• Tidak ada hasil yang ditemukan

Di Balik Rahasia Bungkus Daun Tiga Jari; Riset Ethnografi Kesehatan 2014 KAIMANA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Di Balik Rahasia Bungkus Daun Tiga Jari; Riset Ethnografi Kesehatan 2014 KAIMANA"

Copied!
297
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Di Balik Rahasia

“Bungkus” Daun Tiga Jari

Setia Pranata

Nila Krisnawati

Ernawati Tanggarofa

(3)

dan Pemberdayaan Masyarakat Penulis

Setia Pranata Nila Krisnawati Ernawati Tanggarofa Tri Juni Angkasawati

Editor Tri Juni Angkasawati

Desain Cover

Agung Dwi Laksono

Cetakan 1, November 2014 Buku ini diterbitkan atas kerjasama PUSAT HUMANIORA, KEBIJAKAN KESEHATAN

DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Badan Penelitan dan Pengembangan Kesehatan

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Jl. Indrapura 17 Surabaya

Telp. 031-3528748, Fax. 031-3528749 dan

LEMBAGA PENERBITAN BALITBANGKES (Anggota IKAPI)

Jl. Percetakan Negara 20 Jakarta Telepon: 021-4261088; Fax: 021-4243933

e mail: penerbit@litbang.depkes.go.id

ISBN 978-602-1099-04-9

Hak cipta dilindungi undang-undang.

Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apa pun, termasuk fotokopi, tanpa izin tertulis

(4)

Pelaksanaan riset dilakukan oleh tim sesuai Surat Keputusan Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Nomor HK.02.04/1/45/2014, tanggal 3 Januari 2014, dengan susunan tim sebagai berikut:

Pembina : Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.

Penanggung Jawab : Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat

Wakil Penanggung Jawab : Dr. dr. Lestari H., MMed (PH) Ketua Pelaksana : dr. Tri Juni Angkasawati, MSc Ketua Tim Teknis : dra. Suharmiati, M.Si

Anggota Tim Teknis : drs. Setia Pranata, M.Si

Agung Dwi Laksono, SKM., M.Kes drg. Made Asri Budisuari, M.Kes Sugeng Rahanto, MPH., MPHM dra.Rachmalina S.,MSc. PH drs. Kasno Dihardjo

Aan Kurniawan, S.Ant

Yunita Fitrianti, S.Ant

Syarifah Nuraini, S.Sos Sri Handayani, S.Sos

(5)

1. dra. Rachmalina Soerachman, MSc. PH : Kab. Boven Digoel dan Kab. Asmat

2. dr. Tri Juni Angkasawati, MSc : Kab. Kaimana dan Kab. Teluk Wondama

3. Sugeng Rahanto, MPH., MPHM : Kab. Aceh Barat, Kab. Kep. Mentawai

4. drs. Kasno Dihardjo : Kab. Lebak, Kab. Musi Banyuasin 5. Gurendro Putro : Kab. Kapuas, Kab. Landak

6. Dr. dr. Lestari Handayani, MMed (PH) : Kab. Kolaka Utara, Kab. Boalemo

7. Dr. drg. Niniek Lely Pratiwi, M.Kes : Kab. Jeneponto, Kab. Mamuju Utara

8. drg. Made Asri Budisuari, M.Kes : Kab. Sarolangun, Kab. Indragiri Hilir

9. dr. Betty Roosihermiatie, MSPH., Ph.D : Kab. Sumba Timur. Kab. Rote Ndao

(6)

Mengapa Riset Etnografi Kesehatan 2014 perlu dilakukan ?

Penyelesaian masalah dan situasi status kesehatan masyarakat di Indonesia saat ini masih dilandasi dengan pendekatan logika dan rasional, sehingga masalah kesehatan menjadi semakin komplek. Disaat pendekatan rasional yang sudah mentok dalam menangani masalah kesehatan, maka dirasa perlu dan penting untuk mengangkat kearifan lokal menjadi salah satu cara untuk menyelesaikan masalah kesehatan masyarakat. Untuk itulah maka dilakukan Riset Etnografi sebagai salah satu alternatif mengungkap berbagai fakta kehidupan sosial masyarakat terkait kesehatan.

Dengan mempertemukan pandangan rasional dan

indigenous knowledge (kaum humanis) diharapkan akan

menimbulkan kreatifitas dan inovasi untuk mengembangkan cara-cara pemecahan masalah kesehatan masyarakat. Simbiose ini juga dapat menimbulkan rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa kebersamaan (sense of togetherness) dalam menyelesaikan masalah untuk meningkatkan status kesehatan di Indonesia.

Tulisan dalam buku seri ini merupakan bagian dari 20 buku seri hasil Riset Etnografi Kesehatan 2014 yang dilaksanakan di berbagai provinsi di Indonesia. Buku seri ini sangat penting guna menyingkap kembali dan menggali nilai-nilai yang sudah tertimbun agar dapat diuji dan dimanfaatkan bagi peningkatan upaya pelayanan kesehatan dengan memperhatikan kearifan lokal.

Kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh informan, partisipan dan penulis yang berkontribusi dalam

(7)

Kementerian Kesehatan RI yang telah memberikan kesempatan pada Pusat Humaniora untuk melaksanakan Riset Etnografi Kesehatan 2014, sehingga dapat tersusun beberapa buku seri dari hasil riset ini.

Surabaya, Nopember 2014

Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Badan Litbang Kementerian Kesehatan RI.

(8)

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GRAFIK DAFTAR GAMBAR BAB 1 PENDAHULUAN

BAB 2 WILAYAH DAN PENDUDUK TELUK ARGUNI BAWAH 2.1. Sekilas Kabupaten Kaimana

2.2. Distrik Arguni Bawah

BAB 3 KEBUDAYAAN MASYARAKAT IRARUTU 3.1. Hikayat Orang Irarutu

3.2. Asal Usul Kampung

3.3. Pola Menetap Orang Irarutu di Teluk Argini 3.4. Prinsip Keturunan dan Sistem Kekerabatan 3.5. Sistem Politik Lokal

3.6. Mata Pencaharian

3.7. Pandangan tentang Alam 3.8. Bahasa

3.9. Religi dan Kepercayaan

BAB 4 PROGRAM PEMBANGUNAN DAN PERUBAHAN KEBUDAYAAN

BAB 5 SELAYANG PANDANG KESEHATAN MASYARAKAT 5.1. Kesehatan Ibu dan Anak

5.2. Kesehatan Masyarakat 5.3. Sarana dan Tenaga Kesehatan

5.4. Pelayanan Kesehatan di Distrik Arguni Bawah 5.5. Potret Kesehatan Masyarakat Kampung Jawera

v vii xi xii xiv 1 13 16 25 35 35 45 48 58 69 75 90 97 103 109 127 128 133 135 138 142

(9)

BAB 6 PERILAKU DAN KESEHATAN REPRODUKSI 6.1. Balita dan Anak

6.2. Remaja

6.3. Kelompok Ibu

BAB 7 MENGUNGKAP TABIR “BUNGKUS” DAUN TIGA JARI 7.1. Melihat Stereotip Perilaku Seksuan di Papua

7.2. Perilaku Seksual Orang Irarutu

7.3. Bungkus Daun Tiga Jari

7.4. Fenomena di Balik Bungkus BAB 8 SKENARIO PEMBERDAYAAN MASYARAKAT IRARUTU

DI BIDANG KESEHATAN REPRODUKSI 8.1. Pemanfaatan Peran Budaya dan Tradisi yang Berorientasi pada Laki-laki

8.2. Rekayasa Sosial dengan Aksi Sosial BAB 9 PENUTUP

INDEKS GLOSARIUM DAFTAR PUSTAKA UCAPAN TERIMA KASIH

179 180 186 197 211 212 215 230 239 245 249 252 259 263 271 277 283

(10)

Tabel 2.1. Distrik di Kaimana Berdasarkan Luas Daerah, Jumlah Penduduk dan Kepadatan

Tabel 2.2. Jumlah Penduduk Menurut Distrik di Kabupaten Kaimana pada Tahun 2008 – 2012.

Tabel 2.3. Sebaran dan Jumlah Populasi Suku Bangsa di Kaimana

Tabel 2.4. Luas Wilayah dan Bentuk Permukaan Tanah Berdasarkan Kampung di Distrik Arguni Bawah Tabel 2.5. Jarak Tempuh dan Alat Transportasi Ke Pusat

Distrik

Tabel 3.1. Istilah untuk Sebutan dan Penggilan dalam Hubungan Kekerabatan Orang Irarutu

Tabel 5.1. Angka Kelahiran, Angkatan Kematian Bayi, dan Angka Kematian Ibu menurut Distrik di Kabupaten Kaimana Tahun 2008-2012.

Tabel 5.2. Jumlah Balita Gizi Buruk, Tahun 2008-2012 Tabel 5.3. Jumlah Penderita Sepuluh Besar Penyakit,

Tahun 2010-2012

Tabel 5.4. Penduduk, Fasilitas Kesehatan, Tenaga Kesehatan, dan Perbandingannya menurut Distrik Tahun 2010-2012 17 18 25 31 32 64 129 132 134 137

(11)

Gambar 2.1. Peta Provinsi Papua Barat Gambar 2.2. Peta Kabupaten Kaimana Gambar 2.3. Peta Wilayah Teluk Arguni Gambar 2.4. Pelabuhan Tanggaromi

Gambar 2.5. Long Boat, Angkutan Masyarakat di Wilayah Teluk Arguni

Gambar 3.1. Teluk Arguni

Gambar 3.2. Suasana Kampung Jawera di Wilayah Teluk Arguni.

Gambar 3.3. Bagan Kekerabatan Orang Irarutu Gambar 3.4. Struktur Masyarakat Adat Orang Irarutu Gambar 3.5. Menokok Sagu

Gambar 3.6. Nelayan sedang Melepas jaring Gambar 3.7. Pemburu dan Kelengkapan Berburu Gambar 4.1. Komposisi Anggaran Pembangunan

Kabupaten Kaimana

Gambar 4.2. Angka Melek Huruf Masyarakat di Kaimana 2008 – 2011

Gambar 4.3. APK dan APM Pendidikan Dasar dan Menengah di Kaimana 2008 – 2011

Gambar 4.4. Kapal Putih di Pelabuhan Kaimana

Gambar 4.5. Jumlah Penumpang yang Tiba dan Berangkat dari Pelabuhan Kaimana

Gambar 5.1. Prosentase Penolong Persalinan di Kabupaten Kaimana

Gambar 5.2. Persentase Akseptor KB Pasangan Usia Subur 2009-2012 14 18 26 24 29 31 52 63 72 77 81 88 111 112 113 116 118 130 133

(12)

Gambar 5.4. Puskesmas Tanusan dengan Perumahan Dinas Gambar 5.5. Kunyit dan Jeruk Nipis

Gambar 5.6. Daun Sirsak

Gambar 5.7. Pelaksanaan Posyandu di Kampung Jawera Gambar 5.8. Jamban Hasil PNPM

Gambar 5.9. Sumur yang Digunakan Masyarakat Gambar 5.10. Sumur yang Digunakan Masyarakat Gambar 5.11. Jenis-jenis Tungku untuk Memasak Gambar 5.12. Penyimpanan Air minum

Gambar 5.13. Pisang sedang Dibakar untuk Dikonsumsi Gambar 5.14. Tanaman Bahan Obat Tradisonal “Wams

Efut”

Gambar 5.15. Tanaman Bahan Obat Tradisonal “Tun Ro” Gambar 5.16. Tanaman Bahan Obat Tradisonal “Daun

Gatal”

Gambar 5.17. Tanaman Bahan Obat Tradisonal “Pohon Tali Kuning”

Gambar 5.18. Tanaman Bahan Obat Tradisonal “Daun Tiga Jari”

Gambar 6.1. Ibu sedang Memberikan ASI Gambar 6.2. Nona-nona Irarutu

Gambar 6.3. Memotong Daun Ketela untuk Konsumsi Gambar 6.4. Wabesan, Tempat Ibu Melahirkan Gambar 6.5. Ibu dan Bayinya di Wabesan Gambar 7.1. Ibu-ibu Irarutu

Gambar 7.2. Daun Tiga Jari dari Tampak Depan dan Belakang

Gambar 7.3. Baliho HIV/AIDS di Pintu RSUD Kaimana

140 145 148 153 157 160 162 162 512 166 170 172 173 174 175 182 187 200 204 206 225 233 243

(13)

Mengarungi kepala air “wer-rgwin” di tanah Kaimana Di tengah perawan belantara “mangi-mangi”

Di antar selaksa “gulama” Diiringi nyanyian “kasuarina”

Dan disambut ciuman mesra para “agas” Indah terasa

Jauh melebihi taman “Jurasic Park” khayalan Spielberg Berbekal semangat..

Berhias sepi.. gundah.. dan rindu..

Berada bersama “dorang” Mangku, Ruwe, Watora, Ranggafu, Wajeri dan Waraswara

Kutulis apa yang kulihat.. apa yang kudengar.. apa yang kurasa.. Perkenankan saya mempersembahkan tulisan ini

Untuk Dikau.. dan

(14)

BAB 1

PENDAHULUAN

Secara umum, pembangunan kesehatan yang dilakukan di Indonesia secara berkesinambungan telah menunjukkan hasil yang menggembirakan. Klaim meningkatnya status kesehatan masyarakat ditunjukkan dengan beberapa indikator. Dari upaya kesehatan, peningkatan jumlah Puskesmas dan Puskesmas Pembantutelah mempermudah akses rumah tangga menuju ke fasilitas pelayanan kesehatan dasar dan meningkatkan pemanfaatannya. Meningkatnya pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan dan ditunjang cakupan imunisasi telah menurunnya angka kematian bayi dan kematian ibu.

Masalahnya, tidak semua problematika kesehatan bisa diatasi sesuai yang diharapkan. Penyakit infeksi menular seperti TB, Malaria, HIV/AIDS dan Diare, termasuk Kusta dan Filariasis yang merupakan neglected diseases masih menjadi persoalan kesehatan. Adanya peningkatan kasus penyakit tidak menular menjadikan Indonesia mempunyai beban ganda.

Dari ketersediaan sumber daya manusia di bidang kesehatan, upaya pemenuhannya belum memadai, baik jumlah, jenis dan kualitas. Pemerintah sudah melakukan upaya perlindungan kepada masyarakat terkait penggunaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan, tetapi masih juga ada kendala. Penggunaan obat rasional belum dilaksanakan di fasilitas

(15)

pelayanan kesehatan secara merata. Masih banyak pengobatan dilakukan tidak sesuai dengan formularium.

Dalam melakukan pembangunan kesehatan, pemerintah sadar sepenuhnya bahwa hal tersebut tidak mungkin dilakukan oleh pemerintah sendiri. Harus ada peran serta dari masyarakat. Untuk itupun, pemerintah sudah memfasilitasi pengembangan UKBM yang diharapkan menjadi wadah peran serta dan kemandirian masyarakat di bidang kesehatan. Data Rifaskes 2011 (Suwandono, 2012) menunjukkan bahwa input kemandirian masyarakat kondisinya amat kurang. Dilihat di proses seperti kegiatan Survei Mawas Diri dan Musyawarah Masyarakat Desa, serta output yang berupa jumlah Posyandu dan sejumlah UKBM lain, hasilnya lebih baik dari inputnya. Kondisi ini mengindikasikan bahwa kegiatan proses dan output itu dipaksakan walau dengan input yang minimal.

Olah sebab itu, harus disadari sepenuhnya bahwa masalah kesehatan masyarakat tidak bisa lepas dari faktor sosial, budaya dan lingkungan dimana mereka berada. Disadari atau tidak, faktor tradisi, kepercayaan, konsepsi dan pengetahuan masyarakat mengenai berbagai hal seringkali membawa dampak positif dan negatif terhadap kesehatan. Pemahaman tentang nilai budaya yang berkaitan dengan kesehatan menjadi penting untuk diperhatikan. Nilai budaya ini bisa menjadi faktor penentu keberhasilan pembangunan kesehatan yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

Riset etnografi kesehatan yang dilakukan di 12 etnis dan difokuskan pada kesehatan ibu dan anak, menunjukkan keterkaitan tradisi, kepercayaan dan pengetahuan masyarakat dengan kondisi kesehatan ibu dan anak. Pada Etnik Alifuru Seram (Permana, 2012) ada kecenderungan ibu dari untuk menutupi kehamilan sampai usia tiga bulanan. Di Etnik Nias (Manalu, 2012) mengidentifikasi adanya keharusan bagi seorang ibu hamil untuk tetap bekerja

(16)

keras sampai mendekati masa persalinannya. Kedua hal tersebut merupakan contoh kebiasaan yang membahayakan kesehatan ibu dan janinnya.

Selain menemukan tradisi yang berisiko terhadap kesehatan, studi etnografi juga memberikan informasi tentang nilai-nilai budaya, pengetahuan dan praktek perilaku yang menjadi potensi kesehatan. Tradisi gebrakan pada masyarakat Jawa merupakan deteksi awal terhadap kondisi pendengaran bayi. Bila si bayi tampak kaget saat dilakukan gebrakan, ini menandakan si bayi mempunyai pendengaran yang normal. Demikian pula dengan tradisi pijat bayi. Bila dilakukan dengan tepat, pemijatan dapat memperlancar peredaran darah bayi dan membuat bayi lebih rileks.

Indonesia yang menurut Ensiklopedi Etnik Bangsa di Indonesia (Melalatoa, 1995) memiliki lebih dari 500 lema1 dengan berbagai ragam budaya, tentunya akan memberikan kekhasan tersendiri. Manusia sebagai mahluk sosial bagian dari lema telah lama mengembangkan pola adaptasi sosial budaya untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapinya, termasuk masalah kesehatan. Menurut Foster (1986) adaptasi sosial budaya tersebut yang melahirkan sistem medisuntuk menghadapi penyakit. Sistem medis yang mencakup keseluruhan dari pengetahuan kesehatan, kepercayaan, keterampilan dan praktek-praktek dari para anggota kolektifa sebuah kebudayaanini timbul sebagai respon terhadap ancaman yang disebabkan oleh penyakit.

Lebih lanjut dikemukakan oleh Foster bahwa sistem medis sebagai bagian integral dari kebudayaan telah membuat tiap

1 Para ahli telah merumuskan konsep Etnik bangsa sebagai kesatuan sosial atau

kolektifa yang mempunyai kesadaran sebagai satu kebudayaan, yang antara lain ditandai oleh kesamaan bahasa. Pemilihan konsep lemadalam Ensiklopedia tersebut tidak mengikatkan diri pada pengertian konsep Etnik bangsa sehingga pengertian lema bisa menjadi lebih sempit dan bisa pula menjadi lebih luas.

(17)

kebudayaan mengembangkan sistem kesehatan yang berbeda antara satu daerah kebudayaan dengan yang lain. Sebagai bentuk adaptasi dan respon terhadap ancaman kesehatan, kondisi ini bisa dijadikan sebagai modal dasar pembangunan kesehatan yang harus berangkat dari masalah dan potensi spesifik daerah. Hal inilah yang kemudian melandasi munculnya pemikiran untuk melakukan studi tentang etnografi kesehatan dari berbagai Etnik bangsa di Indonesia.

Studi etnografikesehatan ini merupakan rangkaian kegiatan riset etnografi kesehatan dari Pusat Humaniora, kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan yang tahun sebelumnya sudah dilakukan di 12 Etnik. Kalau kegiatan tahun lalu difokuskan pada penggambaran kesehatan ibu dan anak, maka studi etnografi kali ini topik bahasannya diperluas. Topik tidak hanya kesehatan ibu dan anak tetapi bisa juga yang terkait dengan penyakit menular, penyakit tidak menular dan perilaku hidup besih dan sehat. Semua itu tergantung kondisi dan temuan di tiap-tiap wilayah etnis.

Salah satu etnis yang menjadi sasaran studi adalah Irarutu yang berada di daerah Kaimana, Papua Barat. Tidak banyak informasi yang diperoleh terkait dengan keberadaan etnis Irarutu ini. Pencarian informasi melalui internet sebagai data awal diperoleh keterangan bahwa Irarutu adalah salah satu etnis dari delapan etnis besar yang berada di wilayah Kabupaten Kaimana dan 271 Etnik di tanah Papua. Di kaimana, kelompok etnis ini banyak mendiami teluk Arguni sampai ke Utara ke teluk Bintuni. Pemukiman mereka tersebar di 40 buah desa dengan jumlah populasi sekitar 4.000 jiwa dan menggunakanbahasa Irarutu yang termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia.

Saat kegiatan persiapan daerah dengan mendatangi Kabupaten Kaimana, diharapkan bisa diperoleh informasi lebih

(18)

lengkap tentang aspek sosial, budaya dan kesehatan masyarakat etnis Irarutu. Tetapi tidak demikian adanya. Perpustakaan daerah yang menjadi sasaran pertama hanya menampakkan dirinya sebagai bangunan kosong, tidak ada penghuni, apalagi koleksi kepustakaan. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan yang diharapkan punya informasi tentang kebudayaan berbagai etnis di Kaimana, tidak punya data yang dibutuhkan. Harapan terakhir untuk mendapat catatan dan dokumen tentang etnis Irarutu adalah Lembaga Dewan Adat Kaimana. Ternyata keadaannya sama, tidak ada data berupa dokumen tentang etnis Irarutu.

Tentang aspek kesehatan, satu-satunya data yang bisa diperoleh adalah data excel lampiran dari profil kesehatan yang sedang diupayakan penyelesaiannya oleh Dinas kesehatan. Paling tidak inilah data yang bisa digunakan untuk menggambarkan kondisi kesehatan per Distrik, termasuk Distrik Arguni Bawah dimana banyak menetap masyarakat etnis Irarutu. Dari data lampiran profil teridentifikasi beberapa masalah kesehatan seperti ISPA, malaria, penyakit kulit dan diare sebagai penyakit yang dilaporkan banyak diderita penduduk.

Berangkat dari keterbatasan informasi, sulit bagi peneliti untuk menentukan masalah dan tema sebelum berangkat ke lokasi penelitian. Apalagi ada harapan bahwa masalah dan tema terpilih, nantinya mempunyai dampak yang lebih luas terhadap kesehatan. Karena itu pertanyaan penelitian yang akan dijawab sengaja dirumuskan secara umum yakni bagaimana gambaran unsur kebudayaan terkait dengan masalah kesehatan yang ada di etnis Irarutu? Pertanyaan spesifik yang sifatnya tematik belum bisa dirumuskan karena akan dirumuskan nanti setelah peneliti berada di lapangan dan tahu masalah apa yang ada di lingkungan masyarakat Irarutu tersebut.

Lagi-lagi karena keterbatasan informasi, maka ketika menentu-kan tempat sebagai lokasi penelitian kami banyak

(19)

berdiskusi, menerima masukan dan saran dari teman-teman di Dinas Kesehatan. Kebetulan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Kaimana adalah orang Irarutu. Dengan pertimbangan aksesibilitas lokasi, keterbukaan masyarakat, kemungkinan penerimaan oleh masyarakat, ketersediaan tempat tinggal peneliti selama di lokasi dan ketersediaan air maka disepakati untuk menjadikan kampung Jawera di Distrik Teluk Arguni Bawah sebagai lokasi penelitian etnografi kesehatan ini.

Sesuai dengan terminologinya, etnos yang berarti bangsa dan grafein yang berarti tulisan, studi etnografi ini akan mendeskripsikan dan menganalisis kebudayaan masyarakat dalam rangka memahami pandangan, pengetahuan tentang sesuatu hal yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Atkinson dan Hammersley (1994) etnografi ini merupakan penelitian kualitatif tentang suatu fenomena sosial budaya. Bisa dilakukan secara fokus pada satu kasus, bisa dilakukan pada beberapa kasus dan dengan mengkomparasikan.

Pada studi etnografi kesehatan ini sejak awal memang di desain sebagai penelitian kualitatif, dimana peneliti terjun langsung untuk memperoleh data di lapangan.Riset ini dilakukan pada latar alamiah, naturalistik, dalam konteks keutuhan yang secara ontologi menghendaki kenyataan sedemikian rupa yang tidak dapat dipahami jika dipisahkan dari konteksnya.

Dalam melakukan studi ini, data diperoleh dari beberapa jenis sumber. Secara langsung melakukan wawancara dengan sasaran penelitian, melakukan pencatatan atau copy dokumen, melakukan pengambilan foto dan pengambilan film. Sebagai catatan yang harus selalu dipahami dengan penuh kesadaran adalah bahwa instrumen utama pengumpulan data kualitatif adalah peneliti itu sendiri.

Sebagai instrumen, kami peneliti sudah mencoba dengan sekuat tenaga untuk mendapatkan data yang sahih. Data dokumen

(20)

statistik Kabupaten Kaimana dalam angka diperoleh dari Badan Pusat Statistik Kabupaten. Data excel lampiran profil kesehatan Kabupaten Kaimana diperoleh dari Dinas Kesehatan. Data statistik Teluk Arguni Bawah dalam angka diperoleh dari Kantor Distrik Teluk Arguni Bawah.

Disaat peneliti mau melakukan pengumpulan data di komunitas, benar apa yang kemukakan oleh Bryman (2004) bahwa merupakan tahapan yang sulit dalam penelitian etnografi ketika masuk pada seting sosial. Ada yang mau terbuka menerima dan ada yang tidak. Butuh waktu lebih dari satu minggu bagi peneliti untuk bisa bicara tidak dalam suasana formal dengan masyarakat setempat.Informasi awal yang diterima penduduk kampung bahwa kami adalah orang kesehatan, dipersepsikan bahwa kami adalah tenaga medis yang mereka butuhkan yang akan ditempatkan di kampung tersebut. Beberapa kali kami didatangi warga untuk minta obat. Begitu kami menjelaskan tentang siapa dan apa maksud kedatangan kami, mereka menjadi agak kecewa.

Untuk bisa mendekatkan diri kepada masyarakat, tim peneliti selama tinggal di lokasi penelitian senantiasa berusaha menjadi bagian dari kehidupan masyarakat setempat. Aktif dalam kegiatan sehari-hari warga seperti berolahraga bersama, memancing ikan bersama, kerja bakti bersama, melihat TV bersama dan melakukan kunjungan atau menerika kunjungan dari warga sekitar.

Informasi berkenaan dengan substansi penelitian digali dari informan yang sudah ditetapkan sesuai kriteria. Pengumpulan informasi ini diawali dengan mencari informasi kepada aparat Kampung. Ketika peneliti dihadapkan pada keterbatasan informasi, maka untuk mendapatkan kekurangan informasi tersebut kami meminta informan untuk merekomendasikan siapa yang bisa melengkapi dan tahu tentang substansi tersebut.

(21)

Karena substansi dari penelitian ini adalah etnografi kesehatan, maka pada pedoman pengumpulan data memuat hal-hal yang akan ditanyakan kepada informan terpilih. Substansi yang terdapat pada buku pedoman tersebut adalah yang berkaitan dengan gambaran etnografi dan budaya kesehatanmasyarakat yang terdapat pada daerah riset khususnya tentang kesehatan ibu dan anak, penyakit menular, penyakit tidak menular dan perilaku hidup bersih dan sehat.

Sebagai kelengkapan di lapangan, peneliti dibekali pedoman pengumpulan data. Fungsi pedoman tersebut sebagai panduan peneliti dalam menggali dan memperoleh informasi sesuai substansi yang diteliti. Dalam pelaksanaan di lapangan, ketika akan melakukan wawancara kami menghafal terlebih dahulu apa yang akan ditanyakan. Dengan demikian kami bisa berdiskusi dengan bebas tanpa harus membawa buku pedoman yang membuat hubungan kami tampak formal.

Pada waktu melakukan wawancara secara bebas, peneliti kemudian langsung mencatat dan mendeskripsikan temuan datanya pada Field Note catatan penelitian. Field Note, ini berfungsi memuat catatan hasil wawancara, detail hasil pengamatan, catatan intrepretasi dan catatan analitik untuk kemudian dirangkai sebagai karya tulis etnografi budaya kesehatan Indonesia.

Dengan berjalannya waktu di lapangan, peneliti menemukan fenomena menarik -menurut versi peneliti- tentang perilaku seks kaum laki-laki. Dari cerita yang diperoleh, dari apa yang peneliti seringkali lihat, bahwamereka para laki-laki memiliki risiko tinggi terhadap kesehatan seksualnya. Kaum laki-laki mengenal perilaku bungkus teknologi lokal untuk memperbesar alat kemaluan laki-laki. Teknologi ini tiak hanya digunakan oleh laki-laki dewasa yang sudah menikah, para remaja yang belum menikahpun sudah ada yang memanfaatkan. Fenomena dibalik

(22)

perilaku bungkus inilah yang bisa mengakibatkan terganggunya organ reproduksi laki-laki pengguna bungkus. Bila dikaitkan dengan perilaku seks mereka yang permisif terhadap seks bebas, sangat memungkinkan mereka berisiko terkena penyakit menular seksual dan HIV/AIDS. Temuan dan pemikiran inilah yang kemudian membuat peneliti menjadikan fenomena bungkus sebagai kajian tematik dari studi etnografi kesehatan dengan latar belakang etnis Irarutu di Kampung Jawera, Distrik Teluk Arguni Bawah, Kabupaten Kaimana.

Berangkat dari asumsi bahwa fenomena bungkus sebagai bentuk kebudayaan yang ditemukan di komunitas orang Irarutu dan ternyata beberapa etnis di Papua juga melakukan hal yang sama, tentunya mempunyai penjelasan mengapa mereka melakukan hal tersebut. Disisi lain, fenomena ini juga akan dilihat dari sudut pandang peneliti. Jika disumsikan dengan mata uang, ada dua sisi yang harus ditunjukkan sehingga setiap orang yang melihat akan tahu bahwa itu adalah mata uang.

Bagi kami, membuat tulisan etnografi sama dengan menyusun pussle. Butuh keterampilan dan ketelitian untuk menyusun setiap potongan gambar menjadi satu gambar yang utuh. Jujur, ini merupakan kesulitan terbesar peneliti untuk menyusun pemaparan data temuan lapangan iBarat potongan gambar menjadi pussle etnografi. Pertanyaannya adalah, kami harus memulai dari mana? Butuh waktu lebih untuk menata potongan gambar sehingga dapat menghubungkan dan menggambarkan dengan tepat. Untuk kebutuhan itu, kami memilih melakukan pemaparan tulisan ini menjadi tujuh bagian.

Bab pertama merupakan pendahuluan. Pada bab ini diuraikan tentang hal yang melatarbelakangi studi etnografi kesehatan pada masyarakat Irarutu di Kaimana. Kami juga menilai penting untuk memberikan gambaran bagaimana studi ini

(23)

dilakukan di lapangan, penemuan tema yang menjadi bahasan khusus dan diakhiri dengan uraian setiap bagian.

Bab kedua, wilayah dan penduduk. Bagian ini bertujuan memperkenalkan Kaimana dan wilayah teluk Arguni Bawah, dimana penelitian ini dilakukan. Pada bagian ini dipaparkan juga sejumlah data pengamatan, informasi yang diberikan nara sumber yang menulis tentang orangnya dan lingkungan ekologisnya.

Ketiga, kebudayaan orang Irarutu. Pada bagian ketiga bertujuan untuk memaparkan kebudayaan orang Irarutu. Khususnya penggambaran tentang kerangka etnografi yang meliputi folklore dan cerita rakyat sebagai sistem ide, pola menetap dan pemukimannya, sistem kekerabatan dan struktur masayarakat-nya, mata pencaharian danberbagai tingkah laku anggota masyarakat dalam kehidupan sehari-hari sebagai orang Irarutu.

Keempat, program pembangunan dan perubahan kebudayaan. Bagian keempat ini ditujukan untuk menggambarkan bagaimana pembangunan masyarakat berbasis kampung yang sudah direncanakan dan dianggarkan oleh Pemerintah Kaimana dapat menyentuh dan mempengaruhi kehidupan masyarakat.

Kelima, selayang pandang kesehatan masyarakat. Tema ini berusaha memberikan gambaran tentang program pelayanan kesehatan dan kondisi kesehatan secara umum di tingkat Kabupaten dan di Distrik Arguni Bawah pada khususnya. Beberapa hal yang diharapkan bisa mengungkap potret kesehatan masyarakat adalah dengan menggambarkan kondisi kesehatan seperti kematian, kesakitan dan status gizi. Selain itu akan digambarkan pula program pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan beserta segenap jajarannya.

Keenam, perilaku dan kesehatan reproduksi. Bahasan keenam ini merupakan hal yang melatarbelakangi dipilihnya fenomena bungkus sebagai tema sentral pada tulisan ini. Disini

(24)

akan dipaparkan perilaku seksual yang terjadi di lingkungan masyarakat dan cara perawatan organ reproduksi yang dilakukan orang Irarutu dengan segala konsekwensinya.

Ketujuh, menyingkap tabir bungkus daun tiga jari. Pada bagian ketujuh ini, kita tiba pada tema utama penelitian. Akan diungkap bagaimana nilai-nilai “keperkasaan” dalam perilaku seks diberi makna dan diterjemahkan oleh kaum laki-laki dengan melakukan bungkus. Diuraikan pula apa yang dimaksud dengan

bungkus, daun tiga jari yang digunakan untuk membungkus, cara

pembungkusan dan risiko kesehatan yang bisa mengancam.

Kedelapan, skenario pemberdayaan orang Irarutu di bidang kesehatan reproduksi. Mengingat risiko kesehatan yang bisa menimpa orang Irarutu sebagai konsekwensi perilaku seksnya dan tradisi bungkusnya, bagian ini merupakan pemikiran peneliti tentang apa yang bisa dilakukan pemerintah, masyarakat, keluarga dan individu agar terhindar dari risiko kesehatan.

Sembilan, penutup. Pada bagian ini akan berisi kesimpulan dari keseluruhan studi etnografi kesehatan yang dilakukan di lingkungan orang Irarutu di wilayah Teluk Arguni Bawah, Kabupaten Kaimana, Provinsi Papua Barat.

(25)
(26)

BAB 2

WILAYAH DAN PENDUDUK TELUK ARGUNI

Teluk Arguni merupakan wilayah yang terletak secara geografis dan aministratif di Kabupaten Kaimana. Sebelum ditetapkan sebagai bagian dari Kabupaten Kaimana, teluk Arguni adalah salah satu distrik dari Kabupaten Fakfak. Sama dengan Kaimana yang juga berstatus distrik dari Kabupaten Fakfak. Semangat otonomi daerah membuahkan pemekaran beberapa kabupaten di Indonesia, termasuk beberapa Kabupaten di tanah papua yang secara geografis jauh lebih luas dibandingkan luas kabupaten pada umumnya di Indonesia.

Salah satu hasil semangat tersebut adalah berdirinya Kabupaten Kaimana yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Fakfak. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2002, resmilah Kaimana sebagai salah satu kabupaten dari tiga belas Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat. Peresmian Kabupaten Kaimana dilakukan secara bersamaan dengan pelantikan Pejabat Bupati pada tanggal 11 April 2003.

Pada saat dibentuk, Kabupaten Kaimana masih terdiri dari empat Distrik, yakni Distrik Kaimana, Distrik Teluk Arguni, Distrik Buruway dan Distrik Etna. Pada perkembangan selanjutnya, ditahun 2006, dibentuk Distrik baru. Ketiga Distrik baru tersebut adalah Distrik Kambrauw, Arguni Bawah dan Yamor.

(27)

Gambar 2.1. Peta Provinsi Papua Barat Sumber: http://3.bp.blogspot.com

Secara ekologis, Kaimana merupakan bagian Pulau Papua. Menurut Malcoln dan Mansoben (Djoht, 2002) Papua secara ekologis itu terdiri atas empat zona yang masing-masing menunjukkan diversifikasi terhadap system mata pencaharian mereka berdasarkan kebudayaan dan sebaran Etnik bangsa-Etnik bangsanya. Kelompok etnik yang beraneka ragam di Papua tersebar pada tiga zona ekologi yaitu: 1) Zona Ekologi Rawa atau

Swampy Areas, Daerah Pantai dan Muara Sungai atau Coastal and Riverine, 2) Zona Ekologi Kaki-Kaki Gunung serta Lembah-Lembah

Kecil atau Foothills and Small Valleys, dan 3) Zona Ekologi Pegunungan Tinggi atau Highlands.

Orang-orang Papua yang hidup pada mitakat atau zona ekologi yang berbeda-beda ini mewujudkan pola-pola kehidupan yang bervariasi sampai kepada berbeda satu sama lainnya. Penduduk yang hidup di wilayah zona ekologi rawa, daerah pantai

(28)

dan muara sungai mempunyai sebaran wilayah yang meliputi Jayapura, Yapen Waropen, Biak Numfor, Paniai, Nabire, Manokwari, Sorong, Fakfak, Kaimana, mimika dan Merauke. Dalam kategori zona ini, termasuk juga wilayah teluk Arguni yang menjadi tempat bermukim Etnik Kamberau, Irarutu, Mairasi.

Karena kondisi alamnya, setiap wilayah biasanya mempunyai lebih dari satu zona ekologi. Suatu zona ekologi yang senantiasa berdampingan dengan zona ekologi rawa, pantai dan sungai adalah zona kaki gunung dan lembah-lembah kecil. Karena kondisi ekologi sebagai daerah rawa, daerah pantai dan muara sungai, kelompok Etnik bangsa ini kebanyakan bermata pencaharian utama menangkap ikan di laut dan sungai. Berkebun dan meramu sagumerupakan mata pencaharian pendamping. Sedangkan di wilayah yang masuk dalam zona kaki gunung dan lembah-lembah kecil, banyak diantara mereka yang bermata pencaharian utama sebagai peladang berpindah-pindah, beternak dan berburu.

Kontjaraningrat (1994) berdasar kepadatan penduduknya membagi papua menjadi tiga daerah. Perbedaan ini dinilai juga menyebabkan perbedaan sistem ekonomi dan struktur sosial mereka. Tipe pertama, penduduknya bermatapencaharian sebagai peramu sagu, nelayan sungai dan nelayan pantai. Kegiatan berkebun hanya dilakukan secara terbatas. Orang-orang pada tipe pertama biasanya tinggal di daerah hilir sungai besar dan kecil yang biasanya merupakan daerah rawa yang luas. Tipe kedua, adalah tipe penduduk yang menetap di daerah hulu sungai. Mata pencaharian utama mereka adalah meramu sagu dan berburu babi hutan. Mereka terkadang menangkap ikan di sungai. Berbeda dengan penduduk tipe pertama yang tinggal secara menetap, tipe dua hidup secara berpindah bersama kelompoknya dan tidak mengenal kegiatan berkebun. Adapun penduduk tipe ketiga adalah mereka yang menghuni daerah lembah-lembah besar di

(29)

pegunungan di tengah Papua. Mereka bercocok tanam di ladang menanam berbagai jenis ubi, tebu dan tanaman lain. Tempat tinggalnya adalah desa-desa kecil yang hanya terdiri dari satu keluarga luas.

Lebih lanjut dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1994) bahwa ada klasifikasi lain yang dikembangkan berdasarkan beberapa unsur kebudayaan yang nampak menyolok. Para ahli antropologi membagi Papua menjadi 23 “daerah kebudayaan”. Klasifikasi ini kemudian dipakai Belanda untuk membagi wilayah Papua menjadi 23 wilayah administratif atau onderafdeling. Pada awal pemerintahan Indonesia, pembagian berdasar “daerah kebudayaan” tersebut digunakan untuk menentukan wilayah Kepala Pemerintahan Setempat (KPS), suatu pembagian wilayah dengan kewenangan yang lebih kecil dari Kabupaten dan lebih besar dari kecamaatan. Namun kemudian, pembagian tersebut ditinggalkan dan digantikan oleh pembagian administratif Kabupaten dan Distrik yang setara dengan Kecamatan.

2.1. Sekilas Kabupaten Kaimana

Kabupaten Kaimana terletak di bagian Selatan wilayah kepala burung dan merupakan pesisir Selatan dari Provinsi Papua Barat. Di sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Mimika, Kabupaten Fakfak di sebelah Barat, Kabupaten Teluk Bintuni, Kabupaten Teluk Wondama dan Kabupaten Nabire di sebelah Utara dan dengan Kabupaten Maluku Tenggara di sebelah Selatan. Secara administratif Kabupaten Kaimana pada Tahun 2013 terdiri dari 7 (tujuh) Distrik/Kecamatan dengan jumlah kampung 84 Kampung dan 2 Kelurahan (BPS, 2013).

(30)

Tabel 2.1. Distrik di Kaimana Berdasarkan Luas Daerah, Jumlah Penduduk dan Kepadatan

Distrik Luas Daerah/ Km² Jumlah Penduduk Kepadatan Penduduk/ Km² Kaimana 2.096 31.668 15,12

Teluk Arguni Atas 2.990 3.312 0,79

Buruway 2.650 4.598 1,54

Etna 4.195 3.916 1,48

Arguni Bawah 1.990 2.560 3,30

Kambraw 775 3.224 1,62

Yamor 3.805 2.182 0,57

Sumber : BPS, Kaimana Dalam Angka 2013

Tercatat pada data Badan Pusat Statistik Kabupaten Kaimana, hingga tahhun 2012 jumlah penduduk Kaimana mencapai 49.953 jiwa. Jumlah penduduk tersebut merupakan hasil proyeksi penduduk dengan besar pertumbuhan penduduk rata-rata 3,5% per tahun dalam kurun waktu 2008 – 2012.

Dilihat dari jumlahnya, sebagaimana tertera pada tabel 2.2. dibawah, keberadaan penduduk di kabupaten Kaimana terkonsentrasi pada wilayah Distrik Kaimana. Kondisi ini merupakan fenomena yang wajar mengingat Distrik Kaimana adalah pusat layanan pemerintahan dan pertumbuhan ekonomi. Tabel tersebut juga menunjukkan bahwa Distrik Kaimana mengalami pertumbuhan penduduk paling cepat. Dalam kurun waktu 2008 sampai 2012 pertumbuhan penduduknya adalah 11,13% per tahun. Selain faktor alamiah, tingginya migrasi penduduk dari Distrik dan dari luar Kabupaten juga berkontribusi terhadap laju pertumbuhan penduduk Distrik Kaimana. Adanya migrasi dari Distrik lain ditunjukkan dengan berkurangnya jumlah penduduk di Distrik yang lain.

(31)

Tabel 2.2. Jumlah Penduduk Menurut Distrik di Kabupaten Kaimana pada Tahun 2008 – 2012.

Distrik 2008 2009 2010 2011 2012 Kaimana 20.817 27.622 29.593 31.537 32.404 Teluk Arguni Atas 4.712 3.279 3.530 3.539 3.752 Buruway 5.481 3.279 3.500 3.503 3.720 Etna 5.009 2.920 3.107 3.145 3.251 Arguni Bawah 2.462 2.226 2.384 2.403 2.534 Kambraw 2.122 2.081 2.216 2.192 2.283 Yamor 1.825 1.803 1.919 1.932 2.009

Sumber : BPS, Kaimana Dalam Angka 2013

Gambar 2.2. Peta Kabupaten Kaimana

(32)

Kabupaten Kaimana memiliki luas wilayah 36.000 Km2. Wilayah berupa daratan, kurang lebih seluas 18.500 Km2 dan wilayah perairan seluas 17.500 Km2. Dari ketujuh Distrik di Kaimana, Distrik Etna merupakan daerah dengan wilayah terluas. Luas wilayahnya adalah 22,68% dari total luas daratan kaimana. Distrik yang terluas berikutnya adalah Yamor, dengan luas 20,57% dari luas daratan. Adapun Distrik dengan ;luas wilayah terkecil adalah Kambrauw. Luasnya hanya 4,08% dari luas daratan. Dilihat dari jarak antara Kaimana sebagai pusat kota dengan Distrik yang lain, bila diukur, Distrik Etna adalah Distrik terjauh. Jaraknya 84 mil laut. Sedangkan Distrik terdekat adalah Distrik Buruway. Distrik ini dapat ditempuh dalam jarak 26 mil laut.

Berada pada ketinggian rata-rata 600 m diatas permukaan laut, sebagian besar wilayah Kaimana adalah pegunungan dengan kemiringan antara <20–600. Struktur tanah umumnya terdiri dari batu-batuan, pasir, lumpur dan liat, dengan kandungan pH tanah antara 4,0%–7,8%. Dalam Peta Wilayah Negara Republik Indonesia, Kabupaten Kaimana terletak pada 1320,75’BT–1350,15’BT dan 020,90’LS–040,20’LS.

Iklim Kaimana hampir sama dengan wilayah lain di Tanah Papua pada umumnya, yaitu tropis. Suhu udara berkisar antara 150C–340C, tekanan udara 1006,2mbs hingga 1009,3mbs, dengan kelembaban rata-rata 83,92%. Kecepatan dan arah angin berkisar antara 03 knot dan 1800 hingga 05 knot dan 3400. Curah hujan pertahun tidak menentu dan bervariasi antara 1500 mm – 4000 mm. Kondisi alam Kaimana dipengaruhi oleh dua musim, yaitu musim kemarau pada bulan Oktober hingga April yang ditandai dengan angin Barat, dan musim hujan pada bulan April hingga Oktober yang ditandai dengan angin Timur.

Mata pencaharian penduduk di Kabupaten Kaimana umumnya adalah nelayan, petani subsistem dan perkebunan

(33)

tradisional, ini sesuai dengan lingkungan tempat tinggalnya. Usaha perdagangan umumnya dilakukan oleh penduduk pendatang yang berasal dari daerah Bugis, Buton, Jawa dan China

Di Kabupaten Kaimana, terdapat beberapa Etnik bangsa yang merupakan penduduk asli. Etnik bangsa ini merupakan bagian dari beratus-ratus Etnik-bangsa yang sebagai penduduk asli pulau Papua. Diperkirakan saat ini jumlah Etnik-Etnik di pulau Papua adalah sebanyak 319 Etnik (http://proto-malayans.blogspot.com /2012). Menurut wikipedia, terdapat 115 Etnik bangsa. Koentjaraningrat (2009) memperkirakan Etnik bangsa di tanah Papua berjumlah sekitar 37 buah. Sedangkan menurut Tim Peneliti Uncen (1991) telah diidentifikasi adanya 44 Etnik bangsa yang masing-masing merupakan sebuah satuan masyarakat, kebudayaan dan bahasa yang berdiri sendiri. Sebagian besar dari 44 Etnik bangsa itu terpecah lagi menjadi 177 Etnik. Sedangkan kalau kategori Etnik bangsa berdasarkan bahasa maka ada 271 lebih Etnik bangsa berarti, ada 271 lebih kebudayaan (Indek of Linguage, SIL, 1988)

Dalam kepustakaan Antropologi, Papua dikenal sebagai masyarakat yang terdiri atas Etnik-Etnik bangsa dan Etnik-Etnik yang beraneka ragam kebudayaannya. Menurut Held dan Van Baal (Djoht, 2002), ciri-ciri yang menonjol dari Papua adalah kesamaan ciri-ciri kebudayaan mereka diantara keanekaragaman kebudayaannya. Perbedaan-perbedaan kebudayaan yang terdapat dalam masyarakat Papua dapat dilihat perwujudannya dalam bahasa, sistem-sistem komunikasi, kehidupan ekonomi, keagamaan, ungkapan-ungkapan kesenian, struktur pollitik dan struktur sosial, serta sistem kekerabatan yang dipunyai oleh masing-masing masyarkat tersebut sebagaimana terwujud dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Keunikan Etnik-Etnik di Papua ini adalah karena memiliki ras yang berbeda dengan Etnik-Etnik yang ada di Indonesia bagian lain.

(34)

Mereka bukanlah bagian dari ras Proto Malayan maupun Deutro Malayan. Etnik-Etnik di Papua memiliki ras yang berbeda dengan Etnik-Etnik lain di Asia Tenggara, karena mereka memiliki ras Melanesia atau Negroid, sama dengan Etnik-Etnik di Afrika. Mereka memiliki struktur fisik yang kekar, berkulit gelap dan rambut keriting. Pada masa dahulu bangsa-bangsa di Afrika menyebar ke seluruh Asia hingga ke wilayah Asia Pasifik. Diperkirakan Etnik Papua ini adalah manusia pertama yang hadir di wilayah Asia Tenggara ini, puluhan ribu tahun sebelum masuknya bangsa-bangsa Melayu. Mereka berasal dari daratan Afrika, ketika daratan Asia masih menyatu dengan kepulauan-kepulauan di Asia Tenggara ini.(http://proto-malayans.blogspot. com/ 2012).

Selain penggunaan bahasa, yang membedakan sub Etnik satu dengan lainnya adalah ukuran dan bentuk ragawinya. Para ahli antropologi ragawi yang mempelajari keberagaman manusia, mencoba untuk membedakan berdasarkan ciri-ciri fisik yang nampak secara kasat mata dan yang tidak nampak. Pada ciri-ciri lahiriah, menurut Glinka (1989) dapat diketahui berdasarkan warna kulit, warna dan bentuk rambut, warna mata, ukuran tinggi badan, tengkorak dan bagian muka seperti ukuran dahi, pelipis, pipi, hidung dan rahang. Sedangkan untuk ciri yang secara lahiriah tidak nampak adalah dengan melihat struktur gen yang terkandung dalam tubuh atau dikenal dengan sebutan ciri genotipik.

Di masyarakat Papua, penelitian khusus tentang ciri-ciri manusia secara fenotipik dan genotipik belum pernah dilakukan. Ada beberapa orang yang melakukan pengukuran tinggi badan dan indeks ukuran tengkorak individu penduduk asli Papua di beberapa tempat terpisah. Terbatasnya jumlah individu yang diukur, membuat belum cukup untuk memberikan gambaran tentang ciri-ciri fisik biologik orang Papua. Bahkan antropolog Belanda sempat mengatakan bahwa ras papua tidak ada. (Sutaarga dan Koentjaraningrat, 1994).

(35)

Berdasar ciri fisiknya, harus diakui bahwa orang Papua disetiap wilayah mempunyai perbedaan ciri khusus. Uraian Bijlmer yang rinci dan teknis menemukan kecenderungan bahwa makin jauh dari pantai tubuh orang Papua makin pendek. Demikiaan halnya dengan bentuk tengkoraknya, orang Papua yang tinggal di daerah pantai umumnya lonjong. Keanekaragaman ciri-ciri manusia pada berbagai penduduk asli papua lebih jelas terlihat melalui ciri-ciri fenotipiknya. Warna dan bentuk rambut mereka tidak ada keseragaman. Warna rambut orang papua asli hampir semuanya hitam, tetapi tidak semua keriting. Orang yang menetap di sepanjang sungai Mamberamo, rambutnya banyak yang berombak dan bahkan ada yang lurus (Sutaarga dan Koentjaraningrat, 1994).

Beragamnya dan terpencarnya Etnik bangsa di Papua, memunculkan kesadaran masyarakat untuk menghimpun diri dalam wadah Dewan Adat. Werfete (2011) mengemukakan bahwa keberadaan Dewan Adat ini merepresentasikan budaya masyarakat di Papua. Keputusan kultural Majelis Rakyat Papua menegaskan bahwa di Papua terdapat wilayah adat yang meliputi wilayah adat Doreri, Bomberai, Saireri, Mee Pago, Lani Pago, Tabi dan Animha. Berdasarkan persebaran wilayah adat, Etnik bangsa di Kaimana masuk dalam wilayaah persebaraan kebudayaan Bomberai.

Kabupaten Kaimana sebagai sebuah kabupaten baru mempunyai banyak sekali sub Etnik yang mempunyai ciri khas yang berbeda satu sama lainnyaBerikut ini beberapa sub Etnik yang ada di Kabupaten Kaimana (http://dppkad.kaimanakab.go.id; Werfete, 2011).

 Orang Buruwai atau Karufa. Nama lainnya Asienara, Madidwana. Mereka berada di bagian Selatan semenanjung Bomberai, bagian Barat Teluk Kamrau. Daerah mereka antara

(36)

lain Guriasa, Tairi, Hia, Gaka, Yarona, Kuna, Esania dan Marobia. Populasi mereka sekitar 700 jiwa.

 Etnik bangsa Iresim, banyak mendiami daerah pesisir Selatan teluk Cendrawasih. Tepatnya di sebelah Barat kota Nabire, dan di dekat danau Yamur. Daerah tersebut berada dalam wilayah distrik teluk Etna, Kabupaten Kaimana. Populasi orang Iresimtidak banyak, sekitar 100 jiwa. Bahasa mereka termasuk kelompok bahasa Wurm-Hatori (sub-kelompok bahasa teluk Cendrawasih) dari rumpun bahasa Papua.

 Orang Kambrau atau Kamberau atau Lambrau berdiam di semenanjung Bomberai sebelah tenggara, di sekitar teluk Kamberau. Desa-desa mereka adalah Ubia Seramuku, Bahomia, Inari, Tanggaromi, Koi, Wamesa dan Coa di wilayah distrik Kaimana dan Distrik Teluk Arguni, Kabupaten Kaimana. Jumlah Populasinya 9000 jiwa. Bahasa mereka masih satu kelompok dengan bahasa Kamoro dan Asmat.

 Orang Komoro, ada banyak pendapat berkenaan dengan Etnik bangsa Kamoro ini. Anggapan pertama adalah Kamoro sama dengan Mimika. Kedua, orang Kamoro adalah sub-kelompok Etnik Mimika. Ketiga, Kamoro adalah kesatuan bahasa daerah. Mereka mendiami daerah pantai Selatan Irian Jaya yang berawa, kira-kira disebelah Barat laut wilayah orang Asmat, tepatnya di wilayah Mimika Timur dan Mimika Barat. Nama lain mereka adalah Lakahia, Nagramadu, Kaokonau, Umari, Neferipi, Maswena. Sebagai bagian dari kelompok Etnik bangsa Mimika, orang Kamoro mendiami wilayah bagian Barat dekat Teluk Etna, jumlah populasi mereka sekitar 8.000 jiwa. Desa mereka antara lain Tarja, Kamora, Wania, Mukumuga  Orang Koiwai atau Namatote mendiami daerah pesisir Selatan

Irian Jaya, yaitu di bagian Selatan Leher Burung Irian, tepatnya di sebelah Barat laut di Kaimana terus ke tenggara ke Maimai. Sebagian lagi mendiami pulau Namatote dan pulau-pulau kecil

(37)

lain di teluk Kamrau. Desa-desa mereka adalah, Keroi, Namatota, Waikala, Namatote, Kayumerah dan Maimai. Daerah ini termasuk dalam distrik Kaimana dan Teluk Etna. Jumlah populasi mereka sekitar 700 jiwa. Nama lain mereka adalah Kaiwai, Kuiwai Koiwai, Namatota Aiduma, Kayumerah.  Etnik bangsa Mairasi dengan nama lain Kaniran dan Faranyao

mendiami daerah sekitar teluk Arguni, teluk Triton dan teluk Wandamen Timur Laut, di daerah Leher Burung Irian. Daerah mereka masuk ke dalam kabupaten Kaimana terutama di distrik Kaimana dan Teluk Etna serta sebagian masuk di daerah Kabupaten Manokwari. Jumlah populasi mereka 3.000 jiwa. Desa mereka adalah Morano, Faranyao, Sisir, Lobo, Susunu, Warika, Kokoroba, Barari, Urisa, dan Maimai.

 Orang Mer atau Muri atau Miere, tinggal di daerah bagian tengah Kepala Burung. Daerah di sekitar mata air Wosimi dan hulu sungai Urema. Daerah tersebut termasuk dalam wilayah Distrik Teluk Etna dan Kabupaten Manokwari. Jumlah populasi mereka sekitar 200 jiwa. Desa-desa mereka antara lain Ure atau Muri dan Javor.

 Mor, Etnik bangsa ini bermukim disekitar Timur laut semenanjung Bomberai, yaitu di pantai Selatan Teluk Bintuni. Daerah in termasuk ke dalam wilayah Distrik Kaimana. Populasinya sekitar 100 jiwa.

 Orang Semimi mendiami daerah bagian Selatan Leher Burung, yaitu sekitar Teluk Etna, sampai ke Teluk Triton. Daerah mereka termasuk wilayah Distrik Teluk Etna. Jumlah populasi mereka sekitar 300 jiwa.

 Kuri, orang Kuri mendiami bagian Selatan dan bagian Barat Distrik teluk Arguni. Mereka tersebar di beberapa kampung seperti Tugarni dan Tiwara. Populasinya berjumlah sekitar 2000 jiwa. Bahasa yang digunakan adalah Bahasa Kuri, termasuk rumpun bahasa Austronesia. Namun mereka juga

(38)

berbahasa Irarutu. Orang Kuri berasal dari daerah dataran tinggi yang kemudian hidup di pesisir.

 Salah satu Etnik bangsa yang populasinya cukup besar adalah mereka yang disebut dengan Orang Irahutu atau Irarutu. Di kaimana, mereka banyak mendiami teluk Arguni sampai ke Utara ke teluk Bintuni. Pemukiman mereka tersebar di 40 buah desa dengan jumlah populasi sekitar 4.000 jiwa. Bahasa mereka termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia.

Laporan penyusunan RPJPD Kabupaten Kaimana, kerja-sama Pemerintah Kabupaten Kaimana dengan Universitas Gajah Mada (Werfete, 2011) membuat perkiraan sebaran dan jumlah populasi Etnik bangsa di Kaimana, sebagaimana tabel dibawah. Tabel 2.3. Sebaran dan Jumlah Populasi Etnik Bangsa di Kaimana

No Etnik bangsa Populasi Distrik daerah sebaran 1. Mairasi 3000 Kaimana, teluk Arguni

2. Irarutu 4000 Teluk Arguni

3. Kuri 2000 Teluk Arguni

4. Madewana 700 Buruwai

5. Oborouw 9000 Kaimana, Kambrau, Teluk Arguni

6. Koiwai 700 Kaimana, Buruwai

7. Semimi 300 Teluk Etna

8. Mer 200 Yamor

Sumber: Werfete, 2011

2.2. Distrik Arguni Bawah

Arguni adalah daerah berupa teluk dengan wilayah terluar di kota Kaimana dan wilayah terdalam hampir berbatasan dengan kabupaten Teluk Wondama yang menjadi batas Utara Kabupaten

(39)

Kaimana. Setelah pemekaran Kabupaten, teluk Arguni yang sebelumnya merupakan satu wilayah Distrik, kemudian dimekarkan menjadi dua Distrik, Arguni Atas dengan ibukota Bofuer dan Arguni Bawah dengan ibukota Tanusan.

Gambar 2.3. Wilayah Teluk Arguni

Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Kaimana 2014

Kata arguni berasal dari bahasa Irarutu, wer dan rgwin. Kata

wer artinya air dan rgwin artinya kepala, jadi wer-rgwin berarti

kepala air. Disebut sebagai kepala air karena Arguni merupakan ujung terdalam dari teluk yang terletak di kota Kaimana. Penyebutan kata arguni menurut beberapa cerita, digunakan pada saat pemerintahan Belanda yang kesulitan dalam menyebutkan

wer-rgwin.

Menuju teluk Arguni dari kota Kaimana hanya dapat ditempuh dengan jalan air. “long boat” sebagai alat transportasi dapat langsung meluncur dari pantai Kaimana dan dapat melalui Tanggaromi, daerah pelabuhan di ujung Barat laut kota Kaimana. Karena risiko hantaman ombak di pantai Kaimana, orang-orang

(40)

lebih memilih lewat Tanggaromi untuk menuju desa-desa di wilayah Teluk Arguni. Demikian juga orang-orang dari desa, hampir semua dari mereka akan berhenti di Tanggaromi dan melanjutkan dengan perjalanan darat menuju Kota Kaimana.

Gambar 2.4. Pelabuhan Tanggaromi Sumber: Dokumentasi Peneliti

Tanggaromi adalah pelabuhan utama dan tempat menambatkan perahu long boat yang digunakan oleh orang-orang dari desa-desa di sepanjang teluk Arguni. Setiap hari akan ada puluhan long boat yang turun2 berlabuh di wilayah Tanggaromi. Mereka yang turun biasanya membawa hasil kebun dan hutan serta hasil buruan untuk dijual. Setiap hari pula, ada puluhan long

boat yang naik3 ke daerah pedalaman meninggalkan Tanggaromi

2

Istilah yang digunakan orang Kaimana pada umumnya untuk menyatakan bila seseorang pergi dari daerah pedalaman menuju daerah pantai

3 Istilah yang digunakan untuk menyatakan bila seseorang pergi dari daerah

(41)

dengan membawa bahan-bahan kebutuhan untuk hidup di desa. Biasanya yang mereka bawa adalah bahan-bahan pokok seperti beras, minyak goreng, BBM, mie instan dan air kemasan. Sebagai pintu masuk menuju kota Kaimana dan keluar menuju daerah pedalaman, fasilitas penunjang yang ada di Tanggaromi cukup memadai. Ada toko-toko yang menyediakan berbagai kebutuhan, pasar tempat berjualan sayur dan buah sebagai hasil kebun dan ada terminal yang menyediakan angkutan menuju kota Kaimana. Walau tersedia fasilitas tersebut tetapi orang kampung banyak langsung berbelanja di kota Kaimana.

Meluncur dengan long boat naik dari Tanggaromi, mengarungi teluk, kita akan melewati desa-desa yang berlokasi di tepian teluk. Pertama yang akan dilalui adalah desa Koi, Wasama dan Inari. Ketiga desa tersebut masih berada di wilayah Distrik Kambrau dan kebanyakan dihuni oleh orang-orang Kambrau. Setelah melewati ketiga desa tersebut, kita akan memasuki wilayah Distrik Arguni Bawah. Desa-desa yang dilalui antara lain Nagura, Serara, Samun, Ukiara dan Tanusan yang merupakan pusat Distrik Arguni Bawah. Keatas lagi, ada desa Wandewa, Jawera, Waromi dan selanjutnya wilayah Distrik Teluk Arguni Atas dengan sentralnya di Bofuer.

Long-boat yang digunakan oleh masyarakat di desa-desa

atas kebanyakan terbuat dari kayu masif dan ada juga yang terbuat dari fiber. Ukuran lebarnya tidak lebih dari 1 m dan panjang 5 – 10 m. Setiap long boat akan dilengkapi dengan mesin tempel yang berkekuatan 15 PK atau 40 PK. Menggunakan mesin 40 PK dengan kecepatan penuh, waktu tempuh dari Tanggaromi menuju Tanusan berkisar antara 2 – 2,5 jam, tergantung cuaca dan banyaknya muatan long boat.

(42)

Gambar 2.4.

Long boat, Angkutan Masyarakat di Wilayah Teluk Arguni Sumber: Dokumentasi Peneliti

Arguni Bawah adalah Distrik baru, satu di antara tujuh Distrik di Kabupaten Kaimana. Distrik ini terbentuk sebagai hasil pemekaran dari Distrik Teluk Arguni. Pembentukan Arguni Bawah sebagai Distrik dilakukan berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Kaimana No. 12, Tahun 2007. Wilayahnya mencakup kawasan di bagian tengah teluk Arguni. Secara geografis, posisi distrik Arguni Bawah sangat strategis. Distrik ini berada dan menjadi pintu masuk kapal dan “long boat” yang akan menuju ke Teluk Arguni Atas.

Posisi Distrik ini menjadi strategis karena dekat dengan kota kabupaten Kaimana. Batas daerah Distrik Arguni Bawah dengan distrik lain meliputi batas Utara dengan Teluk Arguni, disebelah Timur berbatasan dengan Distrik Kaimana, sebelah Selatan dengan Kaimana dan Kambraw. Adapun di sebelah Barat, Distrik Arguni Bawah berbatasan dengan wilayah Kabupaten lain, yakni Distrik Kokas Kabupaten Fakfak dan Distrik Irorutu Kabupaten Bintuni.

(43)

Distrik Arguni Bawah mayoritas dihuni oleh penduduk asli yang dikenal sebagai orang Irarutu. Penduduk asli yang menghuni Arguni Bawah selain orang Irarutu, adalah orang Kambraw dan Mairasi. Selain penduduk asli Kaimana, terdapat juga orang yang berasal dari Jawa, Bugis dan Buton. Mereka adalah pendatang yang mencari penghidupan di wilayah Arguni. Para penghuni distrik, baik orang Kambraw, Mairasi dan Irarutu kebanyakan tinggal menetap di perkampungan yang terletak di daerah tepi teluk.

Secara administratif, terdapat sebanyak 15 kampung yang menjadi wilayah dibawah koordinasi pemerintah Distrik Arguni Bawah. Jumlah penduduk yang berada di Distrik Arguni Bawah berdasarkan proyeksi sensus penduduk 2010 adalah 2.458 jiwa (BPS, 2012). Dari jumlah penduduk tersebut, proporsi terbesar adalah penduduk dengan kelompok umur 5 – 10 tahun dan mayoritas penduduk Arguni Bawah adalah kelompok berumur muda. Ke 15 kampung yang ada mempunyai mempunyai luas bervariasi. Luas wilayah yang terkecil 11,8 km² dan terluas 138 km², setara dengan luas satu kabupaten di Jawa. Gambaran luas wilayah setiap kampung dan topografinya dapat dilihat pada Tabel 2.4.

Salah satu kampung, yakni Tanusan adalah kampung yang ditetapkan sebagai pusat pemerintahan Distrik. Sebagai pusat Distrik, keberadaan kantor-kantor pemerintah tingkat Distrik, seperti kantor Distrik, Kepolisian, satu-satunya Sekolah Menengah Pertama yang ada di Distrik dan Puskesmas semua berlokasi di Tamusan. Bahkan di situ, setiap kampung mempunyai rumah singgah untuk penduduk kampung yang punya kepentingan di Distrik. Setiap penduduk kampung tidak hanya boleh singgah tetapi juga boleh menginap sampai urusan di pusat Distrik selesai.

(44)

Tabel 2.4. Luas Wilayah dan Bentuk Permukaan Tanah Berdasarkan Kampung di Distrik Arguni Bawah

Kampung

Luas Wilayah

(km²)

Permukaan Tanah Daratan Perbukitan Pegunungan

Jawera 78 100 0 0 Ruara 11,8 50 50 0 Warmenu 100 0 0 100 Agerwara 83 0 0 100 Kufuryai 68 0 0 100 Manggera 63 0 0 100 Tanusan 104 100 0 0 Urisa 138 100 0 0 Waromi 92 0 100 0 Ukiara 93 100 0 0 Sumun 74 100 0 0 Seraran 98 20 80 0 Nagura 76 100 0 0 Inari 72 90 10 0 Wanoma 124 10 90 0

Sumber : BPS, Distrik Arguni Bawah Dalam Angka 2012

Mengenai jarak yang membentang antara kampung Tanusan, pusat Distrik, dan ke 14 kampung lain serta alat transportasi yang digunakan untuk mencapainya adalah seperti yang tampak pada Tabel 2.5.

(45)

Tabel 2.5. Jarak Tempuh dan Alat Transportasi Ke Pusat Distrik Kampung Jarak (km) Alat Transportasi

Jawera 6 Longboat

Ruara 2 Jalan kaki

Warmenu 9,5 Jalan kaki

Agerwara 9,5 Jalan kaki

Kufuryai 9 Jalan kaki

Manggera 8 Jalan kaki

Tanusan 0 Kota Distrik

Urisa 14 Longboat Waromi 4 Longboat Ukiara 6 Longboat Sumun 12 Longboat Seraran 12 Longboat Nagura 17 Longboat Inari 23 Longboat Wanoma 25 Longboat

Sumber : BPS, Distrik Arguni Bawah Dalam Angka 2012

Dalam upaya melakukan pembangunan wilayah, ketersediaan sumberdaya manusia yang berkualitas sangat penting adanya. Ketersediaan manusia berkualitas akan dapat dipenuhi bila semua pihak berpartisipasi mewujudkannya. Keberadaan lembaga pendiidikan formal dan kemauan masyarakat menjalani pendidikan, akan membantu mempercepat pencapaian manusia berkualitas sebagai sumberdaya pembangunan. Masalahnya, di Distrik Arguni Bawah hanya terdapat satu Sekolah Menengah Pertama, bahkan tidak ada Sekolah Menengah Atas.

Selain pendidikan, aspek kesehatan masyarakat juga berperan penting untuk membantu tersedianya manusia

(46)

berkualitas. Terciptanya kondisi masyarakat yang sehat akan mengurangi kekurangan gizi, angka kesakitan dan kematian. Sesuai tugas pokok dan fungsinya, Puskesmas tidak hanya untuk memberikan kemudahan kepada masyarakat memperoleh pelayanan kesehataan berkualitas. Puskesmas dengan kegiatan promotif dan preventifnya harus mampu membuat masyarakat berperilaku hidup bersih dan sehat. Puskesmas juga bertugas menciptakan keluarga agar mampu merencanakan kehidupan yang bahagia dan sejahtera. Dalam upaya menciptakan masyarakat yang sehat, di Distrik Arguni Bawah sudah ada Puskesmas induk dan Puskesmas pembantu di beberapa kampung.

Satu dari lima belas desa yang ada di wilayah Distrik Teluk Arguni Bawah adalah Kampung Jawera lokasi studi ini dilakukan. Jawera terletak di ujung Utara wilayah Distrik Arguni Bawah, sekaligus sebagai batas Selatan dari Distrik teluk Arguni. Menuju Jawera dari Tanusan sebagai sentral Distrik, dibutuhkan waktu sekitar 20 menit menggunakan long boat dengan mesin 15 PK. Kebutuhan BBM untuk waktu tempuh 20 menit adalah 5 liter. Namun karena tidak ada long boat yang difungsikan sebagai transportasi umum, maka penduduk yang akan pergi harus menyiapkan BBM untuk pergi dan kembali. Jadi kalau dari kampung Tanusan mau pergi ke kampung Jawera, maka BBM yang harus disediakan adalah 10 liter. Kalau dikonfersikan dalam rupiah, transport pergi dan pulang Tanusan – Jawera adalah 150 ribu rupiah karena harga minyak di kampung adalah 15 ribu rupiah per liter. Cukup mahal untuk menempuh perjalanan hanya selama 20 menit.

Jawera adalah kampung yang terdiri dari 48 keluarga dengan keseluruhan penduduk sebanyak 240 jiwa. Jumlah penduduk laki-laki yang ada, 10 lebih banyak dibandingkan perempuan. Penduduk yang bermukim di kampung ini mayoritas memang orang dengan Etnik bangsa Irarutu. Yang lainnya adalah

(47)

pendatang dari Buton, Jawa, Bugis, Seram dan ada juga Cina. Keberagaman Etnik bangsa yang ada, juga menggambarkan keberagaman agama yang dianut oleh masyarakat kampung Jawera. Agama mayoritas adalah Protestan, disusul Islam, Katolik dan Budha. Berdasarkan jenis pekerjaan, penduduk Jawera tercatat sebagai petani. Tepatnya adalah peladang. Walau lokasi kampung ini terletak di tepi pantai, tidak banyak penduduk asli yang bekerja sebagai nelayan. Bekerja sebagai nelayan adalah mata pencaharian yang dilakukan oleh semua pendatang. Orang Buton, Jawa, Bugis, Seram dan Cina adalah nelayan yang tinggal di kampung Jawera ini. Paling tidak itulah data yang tercatat pada papan di balai kampung, karena kampung tidak punya dokumen data monografi yang bisa dijadikan acuan.

(48)

BAB 3

KEBUDAYAAN MASYARAKAT IRARUTU

3.1. Hikayat Orang Irarutu

Mencari berbagai catatan dan benda-benda yang bisa dijadikan sebagai sumber sejarah orang Irarutu sangat sulit. Perpustakaan daerah kabupaten Kaimana yang diharapkan mampu menyediakan dan memberikan informasi tersebut, sementara ini masih berupa bangunan kosong yang berdiri megah di jalan utama kota Kaimana. Jangan bertanya tentang bagaimana koleksi yang ada di dalamnya, papan nama yang bertuliskan perpustakaan daerah hanyalah berupa tempelan huruf yang sudah berjatuhan dan tidak bisa dibaca lengkap. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata sebagai alternatif sumber data, juga tidak bisa memberi informasi yang dibutuhkan. Harapan terakhir untuk mendapatkan data adalah Dewan Adat Kaimana. Tetapi harapan itupun tinggal harapan. Pada Dewan Adat Kaimana tidak ada selembarpun catatan sebagai sumber sejarah orang Irarutu.

Tidak ditemukannya dokumen tertulis tentang sejarah orang Irarutu, membuat kami mengacu pada sumber informasi lain. Dalam studi etnografi dan antropologi, untuk membantu mengungkap sejarah suatu Etnik bangsa, salah satunya bisa digunakan informasi tidak tertulis yang dikenal dengan sebutan

(49)

mite4 dan legenda5. Perlu disadari bahwa sumber informasi seperti

folklore tersebut tidak bisa dipergunakan begitu saja tanpa

diperkuat dengan data pendukung lainnya. Hal ini karena folklore sebagaimana dikemukakan oleh Danandjaja (1980) mempunyai beberapa sifat yang kurang dapat dipertanggung-jawabkan jika akan dijadikan sebagai satu-satunya sumber informasi. Sifat-sifat

folklore tersebut antara lain: bersifat lisan, tradisional, mempunyai

versi lebih dari satu, berkecenderungan mempunyai bentuk berumus, mempunyai fungsi dalam kehidupan masyarakat yang mempunyai cerita tersebut dan bersifat pralogis.

Walau demikian, tanpa melupakan kelemahan folklore sebagai sumber sejarah, untuk mengetahui gambaran umum orang Irarutu, dari mana asal mereka, bagaimana persebaranya ini terpaksa ditelusur dari folklore. Dibawah ini kami sajikan beberapa cerita rakyat dapat digunakan sebagai bahan penyusunan sejarah orang Irarutu.

Folklore tentang Matu Tu. Mitologi orang Irarutu sebagaimana tertuang dalam bait-bait asal usul Matu Tu Irarutu. Matu Tu merupakan penggalan kata-kata dalam bahasa Irarutu yang kesemuaannya memiliki makna yang dalam kaitannya dengan sejarah Etnik bangsa Irarutu. Matu Tu berasal dari kata matu artinya manusia, orang dan tu yang berarti kanan, benar, asli atau yang paling sempurna. Menurut pandangan mereka, awal mula terciptanya Matu Tu yang diartikan sebagai manusia asli berasal

4 Mite adalah cerita rakyat yang dianggap benar-benar terjadi dan mempunyai

sifat suci oleh masyarakat yang mempunyai cerita tersebut. Mite biasanya ditokohi oleh dewa-dewa atau mahluk setengah dewa, terjadi di dunia lain atau dunia yang bukan kita kenaldan mempunyai masa kejadian yang sangat lalu.

5

Legenda adalah cerita rakyat yang mirip dengan Mite yakni dianggap benar telah terjadi tetapi tidak dianggap suci. Berdasarkan tokohnya, legenda ditokohi oleh manusia biasa dan seringkali melibatkan adanya mahluk ajaib. Adapun tempat kejadiannya adalah di dunia seperti yang dikenal sekarang.

(50)

dari teluk Arguni, tepatnya di kepala air Vi Quri. Matu Tu inilah yang dianggap sebagai pelaku penyebaran kebudayaan dipelosok dunia ini.

Cerita-cerita mereka dilukiskan lewat lagu atau syair yang mengharukan hati setiap orang yang paham tentang bahasa syair tersebut. Lagu dan syair tersebut menceritakan perjalanan manusia pertama Etnik bangsa Irarutu, menceritakan manusia pertama yang asli Matu Tu dan bahasa yang asli Irarutu. Mereka ini Berasal dari Teluk Arguni yang kemudian menjelajahi daerah pedalaman, perairan teluk arguni, dan pantai disetiap pelosok daerah ini. Tokoh yang digambarkan ini pergi membawah semua tehknologi, ilmu pengetahuan, kekayaan dan semua kelebihan yang ada didaerah Teluk Arguni. Dia meninggalkan saudaranya bernama Tugal yang pergi bercocok tanam dengan ditemani seekor Anjing hitam.

Pengembaraan yang dilakukan Matu Tu, mengakibatkan dia mempunyai kepandaian dan keterampilan yang jauh melebihi apa yang dipunyai saudaranya yang ditinggal di tanah Papua. Matu Tu dianggap yang menurunkan Etnik bangsa lain didunia ini. Sementara itu, Tugal beserta keturunannya, karena tertinggal dalam hal kepandaian, penguasaan teknologi dan kehidupan sosialnya, kemudian memiliki ciri fisik yang berbeda dengan saudaranya. Keturunan Tugal dipandang Etnik bangsa lain diseluruh penjuru dunia dengan sebelah mata. Orang Papua sebagai keturunan Tugal dinilai bodoh, tidak mampu berbuat sesuatu padahal mereka tinggal dan tidur diatas kekayaan yang sangat melimpah.

Mereka berkeyakinan ditakdirkan hanya sebagai penjaga harta kekayaan milik semua bangsa didunia ini, tanpa mampu berbuat sesuatu. Suatu ketika kelak, saudara mereka yang pergi membawa kekayaan dan kepintaran Etnik asli Irarutu akan kembali. Kedatangan saudara-saudara yang datang akan

(51)

membantu mereka untuk mengolah dan memanfaatkan kekayaan alamnya. Kehidupan mereka kemudian akan berubah menjadi pandai, terampil dan mampu mengolah alam sehingga bisa hidup dengan makmur bersama semua keturunannya.

Folklore Tentang Naru. Diceritakan tentang seorang yang bernama Naru, dia punya kakak yang bernama Mangkubumi, seorang panglima perang. Naru dan Mangkubumi tinggal bersama Mama, adik perempuan dan istri Mangkubumi.

Suatu hari, Mangkubumi yang memang seorang panglima perang, mendapat tugas untuk melakukan Honge suatu perang antar Etnik. Maka berangkatlah Sang panglima Mangkubumi melakukan perang Honge meninggalkan adik laki-lakinya Naru, adik perempuan, mama dan istrinya.

Setelah tiga hari keberangkatan Mangkubumi melakukan

Honge, sang istri mulai merasa kesepian. Untuk menghilangkan

rasa kesepiannya, istri Sang Panglima mulai mendekati Naru, adik Sang Panglima yang merupakan iparnya. Hingga suatu saat Dia dengan sengaja mengundang Naru dan meminta untuk menggambar sebuah tebebagn tato di bagian kewanitaannya. Beberapa kali permintaan tersebut ditolak oleh Naru. Karena dipaksa terus, akhirnya Naru tidak kuasa menolak permintaan Sang ipar. Digambarlah tebebagn di tempat yang diminta kakak ipar tersebut.

Setelah Sang Panglima Mangkubumi pulang dari perang

Honge, dia ingin melepas kerinduan setelah sekian lama

berperang. Sang istri yang sadar telah melakukan perbuatan tidak baik, mencoba menghindar dari Sang suami. Tetapi keinginan yang kuat dari Sang Panglima, istrinya tidak kuasa untuk menolak. Akibatnya, terlihatlah sebuah tebebagn di bagian terlarang istrinya. Dengan marah, Sang Panglima bertanya “siapa yang pasang tebebagn tersebut?” dijawab oleh istrinya bahwa itu adalah hasil karya Naru, sang adik.

Gambar

Tabel 2.1.   Distrik di Kaimana Berdasarkan Luas Daerah, Jumlah   Penduduk dan Kepadatan
Tabel 2.2.  Jumlah Penduduk Menurut Distrik di Kabupaten                      Kaimana pada Tahun 2008 – 2012
Tabel 2.4.   Luas Wilayah dan Bentuk Permukaan Tanah  Berdasarkan Kampung di Distrik Arguni Bawah  Kampung
Tabel 2.5. Jarak Tempuh dan Alat Transportasi Ke Pusat Distrik
+6

Referensi

Dokumen terkait