• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN"

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

4.1. Gambaran Umum Objek Penelitian 4.1.1. Sekilas Tentang Upacara Seren Taun

Seren Taun merupakan gelaran tradisi masyarakat agraris masyarakat Sunda yang diadakan setiap satu tahun sekali sebagai perwujud rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas hasil panen yang diperoleh selama satu tahun sekaligus juga sebagai doa pengharapan agar hasil panen di masa yang akan datang dapat lebih baik lagi. Perayaan ini diadakan cukup semarak dan khidmat dengan berbagai atraksi kesenian daerah dan ritual doa dari masing-masing tokoh agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Secara etimologi Seren Taun terdiri dari kata ‘Seren’ dan ‘Taun’. Seren artinya ‘menyerahkan’ dan Taun artinya ‘tahun’. Makna dari Seren Taun itu sendiri secara definitif dapat diartikan sebagai penyerahan hasil panen yang telah dilewati selama satu tahun penuh, serta memohon berkah dan perlindungan Tuhan untuk tahun yang akan datang.

Berbeda dengan beberapa wilayah di Jawa Barat yang masih rutin mengadakan tradisi upacara seren taun yang umumnya diselenggarakan setelah masa panen raya selesai. Di desa kecamatan Cigugur, upacara seren

(2)

taun diadakan setiap tanggal 22 Rayagung tahun Saka Sunda sebagai bulan terakhir dalam perhitungan kalender Sunda.

Rentetan acara Seren Taun ini sebenarnya sudah dimulai sejak tanggal 18 Rayagung atau empat hari sebelum acara puncak, yaitu pada tanggal 22 Rayagung. Dalam perayaan ini ditampilkan berbagai kisah-kisah klasik pantun sunda yang mengisahkan tentang dewi Sri atau dewi padi dan juga acara-acara yang secara simbolis mengandung makna-makna spiritual.

Pembukaan upacara Seren Taun dimulai dengan berbagai prosesi

upacara, diantaranya adalah:1

1. Damar Sewu

Damar sewu merupakan acara pembuka dalam perayaan upacara Seren Taun yang diadakan pada malam hari, yaitu acara penyalaan api pada kuntum bunga teratai, kemudian api tersebut disebarkan dengan menggunakan obor ke empat penjuru mata angin.

Secara simbolis prosesi Damar Sewu memiliki makna sebagai semangat yang akan senantiasa terus menyala dan berkembang dari generasi ke generasi selanjutnya. Atau dapat dikatakan ritual ini lebih menggambarkan pada hubungan spiritul yang senantiasa hendak dijaga dan diwariskan pada generasi-generasi berikutnya.

(3)

2. Pesta Dadung

Pesta dadung merupakan acara syukuran para petani dan anak-anak gembala dan masyarakat setempat yang diiringi dengan ritual doa ucapan rasa syukur atas berkah yang diberikan oleh Tuhan YME.

Dadung berarti tali, biasanya tali tambang yang digunakan untuk mengikat ternak. Dalam acara tersebut, dadung kemudian diikatkan dengan diiringi lantunan rajah yang memiliki makna adanya suatu hubungan yang berkesinambungan dalam menjaga dan merawat alam dari generasi ke generasi. Selain itu juga ada ritual pelepasan hama seperti tikus, burung, ular, ulat, dan hama lainnya. Pelepasan hama tersebut merupakan simbol mata rantai kehidupan sebagai penyeimbang alam.

Masyarakat sunda percaya bahwa keseimbangan alam harus tetap terjaga agar ekosistem yang dibentuk alam tidaklah rusak. Ketika mata rantai terputus, maka alam tidak akan memiliki keseimbangan dengan kehidupan lainnya, misalnya saja ketika hama seperti tikus tidak dimangsa oleh ular, tikus akan merusak tumbuhan dan tanaman lainnya.

3. Seribu Kentongan

Ritual seribu kentongan yang dikuti oleh seribu orang peserta sambil menabuh kentongan memiliki makna agar kita senantiasa

(4)

ingat dan eling pada asal wiwitan (asal mula) kehidupan dan hukum adi kodrati.

4. Penanaman Pohon

Penanaman pohon merupakan bentuk kepedulian terhadap lingkungan sekaligus sebagai manifestasi rasa syukur kepada Tuhan dengan cara mencintai, menjaga dan merawat apa yang telah diberikan oleh sang Maha Kuasa kepada umat manusia.

5. Nyiblung dan Dayung Buyung

Nyiblung dan Dayung Buyung merupakan atraksi permainan masyarakat sunda jaman dulu ketika hendak mengambil air dari mata air. Nyiblung adalah permainan musik dengan cara menabuh buyung (wadah air yang terbuat dari tembaga), sementara Dayung Buyung adalah permainan berenang dengan memanfaatkan buyung sebagai pelampung.

6. Helaran/Pawai Budaya

Helaran/Pawai Budaya adalah iring-iringan masyarakat yang diikuti oleh tokoh-tokah adat yang berasal dari berbagai pulau di Nusantara dengan menggunakan delman mengitari Kota Kuningan.

Acara ini sebenarnya lebih ke arah sosialisasi upacara Seren Taun kepada seluruh masyarakat di kabupaten Kuningan tentang event yang bernafaskan semangat Bhineka Tunggal Ika.

(5)

7. Gondang

Gondang adalah panduan kawih sunda ibu-ibu masyarakat adat yang menampilkan keceriaan dan rasa syukur pada saat menumbuk padi dengan menggunakan alu dan lesung yang diiringi oleh musik tradisional.

8. Kidung Spiritual

Kidung Spiritual merupakan doa bersama yang pesertanya terdiri dari berbagai daerah di Nusantara seperti Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, dan Papua dengan latar belakang agama dan kepercayaan berbeda.

Dalam Kidung Spiritual semua peserta secara bersama-sama melakukan doa berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing untuk kedamaian alam semesta.

9. Ngareremokeun

Upacara ini secara simbolis menggambarkan tentang bertemunya energi hidup Sang Hyang Asri Pwah Aci yang disimbolkan dengan kekuatan tumbuhnya pucuk pohon dan kesuburan tanah. Ritual ini diiringi oleh musik tradisional Angklung Buncis dari Kanekes.

(6)

Setelah berbagai prosesi pembuka dilalui, maka tibalah pada acara puncak yang jatuh pada tanggal 22 Rayagung dimana seluruh masyarakat desa kecamatan Cigugur turut berbaur dalam kegembiraan merayakan pesta syukuran upacara Seren Taun. Perayaan yang diadakan di Cagar Budaya Nasional Paseban Tri Panca Tunggal ini sebenarnya tidak hanya disaksikan oleh masyarakat setempat, tetapi tidak jarang juga masyarakat dari luar daerah pun turut menyaksikan, bahkan dari manca negara.

Ada pun prosesi acara puncak Seren Taun ini terdiri dari beberapa

rentetan acara, diantaranya adalah:2

1. Tari Buyung

Tari Buyung merupakan tari tradisional asli Cigugur yang diciptakan oleh ibu Emilia Djatikusumah, istri dari Pangeran Djatikusumah, cucu dari Pangeran Madrais.

Tarian ini mengisahkan tentang gadis-gadis desa yang hendak mengambil air di tempat pemandian dengan membawa buyung.

Keunikan dan keistimewaan tarian ini adalah kemampuan para penari untuk menari di atas kendi, sambil menjunjung buyung. Melalui tarian ini kita senantiasa diingatkan dan menyadari filosofi dari setiap gerakan dalam tari Buyung yang memiliki makna tersirat.

(7)

Menginjak kendi sambil membawa buyung di kepala (nyuhun/nyunggi) erat hubungannya dengan ungkapan “di mana bumi di pijak di situ langit dijunjung”. Sementara membawa buyung di atas kepala sangat memerlukan keseimbangan. Hal ini berarti bahwa dalam kehidupan ini perlu adanya keseimbangan antara perasaan dan pikiran.

2. Angklung Buncis

Seni musik khas Jawa Barat yang terbuat dari bambu ini dimainkan oleh lima puluh orang pemain yang menggambarkan keceriaan para petani dalam menyambut hasil panen dan juga sekaligus ungkapan rasa syukur atas limpahan rezeki dari Yang Maha Kuasa serta pengharapan agar Tuhan memberikan rezeki melalui hasil panen yang melimpah ditahun mendatang.

3. Ngajayak

Prosesi Ngajayak merupakan iring-iringan menyambut hasil panen dari empat penjuru mata angin. Masing-masing rombongan terdiri dari sebelas pasangan muda-mudi dengan didampingi oleh bapak-bapak dan ibu-ibu yang membawa hasil panen berupa padi, beuti dan buah-buahan menuju tempat upacara.

(8)

4. Nutu/Penumbukan Padi

Nutu atau Penumbukan Padi merupakan prosesi puncak dari upacara Seren Taun dimana hasil panen berupa padi yang berjumlah 22 kwintal; 20 kwintal untuk diproses menjadi beras dengan cara menumbuknya dan kemudian dibagikan kepada warga, sementara yang 2 kwintal digunakan untuk dijadikan bibit padi.

4.1.2. Cagar Budaya Nasional Paseban Tri Panca Tunggal

Perayaan upacara Seren Taun tidak terlepas dari keberadaan Gedung Paseban Tri Panca Tunggal sebagai pusat perayaan upacara Seren Taun. Gedung Paseban Tri Panca Tunggal secara resmi diakui sebagai salah satu Cagar Budaya Nasional di Nusantara melalui surat keputusan Direktur Direktorat Sejarah dan Purbakala, tertanggal 14 Desember 1976 dengan No.

3632/C.1/DSP/1976.3

Berdasarkan catatan sejarah, gedung Paseban Tri Panca Tunggal tersebut dahulunya merupakan tempat tinggal Pangeran Madrais atau Kiai Madrais, tokoh yang juga dikenal sebagai pendiri ajaran Agama Djawa Sunda (ADS). Kiai Madrais merupakan keturunan dari Kesultanan Gebang, yaitu kerajaan kecil yang merupakan wilayah bagian dari Kesultanan Cirebon.

3

(9)

Diceritakan bahwa pada masa pendudukan VOC di Cirebon, Pangaran Gebang meminta pada VOC untuk memisahkan wilayah Gebang dari Cirebon. VOC menanggapi permohonan Pangeran Gebang karena sesungguhnya VOC memerlukan sekutu yang dapat diandalkan disebelah timur Cirebon. Maka ditetapkanlah daerah untuk Pangeran Gebang yang membentang dari pantai Cirebon sebelah utara sampai Cijulang di selatan.

Kiai Madrais sendiri merupakan putera dari Pangeran Alibasa Gebang, yaitu pangeran kesembilan dari silsilah kesultanan Gebang. Dalam keterangan kelurga, dan keterangan dari keturunan Ki Sastrawadana di Cigugur, bahwa putra Pangeran Alibasa Gebang yaitu Pangeran Madrais tidak dilahirkan di Gebang tetapi dilahirkan di Susukan Ciawi gebang yang kemudian dititipkan

kepada Ki Sastrawadana di Cigugur sekitar tahun 1825.4

Pada perkembangannya Kiai Madrais membangun padepokan dan kemudian mengembangkan ajarannya tentang bagaimana hubungan manusia dengan alam, dan selanjutnya ajaran tersebut lebih dikenal dengan sebutan Adjaran Djawa Sunda (ADS).

Adjaran Djawa Sunda pada awalnya merupakan pengembangan agama Islam yang digubah ke dalam adat istiadat Sunda. Pengajaran Islam dalam bentuk aksara dan bahasa Sunda konon merupakan strategi kiai Madrais agar tidak dicurigai oleh penjajah dengan mengubah tulisan Al-Quran dan Hadits

(10)

ke dalam bahasa dan tulisan Djawa Sunda.5 Ajaran tersebut kemudian juga dikenal dengan sebutan Agama Sunda Wiwitan.

Karena dianggap berbahaya oleh pemerintahan Belanda, maka pihak Belanda pun mulai melakukan langkah-langkah politisnya dengan cara-cara mengadu domba seperti dengan menyebarkan anggapan bahwa Kiai Madrais telah menyimpang dari ajaran-ajaran Islam. Selain itu kiai Madrais juga dituduh telah melakukan pemerasan dan melakukan penipuan kepada masyarakat.

Dengan tuduhan-tuduhan tersebut Kiai Madrais kemudian dimasukan ke dalam tahanan yang selanjutnya dijatuhkan keputusan Pemerintah Belanda untuk membuang atau mengasingkan Kiai Madrais ke Merauke pada tahun 1901-1908. Dan selanjutnya pemerintahan Belanda melakukan pengawasan terhadap keluarga dan segala aktivitas yang berkaitan dengan ADS.

Pasca masa penjajahan Belanda yaitu pada masa Orde Lama, tepatnya pada tanggal 21 September 1964 terjadi pembubaran ADS secara massal, hal tersebut terkait akibat diterbitkannya Surat Keputusan Panitia Aliran Masyarakat (PAKEM) kabupaten Kuningan, tertanggal 18 Juni 1964 yang menyatakan bahwa perkawinan secara adat yang dulunya dianggap sah adalah suatu perkawinan yang ilegal dan dianggap tidak sah secara hukum.

5

http://www.voa-islam.com/read/citizens-jurnalism/2014/10/17/33436/mengungkap-asal-usul-agama-sunda-wiwitan/#sthash.dNeMFv3l.dpbs 10/06/2016

(11)

Akibat larangan dan pembubaran diri penganut ADS tersebut, maka segala bentuk aktivitas dan kegiatannya pun terhenti, termasuk kegiatan syukuran adat upacara Seren Taun turut dilarang meski sebenarnya tidak ada hubungannya dengan ritual-ritual keagamaan, tetapi hanya sebagai ungkapan rasa syukur (pesta masyarakat agraris) atas hasil panen yang telah dilimpahkan oleh Tuhan dan sekaligus permohonan agar hasil panen di masa mendatang akan memperoleh hasil panen yang lebih baik.

Mengenal Gedung Paseban Tri Panca Tunggal sebagai bangunan peninggalan sejarah. Seperti yang sudah peneliti katakan di awal bahwa Gedung Paseban dahulunya merupakan rumah kiai Madrais, dan sekarang ditinggali oleh Pangeran Djati Kusumah, cucu dari kiai Madrais yang masih hidup bersama keturunannya.

Gedung Paseban memiliki beberapa ruangan inti yang dari masing-masing ruangan tersebut memiliki nama sendiri- sendiri. Nama-nama ruangan tersebut antara lain, adalah:6

1. Jinem

Ruangan Jinem ini membujur arah utara selatan dan ruangan ini pada masa dulu dipakai sebagai tempat Saresehan/ceramah dalam memberi dan menerima pengertian hidup dan kehidupan serta kejiwaan dalam pengheningan cipta untuk mengenal dan merasakan adanya cipta, rasa dan karsa.

(12)

Dalam ruangan ini dapat dilihat beberapa relief pada tiang (saka) dan dinding yang menggambarkan rupa Danawa dalam nyala api. Relief ini untuk mengingatkan bahwa dalam pagelaran hidup ini harus selalu waspada dalam penyaluran nafsu yang tidak jarang pula dipengaruhi amarah (sifat api) yang disini gambarkan dalam nyala api.

Pada dinding sebelah timur, terdapat relief yang menggambarkan Reseksi dan Satria Pinandita berhadapan, relief inipun menggambarkan/mengingatkan bahwa dalam kita menghadapi/memerangi hawa nafsu buruk, sekaliapun harus memakai sifat-sifat Pinandita namun tidak dibenarkan bilamana cara menghindarinya itu dengan mengasingkan diri dari kehidupan ramai. Oleh karena itu, disamping harus memiliki sifat-sifat Pinandita yang berbudi luhur, penuh rasa kehalusan, namun harus memiliki sifat ksatria yang bergerak aktif dan kreatif dalam masyarakat untuk mewujudkan damai dalam asih.

2. Pendopo Pagelaran

Dalam ruangan Pendopo itu terlukis dalam dinding sebelah timur sebuah relief yang bertuliskan aksara sunda PURWA WISADA. Tulisan itu mengganbarkan adanya Cipta dan Karsa Gusti. Purwa sama artinya dengan awal/mula, dan Wisada berarti cipta dan Karsa adalah ketentuan sebagai hukum adikodrati.

(13)

Bahwa manusia diciptakan dalam pagelaran hidup ini (dunia) tidak sekedar untuk hidup, tetapi dengan akal budinya harus mampu meningkatkan peradaban dalam mengolah-sempurnakan serta memanfaatkan cipta karsa Gusti yang dalam relief digambarkan dalam burng garuda diatas lingakaran.

Lingkaran yang dilukiskan diatas garis globe yang ditunjang oleh dua ekor naga yang berkaitan satu sama lain, menggambarkan/melambangkan dalam meningkatkan hidup dan kehidupan harus ada pengertian yang sama serta jalinan kerja sama yang baik antara pria dan wanita dengan menyadari tugas-tugas serta fungsi masing-masing selaku umat Gusti.

Penggambaran untuk naga itu, dimaksudkan untuk gerak kehendak yang menyalur pada itikad mewujudkan dan mencapai sesuatu, atau yang biasa disebut adanya nafsu. Dalam penyaluran nafsu atau kehendak/itkad inilah yang harus selaras dengan ciri pribadi dalam cara mencapai dan melaksanakannya karena tidak jarang bahwa hidup manusia dipengaruhi oleh cara kehidupan lain diluar cara dan ciri kehidupan manusia.

Dalam lingkaran yang didukung oleh dua ekor naga dan lukisan tiga buah lengkungan yang diatasnya terdapat lima garis yang merupakan nyala api, adalah menggambarkan bahwa dalam kehidupan ini segala gerak langkah perbuatan bertitik tolak dan

(14)

terpancarkan dari tiga unsur yaitu sir, rasa, dan pikir yang kemudian pancarannya itu menyalur kepada panca indera yang tidak lepas dari adanya pengaruh-pengaruh dari lima unsur nafsu yang berasal dari sifat tanah, air, angin dan api disamping sifat manusianya itu sendiri.

Daya tarik menarik pengaruh mempengaruhi ini bergerak dan berkambang dalam hidup kehidupan ini yang dalam relief digambarkan dengan dua sayap disamping nyala api diatas tiga garis seperempat lingkaran itu. Dua buah kata Purwa Wisada yang dimaksudkan untuk selalu mawas diri, selalu ingat akan fungsi hidup manusia yang harus berbudi luhur.

Pada dinding sebelah kanan Purwa Wisada terdapat sebuah relief lagi yang merupalkan lukisan seorang petapa ditengah motif ukiran yang dikanan kirinya terdapat lukisan kepala Banaspati dan diatasnya ada tulisan huruf sunda yang berbunyi SRI RESI SUKMA KOMARA TUNGGAL.

Sri Resi adalah gambaran cinta kasih, pancaran komara (cahaya) Maha Kuasa mengatur segala isi alam semesta ini dengan segala kemurahannya, dari sekecil atom sampai pada bumi planet yang bergerak dialam semesta ini hanyalah tunggal Tuhan sebagai Maha Pengatur dari asal segala asal yang disebut pula dalam ajaran Bapak Kiai Madrais GUSTI PANGERAN SIKANG SAWIJI-WIJI.

(15)

Gusti Pangeran Sikang Sawiji-wiji adalah Tuhan Yang Maha Esa. Wiji adalah inti. Inti dari segala kehidupan baik jagat besar maupun jagat kecil (makro dan mikro) atau alam raya, alam raga dam alam rasa.

3. Srimanganti (bagian depan padaleman)

Sri Manganti adalah sebagian dari ruangan padaleman (ruang lebet) yang membujur dari arah utara selatan. Tempat ini dipakai pula penyelenggaraan upacara-upacara pernikahan, untuk merundingkan masalah-masalah seperti persiapan Upacara Seren Taun dan memecahkan masalah-masalah keluarga.

Dalam ruangan ini, pada empat sudut terdapat empat patung penjaga yang membawa tombak dan perisai dengan maksud melambangkan bahwa dalam segala musyawarah harus selalu waspada untk menjaga adanya pengaruh-pengaruh diluar sipat manisia.

Dalam ruangan ini pula ditempatkan kursi atau BALE KANCANA sebagai tempat pelaminan (khusus keluarga) yang pada masa dulu disebut sebagai Panglinggihan.

Ruangan Padaleman atau ruang lebet mempunyai bentuk empat persegi yang ditengahnya terdapat pula sebuah ruangan yang merupakan bangunan tersendiri. Bangunan yang tengah ini

(16)

merupakan ruang tempat penyimpanan buku-buku sejarah dan keagamaan dari segala agama.

Dalam ruangan ini juga mengingatkan bahwa kita harus berpikir secara luas dan jangan memandang sesuatu hanya dari satu sudut, tetapi dalam menelaah sesuatu itu harus dari segala arah untuk menemukan kepastian wujud dari hakekat hidup ini.

4. Dapur Ageung

Dapur Ageung adalah sebuah tungku perapian yang dibuat dari semen dengan hiasan empat naga pada empat sudut dan mahkota diatasnya.

Dapur perapian ini dipakai menyalakan api hanya untuk mrnggambarkan adanya unsur-unsur nafsu lainnya disamping sifat manusia.

Dalam relief dapur ageung ini dilukiskan empat ekor naga ditiap sudutnya. Sedangakan diatasnya merupakan mahkotanya. Hal ini menggambarkan adanya perikemanusiaan (mahkota) harus dapat mengatasi empat unsur nafsu lainnya, seperti: tanah, air, angin, dan api yang juga sering disebut nafsu amarah.

Pada dasarnya ke-empat unsur nafsu tersebut sebagai unsur penunjang yang harus diarahkan dalam bin\mbingan kehalusan budi

(17)

manusia terutama yang sangat memerlukan bimbingan itu bilamana sifat amarah (api) mempengaruhi sifat manusia.

4.1.3. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di Cagar Budaya Nasional Paseban Tri Panca Tunggal yang terletak di desa kecamatan Cigugur, kabupaten Kuningan, provinsi Jawa Barat.

Secara geografis Kecamatan Cigugur terletak pada kordinat 108O 23’

BB – 108O 47’ BT, dan 6O 47’ LU – 7O 12’ LS. Kecamatan Cigugur secara

definitif diresmikan pada tanggal 07 Pebruari 1992, berlokasi di kaki gunung Ciremai pada ketinggian 661 meter di atas permukaan air laut dengan suhu

rata-rata 23OC sampai dengan 27OC.7

Sementara Luas wilayah Kecamatan Cigugur ± 3.369.576 ha, dengan batas-batas wilayah sebagaimana berikut ini :

1. Batas Wilayah :

a. Sebelah Utara : Berbatasan dengan Kec. Kramat Mulya;

b. Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Kec. Kadugede

c. Sebelah Barat : Berbatasan dengan Kab. Majalengka

d. Sebelah Timur : Berbatasan dengan Kec. Kuningan

2. Ketinggian dari Permukaan Laut : 661 (mdpl)

3. Luas Kecamatan : 3.369.576 Ha

7

http://kec-cigugur.kuningankab.go.id/direktori/profil-kecamatan-cigugur-tahun-2014 16/06/2016

(18)

4. Jumlah Penduduk : 44.332 Jiwa 5. Website : http://kec-cigugur.kuningankab.go.id 6. Email : info@kec-cigugur.kuningankab.go.id Sumber : http://www.kuningankab.go.id/pemerintahan/kecamatan/kecamatan-cigugur 4.1.4. Profil Informan 1. Ibu. Tati

Wanita berusia kisaran 45 tahunan ini merupakan anak dari Pangeran Djatikusumah, yaitu cucu dari Pangeran Madrais atau Kyai Madrais, atau dapat dikatakan ibu Tati ini adalah cicit dari Pangeran Madrais.

Dalam kesehaiannya, wanita cantik ini lebih banyak menghabiskan waktu dalam kegiatan pembinaan bagi anak-anak muda dalam berkesenian. Beliau juga tidak jarang menjadi narasumber dalam setiap kesempatan ketika ada pengunjung yang membutuhkan informasi-informasi terkait upacara Seren Taun ataupun mengenai bangunan Gedung Paseban Tri Panca Tunggal. 2. Bapak. Subrata

Tidak jauh berbeda dengan bapak Kento, Bapak Subrata juga dapat dikatakan sebagai generasi tua yang cukup aktif dalam kepanitiaan di acara upacara Seren Taun.

(19)

Pria berusia kisaran 70 tahunan awal ini biasa menjabat dalam perbendaharaan dalam susunan kepanitiaan di acara upacara Seren Taun. Dalam kesehariannya, beliau lebih banyak menghabiskan waktu di rumah selain turut serta membantu mengembangkan sektor agraris untuk keperluan upacara Seren Taun.

3. Ibu Yuliana Utarsih, S.Pd

Wanita berusia 37 tahun ini merupakan seorang guru sejarah di SLTP Yos Sudarso - Cigugur yang juga sekaligus sebagai pembina berbagai kegiatan kesiswaan.

Pengalamannya sebagai tenaga pengajar untuk mata pelajaran sejarah, ibu Utarsih juga cukup dekat dengan anak-anak dididk dimana beliau aktif sebagai pembina kegiatan kesiswaan di SLTP Yos Sudarso Cigugur, sehingga diharapkan peneliti akan dapat memperoleh informasi yang baik terkait pemahaman-pemahaman anak-anak didik terhadap upacara Seren Taun.

4. Theodorus Thomas

Siswa Kelas Pembangunan (Paket C) Bina Cahya, Cigugur asal desa Sidawangi kabupaten Cirebon ini merupakan siswa yang cukup aktif dalam kegiatan-kegiatan kesenian, seperti seni musik dan seni ukir kayu.

(20)

Meski sebenarnya bukan asli Cigugur, namun pemuda berusia 17 tahun ini tinggal di asrama yang cukup dekat dengan lokasi Cagar Budaya Nasional Paseban Tri Panca Tunggal sehingga bukan hal asing terkait tata cara dan adat yang ada di Cigugur, bahkan berdasarkan percakapan sebelumnya dengan informan, peneliti memperoleh keterangan bahwa informan pernah turut berpartisipasi dalam kegiatan upacara Seren Taun.

4.2. Hasil Penelitian

4.2.1. Peranan Upacara Seren Taun sebagai Media Komunikasi dalam Memberikan Pemahaman Nilai-nilai Sejarah dan Budaya

Nilai-nilai sejarah dan budaya dalam upacara Seren Taun memang tidak dijelaskan secara gamblang karena proses komunikasi dalam upacara Seren Taun tersebut lebih banyak ditampilkan dalam bentuk komunikasi non verbal seperti simbol-simbol, artefak, busana/pakaian, gestur atau pun adat bahasa isyarat, dan lain sebagainya. Namun sebenarnya dari berbagai rentetan prosesi tersebut sangatlah sarat akan makna dan nilai-nilai luhur kearifan lokal yang hendak disampaikan atau dikomunikasikan kepada khalayak.

Seperti diungkapkan oleh ibu Tati dalam wawancara peneliti yang dilakukan di Gedung Paseban Tri Panca Tunggal pada tanggal 5 Mei 2016, bahwa setiap prosesi upacara Seren Taun memiliki pesan-pesan yang sebenarnya hendak disampaikan atau hendak dikomunikasikan kepada

(21)

khalayak melalui berbagai rentetan prosesi upacara, baik yang bersifat sakral maupun sebagai pelengkap acara.

“Dalam Seren Taun memang saling berkaitan, terlihat dari acara pada malam pertama yaitu damar sewu. Damar Sewu senantiasa mengingatkan kita terutama mengingatkan pada generasi yang memiliki simbol bahwa ‘ulah pareuman obor’ (jangan padamkan obor), jadi kehidupan ini harus senantiasa turun temurun secara regenerasi jangan sampai ada rantai pesan yang terputus, kesadaran yang terputus akan makna kehidupan bahwa kita dilahirkan berbangsa-bangsa,

bersuku-suku itu sudah memiliki karakter masing-masing.”8

Melalui acara damar sewu, pesan yang ingin disampaikan adalah perihal semangat dalam menjaga dan meneruskan tardisi-tradisi budaya leluhur dan diharapkan dapat terus diwariskan hingga ke generasi-generasi selanjutnya yang disimbolkan melalui nyala api obor.

Selain Damar Sewu sebagai acara pembuka, juga ada acara Pesta Dadung. Pesta dadung yang diiringi dengan acara Miceun Hama atau Pelepasan Hama mencerminkan suatu hubungan harmonisasi antara manusia dengan alam dan lingkungannya yang tujuannya adalah menjaga keseimbangan alam.

“Pesta dadung berkaitan bagaimana manusia sangat erat hubungannya dengan alam, harmonisasi antara petani dan gembala yang selalu berdekatan dengan alam atau lingkungan yang saling melengkapi. Tarian-tarian para petani dan gembala dengan saling memegang tali tambang sambil berputar-putar, maksudnya ekosistem ini harus berjalan dengan baik agar senantiasa terbentuk keseimbangan. Kemudian ada acara Miceun Hama yang dilakukan di Situ Hiang.

Miceun Hama bukan berarti membuang atau membunuh hama, tetapi mengembalikannya ke alam. Kita meyakini bahwa di alam ini ada zona netral yang mana kita semua memiliki getaran frekuensi yang sama; manusia butuh makan, hewan pun butuh makan. Manusia ingin

(22)

bertahan hidup, hewan pun ingin bertahan hidup. Disitu kita semua melakukan komunikasi dengan mereka bahwa kita bisa hidup secara

berdampingan tanpa saling merusak satu sama lainnya.”9

Pesan yang hendak disampaikan melalui acara miceun hama adalah, bahwasannya Tuhan menciptakan alam dan segala sesuatunya secara seimbang dimana segala sesuatunya saling berkaitan dan saling melengkapi. Perlakuan seperti pembasmian hama dengan menggunakan pestisida, insektisida dan bahan-bahan kimia lainnya secara tidak langsung dapat merusak unsur hara yang terdapat di dalam tanah padahal sebenarnya Tuhan sudah menciptakan predator bagi hama-hama tersebut sehingga alam akan tetap terjaga secara seimbang dan alamiah

Selain pesan-pesan yang ditampilkan melalui acara-acara damar sewu dan pesta dadung, ibu Tati juga menambahkan bahwa upacara Seren Taun merupakan manifestasi yang menggambarkan nilai-nilai toleransi, ke-berbhinekaan yang berlandaskan Pancasila melalui acara Kidung Spiritual Antar Umat.

“Seren Taun menampilkan keberagaman sebagai keniscayaan yang sudah Tuhan ciptakan, makanya di sini ada acara Kidung Spiritual antar Umat dimana semua tokoh agama berkumpul bersama-sama. Di sini, seren taun juga memberikan peran dan pesan kepada masyarakat

untuk saling menghargai semua umat.”10

Acara kidung spiritual menggambarkan suatu kondisi ideal dalam kehidupan sosial dalam keberbedaan. Melalui kidung spiritual diaharapkan

9

Wawancara dengan ibu Tati, Kamis (05/05/2016) di Gedung Paseban Tri Panca Tunggal

10

(23)

akan dapat memberikan pemahaman-pemahaman serta menanamkan sikap-sikap toleransi, sikap-sikap-sikap-sikap saling menghormati dan sikap-sikap-sikap-sikap saling menghargai agar seluruh komponen kehidupan sosial dapat hidup bersama-sama dan hidup saling berdampingan secara rukun dalam keberbedaan.

Berkenaan dengan peranaan upacara Seren Taun sebagai media komunikasi dalam memberikan pemahaman sejarah dan budaya bagi masyarakat setempat, peneliti melihat bahwa untuk bisa memaknai pesan-pesan yang ditampilkan dalam berbagai prosesi upacara Seren Taun memang tidaklah sesederhana seperti halnya kita membaca buku, dibutuhkan suatu pedekatan secara inten dan keterlibatan secara langsung. Artinya, dengan hanya menyaksikan event Seren Taun kita tidak bisa serta merta mengerti mengenai pesan-pesan apa saja yang hendak disampaikan melalui berbagai prosesi yang ditampilkan tersebut.

Jadi dapat dikatakan bahwa untuk bisa memahami dan memaknai pesan-pesan yang terdapat di dalam upacara seren taun dibutuhkan keterlibatan secara langsung dari masing-masing individu atau karena adanya pihak-pihak yang terlibat dalam memberikan arahan misalnya saja melalui instansi pendidikan yang mengarahkan anak didiknya untuk turut serta berpartisipasi secara langsung dalam upacara seren taun.

Untuk memperoleh informasi lebih lanjut, peneliti mencoba melakukan wawancara dengan ibu Yuliana Utarsih, yaitu seorang tenaga pengajar (guru) di sebuah sekolah menengah pertama yang ada di Cigugur terkait

(24)

pemahaman-pemahaman anak didik terhadap pesan-pesan yang mereka tangkap melalui berbagai prosesi yang ditampilkan dalam upacara adat Seren Taun.

Berdasarkan keterangan ibu Yuliana Utarsih dalam wawancara peneliti yang dilakukan di sekolah SLTP Yos Sudarso Cigugur pada tanggal 2 April 2016. Menurutnya, untuk memperoleh pemahaman-pemahaman terhadap pesan-pesan moral, nilai-nilai budaya dan kearifan lokal yang ditampilkan melalui rangkaian upacara Seren Taun adalah dengan cara melibatkan anak-anak didik untuk mengamati dan berpartisipasi secara langsung.

“Agar anak bisa lebih paham, yang pertama adalah anak-anak dilibatkan langsung untuk ikut aktif dalam acara upacara Seren Taun, ada yang ikut dalam acara tari buyung, ada juga yang ikut dalam acara ngajayak. Yang kedua adalah pihak sekolah biasanya memberikan jam bebas, jadi kami hanya mengadakan IBM (Interaksi Belajar Mengajar) selama satu jam. Biasanya jam delapan pagi anak-anak sudah bisa turun ke lokasi untuk melihat dan memahami dan meliput langsung ke lapangan, kemudian dari hasil liputan tersebut dibuat

laporannya dalam bentuk paper atau kliping.”11

Menurut ibu Tati, apresiasi generasi muda saat ini memang lebih banyak dari luar Cigugur meski sebenarnya anak-anak muda di Cigugur juga sangat mengapresiasi dan turut serta dalam berbagai kegiatan upacara Seren Taun hanya saja ada berbagai faktor menyebabkan anak-anak muda dari luar Cigugur lebih banyak berpartisipasi dalam kegiatan upacara Seren Taun, misalnya saja karena faktor pendidikan di luar Cigugur, atau karena memang ada faktor-faktor secara politis.

(25)

“Sebetulnya apresiasi anak-anak muda di Cigugur itu, gak usah anak-anak Cigugurlah, anak-anak luar dari Cigugur sangat-sangat mengapresiasi. Anak-anak Cigugur juga sebenarnya sangat mengapresiasi tapi aya keneh sih nu model gengsi padahal urang kota mah teu gengsi ikut ngajanur, ikut apa, ikut apa. Tapi intinya ya memang karena sudah ada nuansa-nuansa politis di Cigugur sendiri, jadi sebenernya bukan karena enggak mau terlibat tapi memang ada sebagian yang dilarang sehingga sekarang ini lebih banyak orang luar.”12

Sementara menurut bapak Subrata apresiasi generasi muda terhadap upacara seren taun lebih banyak dilakukan anak-anak sekolah di sekitar kota Kuningan, jadi tidak hanya anak-anak Cigugur.

“Kalau untuk sekarang generasi muda yang ada di cigugur berpedidikannya di luar cigugur. Nah sekarang lebih berkembang karena upacara seren taun bukan dimiliki oleh satu golongan karena manusia jangankan sebagai orang indonesia semua bangsa, semua manusia yang bersyukur kepada tuhan YME itu hak. Maka untuk generasi muda, kadang-kadang anak-anak SMA anak-anak SMK yang ikut serta terlibat dalam upacara seren taun sebagai generasi muda

selain dari masyarakat Cigugur.”13

Selain itu, peneliti juga mencoba melakukan wawancara dengan saudara Thomas, seorang pelajar di sekolah Kelas Pembangunan Bina Cahya (Paket C), Cigugur mengenai pemahaman-pemahamannya terhadap upacara seren taun serta keterlibatannya dalam kegiatan upacara seren taun.

“Makna upacara seren taun yaitu sebagai ungkapan rasa syukur, sebagai rasa hormat serta terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa Esa atas hasil panen yang diperoleh. Bukan hanya atas hasil panen tapi juga untuk mengingatkan kita untuk senantiasa bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.”

12

Wawancara dengan ibu Tati, Kamis (05/05/2016) di Gedung Paseban Tri Panca Tunggal

(26)

Selain mengungkapkan pemahamannya saudara Thomas juga mengungkapkan pandangannya perihal apa saja yang dapat dipetik dari perayaan adat upacara seren taun.

“Kalau yang saya petik dari seren taun ini yaitu dalam hidup ini kita harus senantiasa bersyukur atas apa yang diberikan oleh tuhan dan menjaga anugrah Tuhan.”

Dari informasi yang peneliti peroleh, secara umum pemahaman mengenai upacara Seren Taun sudah cukup dipahami oleh beberapa anak muda, khususnya para pelajar yang memang memiliki kesempatan lebih besar untuk berpartisipasi dalam berbagai kegiatan di acara Seren Taun hanya saja ketika peneliti berusaha menggali informasi terkait pemahamannya terhadap sejarah di Cigugur dan kaitan-kaitannya dengan upacara Seren Taun sepertinya memang belum banyak yang mengetahui dan mempelajarinya.

“Mengenai sejarahnya saya kurang mengetahuinya tapi yang saya tahu upacara seren taun merupakan upacara adat yang diadakan setahun sekali oleh masyarakat Cigugur sebagai ungkapan rasa syukur kepada

Tuhan atas hasil penen yang diperoleh selama satu tahun.”14

Sementara menurut bapak Subrata, pemahaman generasi muda terhadap sejarah dan budaya yang diimplementasikan melalui berbagai rangkaian acara upacara Seren Taun memang belum sepenuhnya dipahami oleh generasi muda, terlebih khususnya anak muda di Cigugur yang sebagian besar pendidikannya di luar daerah.

(27)

“Ya terus terang saja, sebagian ya sudah tahu dan sebagian mungkin belum memaknai, belum mempelajari. Kadang-kadang yang jauh-jauh seperti mahasiswa, orang-orang filsafat, orang-orang budayawan justru yang selalu ingin tahu. Tapi dalam pelaksanaannya

semua ikut serta, hanya saja maknanya belum tentu tahu.”15

Peranan upacara Seren Taun dalam proses pewarisan sejarah dan budaya di desa kecamatan Cigugur memang sangat membutuhkan keterlibatan dari berbagai pihak, bukan hanya dari pihak Paseban sebagai Cagar Budaya Nasional atau pun dari pihak pemerintah daerah dan lembaga pendidikan saja tetapi juga dari semua pihak yang memiliki perhatian terhadap pelestarian budaya dan kearifan lokal untuk turut serta terlibat menjaga dan melestarikan warisan-warisan budaya leluhur sehingga pada akhirnya proses pewarisan budaya tersebut dapat berlanjut dari generasi ke generasi selanjutnya.

Hasil temuan yang peneliti peroleh dilapangan menunjukkan bahwa pada proses komunikasi di sini, upacara seren taun selain berperan sebagai media juga bertindak sebagai pesan itu sendiri karena penyelenggaraan upacara seren taun tidak dilakukan secara spontan sehingga membutuhkan perpanjangan media lain untuk menginformasikan barbagai hal mengenai waktu dan penyelenggaraan uapacara seren taun tersebut.

Berdasarkan keterangan yang diperolah dari bapak Subrata, proses sosialisasi mengenai upacara seren taun itu sendiri setiap tahunnya pihak Paseban selalu mengadakan dialog-dialog, pers, hingga mencetak brosur, buklet atau pamflet.

(28)

“Kalau diharapakan tiap tahunnya juga mencetak brosur, mencetak buklet untuk memperkembangkan, memperkenalkan ke

generasi muda dan ke semua yg ingin tahu.”16

Hal senada juga disampaikan oleh ibu Utarsih terkait sosialisasi mengenai upacara seren taun. Beliau mengatakan bahwa dari pihak Paseban sendiri selalu mengadakan sosialisasi setiap tahunnya dengan mengirimkan surat selebaran ke sekolah.

“Ya, ada. Dari pihak Paseban ada sosialisasinya dan biasanya dari pihak Paseban ada surat rekomendasi yang akan disampaikan kepada sekolah siapa saja yang akan terlibat langsung dalam acara seren taun.”17

4.2.2. Komponen Komunikasi yang Membentuk Peristiwa Komunikasi dalam Upacara Seren Taun

Keberadaan upacara Seren Taun yang rutin diselenggarakan setiap tahunnya sedikit banyak telah memberikan dampak positif bagi pemahaman masyarakat akan pentingnya nilai-nilai kearifan lokal sebagai suatu warisan budaya yang patut untuk dijaga kelestariannya.

Jika beberapa tahun yang lalu, ketika untuk kali pertama upacara Seren Taun diselenggarakan kembali pada tahun 1998, banyak sekali masyarakat di

16 Wawancara dengan bapak Subrata, Selasa (3/05/2016) 17

(29)

Cigugur, khususnya anak-anak muda yang tidak tahu apa itu upacara Seren Taun, tidak terkecuali peneliti sendiri. Tetapi pada saat ini, dari apa yang peneliti jumpai, dapat dikatakan semua masyarakat di Cigugur sudah mengetahui apa itu perayaan upacara Seren Taun sekalipun hanya sekedar tahu tanpa dibarengi pemahaman secara lebih mendalam.

Terlepas dari apakah peranan upacara Seren Taun memberikan dampak pada pemahaman-pemahaman masyarakat setempat terhadap nilai-nilai kearifan lokal atau tidak, faktanya kita mengetahui bahwa upacara Seren Taun berperan langsung sebagai saluran komunikasi dalam menyampaikan informasi baik berupa pesan-pesan verbal ataupun non verbal.

Dari hasil pengamatan peneliti selama melakukan observasi di lokasi penelitian dimana peneliti berkesempatan untuk berinteraksi secara langsung dengan beberapa informan dan masyarakat setempat, serta turut serta merasakan bagaimana suasana dan situasinya di lokasi penelitian. Peneliti menemukan suatu pemahaman bagaimana proses komunikasi itu berlangsung.

Pada dasarnya pesan-pesan komunikasi yang ditampilkan dalam berbagai prosesi upacara Seren Taun sangat dipengaruhi kompone-komponen komunikasi. Unsur atau komponen ini secara tidak langsung sangat mendukung proses terjadinya peristiwa komunikasi antara pesan yang disampaikan kepada komunikan melalui berbagai prosesi upacara Seren Taun.

(30)

Komponen-komponen komunikasi yang turut membentuk peristiwa komunikasi tersebut antara lain, peneliti kategorikan sebagai berikut:

1. Setting

Setting mencakup waktu, tempat dan latar belakang terbentuknya peristiwa komunikasi. Ketika interaksi berlangsung, proses komunikasi sangat dipengaruhi oleh ketersediaan waktu, adanya tempat dan tujuan atau latar belakang yang membentuk terjadinya peristiwa komunikasi.

Untuk lebih jelasnya kita bisa melihat kembali pada wawancara dengan ibu Yuliana Utarsih yang dilakukan pada hari Sabtu (02/04/2016) di sekolah SLTP Yos Sudarso, Cigugur.

Menurut penuturannya, siswa SLTP Yos Sudarso diarahkan untuk turut serta dalam merayakan upacara Seren Taun sebagai salah satu upaya untuk memberikan pemahaman kepada siswa dengan cara ikut berpartisipasi secara langsung, baik sebagai peserta Tari Buyung, peserta Ngajayak, peserta Angklung Buncis dan lain sebagainya. Bahkan yang tidak ikut serta pun diarahkan untuk turut berpartisipasi dengan cara membuat tugas peliputan dan mengambil gambar untuk

dibuat mading.18

Partsipasi anak-anak didik SLTP Yos Sudarso Cigugur dari uraian di atas menerangkan bahwa peristiwa komunikasi terbentuk

(31)

dan dipengaruhi oleh setting yang meliputi waktu, tempat dan tujuan komunikasi.

2. Partisipan

Partisipan adalah siapa saja yang terlibat dalam peristiwa komunikasi di dalam upacara Seren Taun tersebut, misalnya saja panitia acara, para peserta, dan pengunjung.

Tanpa adanya komponen yang satu ini peristiwa komunikasi di dalam upacara Seren Taun tidak akan terbentuk. Karena bagaimana pun juga komunikasi adalah sesuatu hal yang dilakukan secara disengaja dengan tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh para pelaku komunikasi (komunikator dan komunikan), tanpa adanya pelaku komunikasi maka tidak akan terjadi interaksi atau kegiatan komunikasi.

3. Bentuk Pesan

Pesan yang disampaikan dalam upacara Seren Taun baik pesan verbal maupun non verbal pada dasarnya lebih bersifat informatif satu arah, dimana pesan-pesan yang disampaikan melalui berbagai prosesi dari mulai acara pembukaan hingga acara penutup bertujuan untuk memberikan informasi, edukasi ataupun memberi hiburan bagi para pengunjung.

(32)

Bisa kita lihat bagaimana rentetan acara membentuk sebuah komunikasi satu arah, misalnya saja pada prosesi acara Pesta Dadung yang menampilkan pesan-pesan tentang bagaimana tata cara hubungan manusia dengan alam serta lingkungannya. Acara Ngajayak yang lebih banyak menampilkan tentang hidup bergotong royong, atau Tari Buyung yang merupakan tari tradisional asli masyarakat Cigugur. Selain mengandung unsur seni hiburan, Tari Buyung juga memiliki makna pesan spiritual secara transenden antara hubungan manusia

dengan Tuhannya.19

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa komunikasi dalam upacara Seren Taun memiliki bentuk komunikasi hubungan satu arah sebagai salah satu komponen pembentuk peristiwa-peristiwa komunikasi dalam upacara Seren Taun.

4. Isi Pesan

Dalam perayaan upacara Seren Taun, meski tidak diungkapkan secara gamblang, pesan-pesan yang disampaikan melalui berbagai rangkaian acara menyiratkan makna tentang pesan-pesan moral yang hendak disampaikan kepada semua orang, seperti nilai-nilai toleransi, semangat gotong royong, dan sikap saling menghormati sesama makhluk ciptaan Tuhan, serta pesan spiritual tentang hubungan transendensi anatara manusia dengan Tuhannya, dan lain sebagainya.

(33)

Pada acara Damar Sewu misalnya, nyala api pada obor menyimbolkan tentang semangat yang harus terus dijaga dan diwariskan ke generasi berikutnya. Acara pesta dadung yang mencerminkan. Pada acara pesta dadung berisi pesan tentang hubungan manusia dengan alam atau pada acara kidung spiritual yang menggambarkan tentang toleransi dan sikap saling menghormati

keberbedaan, dan lain sebagainya.20

Isi pesan seperti yang telah diuraikan di atas mennunjukkan suatu hubungan antara peristiwa komunikasi dengan isi pesan komponen pembentuknya. Karena pada dasarnya tujuan komunikasi adalah menyampaikan isi pesan itu sendiri.

5. Media/saluran

Media atau saluran memiliki peranan yang sangat vital dalam proses terbentuknya peristiwa komunikasi. Tanpa adanya saluran pesan-pesan tidak akan bisa sampai pada komunikan, sehingga terkadang keberadaan media jauh lebih menonjol dibanding isi pesannya. Hal ini dikarenakan media memiliki kemampuan untuk mempresentasikan isi pesan, lebih dari itu media mampu menentukan pesan mana yang pantas untuk disampaikan kepada komunikan.

Dalam upacara seren taun, kita dapat melihat bagaimana pesan-pesan dikonsep dan dikemas lalu kemudian baru ditampilkan disajikan

(34)

kepada khalayak dengan melalui berbagai ragkaian acara yang terdapat dalam perayaan upacara seren taun seperti acara ngajayak, kidung spiritual pertunjukan seni tradisional, dan lain sebagainya. 4.2.3. Pola Komunikasi dalam Upacara Seren Taun

Pola komunikasi terbentuk karena adanya hubungan dan fungsi komponen-komponen komunikasi dalam suatu peristiwa komunikasi. Lebih spesifiknya, pola komunikasi adalah suatu model yang digunakan untuk menunjukkan suatu hubungan antara komponen komunikasi dengan peristiwa komunikasi. Tujuannya adalah untuk mempermudah mendeskripsikan bagaimana sebuah alur komunikasi terbentuk dalam suatu peristiwa komunikasi.

Pola komunikasi identik dengan proses komunikasi, karena pola komunikasi merupakan rangkaian dari aktivitas menyampaikan pesan sehingga diperoleh feedback dari penerimaan pesan. Dari proses komunikasi, akan timbul pola, model, bentuk, dan juga bagian-bagian kecil yang berkaitan

erat dengan proses komunikasi.21

Telah diketahui apa saja komponen-komponen komunikasi yang membentuk suatu peristiwa komunikasi dalam perayaan upacara Seren Taun, seperti; setting, bentuk pesan, partisipan dan isi pesan. Komponen-komponen tersebut secara kausal menjadi faktor utama dalam terbentuknya suatu

21

Onong Uchayana Effendy, Dinamika Komunikasi. PT. Remaja Rosdakarya: Bandung. 1993 hal. 33

(35)

peristiwa komunikasi. Karena bagaimanapun juga setiap kegiatan komunikasi pasti ada sesuatu yang hendak disampaikan berupa pesan, adanya ketersediaan waktu, dan adanya pelaku komunikasi. Tanpa komponen-komponen tersebut maka tidak akan terjadi peristiwa komunikasi.

Untuk mengetahui pola komunikasi di dalam perayaan upacara Seren Taun, hal yang harus diperhatikan adalah memahami terlebih dahulu bentuk dan isi pesannya, karena kegiatan komunikasi di dalam perayaan upacara Seren Taun sangat berbeda dengan kegiatan komunikasi sehari-hari.

Kegiatan komunikasi dalam perayaan upacara Seren Taun lebih banyak menggunakan komunikasi non verbal. Adapun pesan verbal yang digunakan baik lisan maupun tulisan masih bersifat abstrak, artinya pesan yang disampaikan lebih barsifat konotatif atau belum menunjukkan makna sebenarnya secara langsung, misalnya saja angka bilangan pada tanggal 22 rayagung. Angka tersebut tidak semata-mata untuk menunjukkan waktu ataupun jumlah bilangan, tetapi ada makna yang lebih luas dibalik angka tersebut.

Dari pemahaman di atas, maka langkah selanjutnya adalah melakukan pengkategorian dan mendefinisikan simbol-simbol, makna dan isi pesan dari hasil temuan dalam penelitian tersebut, diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Pesan dalam bentuk simbol-simbol

Umumnya, interaksi dalam kegiatan sehari-hari kita lebih banyak menggunakan komunikasi secara verbal baik dengan

(36)

menggunakan bahasa lisan ataupun tulisan, sehingga lebih mudah dimengerti, lain halnya ketika kita dihadapkan pada peristiwa komunikasi yang lebih banyak menggunakan bahasa isyarat ataupun bahasa simbolik, kita tidak bisa langsung mengerti maksud apa yang ada di dalamnya tersebut.

Di dalam perayaan upacara Seren Taun peneliti melihat bahwa pesan-pesan yang dikomunikasikan melalui berbagai prosesi lebih banyak menggunakan simbol-simbol untuk menyampaikan suatu maksud, misalnya saja padi dan hasil penen lainnya yang harus ditata sedemikian rupa dan semenarik mungkin. Padi dan hasil panen dapat diartikan sebagai sumber kehidupan dimana manusia senantiasa memerlukan makan untuk bisa bertahan hidup. Kemudian, kenapa harus ditata semenarik mungkin? Selain karena untuk keperluan estetika, juga dimaksudkan sebagai suatu bentuk persembahan kepada Tuhan yang harus ditata selayak dan seindah mungkin sebagai ujud

penghormatan kepada sang pencipta.22

Selain simbol berupa padi dan hasil bumi atau hasil panen, masyarakat sunda juga identik dengan atribut pakaiannya seperti ikat kepala. Ikat kepala mengandung arti bahwa pikiran dan perbuatan harus senantiasa selaras dan seimbang, dalam artian ini pemikiran harus diikat agar tidak menyimpang ke hal-hal negatif.

22

(37)

Kemudian kita bisa melihat pada sisi bangunan Paseban Tri Panca Tunggal dimana pada sebuah ruangan yang dinamakan pendopo terdapat sebuah relief berbentuk menyerupai burung garuda di atas sebuah lingkaran yang diapit oleh dua ekor naga. Relief tersebut dinamakan Purwa Wisada, purwa artinya adalah awal atau permulaan dan wisada mengandung arti cipta dan karsa sebagai ketentuan hukum

adikodrati.23

Relief Purwa Wisada bermaksud untuk menggambarkan bahwa manusia diciptakan dalam pagelaran hidup ini (dunia) tidak sekedar untuk hidup, tetapi dengan akal budinya harus mampu meningkatkan peradaban dalam mengolah-sempurnakan serta memanfaatkan cipta karsa Gusti yang dalam relief digambarkan dalam burung garuda diatas lingakaran.

23

(38)

Gambar 4.2.3.(1). PURWA WISADA

Sumber: Foto diambil di gedung Paseban Tri Panca Tunggal pada tanggal 23/03/2016

Keterangan:

Lingkaran yang didukung oleh dua ekor naga dan lukisan tiga buah lengkungan yang diatasnya terdapat lima garis yang merupakan nyala api, adalah menggambarkan bahwa dalam kehidupan ini segala gerak langkah perbuatan bertitik tolak dan terpancarkan dari tiga unsur yaitu sir, rasa, dan pikir yang kemudian pancarannya itu menyalur kepada panca indera yang tidak lepas dari adanya pengaruh-pengaruh dari lima unsur nafsu yang berasal dari sifat tanah, air, angin dan api disamping sifat

manusianya itu sendiri.24

2. Pesan dalam bentuk bahasa

Bahasa merupakan salah satu unsur kebudayaan yang sangat menentukan di dalam suatu pergaulan sosial dimana bahasa berfungsi

24

(39)

sebagai alat komunikasi atau alat untuk menyampaikan ide, pikiran, maksud atau tujuan, dan juga sebagai alat interaksi yag menghubungkan antara manusia yang satu dengan manusia lainnya.

Upacara Seren Taun sebagai upacara syukuran masyarakat sunda tentu saja melibatkan tata bahasa lokal sebagai bahasa pergaulan masyarakat sunda.

Di dalam bahasa sunda dikenal dengan istilah undak usuk yang artinya sebuah tingkatan dalam penggunaan tata bahasa dilihat dari lawan bicaranya, misalnya saja kata neda, tuang atau dahar. Kata tersebut memiliki makna sama yaitu makan, tetepi penggunaannya berbeda, tergantung kepada siapa kata tersebut ditujukan. Berbicara dengan orang yang lebih tua maka penggunaan kosakatanyapun akan berbeda dengan berbicara kepada teman sejawat, artinya ada semacam undakan atau tingkatan dalam penggunaan bahasa.

Pada kata Seren Taun itu sendiri di definisikan dari kata seren dan taun. Seren yang berarti menyerahkan dan taun yang berarti tahun. Menurut bapak Jati Kusumah, sesepuh dan pimpinan adat sunda Cigugur, makna dari seren taun adalah

“syukuran kepada Yang Maha Kuasa atas keberhasilan panen pertanian tahun ini disertai pemanjatan do'a kepada Yang Maha Kuasa agar hasil tanaman dan hasil panen pertanian yang

akan datang lebih meningkat lagi.”25

3. Pesan dalam bentuk artefak

25

http://www.pikiran-rakyat.com/seni-budaya/2012/11/07/210339/seren-taun-cigugur-turut-mendukung-pelestarian-budaya-sunda 17/06/2016

(40)

Ibnu Hamad memilah pesan ke dalam beberapa bentuk seperti teks (berupa tulisan atau gambar), talk (lisan, percakapan), act

(tindakan, gerakan) dan artifact (bangunan, tata letak).26

Pesan dalam bentuk artefak yang digunakan dalam perayaan upacara Seren Taun seperti terlihat pada penggunaan lisung (lesung) dan halu (alu). Lesung dan alu secara pengertiannya adalah alat untuk menumbuk atau mengupas kulit padi.

Dalam perayaan upacara Seren Taun, lesung dan alu bukan semata-mata sebagai alat penumbuk padi, tetapi juga memiliki makna sebagai ungkapan kegembiraan dan kerja sama dalam mengolah hasil panen melalui kegiatan nutu (menumbuk padi).

Selain lesung dan alu ada juga pealatan yang digunakan sebagai bentuk pesan simbolis seperti buyung (wadah, tempat menyimpan air) yang dipergunakan dalam atraksi tari buyung atau juga dalam bentuk bangunan. Bentuk bangunan pada gedung Paseban Tri Panca Tunggal jika dikode ke dalam sebuah bentuk pesan, maka dapat diartikan sebagai bangunan warisan budaya peninggalan sejarah.

(41)

Gambar 4.2.3.(2). Kegiatan Nutu atau Menumbuk Padi Sumber:

https://www.facebook.com/groups/334176930320/photos/ Grup facebook “Peduli Seren Taun”

Diakses pada 05/08/2016

Keterangan:

Proses nutu seperti yang ditampilkan pada gambar di atas menunjukkan bahwa lesung dan alu menjadi alat atau media untuk mengikat kebersamaan masyarakat Cigugur dan sikap gotong royong dalam proses penumbukan padi.

4. Pesan dalam bentuk isyarat

Pesan-pesan dalam bentuk isyarat biasanya ditunjukkan dengan melalui gestur atau gerakan tubuh, misalnya saja berupa anggukkan untuk menunjukkan sikap smengerti, atau gelengan kepala yang menunjukkan sikap menolak.

(42)

Begitupun dalam perayaan upacara Seren Taun, pesan-pesan berupa isyarat dapat dilihat pada berbagai prosesi kegiatan seperti yang ditampilkan pada acara tari buyung.

Setiap gerakan dalam tari buyung pada dasarnya memiliki makna sendiri-sendiri, seperti gerakan yang ditampilkan oleh si penari saat harus berdiri seimbang di atas kendi sambil meletakkan buyung di atas kepalanya. Gerakkan tersebut mengisyaratkan bahwa dalam kehidupan harus senantiasa seimbang antara pikiran, perkataan dan perbuatan dan juga untuk mengingatkan agar kita senantiasa sadar dimana kaki berpijak dan kepada siapa kita harus menjunjung tinggi rasa syukur serta hormat, yakni kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Gambar. 4.2.3.(2). Tari Buyung Sumber:

https://www.facebook.com/groups/334176930320/photos/ Grup facebook “Peduli Seren Taun”

(43)

Keterangan:

Gambar di atas adalah salah satu gerakan yang ada dalam tari buyung dimana posisi penari berdiri di atas kendi sambil menyunggi buyung di atas kepalanya.

Pesan yang hendak ditampilkan melalui kesenian tradisional tari buyung seperti yang tampak pada gambar di atas bukan semata-mata sebagai suatu hiburan, tetapi secara filosofis tari buyung erat kaitannya dengan istilah peibahasa “Dimana kaki berpijak disitu langit dijunjung” yang mengandunga arti bahwa kita harus senantiasa mentaati dan menghormati adat istiadat kebudayaan dimana tempat kita tinggal.

Setelah mengetahui bentuk-bentuk pesan yang ditampilkan melalui berbagai simbol-simbol dan rangkaian-rangkaian acara dalam perayaan upacara Seren Taun, maka dapat diketahui pola-pola komunikasinya sesuai yang telah ditentukan sebagai berikut:

1. Pola komunikasi primer

Pola komunikasi primer merupakan suatu proses penyampaian pikiran atau pesan oleh komunikator kepada komunikan dengan menggunakan pesan-pesan verbal atau non verbal. Pesan verbal bisa berupa bahasa lisan atau tulisan, sementara pesan non verbal biasanya berupa bahasa isyarat, simbol-simbol ataupun bahasa tubuh.

(44)

Dalam penelitian ini diketahui bahwa proses penyampaian pesan banyak ditampilkan melalui berbagai bentuk kegiatan acara seperti pagelaran seni, ritual-ritual yang menyangkut nilai kereligiusitasan dan berbagai kegiatan lainnya yang menyangkut nilai-nilai moral, serta nilai-nilai-nilai-nilai hubungan sosial budaya.

Tujuan dari ditampilkannya atraksi seni dan bahkan berbagai pameran dalam perayaan upacara Seren Taun bukan semata-mata untuk memeriahkan event tahunan tersebut, tetapi ada pesan-pesan yang hendak disampaikan kepada khalayak. Pada atraksi kesenian tradisional seperti angklung buncis, tari buyung, atau pameran batik dan lain sebagainya bertujuan untuk memperkenalkan atau pada taraf yang lebih jauh adalah untuk mewariskan budaya warisan kepada generasi selanjutnya.

Gambar. 4.2.3.(3). Batik Tulis

Sumber: Foto diambil di gedung Paseban Tri Panca Tunggal pada tanggal 23/03/2016

(45)

Keterangan:

Gambar di atas merupakan salah satu bentuk pesan yang hendak dikomunikasikan kepada khalayak berupa pengenalan batik tulis, batik khas Paseban, Cigugur.

Gambar. 4.2.3.(4). Alat musik tradisional Angklung Sumber: Foto diambil di gedung Paseban Tri Panca Tunggal

pada tanggal 23/03/2016

Keterangan:

Angklung merupakan salah satu alat musik tradisional di Jawa Barat yang terbuat dari bambu yang disusun berbaris sebagai bentuk susunan nada. Secara simbolik, alat musik yang ditampilkan dalam perayaan Seren Taun ini mengandung pesan yang bertujuan untuk memperkenalkan dan melesterikan alat musik tradisional sebagai salah satu warisan budaya.

(46)

Pada keterangan gambar di atas, pesan-pesan yang hendak disampaikan dalam rupa simbol-simbol menunjukkan bahwa pada dasarnya manusia dapat memberikan makna pada setiap kejadian, tindakan atau obyek yang berkaitan dengan pikiran, gagasan, dan emosi. Dalam konteks ini dengan melalui simbol-simbol manusia mengembangkan dan mengkomunikasikan pengetahuan, merekam

mengenai dan sikap terhadap kehidupan.27

Demikian dapat dikatakan bahwa hasil temuan terkait pola komunikasi primer yang terdapat dalam perayaan upacara Seren Taun menunjukkan aktivitas komunikasi dengan pesan-pesan yang didistribusikan melalui suatu medium berupa simbol-simbol, gambar ataupun melalui bahasa dan isyarat.

2. Pola komunikasi sekunder

Pola komunikasi sekunder adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan dengan menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah memakai lambang pada media pertama.

Media kedua di sini dimaksudkan untuk menunjukkan peristiwa komunikasi yang membutuhkan perpanjangan media, misalnya karena jarak yang jauh atau target komunikannya yang banyak sehingga penyampaian pesannya membutuhkan media lain

(47)

seperti surat, telepon, video ataupun melalui teknologi digital seperti internet, dan lain sebagainya.

Media komunikasi dalam proses penyampaian pesan pada perayaan upacara Seren Taun sebenarnya sudah cukup diinterpretasikan melalui berbagai prosesi yang ditampilkan, lebih spesifiknya dapat dikatakan bahwa acara-acara yang ditampilkan dalam rangkaian event tersebut memiliki peran sebagai media komunikasi secara tradisional atau sebagai media rakyat.

Mengacu pada pola komunikasi sekunder, pemanfaatan media kedua sebagai medium untuk menyampaikan pesan sebenarnya objek apapun dapat dijadikan sebagai media kedua, misalnya saja untuk mengungkapkan perasaan kasih seseorang menggunakan kado sebagai media untuk mengungkapkan perasaanya kepada orang yang dikasihinya. Begitupun pertunjukkan-pertunjukan yang ditampilkan dalam rangkaian acara upacara Seren Taun dapat dikatakan sebagai media kedua.

Seperti yang diungkapkan James Danandjaja mengenai teater rakyat atau folklore.

“Teater rakyat atau folklore berfungsi sebagai pendidikan anggota masyarakat, sebagai penebal rasa kolektiva, sebagai alat yang memungkinkan orang biasa bertindak dengan penuh kekuasaan terhadap orang yang menyeleweng, sebagai alat untuk mengeluarkan protes terhadap ketidak adilan, memberikan kesempatan bagi

(48)

seseorang melarikan diri untuk sementara dari kehidupan

nyata yang membosankan kedunia hayalan yang indah.”28

Dari penjelasan James Danandjaja di atas, dapat dikatakan teater rakyat sebagai media komunikasi yang dapat difungsikan untuk menyampaikan pesan seperti propaganda, kampanye-kampanye produk ataupun pesan moral, dan lain sebagainya. Dalam upacara Seren Taun pun demikian, dimana pesan-pesan moral dan nilai-nilai kearifan lokal didistribusikan melalui media pertunjukkan seperti Damar Sewu, Pesta Dadung, Ngajayak, Angklung Buncis, Tari Buyung, Kidung Spiritual, dan bahkan melalui berbagai pameran.

Selain media tradisional berupa pertunjukkan-pertunjukkan yang ditampilkan, menurut bapak Subrata setiap tahunnya untuk mengkomunikasikan kepada masyarakat terkait pelaksanaan upacara Seren Taun, pihak pelaksana selalu mencetak brosur-brosur, buklet, dan bahkan media-media elektronik seperti radio turut menjadi saluran informasi terkait perayaan upacara Seren Taun tersebut.

“Kalau diaharapakan tiap tahunnya juga mencetak brosur, mencetak duplet untuk memperkembangkan, memperkenalkan ke

generasi muda dan ke semua yg ingin tahu.”29

Keterangan dari bapak Subrata ini cukup menunjukkan bahwa selain melalui simbol-simbol, pesan-pesan dalam upacara Seren Taun

28 Madiduri dan Yadi ahyadi. Ubrug; Tontonan dan Tuntunan. Dinas Pendidikan Propinsi Banten

bekerjasama dengan Lembaga Keilmuan dan Kebudayaan nimusInstitut: 2010. Hal 80

29

(49)

juga didistribusikan melalui media-media sekunder seperti brosur, buklet, pertunjukkan seni, dan bahkan melalui media elektronik.

Gambar. 4.2.3.(5). Brosur Upacara Seren Taun

Sumber: Brosur diambil dari Cagar Budaya Nasional Paseban Tri Panca Tunggal, Cigugur - Kuningan.

Keterangan:

Pola komunikasi sekunder pada perayaan upacara Seren Taun dengan memanfaatkan brosur sebagai media untuk menyampaikan pesan-pesan atau dengan kata lain brosur digunakan sebagai media komunikasi.

3. Pola komunikasi linear

Pola komunikasi linear mengandung pengertian bahwa proses komunikasi bergerak lurus dari satu titik ke titik selanjutnya, artinya

(50)

pesan yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan sebagai titik tujuannya. Dengan kata lain pola komunikasi ini menunjukkan bahwa kegiatan komunikasi dilakukan secara terencana baik secara tatap muka atau pun dengan menggunakan media kedua.

Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan aktivitas komunikasi dalam perayaan upacara Seren Taun berlangsung secara horizontal, istrumental dan edukatif. Dengan kata lain pesan-pesan yang disampaikan melalui event tahunan ini secara garis lurus bertujuan untuk mengarahkan, mendidik, memberikan informasi dan bahkan sebagai perekat atau integritas pemersatu seluruh lapisan masyarakat.

Diungkapkan oleh ibu Utarsih dalam proses sosialisasi upacara seren taun, pihak Paseban selalu mensosialisasikan ke sekolah-sekolah melalui surat pemberitahuan atau surat rekomendasi mengenai seputar upacara seren taun dan keterlibatan anak didik dalam acara tersebut.

“Ya, ada. Dari pihak Paseban ada sosialisasinya dan biasanya dari pihak Paseban ada surat rekomendasi yang akan disampaikan kepada sekolah siapa saja yang akan terlibat langsung

dalam acara seren taun.”30

Dari keterangan tersebut dapat dilihat bagaimana proses komunikasi tersebut bergerak secara linear baik pesan yang disampaikan secara spontan ataupun pesan dengan menggunakan

30

(51)

media seperti brosur atau surat rekomendasi yang kemudian disampaikan kepada pihak sekolah..

4. Pola komunikasi sirkular

Komunikasi sirkular merupakan suatu peristiwa komunikasi yang membutuhkan adanya feedback atau umpan balik. Pola komunikasi seperti ini, proses komunikasinya berjalan secara terus-menerus antara komunikator dan komunikan dimana terjadinya feedback secara berulang.

Pada perayaan upacara seren taun, siklus komunikasi seperti ini biasanya banyak terjadi pada masa-masa persiapan menjelang perayaan upacara dimana arus komunikasi dapat berjalan dua arah antara komunikator dan komunikan.

Dijelaskan oleh bapak Subrata bahwa pada masa-masa persiapan selalu diadakan dialog dengan tokoh masyarakat, pemuka agama, dan bahkan dalam proses penelitian yang dilakukan peneliti saat ini cukup menunjukkan gambaran proses komunikasi yang dua arah dimana peneliti melakukan tanya jawab dengan subjek penelitian. “Yaitu, mengadakan pertemuan dialog-dialog karena melalui persiapan seren taun sampai hari H itu kan satu minggu, dari mulai diadakannya damar sewu sebagai pembukaan seren taun, untuk besoknya ada pesta angon (pesta dadung), dalam waktu itu teh ada pertemuan dengan generasi muda atau pihal-perihal lain untuk menjelaskan dalam masalah budaya.”

(52)

Berdasarkan keterangan tersebut, menunjukkan bahwa proses komunikasi dalam perayaan upacara seren taun juga dapat terjadi secara sirkular, misalnya saja melalui dialog-dialog yang tentu saja sangat menuntut adanya feedback dalam kegiatan komunikasi tersebut.

4.3. Pembahasan

Eksistensi budaya merupakan cerminan dari perilaku suatu bangsa dalam menjaga dan melestarikan, serta mewariskan budayanya ke generasi selanjutnya. Ketika nilai-nilai kearifan lokal tumbuh dan berkembang dalam suatu komunitas bangsa, maka dapat dipahami bahwa ada suatu upaya dari komunitas tersebut dalam mejaga, mempertahankan dan melestarikan kebudayaannya.

Isyanti dalam penelitiannya yang berjudul “Pelestarian Lingkungan Hidup Melalui Tradisi Keduk Beji,” mengutip pernyataan Rachmat. S yang menyatakan bahwa,

“adat atau tradisi merupakan kelakuan simbolis manusia yang mengharapkan keselamatan dan merupakan rangkaian tindakan yang diatur oleh adat yang boleh dan berhubungan dengan berbagai macam peristiwa hidup yang biasanya terjadi dalam masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu upacara tradisional perlu dilestarikan

secara konsisten karena merupakan warisan budaya.”31

Selain itu, budaya juga menjadi jembatan komunikasi baik berupa informasi ataupun edukasi. Karena melalui budayalah setiap orang mengenal

(53)

dan belajar mengenai lingkungannya, komunitasnya dan segala adat kebiasaan, serta tata cara hidup yang berlaku dalam suatu lingkup sosial.

Edward T. Hall32 berpendapat bahwa budaya adalah komunikasi dan

komunikasi adalah budaya. Budaya menentukan bagaimana kita berkomunikasi; topik-topik pembicaraan, siapa boleh berbicara atau bertemu dengan siapa, bagaimana dan kapan, bahasa tubuh, konsep ruang, makna dan waktu, dan sebagainya. Hal tersebut sangat bergantung pada budaya.

Gambaran dari pernyataan Edward T. Hall di atas menunjukkan bahwa budaya merupakan suatu konsep yang manuntun pada fase interaksi sosial dimana setiap orang berkomunikasi dengan karakter budaya yang dimilikinya. Dalam konteks komunikasi lintas budaya, seseorang untuk bisa masuk ke dalam suatu komunitas haruslah mengenal terlebih dahulu budayanya.

Selain itu budaya juga mengkomunikasikan tentang perasaan saling keterikatan yang membentuk integritas sebagai satu kesatuan meski terdiri dari latar belakang dan sub-sub budaya berbeda. Komunitas masyarakat sunda akan terikat pada budayanya sebagai orang sunda meski terdiri dari sub-sub budaya dan latar belakang berbeda, seperti perbedaan cara pandang hidup, etnis ataupun kepercayaan.

Seperti halnya dengan upacara adat Seren Taun di desa kecamatan Cigugur, Kuningan, Jawa Barat. Perayaan upacara ini tidak hanya sekedar menampilkan acara-acara yang sifatnya ritualis, tetapi juga mengandung unsur

(54)

pendidikan, seni, sosial dan budaya, bahkan sebagai perekat hubungan masyarakat yang plural. Sehingga diharapkan melalui acara ini, nilai-nilai kearifan lokal dapat terus terjaga bahkan diharapkan mampu merangsang kecintaan generasi muda terhadap warisan-warisan budaya leluhurnya.

Keberadaan upacara Seren Taun secara instrumental berperan penting dalam membentuk integritas masyarakat di Cigugur dimana melalui perayaan upacara tersebut semua lapisan masyarakat diajak untuk turut berpartisipasi, turut merasakan kegembiraan, dan turut merasakan perasaan memiliki terhadap upacara Seren Taun sebagai adat warisan budaya leluhur.

Upacara Seren Taun sebagai perekat hubungan masyarakat ditinjau secara hukum adat, Cornelis Van Vollenhoven dan Betrand Ter Haar melalui

teori receptie mengemukakan bahwa “Hukum Islam berlaku apabila diterima

oleh Hukum Adat.”33

Teori tersebut menggambarkan suatu realitas dalam komunitas adat, bahwa hukum yang berlaku di dalam suatu komunitas adat adalah hukum adat, dan hukum-hukum di luar adat dapat digunakan apabila telah diterima oleh hukum secara adat tersebut. Tegasnya adalah, melalui upacara Seren Taun inilah seluruh lapisan masyarakat terintegrasikan sebagai satu kesatuan masyarakat adat.

33

Muhammad Djulijanto. Agama Agenda Demokrasi dan Perubahan Sosial. Deepublish : Yogyakarta. 2015. Hal 187

Gambar

Gambar 4.2.3.(1).  PURWA WISADA
Gambar 4.2.3.(2). Kegiatan Nutu atau Menumbuk Padi  Sumber:
Gambar  di  atas  merupakan  salah  satu  bentuk  pesan  yang  hendak  dikomunikasikan  kepada  khalayak  berupa  pengenalan batik tulis, batik khas Paseban, Cigugur

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terkait dengan penyelesaian sengketa perjanjian utang piutang antara debitur dengan Koperasi Serba Usaha Sari Jaya

Mata kuliah ini membahas tentang pengantar Biogeologi Region Wallacea: model geotektonik, area endemisme, dan unit biogeografi alam ; Keanakaragaman hayati,

Oleh demikian, dapat dikatakan bahwa pasien kanker yang menggunakan koping religius positif akan terhindar dari stres dan kecemasan sehingga merasakan ketenangan.

Hasil dan pembahasan penelitian bahwa upaya kepala sekolah dalam meningkatkan profesionalisme guru yaitu memberdayakan kompetensi yang dimiliki oleh guru, Kelompok

Car Named Desire” by Tennessee Williams. 2) How deixis is used in the American Play “A Street Car Named Desire” by.

Pengaruh Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Karyawan Serta Dampaknya Pada Kualitas Pelayanan Housekeeping Department Di Padma Hotel Bandung.. Universitas Pendidikan Indonesia |

Harsono (1988:197) mengungkapkan,”Untuk metode pyramid sistem mengartikan bahwa sistem ini adalah suatu sistem latihan beban yang bebannya dimulai dari yang ringan

Umat Islam sepatutnya amat berhati-hati dalam hal ehwal kepimpinan dan pentadbiran negara kerana kejahilan dan kurang kepakaran dalam aspek ini boleh menyebabkan umat Islam hilang