• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI NILAI TUKAR PETANI DI PROVINSI SUMATERA UTARA TESIS. Oleh RIFYAL RAMADHANU /MAG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI NILAI TUKAR PETANI DI PROVINSI SUMATERA UTARA TESIS. Oleh RIFYAL RAMADHANU /MAG"

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

i

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI NILAI TUKAR PETANI DI PROVINSI SUMATERA UTARA

TESIS

Oleh

RIFYAL RAMADHANU 187039030/MAG

PROGRAM STUDI MAGISTER AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2 0 2 1

(2)

ii

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI NILAI TUKAR PETANI DI PROVINSI SUMATERA UTARA

TESIS

Tesis Sebagai Salah Satu Syarat untuk Dapat Memperoleh Gelar Magister Pertanian pada Program Studi Magister Agribisnis

Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

Oleh

RIFYAL RAMADHANU 187039030/MAG

PROGRAM STUDI MAGISTER AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2 0 2 1

(3)

iii

(4)

iv

Telah diuji dan dinyatakan L U L U S di depan Tim Penguji pada Jum’at, 5 Pebruari 2021

Tim Penguji :

Ketua : Dr. Ir Rahmanta, M.Si

Anggota : Sri Fajar Ayu, SP, MM, DBA : Dr. Ir Tavi Supriana M.S : Dr. Ir. Salmiah, M.S

(5)

v

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis yang berjudul :

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI NILAI TUKAR PETANI DI PROVINSI SUMATERA UTARA

Adalah benar hasil karya saya sendiri dan belum dipublikasikan oleh siapapun sebelumnya. Sumber-sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara benar dan jelas.

Medan, 24 April 2021 Yang membuat pernyataan,

RIFYAL RAMADHANU NIM. 187039030

(6)

vi

RIWAYAT HIDUP

Rifyal Ramadhanu, saya lahir di Medan, Kecamatan Medan Johor, Provinsi Sumatera Utara, tanggal 19 Februari 1996, anak kedua dari tiga bersaudara bersaudara, putra dari ayahanda Ir. Asrul dan Ibunda Dra. Fitri Fatimah.

Pendidikan formal yang pernah ditempuh penulis adalah sebagai berikut : 1. Sekolah Dasar Islam Terpadu Al- Fauzi, Medan tamat tahun 2007.

2. Madrasah tsanawiyah Mualimin, Medan tamat tahun 2010 3. Man 1 Medan, tamat tahun 2013

4. Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, tamat tahun 2018

5. Tahun 2018 melanjutkan pendidikan S2 di Program Studi Magister Agribisnis Universitas Sumatera Utara.

(7)

vii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Rahmanta, M.Si selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Ibu Sri Fajar Ayu, S.P, M.M, DBA Anggota Komisi Pembimbing yang telah membantu penulis dalam penyusunan tesis ini.

Secara khusus, penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua saya Ayahanda Ir. Asrul dan Ibunda Dra Fitri Fatimah M.M dan seluruh keluarga yang telah mendorong dan memotivasi penulis untuk menyelesaikan tesis ini.

Penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian studi ini, kepada:

1. Bapak Dr. Muryanto Amin, S. Sos, M.Si selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Dr. Ir. Hasanuddin, MS selaku dekan dan para wakil dekan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Dr. Ir. Rahmanta, M.Si selaku ketua program Studi Magister Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

4. Ibu Dr. Ir Tavi Supriana M.S dan Bapak Dr. Ir. Salmiah, M.S selaku komisi penguji, atas bimbingan arahan dan waktu yang telah diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan tesis ini.

5. Seluruh staf pengajar dan staf administrasi Program Studi Magister Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

(8)

viii

6. Seluruh Keluarga Besar Penulis Elvita Fitri S.TP, Eko Supriadi S.P, Syukri Mulia S.P, Swandi Harahap S.Sos, Sonia Ramadhani S.P, Syafia Zulfa S.P, Anita Rizky Lubis S.P, Lutfiah Hanifah, Rizqi Khairuna S.P.Di, M.Li yang memberikan arahan dan semangat kepada penulis.

7. Alm. Atok saya H. Ahmad Chalid Husein yang selalu memberi motivasi kepada saya

8. Rekan Mahasiswa Sekolah Pascasarjana Magister Agribisnis Universitas Sumatera Utara, atas bantuan dan dukungan selama peneliti menempuh studi dalam penulisan tesis ini

Akhirnya, penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua terutama dalam Meningkatkan Kesejahteraan Petani.

Medan, 24 April 2021

Penulis.

(9)

ix ABSTRAK

Salah satu indikator yang menunjukkan kesejahteraan petani adalah Nilai Tukar Petani (NTP). Tujuan penelitian untuk menganalisis pengaruh inflasi, suku bunga, tenaga kerja, PDRB, dan Nilai Tukar Petani tahun sebelumnya terhadap Nilai Tukar Petani di Provinsi Sumatera Utara. Data yang digunakan adalah data sekunder dari tahun 1989-2018. Model analisis yang digunakan adalah metode Autoregressive Ordinary Least Square (OLS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa Perkembangan Nilai Tukar Petani (NTP) Provinsi Sumatera Utara dalam kurun waktu 30 tahun (1989-2018) mengalami fluktuasi, dengan sebagian besar nilainya dibawah angka 100 berarti petani di Provinsi Sumatera Utara tidak sejahtera/defisit. Faktor-faktor yang mempengaruhi Nilai Tukar Petani (NTP) di Provinsi Sumatera Utara secara simultan adalah inflasi, suku bunga, tenaga kerja, PDRB, dan NTP tahun sebelumnya. Tetapi secara parsial faktor inflasi, tenaga kerja, dan NTP tahun sebelumnya berpengaruh signifikan terhadap Nilai Tukar Petani, sedangkan variable suku bunga dan PDRB tidak berpengaruh signifikan terhadap Nilai Tukar Petani.

Kata kunci : Petani, Kesejahteraan, Inflasi, Suku Bunga, Tenaga Kerja, PDRB

(10)

x ABSTRACT

One indicator that shows the welfare of farmers is the Farmer Exchange Rate (NTP). The research objective was to analyze the effect of inflation, interest rates, labor, GDP, and the previous year's Farmer Exchange Rate on Farmer Exchange Rates in North Sumatra Province. The data used are secondary data from 1989- 2018. The analysis model used is the Ordinary Least Square (OLS) Autoregressive method. The results showed that the development of the Farmer Exchange Rate (NTP) in North Sumatra Province in a period of 30 years (1989- 2018) fluctuated, with most of the values below 100 means that farmers in North Sumatra Province are not prosperous / deficit. The factors that simultaneously influence the Farmers Exchange Rate (NTP) in North Sumatra are inflation, interest rates, labor, GDP, and the previous year's NTP. But partially the inflation, labor, and NTP factors in the previous year have a significant effect on the Farmer Exchange Rate, while the interest rate and GRDP variables have no significant effect on the Farmer Exchange Rate.

Keywords: Farmers, Welfare, Inflation, Interest Rates, Labor, GRDP

(11)

xi

DAFTAR ISI

RIWAYAT HIDUP ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Identifikasi Masalah ... 5

1.2. Tujuan Penelitian... 6

1.3. Kegunaan Penelitian ... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1. Nilai Tukar Petani (NTP) ... 7

2.2. Kesejahteraan Petani ... 8

2.3. Relevansi NTP dan Kebijakan Peningkatan Kesejahteraan Petani .... 10

2.4. Landasan Teori ... 13

2.4.1 Konsep Barter/Pertukaran ... 13

2.4.2 Konsep Faktorial ... 14

2.4.3 Konsep Penerimaan ... 14

2.4.4 Konsep Subsisten ... 15

2.4.5 Nilai Tukar Petani ... 16

2.5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai Tukar Petani (NTP) ... 18

2.5.1 Inflasi ... 18

2.5.1 Suku Bunga ... 19

2.5.2 Tenaga Kerja ... 20

2.5.4 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) ... 22

2.6. Penelitian Terdahulu ... 23

2.7. Kerangka Pemikiran ... 27

2.8. Hipotesis ... 28 Hal

(12)

xii

III. METODE PENELITIAN ... 29

3.1. Metode Penentuan Daerah Penelitian ... 29

3.2. Metode Penentuan Data dan Teknik Pengumpulan Data ... 29

3.3. Metode Analisis Data ... 29

3.3.1 Uji Asumsi Klasik ... 30

3.3.2. Analisis Kesesuaian Model (Goodness of Fit) ... 32

3.4. Definisi dan Batasan Operasional ... 33

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 35

4.1. Gambaran Wilayah Penelitian ... 35

4.2. Perkembangan Variabel Dependen dan Independen ... 38

4.3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Nilai Tukar Petani (NTP) Provinsi Sumatera Utara tahun 1989-2018 ... 42

4.3.1. Uji Asumsi Klasik ... 42

4.3.2. Analisis Kesesuaian Model (Goodness of Fit) ... 44

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 51

5.1. Kesimpulan ... 51

5.2. Saran ... 51

DAFTAR PUSTAKA ... 52

DAFTAR LAMPIRAN ... 55

(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Koefisien Multikolinearitas... 43 Tabel 2. Kolerasi Heteroskedastatis ... 43 Tabel 3. Hasil Uji T Nilai Tukar Petani Sumatera Utara ... 45

No Judul Hal

(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 4. 1. Grafik Perkembangan Nilai Tukar Petani Provinsi SumateraUtara tahun

1989 - 2018 ... 38

Gambar 4. 2. Grafik Perkembangan Inflasi di Provinsi Sumatera Utara ... 39

Gambar 4. 3. Grafik Perkembangan Suku Bunga Provinsi Sumatera Utara ... 40

Gambar 4. 4. Grafik Perkembangan Tenaga Kerja Provinsi Sumatera Utara ... 41

Gambar 4. 5. Grafik Perkembangan PDRB Sumatera Utara 1989– 2018... 41

Gambar 4. 6. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai Tukar Petani Sumatera Utara... 42

No Judul Hal

(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Data Bps Nilai Tukar Petani, Inflasi, Suku Bunga, PDRB... 55

Lampiran 2. Uji Normalitas ... 57

Lampiran 3. Uji Multikolineritas ... 58

Lampiran 4. Uji Heteroskedasticity ... 59

Lampiran 5. Uji T ... 60

No Judul Hal

(16)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pembangunan di segala bidang merupakan arah dan tujuan kebijakan Pemerintah Indonesia. Hakikat sosial dari pembangunan itu sendiri adalah upaya peningkatan kesejahteraan bagi seluruh penduduk Indonesia. Mengingat bahwa sebagian besar penduduk Indonesia tinggal di daerah perdesaan dan penduduk perdesaan umumnya masih menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian, maka sangat diharapkan sektor pertanian ini dapat menjadi motor penggerak pertumbuhan yang mampu meningkatkan pendapatan para petani dan mampu mengentaskan kemiskinan (BPS, 2020).

Indonesia dikenal sebagai negara agraris di mana sektor pertanian memiliki peran penting dalam perekonomian nasional. Selain sebagai penyedia kebutuhan pangan, sektor pertanian juga sebagai penyedia bahan baku industri.

Dalam pembangunan nasional, sektor pertanian menjadi salah satu prioritas utama karena mayoritas penduduk Indonesia bekerja di sektor pertanian. Kesejahteraan petani dan pengentasan kemiskinan terutama di wilayah pedesaan menjadi fokus pembangunan pertanian karena sektor pertanian menjadi basis pertumbuhan ekonomi pedesaan (Kusumawardhani, 2017).

Provinsi Sumatera Utara merupakan salah satu daerah yang memiliki potensi besar bagi pengembangan sektor pertanian, bahkan beberapa komoditi yang dihasilkan menjadi komoditi ekspor. Sektor pertanian menjadi salah satu sektor yang diandalkan yang memberikan kontribusi terbesar dalam pembentukan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Sumatera Utara dibandingkan sektor yang lainnya, dimana pada tahun 2018 sektor pertanian memberikan kontribusi

(17)

besar terhadap PDRB Sumatera Utara yaitu sebesar 20,92%

(BPS, 2018).

Potensi sebesar itu dapat menjadi sebuah pertimbangan untuk meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat di Sumatera Utara. Namun hal ini rupanya tidak sejalan dengan keadaan yang dialami petani yang mana kita ketahui sebagai penyumbang kontribusi PDRB terbesar di Sumatera Utara dilihat dari Nilai Tukar Petani yang kian menurun dari 2016-2018 secara beruntun yakni 100.19, 99.39, dan 97.98. Ini menunjukkan bahwa dengan dominasi kontribusi terhadap PDRB yang juga meningkatkan pertumbuhan ekonomi ternyata berbanding terbalik terhadap kesejahteraan yang diperoleh petani berupa NTP yang terus menurun di Provinsi Sumatera Utara.

Untuk melihat keberhasilan pembangunan, selain data tentang pertumbuhan ekonomi juga diperlukan data pengukur tingkat kesejahteraan penduduk khususnya petani. Salah satu indikator proxy yang dapat mengukur tingkat kesejahteraan petani adalah Nilai Tukar Petani (NTP). Yang dimaksud dengan Nilai Tukar Petani adalah rasio antara indeks harga yang diterima petani (It) dengan indeks harga yang dibayar petani (Ib) dalam persentase. It merupakan suatu indikator tingkat kesejahteraan petani produsen dari sisi pendapatan, sedangkan Ib dari sisi kebutuhan petani baik untuk konsumsi maupun produksi.

Bila It atau Ib lebih besar dari 100, berarti It atau Ib lebih tinggi di bandingkan It atau Ib pada tahun dasar. Secara konsepsional NTP adalah pengukur kemampuan tukar produk pertanian yang dihasilkan petani dengan barang/jasa yang diperlukan untuk konsumsi rumah tangga dan keperluan dalam memproduksi produk pertanian (BPS, 2020).

(18)

Berikut ini adalah data perkembangan Nilai Tukar Petani di Provinsi Sumatera Utara dari tahun 1989-2018, di tampilkan pada Tabel 1.1.

Tabel 1.1. Data Perkembangan NTP Sub Sektor Pertanian Provinsi Sumatera Utara tahun 1989-2018

Tahun NTP

1989 99.8

1990 99.8

1991 95.6

1992 94

1993 85.3

1994 88.5

1995 90.9

1996 86.7

1997 85.9

1998 81.4

1999 81.9

2000 88.5

2001 93.1

2002 98.1

2003 100.79

2004 94.09

2005 93.33

2006 93.11

2007 92.99

2008 101.79

2009 100.82

2010 102.36

2011 103.42

2012 101.71

2013 99.49

2014 100.08

2015 98.61

2016 100.19

2017 99.39

2018 97.98

Sumber : BPS Sumut, 2019

Tabel 1.1. menunjukkan bahwa ada penurunan NTP pada tahun 1989 – 1993 namun terjadi peningkatan pada tahun 1994 -1995 dan terjadi

(19)

peningkatan secara beruntun pada 1996 – 2003. Selanjutnya terjadi penurunan pada 2004 – 2007 dan fluktuasi sekitar tahun 2008 – 2017 dan kembali turun di tahun 2018. Dari data tersebut bahwa NTP paling rendah terjadi pada tahun 1998 dan 1999 yakni sebesar 81,4 dan 81,9 sebagai mana kita ketahui pada masa tersebut terjadi krisis ekonomi. NTP tertinggi terjadi pada tahun 2011 – 2012 yakni sebesar 102,36 – 103,42.

NTP tidak berdiri sendiri melainkan ada faktor-faktor lain baik secara langsung maupun tidak langsung yang mempengaruhi. Ada beberapa faktor yang diduga mempengaruhi Nilai Tukar Petani yakni inflasi, suku bunga, tenaga kerja, Produk Domestik Regional Bruto dan nilai tukar petani sebelumnya.

Inflasi merupakan kecenderungan meningkatnya tingkat harga secara umum dan terus-menerus (Nopirin, 2013:25). Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak disebut sebagai inflasi, kecuali bila kenaikan tersebut meluas kepada (atau mengakibatkan kenaikan) sebagian besar harga barang-barang lain (Natsir, 2014:253)

Kemudian hal lain yang di duga berpengaruh terhadap NTP adalah Suku bunga. Suku bunga mempengaruhi kesejahteraan petani karena menurut teori klasik semakin tinggi bunga, maka makin tinggi keinginan masyarakat untuk menyimpan dananya di bank. Artinya pada tingkat bunga yang lebih tinggi, masyarakat akan terdorong untuk mengorbankan atau mengurangi pengeluaran untuk berkonsumsi guna menambah tabungan.

Faktor lain yang juga di duga kuat berpengaruh terhadap NTP adalah tenaga kerja .Tenaga kerja sendiri merupakan indikator terpenting dalam pembangunan pertanian, tanpa ada tenaga kerja maka sistem pertanian tidak akan berjalan

(20)

dengan baik karena pertanian membutuhkan tenaga kerja dari mulai hulu sampai hilir.

Selanjutnya dalam pembangunan manusia selalu berhubungan timbal balik dengan pertumbuhan ekonomi. Ketika hubungan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manuia kuat akan salaing mendukung satu sama lain. Proses lanjutnya pertumbuhan ekonomi suatu daerah dalam kurun waktu tertentu ialah menggunakan data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), sehingga tingkat perkembangan PDRB per kapita yang dicapai masyarakat seringkali sebagai ukuran kesuksesan suatu daerah dalam mencapai cita-cita guna menciptakan pembangunan ekonomi. Meningkatnya pertumbuhan ekonomi melalui indicator PDRB yang berarti pula akan meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Oleh karenanya PDRB di duga berpegaruh terhapad Nilai tukar petani.

Berdasarkan uraian latar belakang yang sudah diuraikan, peneliti tertarik untuk meneliti faktor – faktor yang mempengaruhi Nilai Tukar Petani (NTP) di Provinsi Sumatra Utara. Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi Nilai Tukar Petani pada penelitian ini yakni inflasi, suku bunga, tenaga kerja, produk domestik regional bruto (PDRB) dan NTP tahun sebelumnya.

1.2. Identifikasi Masalah

Identifikasi masalah dari penelitian ini sebagai berikut :

1. Apakah faktor inflasi, suku bunga, tenaga kerja, PDRB dan NTP tahun sebelumnya mempengaruhi Nilai Tukar Petani (NTP) di Provinsi Sumatera Utara tahun 1989-2018

(21)

1.2. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis pengaruh faktor inflasi, suku bunga, tenaga kerja, PDRB dan NTP tahun sebelumnya mempengaruhi Nilai Tukar Petani (NTP) di Provinsi Sumatera Utara tahun 1989-2018.

1.3. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Sebagai gambaran mengenai kondisi Nilai Tukar Petani di Provinsi Sumatera Utara sehingga mendorong petani dalam pengembangan usahataninya dan mencapai pembangunan pertanian.

2. Sebagai bahan informasi, pertimbangan dan masukan bagi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah serta pihak-pihak terkait dalam pengambilan keputusan untuk membuat kebijakan terutama untuk mencapai kesejahteraan petani di Provinsi Sumatera Utara.

3. Sebagai referensi dan bahan studi bagi pihak yang membutuhkan.

(22)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Nilai Tukar Petani (NTP)

Konsep NTP sebagai indikator kesejahteraan petani telah dikembangkan sejak tahun 1980-an. Menurut Rachmat (2013), Salah satu unsur kesejahteraan petani adalah kemampuan daya beli dari pendapatan petani untuk memenuhi kebutuhan pengeluaran rumah tangga petani. Peningkatan kesejahteraan dapat diukur dari peningkatan daya beli pendapatan untuk memenuhi pengeluarannya tersebut.

Semakin tinggi daya beli pendapatan petani terhadap kebutuhan konsumsi maka semakin tinggi nilai tukar petani dan berarti secara relatif petani lebih sejahtera.

Selain sebagai indikator kesejahteraan, NTP juga digunakan untuk:

1. Mengukur kemampuan tukar (term of trade) produk yang dijual petani dengan produk yang dibutuhkan petani dalam berproduksi dan konsumsi rumah tangga. 2.

Memperoleh gambaran tentang perkembangan tingkat pendapatan petani dari waktu ke waktu yang dapat dipakai sebagai dasar kebijakan untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan petani. 3. Menunjukkan tingkat daya saing (competiveness) produk pertanian dibandingkan dengan produk lain. 4. Petani yang dimaksud dalam konsep NTP adalah petani yang berusaha di sub sektor tanaman pangan (padi dan palawija), hortikultura (sayur-sayuran, buah-buahan, tanaman hias dan tanaman obat-obatan), tanaman perkebunan rakyat (kelapa, kopi, cengkeh, tembakau dan kapuk odolan), peternak (ternak besar, ternak kecil, unggas dan hasil peternakan serta sub sektor perikanan baik perikanan tangkap maupun perikanan budidaya.

(23)

Menurut BPS (2020), arti angka Nilai Tukar Petani ada 3, yaitu:

1. NTP > 100, berarti petani mengalami surplus. Harga produksi naik lebih besar dari kenaikan harga konsumsinya. Pendapatan petani naik lebih besar dari pengeluarannya.

2. NTP = 100, berarti petani mengalami impas. Kenaikan/penurunan harga produksinya sama dengan persentase kenaikan/penurunan harga barang konsumsi. Pendapatan petani sama dengan pengeluarannya.

3. NTP < 100, berarti petani mengalami defisit. Kenaikan harga produksi relatif lebih kecil dibandingkan dengan kenaikan harga barang konsumsinya. Pendapatan petani turun, lebih kecil dari pengeluarannya.

2.2. Kesejahteraan Petani

Kesejahteraan adalah suatu kondisi dimana seluruh kebutuhan jasmani dan rohani dari rumah tangga tersebut dapat dipenuhi sesuai dengan tingkat hidup.

Status kesejahteraan dapat diukur berdasarkan proporsi pengeluaran rumah tangga (Bappenas, 2013). Rumah tangga dapat dikategorikan sejahtera apabila proporsi pengeluaran untuk kebutuhan pokok sebanding atau lebih rendah dari proporsi pengeluaran untuk kebutuhan bukan pokok. Sebaliknya rumah tangga dengan proporsi pengeluaran untuk kebutuhan pokok lebih besar dibandingkan dengan pengeluaran untuk kebutuhan bukan pokok, dapat dikategorikan sebagai rumah tangga dengan status kesejahteraan yang masih rendah.

Unsur penting yang berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan petani adalah tingkat pendapatan petani. Upaya peningkatan pendapatan petani secara otomatis tidak selalu diikuti peningkatan kesejahteraan petani, karena kesejahteraan petani juga tergantung pada faktor-faktor non-finansial seperti

(24)

faktor sosial budaya. Peningkatan kesejahteraan petani tidak saja dipengaruhi faktor-faktor terkait dengan pertanian tetapi juga faktor-faktor non-pertanian.

Peningkatan kesejahteraan petani memiliki beberapa dimensi baik dari sisi produktifitas usahatani maupun dari sisi kerjasama lintas sektoral dan daerah.

Berdasarkan capaian dan permasalahan yang telah dihadapi serta arah pembangunan yang akan datang, revitalisasi pertanian dan peningkatan kesejahteraan petani menghadapi beberapa tantangan yang fundamental mulai dari optimalisasi lahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, ketersediaan infrastruktur, pupuk dan bibit sebagai input pertanian, penanganan dan antisipasi perubahan iklim dan bencana, akses permodalan hingga tataniaga pertanian yang lebih baik serta berpihak pada pertanian dan petani (Bappenas, 2010).

Kesejahteraan petani secara sederhana dapat dilihat dari bagaimana ia memenuhi kebutuhan keluarganya, baik dari konsumsi kebutuhan makanan, pakaian, kesehatan, pendidikan, serta kelayakan hunian tempat tinggal.

NTP merupakan ukuran kemampuan daya beli/daya tukar petani terhadap barang yang dibeli petani. Peningkatan nilai tukar petani menunjukkan peningkatan kemampuan riil petani dan mengindikasikan peningkatan kesejahteraan petani, atau sebaliknya (Rusono, dkk 2013).

Nilai tukar petani disamping menggambarkan kekuatan daya beli komoditas yang diusahakan juga berkaitan dengan perilaku ekonomi rumah tangga, karena proses pengambilan keputusan rumah tangga untuk memproduksi, membelanjakan dan mengkonsumsi suatu barang merupakan bagian dari perilaku ekonomi rumah tangga. Nilai tukar petani yang tinggi akan mendorong kegairahan petani dalam berusaha tani.

(25)

2.3. Relevansi NTP dan Kebijakan Peningkatan Kesejahteraan Petani

Pembangunan nasional pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, untuk itu dalam setiap tahapan pembangunan, kesejahteraan masyarakat selalu menjadi tujuan utama. Sejalan dengan itu, dalam rencana rencana jangka panjang pembangunan nasional peningkatan kesejahteraan petani telah dan akan menjadi prioritas pembangunan nasional dan sektor pertanian. Saat ini NTP dijadikan sebagai indikator kesejahteraan petani.

NTP dihitung dari rasio harga yang diterima petani (HT) terhadap harga yang dibayar petani (HB). Kenaikan HT dengan laju yang lebih besar akan menghasilkan kenaikan daya beli dan sebaliknya. HT sebagai indikator penerimaan petani mempunyai arah positif terhadap kesejahteraan petani (NTP) dan HB sebagai indikator pengeluaran petani mempunyai arah negatif terhadap kesejahteraan petani (NTP). Pergerakan NTP ditentukan oleh komponen penyusunnya tersebut.

Indikator NTP yang dibangun BPS mempunyai unit analisa nasional dan regional (provinsi). NTP nasional merupakan agregasi dari NTP regional dan sub sektor dan komoditas. Dengan demikian NTP dapat didisagregasi menjadi unit NTP provinsi dan agregasi menurut sub sektor dan komoditas. Dengan demikian disamping dapat diketahui indikator kesejahteraan petani nasional juga dapat diketahui dan diperbandingkan tingkat kesejahteraan petani antar regional provinsi, perbandingan tingkat kesejehteraan antar sub sektor dan antar komoditas.

NTP dapat pula diturunkan menurut NTP menurut provinsi (NTP Aceh, NTP Jawa Barat, NTP NTB dsb.), NTP menurut sub sektor (NTP sub sektor

(26)

tanaman pangan, NTP sub sektor hortikultura, NTP sub sektor perkebunan, NTP sub sektor peternakan dan pangan, NTP sub sektor perikanan); dan NTP komoditas penyusun sub sektor (contohnya NTP Padi, NTP sayur-sayuran, NTP ternak unggas, dan sebagainya). Dari NTP juga dapat diturunkan NTP dari masing-masing komponen seperti NT Padi terhadap pupuk, NTP sayuran terhadap sewa lahan, NTP unggas terhadap upah, dan sebagainya. Disamping sebagai komponen penyusun NTP, nilai tukar komponen penyusun NTP itu sendiri merupakan parameter penting kebijakan pembangunan pertanian.

Namun demikian penyusunan NTP yang dibangun oleh BPS sebagai indikator kesejahteraan petani memiliki kelemahan. Pertama, dari sisi cakupan/

definisi “petani” belum sepenuhnya memasukkan seluruh sub sektor dan komoditas pertatian. Definisi "petani" dalam NTP telah mencakup petani tanaman pangan, petani hortikultura, petani pekebun, petani ternak, dan petani ikan dan nelayan perikanan, namun belum termasuk petani yang bergerak di usaha kehutanan. Di masing-masing sub sektor, belum semua komoditas tercakup dalam penghitungan NTP seperti: (a) belum memasukkan usaha tanaman obat dan tanaman hias pada sub sektor hortikultura, dan (b) penyusun sub sektor perkebunan rakyat perlu lebih dirinci, misalnya dalam kelompok komoditas tanaman tahunan dan tanaman semusim.

Kedua, Penghitungan NTP dinyatakan dalam bentuk indeks didasarkan kepada metoda indeks Laspeyres. Asumsi utama dari penghitungan indeks metoda Laspeyres adalah tidak ada perubahan kuantitas dalam periode pengukuran.

Kuantitas selalu tertimbang pada awal titik pengamatan (Qo) dan perkembangan nilai indeks bertumpu pada perubahan harga-harga, sehingga perhitungan NTP

(27)

tidak mengakomodasikan perkembangan produktivitas, sebagai dampak dari kemajuan teknologi dan kegiatan pembangunan, dan Ketiga, konsep NTP yang didasarkan kepada Indeks Laspeyres sebagaimana yang dilakukan oleh BPS pada akhirnya merumuskan NTP sebagai rasio harga antara yang diterima petani dan dibayar petani.

Dengan didasarkan kepada indeks Laspeyres, perkembangan NTP bertumpu pada perubahan harga-harga. Pada pasar komoditas pertanian yang kompetitif, harga ditentukan oleh kekuatan penawaran dan permintaan. Kenaikan harga terjadi karena adanya kekurangan pasokan dibanding permintaan.

Penurunan pasokan dapat terjadi karena penurunan produksi atau permintaan naik lebih tinggi dibandingkan penawaran (produksi). Pada skala nasional atau regional, kenaikan harga produk justru mengidentifikasikan kekurangan/kelangkaan pasokan/ produksi untuk mengimbangi permintaan dan mendorong kenaikan inflasi. Pada sisi lain, dengan struktur tataniaga produk pertanian yang terjadi saat ini kenaikan harga produk yang diterima petani tidak identik dengan peningkatan pendapatan petani. Dengan demikian peningkatan harga produk pertanian yang berakibat NTP naik tidak sepenuhnya menggambarkan kondisi yang diinginkan. Harga produksi yang meningkat tidak sepenuhnya meningkatkan pendapatan petani, atau berarti kenaikan NTP belum sepenuhnya berarti peningkatan pendapatan/kesejehteraan petani. BPS mendefinisikan bahwa peningkatan NTP berarti peningkatan kesejahteraan.

Definisi tersebut benar pada asumsi bahwa produktivitas selalu tetap dan petani selalu menguasai produksi, sehingga kenaikan produksi juga berarti kenaikan penerimaan pendapatan petani (Bappenas, 2013)

(28)

2.4. Landasan Teori

Secara umum, nilai tukar mempunyai arti yang luas dan dapat digolongkan menjadi lima konsep nilai tukar, yaitu: (1) Nilai Tukar Barter, (2) Nilai Tukar Faktorial, (3) Nilai Tukar Penerimaan, (4) Nilai Tukar Subsisten, dan (5) Nilai Tukar Petani (Rachmat dalam Kurniawan 2018)

2.4.1 Konsep Barter/Pertukaran

Konsep barter (Nilai Tukar Barter) mengacu kepada harga nisbi suatu komoditas pertanian tertentu terhadap barang/produk non pertanian. Nilai Tukar Barter (NTB) didefinisikan sebagai rasio antara harga pertanian terhadap harga produk non pertanian. Secara matematik dirumuskan sebagai berikut:

NTB = 𝑃𝑥 𝑃𝑦

dimana:

NTB = Nilai Tukar Barter Pertanian, Px = Harga komoditas pertanian, Py = Harga komoditas non pertanian.

Konsep nilai tukar ini mampu mengidentifikasi perbandingan harga relatif dari komoditas pertanian tertentu terhadap harga produk yang dipertukarkan.

Peningkatan NTB berarti semakin kuat daya tukar harga komoditas pertanian terhadap barang yang dipertukarkan. Konsep NTB hanya berkaitan dengan komoditas dan produk tertentu dan tidak mampu memberi penjelasan berkaitan dengan perubahan produktivitas (teknologi) komoditas pertanian dan komoditas non pertanian tersebut.

(29)

2.4.2 Konsep Faktorial

Konsep faktorial merupakan perbaikan dari konsep barter, yaitu dengan memasukkan pengaruh perubahan teknologi (produktivitas). Nilai Tukar Faktorial (NTF) pertanian didefinisikan sebagai rasio antara harga pertanian terhadap harga non pertanian, dikalikan dengan produktivitas pertanian (Zx). Apabila hanya memperhatikan produktivitas pertanian maka disebut Nilai Tukar Faktorial Tunggal (NTFT). Apabila produktivitas non pertanian (Zy) juga diperhitungkan, maka disebut Nilai Tukar Faktorial Ganda (NTFG). NTFT dan NTFG dirumuskan sebagai berikut:

NT𝐹𝑇 = 𝑃𝑥∗𝑍𝑥 𝑃𝑦

NTFT = NTB * Zx NTFG = 𝑃𝑥∗𝑍𝑥

𝑃𝑦∗𝑍𝑦

NTFG = NTB * Z dimana:

NTFT = Nilai Tukar Faktorial Tunggal, NTFG = Nilai Tukar Faktorial Ganda, ZX = Produktivitas komoditas pertanian, Zy = Produktivitas produk non pertanian,

Z = Rasio produktivitas pertanian (x) terhadap non pertanian (y).

2.4.3 Konsep Penerimaan

Konsep penerimaan (Nilai Tukar Penerimaan) merupakan pengembangan dari konsep nilai tukar faktorial. Nilai Tukar Penerimaan (NTR) merupakan daya

(30)

tukar dari penerimaan (nilai hasil) komoditas pertanian yang diproduksikan petani per unit (hektar) terhadap nilai input produksi untuk memproduksi hasil tersebut.

Dengan demikian NTR menggambarkan tingkat profitabilitas dari usahatani komoditas tertentu. Namun NTR hanya menggambarkan nilai tukar komoditas tertentu, belum keseluruhan komponen penerimaan dan pengeluaran petani.

NTR = 𝑃𝑥∗𝑄𝑥 𝑃𝑦∗𝑄𝑦

dimana:

NTR = Nilai Tukar Penerimaan, PX = Harga komoditas pertanian, Py = Harga input produksi,

QX = Jumlah komoditas pertanian yang dihasilkan, Qy = Jumlah input produksi yang digunakan.

2.4.4 Konsep Subsisten

Konsep nilai tukar subsisten (NTS) merupakan pengembangan lebih lanjut dari NTR. NTS menggambarkan daya tukar dari penerimaan total usahatani petani terhadap pengeluaran total petani untuk kebutuhan hidupnya. Penerimaan petani merupakan penjumlahan dari seluruh nilai hasil produksi komoditas pertanian yang dihasilkan petani dan pengeluaran nilai hasil produksi komoditas pertanian yang dihasilkan petani. Pengeluaran petani merupakan penjumlahan dari pengeluaran untuk konsumsi rumahtangga dan pengeluaran untuk biaya produksi usahatani. NTS dirumuskan sebagai berikut:

NTS = ∑𝑃𝑥𝑖 𝑄𝑥𝑖

(𝑃𝑦𝑖∗𝑄𝑦𝑖)+(𝑃𝑦𝑗∗𝑄𝑦𝑗)

(31)

dimana:

NTS = Nilai Tukar Subsisten,

PXi = Harga komoditas pertanian ke i, QXi = Produksi komoditas pertanian ke i, PYi = Harga produk konsumsi,

QYi = Jumlah produk konsumsi, PYj = Harga produk input produksi, QYj = Jumlah input produksi.

Dengan demikian, NTS menggambarkan tingkat daya tukar/daya beli dari pendapatan petani dari usahatani terhadap pengeluaran rumahtangga petani untuk kebutuhan hidupnya yang mencakup pengeluaran konsumsi dan pengeluaran untuk biaya produksi. Dalam operasionalnya konsep NTS ini hanya dapat dilakukan pada tingkat mikro, yaitu unit analisa Rumah tangga.

2.4.5 Nilai Tukar Petani

Secara konsepsi NTP mengukur daya tukar dari komoditas pertanian yang dihasilkan petani terhadap produk yang dibeli petani untuk keperluan konsumsi dan keperluan dalam memproduksi usahatani. Nilai tukar petani (NTP Padi) didefinisikan sebagai rasio antara harga yang diterima petani (HT) dengan harga yang dibayar petani (HB) atau NTP = HT/HB. Pengukuran NTP dinyatakan dalam bentuk indeks sebagai berikut:

𝐼𝑁𝑇𝑃 = 𝐼𝑇 𝐼𝐵 dimana:

INTP = Indeks Nilai Tukar Petani,

(32)

IT = Indeks harga yang diterima petani, IB = Indeks harga yang dibayar petani.

Indeks tersebut merupakan nilai tertimbang terhadap kuantitas pada tahun dasar tertentu. Pergerakan nilai tukar akan ditentukan oleh penentuan tahun dasar karena perbedaan tahun dasar akan menghasilkan keragaan perkembangan indeks yang berbeda. Formulasi indeks yang digunakan adalah Indeks Laspeyres.

𝐼 = ∑𝑄𝑜∗𝑃𝑖

∑𝑄𝑜∗𝑃𝑜

dimana:

I = Indeks Laspeyres,

Q0 = Kuantitas pada tahun dasar tertentu (tahun 0), P0 = Harga pada tahun dasar tertentu (tahun 0), Pi = Harga pada tahun ke i.

NTP dikembangkan dengan unit analisa nasional dan regional, sehingga diperoleh keunggulan karena merupakan indikator makro nasional dan regional dari tingkat kesejahteraan petani regional.

Saat ini NTP dijadikan sebagai indikator kesejahteraan petani. NTP dihitung dari rasio harga yang diterima petani (HT) terhadap harga yang dibayar petani (HB). Kenaikan HT dengan laju yang lebih besar akan menghasilkan kenaikan daya beli dan sebaliknya. HT sebagai indikator penerimaan petani mempunyai arah positif terhadap kesejahteraan petani (NTP) dan HB sebagai indikator pengeluaran petani mempunyai arah negatif terhadap kesejahteraan petani (NTP).

Pergerakan NTP ditentukan oleh komponen penyusunnya tersebut (Rusono, dkk, 2013). NTP merupakan ukuran kemampuan daya beli/daya tukar petani terhadap barang yang dibeli petani. Peningkatan nilai tukar petani

(33)

menunjukkan peningkatan kemampuan riil petani dan mengindikasikan peningkatan kesejahteraan petani, atau sebaliknya (Rusono, dkk 2013).

2.5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai Tukar Petani (NTP)

Adapun faktor-faktor yang diduga mempengaruhi Nilai Tukar Petani di Provinsi Sumatera Utara dalam penelitian ini ialah inflasi, suku bunga, tenaga kerja , Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan NTP tahun sebelumnya.

2.5.1 Inflasi

Banyak definisi inflasi tetapi semua defenisi itu mencakup pokok yang sama. Samuelson (2001) memberikan definisi bahwa inflasi sebagai suatu keadaan dimana terjadi kenaikan tingkat harga umum, baik barang-barang, jasa- jasa maupun faktor-faktor produksi. Dari definisi tersebut mengindikasikan keadaan melemahnya daya beli yang diikuti dengan semakin merosotnya nilai riil (intrinsik) mata uang suatu negara

Dari definisi yang ada tentang inflasi dapatlah di simpulkan tiga pokok yang terkandung di dalamnya, yaitu :

1. Adanya kecenderungan harga-harga untuk meningkat, yang berarti mungkin saja tingkat harga yang terjadi pada waktu tertentu turun atau naik dibandingkan dengan sebelumnya, tetapi tetap menunjukkan kecenderungan yang meningkat.

2. Peningkatan harga tersebut berlangsung terus menerus, bukan terjadi pada suatu waktu saja.

(34)

3. Mencakup tingkat harga umum (general level of prices) yang berarti tingkat harga yang meningkat itu bukan hanya pada satu atau beberapa komoditi saja.

Suatu perekonomian dikatakan telah mengalami inflasi jika tiga karakteristik berikut dipenuhi, yaitu : 1) terjadi kenaikan harga, 2) kenaikan harga bersifat umum, dan 3) berlangsung terus-menerus.

2.5.1 Suku Bunga

Suku bunga sangat berpengaruh terhadap kredit/pinjaman, semakin tinggi suku bunga maka semakin tinggi yang harus di bayarkan petani, kurangnya pemahaman petani terhadap suku bunga dan prosedur kredit yang berbelit belit membuat petani sulit untuk mengajukan pinjaman.

Banyak faktor yang memyebabkan sulitnya petani dalam mengakses di lembaga keuangan antara lain: jaminan yang harus diberikan, prosedur kredit yang sulit, faktor ini lah yang enyebabkan petani sulit untuk medapatkan modal usaha. Modal yang dimaksud dalam hal ini ialah uang yang digunakan untuk membeli input yang digunakan untuk kegiatan produksi yang akan memberi hasil pertanian yang maksimal, dengan hasil yang maksimal maka akan meningkatkan pendapatan petani. Oleh karena itu modal merupakan bagian terpenting dalam kegiatan usaha pertanian, karena dengan kurangnya modal akan menghambat kegiatan pertanian dan bedampak pada penurunan hasil pertanian.

Pola pendapatan dan pengeluaran yang berbeda adalah ciri kas petani, hasil pertanian diterima petani setiap musiman sedangkan pengeluaran harus di keluarkan setiap hari. oleh karena itu petani sangat membutuhkan kredit modal.

(35)

kredit permodalan untuk pembiayaan pertanian berasal dari modal pinjaman atau kredit. Pinjaman atau kredit dapat dibagi dalam tiga jenis, yaitu

1. kredit program pemerintah,

2. kredit dari lembaga formal, seperti perbankan atau BPR, dan

3. kredit dari lembaga informal, seperti pedagang, pelepas uang, kelompok dan sebagainya.

Pemerintah menaruh perhatian yang cukup serius terhadap permodalan pada sektor pertanian. Sejarah kredit pertanian di Indonesia menunjukkan bahwa pemerintah telah menghasilkan berbagai macam kebijakan serta program kredit yang menunjukkan bukti keseriusan pemerintah dalam menangani masalah di sektor pertanian. Kebijakan kredit pertanian yang cukup berhasil dapat dilihat dari program Bimas (Bimbingan Masal), KIK (Kredit Investasi Kecil), dan KMKP (Kredit Modal Kerja Permanen) yang mampu menghantarkan Indonesia mencapai swasembada pangan pada era Orde Baru. Program lain pada era kepemimpinan SBY terkait permasalahan modal pertanian antara lain yaitu Kredit Usaha Tani (KUT), Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE), Kredit Usaha Rakyat (KUR), serta kredit Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) yang dilaksanakan pada tahun 2008.

2.5.2 Tenaga Kerja

Sumber daya manusia (SDM) atau human resources mengandung dua pengertian. Pertama, sumber daya manusia mengandung pengertian usaha kerja atau jasa yang dapat diberikan dalam proses produksi. Dalam hal ini SDM mencerminkan kualitas usaha yang diberikan oleh seorang dalam waktu tertentu untuk menghasilkan barang dan jasa. Pengertian kedua dari SDM menyangkut

(36)

manusia yang mampu bekerja untuk memberikan jasa atau usaha kerja tersebut.

Mampu bekerja berarti mampu melakukan kegiatan yang mempunyai nilai ekonomis, yaitu bahwa kegiatan tersebut menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Secara fisik, kemampuan bekerja diukur dengan usia. Dengan kata lain, orang dalam usia kerja dianggap mampu bekerja.

Kelompok penduduk dalam usia kerja tersebut dinamakan tenaga kerja atau man power. Secara singkat, tenaga kerja didefinisikan sebagai penduduk dalam usia

kerja (work-ing age population).

Menurut teori ekonomi makro new classics, upah tenaga kerja terbentuk pada kondisi pasar yang kompetitif dan tercapai pada saat terjadinya general equilibrium (kesetimbangan ekonomi secara menyeluruh). Dengan demikian

tingkat konsumsi dan pasokan tenaga kerja dari rumah tangga, output, penyerapan tenaga kerja, penentunan harga oleh produsen, serta penentuan upah antara pekerja dan pemberi kerja, kesemuanya konsisten dengan tingkah laku dalam proses maksimisasi. Sebagai konsekuensinya akan terjadi nilai upah tenaga kerja yang lamban untuk merespons dinamika perubahan faktor-faktor ekonomi. Teori ini mempunyai beberapa kelemahan yang bersifat fundamental, seperti teori ini gagal dalam menerangkan adanya pengangguran sukarela, dampak dari kebijakan moneter terhadap output dan penyerapan tenaga kerja, kegagalan pada percepatan deflasi pada tingkat pengangguran yang tinggi, banyaknya orang yang kurang menabung (undersaving) di hari tua, tingginya volatilitas harga saham jauh di atas perubahan fundamental ekonomi, dan angka kemiskinan yang tetap tinggi.

Terlepas dari teori yang menyatakan bahwa pasar tenaga kerja lamban dalam merespons dinamika pasar, kondisi pasar tenaga kerja di kawasan Asia

(37)

berkembang secara dinamis merespons dinamika pertumbuhan ekonomi di kawasan ini. Di Asia ada lima aspek dalam transformasi pertanian dan strukural ekonomi. Pertama, sumbangan ouput pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) menurun lebih cepat dari menurunnya sumbangan pertanian dalam menyerap tenaga kerja. Kedua, produktivitas tenaga kerja pertanian di kawasan Asia tumbuh lebih cepat dari pertumbuhan produktivitas tenaga kerja pada negara berkembang di kawasan lainnya. Ketiga, produktivitas lahan di Kawasan Asia berkembang lebih cepat dari perkembangan produktivitas lahan pada negara berkembang di kawasan lainnya. Keempat, perubahan teknologi pertanian semenjak tahun 1960-an menyebabkan peningkatan hasil tanaman tradisional di Kawasan Asia. Kelima, komposisi output pertanian pada negara berkembang di Kawasan Asia telah bergeser dari tanaman tradisional ke produk yang bernilai tinggi (Briones dan Felipe, 2013).

2.5.4 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

pertumbuhan ekonomi merupakan kenaikan output per kapita dalam jangka yang panjang, penekanannya ialah pada tiga aspek yakni proses, output per kapita, serta jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi merupakan proses, bukan hanya gambaran ekonomi sesaat. Pembangunan daerah serta pembangunan sektoral harus dilaksanakan sejalan agar pembangunan sektoral yang berada di daerah-daerah dapat berjalan sesuai dengan potensi serta prioritas daerah. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan untuk seluruh wilayah usaha dan jasa dalam suatu wilayah, menerapkan jumlah seluruh nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan seluruh unit ekonomi. PDRB sendiri dapat diartikan sebagai jumlah nilai tambah yang

(38)

dihasilkan oleh seluruh unit usaha atau merupakan jumlah seluruh nilai barang dan jasa oleh seluruh unit ekonomi di suatu wilayah (BPS, 2016).

2.6. Penelitian Terdahulu

Citra Sekarwangi Kusumawardhani (2017) melakukan penelitian “Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Nilai Tukar Petani Tanaman Pangan Di Pulau Jawa”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel jaringan irigasi, panjang jalan, harga gabah, pupuk urea, dan inflasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap Nilai Tukar Petani Subsektor Tanaman Pangan di Pulau Jawa. Variabel luas tanam berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Nilai Tukar Petani Subsektor Tanaman Pangan di Pulau Jawa. Sedangkan variabel produktivitas dan upah tenaga kerja berpengaruh negatif namun tidak signifikan terhadap Nilai Tukar Petani Subsektor Tanaman Pangan.

Nurul Faridah (2016) melakukan penelitian “Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Nilai Tukar Petani Subsektor Tanaman Pangan Padi di Aceh”.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor luas panen berpengaruh positif secara signifikan sedangkan harga pupuk dan inflasi berpengaruh negatif secara signifikan terhadap nilai tukar petani. Untuk variabel produksi padi dan infrastruktur tidak digunakan, dikarenakan memiliki pengaruh terhadap variabel luas panen, harga pupuk dan inflasi.

Destanul Aulia & Sri Fajar Ayu (2016) melakukan penelitian “Analisis Saling Hubungan Antara Nilai Tukar Petani dan Angka Harapan Hidup di Sumatera Utara” Hasil penelitian menunjukkan bahwa angka harapan hidup mempunyai hubungan kasual dengan tingkat pendapatan petani. Sebaliknya hipotesis yang menyatakan tingkat pedapatan petani mempunyai hubungan kasual

(39)

dengan angka harapan hidup, tidak dapat di terima. Hal ini menyokong pendapat yang menyatakan bahwa perbaikan kesehatan, tidak sepenuhnya benar. Akan tetapi, hal sebaliknya juga terjadi yaitu kondisi yang sehat akan menyebabkan perbaikan ekonomi. Tidak mengherankan jika jumlah masyarakat miskin makin bertambah seperti yang dinyatakan Badan Pusat Statistik (BPS) per September 2014-Maret 2015. Kondisi petani di Sumatera Utara yang bekerja secara manual bukan menggunakan peralatan atau mesin-mesin pertanian seperti negara maju sangat mengandalkan tenaga petani. Tanpa tingkat kesehatan yang prima lahan pertanian yang memang sudah sangat kecil dibandingkan dengan negara maju tidak dapat di olah dengan baik dan menghasilkan pendapatan yang mencukupi.

Hasil penelitian Beatrice Ingrid Dachi (2016) yang berjudul “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Sektor Pertanian di Provinsi Sumatera Utara, bahwa variabel jumlah tenaga kerja sektor pertanian, luas lahan sektor pertanian, dan nilai ekspor FOB sektor pertanian, secara serempak berpengaruh nyata terhadap PDRB sektor pertanian di Provinsi Sumatera Utara.

Jumlah tenaga kerja sektor pertanian secara parsial berpengaruh nyata terhadap PDRB sektor pertanian, luas lahan sektor pertanian secara parsial berpengaruh nyata PDRB sektor pertanian, dan nilai ekspor FOB sektor pertanian secara parsial berpengaruh nyata terhadap PDRB sektor pertanian di Provinsi Sumatera Utara. Dengan ini dapat dinyatakan bahwa hipotesis dua diterima.

“Nilai Tukar Petani (NTP) Sub Sektor Tanaman Pangan Padi di Aceh”, dengan menggunakan data sekunder dan diolah secara time series dengan pendekatan Ordinary Least Square (OLS) menghasilkan penelitian bahwa, luas panen berpengaruh positif dan signifikan, sedangkan inflasi dan harga pupuk

(40)

berpengaruh negatif dan berpengaruh secara signifikan terhadap Nilai Tukar Petani (NTP). Variabel produksi padi dan infrastruktur dalam penelitian tidk digunakan, karena memiliki pengaruh terhadap tiga variable lainnya, yaitu variable luas panen, harga pupuk, dan inflasi, (Faridah & Syechalad, 2016).

Penelitian yang berjudul “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nilai Tukar Petani Tanaman Pangan di Kawasan Barat Indonesia”, dengan menggunakan data sekunder dengan metode analisis deskriptif dan regresi data panel dengan metode fixed effect model. Penelitian tersebut menghasilkan bahwa, nilai PDRB kawasan barat Indonesia terbesar disumbang oleh subsektor pertanian tanaman pangan, namun ternyata memiliki rata-rata nilai tukar petani terendah apabila dibandingkan dengan subsektor pertanian lainnya, berdasarkan kondisi tersebut mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi sektor pertanian, khususnya subsektor tanaman pangan tidak memberikan perubahan terhadap peningkatan kesejahteraan petani tanaman pangan di Kawasan Barat Indonesia.

Berdasarkan hasil regresi penelitian menunjukkan bahwa yang mempengaruhi nilai tukar petani tanaman pangan di KBI adalah produktivitas padi, panjang jalan, dan harga gabah GKP di tingkat petani signifikan secara positif terhadap nilai tukar petani tanaman pangan serta luas lahan sawah irigasi, posisi kredit bank umum sektor pertanian, harga pupuk urea dan luas layanan daerah irigasi memiliki hubungan negatif terhadap pembentukan nilai tukar petani tanaman pangan di KBI, (Sunendar, 2012).

Penelitian selanjutnya yang berjudul “Analisis Produksi Padi di Pulau Jawa Periode Tahun 2008-2013” dalam penelitiannya menggunakan metode analisis data panel dengan model regresi random effect, sedangkan pada pengujian

(41)

statistik peneliti memakai uji chow test yang meliputi uji F dan uji t. Hasil analisis penelitian menunjukan bahwa variabel luas lahan panen secara signifikan berpengaruh positif, sedangkan produktivitas tanaman padi dan jumlah tenaga kerja petani tidak signifikan dan berpengaruh negatif terhadap hasil produksi padi di Pulau Jawa, (Pancawati, 2014).

Penelitian selanjutnya berjudul “Pengaruh PDRB Sektor Pertanian, Nilai Tukar Petani dan Investasi Sektor Pertanian Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Pertanian Provinsi Jambi”, dengan metode analisis data menggunakan analisis deskriptif kuantitatif dan regresi. Hasil penelitian tersebut menjelaskan bahwa, rata-rata perkembangan variabel PDRB sektor pertanian dan investasi sektor pertanian mengalami peningkatan dari tahun ketahun, sedangkan variabel nilai tukar petani, dan penyerapan tenaga kerja sektor pertanian berfluktuasi dari tahun ke tahun. PDRB sektor pertanian berpengaruh positif dan signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja sektor pertanian di Provinsi Jambi, sedangkan nilai tukar petani dan investasi disektor pertanian tidak memiliki pengaruh yang signifikan, (Simanjuntak & Bhakti, 2018).

Penelitian dengan judul “Analisis Nilai Tukar Petani Komoditas Tanaman Pangan di Sumatera Utara”, menggunakan data primer yang dilakukan secara validasi kuesioner, entri data, koding data, dan selanjutnya pengolahan data.

Berasarkan hasil penelitian diperoleh rata-rata Nilai Tukar Petani (NTP) tanaman pangan di Sumatera Utara sebesar 99,07 persen, sedangkan Nilai Tukar Subsisten (NTS) pangan di Sumatera Utara sebesar 367,69 persen dalam pengeluaran rumah tangga petani. Faktor-faktor yang mempengaruhi Nilai Tukar Petani (NTP) di

(42)

Sumatera Utara yaitu produktivitas hasil, luas lahan, biaya tenaga kerja, harga komoditas, dan harga pupuk, (Riyadh, 2015).

2.7. Kerangka Pemikiran

Nilai Tukar Petani (NTP) merupakan pengukur kemampuan daya tukar sektor pertanian terhadap sektor non pertanian. Sehingga NTP dapat menunjukkan kemampuan riil petani serta dapat mengindikasikan kesejahteraan petani.Indeks harga yang diterima petani (It) adalah perbandingan antara harga yang diterima petani pada tahun berlaku dengan harga tersebut pada tahun dasar. Sedangkan perbandingan antara harga yang dibayarkan petani pada tahun berlaku dengan harga yang dibayarkan petani pada tahun dasar merupakan indeks harga yang dibayarkan petani (Ib). Hasil akhir dari Nilai Tukar petani dibagi ada tiga yaitu surplus, impas dan defisit. Dari ketiga hasil NTP tersebut dapat menentukan kesejahteraan petani. Banyak faktor yang mempengaruhi nilai tukar petani, dan yang di bahas dalam penelitian ini ada lima faktor yaitu Inflasi (X1), Suku Bunga (X2), Tenaga Kerja (X3), PDRB (X4) dan NTP tahun sebelumnya (Yt-1)

.

Gambar 2.1. Skema Kerangka Pemikiran

Nilai Tukar Petani (NTP) Sumatera

Utara Inflasi

Suku Bunga

Tenaga Kerja PDRB NTP tahun sebelumnya

(43)

2.8. Hipotesis

Adapun hipotesis dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Factor-faktor inflasi, suku bunga, tenaga kerja, PDRB dan NTP tahun sebelumnya berpengaruh terhadap Nilai Tukar Petani (NTP) di Provinsi Sumatera Utara tahun 1989-2018.

(44)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Metode Penentuan Daerah Penelitian

Daerah penelitian ditentukan secara purposive, artinya daerah penelitian didasarkan atas adanya tujuan tertentu.Penelitian dilakukan di Provinsi Sumatera Utara dengan pertimbangan bahwa Provinsi Sumatera Utara merupakan salah satu provinsi dengan produksi produk sektor pertanian terbesar di Indonesia.

3.2. Metode Penentuan Data dan Teknik Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa data time series (1989-2018 atau 30 tahun). Data sekunder yang digunakan diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan instansi terkait lainnya serta literatur-literatur berkaitan dengan penelitian ini. Jenis data yang dikumpulkan antara lain Nilai Tukar Petani Provinsi Sumatera Utara, inflasi, suku bunga, tenaga kerja, PDRB dan NTP tahun sebelumnya .

3.3. Metode Analisis Data

Untuk menjawab identifikasi masalah, dianalisis dengan menggunakan metode autoregresive . metode Ordinary Least Square (OLS). Secara sistematis dapat model tersebut dapat ditulis sebagai berikut:

𝑌𝑡 = α₀ + 𝑎1𝑋₁ + 𝑎2𝑋₂ + 𝑎3𝑋₃ + 𝑎4𝑋₄ + 𝑎5𝑌𝑡−1+ 𝑒𝑡 Dimana :

Yt = Nilai Tukar Petani (%) α0 = konstanta

𝑎₁ − 𝑎₅ = Koefisien Regresi X1 = Inflasi (%)

(45)

X2 = Suku Bunga (%) X3 = Tenaga Kerja (orang) X4 = PDRB (milyar Rupiah) Yt-1 = NTP tahun sebelumnya (%) 𝑒𝑡 = Error

3.3.1 Uji Asumsi Klasik

Dalam regresi linear berganda, agar hasil dugaan parameter dalam penelitian berperilaku BLUE (Best Linear Unbiased Estimator) dalam menguji kualitas data, dapat dilakukan melalui uji asumsi klasik.

3.3.1.1. Uji Normalitas

Data yang berdistribusi normal akan memperkecil kemungkinan terjadinya bias. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk membandingkan fungsi distribusi populasi yang diamati adalah uji One Sample Kolmogorov Smirnov (OS-KS).Pengujian dilakukan dengan uji Kolmogorov Smirnov, dengan melihat nilai signifikansi.

1. Sig. KS > 0,10 = Data berdistribusi normal 2. Sig. KS < 0,10 = Data tidak berdistribusi normal

3.3.1.2. Uji Multikolinearitas

Untuk mengetahui ada tidaknya gejala multikolinearitas dapat dilihat dari besarnya nilai Tolerance dan VIF (Variance Inflation Factor).Tolerance

mengukur variabilitas variabel terpilih yang tidak dijelaskan oleh variabel

independen lainnya. Nilai umum yang biasa dipakai adalah nilai Tolerance ˃ 0,10 atau nilai VIF < 10, maka tidak terjadi multikolinearitas.

(46)

3.3.1.3. Uji Heteroskedastisitas

Model regresi yang baik adalah tidak terjadi heteroskedastisitas.Uji yang digunakan untuk melihat ada atau tidaknya heterokedastisitas adalah uji Glejser, yaitu meregresikan absolut residual dengan variabel bebas.yaitu meregresikan absolut residual dengan variabel bebas, dengan ketentuan:

1. Bila nilai Sig. < 0,10 maka terjadi heterokedastisitas 2. Bila nilai Sig. > 0,10 maka tidak terjadi heterokedastisitas 3.3.1.4. Uji Autokorelasi

Uji Autokorelasi digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya penyimpangan asumsi klasik autokorelasi yaitu korelasi yang terjadi antara residual pada satu pengamatan dengan pengamatan lain pada model regresi.

Pengambilan keputusan pada uji Durbin-Watson adalah sebagai berikut:

1. Jika d lebih kecil dari dL atau lebih besar dari (4-dL) maka H0 ditolak, yang berarti terdapat autokorelasi.

2. Jika d terletak antara dU dan (4-dU) H0 diterima, yang berarti tidak ada autokorelasi

3. Jika d terletak antara dL dan dU atau di antara (4-dU) dan (4-dL), maka tidak menghasilkan kesimpulan yang pasti.

(47)

3.3.2. Analisis Kesesuaian Model (Goodness of Fit) 3.3.2.1. Koefisien Determinasi (R2 )

Nilai R2 yang kecil berarti bahwa kemampuan variabel-variabel independen dalam menjelaskan variansi variabel dependen sangat terbatas.Nilai yang mendekati satu berarti variabel-variabel independen memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variabel-variabel dependen.

3.3.2.2. Uji t (parsial)

Uji t dilakukan dengan menguji pengaruh setiap variabel dependen terhadap variabel independen.Uji t merupakan uji secara parsial pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. Uji t dilakukan dengan membandingkan nilai signifikansi dengan taraf yang nyata yang digunakan dengan ketentuan:

1. H0 diterima dan H1 ditolak jika nilai signifikansi t > α (0,10). Hal ini berarti bahwa secara parsial variabel bebas tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel terikat

2. H1 diterima dan H0 ditolak jika nilai signifikansi t < α (0,10). Hal ini berarti bahwa secara parsial variabel bebas berpengaruh signifikan terhadap variabel terikat.

3.3.2.3. Uji F (serentak)

Untuk menguji pengaruh variable-variabel secara serentak/simultan tersebut terhadap Nilai Tukar Petani, maka digunakan uji F . Uji F merupakan uji statistik yang digunakan untuk menunjukkan apakah semua variabel independen atau bebas yang dimasukkan ke dalam model mempunyai pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel dependen atau terikat (Ghozali, 2011). Uji F

(48)

dilakukan dengan membandingkan nilai signifikansi dengan taraf yang nyata yang digunakan dengan ketentuan:

1. H0 diterima dan H1 ditolak jika nilai signifikansi F > α (0,05). Hal ini berarti bahwa secara bersama-sama variabel bebas (X1, X2, X3, X4, X5) tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel terikat (Y)

2. H1 diterima dan H0 ditolak jika nilai signifikansi F < α (0,05). Hal ini berarti bahwa secara bersama-sama variabel bebas ((X1, X2, X3, X4, X5) berpengaruh signifikan terhadap variabel terikat (Y)

3.4. Definisi dan Batasan Operasional

Defenisi dan batasan operasional dimaksudkan untuk menghindari kesalah-pahaman istilah-istilah yang terdapat dalam tesis ini.

3.4.1. Definisi

1. Nilai Tukar Petani adalah angka perbandingan antara indeks harga yang diterima petani dengan indeks harga yang dibayar petani yang dinyatakan dalam persentase.

2. Indeks harga yang diterima petani adalah indeks harga yang menunjukkan perkembangan harga kebutuhan rumah tangga petani, baik itu kebutuhan untuk konsumsi rumah tangga maupun kebutuhan untuk proses produksi pertanian.

3. Indeks harga yang dibayar petani : indeks harga yang menunjukkan perkembangan harga barang/jasa yang diperlukan untuk kebutuhan rumah tangga petani dan biaya produksi.

4. Inflasi Inflasi merupakan kecenderungan meningkatnya tingkat harga secara umum dan terus-menerus dalam satuan rupiah.

(49)

5. Suku bunga adalah nilai, tingkat harga dan yang di maksud dalam penelitian ini ialah suku bunga pinjamandalam satuan persen.

6. Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. dalam satuan orang.

7. PDRB ialah Produk Domestik Regional Bruto yng menjelaskan perekonomian suatu daerah.

3.4.2. Batasan Operasional

1. Penelitian dilakukan di Sumatera Utara.

2. Sampel dalam penelitian ini adalah data time series Nilai Tukar Petani (NTP) tahun 1989-2018 di Provinsi Sumatera Utara.

3. Penelitian dilakukan pada tahun 2020.

(50)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Wilayah Penelitian

Secara adminstratif Provinsi Sumatera Utara terletak di 0ᵒ LS – 4ᵒ 40’ LU dan 96ᵒ 40’ – 100ᵒ 50’ BT, yang beribukota Medan dan mempunyai 25 kabupaten dan 8 kotamadya. Sumatera Utara memiliki batas utara yaitu provinsi Aceh dan selat Malaka, selatan berbatasan dengan provinsi Riau, Sumatera Barat dan Samudera Indonesia, barat berbatasan dengan provinsi Aceh dan Samudera Indonesia, timur berbatasan dengan selat Malaka. Luas Provinsi Sumatera Utara kurang lebih 72.981,23 km2 (BPS, 2019) .

Topografis Wilayah Sumatera Utara terdiri dari daerah pantai, dataran rendah dan dataran tinggi serta pegunungan Bukit Barisan yang membujur ditengah-tengah dari Utara ke Selatan. Kemiringan tanah antara 0 – 12 % seluas 65,51% seluas 8,64 % dan diatas 40 % seluas 24,28 %, sedangkan luas Wilayah Danau Toba 112.920 Ha atau 1,57 %. Berdasarkan Topografi Daerah Sumatera Utara dibagi atas 3 (tiga) bagian yaitu bagian Timur dengan keadaan relatif datar, bagian tengah bergelombang sampai berbukit dan bagian Barat merupakan dataran bergelombang.Wilayah Pantai Timur yang merupakan dataran rendah seluas 24.921,99 Km2 atau 34,77 persen dari luas wilayah Sumatera Utara adalah Daerah yang subur, kelembaban tinggi dengan curah hujan relatif tinggi pula.

Wilayah ini memiliki potensi ekonomi yang tinggi sehingga cenderung semakin padat karena arus migrasi dari wilayah Pantai Barat dan dataran tinggi.

Banjir juga sering melanda wilayah tersebut akibat berkurangnya pelestarian hutan, erosi dan pendangkalan sungai. Pada musim kemarau terjadi pula kekurangan persediaan air disebabkan kondisi hutan yang kritis. Wilayah dataran

(51)

tinggi dan wilayah Pantai Barat seluas 46.758,69 Km2 atau 65,23 persen dari luas wilayah Sumatera Utara, yang sebagian besar merupakan pegunungan, memiliki variasi dalam tingkat kesuburan tanah, iklim, topografi dan kontur serta daerah yang struktur tanahnya labil. Beberapa 2 danau, sungai, air terjun dan gunung berapi dijumpai di wilayah ini serta sebagian wilayahnya tercatat sebagai daerah gempa tektonik dan vulkanik.

Iklim di Sumatera Utara termasuk iklim tropis yang dipengaruhi oleh angin Passat dan angin Muson. Kelembaban udara rata-rata 78%-91%, Curah hujan (800-4000) mm / Tahun dan penyinaran matahari 43%. Penduduk Sumatera Utara terdiri dari berbagai suku, yaitu Melayu, Batak, Nias, Aceh, Minangkabau, Jawa dan telah beragama. Walaupun berbeda Agama dan adat istiadat, kehidupan bersama berlangsung rukun dan damai dengan Pancasila sebagai pedoman hidup.

Jumlah penduduk di Sumatera Utara 14.562.549 jiwa (BPS, 2019).

merupakan provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di luar Pulau Jawa.

Sekitar 56,75 % penduduk bertempat tinggal di pedesaan dan 43,25 % bertempat tinggal di daerah perkotaan. Pada tahun 2007, penduduk Provinsi Sumatera Utara bertambah jumlahnya menjadi 12.834.371 jiwa yang terdiri dari 6.405.076 jiwa penduduk laki-laki atau sebesar 49,91 persen dan 6.429.925 jiwa penduduk perempuan atau sebesar 50,09 persen, dengan kepadatan rata-rata 179 Jiwa/Km² (BPS, 2007).

Laju pertumbuhan Penduduk Sumatera Utara selama kurun waktu tahun 1990 – 2000 adalah 1,20 persen pertahun, dan pada Tahun 2000 – 2005 menjadi 1,35 persen pertahun. Laju pertumbuhan penduduk tertinggi antara Tahun 2000 – 2005 terdapat di Kabupaten Tapanuli Tengah sebesar 2,96 persen pertahun, hal ini

(52)

kemungkinan karena letak Kabupaten Tapanuli Tengah sebagai daerah transit bagi Kabupaten di sekitarnya seperti Kabupaten Nias dan Tapanuli Selatan.

Sedangkan laju pertumbuhan penduduk terendah ada di Kabupaten Toba Samosir, yang tercatat sebesar negatif 0,96 persen pertahun. Berdasarkan struktur usia keseluruhan terdiri dari 33,68 persen berusia dibawah 15 Tahun; 42,06 persen wanita usia subur dan 18,17 persen usia diatas 45 Tahun (termasuk 3,3 persen diatas 64.

Potensi sumber daya alam Sumatera Utara cukup berlimpah, diantaranya tanaman pangan dan hortikultura, perkebunan, perikanan dan pariwisata. Potensi pertanian Provinsi Sumatera Utara diantaranya adalah sayuran, dan buah-buahan yang sebagian besar telah dipasarkan dengan baik dan sudah di ekspor keluar negeri maupun provinsi lain. Luas areal perkebunan adalah 1.634.772 ha atau 22,73% dari luas Sumatera Utara dengan produksi sebesar ± 3.738.516 ton untuk 23 komoditi diantaranya sawit, karet, kopi, kakao, tembakau dan kelapa. Rata-rata pertambahan luas lahan perkebunan 0,72 % pertahun dan pertumbuhan produksi sebesar 2,74 % pertahun (BPS, 2019).

Pada Provinsi Sumatera Utara memiliki 647.223 ha lahan pertanian yang dapat dikembangkan. Sebagian besar luas lahan pertanian dialokasikan untuk komoditas tanaman semusim. Hampir 66,4% dari luas lahan pertanian dialokasikan untuk tanaman hortikultura. Sisanya 21,9% dari luas lahan pertanian di Sumatera Utara dialokasikan ke komoditas tanaman tahunan dan 11,7%

diarahkan untuk pembentukan lahan padi sawah. Provinsi Sumatera Utara menuju menjadi provinsi yang berbasis jasa dan industri. Peran sektor pertanian dalam menyumbangkan PDRB Sumatera Utara semakin kecil.

(53)

4.2. Perkembangan Variabel Dependen dan Independen

4.2.1 Perkembangan Nilai Tukar Petani (NTP) di Provinsi Sumatera Utara Tahun 1989-2018

Berikut ini adalah data perkembangan Nilai Tukar Petani di Provinsi Sumatera Utara dari tahun 1989-2018, di tampilkan pada Grafik 4.1.

Gambar 4. 1. Grafik Perkembangan Nilai Tukar Petani Provinsi SumateraUtara tahun 1989 - 2018

NTP berfluktuasi dari waktu ke waktu tergantung dari perkembangan harga barang yang dijual petani dan barang serta jasa yang dikonsumsi petani.

Dilihat dari tabel diatas terlihat bahwa terjadi penurunan NTP pada 1989 – 1993 yakni. Namun terjadi peningkatan pada tahun 1994 -1995 dan terjadi peningkatan secara beruntun pada 1996 – 2003. Selanjunya terjadi penurunan pada 2004 – 2007 dan naik turun tahun 2008 – 2017 dan kembali turun di tahun 2018. Dari data tersebut juga kita dapat melihat bahwa NTP paling rendah terjadi pada tahun 1998 dan 1999 yakni sebesar 81,4 dan 81,9 sebagai mana kita ketahui pada masa tersebut terjadi krisis ekonomi pada tahun tersebut. NTP tertinggi terjadi pada tahun 2011 – 2012 yakni sebesar 102,36 – 103,42.

0 20 40 60 80 100 120

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30

Y: NTP

Gambar

Gambar 2.1. Skema Kerangka Pemikiran
Gambar 4. 1. Grafik Perkembangan Nilai Tukar Petani Provinsi  SumateraUtara tahun 1989 - 2018
Gambar 4. 3. Grafik Perkembangan Suku Bunga Provinsi Sumatera Utara  Dari  Grafik  diatas  ditunjukkan,  terjadi  peningkatan  suku  bunga  secara  signifikan  pada  tahun  1999-2001,  tetapi  ditahun-tahun  sebelum  dan  sesudahnya  pergerakan  grafik  ce
Gambar 4. 4. Grafik Perkembangan Tenaga Kerja Provinsi Sumatera Utara Dari Grafik diatas ditunjukkan, terjadi peningkatan tenaga kerja produktif di  sector  pertanian  pada  tahun  1989-2018  tetapi  ditahun-tahun  sebelum  dan  sesudahnya  pergerakan  gra
+2

Referensi

Dokumen terkait

[r]

[r]

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam meningkatkan dan mengoptimalkan pelayanan keperawatan yang diberikan dan dapat memberikan informasi tambahan

Dengan karakteristiknya, bahasa Jerman menuntut adanya kemampuan dan keterampilan yang cukup baik bagi para penggunanya, baik untuk kepentingan di lingkungan

Mengarahkan penyusunan program kerja, pengelolaan urusan keuangan, kepegawaian, peraturan perundang-undangan, kelembagaan, persuratan, rumah tangga,

1) Kegiatan pembelajaran kurang maksimal karena saat itu laboratorium SMP Negeri 1 Ketapang sedang digunakan oleh kelas lain. Kegiatan pembelajaran akhirnya dilakukan di

RKTUPHHK-HA Tahun 2014 telah terbit berdasarkan Keputusan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Selatan Nomor : 211/Kpts/Pola/Dishut/2014 Tentang Persetujuan Rencana

Faktor yang mendorong seorang perempuan yang sudah berkeluarga untuk bekerja antara lain faktor penghasilan untuk menambah penghasilan keluarga, faktor ekonomi