama Jakarta Pusat tentang perkara yang diteliti.

E. Kajian Review Terdahulu

Penelitian yang penulis teliti ini mendeskripsikan pertimbangan hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat dan Pengadilan Agama Jakarta Pusat dalam hal ini penetapan nafkah hadanah akibat perceraian yang diputus verstek dengan analisis putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat dan Pengadilan Agama Jakarta Pusat. Perihal perceraian dengan pembebanan nafkah hadanah kepada suami namun ketidakhadiran (verstek) suami sebagai tergugat dan perihal perceraian dengan pembebanan nafkah hadanah kepada suami namu ketidakhadiran (verstek) istri sebagai termohon.

(19)

Maka terdapat skripsi terkait yang membahas tentang perceraian yang diputus

verstek :

Agus Sudianto yang mengambil judul skripsi “ Penyelesaian Perkara

Perceraian yang diputus Verstek Di Pengadilan Agama Jakarta Selatan”. Yang

ditulis pada tahun 2007. Ia memaparkan tentang bagaimana pemeriksaan perkara serta problemnya dan cara penyelesaian perkara yang diputus verstek. Pada skripsi ini itu lebih kepada pemanggilan secara resmi dan patut kepada para pihak dan hak yang diperoleh serta upaya hukum bagi tergugat.

F. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan dan pembahasan akan terbagi berdasarkan sistematika sebagai berikut :

Bermula dari BAB I : Pendahuluan. Didalamnya memaparkan latar belakang masalah yang mencangkup pemilihan judul, pembatasan dan perumusan masalah, metode penelitian, tujuan penelitian, kajian review dan sistematika penulisan.

Bab II Membahas landasan teori tentang nafkah hadanah dan bagaimana hak serta kewajiban orangtua memberi nafkah hadanah.

Bab III Membahas Putusan verstek yang berlandaskan teoritik yang sesuai dengan kaidah-kaidah dasar dan asas-asas ilmu pengetahuan.

Bab IV Membahas tentang kronologis perkara dan Tinjauan Fiqh terhadap pertimbangan hakim dalam memutus perkara tersebut.

(20)

BAB II

NAFKAH HADANAH A. Nafkah Hadanah

1. Pengertian Nafkah Hadanah

Secara bahasa nafkah ﺔﻘﻔﻨﻟا ( ) berasal dari kata infak (قﺎﻔﻧﻻا) artinya membiayai. Dengan demikian, kata nafaqah berarti biaya. Yang dimaksud ialah menyangkut biaya penghidupan.1 Disebutkan juga oleh Ahmad Warson Munawir dalam al-Munawir Kamus Arab Indonesia bahwa nafkah mempunyai arti yaitu biaya, belanja dan biaya pengeluaran, dibelanjakan.2

Sedangkan menurut istilah, nafkah berarti : sesuatu kewajiban sang suami memberikan suatu penghasilan pekerjaan (nafkah ) kepada dirinya, isterinya dan anak-anaknya.3 Dan dijelaskan juga oleh syekh Faisal bin Abdul Aziz dalam kitab

Terjemahan Nailul Author (Himpunan Hadits-hadits Hukum), yaitu kewajiban

memberi penghasilan (nafkah) kepada isteri dan anak-anaknya ketika sang suami merasa cukup (nafkah) untuk dirinya.4 Sedangkan hadanah sendiri berasal dari kata

alhidn yang artinya rusuk. Kemudian kata hadanah dipakai sebagai istilah

1 Zainudin bin Abdul Aziz al-Malibari al-Fannani, Terjemah Fathul Mu’in, Jilid Dua, (Bandung :Sinar Baru al-Gesindo), h. 1434

2 Ahmad Warson Munawir, al-Munawir Kamus Arab Indonesia, (Yogyakarta : Pustaka Progresif), Cet. 14, h. 1449

3 Ash-Shabuni, (Hadiyyatul Afraa lil’Aruusain) Hadiah Untuk Pengantin, (Jakarta: Mustaqim), h. 229

4 Syekh Faisal bi Abdul Aziz, Terjemahan Nailul Author Himpunan Hadits-Hadits Hukum, h. 2464

(21)

“pengasuhan anak” karena seorang ibu yang sedang mengasuh anak sering meletakkannya disebelah rusuk. Dan menurut istilah ahli fiqh hadanah berarti memelihara dan menjaga kesehatan jasmani dan rohani anak.5

Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa nafkah hadanah adalah pemberian yang wajib dilaksanakan oleh ayah terhadap anak untuk pemeliharaan dan pengasuhan baik pemberian itu berupa sandang, pangan, papan maupun pendidikan berdasarkan kemampuannya.

2. Dasar Hukum Nafkah Hadanah

a. Dasar hukum nafkah hadanah dalam Al-Quran

Nafkah merupakan hak isteri dan anak maka ayah wajib membiayainya didasarkan pada Q.S al-Baqarah : 233.

5 Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta : Bulan Bintang, 1993), h. 138.

(22)

15

Artinya : “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun

penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. al-Baqarah ayat 233).

Abu Ali al-Fahdli berpendapat bahwa kewajiban suami memberi nafkah itu bukan disebabkan karena isteri itu menyusui anaknya, melainkan karena isteri itu sendiri yang diceraikan oleh suaminya dan suami wajib memberi nafkah atas isteri sesuai dengan keadaan pada waktu itu.6 Dapat diartikan bahwa kewajiban nafkah kepada mantan isteri yang telah mempunyai anak, adalah satu kesatuan yaitu nafkah isteri dan pemeliharaan anak (hadanah).

Begitu juga Ash-Shabuni menyatakan bahwa makna ayat diatas adalah seorang ayah wajib memberikan nafkah dan pakaian kepada istrinya yang telah

6 Abu Ali al-Fadhli Bin al-Hasan ath-Thabrasi, Majmaul al-Bayan Fi Tafsiri al-Quran, juz II, (Beirut : Dar al-Fikr), h. 115

(23)

dicerai jika ia menyusui anak-anaknya.7 Dalil itu merupakan wajibnya seorang ayah menafkahi anak-anaknya. Sebab, mereka masih belum mampu dan lemah8.

Keharusan nafkah dari seseorang suami tak hanya sewaktu dia masih menjadi isteri sahnya dan terhadap anak-anak dari isteri itu, tetapi suami wajib memberi mereka nafkah bahkan saat perceraian. Apalagi terhadap perawatan anak dan kesejahteraan ibu merupakan tanggung jawab seorang ayah, meskipun terjadi perceraian jangan sampai mengurangi nafkah yang wajar bagi ibu dan anaknya sesuai keadaannya.9 Seperti yang dijelaskan dalam al-Quran Surat al-Baqarah ayat 233 :

Artinya : “…..dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada Para

ibu dengan cara ma'ruf…..”

Islam sebagai agama yang praktis, tidak memaksakan beban yang berlebihan kepada salah satu pihak. Tetapi mereka harus melakukan yang terbaik untuk kepentingan anak sesuai dengan kemampuan mereka. Apalagi mereka bertindak dengan tulus, maka Allah memberi solusi untuk mengatasi masalah pemeliharaan yang dijelaskan dalam al-Quran surat at-Talaq ayat 6 yang berbunyi :

7 Ali ash-Shabuni, Shafwat at-Tafasir, Juz I, T.t, h. 150 8 Imam Ibnu al-‘Arabi, Ahkam al-Qur’an, Juz I, T.t, h. 274

9 A. Rahman I Doi, Penjelasan Lengkap Hukum Allah (syariah), (Jakarta : PT. Raja Grafindo), h. 270

(24)

17

Artinya : “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat

tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya” (Qs. At-Talaq : 6)

Ayat diatas mempertegas hak-hak wanita itu tempat tinggal yang layak. Ini perlu dalam rangka mewujudkan yang ma’ruf, sekaligus memelihara hubungan agar tidak semakin keruh dengan perceraian itu. Ayat diatas menyatakan tempatkan mereka para isteri yang dicerai itu dimana kamu wahai yang menceraikannya bertempat tinggal. Kalau dahulu kamu tinggal ditempat yang mewah sedangkan penghasilan menurun atau sebaliknya tempatkanlah mereka ditempat menurut atau sesuai dengan kemampuannya kamu sekarang, dan janganlah sekali-kali kamu menyusahkan mereka dalam hal tempat tinggal atau selainnya dengan tujuan untuk menyempitkannya hati dan keadaan mereka sehingga mereka terpaksa keluar atau minta keluar.10

10 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, kesan dan keseharian alQuran juz 14, h. 300-301

(25)

Artinya : “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan” (QS. At-Talaq ayat 7)

M. Quraish Shihab berpendapat bahwa ayat diatas menjelaskan prinsip umum mencakup penyusuan dan sebagainya sekaligus menengahi kedua pihak dengan menyatakan bahwa hendaklah yang lapang yakni mampu dan memiliki banyak rezeki memberi nafkah untuk isteri dan anak-anaknya sebatas kemampuan suami dan dengan demikian hendaknya ia memberi sehingga anak dan isterinya itu memiliki pula kelapangan dan keluasan berbelanja dan siapa yang disempitkan rezekinya yakni terbatas penghasilannya, maka hendaklah ia memberi nafkah yang diberikan oleh Allah kepadanya.11

Dalam jumlah nafkah, M. Quraish Shihab mengatakan tidak ada ketentuan yang pasti melainkan melihat kondisi masing-masing dan adat kebiasaan yang berlaku pada suatu masyarakat atau apa yang diistilahkan oleh al-Qur’an dan Sunnah dengan urf yang tentu saja dapat berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat

(26)

19

yang lain serta waktu dan waktu yang lain.12 Pendapat ini juga dikemukakan oleh Imam Malik dan Abu Hanifah.13

Berbeda dengan pendapat Imam Syafi’i bahwa nafkah itu ditentukan besarnya. Bagi orang-orang yang kaya dikenakan dua mud. 14 Orang-orang menengah dikenakan satu setengah mud, sedangkan orang-orang yang miskin dikenakan satu mud.

b.

ang suami terhadap istri maupun

ِﻣ

ْﻦ

ُﺟ

َﻨ

ٍحﺎ

َﻓ ؟

َﻘ

َلﺎ

ُﺧ

ِﺬ

ْى

ِﻣ

ْﻦ

َﻣ

ِﻟﺎ

ِﻪ

etahu dia, apakah itu berdosa bagiku. Maka beliau berkata : Ambillah hartanya yang cukup buatmu dan anak-anakmu dengan cara yang baik”. (HR. Muttafaq ‘Alaih)

15

Dasar Hukum Nafkah Hadanah dalam Al-Hadits Dalam hal nafkah adalah kewajiban seor anaknya, sesuai hadits nabi SAW yang berbunyi :

َﻋ

ْﻦ

َﻋ

ِﺋﺎ

َﺸ

َﺔ

َﻗ

َﻟﺎ

ْﺖ

َد

َﺧ

َﻠ

ْﺖ

ِه

ْﻨ

ٌﺪ

ِﺑ

ْﻨ

ٌﺖ

ُﻋ

ْﺘَﺒ

َﺔ

ْﻣا

َﺮ

َأُة

َا

ِﺑ

ْﻲ

ُﺳ

ْﻔَﻴ

َنﺎ

َﻋ

َﻠ

َر ﻰ

ُﺳ

ْﻮ

ِل

ِﷲا

َﻓ ﻢﻌﻠﺻ

َﻘ

َﻟﺎ

ْﺖ

َﻳ

َرﺎ

ُﺳ

ْﻮ

َل

ِﷲا

ِإ

ﱠن

َا

َﺑ

ُﺳ ﺎ

ْﻔَﻴ

َنﺎ

َر

ُﺟ

ٌﻞ

َﺷ

ِﺤ

ْﻴ

ٌﺢ

َﻟ

ُﻳﺎ

ْﻌ

ِﻄ

ْﻴِﻨ

ْﻰ

ِﻣ

َﻦ

ﱠﻨﻟا

َﻔَﻘ

ِﺔ

َﻣ

َﻳﺎ

ْﻜ

ِﻔْﻴ

ِﻨ

ْﻰ

َو

َﻳ

ْﻜ

ِﻔ

ْﻰ

َﺑ

ِﻨ

ﱠﻲ

ِا

َّﻻ

َﻣ

َا

َﺧ

ْﺬ

ُت

ِﻣ

ْﻦ

َﻣ

ِﻟﺎ

ِﻪ

َﻐِﺑ

ْﻴ

ِﺮ

ِﻋ

ْﻠ

ِﻤ

ِﻪ

َﻓ

َﻬ

ْﻞ

َﻋ

َﻠ

ﱠﻲ

ِﻓ

َذ ﻰ

ِﻟ

َﻚ

ِﺑ

ْﻟﺎ

َﻤ

ْﻌ

ُﺮ

ْو

ِف

َﻣ

َﻳ ﺎ

ْﻜ

ِﻔْﻴ

ِﻚ

َو

َﻳ

ْﻜ

ِﻔ

ْﻲ

َﺑ

ِﻨْﻴ

َﻚ

)

ُﻣ

َﺘَﻔ

ٌﻖ

َﻋ

َﻠْﻴ

ِﻪ

(

16

Artinya : “ Dari Aisyah ra., beliau berkata : Hindun bin Utbah isteri abu

Sofyan setelah menghadap rasulullah saw dan berkata : Ya Rasulullah sesungguhnya Abu Sufyan itu adalah orang kikir, ia tidak suka memberi belanja yang cukup buat aku dan anak-anakku, melainkan dengan hartanya yang aku ambil tanpa s

12 Ibid, h.300

13 Al-Faqih Abu Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad ibu Rusyd, Terjemah

Bidayatul Mujtahid wa nihayatul Muqtashid (Analisa Fiqih Para Mujtahid), h.519

14 1 (satu) mud yaitu 6 ons gandum/beras

15 ibnu Rusyd, Terjemah Bidayatul Mujtahid, h.519

16 Abdillah ‘Ali Ibn jarudi Abu Muhammad An-Naisaburi, Muntaqi min as-Sunan

(27)

َر

ِﺲ

ْﻴ

َﻗ

ِﺖ

ْﻨ

ِﺑ

َﺔ

َﻤ

ِﻃﺎ

َﻓ

ْﻦ

َﻋ

ِﺿ

َﻲ

ُﷲاا

َﻋ

ْﻨ

َﻬ

َﻋ ﺎ

ِﻦ

ﱠﻨﻟا

ِﺒ

ﱢﻲ

ِﻓ

ْﻲ

ْﻟا

ُﻤ

َﻄ

ﱠﻠَﻘ

ِﺔ

َﺛ

َﻼ

ًﺛ

َﻗ ﺎ

َلﺎ

:

َﻟْﻴ

َﺲ

َﻟ

َﻬ

ُﺳﺎ

ْﻜ

َﻨ

َو

َﻟ

َﻧﺎ

َﻔَﻘ

َﺔ

)

َر

َو

ُﻩا

َﻣ

ْﺴ

ِﻠُﻢ

(

17

Artinya : “ Dari Fathimah bin Qais dari Nabi SAW bersabda bahwa ia telah ditalak tiga oleh suaminya baginya tidak ada hak tempat tinggal dan nafkah. (HR. Muslim)

c. Dasar Hukum Nafkah Hadanah dalam Hukum Undang-Undang Perkawinan dan KHI

Adapun dalam masalah nafkah hadanah dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan dalam Pasal 41 dikemukakan akibat putusnya perkawinan ialah bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut langsung memikul biaya tersebut.

Menurut Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 80 disebutkan bahwa perkawinan yang putus akibat perceraian menyebabkan hal-hal berikut ini sesuai dengan penghasilannya suami menanggung biaya rumah tangga, biaya perawatan, dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak serta biaya pendidikan bagi anak. Begitu juga dalam pasal 149 bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami

17 Imam abi Husen Mulim bin Hujaz bin Muslim, Shahih Muslim, (Riyadh : Dar as-Salam), T.tt, h. 641

(28)

21

wajib memberikan biaya hadanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.

Ketentuan yang terkandung dalam Pasal 41 Undang-undang perkawinan maupun dalam KHI tersebut, tampak bahwa tanggung jawab seorang ayah kepada anaknya tidak dapat gugur walaupun ia sudah bercerai dengan istrinya atau ia sudah kawin lagi.18

3. Kadar Nafkah Hadanah

Tentang penentuan ukuran nafkah yang harus diberikan suami kepada isteri dan anak-anaknya baik pada waktu perkawinan atau setelah perceraian tidak diatur batas-batasnya hanya diatur secara umum yaitu menurut kemampuan suami.

Namun ketika suami menentukan pemberian nafkah pada isteri atau anaknya, maka hendaklah diperhatikan beberapa hal, yaitu ;

a. Hendaklah jumlah nafkah itu mencukupi keperluan isteri ndalam memelihara dan mengasuh anak dan disesuaikan keadaan kemampuan mantan suami, baik yang berhubungan dengan sandang, pangn, maupun pendidikan anak.

b. Hendaklah nafkah itu ada pada waktu yang tepat, yaitu ketika mantan isteri itu membutuhkan atau dengan cara ditentukan waktunya.

(29)

c. Sebaiknya ukuran nafkah tersebut didasarkan pada kebutuhan pokok dan pendidikan anak, dan hal ini disesuaikan keadaan perekonomian di masyarakat.19

Dengan demikian, kadar nafkah keluarga bagi isteri atau anak pada waktu perkawinan atau setelah perceraian yang menjadi tanggung jawab suami harus disesuaikan dengan :

1). Kemampuan Suami

Dalam nafkah keluarga begitu juga nafkah anak baik pada waktu perkawinan atau setelah perceraian, bahwa isteri dituntut untuk tidak membebani suami diluar kemampuannya. Suami hanya berkewajiban memberikan nafkah sesuai dengan kemampuannya. Seperti dijelaskan dalam surat at-Talaq ayat 7 :

Artinya : “hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”

2). Tidak Kikir dan berlebihan

Jika suami bakhil, tidak memberi nafkah secukupna kepada isteri tanpa alasan yang benar, maka isteri berhak menuntut jumlah nafkah tertentu baginya dan

(30)

23

anaknya. Dan hakim boleh memutuskan beberapa jumlah nafkah yang harus diterima oleh isteri serta mengharuskan suami untuk membayarnya jika tuduhan-tuduhan yang dilontarkan oleh isteri ternyata benar. Hal ini sesuai dengan firman Allah dala surat al-isra’ ayat 29 yaitu :

Artinya : “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya. karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal”.

Maksud dari ayat tersebut adalah jangan terlalu kikir dan jangan pula pemurah karena berlaku kikir dalam memberi nafkah keluarga sangat dikecam oleh Rasulullah SAW.

4. Batas Usia Pemberian Nafkah Hadanah

Dalam al-Qur’an dan hadits juga tidak diterangkan dengan tegas masa memberikan nafkah hadanah, hanya ada isyarat-isyarat ayat yang menjelaskan hal itu. Oleh karena itu para ulama’ berijtihad sendiri dengan pedoman isyarat-isyarat tersebut.

Seperti mazhab Hanafi yang berpendapat bahwa masa nafkah untuk anak laki-laki berakhir pada saat tersebut tidak lagi memerlukan penjagaan dan telah dapat mengurus keperluannya sendiri. Sedangkan masa untuk anak perempuan apabila ia

(31)

telah baligh atau telah dapat masa haid pertamanya.20 Yaitu anak laki-laki telah berumur 7 tahun dan perempuan telah berumur 9 tahun. 21

Yang dijadikan ukuran ialah tamyiz dan kemampuan untuk berdiri sendiri. Jika sianak kecil dapat membedakan mana yang benar dan salah, tidak membutukan pelayanan perempuan dan dapat memenuhi kebutuhannya sendiri, maka hadanah telah habis.

Dalam hal ini terdapat beberapa perbedaan diantara imam mazhab, dan untuk lebih jelasnya dibawah ini dikemukakan beberapa pendapat tentang batasan seorang anak berhak mendapatkan hadanah :

a. Golongan Hanafiyah mengatakan bahwa masa asuh anak adalah sampai 7 tahun dan menurut sebagian lainnya adalah 9 tahun22.

b. Golongan Malikiyah berpendapat bahwa masa hadnah berlangsung sejak dia lahir sampai dewasa. Jika ia punya ibu, maka ibulah yang mengasuhnya sampai dewasa lalu gugurlah hak hadanah tersebut. Dan mengenai biaya nafkahnya tetap kewajiban atas ayah.

20 M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam suatu Analisi dari Undang-undang No. 1

Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, h. 185

21 Sayid Sabiq, Fiqh a-Sunnah, h.187

22 MuhammadDjawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta : PT. Lentera Basritama, 1996), cet. Ke-1 h. 417

(32)

25

c. Golongan Syafi’iyah mengatakan tidak ada batasan waktu bagian pengasuhan. Sesungguhnya anak kecil berhak memilih antar ayah dan ibunya dan siapa yang dipilih olehnya, maka dialah yang berhak atasnya.

d. Golongan Hanabilah mengatakan bahwa masa hadanah baik laki-laki maupun perempuan yang berumur 7 tahun23. Tetapi jika anak berumur 7 tahun dan kedua orang tuanya sepakat agar salah satu dari mereka yang mengasuhnya, maka dibolehkan. Dan jika keduanya berselisih maka anak disuruh memilih.

Didalam KHI pasal 98 ayat 1 dijelaskan bahwa batas usia anak untuk mendapatkan pemeliharaan adalah sampai ia mampu berdiri sendiri atau dewasa (21 tahun), sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.

5. Hak dan Kewajiban memberi Nafkah Hadanah

Dalam pemeliharaan anak setelah terjadinya perceraian antara suami isteri, maka ibulah yang paling berhak mengasuhnya. Hal ini ditentukan dalam pasal 156 (a) KHI yaitu akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah anak yang belum mumayiz berhak mendapatkan hak hadanah dari ibunya.

Dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Pasal 41 (a) disebutkan bahwa “ Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai pengasuhan anak pengadilan memberi keputusannya”.

23 M. Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian Di Indonesia, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1985), cet.2, h.82

(33)

Para imam mazhab sepakat bahwa hak memelihara ada pada ibu selama ibu belum bersuami lagi, tetapi bila ia telah bersuami lagi dan sudah disetubuhi, maka gugurlah hak untuk memelihara anaknya. Jika terjadi perbedaan pendapat tentang pemeliharaan anak maka undang-undang menyerahkan kebijaksanaan dan keputusan pada hakim dengan pedoman bahwa kemaslahatan anak harus diutamakan24.

Meskipun yang berhak memlihara anak adalah ibu, namun dalam hal biaya pemeliharaan anak ( nafkah hadanah) tetap menjadi kewajiban ayah menurut kemampuannya, sebagaimana dalam al-Quran disebutkan dalam surat al-Baqarah ayat 233 yang artinya :

“ ….dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian pada ibu dan anak dengan cara yang makruf…”

Maksud dari ayat tersebut telah berlaku dan diterapkan dalam KHI pasal 156 (d) dan (f) yaitu : Akibat dari putusnya perkawinan karena perceraian ialah (d) semua biaya hadanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah sesuai dengan kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat berdiri sendiri. (f) Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya pemeliharaan dan pendidikan anak yang tidak turut padanya.

Sebagaimana dalam UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 45 1. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka

sebaik-baiknya

(34)

27

2. Kewajiban orang tua yang dimaksud ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.

Dan dalam KHI Pasal 80 (d) Sesuai dengan penghasilan suami menanggung : 1. Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri

2. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak 3. Biaya pendidikan anak.

Dan dalam membangun keluarga tidak akan tercapai keluarga yang bahagia tanpa tercukupnya nafkah. Dan hal ini merupakan kewajiban suami sebagai kepala keluarga, meskipun telah terputus perkawinannya. Sebagaimana firman Allah Swt dalam surat an-Nisa ayat 34 :

Artinya : “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh

karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri, ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”.

(35)

Dari ayat diatas Imam ash-Shabuni menyatakan bahwa kaum pria memiliki wewenang untuk mengeluarkan perintah maupun larangan yang wajib ditaati oleh para wanita (istri-istrinya) serta memiliki kewajiban untuk memberikan belanja (nafkah) dan pengarahan sebagaimana kewajiban seorang wali (penguasa) atas rakyatnya25.

karena itu suami harus menyadari kewajiban dan tanggung jawabnya dalam memenuhi nafkah untuk isteri dan anak-anaknya. Maka suami hendaknya berusaha sekuat tenaga, agar dapat mencukupi nafkah bagi isteri dan anak-anaknya dengan nafkah yang halal dan diperoleh dengan jalan yang diridhoi Allah SWT. Suami tidak pantas jika berpangku tangan dan tidak selayaknya berlaku kikir terhadap orang yang menjadi tanggung jawabnya.

(36)

29

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG PUTUSAN VERSTEK 1. Pengertian Putusan Verstek

Menurut bahasa verstek ialah putusan tidak hadir, dalam kamus hukum ialah keputusan sidang atau vonis yang diberikan oleh hakim tanpa hadirnya tergugat/terdakwa.1Menurut istilah Putusan verstek adalah putusan yang dijatuhkan diluar hadirnya tergugat.

Pengadilan Agama sebagai lembaga peradilan berfungsi memberikan solusi dan jalan tengah terhadap dua pihak atau lebih yang berbenturan dalam hak-hak mereka, dengan harapan tercipta suatu perdamaian, ketertiban dan tidak ada salah satu pihak yang dirugikan. Karena tugas mendamaikan adalah salah satu tugas pengadilan sesuai dengan asasnya, namun karena pihak-pihak yang berkepentingan salah satunya tidak puas dengan hak mereka maka pemeriksaan di pengadilan dalam upaya mendamaikan telah gagal. Namun sebagai lembaga peradilan yang mempunyai tugas untuk menyelesaikan perkara tetap akan menjalankan peradilan sebagaimana mestinya dengan jalan untuk mendapatkan putusan yang seadil-adilnya, meskipun ada salah satu pihak yang tidak hadir dalam suatu persidangan.

Dalam perkara perdata, kedudukan hakim sebagai penengah diantara pihak yang berperkara, sehingga memeriksa dengan meneliti terhadap pihak-pihak yang

1 Soesilo Prajoga, Kamus Lengkap Hukum (internasional-indonesia), (Jakarta : Wacana Intelektual, 2007), Cet. 1, h. 495

(37)

berperkara, itulah sebabnya dalam perkara perdata pihak-pihak pada prinsipnya harus hadir semua dimuka sidang.

Pada dasarnya verstek adalah pernyataan bahwa tergugat tidak hadir dalam persidangan, meskipun ia menurut hukum harus datang. Namun mungkin terjadi seorang tergugat atau seorang pemohon tidak hadir dalam persidangan, walaupun telah dipanggail secara patut. Dari ketidakhadiran salah satu pihak tersebut akan menimbulkan persoalan-persoalan dalam proses pemeriksaan perkara. Dalam artian apakah perkara itu akan diputus oleh hakim dalam bentuk gugurnya gugatan atau ditundanya waktu pemeriksaan atau diputus dengan putusan tanpa hadirnya tergugat atau termohon yaitu diputus secara verstek. Seperti yang ada dalam ketentuan pasal 125 HIR, dijelaskan :

“Jika tergugat tidak hadir pada hari perkara akan diperiksa atau tidak pula menyuruh orang lain untuk menghadap mewakilinya, meskipun orang itu di panggil secara patut, maka gugatan itu dapat diputus dengan tak hadir (verstek)”.

Dari pasal tersebut dapat diperoleh pengertian yang mendasar tentang verstek dan juga dapat dipahami tentang hari perkara akan diperiksa dapat berarti hari sidang pertama, tetapi juga pada hari sidang kedua dan seterusnya2. Hal ini beralasan karena berdasarkan pasal 126 HIR yang berbunyi :

“ Apabila tergugat tidak hadir, padahal ia telah dipanggil secara sah, maka hakim dapat menjatuhkan dengan putusan verstek atau menunda sidang untuk memanggil tergugat sekali lagi”.

2 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta : Liberty, 1999), h.102

(38)

31

Jika hal itu terjadi maka ketika putusan dijatuhkan pada hari sidang kedua tanpa hadirnya tergugat, maka putusan tersebut tetap merupakan putusan verstek. Begitu juga jika hakim tetap menunda untuk sidang yang ketiga dan memutusnya tanpa hadirnya tergugat maka putusan tersebut tetap disebut sebagai putusan verstek3. 2. Syarat-Syarat Untuk Menjatuhkan Putusan Verstek

Menurut hukum acara yang berlaku dalam KUH Perdata, tergugat yang telah dipanggil secara patut, tidak datang pada waktu yang ditentukan atau tidak menyuruh orang lain menghadap sebagai wakilnya, maka perkara tersebut diputus verstek, dan tergugat dianggap kalah.

Putusan verstek tidak dapat diputus begitu saja hanya dengan alasan bahwa tergugat dipanggil dengan patut dan ia tidak datang menghadap sendiri atau tidak mengirimkan wakilnya. Karena untuk menjatuhkan putusan verstek harus dipenuhi syarat-syarat sebagimana telah diatur dalam pasal 125 HIR.

Dalam pasal HIR pasal 125 menentukan bahwa untuk menjatuhkan putusan

verstek yang bersifat mengabulkan gugatan diharuskan gugatan diharuskan adanya

beberapa syarat sebagai berikut :

a. Tergugat atau para tergugat kesemuanya tidak datang pada hari sidang yang telah ditentukan;

b. Tergugat tidak mengirimkan wakil/kuasanya yang syah untuk menghadap; c. Tergugat kesemuanya telah dipanggil dengan patut;

(39)

d. Petitum (gugatan) tidak melawan hukum; e. Petitum beralasan.

Syarat-syarat tersebut harus benar-benar diperiksa oleh pengadilan sebelum memutuskan perkara dengan putusan verstek. Karena tidak terpenuhinya salah satu syarat tersebut diatas dapat mengakibatkan perkara ditolak atau tidak diterima. Namun sebelum pengadilan memutus dengan verstek, pengadilan dapat (tidak imperatif) memanggil sekali lagi tergugat4.

3. Akibat Hukum Putusan Verstek

Kehadiran para pihak pada suatu persidangan merupakan hak, bukan kewajiban yang bersifat imperatif. Dan hukum telah menyerahkan sepenuhnya kepada tergugat untuk mempergunakan haknya untuk membela kepentingannya.

Hakim dalam acara peradilan dapat menerapkan acara verstek jika syarat-syaratnya terpenuhi maka hakim secara langsung dapat memutus verstek. Tindakan tersebut dapat dilakukan berdasarkan jabatan atau ex officio, meski tidak ada permintaan dari pihak penggugat. Apabila hakim hendak memutus dengan verstek maka bentuk putusan yang dapat dijatuhkan berdasarkan pasal 125 ayat (1) HIR dapat berupa, mengabulkan gugatan penggugat, pada prinsipnya hakim yang memutus secara verstek harus menjatuhkan putusan dengan mengabulkan gugatan penggugat.

Namun tanggung jawab dari seorang hakim dalam penerapan acara verstek adalah berat. Yaitu tanpa melalui pemeriksaan yang luas dan mendalam terhadap

4 Roihan Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta : PT. Raja Grapindo Persada, 2006), h. 105

(40)

33

fakta-fakta yang melekat pada sengketa. Maka dalam mengabulkan gugatan ada beberapa pendapat yaitu :

a. Mengabulkan seluruh gugatan, maksudnya mengabulkan seluruh gugatan persis seperti apa yang dirinci dalam petitum gugatan.

b. Mengabulkan sebagian gugatan, maksudnya adalah ketika seorang hakim dalam memeriksa sebuah perkara dan salah satu pihak tidak hadir maka bukti yang diperoleh tidak sempurna maka apabila cukup alasan yang dapat dikabulkannya hanya untuk sebagian, hakim boleh memutus dengan mengabulkan sebagian saja5.

Setelah putusan tersebut dijatuhkan maka yang terjadi adalah eksekusi dari putusan tersebut, berdasarkan pasal 128 HIR yang mengatur kapan kekuatan eksekutorial melekat pada putusan verstek. Dalam pasal 128 HIR terdapat beberapa batasan dalam melakukan elsekusi dari putusan verstek yaitu :

1) Selama jangka waktu mengajukan upaya hukum verzet belum melampaui, dilarang menjalankan eksekui verstek.

2) Jangka waktu larangan adalah 14 hari dari tanggal pemberitahuan putusan

verstek kepada tergugat6.

Namun dalam keadaan yang sangat perlu maka putusan verstek dapat dijalankan meskipun tenggang waktu mengajukan perlawanan belum lewat,

5 Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta : Sinar Grafika, cet. 7, 2008), h. 397-398 6 Ibid, h. 415

(41)

pengecualian ini diatur dalam pasal 128 ayat (2). Ketika tergugat mengajukan perlawanan terhadap putusan verstek (verzet) maka :

a) Mengakibatkan putusan ini mentah kembali dan perkara diperiksa kembali dari keadaan semula sesuai dengan gugatan penggugat;

b) Dengan denikian perlawanan langsung meniadakan eksistensi putusan verstek, sampai dijatuhkan putusan verzet;

c) Apabila putusan verzet menolak perlawanan maka elsistensi putusan verstek baru timbul kembali dengan sifat yang permanen.

Di dalam putusan verstek memang sangat merugikan kepentingan penggugat, karena tanpa hadir melakukan pembelaan ketika putusan dijatuhkan. Tetapi kerugian itu wajar dibebankan kepada tergugat karena sikap yang tidak mentaati tata tertib beracara pada sebuah peradilan. Jadi maksud utama sistem verstek dalam hukum acara adalah untuk mendorong para pihak untuk mentaati tata tertib beracara, sehingga proses pemeriksaan penyelesaian perkara terhindar dari anarki dan kesewenangan.

4. Verstek dalam Fiqh

Keputusan yang dijatuhkan oleh hakim diluar hadirnya tergugat atau termohon (verstek) dalam pengadilan islam dikenal dengan istilah Qadha ‘ala

al-Gaib7. Istilah ini berasal dari bahasa arab yang artinya memutus perkara tanpa

hadirnya mudda’a a’alaih (tergugat).

7 Roihan A Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta : PT. Raja Grapindo,2002), h. 103

(42)

35

Memberikan keputusan atas ketidakhadiran salah satu pihak yang berpekara itu ada dua macam pendapat, diantara para ulama yaitu :

a). Memberikan keputusan atas ketidak hadiran salah satu pihak adalah tidak boleh. Sebab andaikata dibenarkan, niscaya kehadiran itu bukan merupakan suatu kewajiban. Padahal apa yang tersirat dalam sabda Rasulullah SAW “fala taqdhi

bainahuma hatta tasma’a mina l-akhar kama sami’ta mina l-awwal” adalah

menunjukkan kewajiban untuk hadir. Sebab orang yang tidak hadir tidak dapat didengar keterangannya. Inilah pendapat yang dianut oleh Zaid bin ‘Ali dan Abu Hanifah.

b). Seorang Qadhi dibolehkan memberikan keputusan atas ketidak hadir salah satu pihak yang berperkara mengingat prinsip umum yang diistimbathkan dari putusan Rasulullah s.a.w kepada Hindun untuk diperkenankan mengambil harta suaminya, Abu Sufyan, tapa sepengathuannya8. Bunyi Hadits itu selengkapnya adalah sebagai berikut :

ْﺖَﻟﺎَﻘَﻓ ﻢﻌﻠﺻ ِﷲا ِلْﻮُﺳَر ﻰَﻠَﻋ َنﺎَﻴْﻔُﺳ ْﻲِﺑَا ُةَأَﺮْﻣا َﺔَﺒْﺘُﻋ ٌﺖْﻨِﺑ ٌﺪْﻨِه ْﺖَﻠَﺧَد ْﺖَﻟﺎَﻗ َﺔَﺸِﺋﺎَﻋ ْﻦَﻋ

ﺎَﻣ َّﻻِا ﱠﻲِﻨَﺑ ْﻰِﻔْﻜَﻳَو ْﻰِﻨْﻴِﻔْﻜَﻳﺎَﻣ ِﺔَﻘَﻔﱠﻨﻟا َﻦِﻣ ْﻰِﻨْﻴِﻄْﻌُﻳﺎَﻟ ٌﺢْﻴِﺤَﺷ ٌﻞُﺟَر َنﺎَﻴْﻔُﺳ ﺎَﺑَا ﱠنِإ ِﷲا َلْﻮُﺳَرﺎَﻳ

َﺧَا

ِﻪِﻟﺎَﻣ ْﻦِﻣ ْىِﺬُﺧ َلﺎَﻘَﻓ ؟ٍحﺎَﻨُﺟ ْﻦِﻣ َﻚِﻟَذ ﻰِﻓ ﱠﻲَﻠَﻋ ْﻞَﻬَﻓ ِﻪِﻤْﻠِﻋ ِﺮْﻴَﻐِﺑ ِﻪِﻟﺎَﻣ ْﻦِﻣ ُتْﺬ

َﻚْﻴِﻨَﺑ ْﻲِﻔْﻜَﻳ َو ِﻚْﻴِﻔْﻜَﻳ ﺎَﻣ ِفْوُﺮْﻌَﻤْﻟﺎِﺑ

)

ِﻪْﻴَﻠَﻋ ٌﻖَﻔَﺘُﻣ

(

9

8 Fatchur Rahman, Hadits-Hadits Tentang Peradilan Agama, (Jakarta : Bulan Bintang,1993), h. 194

9 Abdillah ‘Ali Ibn jarudi Abu Muhammad An-Naisaburi, Muntaqi min as-Sunan

(43)

Artinya : “ Dari Aisyah ra., beliau berkata : Hindun bin Utbah isteri abu Sofyan setelah menghadap rasulullah saw dan berkata : Ya Rasulullah sesungguhnya Abu Sufyan itu adalah orang kikir, ia tidak suka memberi belanja yang cukup buat aku dan anak-anakku, melainkan dengan hartanya yang aku ambil tanpa setahu dia, apakah itu berdosa bagiku. Maka beliau berkata : Ambillah hartanya yang cukup buatmu dan anak-anakmu dengan cara yang baik”. (HR. Bukhori Muslimi)

Pada prinsipnya berperkara yaitu penggugat dan tergugat serta saksi yang terkait dengan perkara, harus hadir dalam sidang pemeriksaan, namun adakalanya dengan berbagai alasan, tergugat tidak hadir dalam sidang pemeriksaan. Hal ini akan menimbulkan suatu hambatan yang mengganggu jalannya persidangan.

Namun dalam menegakkan syari’at islam yang menghendaki kebenaran maka tidak boleh menetapkan sesuatu yang bertentangan dengan syariat. Oleh karena itu hakim dibolehkan memutus tanpa hadirnya tergugat (verstek)10 tetapi dengan syarat gugatannya harus jelas dan benar-benar terjadi dan juga mempunyai bukti-bukti. Jika hal ini tidak dilaksanakan maka akan menimbulkan kerugian pada salah satu pihak dan hal ini bertentangan dengan tujuan syari’at.

10 Syihabuddin al-Qalyubi dan Umairah, Qalyubi wa Umairah, (T.tp, Sulaiman Mar’I,T.tt), h. 312

(44)

37

BAB IV

TINJAUAN FIQH TERHADAP PENETAPAN NAFKAH HADANAH DALAM PERKARA PUTUSAN VERSTEK

A. Kronologis Perkara Putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat dan Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat

1. Putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat a. Duduk Perkara

Pada tanggal 23 Februari 2009 di Pengadilan Agama Jakarta Barat telah diajukan gugatan seorang istri yang telah dicatat dan didaftarkan pada Nomor 207/Pdt.G/2009/PA.JB. Penggugat adalah seorang istri dari tergugat yang telah melangsungkan pernikahan pada tanggal 20 Juni 1998 sebagaimana tercatat dikutipan akta nikah nomor : 439/76/VI/1998 tanggal 22 Juni 1998 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Duren Sawit, kota Jakarta Timur DKI Jakarta.

Penggugat yang bernama HC1 yang berumur 35 tahun, beragama Islam, pekerjaan karyawati swasta, bertempat tinggal di Jalan Mandala Tengah No. 53 RT. 015, RW. 004, Kelurahan Tomang Kecamatan Grogol Petamburan, Kota Jakarta Barat telah menggugat tergugat yang bernama MWC2 umur 36 tahun, agama Islam, pekerjaan tidak ada, bertempat tinggal di Jalan Latumanten III No. 23 RT. 013, RW. 011 Kelurahan Jelambar, Kecamatan Grogol Petamburan, Kota Jakarta Barat. Setelah

1 Penulis memberi nama dengan inisial singakatan untuk menjaga kerahasiaan

(45)

menikah keduanya bertempat tinggal bersama sebagai suami-istri di Jalan Makaliwe I No. 5 RT. 001, RW. 07 Jakarta Barat. Selama pernikhan penggugat dan tergugat hidup rukun sebagaimana layaknya suami istri dan telah dikaruniai 2 orang anak masing-masing bernama AAQ umur 11 tahun dan SAA umur 4 tahun.

Awalnya kedua pasangan tersebut hidup rukun, namun sekitar bulan Maret 2005 ketentraman rumah tangga penggugat dan tergugat mulai goyah dikarenakan tergugat melakukan kekerasan dalam rumah tangga dan tidak memberi nafkah lahir kepada penggugat sejak Juli 1998 sampai dengan sekarang. Puncak perselisihan dan pertengkaran terjadi pada bulan Maret 2007 yang akibatnya penggugat dan tergugat pisah tempat tinggal.

Sehubungan dengan itu pada tanggal 23 Februari 2009 HC mengajukan gugat cerai terhadap MWC selaku tergugat di kepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta Barat. Dalam surat gugatan tersebut berisikan tuntutan (petitum) agar majelis hakim mengambil keputusan sebagai berikut :

1. Mengabulkan gugatan penggugat

2. Menjatuhkan talak satu bain sugro tergugat terhadap penggugat.

3. Menetapkan seorang anak yang bernama SAA umur 4 tahun diasuh dan dipelihara oleh penggugat

4. Menghukum tergugat untuk memberikan nafkah anak kepada penggugat sebesar Rp. 1.000.000,- perbulan sampai anak dewasa dan mandiri diluar biaya kesehatan dan pendidikan.

(46)

39

b. Temuan Fakta

Penggugat dalam gugatannya mengajukan dalil-dalil yang menjadi dasar gugatan. Juga telah diperkuat dengan mengajukan alat-alat bukti surat yaitu :

- Fotokopi buku Kutipan Akta Nikah No. 439/76/VI/1998 dikeluarkan kepala KUA kecamatan Duren Sawit, Kota Jakarta Timur tanggal 22 Juni 1998 untuk dapat memperkuat dalil hukum telah terjadi suatu perikatan yang dilakukan oleh subyek hukum yang berperkara.

- Fotokopi Kutipan Akta kelahiran No. 4.709/DISP/JB/2002/1998, atas nama AAQ dikeluarkan oleh Kepala Suku Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Jakarta Barat.

Data tersebut diperkuat lagi dengan keterangan dari satu orang saksi keluarga penggugat yaitu DC adalah ayah kandung penggugat berumur 74 tahun. Keterangan saksi di persidangan mendukung berkesesuaian dengan pernyataan dan dalil-dalil dalam gugatan.Namun penggugat tidak dapat mengajukan lagi saksi atau alat bukti lain, kemudian penggugat mengucapkan sumpah pelengkap (sumpah supletoir) untuk menguatkan dalil-dalil gugatannya.

Selama persidangan suami selaku tergugat tidak mau menghadirinya, sehingga tidak ada dokumen hukum yang diserahkan ke hadapan majelis hakim. Namun tergugat harus menerima kekalahan di persidangan. Dan majelis hakim akan menjatuhkan putusan secara verstek karena tergugat tidak hadir. Hal ini dapat dilakukan karena sesuai dengan pasal 125 HIR para pihak telah dipanggil secara sah

(47)

dan patut dengan bukti adanya relaas panggilan yang disampaikan oleh petugas (juru sita) pada tanggal 4 dan 18 Maret 2009.

c. Pertimbangan Hukum

Didalam putusan pada perkara No. 207/Pdt.G/2009/PA.JB. majelis hakim memutus dengan pertimbangan hukum sebagai berikut ;

1. Memutus tanpa kehadiran dari tergugat (verstek) karena tergugat telah dipanggil dengan sah dan patut sesuai dengan relaas panggilan pada tanggal 4 dan 18 Maret 2009 dan sesuai dengan pasal 125 (1) HIR dan 126 HIR.

2. Sesuai dengan bukti-bukti dan temuan fakta serta dikuatkan dengan sumpah pelengkap pada persidangan dan masuk dalam kompetensi Pangadilan Agama Jakarta Barat untuk memutus perkara tersebut dengan mengabulkan gugatan yaitu; menjatuhkan talak bain sughro tergugat terhadap penggugat. Karena gugatan terbukti beralasan dan sesuai dengan maksud pasal 5 dan 6 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang KDRT sehingga tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun sebagai suami istri, hal mana telah sesuai dengan maksud pasal 39 ayat (2) Undang Nomor 1 tahun 1974 jo pasal 70 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama serta telah memenuhi alasan perceraian dalam pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 jo pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam.

3. Menetapkan anak bernama AAQ, lahir 9 Desember 2006, berada dibawah hadhanah penggugat.

(48)

41

4. Menghukum tergugat untuk memberikan nafkah anak kepada penggugat sebesar Rp. 500.000,- perbulan sampai anak tersebut dewasa. Hal ini sesuai dengan keterangan saksi bahwa selama berkeluarga tergugat dan penggugat mempunyai anak. Maka berdasarkan pasal 45 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 jo pasal 105 c Kompilasi Hukum Islam, bahwa sebagai orang tua tetap berkewajiban atas pendidikan dan pemeliharaan anak sampai anak kawin atau dapat berdiri sendiri meskipun kedua orang tuanya telah putus.

Pertimbangan hakim dalam memutus perkara tersebut untuk merespon tuntutan (petitum) yang dimohonkan oleh penggugat. Maka majelis hakim mengabulkan sebagian gugatan penggugat dipandang patut dan adil karena tidak ditemukan fakta tentang penghasilan tetap tergugat.

d. Pertimbangan Hakim Dalam Menetapkan Nafkah Hadanah dalam Putusan Verstek

Dalam persidangan perkara No 207/Pdt.G/2009/PA.JB. Tergugat tidak pernah hadir dalam persidangan dan telah dipanggil secara patut dan sah. Maka hakim dapat memutuskan perkara tersebut tanpa kehadiran tergugat (verstek).

Karena hakim menerima gugatan tersebut secara verstek, apalagi yang menjadi putusan hakim tersebut terkait dengan adanya penetapan nafkah pemeliharaan anak yang dibebankan kepada mantan suami yang tidak hadir dalam persidangan (verstek). Maka dalam memutus perkara tanpa kehadiran salah satu pihak

(49)

hakim dituntut untuk sungguh-sungguh dalam memeriksa perkara dengan keterangan satu pihak saja.

Dalam perkara No 207/Pdt.G/2009/PA.JB yang diputus secara verstek dengan membebankan kepada tergugat yang tidak hadir untuk memberikan nafkah pemeliharaan anak (nafkah hadanah), jika dikaitkan dengan pendapat ulama bahwa pemberian nafkah ditentukan berdasarkan kemampuan suami bukan berdasarkan kebutuhan. Maka bagaimana pertimbangan hakim dalam menetapkan kemampuan suami yang tidak hadir? Hakim akan menentukan kadar pemberian nafkah berdasarkan pekerjaan suami seperti apa yang ada di dalam surat gugatan. Disamping itu hakim mempertimbangkan dari pembuktian3. Dalam perkara tersebut tergugat tidak diketahui pekerjaannya namun mempunyai sebuah kontrakan dan hakim menentukan jumlah nafkah berdasarkan pertimbangan dari pekerjaan dan tuntutan tergugat.

Selain hal tersebut hakim didalam proses pemeriksaan melihat dan mengamati dari keterangan pihak serta keterangan saksi bagaimana tanggung jawab suami dalam menafkahi keluarga, apakah layak untuk dibebani nafkah bagi pemeliharaan anak atau tidak. Dalam perkara ini hakim membebankan nafkah karena selain dari keterangan didalam persidangan tergugat juga tidak hadir tanpa ada alasan yang tidak

3 Wawancara dengan Muhyiddin, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat Pada Hari Kamis tanggal 6 Mei 2009 di Ruang Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat.

(50)

43

jelas dalam persidangan berarti tergugat (suami) juga lalai pada kewajibannya kepada anak dan istri.

Didalam penetapan nafkah hadanah tidak dapat menentukan kesejahteraan anak dikemudian hari karena hal tersebut berkaitan dengan keadaan dan waktu, tetapi bagi hakim yang terpenting adalah :

1). Perhatian Ayah kepada anak dapat tercapai

2). Putusan pengadilan dapat dijadikan sebagai alat bagi istri untuk mendapatkan nafkah baginya dan anak-anaknya4.

3). Dengan adanya putusan tersebut istri dapat meminta eksekusi jika dikemudian hari suami lalai dalam kewajibannya.

2. Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat a. Duduk Perkara

Pemohon adalah seorang laki-laki yang bernama IM bin HM berusia 35 tahun dan beragama Islam, pekerjaan wiraswasta dan bertempat tinggal di Jalan Setia Kawan IV RT. 012, RW. 07 No. 03 Kelurahan Puri Pulo Kecamatan Gambir Jakarta Pusat.

Pemohon mengajukan surat permohonan kepada Ketua Pengadilan Agama Jakarta Pusat yang isinya mohon untuk mengucapkan ikrar talak kepada istrinya yang bernama NY bin W umur 27 tahun, beragama Islam, pekerjaan ibu rumah tangga dan

4 Wawancara pribadi dengan Muhyiddin, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat Pada Hari Kamis, tanggal 6 Mei 2009 di Ruang Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat.

(51)

bertempat tinggal di Jalan Kp. Duri Barat RT. 011, RW. 008 No. 09 Kelurahan Duri Pulo Kecamatan Gambir Jakarta Pusat.

Pada tanggal 07 Juli 2001 pemohon dan termohon melangsungkan pernikahan yang dicatat oleh pegawai pencatat nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Jakarta Pusat dengan Kutipan Akta Nikah No : 297/18/VII/2001 tanggal 09 Juli 2001. Setelah melangsungkan pernikahan, keduanya hidup bersama dirumah orang tua termohon selama 5 tahun dan telah hidup rukun sebagaimana layaknya suami istri serta dikaruniai dua orang anak yang bernama OND berusia 7 tahun dan OPUD berusia 5 tahun. Namun sejak bulan Juni tahun 2007 ketentraman rumah tangga pemohon dan termohon mulai goyah karena seringkali terjadi perselisihan dan pertengkaran yang disebabkan termohon sering meninggalkan rumah kediaman bersama tanpa tujuan dan alasan yang sah serta izin pemohon, termohon lebih mementingkan diri sendiri dari pada kepentingan pemohon dan anaknya dan termohon seringkali membantah perkataan pemohon serta tidak mau diajak untuk pindah ke rumah bersama yang telah dibuat pemohon dengan alasan termohon tidak sanggup mengurus anak sendirian. Karena perselisihan tersebut pemohon dan termohon sudah tidak serumah lagi dan tidak ada ikatan lahir dan bathin sejak tahun 2007 sampai sekarang.

Sehubungan dengan itu, maka pada tanggal 14 Oktober 2009, IM bin HM sebagai pemohon mengajukan permohonan cerai talak kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat dibawah nomor : 696/Pdt.G/2009/PA.JP. dalam permohonan tersebut berisikan petitum agar majelis hakim mengambil keputusan sebagai berikut :

Referensi

Dokumen terkait

Pengantar Panitia: Seminar Re:Publik Art dari rangkaian program Re:Publik Art dimaksud untuk mengkolaborasikan kembali pemikiran – pemikiran mengenai konsep ruang publik

Dari hasil penghitungan disimpulkan bahwa menggunakan metode perkecambahan UAK (Uji Antar Kertas) adalah yang lebih efektif untuk mendapatkan gambaran tentang viabilitas benih

Nyoman, 2014, Pengaruh Skeptisme Profesional Auditor, Independensi, dan Pengalaman Auditor terhadap Tanggung Jawab Auditor dalam Mendeteksi Kecurangan dan Kekeliruan

Pembelajaran menunjukkan bahwa penambahan natrium karbonat memberikan pengaruh yang signifikan dalam penghilangan ion kalsium.Namun tidak demikian dengan penambahan PAC..Dari

Pada fase ini diberikan terapi kortikosteroid (prednison), vineristin, dan L-asparaginase. Fase induksi dinyatakan berhasil jika tanda-tanda penyakit berkurang

Untuk mengetahui adanya pengaruh antara budaya organisasi (X1), komitmen organisasi, dan akuntabilitas publik terhadap kinerja rumah sakit di Kabupaten Sumenep (Y)

Adversity quotient yang tinggi merupakan salah satu faktor penting yang harus dimiliki oleh remaja warga binaan agar mereka tetap memiliki orientasi masa depan

Kompetensi dasar merupakan acuan untuk mengembangkan materi pokok, kegiatan pembelajaran, dan standar kompetensi lulusan untuk penilaian. Kompetensi dasar dirumuskan