• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBUDAYAAN MASYARAKAT IRARUTU

3.6. Mata Pencaharian

Berbicara tentang mata pencaharian penduduk di Papua, tampaknya tidak lepas dari kondisi ekologis setiap Etnik bangsa yang ada di Papua. Ada beberapa tinjauan tentang lingkungan ekologis Papua. Sebagaimana dikemukakan oleh Petocz, Walker dan Mansoben, Parsudi Suparlan dan Koentjaraningrat (Djoht, 2002) yang secara umum menyatakan bahwa lingkungan hidup orang Papua meliputi merekaa yang tinggal di daerah pantai, di daerah dataran rendah pedalaman atau lembah kaki bukit dan mereka yang tinggal di dataran tinggi.

Koentjaraningrat (1994) secara lebih spesifik telah membuat pengelompokan masyarakat Papua berdasarkan kondisi ekologinya dan mata pencahariannya menjadi tiga kelompok. Penduduk pantai yang karena posisinya kelompok ini sudah banyak berhubungan dengan dunia luar, membuat cepat menerima nilai-nilai baru. Masuknya ajaran agama, pendidikan dan gaya hidup pendatang membuat mereka mempunyai kebutuhan hidup bergantung kepada pasar. Kelompok kedua adalah penduduk yang tinggal di wilayah pedalaman. Mereka kebanyakan berupa kelompok-kelompok kecil yang menetap di sepanjang sungai dan hutan dataran rendah. Pekerjaan sehar-hari mereka adalah sebagai peladang yang sering berpindah-pindah tempat. Kelompok ketiga adalah masyarakat pegunungan tengah. Kelompok masyarakat ini terdiri dari beberapa suku bangsa yang tinggal di lembah-lembah di pegunungan tengah sekitar wilayah Paniai dan Jayawijaya. Beternak babi dan membudidayakan ubi merupakan sumber ekonomi utama mereka.

Bagaimana dengan masyarakat Irarutu yang tinggal di wilayah teluk Arguni? Bila dikaitkan dengan pengelompokan masyarakat yang dilakukan Koentjaraningrat, mereka berada diantara kelompok masyarakat pantai dan masyarakat pedalaman yang tinggal ditepi sungai. Menurut catatan sejarah, di tahun

1900-an (Matsumura, 1993) or1900-ang Irarutu sudah kontak deng1900-an b1900-angsa Belanda dan dikenalkan dengan sekolah misi Katolik. Berikutnya masuk saudagar Arab yang membawa ajaran Islam dan kemudian guru-guru dari Gereja Protestan Maluku. Kontak dengan pendatang tersebut membuat orang Irarutu mulai mempunyai orientasi pada pasar dan pendidikan. Saat ini beberapa jabatan penting di Pemerintahan Kabupaten Kaimana dijabat oleh orang Irarutu. Namun demikian orang Irarutu lebih banyak bekerja sebagai peladang yang merupakan cerminan dari kelompok masyarakat pedalaman sebagaimana masyarakat yang tinggal di kampung Jawera.

Berladang. Kegiatan berladang bagi masyarakat Irarutu merupakan kegiatan untuk memperoleh bahan makanan.Dalam literatur tentang Irarutu (Matsumura, 1993; Tanggarofa, 2008) dikatakan bahwa makanan pokok mereka adalah sagu, ubi kayu dan pisang. Semua bahan makanan tersebut diperoleh masyarakat dengan cara berladang. Kalau dilihat dari lingkungan kampung, memang disekeliling kampung merupakan rawa-rawa yang penuh dengan pohon sagu. Setiap keluarga diperkenankan untuk memotong pohon sagu yang tumbuh di wilayah perkampungan, untuk kemudian menokok21nya dan memproses sebagai bahan makanan.

Karena lokasi tumbuhnya pohon sagu hanya berjarak beberapa ratus meter dari perkampungan, orang yang mengolah tidak perlu bermalam. Mereka berangkat pagi hari dengan membawa bekal makan siang, sore harinya mereka sudah berada di rumah. Dari kegiatan memotong pohon sampai membawa pulang hasil olahannya, dibutuhkan waktu sekitar 5 – 7 hari bila

21 Kegiatan mencincang pohon sagu yang sudah dipotong dan dibelah menjadi remah-remah halus menggunakan alat khusus agar nantinya bisa diproses lebih lanjut agar menjadi bahan makanan dari sagu.

dilakukan oleh 3 orang. Waktu ini relatif cepat karena untuk memotong pohon dan membelahnya menggunakan mesin potong. Satu pohon sagu dapat menghasilkan 5 – 6 wadah pengisi sagu dengan berat masing-masing sekitar 30 – 40 kg. Satu wadah sagu biasanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan makan keluarga dengan anggota 7 orang selama 1 minggu.

Gambar 3.5.

Bapak dan Anak Sedang Menokok Sagu Sumber: Dokumentasi Peneliti

Demikian juga dengan tanaman pisang. Disetiap halaman rumah penduduk tumbuh pohon pisang. Tanaman pisang ini juga banyak dijumpai di kebun milik keluarga. Setiap hari ada saja orang yang memetik pisang. Mereka tidak suka mengkonsumsi pisang yang sudah masak. Karena itu pisang yang dipetik adalah pisang yang kulitnya masih hijau sebelum kekuning-kuningan. Dilingkungan penduduk kampung Jawera, pisang goreng dan segelas teh manis adalah menu wajib saat makan pagi.

Selain sagu dan pisang, saat ini nasi sudah menjadi makanan yang lebih dibutuhkan penduduk. Mereka memang tidak menanam padi karena tidak menyediakan lahan untuk menanam padi. Kalau mau seperti penduduk kampung tetangganya, Nagura, yang mampu mengolah lahan untuk menanam padi, penduduk kampung Jawera tentu akan bisa menanam padi.

Berdasarkan data monografi desa, mayoritas rumah tangga mempunyai mata pencaharian sebagai petani. Ada 104 rumah tangga yang tercatat sebagai petani. Mungkin lebih tepat kalau disebut sebagai peladang. Karena di sekitar pemukiman mereka adalah daerah rawa, lokasi ladang dan kebun yang dipunyai masyarakat terletak jauh di daerah atas. Mereka berjalan kaki untuk menuju lokasi ladang. Mencapai ladang, dibutuhkan waktu antara 2 – 4 jam, tergantung jauh dekatnya lokasi.

Selain tanaman sagu dan pisang yang merupakan hasil kebun, terdapat tanaman pala yang merupakan sumber utama kebun. Tanaman pala merupakan tanaman primadona penduduk kampung karena harga buah pala yang cukup tinggi. Lapisan pembungkus pala yang berwarna merah yang disebut sebagai bunga punya nilai yang lebih mahal dari biji palanya. Selain itu, di kebun juga banyakterdapat pohon dunrian. Kalau musim durian, masyarakat akan menjual buah durian ke kota Kaimana.

Harusnya ada beberapa tanaman pangan yang dapat dibudidayakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi seperti ubi, keladi dan tanaman produktif lainnya. Tetapi karena alasan gangguan binatang seperti babi, mereka tidak melakukan pembudidayaan tanaman sebagaimana dikemukakan oleh bapak Yanus Wermeta, 53 tahun.

“...untuk bisa tanam ubi, talas… dorang harus bikin pagar sampai habis.. kalau tidak, itu babi akan bikin rusak habis tanaman..”

Berangkat ke kebun, kalau jaraknya tidak terlalu jauh, biasanya semua anggota keluarga akan dibawa serta. Sang Bapak dan Ibu akan menggendong anak-anak mereka yang masih kecil. Anak yang berusia 6 tahun keatas akan berjalan sendiri. Bersama mereka diajak serta anjing, binatang peliharaannya. Keberadaan anjing tersebut cukup penting ketika sebuah keluarga berangkat berkebun di tepian hutan. Fungsi anjing tersebut adalah untuk memberitahu kepada pemiliknya kalau ada orang atau binatang dari hutan yang mendekati areal perkebunannya.

Sebagai bekal di kebun, mereka membawa noken22. Saat berangkat ke kebun, noken digunakan sebagai tempat membawa bekal seperti bahan makanan dan air minum. Selain itu juga untuk membawa perlengkapan dikebun seperti terpal plastik, minyak tanah dan korek api. Tetapi saat pulang dari berkebun, “noken” digunakan untuk membawa hasil berkebunnya. Perlengkapan lain yang wajib dibawa adalah parang, sebagai alat utama saat berkebun. Walau sebetulnya parang lebih merupakan pakaian yang harus dikenakan, perlengkapan yang harus selalu dibawa dan menjadi bagian tidak terpisahkan ketika seseorang bepergian, termasuk saat penduduk kampung pergi ke kota.

Sesampai dilokasi perladangan, setiap anggota keluarga sudah punya tugas masing-masing. Pertama yang dilakukan keluarga tersebut adalah menyiapkan tempat duduk dan beristirahat selama di kebun. Terpal plastik yang dibawa akan segera dihamparkan sebagai alas tempat duduk dan tempat meletakkan semua perbekalan. Sementara sang bapak menyiapkan

22 Semacam tas yang digunakan sebagai tempat membawa benda-benda perbekalan atau hasil berkebunnya. Dulu benda ini terbuat dari anyaman kulit kayu, sekarang sudah terbuat dari plastik bekas tempat beras atau lainnya. Cara membawanya adalah dengan digendong seperti tas ransel atau dikaitkan di kepala.

kelengkapan berkebunnya, anak-anak mengumpulkan ranting-ranting dan kayu kering untuk kayu bakar.

Saat tiba di kebun, nyamuk akan segera menyambut kedatangan keluarga peladang. Kecepatan mengumpulkan kayu bakar dan membakarnya sebagai perapian akan membantu mereka untuk mengusir dan segera lepas dari gigitan nyamuk.

Mencari ikan. Teluk arguni adalah rumah dari bermacam-macam ikan. Beraneka ragam ikan dapat ditemukan di wilayah perairannya. Sebagai teluk yang masuk jauh ke daratan, air di teluk Arguni tidak terlalu asin sebagaimana air laut dalam. Tingkat keasinan dari air teluk, akan berpengaruh terhadap jenis ikan di dalamnya. Dilihat dari jenis ikannya, yang banyak adalah ikan air payau. Ada yang namanya Gulama, Gurapa, Kakap, Bulana, Samandar, Bandeng laut, Sembilang, Tengiri dan banyak yang lainnya.

Dari beberapa ikan yang ditangkap nelayan, ikan Gulama merupakan ikan yang paling berharga. Selain dagingnya yang dijual seharga 9 ribu per kilo, didalam tubuh ikan Gulama terdapat gelembung yang harganya mencapai juta per kilo, tergantung ukuran berat gelembung. Sebagai gambaran, Gelembung dengan ukuran 5 gram mempunyai harga sekitar 4 juta per kilo. Sedangkan gelembung dengan ukuran berat 20 gram setiap gelembungnya, maka akan dihargai sekitar 13 juta per kilo. Kalau nelayan dapat menangkap ikan Gulama, maka dada ikan tersebut akan disobek dengan pisau untuk dikeluarkan dan diambil gelembungnya. Gelembung ikan Gulama kemudian dikeringkan dengan cara dijemur.

Pak Rubini, 56 tahun, nelayan dari Jawa yang sudah 20 tahunan melanglang buana menelusuri pedalaman tanah Papua, tidak bisa memberikan informasi tentang kegunaan gelembung ikan Gulamayang harganya mencapai jutaan per kilogram. Bagi pak Rubini dan juga nelayan lainnya, yang penting adalah bagaimana

mengumpulkan gelembung sebanyak-banyaknya dan kemudian menjualnya kepada para penampung yang banyak terdapat di kota Kaimana. Kabar burung yang didengarnya, gelembung ikan tersebut dieksport ke Singapura dan China oleh para penampung. Ada yang untuk dikonsumsi dan ada yang dibuat sebagai bahan kosmetik. Selebihnya, tidak ada yang bisa memberikan informasi lebih terinci.

Gambar 3.6.

Nelayan Sedang Melepas Jaring di Teluk Arguni Sumber: Dokumentasi Peneliti

Selain ikan, yang banyak terdapat di wilayah teluk Arguni adalah kepiting, udang, siput dan kerang. Jenis binatang ini banyak terdapat di sekitar tanaman “mangi-mangi” yang tumbuh dengan subur di pinggir pantai. Berbekal perangkap kepiting atau jaring yang sudah tidak terpakai lagi, dengan memberi umpan ikan yang sudah busuk, akan mudah sekali bagi seseorang untuk mendapatkan kepiting. Yang lebih mudah lagi adalah memperoleh siput dan kerang. Tinggal menunggu air surut, orang bisa

mendapatkan siput dan kerang dengan mudah di sepanjang pantai khususnya yang berlumpur. Untuk udang, penduduk kampung Jawera sudah jarang mencarinya karena dia harus pergi ke ujung teluk yang lumayan jauh dengan menggunakan long boat dan membutuhkan biaya BBM yang cukup banyak.

Ketersediaan sumberdaya alam berupa hasil laut yang melimpah, membuat banyak orang dari luar teluk Arguni datang berburu hasil laut. Orang jawa, buton, bugis dan seram merupakan orang yang terlibat dalam kegiatan menangkap ikan di wilayah teluk Arguni. Untuk kelancaran dan keberhasilan usaha penangkapan ikan, para pendatang ini mendatangkan sanak keluarga dari daerah asalnya.

Untuk menjual hasil tangkapannya, nelayan tidak perlu jauh pergi ke pasar di Tanggaromi atau di kota Kaimana. Di perairan teluk Arguni sudah ada kapal penampung ikan hasil tangkapan nelayan. Pengusaha yang membawa kapal inilah yang menjadi tujuan nelayan dalam menjual ikannya. Semua jenis ikan yang ditangkap nelayan akan dibeli oleh pengusaha tersebut untuk kemudian dikirim ke perusahaan yang bergerak di bidang perikanan “Avona” dan “Maratota”.

Kalau kebetulan kedua “kapal timbang”23 tidak berada di perairan teluk arguni, maka para nelayan akan membawa pulang semua hasil tangkapannya. Sesampainya kampung, ikan-ikan hasil tangkapan tersebut akan letakkan di dermaga kampung. Kalau ikan-ikan tersebut sudah berada di dermaga, maka siapapun boleh mengambil ikan tersebut, tanpa harus membayar.

Keberadaan ikan-ikan yang bisa diperoleh secara cuma-cuma, merupakan keadaan yang dinantikan oleh warga Jawera. Setiap pagi, beberapa warga senantiasa pergi ke dermaga untuk

23 Demikian orang menyebut kapal perusahaan yang membeli ikan hasil tangkapan nelayan.

melihat apakah di dermaga ada ikan atau tidak. Bila ada, maka dia akan mengambil ikan-ikan tersebut untuk dibawa pulang. Bila ikan yang ada di dermaga tersebut banyak, warga tidak segan-segan membawa gerobak sebagai tempat ikan untuk dibawa pulang.

Ikan yang dibawa pulang warga bukan sembarang ikan. Warga akan memilih ikan yang masih segar untuk dibawa pulang. Cara memilih ikan segar dilakukan dengan melihat warna insangnya. Bila warna insang kemerahan, berarti ikan masih segar. Insang berwarma kehitaman atau warnanya sudah pudar, menunjukkan ikan tidak segar. Bila demikian, ikan akan dibuang kelaut atau ditinggal di dermaga menjadi makanan anjing.

Mengenai kakayaan hasil laut di Teluk Arguni dikatakan oleh bapak Sholeh yang berasal dari tanah Seram bagian Timur.

“Teluk Arguni ini adalah surga bagi nelayan... ikan yang ada, bagitu banyak.. berapapun orang akan ambil, trada akan habis.. coba perhatikan, satiap hari.. ada puluhan parahu yang ambil itu ikan.. sekali pasang jaring bisa mendapat lima puluh ekor”

Apa yang dikemukakan oleh orang Seram tersebut tidaklah berlebihan. Kekayaan ikan dari Teluk Arguni juga diakui oleh nelayan yang berasal dari Buton dan Jawa yang jauh merantau dari tanah asalnya. Bisik-bisik para nelayan mengungkapkan bahwa Pakde sebutan untuk pak Rubini dan pace Buton, dalam satu bulannya, paling tidak akan mengantongi uang sebanyak 25 juta. Itu sudah di luar biaya operasional. Suatu hasil yang lumayan besar.

Alat utama yang digunakan nelayan untuk menangkap ikan di wilayah teluk Arguni adalah jaring. Jarang sekali dan tidak pernah dijumpai ada nelayan yang menggunakan pancing untuk menangkap ikan. Dengan menggunakan perahu, jaring akan dipasang di tengah laut yang diketahui sebagai tempat yang banyak terdapat ikan. Sekali pasang jaring, dapat menangkap

puluhan ikan.Jaring yang terbuat dari bahan senar atau nilon ini dibeli di kota Kaimana atau di kota-kota lain yang merupakan pusat perdagangan dan sentra perikanan. Kalau kebetulan ada kegiatan di tanah Jawa, mereka juga beli di Jawa karena selisih harganya terpaut jauh. Harga per “piece” jaring, dengan panjang sekitar 25 meter dan dengan tinggi 3 meter adalah 1 sampai 1,5 juta rupiah, tergantung kualitas.

Untuk kebutuhan penangkapan ikan dan memperoleh hasil yang maksimal, paling tidak dibutuhkan sekitar 10 ‘piece” jaring yang dirangkai menjadi satu dengan panjang bila dibentangkan mencapai kira-kira 250 meter. Panjang jala yang digunakan untuk menangkap ikan, bergantung kepada besar perahu yang dimiliki nelayan tersebut. Untuk ukuran panjang jala 10 “piece” biasanya digunakan oleh nelayan dengan perahu sedang. Nelayan yang mempunyai perahu yang lebih besar, bisa menebar jala di laut sampai dengan panjang 30 “piece”.

Terbuat dari senar atau nilon yang berbahan dasar plastik, jaring sangat rentan untuk rusak. Kerusakan tersebut biasanya karena gigitan ikan atau kepiting. Kalau tidak hati-hati saat melempar jaring di laut, karang-karang yang terdapat di perairan siap merobek jala nelayan ini. Untuk perawatan, setiap saat perlu dikontrol apakah jaring tersebut masih baik atau sudah banyak yang lobang.

Dari data yang tercatat di monografi desa, dari 49 keluarga yang ada di kampung Jawera, hanya 10 mempunyai pekerjaan sebagai nelayan. Keluarga yang bekerja sebagai nelayan ini lebih banyak berasal dari luar daerah. Ada enam keluarga yang bukan orang lokal. Tiga keluarga dari Buton, dua dari Jawa, satu dari Bugis dan satu dari Seram. Adapun nelayan yang merupakan orang asli dari jawera hanya tiga keluarga.

Memperhatikan jumlah bodi24 yang sandar di dermaga, memang terdapat 20 buah bodi. Kelebihan jumlah long

boatdibandingkan jumlah keluarga yang bekerja sebagai nelayan,

tidak lain karena ada tiga keluarga yang mempunyai perahu lebih dari satu. Kondisi yang mengherankan, mengapa penduduk asli Jawera tidak banyak yang bekerja sebagai nelayan? Padahal potensi teluk Arguni di bidang perikanan sangat baik.

Tidak ada penjelasan yang memuaskan tentang sedikitnya penduduk asli yang bekerja sebagai nelayan. Mereka berkata bahwa mereka juga melaut menangkap ikan, mencari kerang dan karaka. Tetapi mengapa kami tidak banyak menjumpai mereka melaut. Mereka yang kami temui melaut setiap hari adalah keluarga nelayan dari Jawa, Buton, Bugis dan Seram. Sampai akhirnya Zakaria 23 tahun, remaja campuran penduduk asli dengan pendatang dari Bugis bercerita.

“…dahulu orang sini tidak ada yang menjaring ikan di laut.. semua berkebun.. kebun pala adalah sumber kehidupan orang sini yang utama..”

“ …karena orang sini tinggal di tepi laut.. mereka kadang menangkap ikan.. kalau menangkap ikan mereka hanya menggunakan pancing atau ‘sero’.. mereka terkadang mencari karaka di daerah mangi-mangi.. kalau mau kerang.. mereka cari di tepi pantai..”

“…ayah saya adalah nelayan satu-satunya.. ayah sayalah yang mengajak orang Jawera untuk menangkap ikan di laut.. mengajari membuat jaring.. mengajari cara menjaring di laut…

Terkait dengan keengganan orang lokal untuk menangkap ikan, orang Jawa dan Buton yang hidup menjadi nelayan di Jawera memberikan penilaian kurang giat kepada mereka dalam bekerja.

Orang lokal dinilai tidak bisa melaut secara rutin sebagaimana orang Jawa, Bugis dan Buton. Penilaian yang lebih keras mengatakan bahwa orang lokal bukan tidak giat, tapi mereka adalah orang-orang pemalas. Nada yang lebih lembut dikatakan bapak Budi, 40 tahun, nelayan yang berasal dari daerah Kendal Jawa Tengah tentang orang lokal.

“... tiang mriki kirang semangat olehe pados ulam.. remenane lungguh-lungguh... trus.. menawi angsal yotro, deweke mboten saget mbagi sesuai kepentinganipun.. umpomo angsal yotro sewu, deweke mboten purun nyimpen ingkang tigangatus.. damel kebutuhan lintune.. kados ndandani jaring sing rusak”

“... sak estune, artone deweke katah..tapi boten ngertos playune teng pundi? dados griyo sing sae..boten, barang sing sae..nggih boten..”

Mungkin karena orang asli Jawera bukan pelaut, wajar kalau mereka tidak bisa tahan sebagai pelaut. Pelaut yang harus berangkat di sore atau malam hari saat air sedang pasang dan akan kembali keesokan harinya. Pelaut yang harus membuka mata semalaman menjaga jaring agar ikan tidak lepas, agar jaring tidak tersangkut karang.

Dari 20 perahu tidak semuanya digunakan untuk menangkap ikan. Ada 8 perahu yang rutin digunakan untuk menangkap ikan dan semua itu bukan perahu orang asli Jawera. Perahu-perahu itu adalah milik orang Jawa dan Buton yang ada di desa Jawera. Perahu orang asli, lebih banyak diparkir di dermaga kampung. Kalau digunakan, kebanyakan untuk alat transportasi dari desa Jawera ke daerah-daerah lain, termasuk ke Tanggaromi.

Bagi nelayan yang tidak punya bodi atau karena cuaca yang buruk sehingga tidak bisa melaut, maka dapat menggunakan

beberapa alat penangkap ikan seperti sero25 dan pancing. Selain itu, satu tehnik menangkap ikan yang dulu pernah digunakan masyarakat nelayan adalah kalawai26. Dengan bantuan lobe sejenis lampu petromak untuk memancing ikan mendekat, kalawai kemudian ditusukkannya kepada ikan yang mendekat pada “lobe”. Namun, saat ini sudah tidak ditemukan lagi orang yang menggunakan kalawai untuk menangkap ikan.

Berburu. Berburu binatang pada masyarakat Desa Jawera merupakan kegiatan yang masih dilakukan walau sudah jarang. Tetapi untuk desa tetangga yang terletak agak keatas seperti di Desa Kufriai, Warmenu dan Egarwera, kegiatan berburu masih banyak dilakukan oleh penduduk desa tersebut. Mereka berburu karena sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan selain hasil kebun adalah binatang buruan. Jarak ketiga desa yang jauh dari garis pantai membuat mereka yang tinggal diatas tidak memungkinkan menangkap ikan di laut teluk Arguni. Tempat berburu adalah hutan yang terbentang luas disekitar desa. Kegiatan berburu bisa dilakukan di waktu siang atau malam hari, tergantung waktu yang dialokasikan.

Ada bermacam-macam binatang yang biasa dijadikan sasaran perburuan penduduk. Rusa, kasuari, kangguru, babi dan berbagai jenis burung. Alat dan tehnik yang digunakan berburu bermacam-macam sesuai dengan sasaran buruannya. Alat yang selalu mereka bawa saat berburu adalah parang, tumbak dan panah. Sedangkan tehnik untuk menangkap buruan, bisa menggunakan perangkap, jerat danlangsung dipanah atau ditumbak. Setiap melakukan kegiatan berburu, mereka senantiasa

25

merupakan alat perangkap ikan yang dibuat dari anyaman bambu yang dipasang ditepi laut yang dianggap sebagai tempat lalu-lalangnya ikan.

26 Alat berbentuk tombak yang digunakan untuk menangkap ikan dengan cara ditusukkan pada tubuh ikan yang akan ditangkap

membawa serta beberapa anjing yang berguna untuk mendeteksi adanya binatang buruan. Selain itu, anjing juga berguna untuk mengejar dan menyergap binatang buruan tersebut.

Gambar 3.7.

Sang Pemburu dan Kelengkapan Berburunya Sumber: Dokumentasi Peneliti

Pekerjaan berburu adalah pekerjaan laki-laki dewasa. Tidak ada anak-anak dan perempuan yang terlibat dalam kegiatan berburu. Berburu juga merupakan kegiatan berkelompok. Paling