• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEORI BELAJAR SOSIAL: ALBERT BANDURA Oleh: Imam Nawawi dan Lusi Handayani

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TEORI BELAJAR SOSIAL: ALBERT BANDURA Oleh: Imam Nawawi dan Lusi Handayani"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

TEORI BELAJAR SOSIAL: ALBERT BANDURA Oleh:

Imam Nawawi dan Lusi Handayani 1. SEJARAH SOCIAL LEARNING THEORY

Sebuah teori dalam bidang psikologis yang berguna dalam mengkaji dampak media massa adalah Teori Pembelajaran Sosial (Social Learning Theory). Teori ini dipopulerkan oleh Albert Bandura dan dibantu oleh Richard Walter. Namun, pembelajaran sosial ini pernah diteliti oleh dua orang psikolog, yaitu: Neil Miller dan John Dollard pada tahun 1941.

Peserta didik dari berbagai jenjang yang sulit berbaur dan bersosialisasi dengan sekitar mengakibatkan perkembangan belajar menjadi terganggu. Bahkan, ada beberapa peserta didik yang akhirnya enggan mengemban dan menempuh proses pelajaran lewat apa yang diinstruksikan pengajar. Padahal, perkembangan pendidikan sangat memengaruhi mutu sebuah sistem pendidikan untuk menentukan kualitas suatu bangsa.

Perkembangan pembelajaran dilandasi oleh beberapa teori dalam dunia pendidikan yang dicetuskan oleh beberapa tokoh dan pelopor dunia. Teori-teori ini satu per satu bermunculan dan diperkenalkan kepada dunia agar dapat menyelesaikan problematika proses pendidikan. Selain itu, teori-teori ini juga adalah berbagai inovasi yang difungsikan untuk mengangkat kualitas pendidikan.

Albert Bandura (1977), salah satu dari tokoh pencetus teori perkembangan social learning theory atau yang lebih dikenal teori pembelajaran sosial. Bandura beranggapan bahwa, setiap orang belajar melalui pengalaman langsung atau pengamatan lalu mencontoh model. Bisa juga dari apa yang ia baca, dengar dan lihat pada media, serta dari orang di lingkungan sekitar.

Albert Bandura bersekolah di Universitas Iowa pendidikan kesarjanaan di bidang psikologi klinis dan mencapai gelar Ph.D pada tahun 1952. Pada tahun 1953 setelah menempuh post-doktoral, Bandura bekerja di Universitas Stanford dimana ia mendapat gelar Profesor David Star dalam bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan menjadi ketua jurusan psikologi pada tahun 1974 dan ketua American Psychological Association.

Bandura pernah meneliti mengenai imitas dan identifikasi (Bandura, 1962; Bandura dan Huston, 1961; Bandura dan Ross, 1961), Perkuat

(2)

Sosial (Bandura dan McDonald, 1963), Perkuatan Diri dan Pemonitoran (Bandura dan Kupers, 1964), serta Perubahan Tingkah Laku melalui Pemodelan (Bandura, Blachart dan Ritter, 1969). Penelitian-penelitian ini mencakup banyak masalah yang bersifat sentral untuk teori pembelajaran sosial dan penelitian lain yang yang dipertajam dan diperluas.

Bandura menulis Adolescent Aggression (1959), bersama Richard Walters. Penulisan ini berupa suatu laporan terinci tentang sebuah studi lapangan mengenai prinsip-prinsip belajar sosial untuk menganalisis perkembangan kepribadian sekelompok remaja pria dari kelas menengah disusul dengan Social Learning and Personality Development (1963). Buku ini memaparkan prinsip belajar sosial yang telah mereka kembangkan beserta bukti yang menjadi dasar bagi teori tersebut. Dilanjutkan dengan 1969, Principles of Behavior Modification yang menguraikan penerapan teknik-teknik perilaku berdasarkan prinsip belajar dalam modifikasi tingkah laku. Tahun 1973, Aggression: a Social Learning Analysis menjadi buku selanjutnya. Lalu diakhiri dengan Social Learning Theory pada tahun 1977 yang telah menjelaskan prinsip belajar yang terpadu untuk menganalisis pikiran dan tingkah laku manusia.

Yang memotivasi Bandura untuk terus mengembangkan teori ini adalah berpangkal dari dalil yang kurang cukup menjelaskan bagaimana tingkah laku berkembang dan menetap dan kurang memberi perhatian ada konteks sosial dimana tingkah laku ini muncul, juga kurang menyadari fakta bahwa banyak peristiwa belajar yang penting terjadi dengan perantaraan orang lain. Aritnya, sambil mengamati tingkah laku, individu belajar mengimitasi tingkah laku tersebut atau dalam hal tertentu menjadikan orang lain model bagi dirinya.

Miller dan Dollard telah mengakui peranan penting proses-proses imitatif dalam perkembangan kepribadian dan telah berusaha menjelaskan beberapa jenis tingkah laku imitatif tadi lewat bukunya Social Learning and Imitation pada tahun 1941. Tetapi hanya sedikit pakar penelitian yang memasukan teori mereka dalam penelitian selanjutkan karena ada beberapa gejala belajar yang kurang mengena. Sedangkan, Bandura tidak hanya berusaha memperbaiki kelalaian tersebut, tetapi juga memperluas analisis

(3)

Miller dan Dollard. Permasalahan sosial peserta didik diharapkan dapat diatas menerapkan teori Bandura ini.

2. DEFINISI SOCIAL LEARNING THEORY

Teori belajar sosial merupakan sumbangan dari para ahli seperti Albert Bandura, Julian B. Rotter, dan Walter Mischel. Para ahli menekankan peran dari aktivitas kognitif dan belajar dengan cara mengamati tingkah laku manusia, serta melihat manusia sebagai orang yang berpengaruh terhadap lingkungannya sama seperti lingkungan berpengaruh terhadap dirinya. Dengan kata lain, social learning theory merupakan pandangan yang menekankan kombinasi tingkah laku, lingkungan, dan kognisi sebagai faktor utama dalam perkembangan.

Albert Bandura (1971) mengemukakan bahwa individu belajar banyak tentang perilaku melalui peniruan / modeling, bahkan tanpa adanya penguat (reinforcement) yang diterimanya. Proses belajar semacam ini disebut “observational learning” atau pembelajaran melalui pengamatan. Sebagai contoh, orang tua adalah model bagi anak anaknya, pengajar adalah model bagi peserta didik, pemimpin adalah panutan bawahannya, dan tokoh masyarakat atau tokoh agama adalah panutan bagi masyarakat. Hal ini berarti bahwa perilaku yang terbentuk dalam diri anak anak, peserta didik, dan masyarakat identik dengan perilaku yang ditampilkan oleh para tokoh atau model tersebut.

Ada dua jenis pembelajaran melalui pengamatan:

1. Pembelajaran melalui pengamatan dapat terjadi melalui kondisi yang dialami orang lain. Contohnya: seorang pelajar melihat temannya dipuji dan ditegur oleh gurunya karena perbuatannya, maka ia kemudian meniru melakukan perbuatan lain yang tujuannya sama ingin

(4)

dipuji oleh gurunya. Kejadian ini merupakan contoh dari penguatan melalui pujian yang dialami orang lain.

2. Pembelajaran melalui pengamatan meniru perilaku model. Model tidak harus diperagakan oleh seseorang secara langsung, tetapi kita dapat juga menggunakan seseorang pemeran atau visualisasi tiruan sebagai model.

3. EKSPERIMEN ALBERT BANDURA

Eksperimen yang sangat terkenal adalah eksperimen Bobo Doll yang menunjukkan anak – anak meniru seperti perilaku agresif dari orang dewasa disekitarnya. Albert Bandura seorang tokoh teori belajar social ini menyatakan bahwa proses pembelajaran dapat dilaksanakan dengan lebih berkesan dengan menggunakan pendekatan “permodelan “. Beliau menjelaskan lagi bahwa aspek perhatian pelajar terhadap apa yang disampaikan atau dilakukan oleh guru dan aspek peniruan oleh pelajar akan dapat memberikan kesan yang optimum kepada pemahaman pelajar.

Eksperimen Pemodelan Bandura:

 Kelompok A = Disuruh memperhatikan sekumpulan orang dewasa memukul, menumbuk, menendang, dan menjerit kearah patung besar Bobo.

Hasil = Meniru apa yang dilakukan orng dewasa malahan lebih agresif  Kelompok B = Disuruh memperhatikan sekumpulan orang dewasa

bermesra dengan patung besar Bobo

Hasil = Tidak menunjukkan tingkah laku yang agresif seperti kelompok A Rumusan:

Tingkah laku anak – anak dipelajari melalui peniruan / permodelan adalah hasil dari penguatan.

Hasil Keseluruhan Eksperimen:

Kelompok A menunjukkan tingkah laku yang lebih agresif dari orang dewasa. Kelompok B tidak menunjukkan tingkah laku yang agresif.

4. PRINSIP-PRINSIP YANG MENDASARI TEORI BELAJAR SOSIAL

Adapun prinsip-prinsip yang mendasari teori belajar sosial yang dikemukakan oleh Bandura, yaitu:

(5)

1. Prinsip faktor-faktor yang saling menentukan

Bandura menyatakan bahwa diri seorang manusia pada dasarnya adalah suatu sistem (sistem diri/self system). Sebagai suatu sistem bermakna bahwa perilaku, berbagai faktor pada diri seseorang, dan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam lingkungan orang tersebut, secara bersama-sama saling bertindak sebagai penentu atau penyebab yang satu terhadap yang lainnya. Berikut ini dijelaskan interaksi berbagai faktor pembentuk sistem diri (self sistem) pada sebuah bagan (Gambar 2.2).

Keterangan :

P = Singkatan dari Personal atau kepribadian seseorang B = Singkatan dari Berhavior atau perilaku seseorang E = Singakatan dari Environment atau lingkungan luar

Sistem yang saling terkait seperti yang ditampilkan dalam bagan di atas menggambarkan ketiga faktor yaitu: faktor kepribadian (Personal), faktor perilaku (Behavior), dan faktor lingkungan (Environment). Sepasang anak panah yang berlawanan arah pada setiap faktor tersebut menunjukkan

(6)

bahwa setiap faktor tersebut dapat mempengaruhi atau dapat bersifat sebagai penentu terhadap faktor-faktor lainnnya secara timbal balik.

2. Kemampuan untuk membuat atau memahami simbol/tanda/lambang Bandura menyatakan bahwa orang memahami dunia secara simbolis melalui gambar-gambar kognitif, jadi orang lebih bereaksi terhadap gambaran kognitif dari dunia sekitar dari pada dunia itu sendiri. Artinya, karena orang memiliki kemampuan berfikir dan memanfaatkan bahasa sebagai alat untuk berfikir, maka hal-hal yang telah berlalu dapat disimpan dalam ingatan dan hal-hal yang akan datang dapat pula “diuji” secara simbolis dalam pikiran. Perilaku-perilaku yang mungkin diperlihatkan akan dapat diduga, diharapkan, dikhawatirkan, dan diuji cobakan terlebih dahulu secara simbolis, dalam pikiran, tanpa harus mengalaminya secara fisik terlebih dahulu. Karena pikiran-pikiran yang merupakan simbul atau gambaran kognitif dari masa lalu maupun masa depan itulah yang mempengaruhi atau menyebabkan munculnya perilaku tertentu.

3. Kemampuan berpikir ke depan

Selain dapat digunakan untuk mengingat hal-hal yang sudah pernah dialami, kemampuan berpikir atau mengolah simbol tersebut dapat dimanfaatkan untuk merencanakan masa depan. Orang dapat menduga bagaimana orang lain bisa bereaksi terhadap seseorang, dapat menentukan tujuan, dan merencanakan tindakan-tindakan yang harus diambil untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Inilah yang disebut dengan pikiran ke depan, karena biasanya pikiran mengawali tindakan.

4. Kemampuan untuk seolah-olah mengalami apa yang dialami oleh orang lain

Orang-orang, terlebih lagi anak-anak mampu belajar dengan cara memperhatikan orang lain berperilaku dan memperhatikan konsekuensi dari perilaku tersebut. Inilah yang dinamakan belajar dari apa yang dialami orang lain.

5. Kemampuan mengatur diri sendiri

Prinsip berikutnya dari belajar sosial adalah orang umumnya memiliki kemampuan untuk mengendalikan perilaku mereka sendiri. Seberapa giat orang bekerja dan belajar, berapa jam orang tidur, bagaiamana bersikap di muka umum, apakah orang mengerjakan pekerjaan kuliah dengan teratur, dsb, adalah contoh prilaku yang dikendalikan. Perilaku ini tidak dikerjakan

(7)

tidak selalu untuk memuaskan orang lain, tetapi berdasarkan standar dan motivasi yang ditetapkan diri sendiri. Tentu saja orang akan berpengaruh oleh perilaku orang lain, namun tanggung jawab utama tetap berada pada diri sendiri.

6. Kemampuan untuk berefleksi

Prinsip terakhir ini menerangkan bahwa kebanyakan orang sering melakukan refleksi atau perenungan untuk memikirkan kemampuan diri mereka pribadi. Mereka umumnya mampu memantau ide-ide mereka dan menilai kepantasan ide-ide tersebut sekaligus menilai diri mereka sendiri. Dari semua penilaian diri sendiri itu, yang paling penting adalah penilaian terhadap beberapa komponen atau seberapa mampu mereka mengira diri mereka dapat mengerjakan suatu tugas dengan sukses.

5. KONSEP TEORI BELAJAR SOSIAL

Teori belajar sosial atau social learning Theory Bandura didasarkan oleh tiga konsep yaitu :

1. Determinis Resiprokal (reciprocal deterministic)

Pendekatan yang menjelaskan bahwa perilaku manusia dalam bentuk interaksi timbal balik yang terus menerus antara determinan kognitif, behavioral, dan lingkungan. Detirministik resiprokal inilah yang menjadi dasar ari teori belajar bandura dalam memahami tingkah laku.

2. Beyond Reinforcement

Bahwa setiap perilaku tidak selalu menggunakan reinforcement dalam pembentukannya. Menurut Bandura, reinforcement penting dalam menentukan apakah suatu tingkah laku akan terus terjadi atau tidak, bukan sebagai satu-satunya pembentuk tingkah laku. Karena baginya orang dapat belajar melakukan sesuatu hanya dengan mengamati kemudian mengulangi apa yang diamatinya.

3. Kognisi dan Self Regulation

Bandura menempatkan manusia sebagai sesorang yang dapat mengatur dirinya sendiri (self regulation), mempengaruhi tingkah laku dengan cara mengatur lingkungan, menciptakan dukungan kognitif, mengadakan konsekuensi bagi tingkah lakunya sendiri.

(8)

6. DIMENSI SOCIAL LEARNING THEORY

Teori pembelajaran sosial merupakan perluasan dari teori belajar perilaku yang tradisional (behavioristik). Teori pembelajaran sosial ini dikembangkan oleh Albert Bandura (1986). Teori ini menerima sebagian besar dari prinsip-prinsip teori-teori belajar perilaku, tetapi memberi lebih banyak penekanan pada kesan dari isyarat - isyarat pada perilaku, dan pada proses-proses mental internal. Jadi dalam teori pembelajaran sosial kita akan menggunakan penjelasan-penjelasan reinforcement eksternal dan penjelasan-penjelasan kognitif internal untuk memahami bagaimana kita belajar dari orang lain. Dalam pandangan belajar sosial, manusia itu tidak didorong oleh kekuatan-kekuatan dari dalam dan juga tidak dipukul oleh stimulus- stimulus lingkungan.

Teori belajar sosial menekankan, bahawa lingkungan-lingkungan yang dihadapkan pada seseorang secara kebetulan. lingkungan-lingkungan itu kerap kali dipilih dan diubah oleh orang itu melalui perilakunya sendiri. Menurut Bandura, sebagaimana yang dikutip oleh (Kardi, S., 1997: 14) bahwa sebagian besar manusia belajar melalui pengamatan secara selektif dan mengingat tingkah laku orang lain. Inti dari teori pembelajaran sosial adalah pemodelan (modelling), dan permodelan ini merupakan salah satu langkah paling penting dalam pembelajaran terpadu.

Teori belajar sosial juga sering disebut belajar melalui observasi (observational learning) yang dikenal sebagai imitasi atau modeling, yaitu proses pembelajaran yang terjadi ketika seseorang mengobservasi dan meniru tingkah laku orang lain (Bandura, 1977; Santrock, 2001 dalam Hidayat, 2004). Proses pembelajaran ini sudah dimulai pada awal kehidupan bahkan mungkin terjadi beberapa hari setelah lahir (Hetherington & Parke, 1999). Contohnya: anak yang meniru tingkah laku orang tuanya. Melalui proses permodelan peran (role modeling) ini perilaku-perilaku yang dilakukan orang lain kemudian disimpan dalam memoriseseorang yang suatu saat akan dimunculkan (recalled) dan perilaku tersebut diimitasi. Santrock (2003) mengatakan bahwa ahli teori belajar sosial percaya bahwa kita memperoleh sejumlah besar tingkah laku, pikiran dan perasaan dengan mengobservasi

(9)

orang lain, observasi tersebut menjadi bagian penting dari perkembangan kita. Selain observasi langsung, televise, bioskop atau buku-buku bacaan juga merupakan beberapa sumber-sumber belajar yang dapat diobservasi oleh anak. Prihadi (2004) mengatakan bahwa Teori pembelajaran sosial berprinsip bahwa orang mempelajari ketrampilan interpersonal melalui “behavior role modeling”: observasi dan imitasi orang lain yang mendemostrasikan atau mencontohkan perilaku sukses dalam suatu situasi. Prinsip dasar belajar menurut teori ini, bahwa yang dipelajari individu terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling). Teori ini juga masih memandang pentingnya conditioning. Melalui pemberian reward dan punishment, seorang individu akan berfikir dan memutuskan perilaku sosial mana yang perlu dilakukan.

Bandura (1977) mengutarakan empat langkah/tahap dalam pembelajaran sosial yaitu (dalam Bastable, 2002):

1. Fase pertama (fase perhatian) yaitu kondisi yang diperlukan agar pembelajaran terjadi. Dari hasil penelitian ditunjukkan bahwa model peran yang berstatus dan berkompetensi tinggi lebih mungkin diamati meskipun karakteristik peserta didik sendiri mungkin lebih perlu diperhatikan. Tingkat keberhasilan belajar itu ditentukan oleh karakteristik model maupun karakteristik pengamat itu sendiri.

 Karakteristik model yang merupakan variabel penentu tingkat perhatian itu mencakup frekuensi kehadirannya, kejelasannya, daya tarik personalnya, dan nilai fungsional perilaku model itu.

 Karakteristik pengamat yang penting untuk proses perhatian adalah kapasitas sensorisnya, tingkat ketertarikannya, kebiasaan persepsinya, dan reinforcement masa lalunya.

2. Fase kedua (fase peringatan/retensi) berkaitan dengan penyimpanan dan pemanggilan kembali apa yang diamati. Retensi ini dapat dilakukan dengan cara menyimpan informasi secara imaginal atau mengkodekan peristiwa model ke dalam simbol-simbol verbal yang udah dipergunakan. Materi yang bermakna bagi pengamat dan menambah pengalaman sebelumnya akan lebih mudah diingat.

(10)

3. Fase ketiga (fase peniruan) dimana peserta didik meniru perilaku yang diamati. Latihan mental, penerapan langsung, dan umpan balik yang korektif memperkuat peniruan tersebut. Pada tahap tertentu, gambaran simbolik tentang perilaku model mungkin perlu diterjemahkan ke dalam tindakan yang efektif.

4. Fase keempat (fase motivasi) yaitu apakah peserta didik termotivasi unutk melakukan jenis perilaku tertentu atau tidak. Pengamat akan cenderung mengadopsi perilaku model jika perilaku tersebut:

a. Menghasilkan imbalan eksternal

b. Secara internal pengamat memberikan penilaian yang positif c. Pengamat melihat bahwa perilaku tersebut bermanfaat bagi

model itu sendiri.

Proses/Tahap Pembelajaran Sosial (Sumber : Bastable, 2002)

Kemudian Bandura (1982) menyatakan bahwa penguasaan kemahiran dan pengetahuan yang kompleks tidak hanya bergantung pada proses perhatian, motor reproduksi dan motivasi yang telah disebut di atas, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh unsur -unsur yang berdasarkan dari diri sendiri yaitu sense of self-Efficacy dan self-regulatory system. Sense of self efficacy adalah keyakinan pembelajar bahwa ia dapat menguasai pengetahuan dan keterampilan sesuai seperti yang berlaku. (M.R. Panjaitan, 2012).

Dalam pembelajaran self -regulatory akan menentukan goal setting dan self evaluation pembelajar dan merupakan dorongan untuk meraih prestasi belajar yang tinggi atau sebaliknya. Menurut Bandura, untuk Berjaya, pembelajar harus dapat memberikan model yang mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pembelajar, Seterusnya mengembangkan self of

(11)

mastery, self efficacy, dan reinforcement bagi pembelajar. Berikut Bandura mengajukan usulan untuk mengembangkan strategi proses pembelajaran yaitu seperti yang berikut:

a. Strategi Proses

1) Analisis tingkah laku yang akan dijadikan model terdiri dari :

 Apakah karakteristik dari tingkah laku yang akan dijadikan model itu berupa konsep, kemahiran motor atau efektif?  Bagaimanakah urutan atau sekuen dari tingkah laku tersebut?  Dimanakah letaknya hal-hal yang penting (key point) dalam

sekuen tersebut?

2) Menetapkan fungsi nilai dari tingkah laku dan memilih tingkah laku tersebut sebagai model.

 Apakah tingkah laku (kemampuan yang dipelajari) merupakan hal yang penting dalam kehidupan dimasa datang? (Success predicti on)

 Bila tingkah laku yang dipelajari kurang memberi manfaat (tidak begitu penting) model manakah yang lebih penting  Apakah model harus hidup atau simbol? Pertimbangan

soal pembiayaan, pengulangan demonstrasi dan kesempatan untuk menunjukkan fungsi nilai dan tingkah laku.

 Apakah peneguhan yang akan didapat melalui model yang dipilih?

3) Pengembangan Sekuen

 Untuk mengajar motor skill, bagaimana cara untuk mengerjakan sesuatu pekerjaan/ kemampuan yang dipelajari 4) Implementasi pengajaran untuk menunut proses kognitif

dan motor reproduksi. b. Kemahiran motor

 Hadirkan model

 Beri kesempatan kepada tiap-tiap pembelajar untuk latihan secara simbolik

 Beri kesempatan kepada pembelajar untuk latihan dengan timbal balik visual.

c. Proses kognitif

 Tampilkan model, baik yang didukung oleh kod-kod verbal atau petunjuk untuk mencari konsistensi pada berbagai contoh.

(12)

 Jika yang dipelajari adalah pemecahan masalah atau strategi penerapan beri kesempatan pembelajar untuk berpertisipasi secara aktif. Terakhir, beri kesempatan pembelajar untuk membuat generalisasi dalam berbagai situasi

Menurut Bandura (1997) self-efficacy adalah kemampuan generatif yang dimiliki individu meliputi kognitif, sosial, dan emosi. Kemampuan individu tersebut harus dilatih dan di atur secara efektif untuk mencapai tujuan individu. Hal ini Bandura menyebutnya dengan self-efficacy karena menurut Bandura memiliki kemampuan berbeda dengan mampu mengorganisasikan strategi yang sesuai dengan tujuan serta menyelesaikan strategi tersebut dengan baik walaupun dalam keadaan yang sulit. Bandura (1997) mengemukakan bahwa self-efficacy individu dapat dilihat dari tiga dimensi, yaitu (T. Muharrani, 2011) :

1. Tingkat (level)

Self-efficacy individu dalam mengerjakan suatu tugas berbeda dalam tingkat kesulitan tugas. Individu memiliki self-efficacy yang tinggi pada tugas yang mudah dan sederhana, atau juga pada tugas-tugas yang rumit dan membutuhkan kompetensi yang tinggi. Individu yang memiliki self-efficacy yang tinggi cenderung memilih tugas yang tingkat kesukarannya sesuai dengan kemampuannya.

2. Keluasan (generality)

Dimensi ini berkaitan dengan penguasaan individu terhadap bidang atau tugas pekerjaan. Individu dapat menyatakan dirinya memiliki self-efficacy pada aktivitas yang luas, atau terbatas pada fungsi domain tertentu saja. Individu dengan self-efficacy yang tinggi akan mampu menguasai beberapa bidang sekaligus untuk menyelesaikan suatu tugas. Individu yang memiliki self-efficacy yang rendah hanya menguasai sedikit bidang yang diperlukan dalam menyelesaikan suatu tugas.

3. Kekuatan (strength)

Dimensi yang ketiga ini lebih menekankan pada tingkat kekuatan atau kemantapan individu terhadap

(13)

keyakinannya. Self-efficacy menunjukkan bahwa tindakan yang dilakukan individu akan memberikan hasil yang sesuai dengan yang diharapkan individu. Self-efficacy menjadi dasar dirinya melakukan usaha yang keras, bahkan ketika menemui hambatan sekalipun.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa self-efficacy mencakup dimensi tingkat (level), keluasan (generality) dan kekuatan (strength). Self-regulated learning adalah proses bagaimana seorang peserta didik mengatur pembelajarannya sendiri dengan mengaktifkan kognitif, Afektif dan perilakunya sehingga tercapai tujuan belajar. (T. Muharrani, 2011). Self regulatory pula merujuk kepada (M.R. Panjaitan, 2012):

Struktur kognitif yang memberi gambaran tingkah laku dan hasil pembelajaran.

Sub proses kognitif yang dirasakan, mengevaluasi, dan mengatur tingkah laku kita.

Pada tahun 1970-an dan 1980-an dilakukan penamaan baru Teori Belajar Sosial (Social Learning Theory) menjadi Teori Kognitif Sosial yang dikembangkan oleh Albert Bandura. Ide pokok dari pemikiran Bandura (Bandura, 1962) juga merupakan pengembangan dari ide Miller dan Dollard tentang belajar meniru (imitative learning). Dalam teori sosial kognitif, faktor internal maupun eksternal dianggap penting. Peristiwa di lingkungan, faktor-faktor personal, dan perilaku dilihat saling berinteraksi dalam proses belajar. Faktor-faktor personal (keyakinan, ekspektasi, sikap, dan pengetahuan), lingkungan fisik dan sosial (sumber daya, konskuensi tindakan, orang lain, dan setting fisik) semuanya saling mempengaruhi dan dipengaruhi. Bandura menyebutkan interaksi kekuatan-kekuatan ini dengan reciprocal determinism.

Determinisme Resiprokal menurut Bandura dapat diartikan sebagai hubungan timbal balik antara 3 komponen yang tidak dapat dipahami secara terpisah-pisah , ketiga komponen itu adalah orang (person/P), lingkungan (environment/E) dan perilaku (behavior/B). Bandura meringkas tiga interaksi komponen tersebut sebagai berikut:

(14)

Model Bandura tentang Pengaruh Timbal Balik Tingkah Laku, Faktor Manusia dan Kognitif, dan Lingkungan

Pada gambar diatas, panah menggambarkan bahwa hubungan antara faktor-faktor bersifat timbal balik ketimbang satu arah (Santrock, 2003). Faktor ini bisa saling berinteraksi dalam proses pembelajaran. Faktor lingkungan mempengaruhi perilaku, perilaku mempengaruhi

lingkungan, faktor person/kognitif mempengaruhi perilaku. Faktor person (kognitif) yang dimaksud saat ini adalah self-efficasy atau efikasi diri. Reivich dan Shatté (2002) mendefinisikan efikasi diri sebagai keyakinan pada kemampuan diri sendiri untuk menghadapi dan memecahkan masalah dengan efektif.

7. KELEMAHAN ATAU KRITIKAN TEORI ALBERT BANDURA

Teori pembelajaran social Albert bandura sangat sesuai jika diklasifikasikan dalam teori behavioristik. Ini karena, teknik pemodelan albert bandura adalah mengenai peniruan tingkah laku dan adakalanya cara peniruan tersebut memerlukan pengulangan dalam mendalami sesuatu yang ditiru. Selain itu juga, jika manusia belajar atau membentuk tingkahlakunya dengan hanya. melalui peniruan (modeling), sudah pasti terdapat sesetengah individu yang menggunakan teknik peniruan ini juga akan meniru tingkah laku yang negatif termasuklah perlakuan yang tidak diterima dalam masyarakat.

8. KELEBIHAN TEORI ALBERT BANDURA

Teori Bandura lebih lengkap dibandingkan teori belajar sebelumnya karena itu menekankan bahwa lingkungan dan perilaku seseorang dihubungkan melalui sistem kognitif orang tersebut. Bandura memandang tingkah laku manusia bukan semata - mata refleks atas stimulus (S-R bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul akibat interaksi antara lingkungan dengan skema

(15)

kognitif manusia itu sendiri.

Pendekatan teori belajar sosial lebih ditekankan pada perlunya conditioning (pembiasaan merespon) dan imitation (peniruan). Selain itu pendekatan belajar sosial menekankan pentingnya penelitian empiris dalam mempelajari perkembangan kanak-kanak. Penelitian ini berfokus pada proses yang menjelaskan perkembangan kanak-kanak, faktor sosial dan kognitif.

9. KESIMPULAN

Teori Belajar Sosial, Teori ini dikembangkan oleh Albert Bandura seorang ahli psikologi pendidikan dari Stanford University,USA. Teori pembelajaran ini dikembangkan untuk menjelaskan bagaimana seseorang mengalami pembelajaran dalam lingkungan sekitarnya.

Bandura (1977) menghipotesiskan bahwa tingkah laku lingkungan dan kejadian – kejadian internal pada pembelajaran yang mempengaruhi persepsi dan aksi adalah merupakan hubungan yang saling berpengaruh. Dari uraian tentang teori belajar sosial, dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Belajar merupakan interaksi segitiga yang saling berpengaruh dan mengikat antara lingkungan, faktor-faktor personal dan tingkah laku yang meliputi proses-proses kognitif belajar.

2. Komponen-komponen belajar terdiri dari tingkah laku, konsekuensi-konsekuensi terhadap model dan proses-proses kognitif pembelajar.

3. Hasil belajar berupa kode-kode visual dan verbal yang mungkin dapat dimunculkan kembali atau tidak (retrievel).

4. dalam perencanaan pembelajaran skill yang kompleks, disamping pembelajaran-pembelajaran komponen-komponen skill itu sendiri, perlu ditumbuhkan “sense of efficacy” dan “self regulatory” pembelajar.

5. Dalam proses pembelajaran, pembelajar sebaiknya diberi kesempatan yang cukup untuk latihan secara mental sebelum latihan fisik, dan “reinforcement” dan hindari punishment yang tidak perlu.

(16)

DAFTAR PUSAKA

Bastable, Susan B. 2002. Perawat Sebagai Pendidik: Prinsip-Prinsip Pengajaran dan Pembelajaran. Jakarta: EGC.

Hidayat, Sherly. 2004. Hubungan Perilaku Kekerasan Fisik Ibu pada Anaknya terhadap Munculnya Perilaku Agresif pada Anak SMP. Jurnal Provitae No.1

Muharrani, T. 2011. “Hubungan antara Self-efficacy dengan Self-regulated Learning pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara”. h t t p : / / reposi t o r y . u s u.a c . i d / hand l e / 12 3 456789 / 26802. (Diakses pada 16 Juni 2015)

Mok Soon Sang,2001. Psikologi Pendidikan 1 , Kumpulan Budiman Sdn. Bhd Hall, Calvis S. & Gardner Lindzey. 1993. Teori-Teori Sifat dan Behavioristik. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Panjaitan, Mei Rodhiah. 2012. “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Anggota Organisasi Kepemudaan Alumni Budi Mulia (Album-Medan) Terhadap donor Darah Di Pmi Medan Tahun 2012”.

h tt p : / / repo s i t o r y .u s u.a c . i d / hand le / 123456789 / 34 5 43. Diakses pada 16 Juni 2015

Prihadi, Syaiful F. 2004. Assessment Center: Identifikasi, Pengukuran dan Pengembangan Kompetensi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Referensi

Dokumen terkait

Proses belajar sosial yang terjadi pada petani dalam mengadospi inovasi. metode SRI, dilihat melalui tahapan modeling meliputi: (1)

Teori belajar menurut Albert Bandura yang dikenal dengan social learning theori (teori belajar sosial) menjelaskan bahwa proses belajar merupakan interaksi yang

Menurut teori belajar sosial dasar kognitif dalam proses belajar dapat diringkas dalam

Menurut Gredel (1994) teori belajar sosial yang dikemukakan oleh Bandura menegaskan hal yang sangat penting dalam pembelajaran observasi adalah :

Teori Pembelajaran Sosial yang dikemukakan oleh Bandura telah memberi penekanan tentang bagaimana perilaku manusia dipengaruhi oleh persekitaran melalui peneguhan

Mengingat pentingnya peran pendidik atau guru khususnya pada pendidikan anak usia dini, maka penelitian ini akan fokus mengkaji peran pendidik anak usia dini berdasarkan teori belajar

HASIL DAN PEMBAHASAN Pendekatan Kognitif-Sosial Perspektif Albert Bandura Pada Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Teori Bandura dalam konsepnya menyatakan bahwa meskipun

Pengertian Teori Belajar Behavioristik Teori belajar behavioristik adalah teori belajar yang mengedepankan perubahan perilaku peserta didik sebagai hasil proses pembelajaran..